Anda di halaman 1dari 19

KEPERAWATAN ANAK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN IKTERUS


NEONATORUM
DOSEN PENGAMPU : Elmie Muftiana, S.Kep.Ns.,M.Kep

DISUSUN OLEH:
1. Mario Zinduka 16631576
2. Riko Ari Cahyono 16631538
3. Rofi’Atul Fikria 16631575
4. Ika Adi Mulyana 16631568
5. Putri Fatmawati 16631555
6. Adelia Septi W 16631585
7. Yayuk Dwi M 16631540
8. Ainour Syiva 16631547
9. Rininarurita 16631551

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
MEI 2018

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunianya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Bayi Dengan
Ikterus Neonatorum”. Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan
makalah ini, maka kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Elmie Muftiana, S.Kep.Ns.,M.Kep selaku dosen pembimbing kami yang memberikan
dorongan dan masukan, serta
2. Orang tua dan teman-teman yang telah memberikan do’a restu dan dukugan kepada kami.

Tak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bisa memberikan bermanfaat maupun
inspirasi bagi pembaca.

Wassalamualaikum wr wb.

Ponorogo,30 Mei 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................1

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2

DAFTAR ISI...................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...............................................................................................4

C. Tujuan..................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian............................................................................................................6

B. Klasifikasi............................................................................................................6

C. Etiologi................................................................................................................7

D. Patofisiologi........................................................................................................8

E. Penatalaksanaan..................................................................................................9

F. Konsep Asuhan Keperawatan...........................................................................12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................................17

B. Saran..................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan bayi baru lahir kurang dari 1 bulan (neonatal) menjadi hal yang sangat
penting karena akan menentukan apakah generasi kita yang akan datang dalam keadaan
sehat dan berkualitas. Upaya untuk meningkatkan kesehatan maternal dan neonatal
menjadi sangat strategis bagi upaya pembangunan sumber daya manusia yang
berkualitas. Keberhasilan upaya tersebut dapat dilihat dari penurunan Angka Kematian
Ibu  (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), khususnya angka kematian bayi baru lahir
(neonatal).
Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah adalah
ikterus neonatorum. Gejala ini sangat umum terjadi pada bayi baru lahir antara usia satu
sampai tujuh hari. Bahkan ada sekitar 60% pada bayi yang lahir cukup bulan dan 80%
pada bayi yang lahir kurang bulan. (Mansjoer, 2000)
Ikterus dapat muncul saat lahir atau dapat muncul setiap saat selama masa
neonatus, tergantung pada keadaan yang menyebabkannya. Penyebab ikterus pada
neonatus dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh banyak faktor. Pada masa
neonatus, fungsi hepar belum berfungsi dengan optimal sehingga proses tidak terjadi
secara maksimal atau jika terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat kekurangan
glukosa, keadaan ini dapat menyebabkan kadar bilirubin indirek dalam darah dapat
meningkat. (Wiknjosastro, 2007)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian ikterus neonatorum ?
2. Bagaimana klasifikasi ikterus neonatorum ?
3. Bagaimana etiologi ikterus neonatorum ?
4. Bagaimana patofisiologi ikterus neonatorum ?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada ikterus neonatorum ?
6. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada neonatus dengan gangguan ikterus ?

4
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari ikterus neonatorum.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari ikterus neonatorum.
3. Untuk mengetahui etiologi dari ikterus neonatorum.
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari ikterus neonatorum.
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada ikterus neonatorum.
6. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada neonatus dengan gangguan
ikterus.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-
7 mg/dl (Kosim, 2012).

B. Klasifikasi
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus Fisiologi Menurut Ridha (2014) ikterus fisiologis memiliki tanda
tanda, antara lain sebagai berikut :
a) Warna kuning akan timbul pada hari kedua atau ketiga setelah bayi lahir dan
tampak jelas pada hari kelima sampai keenam dan menghilang sampai hari
kesepuluh.
b) Kadar bilirubin indirek tidak lebih dari 10 mg/dl pada neonates kurang bulan dan
12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.
c) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg/dl per hari.
d) Kadar bilirubin direk tidak lebih dari 1 mg/dl.
e) Tidak memiliki hubungan dengan keadaan patologis yang berpotensi menjadi
kern icterus (ensefalopati biliaris adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan
bilirubin indirek pada otak).
2. Ikterus Patologis
Menurut Kosim (2012) ikterus patologis tidak mudah dibedakan dari ikterus
fisiologis. Keadaan di bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjutnya sebagai
berikut :
a) Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam.
b) Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi.
c) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg/dl pada neonates kurang bulan dan
12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.

