Anda di halaman 1dari 8

FAKTOR RESIKO YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEPARAHAN COVID-19 PADA

KELOMPOK PASIEN DENGAN DIALISIS KRONIS DI BEBERAPA FASILITAS KESEHATAN


DI PERANCIS

ABSTRAK

Latar belakang. COVID-19 adalah pandemic yang disebabkan oleh infeksi virus yang
sebagian besar berhubungan dengan sindrom respiratori akut. Sehingga, meskipun ada
laporan COVID-19 yang terkait dengan organ lain, namun data yang tersedia relatif sedikit.
Termasuk data pasien dengan end-stage renal disease (ESRD) yang terinfeksi COVID-19.
Metode. Penulis melakukan studi kohor terhadap pasien COVID-19 di 11 pusat fasilitas
penyakit dialisis di dua distrik yang berbeda di Perancis. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui karakter epidemiologi dan klinis dari COVID-19 pada pasien tersebut, dan untuk
mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi tingkat keparahan penyakitnya (termasuk di
dalamnya adalah keluaran komposit, tindakan ICU, atau kematian) dan angka mortalitas.
Hasil. Dari 2.336 pasien yang terdaftar, 5.5% terkonfirmasi positif COVID-19. Dari 122 pasien
yang diberi tindakan superior lanjutan selama 28 hari, 37% dibawa ke ICU, dan 28% meninggal
dunia. Berdasarkan analisis multivariate, penggunaan terapi oksigen dan penurunan hitung
lymphocyte merukan faktor resiko independen yang berpengaruh terhadap tingkat keparahan
penyakitnya dan terhadap angka mortalitasnya. Penggunaan bloker reseptor angiotensin II
pada 18% pasien memberikan efek proteksi terhadap tingkat mortalitasnya. Dengan analisis
univariate dan multivariate, kombinasi tindakan azithromycin dan hydroxychloroquine
(AZT/HCQ) pada 46% pasien, tidak berhubungan dengan keluaran composite dan kematian.
Kesimpulan. COVID-19 adalah penyakit parah dengan prognosis yang buruk pada pasien
ESRD. Tindakan umum menggunakan ARBs nampaknya cukup memberikan proteksi pada
evolusi kritis dan mortalitasnya. Namun demikian, tidak ditemukan cukup bukti klinis atas
manfaat kombinasi treatment AZT/HCQ pada pasien tersebut.

Kata kunci: angiotensin II receptor blockers, COVID-19, dialysis, hydroxychloroquine,


lymphocytes
PENDAHULUAN

COVID-19 sebagai penyakit infeksi menular pertama kali dilaporkan terjadi pada bulan
December 2019 di Wuhan, China dan telah menyebar ke seluruh dunia hanya dalam waktu 3
bulan saja. Segera setelahnya, WHO langsung menyatakan COVID-19 sebagai pandemi
global. Infeksi akut SARS-CoV-2 dapat berakibat pneumonia yang mematikan. Terbukti
dengan banyaknya pasien yang dirawat di ICU berbagai rumah sakit yang ada.
Pasien dengan dialisis kronis merupakan kelompok pasien yang beresiko tinggi tertular
virus. Setidaknya tiga kali seminggu mereka harus berinteraksi dengan berbagai petugas
medis bahkan sesama pasien lainnya di fasilitas kesehatan tempat mereka dirawat. Selain itu,
pasien dengan CKD juga memiliki potensi komorbid dengan hipertensi, penyakit
kardiovaskular, dan diabees. Belum lagi respon imun pada kelompok pasien ini juga sering
terganggu. Meskipun unit haemodialysis telah menerapkan protokol yang ketat, dan para ahli
nephrologi Eropa juga telah merilis rekomendasi kesehatan yang harus dilakukan sebagai
tindakan proteksi atas resiko penularan fisik, namun belum ada protokol dan rekomendasi yang
tepat untuk mengkontrol penularan melalui transmisi udara. Data yang terdapat di pusat
kesehatan dialisis tentang insiden dan kematian akibat COVID-19, serta faktor resiko
penyertanya, sangatlah terbatas.
Observasi kohor di pusat kesehatan dialisis dilakukan untuk mengetahui gambaran
klinis tentang tindakan dan hasilnya atas pasien dengan CKD stadium 5D yang terinfeksi
COVID-19 di 11 fasilitas dialysis di dua wilayah di Perancis. (R)

