Anda di halaman 1dari 44

FAKTOR RESIKO YANG MEMPENGARUHI TINGKAT

KEPARAHAN COVID-19 PADA KELOMPOK PASIEN


DENGAN DIALISIS KRONIS DI FASILITAS KESEHATAN DI
PERANCIS
dr. Meinar Puspitaningrum
dr. Muhammad Fahryzal
dr. Nofi Fitriyani
ABSTRAK
Latar belakang. COVID-19 adalah pandemic yang disebabkan oleh infeksi virus yang sebagian besar
berhubungan dengan sindrom respiratori akut. Sehingga, meskipun ada laporan COVID-19 yang terkait dengan organ
lain, namun data yang tersedia relatif sedikit. Termasuk data pasien dengan end-stage renal disease (ESRD) yang
terinfeksi COVID-19.

Metode. Penulis melakukan studi kohor terhadap pasien COVID-19 di 11 pusat fasilitas penyakit dialisis di dua
distrik yang berbeda di Perancis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakter epidemiologi dan klinis dari
COVID-19 pada pasien tersebut, dan untuk mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi tingkat keparahan
penyakitnya (termasuk di dalamnya adalah keluaran komposit, tindakan ICU, atau kematian) dan angka mortalitas.
ABSTRAK
Hasil. Berdasarkan analisis multivariate, penggunaan terapi oksigen dan penurunan hitung lymphocyte merukan
faktor resiko independen yang berpengaruh terhadap tingkat keparahan penyakitnya dan terhadap angka
mortalitasnya. Penggunaan bloker reseptor angiotensin II pada 18% pasien memberikan efek proteksi terhadap tingkat
mortalitasnya. Dengan analisis univariate dan multivariate, kombinasi tindakan azithromycin dan hydroxychloroquine
(AZT/HCQ) pada 46% pasien, tidak berhubungan dengan keluaran composite dan kematian.
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
COVID-19 sebagai penyakit infeksi menular pertama kali dilaporkan terjadi pada bulan Desember 2019 di Wuhan,
China dan telah menyebar ke seluruh dunia hanya dalam waktu 3 bulan saja. Segera setelahnya, WHO langsung
menyatakan COVID-19 sebagai pandemi global. Infeksi akut SARS-CoV-2 dapat berakibat pneumonia yang mematikan.
Terbukti dengan banyaknya pasien yang dirawat di ICU berbagai rumah sakit yang ada.
Pasien dengan dialisis kronis merupakan kelompok pasien yang beresiko tinggi tertular virus. Setidaknya tiga kali
seminggu mereka harus berinteraksi dengan berbagai petugas medis bahkan sesama pasien lainnya di fasilitas
kesehatan tempat mereka dirawat. Selain itu, pasien dengan CKD juga memiliki potensi komorbid dengan hipertensi,
penyakit kardiovaskular, dan diabet. Belum lagi respon imun pada kelompok pasien ini juga sering terganggu. Meskipun
unit haemodialysis telah menerapkan protokol yang ketat, dan para ahli nephrologi Eropa juga telah merilis rekomendasi
kesehatan yang harus dilakukan sebagai tindakan proteksi atas resiko penularan fisik, namun belum ada protokol dan
rekomendasi yang tepat untuk mengkontrol penularan melalui transmisi udara. Data yang terdapat di pusat kesehatan
dialisis tentang insiden dan kematian akibat COVID-19, serta faktor resiko penyertanya, sangatlah terbatas.
PENDAHULUAN
Observasi kohor di pusat kesehatan dialisis dilakukan untuk mengetahui gambaran klinis tentang tindakan dan hasilnya
atas pasien dengan CKD stadium 5D yang terinfeksi COVID-19 di 11 fasilitas dialysis di dua wilayah di Perancis.
MATERIAL DAN METODE
Desain Studi

◦ Observasi KOHOR pada pasien Dialisis yang terinfeksi Covid 19 di Prancis

◦ Terdaftar di Health Data Portal of Assistance Publique-Hoˆpitaux de Marseille, sesuai dengan Undang
Undang PADS-20-154 dan 2020-58.
MATERIAL DAN METODE
◦Desain Studi
Penulis melakukan observasi kohor pada pasien Dialisis yang terinfeksi COVID-19 di beberapa pusat dialisis di
Perancis. Data pasien yang diteliti bersifat anonim, namun telah disetujui dan terdaftar pada Health Data Portal of
Assistance Publique-Hoˆpitaux de Marseille, sesuai dengan UU PADS-20-154 dan 2020-58. Pasien tersebut juga telah
diminta kesediaannya secara tertulis agar penulis dapat menggunakan data kesehatan mereka dalam penelitian ini,
dan mereka berhak sewaktu-waktu untuk mencabut kesediaan mereka itu.
MATERIAL DAN METODE
Participants

