Anda di halaman 1dari 11

PRAKTIKUM TOURISM MEDICAL LABORATORY

IDENTIFIKASI VIRUS PENYEBAB INFEKSI SALURAN PERNAFASAN


IDENTIFIKASI PENYAKIT COVID-19

Ni Putu Dian Wela Kusuma


P07134019082
IV B

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR


JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS PRODE DII
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2020/2021
1. Pengertian
COVID-19 adalah nama yang diberikan oleh WHO untuk menjelaskan penyakit yang
disebabkan oleh virus Corona jenis baru. Covid 19 ini disebabkan oleh virus SARS-Cov-2.
SARS-CoV-2 adalah corona virus ketujuh yang teridentifikasi dan diketahui menginfeksi
manusia (HCoV). Empat virus jenis ini, yaitu HCoV-229E, HCoV-NL63, HCoV-HKU1, dan
HCoV-OC43, bersifat endemik, musiman, dan cenderung menyebabkan penyakit saluran
napas ringan. Dua virus lainnya adalah coronavirus Middle East Respiratory Syndrom (MERS-
CoV) dan Corona virus Severe Acute Respiratory Syndrome tipe 1 (SARS-CoV-1) yang
bersifat zoonotik dan lebih virulen.
SARS-CoV-2 secara genetik paling mirip dengan SARS-CoV-1, dan kedua virus ini
masuk dalam subgenus Sarbecovirus di bawah genus Betacoronavirus. Namun, SARS-CoV-1
saat ini tidak diketahui sedang bersirkulasi pada populasi manusia.

Virus ini berukuran sekitar 120-160 nm, memiliki selubung (envelop), memiliki untai RNA
positif, memeiliki beberapa protein struktural dengan ukuran genom sekitar 30 kb dan
melakukan replikasi di sitiplasma.
2. Patogenesis
Patogenesis infeksi COVID-19 belum diketahui seutuhnya. Pada awalnya diketahui
virus ini mungkin memiliki kesamaan dengan SARS dan MERS CoV, Analisis filogenetik
menunjukkan COVID-19 merupakan bagian dari subgenus Sarbecovirus dan genus
Betacoronavirus. Penelitian hingga saat ini menunjukkan kemungkinan proses masuknya
COVID-19 ke dalam sel mirip dengan SARS.
Hal ini didasarkan pada kesamaan struktur 76% antara SARS dan COVID-19. Sehingga
diperkirakan virus ini menarget Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2) sebagai reseptor
masuk dan menggunakan serine protease TMPRSS2 untuk priming S protein, meskipun hal ini
masih membutuhkan penelitian lebih lanjut
Virus ini dapat terdeteksi di saluran pernapasan atas (SPA) 1-3 hari sebelum munculnya
gejala. Konsentrasi SARS-CoV-2 pada SPA mencapai tingkat tertinggi di sekitar waktu
munculnya gejala, dan setelah itu perlahan akan menurun. Beberapa penelitian melaporkan
beban virus yang lebih tinggi pada pasien-pasien yang sakit parah dibandingkan pasien-pasien
dengan penyakit ringan, sedangkan penelitian-penelitian lain tidak melaporkan perbedaan
serupa. Keberadaan virus RNA di saluran pernapasan bawah (SPB) dan pada feses, untuk
sebagian orang, meningkat pada minggu kedua setelah penyakit terjadi.
Pada beberapa pasien, RNA virus bisa hanya terdeteksi selama beberapa hari,
sedangkan pada pasien lain RNA ini dapat terdeteksi hingga beberapa minggu, kemungkinan
juga beberapa bulan. Keberadaan RNA virus yang berkepanjangan tidak selalu menandakan
bahwa orang tersebut dapat menyebarkan infeksi lebih lama juga.
Beberapa penelitian mendeskripsikan korelasi antara menurunnya sifat infeksius ini
dan i) semakin lamanya (dalam hitungan hari) sejak muncul dan meredanya gejala, ii)
penurunan beban virus pada sekresi saluran pernapasan ,peningkatan antibodi yang
menetralkan
Bagi orang-orang yang mengalami penyakit COVID-19, gejalanya dapat sangat
bermacam-macam pada tahap awal presentasi penyakit ini. Orang-orang dapat menunjukkan
gejala yang sangat ringan, dengan gejala serupa pneumonia, demam/sepsis, dan yang lebih
jarang gejala-gejala gastroenteritis atau neurologis. Jika diperlukan untuk tatalaksana kasus,
pasien juga perlu dites untuk patogen-patogen lain sesuai rekomendasi panduan tatalaksana
klinis setempat, tetapi tindakan ini tidak boleh sama sekali menunda tes untuk SARS-CoV-2.
Transmisi dapat berasal dari hewan mamalia seperti kelelawar, kambing dan unta.
Penularan antar manusia dapat terjadi tetapi masih sangat terbatas, penularan ini dapat
berlangsung secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung melalui percikan dahak atau
droplet pada saat penderita mengalami batuk atau bersin, sedangkan secara tidak langsung
dapat melalui kontak dengan benda yang telah terkontaminasi oleh virus atau benda yang telah
dipegang oleh si penderita.
3. Identifikasi Laboratorium