MATERI DAN METHODE

Desain Studi
Penulis melakukan observasi kohor pada pasien dengan haemodialysis kronis yang
terinfeksi COVID-19 di beberapa pusat dialisis di Perancis. Data pasien yang diteliti bersifat
anonim, namun telah disetujui dan terdaftar pada Health Data Portal of Assistance Publique-
Hoˆpitaux de Marseille, sesuai dengan UU PADS-20-154 dan 2020-58. Pasien tersebut juga
telah diminta kesediaannya secara tertulis agar penulis dapat menggunakan data kesehatan
mereka dalam penelitian ini, dan mereka berhak sewaktu-waktu untuk mencabut kesediaan
mereka itu.

Participants
Populasi penelitian adalah pasien dialisis (haemodialysis atau peritoneal dialysis) yang
teinfeksi COVID-19 di 11 pusat kesehatan dialisis, yang dirawat pada periode 5 March hingga
8 May 2020.
Kriteria pasien yang diobservasi adalah pasien dengan diagnosis COVID-19
menggunakan RT-PCR yang menyatakan positif SARS-CoV-2, dan/atau menggunakan CT
scan dada yang menunjukan adanya luka bilateral seperti bercak opasiti ground-glass,
konsolidasi, crazy paving, atau efusi pleural. Sedangkan yang tidak termasuk kriteria pasien
yang diobservasi adalah; pasian berusia di bawah 18 tahun yang kurang dari sebulan
sebelumnya telah diterapi renal replacement. Dan pasien dengan tindakan inferior lanjutan
selama 28 hari dan yang tidak dirawat di ICU, tidak diikutkan ke dalam analisis akhir. Seluruh
data dikumpulkan pada periode sebelum tindakan ICU. Beberapa pasien dalam penelitian ini
juga pernah diikutkan pada penelitian terdahulu.

Sumber/pengukuran Data
Data baseline dan data klinis . 1) Karakter data baseline pasien didapatkan dari riwayat
kesehatan elektronik. Data pasien yang dikumpulkan adalah; usia, jenis kelamin, indeks massa
tubuh (BMI), level obesitas jika BMI di atas 30 kg/m2, lokasi pada saat diagnosis, dan jenis
komorbid. 2) Data tindakan yang umumnya dilakukan (ACE inhibitor, bloker reseptor
angiotensin II-ARB, agen antiplatelet, resimen anticoagulation-antagonis vitamin K, dan terapi
immuno-suppressive) dikumpulkan dan diverifikasi pada periode sebelum penelitian. 3) Data
gejala klinis awal dan kondisi vital di hari pertama perawatan/opname. 4) Setelah pasien
didiagnosis COVID-19 dan dirawat di rumah sakit, status resusitasinya didapatkan melalui
konsultasi multidisiplin yang melibatkan nephrologis dan petugas medis ICU.
Kriteria pasien yang tidak dirawat di ICU adalah: berusia di atas 80 tahun, sakit syaraf
psrah atau dementia, sakit neoplasia metastatik stadium lanjut, sakit respiratory kronis yang
mengharuskan terapi oksigen, dan sakit liver cirrhosis dengan Child–Pugh Score C.
Prosedur laboratorium dan radiologi. Pemeriksaan darah yang disertakan dalam
penelitian ini adalah: pemeriksaan hitung darah lengkap, serum albumin, protein C-reactive
(CRP), tes coagulation, fungsi liver, lactate dehydrogenase (LDH), dan enzim myocardial
(Troponine T).
Tindakan CT scan dada dilakukan untuk mengevaluasi tanda-tanda pneumonia
COVID-19 berupa ground-glass opacity, crazy paving, konsolidasi, dan efusi pleural, serta
untuk melihat adanya level radiologi paru.
Treatment COVID-19 dan terapi oksigen . Penulis mencatat pengobatan yang diberikan
dalam treatment COVID-19: kombinasi azithromycin dan hydroxychloroquine (AZT/HCQ),
interleukin (IL)-1 dan/atau IL-6 inhibitors, terapi antiretroviral, corticosteroids, heparin dan
antibiotics. Penulis juga mengumpulkan data yang terkait dengfan pemberian terapi oksigen;
jenis, syarat, durasi, dan kecepatan makslimal laju oksigennya.