6
d) Peningkatan bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam.
e) Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi muntah, letargis,
malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang
tidak stabil.
f) Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan.
g) Ikterus yang disertai keadaan antara lain : BBLR, masa gestasi kurang dari 36
minggu, asfiksia, infeksi, dan hipoglikemia.

C. Etiologi
Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapat
berdiri sendiri ataupun disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut :
1) Produksi yang berlebihan, lebih dari kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO,
defisiensi enzim G6PD, pyruvate kinase, perdarahan tertutup, dan sepsis.
2) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin,
gangguan fungsi hepar akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya
enzim glucoronil transferase (criggler najjar syndrome). Penyebab lain adalah
defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel-
sel hepar.
3) Gangguan dalam transportasi. Bilirubin dalam darah terikat oleh albumin
kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dan albumin ini dapat dipengaruhi oleh
obat-obat, misalnya : salisilat dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
4) Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar
atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar.

7
5) Obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau struktural) dapat mengakibatkan
hiperbilirubinemia unconjugated akibat penambahan dari bilirubin yang berasal dari
sirkulasi enterohepatik.
6) Ikterus akibat Air Susu Ibu (ASI). Ikterus akibat ASI merupakan unconjugated
hiperbilirubinemia yang mencapai puncaknya terlambat (biasanya menjelang hari ke
6-14). Hal ini untuk membedakan ikterus pada bayi yang disusui ASI selama minggu
pertama kehidupan. Sebagian bahan yang terkandung dalam ASI (beta
glucoronidase) akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam lemak,
sehingga bilirubin indirek akan meningkat, dan kemudian akan diresorbsi oleh usus.

D. Patofisiologi
Meningkatnya kadar bilirubin dapat juga disebabkan produksi yang berlebihan.
Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosit yang menua. Pada neonatus 75 %
bilirubin berasal dari mekanisme ini. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 34 mg
bilirubin indirek (free billirubin) dan sisanya 25 % disebut early labeled bilirubin yang
berasal dari pelepasan hemoglobin karena eritropoeis yang tidak efektif di dalam sumsum
tulang, jaringan yang mengandung protein heme dan heme bebas. Pembentukan bilirubin
diawali dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin. Setelah mengalami reduksi
biliverdin menjadi bilirubin bebas, yaitu zat yang larut dalam lemak yang bersifat
lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melewati membran biologik, seperti plasenta
dan sawar otak (Kosim, 2012).
Di dalam plasma, bilirubin tersebut terikat/bersenyawa dengan albumin dan
dibawa ke hepar. Dalam hepar menjadi mekanisme ambilan sehingga bilirubin terikat
oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam hepatosit. Di dalam sel bilirubin
akan terikat dan bersenyawa dengan ligandin (protein Y), protein Z, dan glutation S16
tranferase membawa bilirubin ke reticulum endoplasma hati (Kosim, 2012).
Daerah kulit bayi yang berwarna kuning untuk penerapan rumus Kremer, seperti dibawah
ini :

8
Keterangan :
1. Kepala dan leher
2. Daerah 1 (+) Badan bagian atas
3. Daerah 1, 2 (+) Badan bagian bawah dan tungkai
4. Daerah 1, 2, 3 (+) Lengan dan kaki di bawah lutut
5. Daerah 1, 2, 3, 4 (+) Telapak tangan dan kaki
Gambar 2.2 Daerah kulit yang berwarna kuning untuk
penempatan rumus Kramer
Sumber : Saifuddin, 2009

E. Penatalaksanaan
Menurut Ridha (2014) perubahan peningkatan kadar ikterus/bilirubin bayi baru
lahir khususnya ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis, yaitu :

a. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama.


b. Ikterus dengan kadar bilirubin >12,5 mg pada neonatus cukup bulan atau >10 mg%
pada neonatus kurang bulan.
c. Ikterus dengan peningkatan kadar bilirubin >5 mg%/hari.

Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) dan Kosim (2012) penatalaksanaan


screening test, antara lain sebagai berikut :

a. Golongan darah : untuk menentukan dan status Rh bayi bila transfusi sulih
diperlukan.
b. Uji Coombs direk : untuk menentukan diagnosis penyakit hemolitik pada bayi baru
lahir, hasil positif mengindikasikan sel darah merah bayi telah terpajan (diselimuti
antibodi).
c. Uji Coombs indirek : mengukur jumlah antibodi Rh positif dalam darah ibu.
d. Kadar Bilirubin total dan direk : untuk menegakkan diagnosis heperbilirubinemia.

9
e. Darah periksa lengkap dengan diferensial : untuk mendeteksi hemolisis, anemia (Hb
< 14 gr/dl) atau polisitemia (Ht lebih dari 65%), Ht kurang dari 40 % (darah tali
pusat) mengindikasi hemolisis berat.
f. Protein serum total : untuk mendeteksi penurunan kapasitas ikatan (3,0 mg/dl).
g. Glukosa serum : untuk mendeteksi hipoglikemia (< 40 mg/dl).

Dalam penanganan ikterus ada 4 jenis usaha yang dipakai, yaitu :

1. Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin dengan early


breast feeding yaitu menyusui bayi dengan ASI (Air Susu Ibu).
2. Terapi sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan setelah
bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya bisa di jemur selama setengah jam
dengan posisi yang berbeda. Lakukan pada jam 07.00-09.00 WIB karena inilah waktu
di mana 26 sinar ultraviolet belum cukup efektif mengurangi kadar bilirubin. Hindari
posisi yang membuat bayi melihat langsung ke arah matahari karena dapat merusak
matanya.
3. Terapi sinar (Fototerapi) Terapi sinar atau fototerapi dilakukan selama 24 jam atau
setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal.
Dengan fototerapi bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecah dan menjadi mudah larut
dalam air tanpa harus diubah dahulu oleh organ hati dan dapat dikeluarkan melalui
urin dan feses sehingga kadar bilirubin menurun (Dewi, 2010; Marmi dan Rahardjo,
2012).
4. Transfusi tukar (exchange transfusion) dilakukan pada keadaan hiperbilirubinemia
yang tidak dapat diatasi dengan tindakan lain misalnya telah diberikan terapi sinar
tetapi kadar bilirubin tetap tinggi. Pada umumnya transfusi tukar dilakukan pada
ikterus yang disebabkan karena proses hemolisis yang terdapat pada keridakselarasan
Rhesus, ABO, dan defisiensi G-6-PD. Indikasi untuk melakukan transfusi tukar
adalah kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg%, kenaikan kadar bilirubin indirek
cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam, aemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung,
dan hasil pemeriksaan uji comb positif (Ngastiyah, 2005).

10
Pelaksanaan pemberian terapi sinar menurut Marmi dan Rahardjo (2012), yaitu :

1) Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam.


2) Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar.
3) Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk mencegah
kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan kunjungan orang tua
untuk memberikan rangsang visual pada neonatus.
4) Daerah kemaluan ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk
melindungi daerah kemaluan dari cahaya fototerapi.
5) Posisi lampu diatur dengan jarak 45-50 cm di atas tubuh bayi, untuk mendapatkan energi
yang optimal.
6) Posisi tubuh bayi diubah tiap 8 jam agar tubuh mendapat penyinaran seluas mungkin.
7) Pertahankan suhu bayi agar selalu 36,5-37 ºC dan observasi suhu setiap 4-6 jam sekali.
Jika terjadi kenaikan suhu matikan sementara lampunya dan bayi diberikan banyak
minum. Setelah 1 jam kontrol kembali suhunya. Jika tetap tinggi hubungi dokter.
8) Perhatikan asupan cairan agar tidak terjadi dehidrasi dan peningkatan suhu tubuh bayi.
9) Pada waktu memberi minum bayi dikeluarkan, dipangku, dan penutup mata dibuka.
Perhatikan apakah terjadi iritasi atau tidak.
10) Periksa kadar bilirubin setiap 8 jam setelah pemberian terapi 24 jam.
11) Apabila kadar bilirubin telah turun menjadi 7,5 % atau kurang terapi dihentikan
walaupun belum 100 jam.
12) Jika setelah pemberian terapi 100 jam bilirubin tetap tinggi atau kadar bilirubin dalam
serum terus naik, coba lihat kembali apakah lampu belum melebihi 500 jam digunakan.
Selanjutnya hubungi dokter, mungkin perlu transfusi tukar.
13) Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin turun di bawah batas untuk dilakukan terapi
sinar atau mendekati nilai untuk dilakukan transfusi tukar.