Populasi

◦ Pasien Dialisis (haemodialysis atau peritoneal dialysis) yang teinfeksi COVID-19 pada periode 5 Maret –
8 Mei 2020

Kriteria Inklusi

◦ Pasien Dialisis yang terdiagnosis Covid 19 menggunakan RT-PCR dan CT Scan


MATERIAL DAN METODE
Participants

Kriteria Eksklusi

◦ Pasien Dialisis yang terkena Covid 19 berusia < 18th dan sudah menjalankan Dialisis < 1 bulan

◦ Pasien yang tidak difollow up ke dalam analisis akhir.


MATERIAL DAN METODE
Participants
Populasi penelitian adalah pasien dialisis (haemodialysis atau peritoneal dialysis) yang teinfeksi COVID-19 di 11
pusat kesehatan dialisis, yang dirawat pada periode 5 March hingga 8 May 2020.
Kriteria Inklusi pasien yang diobservasi adalah pasien dengan diagnosis COVID-19 menggunakan RT-PCR yang
menyatakan positif SARS-CoV-2, dan/atau menggunakan CT scan thorax yang menunjukan adanya lesi bilateral
seperti bercak opasiti ground-glass, konsolidasi, crazy paving, atau efusi pleural. (Kriteria Eksklusi); pasian berusia di
bawah 18 tahun dan sudah menjalankan terapi Dialisis/renal replacement < 1 bulan dan pasien yang tidak difollow up
ke dalam analisis akhir. Seluruh data dikumpulkan pada periode sebelum tindakan ICU. Beberapa pasien dalam
penelitian ini juga pernah diikutkan pada penelitian terdahulu.
MATERIAL DAN METODE
Sumber/Pengukuran Data

1. Data baseline pasien didapatkan dari riwayat kesehatan elektronik


2. Data penggunaan obat atau treatment
3. Data gejala klinis awal dan kondisi vital di hari pertama perawatan
4. Pasien didiagnosis COVID-19 dan dirawat di rumah sakit
MATERIAL DAN METODE
Sumber/Pengukuran Data

Kriteria pasien yang tidak dirawat di ICU :


- Usia >80th
- Penyakit saraf tahap lanjut
- Neoplasia Metastatis stadium lanjut
- Penyakit respiratory kronis yang membutuhkan terapi oksigen
- Penyakit cirrhosis Hepatis dengan Child–Pugh Score C
MATERIAL DAN METODE
Sumber/Pengukuran Data
Data baseline dan data klinis. 1) Karakter data baseline pasien didapatkan dari riwayat kesehatan elektronik. Data
pasien yang dikumpulkan adalah; usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh (BMI), level obesitas jika BMI di atas 30 ,
lokasi pada saat diagnosis, dan jenis komorbid. 2) Data penggunaan obat atau treatment (ACE inhibitor, angiotensin II
reseptor bloker (ARB), agen antiplatelet, anticoagulation regiment (vitamin K antagonis), dan terapi immuno-
suppressan) dikumpulkan dan diverifikasi pada periode sebelum penelitian. 3) Data gejala klinis awal dan kondisi vital
di hari pertama perawatan/opname. 4) Setelah pasien didiagnosis COVID-19 dan dirawat di rumah sakit, status
resusitasinya didapatkan melalui konsultasi multidisiplin yang melibatkan nephrologis dan petugas medis ICU.
Kriteria pasien yang tidak dirawat di ICU adalah: berusia di atas 80 tahun, penyakit syaraf tahap lanjut atau
dementia, sakit neoplasia metastatik stadium lanjut, Penyakit respiratory kronis yang membutuhkan terapi oksigen,
dan penyakit sirosis hepatis dengan Child–Pugh Score C.
MATERIAL DAN METODE
Prosedur Laboraturium dan Radiologi

Pemeriksaan darah :
- Pemeriksaan hematologi lengkap
- Serum Albumin
- C-reactive protein (CRP)
- tes coagulation
- Fungsi liver
- Lactate dehydrogenase (LDH)
- Enzim myocardial (Troponine T)
MATERIAL DAN METODE
Prosedur Laboraturium dan Radiologi