Outcome dan Tujuan


Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan faktor resiko pada evolusi
kritis (pertama kali terjadinya composite outcome termasuk tindakan ICU atau terjadi kematian)
dan angka mortalitas pada pasien dialisis kronis yang terinfeksi COVID-19. Secara khusus,
penulis juga ingin menguji apakah penggunaan ARBs dan tindakan AZT/HCQ terhadap
COVID-19 berhubungan dengan evolusi kritis. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk
mendapatkan gambaran kejadian kasus COVID-19 yang terjadi setiap minggu yang terjadi
dalam kurun waktu 5 March hingga 8 May 2020; penyebab kematian (sindrom respiratori akut
dan kegagalan respiratori akibat pneumonia), cardiovascular (kematian mendadak, gagal
jantung, trombosis arteri dan vena, myocarditis), sepsis atau hal lainnya.

Analisis Statistik
Variable kontinyu dan kategori disajikan sebagai median [interquartile range (IQR)] dan
n (%). Penulis menggunakan Mann–Whitney U-test, x 2 test atau Fisher’s exact test untuk
membandingkan perbedaan antar grup ketika diperlukan. Semua test menggunakan patokan
uji 2-tailed. Analisa datanya menggunakan Analisis Multiple Logistic Regression yang dipakai
untuk memnentukan apakah masing-masing variabel merupakan faktor independen yang
menentukan terjadinya komposit outcome. Untuk anilisis multivariate ini, tingkat signifikasninya
adalah 60.05. Seorang pasien tidak akan diikutkan dalam analisis jika data atau nilainya tidak
memenuhi variable yang dibutuhkan. Variabel penyerta yang diikutkan dalam analisis
multivariate logistic regression dipilih berdasarkan P < 0.2 dalam analisis univariate, dan <10%
data yang hilang. Metode Kaplan–Meier digunakan untuk menghitung angka kumulatif
mortalitasnya, dan/atau untuk mentransfer pasien ke ICU tergantung pengelempokan
pasiennya. Uji log-rank dipakai untuk membandingkan kurva Kaplan–Meier. Keseluruhan
analisis statistiknya dilakukan dengan menggunakan software MPVR and Graphpad
PRISMVR.
HASIL

Dalam periode 5 March sampai 8 May 2020, sebanyak 129 pasien dengan dialysis
kronis dinyatakan positif COVID-19. Pasien tersebut adalah bagian dari sekelompok kohor
pasien dengan total jumlah sebanyak 2.336 pasien yang dirawat di 11 pusat penyakit dialisis
di Perancis. Prosentase kasus globalnya adalah 5.5% (6.1% di wilayah Marseille dan 4.9% di
wilayah Champagne, P ¼ 0.14), termasuk di dalamnya, 97.5% pasien haemodialysis, dan
2.5% lainnya adalah pasien dengan diaysis peritoneal. Data kasus yang terjadi di pusat-pusat
dialisis dari kedua wilayah yang diteliti terdapat dalam flow chart di Figure1. Dikarenakan
terjadinya outcome yang belum diketahui penyebabnya, sehingga mengakibatkan pasien
dirawat dan melakukan tindakan lanjutan kurang dari 28 hari, maka sebanyak 7 pasien harus
dikelarkan dari analisis akhir. Sehingga jumlah akhir pasien dalam penelitian ini adalah
sebanyak 122 orang. Tes COVID-19 dilakukan dengan menggunakan RT–PCR terhadap
111 orang pasien (91%), dan menggunakan CT scan thorax pada 11 pasein (9%).
Pemeriksaan COVID-19 dilakukan karena ditemukannya gejala klinis COVID-19 di hampir
semua kasus. Selain itu, di beberapa fasilitas dialisis, screening sistemik juga dilakukan. Di
akhir tindakan lanjutan, sebanyak 77 orang pasien bertahan hidup (63%), dan sebanyak 45
pasien (37%) dibawa ke ICU (evolusi kritis), dan sebanyak 38 orang pasien (31%) meninggal
dunia.