Efek samping terapi sinar

a. Perubahan spesifik Perubahan suhu dan metabolik lainnya


Peningkatan suhu lingkungan dan tubuh, peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan laju
respirasi, peningkatan aliran darah ke kulit.

11
b. Perubahan kardiovaskuler
Perubahan sementara curah jantung dan penurunan curah ventrikel kiri.
c. Status cairan
Peningkatan aliran darah perifer dan peningkatan insensible water lost.
d. Fungsi saluran cerna
Peningkatan jumlah dan frekuensi buang air besar, feses cair, berwarna hijau kecokelatan,
penurunan waktu transit usus, penurunan absorpsi, retensi nitrogen, air dan elektrolit,
perubahan aktivitas laktosa, riboflavin.
e. Perubahan aktivitas
Letargis, gelisah.
f. Perubahan berat badan
Penurunan nafsu makan dan penurunan pada awalnya namun terkejar dalam 2-4 minggu.
g. Efek okuler
Tidak ada penelitian pada manusia, namun perlu perhatian antara efek cahaya dibandingkan
dengan efek penutup mata.
h. Perubahan kulit
Tanning, rashes, burns, bronze baby syndrome.
i. Perubahan endokrin
Perubahan kadar gonadotropin serum (peningkatan LH dan FSH).
j. Perubahan hematologi
Peningkatan turnover trombosit dan cedera pada sel darah merah dalam sirkulasi dengan
penurunan kalium dan peningkatan aktivitas ATP. Sumber : Kosim, 2012 4)

12
F. Pathway

13
G. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Anamnese Orang Tua/Keluarga
Ibu dengan rhesus (-) atau golongan darah O dan anak yang mengalami
neonatal ikterus yang dini, kemungkinan adanya erytrolastosisfetalis (Rh, ABO,
incompatibilitas lain golongan darah). Ada saudara yang menderita penyakit
hemolitik bawaan atau ikterus, kemungkinan suspec spherochytosis herediter
kelainan enzim darah merah. Minum air susu ibu, ikterus kemungkinan karena
pengaruh pregnanediol.
2. Riwayat Prenatal, Natal dan Post Natal
Riwayat Prenatal:
a. Komplikasi kehamilan (Infeksi seperti toxoplasmosis, sipilis, hepatitis, rubela,
sitomegalovirus dan herpes yang mana ditransmisikan secara silang ke plasenta
selama kehamilan)
b. Konsumsi obat-obatan seperti sulfonamid, nitrofurantoin dan anti malaria
Riwayat Natal:
a. Ketuban pecah dini, kesukaran kelahiran dengan manipulasi berlebihan
merupakan predisposisi terjadinya infeksi
b. Pemberian obat anestesi, analgesik yang berlebihan akan mengakibatkan
gangguan nafas (hypoksia) , acidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubn.
c. Bayi dengan apgar score rendah memungkinkan terjadinya (hypoksia) , acidosis
yang akan menghambat konjugasi bilirubin.
d. Kelahiran Prematur berhubungan juga dengan prematuritas organ tubuh (hepar).
Riwayat Post Natal:
a. Kelainan kongenital
b. Virus (Hepatitis)
c. Trauma dengan hematoma atau injuri
d. Oral feeding yang buruk

a. Pola-pola Fungsi Kesehatan


1. Nutrisi : frekuensi bayi diberikan ASI agak jarang karena bayi tidak mau menghisap.

14
2. Eliminasi alvi (buang air besar): BAB kurang lebih 3-4 kali sehari, konsistensi
lembek, dan berwarna kuning agak pucat, bau khas (seperti dempul).
3. Eliminasi urin (buang air kecil): BAK kurang lebih 4-5 kali perhari, berwarna gelap,
bau khas
4. Tidur dan istirahat: bayi lebih sering tertidur, dan sulit dibangunkan.
b. Pemeriksaan Fisik
I. Keadaan umum tampak lemah, pucat dan ikterus dan aktivitas menurun
II. Pemeriksaan Fisik