Pemeriksaan CT Scan, melihat adanya gambaran :


- Ground-glass opacity
- Crazy paving
- Consolidation
- Pleural effusion
MATERIAL DAN METODE
Treatment Covid 19 dan terapi Oksigen

Treatment yang dianalisis :


- Antibiotik :
- Interleukin (IL)-1 inhibitor dan/atau IL-6 inhibitors
- Terapi antiretroviral
- Corticosteroids
- Heparin
- Terapi Oksigen
MATERIAL DAN METODE
Prosedur laboratorium dan radiologi. Pemeriksaan darah yang disertakan dalam penelitian ini adalah:
pemeriksaan hematologi lengkap meliputi hitung jenis leukosit, serum albumin, C-reactive protein (CRP), tes
coagulation, fungsi liver, lactate dehydrogenase (LDH), dan enzim myocardial (Troponine T).
Tindakan CT scan thorax dilakukan untuk mengevaluasi tanda-tanda pneumonia COVID-19 berupa ground-glass
opacity, crazy paving, konsolidasi, dan efusi pleural, serta untuk melihat keparahan pada paru-paru dalam gambaran
radiologi.
Treatment COVID-19 dan terapi oksigen. Penulis mencatat pengobatan yang diberikan dalam treatment COVID-
19: antibiotics kombinasi azithromycin dan hydroxychloroquine (AZT/HCQ), interleukin (IL)-1 inhibitor dan/atau IL-6
inhibitors, terapi antiretroviral, corticosteroids, dan heparin. Penulis juga mengumpulkan data yang terkait dengan
pemberian terapi oksigen; jenis, durasi, dan kecepatan makslimal laju oksigennya.
MATERIAL DAN METODE
Outcome dan Tujuan

Tujuan Utama :
- Menentukan faktor resiko pada kondisi kritis
- Angka Mortalitas pada pasien Dialisis yang terinfeksi Covid-19
Tujuan Khusus :
- Menguji apakah ada hubungan antara penggunaan ARB dan penggunaan AZT/HCQ terhadap Covid-19
berhubungan dengan kondisi kritis
- Mendapatkan gambaran kejadian kasus Covid-19 yang terjadi setiap minggu
- Mengetahui penyebab kematian, gangguan Cardiovaskular, sepsis, atau hal yang lainnya
MATERIAL DAN METODE
Outcome dan Tujuan
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan faktor resiko pada kondisi kritis (pertama kali terjadinya
composite outcome termasuk tindakan ICU atau terjadi kematian) dan angka mortalitas pada pasien dialisis kronis
yang terinfeksi COVID-19. Tujuan khusus, penulis juga ingin menguji apakah penggunaan ARBs dan pengobatan
AZT/HCQ terhadap COVID-19 berhubungan dengan kondisi kritis. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk
mendapatkan gambaran kejadian kasus COVID-19 yang terjadi setiap minggu yang terjadi dalam kurun waktu 5 March
hingga 8 May 2020; penyebab kematian (sindrom respiratori akut dan kegagalan respiratori akibat pneumonia),
kejadian gangguan cardiovascular (kematian mendadak, gagal jantung, trombosis arteri dan vena, myocarditis), sepsis
atau hal lainnya.
MATERIAL DAN METODE
Analisis Statistik