Kasus COVID-19 baru yang terjadi setiap pekan


Pergerakan kasus epidemik COVID-19 yang berlangsung selama 9 pekan selama
periode penelitian, berjalan bersamaan di kedua wilayah yang diteliti. Namun terdapat jeda
perbedaan terjadinya masa puncak epidemik selama satu minggu di kedua wilayah tersebut
(Figure2).

Karakter Baseline
Data karakter baseline dari 122 pasien COVID-19 dapat dilihat di Table1. Nilai mean
usia adalah 73.5 tahun (IQR ¼ 64.2–81.2), dan sebanyak 43 pasien (35%) berjenis kelamin
perempuan. Nilai median dialysis vintage adalah 3.0 tahun (IQR ¼ 1.0–5.5). Sebanyak 97.5%
adalah pasien dengan haemodialysis dan sebanyak 2.5% adalah pasein dengan peritoneal
dialysis. Pada saat diagnosis COVID-19 dilakukan, sebanyak 67% pasien sedang berada di
rumah, sebanyak 20% pasien sedang berada di tempat kerja, dan13% sisanya sudah sedang
dirawat di rumah sakit. Table1 juga menyajikan jumlah pasien dengan prevalen komorbid
terbanyak dan obat-obatan yang paling banyak dikonsumsi.
Tindakan transplantasi terdahulu, lebih sedikit terjadi di kelompok pasien evolusi kritis
(0% versus 9%; P ¼ 0.05). Penyakit end-stage renal disease (ESRD) pada kedua grup
mempunyai penyebab medis yang berbeda-beda. Pada kelompok evolusi kritis; diabetes
nephropathy lebih sering terjadi (40% versus 29%; P ¼ 0.03), begitu juga dengan komorbid
atrial fibrillation (49% versus 25%; P ¼ 0.01), akan tetapi obat ARB lebih sedikit digunakan (9%
versus 23%; P ¼ 0.05).

Gejala-gejala Klinis
Data gejala awal terdapat pada Table2. Sebanyak 8% pasien merupakan pasien tanpa
gejala namun harus dites karena terpapar virus atau terskreening sistem. Dyspnoea/sesak
napas adalah gejala yang lebih banyak didapati pada kelompok pasien evolusi kritis (59%
versus 31%; P ¼ 0.003).
Berdasarkan hasil diagnosa, sebanyak 45% pasien membutuhkan terapi oksigen, dan
median flow rate-nya adalah L/min (IQR ¼ 1–3). Tindakan terapi oksigen lebih banyak
diberikan kepada pasien kelompok kritis (67% versus 32%; P < 0.001), dengan flow rate
oksigen yang juga jauh lebih tinggi [3 (IQR ¼ 2–4) versus 2 (IQR ¼ 1–3) L/min; P ¼ 0.04].

Hasil Laborat dan Karakter Radiologi


Detail mengenai hasil uji laboratorium terdapat pada Table2. Kelompok evolusi kritis
memiliki angka median hitung Neutrophil, CRP, fibrinogen, D-Dimer dan hepatic cytolysis yang
secara signifikan lebih tinggi. Sebaliknya, nilai median hitung lymphocyte-nya jauh lebih rendah
[0.60 G/L (IQR ¼ 0.40–0.86) versus 0.90 G/ L (IQR ¼ 0.61–1.18); P < 0.001]. Data karakter
baseline radiologinya juga terdapat di Table2.