a. Kepala leher
1. Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera) dan selaput/mukosa pada mulut. Dapat
juga diidentifikasi ikterus dengan melakukan tekanan langsung pada daerah
menonjol untuk bayi dengan kulit bersih (kuning)
2. Dapat juga dijumpai sianosis pada bayi yang hypoksia
b. Dada
1. Selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat ditemukan tanda peningkatan
frekuensi nafas.
2. Status kardiologi menunjukkan adanya tachicardia, kususnya ikterus yang
disebabkan oleh adanya infeksi
c. Perut
1. Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu dicermati. Hal ni
berhubungan dengan indikasi penatalaksanaan photo terapi. Gangguan
Peristaltik tidak diindikasikan photo terapi.
2. Perut membuncit, muntah, mencret merupakan akibat gangguan metabolisme
bilirubun enterohepatik
3. Splenomegali dan hepatomegali dapat dihubungkan dengan sepsis bacterial,
tixoplasmosis, rubella
d. Urogenital
1. Urine kuning dan pekat.
2. Adanya faeces yang pucat/acholis/seperti dempul atau kapur merupakan
akibat dari gangguan/atresia saluran empedu

15
e. Ekstremitas
1. Menunjukkan tonus otot yang lemah
f. Kulit
1. Tanda dehidrasi ditunjukkan dengan turgor tang jelek. Elastisitas menurun.
2. Perdarahan bawah kulit ditunjukkan dengan ptechia, echimosis.
3. Pemeriksaan Neurologis
4. Adanya kejang, epistotonus, lethargy dan lain-lain menunjukkan adanya
tanda-tanda kern ikterus

c. Pemeriksaan Penunjang
- Darah: DL, Bilirubin > 10 mg %
- Biakan darah, CRP menunjukkan adanya infeksi
- Sekrening enzim G6PD menunjukkan adanya penurunan
- Screnning Ikterus melalui metode Kramer
d. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototerapi
2) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan jaundace
3) Perubahan temperatur tubuh berhubungan dengan phototerapi
4) Resiko kekurangan nutrisi berhubungan dengan kemampuan menghisap menurun
5) Kecemasan meningkat berhubungan dengan terapi yang diberikan pada bayi
e. Perencanaan
1. Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototerapi, imaturyti hati
Tujuan: Tidak mengalami komplikasi dari phototerapi
Kriteria hasil:
1. Tidak memperlihatkan iritasi mata, dehidrasi, ketidakstabilan temperatur, dan
kerusakan kulit
2. Bayi terlindung dari sumber cahaya
No Intervensi Rasional
1 Lindungi mata bayi dengan penutup mata Menghindari kontak langsung mata
khusus dengan sinar
2 Cek mata bayi setiap shift (drainase dan Mencegah keterlambatan penanganan
iritasi)
3 Letakkan bayi telanjang dibawah lampu Pencahayaan maksimum dan merata serta

16
dengan perlindungan mata dan kemaluan organ vital terlindungi dari kerusakan
4 Monitor temperatur aksila Pemaparan panas dengan sinar
memungkinkan terjadinya ketidakstabilan
suhu badan
5 Pastikan intake cairan adekuat Pemaparan panas meningkatkan
penguapan yang harus segera diganti
dengan intake cairan
6 Jaga bersihan perianal Menekan resiko iritasi kulit

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek dari phototerapi.


Tujuan: Klien tidak menunjukan gangguan integritas kulit
No Intervensi Rasional
1 Monitor adanya kerusakan integritas kulit Deteksi dini kerusakjan integritas kulit
2 Bersihkan kulit bayi dari kotoran setelah Feses dan urine yang bersifat asam dapat
BAB dan BAK mengiritasi kulit
3 Pertahankan suhu lingkungan netral dan Suhu yang tinggi menyebabkan kulit
suhu axial normal kering sehingga kulit mudah pecah
4 Lakukan perubahan posisi setiap 6 jam Perubahab posisi mempertahankan
sirkulasi yang adekuat dan mencegah
penekanan yang berlebihan pada satu sisi.