◦ Pengujian data menggunakan uji Mann–Whitney U-test, x2 test atau Fisher’s exact test
◦ Analisa data menggunakan Analisis Multiple Logistic Regression dengan tingkat signifikasninya adalah
P ≤ 0.05
◦ Data pasien tidak akan dimasukkan dalam analisis jika data atau nilainya tidak memenuhi variable yang
dibutuhkan
◦ Metode Kaplan–Meier digunakan untuk menghitung angka kumulatif mortalitasnya
◦ Uji log-rank dipakai untuk membandingkan kurva Kaplan–Meier
◦ Analisis statistiknya dilakukan dengan menggunakan software JMP (R) and Graphpad PRISM (R).
MATERIAL DAN METODE
Analisis Statistik
Variable kontinyu dan kategori disajikan sebagai median [interquartile range (IQR)] dan n (%). Penulis
menggunakan Mann–Whitney U-test, x2 test atau Fisher’s exact test untuk membandingkan perbedaan antar grup
ketika diperlukan. Semua test menggunakan patokan uji 2-tailed. Analisa datanya menggunakan Analisis Multiple
Logistic Regression yang dipakai untuk menentukan apakah masing-masing variabel merupakan faktor independen
yang menentukan terjadinya komposit outcome. Untuk analisis multivariate ini, tingkat signifikasninya adalah ≤ 0.05.
Data pasien tidak akan dimasukkan dalam analisis jika data atau nilainya tidak memenuhi variable yang dibutuhkan.
Variabel penyerta yang diikutkan dalam analisis multivariate logistic regression dipilih berdasarkan P < 0.2 dalam
analisis univariate, dan <10% data yang hilang. Metode Kaplan–Meier digunakan untuk menghitung angka kumulatif
mortalitasnya, dan/atau untuk mentransfer pasien ke ICU tergantung pengelempokan pasiennya. Uji log-rank dipakai
untuk membandingkan kurva Kaplan–Meier. Keseluruhan analisis statistiknya dilakukan dengan menggunakan
software JMP (R) and Graphpad PRISM (R).
HASIL
HASIL
Dalam periode 5 March sampai 8 May 2020, sebanyak 129 pasien dengan dialysis kronis dinyatakan positif COVID-
19. Pasien tersebut adalah bagian dari sekelompok kohor pasien dengan total jumlah sebanyak 2.336 pasien yang dirawat
di 11 pusat penyakit dialisis di Perancis. Prosentase kasus globalnya adalah 5.5% (6.1% di wilayah Marseille dan 4.9% di
wilayah Champagne, P ¼ 0.14), termasuk di dalamnya, 97.5% pasien haemodialysis, dan 2.5% lainnya adalah pasien
dengan diaysis peritoneal. Data kasus yang terjadi di pusat-pusat dialisis dari kedua wilayah yang diteliti terdapat dalam
flow chart di Figure1. Dikarenakan terjadinya outcome yang belum diketahui penyebabnya, sehingga mengakibatkan
pasien dirawat dan melakukan tindakan lanjutan kurang dari 28 hari, maka sebanyak 7 pasien harus dikelarkan dari
analisis akhir. Sehingga jumlah akhir pasien dalam penelitian ini adalah sebanyak 122 orang. Tes COVID-19 dilakukan
dengan menggunakan RT–PCR terhadap 111 orang pasien (91%), dan menggunakan CT scan thorax pada 11 pasein
(9%). Pemeriksaan COVID-19 dilakukan karena ditemukannya gejala klinis COVID-19 di hampir semua kasus. Selain itu,
di beberapa fasilitas dialisis, screening sistemik juga dilakukan. Di akhir tindakan lanjutan, sebanyak 77 orang pasien
bertahan hidup (63%), dan sebanyak 45 pasien (37%) dibawa ke ICU (evolusi kritis), dan sebanyak 38 orang pasien (31%)
meninggal dunia.
HASIL
Kasus COVID-19 baru yang terjadi setiap pekan