Treatment pada COVID-19


Data obat-obatan sebagai penanganan COVID-19 yang diberikan pada pasien
sebelum mereka dibawa ke ICU terdapat di Table 3. Kombinasi pengobatan AZT/HCQ
diberikan kepada sebanyak 46% kasus, terapi antiretroviral pada 20% kasus, inhibitor IL-1
dan/atau IL-6 diterapkan pada 3% kasus, pencegahan heparin pada 45% kasus,
penyembuhan heparin pada 13% kasus, dan antibiotics pada 90% kasus (cephalosporin, 81%,
quinolone, 28% dan macrolide, 57%). Administrasi penyembuhan heparin secara signifikan
lebih banyak diberikan di kelompok kritis (29% versus 4%; P < 0.0001), begitu juga dengan
pemberian antibiotics (98% versus 86%; P ¼ 0.03).

Outcome Klinis
Data hasil klinis, terdapat pada Table 3. Pasien yang dirawat di rumah sakit sebanyak
81% kasus. Pada diagnosis COVID-19 pertama, status resusitasi tidak nampak pada 54%
kasus. Sebanyak 75% mendapatkan terapi oksigen sekali saja selama sakit, dengan maksimal
median flow rate-nya; 4 L/min (IQR 3–15). Nilai median lamanya perawatan di rumah sakit
adalah 11 hari (IQR ¼ 7–14). Sebanyak 16% pasien dikirim ke ICU (dengan 42% angka
mortalitas). Prosentase total pasien meninggal adalah 28%; sebanyak 7% dari 28% tersebut
meninggal dunia setelah di ICU. 4 pasien (21% pasien ICU) tetap dirawat di ICU dengan
tindakan follow-up superior hingga 28 hari. Waktu median sejak gejala pertama hingga puncak
kritis adalah 7 hari (IQR ¼ 4–11). Figure 3 menunjukan data terapi oksigen yang dibutuhkan
oleh sebanyak 75% pasien (61% pasien di kelompok non-kritis, dan 98% untuk kelompok kritis,
P< 0.0001)
Figure 4 merepresentasikan data penyebab kematian: respiratory pada 65% pasien,
cardiovascular sebanyak 20% pasien, sepsis pada 9% pasien, dan penyebab lainnya
sebanyak 6%.

Terjadinya Komposit dan Kematian berdasarkan Tingkat Keparahan sesuai Parameter dan
Treatment Penyakit
Dua model analisis multivariate disajikan di Table 4 (evolusi kritis) dan Table 5
(mortalitas). 1) terapi oksigen yang dihubungkan dengan evolusi kritis hasil komposit [odds
ratio (OR) estimasi ¼ 3.28, 95% interval konfidens (CI) 1.396–7.97; P ¼ 0.007]. Figure 5A
menunjukan kurva tingkat survival yang mebandingkan kelompok tanpa terapi oksigen (67
patients, 55%) dan kelompok pasien dengan terapi oksigen (55 patients, 45%). 2) Jumlah
hitung lymphocyte yang rendah juga dihubungkan dengan evolusi kritis hasil komposit (OR ¼
0.186, 95% CI 0.057–0.530; P ¼ 0.003). Figure 5B menyajikan kurva survival yang
membandingkan tiga kelompok pasien berdasarkan hasil hitung lymphocyte. 3) Elevasi CRP
diasosiasikan dengan outcome kritis (OR ¼ 1.006, 95% CI 1.001–1.013; P¼ 0.002). 4) Terapi
oksigen dan hitung lymphocyte juga dikaitkan dengan mortalitas, dengan OR ¼ 5.386 (95% CI
2.057–15.35), P < 0.001 dan OR ¼ 0.195 (95% CI 0.049–0.625), P ¼ 0.01. Dari kelompok
non-critical-evolution, 5 pasien membutuhkan terapi oksigen sebanyak lebih dari 6 L/min
selama masa perawatan di rumah sakit. Hal tersebut menunjukan adanya kegagalan
respiratory yang serius. Akan tetapi mereka tidak ditransfer ke ICU dan berhasl bertahan hidup
hingga 28 hari tindakan lanjutan. 5) Kombinasi AZT/HCQ secara analisis univariate dan
multivariate tidak berhubungan dengan evolusi kritis ataupun kematian (Tables 3 and 4, Model
2, Table 5, Model 2; Supplementary data, Figure S2). Pada sub kelompok pasien yang tidak
membutuhkan terapi oksigen (67 pasien), kombinasi AZT/HCQ tidak berhubungan dengan
evolusi kritis (Supplementary Figure S3).