3. Resiko perubahan suhu tubuh (peningkatan suhu badan) berhubungan dengan


pemajanan panas yang lama sekunder foto terapi
Tujuan: Perubahan suhu dalam batas normal
Kriteria hasil:
Suhu badan dalam batas 36.5 0 C – 37.5 0 C
No Intervensi Rasional
1 Kontrol / obsevasi suhu badan setiap jam Perubahan suhu dapat terjadi dengan
selama foto terapi berlangsung cepat akibat pemaparan sinar yang juga
sebagi sumber panas.
2 Ubah posisi bayi setiap 2 jam Pemajanan yang merata dan bergantian
mengurangi resiko tidak efektifnya pusat
suhu badan
3 Hentikan/istirahatkan foto terapi bila suhu Semakin lama pemajanan semakin tinggi
diatas 380 C. kemungkinan perubahan suhu badan
4 Kompres basah bila suhu meningkat Pemberian kompres mengurangi/sebagai
media konduksi pembuangan panas
5 Kolaborasi dokter bila panas tidak/sulit
turun/terlalu tinggi untuk mendapatkan
antipiretik

17
4. Resiko kekurangan nutrisi berhubungan intake tidak adekuat, kemapuan menghisap
turun
Tujuan: tidak terjadi gangguan pemenuhan nutrisi
Kriteria hasil:
1. Porsi minum habis
2. BB naik
3. Menghisap kuat

No Intervensi Rasional
1 Berikan nutrisi secara adekuat Memperbaiki keadaan umum
2 Berikan minum tepat waktu dan sesuai Mengganti cairan dan nutrisi yang hilang
ukuran dan kebutuhan akibat terapi sinar
3 Observasi kemampuan menghisap Pemasukan nutrisi adekuat bila
kemampuan mengisap baik
4 Pasang Sonde bila kemampuan mengisap Meningkatkan intake melalui sonde karena
turun gagal melalui mulut
5 Timbang BB setiap hari Memantau perkembangan kebutuhan
nutrisi
6 Kolaborasi ahli gizi Pemberian nutrisi yang sesuai dan adekuat

5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan terapi yang diberikan pada bayi


Tujuan: Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejala-gejala
untuk menyampaikan pada tim kesehatan.
Kriteria hasil :
Orang tua tidak cemas dengan terapi yang akan diberikan
No Intervensi Rasional
1 Kaji pengetahuan keluarga klien Memudahkan dalam pemberian KIE
2 Beri pendidikan kesehatan penyebab, Menambah pengetahuan orang tua tentang
proses terapi, dan perawatan ikterus. tindakan yang akan dilakukan
3 Beri pendidikan kesehatan mengenai cara Meningkatkan pengetahuan ibu dan
perawatan bayi keluarga

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ikterus adalah disklorasi kulit, mukosa membran dan sklera oleh karena peningkatan
kadar bilirubin dalam serum ( > 2 mg/DL ). ( Perinatologi )
2. Ikterus fisiologis umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi
pada minggu pertama > 2 mg/DL.
3. Ikterus patologis :
a. Ikterus terjadi dalam waktu sebelum umur 24 jam.
b. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan foto terapi.
c. Peningkatan kadar bilirubin total serum, 0,5 mg/DL/Jam. Adanya tanda-tanda
penyakit yang mendasari pada setiap bayi ( muntah, letargis, malas menetek,
penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil ).
d. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah umur 14 hari pada
bayi kurang bulan.
B. Saran
Bagi pembaca disarankan memahami hal-hal yang berkaitan dengan ikterus pada bayi,
sehingga dapat dilakukan upaya-upaya dan manfaat untuk menanganinya secara efektif dan
efisien.

DAFTAR PUSTAKA
Fraser, Diane M. dan Cooper, Margaret A. 2009. Buku Ajar Bidan Myles. Edisi 14. Alih bahasa
Sri Rahaya et al. Jakarta: EGC

Saifudin, Abdulbari. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Matenal dan Neonatal.
Jakarta : YBP-SP

http://eprints.ums.ac.id/13341/2/BAB_I.pdf

http://abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/R0313029_bab2.pdf

19

Anda mungkin juga menyukai