Pergerakan kasus epidemik COVID-19 yang berlangsung selama 9 pekan selama periode penelitian, berjalan bersamaan di
kedua wilayah yang diteliti. Namun terdapat jeda perbedaan terjadinya masa puncak epidemik selama satu minggu di kedua
wilayah tersebut (Figure2).
Karakter Baseline
Data karakter baseline dari 122 pasien COVID-19 dapat dilihat di Table1. Nilai mean usia adalah 73.5 tahun (IQR ¼ 64.2–
81.2), dan sebanyak 43 pasien (35%) berjenis kelamin perempuan. Nilai median dialysis vintage adalah 3.0 tahun (IQR ¼ 1.0–
5.5). Sebanyak 97.5% adalah pasien dengan haemodialysis dan sebanyak 2.5% adalah pasein dengan peritoneal dialysis. Pada
saat diagnosis COVID-19 dilakukan, sebanyak 67% pasien sedang berada di rumah, sebanyak 20% pasien sedang berada di
tempat kerja, dan13% sisanya sudah sedang dirawat di rumah sakit. Table1 juga menyajikan jumlah pasien dengan prevalen
komorbid terbanyak dan obat-obatan yang paling banyak dikonsumsi.
Tindakan transplantasi terdahulu, lebih sedikit terjadi di kelompok pasien evolusi kritis (0% versus 9%; P ¼ 0.05). Penyakit
end-stage renal disease (ESRD) pada kedua grup mempunyai penyebab medis yang berbeda-beda. Pada kelompok evolusi kritis;
diabetes nephropathy lebih sering terjadi (40% versus 29%; P ¼ 0.03), begitu juga dengan komorbid atrial fibrillation (49% versus
25%; P ¼ 0.01), akan tetapi obat ARB lebih sedikit digunakan (9% versus 23%; P ¼ 0.05).
HASIL
Gejala-gejala Klinis
Data gejala awal terdapat pada Table2. Sebanyak 8% pasien merupakan pasien tanpa gejala namun harus dites
karena terpapar virus atau terskreening sistem. Dyspnoea/sesak napas adalah gejala yang lebih banyak didapati pada
kelompok pasien evolusi kritis (59% versus 31%; P ¼ 0.003).
Berdasarkan hasil diagnosa, sebanyak 45% pasien membutuhkan terapi oksigen, dan median flow rate-nya
adalah L/min (IQR ¼ 1–3). Tindakan terapi oksigen lebih banyak diberikan kepada pasien kelompok kritis (67% versus
32%; P < 0.001), dengan flow rate oksigen yang juga jauh lebih tinggi [3 (IQR ¼ 2–4) versus 2 (IQR ¼ 1–3) L/min; P ¼
0.04].
HASIL
Hasil Laborat dan Karakter Radiologi
Detail mengenai hasil uji laboratorium terdapat pada Table2. Kelompok evolusi kritis memiliki angka median hitung
Neutrophil, CRP, fibrinogen, D-Dimer dan hepatic cytolysis yang secara signifikan lebih tinggi. Sebaliknya, nilai median
hitung lymphocyte-nya jauh lebih rendah [0.60 G/L (IQR ¼ 0.40–0.86) versus 0.90 G/ L (IQR ¼ 0.61–1.18); P < 0.001].
Data karakter baseline radiologinya juga terdapat di Table2.
Treatment pada COVID-19
Data obat-obatan sebagai penanganan COVID-19 yang diberikan pada pasien sebelum mereka dibawa ke ICU
terdapat di Table 3. Kombinasi pengobatan AZT/HCQ diberikan kepada sebanyak 46% kasus, terapi antiretroviral pada
20% kasus, inhibitor IL-1 dan/atau IL-6 diterapkan pada 3% kasus, pencegahan heparin pada 45% kasus, penyembuhan
heparin pada 13% kasus, dan antibiotics pada 90% kasus (cephalosporin, 81%, quinolone, 28% dan macrolide, 57%).
Administrasi penyembuhan heparin secara signifikan lebih banyak diberikan di kelompok kritis (29% versus 4%; P <
0.0001), begitu juga dengan pemberian antibiotics (98% versus 86%; P ¼ 0.03).
 