Terjadinya Komposit dan Kematian berdasarkan Treatments Demografi dan Faktor-faktor


Terdahulu
Pada model analisis multivariable, penyakit vaskular peripheral berhubungan dengan
mortalitas (OR ¼ 2.905, 95% CI 1.088–7.928; P ¼ 0.03). Begitu juga dengan penggunaan
ARBs secara signifikan terkait dengan mortalitas (OR ¼ 0.093, 95% CI 0.005–0.540; P ¼ 0.03)
(Table 5, Model 1) meskipun tidak ditemukan adanya asosiasi dengan evolusi komposit kritis
(OR ¼ 0.342, 95% CI 0.085–1.110; P ¼ 0.08) (Table 4, Model 1). Supplementary data,
Table S1 membandingkan variable dalam kelompok dengan atau tanpa ARBs. Pasien yang
diberikan ARBs berusia lebih muda (67 versus 74 tahun; P ¼ 0.02) dan memiliki atrial
fibrillation yang lebih sedikit (25% versus 49%; P ¼ 0.01). Figure 6 menunjukan kurva survival
yang membandingkan evolusi kritis (Figure 5A) dan mortalitas (Figure 5B) pada pasien dengan
dan tanpa ARBs. Pada sub kelompok pasien yang membutuhkan terapi oksigen (55 patients),
penggunaan ARBs secara signifikan berperan dalam memproteksi hasil evolusi komposit (OR
estimasi ¼ 0.088, 95% CI 0.004–0.580; P ¼ 0.03) (Supplementary data, Table S2 and Figure
S1).

DISKUSI

Pandemi COVID-19 berefek besar pada pasien ESRD. Dari 2.336 pasien dengan
haemodialysis kronis, sebanyak 129 pasien (5.5%) terinfeksi COVID-19. Periode penelitian
adalah 5 March hingga 8 May 2020. Sebanyak 81% pasien dirawat di rumah sakit. Pasien
yang dirawat jalan harus datang tiga kali seminggu ke unit dialisis yang ditunjuk. Penelitian
dilakukan di beberapa fasilitas dialisis di dua kota yang berbeda, yaitu pasien ESRD di
Champagne, wilayah timur laut Perancis dan di Marseille, di wilayah selatan Perancis. Kedua
wilayah tersebut dipilih karena memiliki persamaan karakter kasus COVID-19. Meskipun
berada di kota yang sama, heteregonitas pusat dialisis juga ikut diobservasi berdasarkan
kluster penyakitnya. Meskipun demikian, data yang tersedia harus diteliti dengan penuh kehati-
hatian karena dapat berpengaruh terhadap angka kasus COVID-19. Sebagai contoh, di
Marseille, hanya RS Bouchard saja yang melkukan systematic screening pada semua pasien
haemodialysis yang dirawat di sana. 5 orang pasien terkonfirmasi positif meskipun tanpa
gejala, dan ini menjadikan RS Bouchard memiliki tingkat insiden lebih tinggi (8.3%).
Kasus pasien haemodialysis yang terinfeksi COVID-19 di Perancis, lebih rendah jika
dibandingkan dengan kasus yang terjadi di Brescia, Italia (15%) dan di Madrid, Spanyol (13%),
tapi lebih tinggi dari Wuhan, China (2.5%). Data yang terbarukan dari Italia dan Spanyol (26%
dan 24%), dari Wuhan, China (3.5%, dengan mengecualikan pasien tanpa gejala yang dites
CT), dari Canada dan Turki (4.6% dan 1.1%).
Dari 122 kasus, pada akhir periode perawatan 28 hari, 77 pasien (63%) dapat
bertahan hidup, dan 16% dibawa ke ICU (dengan 42% mortalitas). Total 28% pasien
meninggal dunia, tapi hanya 7% dari 28% tersebut meninggal dunia setelah ditransfer ke ICU.
Total 45 pasien (37%) mempunyai evolusi kritis (dikirim ke ICU atau kematian sebelum 28 hari
setelah terkonfirmasi positif). Angka mortalitas dalam penelitian ini, meskipun jauh lebih tinggi
dibandingkan angka nasional, namun relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan kasus di
negara lain; Wuhan (31%), Brescia (28%). dan Madrid (30%), Data yang terbarukan; 43% di
China, 25% di Italy, dan 10% di Spanyol. Sementara di Canada dan Turki, tidak dilaporkan
adanya kematian. Jumlah kasus COVID-19 yang relatif kecil menjadi poin tersendiri dalam
studi terkait, kususnya keberagaman dalam hal mortalitas. Kelebihan lain dari penelitian ini
adalah pasien yang sembuh, diperbolehkan pulang, atau mendapatkan perawatan lanjutan
selama 28 hari, jika dibandingkan pasien dari studi kohor lain, pasien yang sembuh yang masih
harus dirawat di rumah sakit guna penelitian lanjutan.
Pada populasi umum, meta-analysis dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-
faktor klinis dan bilogis yang berhubungan dengan jenis COVID-19 yang parah. Penelitian ini
memiliki dua variabel independen dan robust dalam mendeteksi terjadinya kondisi evolusi kritis
dan dalam mortalitas global. 1) tindakan terapi oksigen diperlukan lebih banyak dua kali lipat
pada kelompok evolusi kritis (67%) dibanding pada kelompok non kritis (32%), dan analisis
multivariate mengkonfirmasi asosiasi independen ini. Penelitian ini menjadi penelitian pertama
yang menunjukan terapi oksigen pada pasien ESRD stadium 5D, terbukti lebih signifikan
dilakukan sejak mula jika dibandingkan pada penyakit respiratory lainnya, seperti dyspnoea. 2),
penurunan hitung lymphocyte. Pada kenyataannya, median hitung lymphocyte adalah0.3 kali
lipat lebih rendah pada kelompok kritis (0.6 G/L) dibandingkan pada kelompok non kritis (0.9
G/L), dan analisis multivariate juga menkonfirmasi adanya asosiasi independen. Lymphopaenia
sejak awal telah muncul dan dikaitkan dengan penyakit-penyakit parah selama infeksi COVID-
19 pada pasien dialysis dan pada populasi umum. Dalam penelitian ini, hitung lymphocyte
menjadi penanda yang lebih baik atas terjadinya hasil yang buruk, dibandingkan penanda lain,
seperti CRP atau LDH. Di sisi lain, efek ini tidak ditemukan pada sub kelompok analisis pada
pasien dengan gejala awal yang parah (pasien yang memerlukan terapi oksigen sejak awal).
penulis tidak menemukan adanya hubungan independent antara keluaran komposit kritis atau