HASIL
Outcome Klinis
Data hasil klinis, terdapat pada Table 3. Pasien yang dirawat di rumah sakit sebanyak 81% kasus. Pada
diagnosis COVID-19 pertama, status resusitasi tidak nampak pada 54% kasus. Sebanyak 75% mendapatkan terapi
oksigen sekali saja selama sakit, dengan maksimal median flow rate-nya; 4 L/min (IQR 3–15). Nilai median lamanya
perawatan di rumah sakit adalah 11 hari (IQR ¼ 7–14). Sebanyak 16% pasien dikirim ke ICU (dengan 42% angka
mortalitas). Prosentase total pasien meninggal adalah 28%; sebanyak 7% dari 28% tersebut meninggal dunia setelah
di ICU. 4 pasien (21% pasien ICU) tetap dirawat di ICU dengan tindakan follow-up superior hingga 28 hari. Waktu
median sejak gejala pertama hingga puncak kritis adalah 7 hari (IQR ¼ 4–11). Figure 3 menunjukan data terapi
oksigen yang dibutuhkan oleh sebanyak 75% pasien (61% pasien di kelompok non-kritis, dan 98% untuk kelompok
kritis, P< 0.0001)
Figure 4 merepresentasikan data penyebab kematian: respiratory pada 65% pasien, cardiovascular sebanyak
20% pasien, sepsis pada 9% pasien, dan penyebab lainnya sebanyak 6%.
HASIL
Terjadinya Komposit dan Kematian berdasarkan Tingkat Keparahan sesuai Parameter dan Treatment Penyakit
Dua model analisis multivariate disajikan di Table 4 (evolusi kritis) dan Table 5 (mortalitas). 1) terapi oksigen yang dihubungkan
dengan evolusi kritis hasil komposit [odds ratio (OR) estimasi ¼ 3.28, 95% interval konfidens (CI) 1.396–7.97; P ¼ 0.007]. Figure 5A
menunjukan kurva tingkat survival yang mebandingkan kelompok tanpa terapi oksigen (67 patients, 55%) dan kelompok pasien dengan
terapi oksigen (55 patients, 45%). 2) Jumlah hitung lymphocyte yang rendah juga dihubungkan dengan evolusi kritis hasil komposit (OR
¼ 0.186, 95% CI 0.057–0.530; P ¼ 0.003). Figure 5B menyajikan kurva survival yang membandingkan tiga kelompok pasien
berdasarkan hasil hitung lymphocyte. 3) Elevasi CRP diasosiasikan dengan outcome kritis (OR ¼ 1.006, 95% CI 1.001–1.013; P¼
0.002). 4) Terapi oksigen dan hitung lymphocyte juga dikaitkan dengan mortalitas, dengan OR ¼ 5.386 (95% CI 2.057–15.35), P <
0.001 dan OR ¼ 0.195 (95% CI 0.049–0.625), P ¼ 0.01. Dari kelompok non-critical-evolution, 5 pasien membutuhkan terapi oksigen
sebanyak lebih dari 6 L/min selama masa perawatan di rumah sakit. Hal tersebut menunjukan adanya kegagalan respiratory yang
serius. Akan tetapi mereka tidak ditransfer ke ICU dan berhasl bertahan hidup hingga 28 hari tindakan lanjutan. 5) Kombinasi AZT/HCQ
secara analisis univariate dan multivariate tidak berhubungan dengan evolusi kritis ataupun kematian (Tables 3 and 4, Model 2,
Table 5, Model 2; Supplementary data, Figure S2). Pada sub kelompok pasien yang tidak membutuhkan terapi oksigen (67 pasien),
kombinasi AZT/HCQ tidak berhubungan dengan evolusi kritis (Supplementary Figure S3).
HASIL
Terjadinya Komposit dan Kematian berdasarkan Treatments Demografi dan Faktor-faktor Terdahulu
Pada model analisis multivariable, penyakit vaskular peripheral berhubungan dengan mortalitas (OR ¼ 2.905,
95% CI 1.088–7.928; P ¼ 0.03). Begitu juga dengan penggunaan ARBs secara signifikan terkait dengan mortalitas
(OR ¼ 0.093, 95% CI 0.005–0.540; P ¼ 0.03) (Table 5, Model 1) meskipun tidak ditemukan adanya asosiasi dengan
evolusi komposit kritis (OR ¼ 0.342, 95% CI 0.085–1.110; P ¼ 0.08) (Table 4, Model 1). Supplementary data,
Table S1 membandingkan variable dalam kelompok dengan atau tanpa ARBs. Pasien yang diberikan ARBs berusia
lebih muda (67 versus 74 tahun; P ¼ 0.02) dan memiliki atrial fibrillation yang lebih sedikit (25% versus 49%; P ¼
0.01). Figure 6 menunjukan kurva survival yang membandingkan evolusi kritis (Figure 5A) dan mortalitas (Figure 5B)
pada pasien dengan dan tanpa ARBs. Pada sub kelompok pasien yang membutuhkan terapi oksigen (55 patients),
penggunaan ARBs secara signifikan berperan dalam memproteksi hasil evolusi komposit (OR estimasi ¼ 0.088, 95%
CI 0.004–0.580; P ¼ 0.03) (Supplementary data, Table S2 and Figure S1).
DISKUSI
Pandemi COVID-19 berefek besar pada pasien ESRD. Dari 2.336 pasien dengan haemodialysis kronis,
sebanyak 129 pasien (5.5%) terinfeksi COVID-19. Periode penelitian adalah 5 March hingga 8 May 2020. Sebanyak