kematian dengan faktor resiko yang sebelumnya telah diidentifikasi seperti usia, obesitas,
diabetes, dan penyakit kardiovaskular. Namun demikian, karena jumlah kasus di studi kohor
kami yang relatif kecil, dan kebanyakan pasien berusia senja serta memeiliki tingkat komorbid
yang tinggi, menjadikan penelitian ini tidak cukup kuat mengidentifikasi variable-variabel
tersebut sebagai faktor resiko.
Penulis tertarik untuk meneliti treatment COVID-19 menggunakan kombinasi
AZT/HCQ. Treatment ini digunakan secara luas oleh tim nephrologis di Marseille. Dalam
penelitian ini, total 46% pasien mendapatkan treatmen tersebut (86% di Marseille). Tidak
terdapat perbedaan analisis univariate (51% treatment pada kelompok non kritis versus 38%
pada kelompok kritis; P ¼ 0.17). Kurva survival dan analisis multivariate menunjukan tidak
adanya hubungan statistik. Karena Gautret et al. berpendapat bahwa efikasi terapi kombinasi
tergantung padainisiasi awalnya, maka penulis mempelajari tentang efek tratmen ini terhadap
sub kelompok yang tidak memerlukan terapi oksigen. Akan tetapi kami masih belum berhasil
menemukan manfaat klinisnya. Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini, penulis
menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang tingkat efektifitas tratmen
kombinasi AZT/HCQ. Pemberian treatmen lainnya, seperti corticoids, terapi antiretroviral, dan
pencegahan heparin juga tidak memberikan pengaruh apa pun pada masing-masing
kelompok. Antibiotics, sebagi pencegahan infeksi diberikan kepada sebagian besar pasien
(90% dari keseluruhan pasien). Treatment yang lebih sering dibutuhkan pada kelompok kritis,
seperti penyembuhan heparin, barangkali merefleksikan tingginya tingkat penanda pro-
inflammatory dan pro-coagulant (neutrophil, CRP, dan fibrinogen), yang memeang secara
signifikan lebih tinggi di kelompok pasien ini.
Penulis mempelajari pengaruh potensial dari penggunaan ARBs sebagai pengobatan
saat ini pada keluaran komposit dari evolusi kritis dan mortalitas. Analisis Multivariable
menunjukan adanya kecenderungan efek protektif pada composite outcome dan juga pada
mortalitas global (1% pada kelompok dengan ARBs versus 33% pada kelompok tanpa ARBs).
pada sub kelompok pasien yang memerlukan terapi oksigen (kecuali pasien tanpa gejala),
penulis menemukan adanya efek protektif dari ARBs kronis pada mortalitas global, namun
tidak pada kompositnya. Hal tersebut bisa jadi dikarenakan kurang kuatnya penggunaan ARBs
tersebut. Hasil penelitian ini harus diinterpretasikan dengan penuh kehat-hatian karena desain
penelitian ini memeiliki karakter yang berbeda dengan pemberian tratmnen ARBs pada
umumnya, yaitu pada pasien yang lebih muda dan dengan atrial fibrillation yang lebih rendah.
Penelitian terkini memnunjukkan bahwa penggunaan ARBs sebelumnya memang tidak
dikaitkan dengan diagnosis COVID-19 diagnosis or dengan tingkat keparahan suatu penyakit.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan pada pasien non-dialysis.
SARS-CoV-2 masuk ke dalam sel host melalui pengikatan protein S virus ke ACE2. Reseptor
ACE2 receptor memiliki properti proinflammatory. Intervensi farmasi, dalam kondisi ini, berupa
penggunaan recombinant ACE2 atau ARBs, dapat memperbaiki kondisi outcome pasien
COVID-19 terutama mereka yang sedang sakit parah. Beberapa percobaan, secara acak,
sedang dilakukan untuk mengevaluasi penggunaaan ACEIs dan ARBs sebagai treatment
untuk COVID-19. Pasien ESRD yang terinfeksi COVID-19, yang sering mengalami hypertensi,
penyakit kardiovascular, dan kelainan inflamasi bisa jadi menjadi kandidat yang tepat untuk
bisa merasakan manfaat klinis dari pengunaan ARBs.
Sebagai kesimpulan, dari keseluruhan populasi, COVID-19 paling banyak menginfeksi
pasien dengan hae-modialysis kronis. Penyakit ini menyerang pasien dengan prognosis yang
buruk pada pasien ESRD dengan tingkat mortalitas 28%. Terapi oksigen dan lymphopaenia
adalah faktor prognosis kritis yang terkait dengan outcome yang buruk. Treatment umum
dengan ARBs nampaknya lebih membawa hasil yang baik sehingga disarankan untuk terus
diberikan pada pasien yang sedang dirawat. Tidak ditemukannya manfaat klinis dari
penggunaan kombinasi AZT/HCQ.

Anda mungkin juga menyukai