81% pasien dirawat di rumah sakit. Pasien yang dirawat jalan harus datang tiga kali seminggu ke unit dialisis yang
ditunjuk. Penelitian dilakukan di beberapa fasilitas dialisis di dua kota yang berbeda, yaitu pasien ESRD di
Champagne, wilayah timur laut Perancis dan di Marseille, di wilayah selatan Perancis. Kedua wilayah tersebut dipilih
karena memiliki persamaan karakter kasus COVID-19. Meskipun berada di kota yang sama, heteregonitas pusat
dialisis juga ikut diobservasi berdasarkan kluster penyakitnya. Meskipun demikian, data yang tersedia harus diteliti
dengan penuh kehati-hatian karena dapat berpengaruh terhadap angka kasus COVID-19. Sebagai contoh, di Marseille,
hanya RS Bouchard saja yang melkukan systematic screening pada semua pasien haemodialysis yang dirawat di
sana. 5 orang pasien terkonfirmasi positif meskipun tanpa gejala, dan ini menjadikan RS Bouchard memiliki tingkat
insiden lebih tinggi (8.3%).
DISKUSI
Kasus pasien haemodialysis yang terinfeksi COVID-19 di Perancis, lebih rendah jika dibandingkan dengan kasus yang terjadi
di Brescia, Italia (15%) dan di Madrid, Spanyol (13%), tapi lebih tinggi dari Wuhan, China (2.5%). Data yang terbarukan dari Italia
dan Spanyol (26% dan 24%), dari Wuhan, China (3.5%, dengan mengecualikan pasien tanpa gejala yang dites CT), dari Canada
dan Turki (4.6% dan 1.1%).
Dari 122 kasus, pada akhir periode perawatan 28 hari, 77 pasien (63%) dapat bertahan hidup, dan 16% dibawa ke ICU
(dengan 42% mortalitas). Total 28% pasien meninggal dunia, tapi hanya 7% dari 28% tersebut meninggal dunia setelah ditransfer
ke ICU. Total 45 pasien (37%) mempunyai evolusi kritis (dikirim ke ICU atau kematian sebelum 28 hari setelah terkonfirmasi
positif). Angka mortalitas dalam penelitian ini, meskipun jauh lebih tinggi dibandingkan angka nasional, namun relatif lebih rendah
jika dibandingkan dengan kasus di negara lain; Wuhan (31%), Brescia (28%). dan Madrid (30%), Data yang terbarukan; 43% di
China, 25% di Italy, dan 10% di Spanyol. Sementara di Canada dan Turki, tidak dilaporkan adanya kematian. Jumlah kasus
COVID-19 yang relatif kecil menjadi poin tersendiri dalam studi terkait, kususnya keberagaman dalam hal mortalitas. Kelebihan lain
dari penelitian ini adalah pasien yang sembuh, diperbolehkan pulang, atau mendapatkan perawatan lanjutan selama 28 hari, jika
dibandingkan pasien dari studi kohor lain, pasien yang sembuh yang masih harus dirawat di rumah sakit guna penelitian lanjutan.
DISKUSI
Pada populasi umum, meta-analysis dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor klinis dan bilogis yang berhubungan
dengan jenis COVID-19 yang parah. Penelitian ini memiliki dua variabel independen dan robust dalam mendeteksi terjadinya kondisi
evolusi kritis dan dalam mortalitas global. 1) tindakan terapi oksigen diperlukan lebih banyak dua kali lipat pada kelompok evolusi kritis
(67%) dibanding pada kelompok non kritis (32%), dan analisis multivariate mengkonfirmasi asosiasi independen ini. Penelitian ini menjadi
penelitian pertama yang menunjukan terapi oksigen pada pasien ESRD stadium 5D, terbukti lebih signifikan dilakukan sejak mula jika
dibandingkan pada penyakit respiratory lainnya, seperti dyspnoea. 2), penurunan hitung lymphocyte. Pada kenyataannya, median hitung
lymphocyte adalah0.3 kali lipat lebih rendah pada kelompok kritis (0.6 G/L) dibandingkan pada kelompok non kritis (0.9 G/L), dan analisis
multivariate juga menkonfirmasi adanya asosiasi independen. Lymphopaenia sejak awal telah muncul dan dikaitkan dengan penyakit-
penyakit parah selama infeksi COVID-19 pada pasien dialysis dan pada populasi umum. Dalam penelitian ini, hitung lymphocyte menjadi
penanda yang lebih baik atas terjadinya hasil yang buruk, dibandingkan penanda lain, seperti CRP atau LDH. Di sisi lain, efek ini tidak
ditemukan pada sub kelompok analisis pada pasien dengan gejala awal yang parah (pasien yang memerlukan terapi oksigen sejak
awal). penulis tidak menemukan adanya hubungan independent antara keluaran komposit kritis atau kematian dengan faktor resiko yang
sebelumnya telah diidentifikasi seperti usia, obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular. Namun demikian, karena jumlah kasus di
studi kohor kami yang relatif kecil, dan kebanyakan pasien berusia senja serta memeiliki tingkat komorbid yang tinggi, menjadikan
penelitian ini tidak cukup kuat mengidentifikasi variable-variabel tersebut sebagai faktor resiko.
DISKUSI
Penulis tertarik untuk meneliti treatment COVID-19 menggunakan kombinasi AZT/HCQ. Treatment ini digunakan secara
luas oleh tim nephrologis di Marseille. Dalam penelitian ini, total 46% pasien mendapatkan treatmen tersebut (86% di
Marseille). Tidak terdapat perbedaan analisis univariate (51% treatment pada kelompok non kritis versus 38% pada
kelompok kritis; P ¼ 0.17). Kurva survival dan analisis multivariate menunjukan tidak adanya hubungan statistik. Karena
Gautret et al. berpendapat bahwa efikasi terapi kombinasi tergantung padainisiasi awalnya, maka penulis mempelajari
tentang efek tratmen ini terhadap sub kelompok yang tidak memerlukan terapi oksigen. Akan tetapi kami masih belum
berhasil menemukan manfaat klinisnya. Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyarankan untuk dilakukan
penelitian lebih lanjut tentang tingkat efektifitas tratmen kombinasi AZT/HCQ. Pemberian treatmen lainnya, seperti
corticoids, terapi antiretroviral, dan pencegahan heparin juga tidak memberikan pengaruh apa pun pada masing-masing
kelompok. Antibiotics, sebagi pencegahan infeksi diberikan kepada sebagian besar pasien (90% dari keseluruhan pasien).
Treatment yang lebih sering dibutuhkan pada kelompok kritis, seperti penyembuhan heparin, barangkali merefleksikan
tingginya tingkat penanda pro-inflammatory dan pro-coagulant (neutrophil, CRP, dan fibrinogen), yang memeang secara
signifikan lebih tinggi di kelompok pasien ini.
DISKUSI
Penulis mempelajari pengaruh potensial dari penggunaan ARBs sebagai pengobatan saat ini pada keluaran komposit dari
evolusi kritis dan mortalitas. Analisis Multivariable menunjukan adanya kecenderungan efek protektif pada composite outcome
dan juga pada mortalitas global (1% pada kelompok dengan ARBs versus 33% pada kelompok tanpa ARBs). pada sub kelompok
pasien yang memerlukan terapi oksigen (kecuali pasien tanpa gejala), penulis menemukan adanya efek protektif dari ARBs
kronis pada mortalitas global, namun tidak pada kompositnya. Hal tersebut bisa jadi dikarenakan kurang kuatnya penggunaan
ARBs tersebut. Hasil penelitian ini harus diinterpretasikan dengan penuh kehat-hatian karena desain penelitian ini memeiliki
karakter yang berbeda dengan pemberian tratmnen ARBs pada umumnya, yaitu pada pasien yang lebih muda dan dengan atrial
fibrillation yang lebih rendah. Penelitian terkini memnunjukkan bahwa penggunaan ARBs sebelumnya memang tidak dikaitkan
dengan diagnosis COVID-19 diagnosis or dengan tingkat keparahan suatu penyakit. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
lain yang dilakukan pada pasien non-dialysis. SARS-CoV-2 masuk ke dalam sel host melalui pengikatan protein S virus ke
ACE2. Reseptor ACE2 receptor memiliki properti proinflammatory. Intervensi farmasi, dalam kondisi ini, berupa penggunaan
recombinant ACE2 atau ARBs, dapat memperbaiki kondisi outcome pasien COVID-19 terutama mereka yang sedang sakit
parah. Beberapa percobaan, secara acak, sedang dilakukan untuk mengevaluasi penggunaaan ACEIs dan ARBs sebagai
treatment untuk COVID-19. Pasien ESRD yang terinfeksi COVID-19, yang sering mengalami hypertensi, penyakit kardiovascular,
dan kelainan inflamasi bisa jadi menjadi kandidat yang tepat untuk bisa merasakan manfaat klinis dari pengunaan ARBs.
DISKUSI
Sebagai kesimpulan, dari keseluruhan populasi, COVID-19 paling banyak menginfeksi pasien dengan hae-modialysis
kronis. Penyakit ini menyerang pasien dengan prognosis yang buruk pada pasien ESRD dengan tingkat mortalitas
28%. Terapi oksigen dan lymphopaenia adalah faktor prognosis kritis yang terkait dengan outcome yang buruk.
Treatment umum dengan ARBs nampaknya lebih membawa hasil yang baik sehingga disarankan untuk terus diberikan
pada pasien yang sedang dirawat. Tidak ditemukannya manfaat klinis dari penggunaan kombinasi AZT/HCQ.

Anda mungkin juga menyukai