A. Spesimen yang diambil


Spesimen mana yang optimal bergantung pada presentasi klinis dan lama waktu sejak
munculnya gejala. Minimal, spesimen saluran pernapasan harus diambil.
- Spesimen saluran pernapasan
• Spesimen saluran pernapasan atas cukup untuk tes infeksi tahap awal, terutama
pada kasus asimtomatik atau ringan. Tes gabungan usap nasofaringeal dan orofaringeal
dari satu orang telah terbukti meningkatkan sensitivitas deteksi virus saluran
pernapasan dan meningkatkan keandalan hasilnya. Dua usap terpisah dapat
digabungkan ke dalam satu tabung ambilan atau usap nasofaringeal dan orofaringeal
dapat digabungkan. Sejumlah penelitian menemukan bahwa usap nasofaringeal
memberikan hasil yang lebih terandalkan dibandingkan usap orofaringeal.
• Spesimen saluran pernapasan bawah dianjurkan jika pengambilan dilakukan
pada tahap-tahap lanjut penyakit COVID-19 atau pada pasien dengan hasil sampel SPA
yang secara klinis diduga kuat mengalami COVID-19.
- Spesimen SPB
Dapat terdiri dari sputum, jika dihasilkan secara spontan (sputum hasil induksi tidak
direkomendasikan karena menimbulkan peningkatan risiko transmisi aerosol [99]),
dan/atau aspirat endotrakeal atau lavage bronkoalveolar pada pasien dengan penyakit
saluran pernapasan parah. Tingginya risiko aerosolisasi harus diwaspadai; karena itu,
kepatuhan ketat pada prosedur PPI wajib dilakukan saat pengambilan sampel. Indikasi
prosedur invasif harus dievaluasi oleh seorang dokter.
- Spesimen fekal
Sejak minggu kedua setelah munculnya gejala, NAAT dapat dipertimbangkan
untuk spesimen fekal jika spesimen SPA dan SPB negatif dan masih ada dugaan klinis akan
infeksi COVID-19 [126]. Saat mengetes feses, pastikan metode ekstraksi yang
direncanakan dan NAAT telah divalidasi untuk jenis sampel ini.
- Spesimen postmortem
Jika orang yang bersangkutan telah meninggal, pertimbangkan usapan post-
mortem, biopsi jarum, atau spesimen jaringan dari autopsi, termasuk jaringan paru-paru
untuk dilakukan tes patologis dan mikrobiologis lebih lanjut
- Spesimen serum
Jika didapat hasil NAAT negatif dari pasien yang diduga kuat mengalami SARS-
CoV-2, pengambilan spesimen serum berpasangan dapat dilakukan. Satu spesimen yang
diambil pada fase akut dan satu spesimen lainnya pada fase konvalesen 2-4 minggu
kemudian dapat digunakan untuk mencari serokonversi (berkembangnya respons antibodi
yang dapat terukur setelah infeksi) atau peningkatan titer antibodi. Kedua sampel ini dapat
digunakan secara retrospektif untuk menentukan apakah orang yang bersangkutan pernah
terkena COVID-19, terutama jika infeksinya tidak terdeteksi NAAT.
B. Penanganan Sampel
Spesimen untuk deteksi virus harus sampai di laboratorium sesegera mungkin
setelah pengambilan. Penanganan spesimen secara tepat selama transportasi dan di
laboratorium sangat penting. Spesimen harus di beri label dengan tepat dan disertai formulir
permohonan diagnosis (templat formulir permohonan, termasuk informasi klinis yang
wajib, dapat dilihat di Lampiran 2). Jika laboratorium diberi tahu sebelum pengiriman
spesimen dan diberi informasi latar yang penting bersamaan dengan permohonan
diagnosis, laboratorium dapat memproses spesimen serta melaporkan hasilnya dengan
sesuai dan tepat waktu.
Sampel dapat disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu 4-8 0 C. Segera
lakukan pemeriksaan dalam 24 – 72 jam setelah pengambilan sampel. Jika tidak bisa
dilakukan pemeriksaan langsung sampel harap di simpan pada suhu -70 0 C sampai – 80 0
C
C. Pemeriksaan
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis terutama gambaran riwayat perjalanan atau riwayat kontak erat
dengan kasus terkonfirmasi atau bekerja di fasyankes yang merawat pasien infeksi COVID-
19 atau berada dalam satu rumah atau lingkungan dengan pasien terkonfirmasi COVID-19
disertai gejala klinis dan komorbid. 15,17
Gejala klinis bervariasi tergantung derajat penyakit tetapi gejala yang utama adalah
demam, batuk, mialgia, sesak, sakit kepala, diare, mual dan nyeri abdomen. Gejala yang
paling sering ditemui hingga saat ini adalah demam (98%), batuk dan mialgia

Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain :


1. Pemeriksaan NAAT
Beberapa sistem NAAT memiliki kemampuan melakukan tes secara otomatis
penuh yang mengintegrasikan pemrosesan sampel serta kapasitas ekstraksi, amplifikasi,
dan pelaporan RNA. Sistem-sistem tersebut memberikan akses pada tes di wilayah-wilayah
dengan kapasitas laboratorium yang terbatas serta waktu ketersediaan hasil yang cepat saat
digunakan untuk tes di dekat pasien.
Hasil NAAT positif lemah perlu diinterpretasi secara hati-hati, karena beberapa asai
terbukti menghasilkan sinyal palsu dengan nilai Ct yang tinggi. Saat hasil tes terbukti
invalid atau diragukan, pengambilan sampel pasien harus diulang dan pasien dites lagi. Jika
sampel-sampel tambahan dari pasien tidak tersedia, RNA harus diekstraksi kembali dari
sampel awal dan dites lagi oleh staf yang banyak berpengalaman.
Sejumlah faktor dapat menimbulkan hasil negatif pada orang yang terinfeksi, seperti:
- kualitas spesimen yang buruk karena berisi terlalu sedikit material pasien;
- spesimen yang diambil terlalu lama dalam perjalanan penyakit, atau spesimen yang
diambil dari bagian tubuh yang tidak mengandung virus pada waktu diambil;
- penanganan dan/atau pengiriman spesimen yang tidak tepat; dan
- alasan-alasan teknis di dalam tes, seperti hambatan PCR atau mutasi virus.
2. CT Scan
Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan derajat morbiditas. Pada pneumonia
dilakukan foto toraks, bisa dilanjutkan dengan computed tomography scan (CT scan) toraks
dengan kontras. Gambaran foto toraks pneumonia yang disebabkan oleh infeksi COVID-
19 mulai dari normal hingga ground glass opacity, konsolidasi. CT scan toraks dapat
dilakukan untuk melihat lebih detail kelainan, seperti gambaran ground glass opacity,
konsolidasi, efusi pleura dan gambaran pneumonia lainnya.
3. Metode RT-PCR
Metode ini berfungsi mendeteksi adanya virus dalam tubuh pasien melalui reaksi rantai
polimerase dengan primer atau probe yang khusus menargetkan genom SARS-CoV-2,
sehingga jumlah cDNA SARS-CoV-2 dalam spesimen pasien dapat dihitung (Bai, Cai, and
Zhang, 2020). Respons antibodi manusia untuk melawan virus pada awal infeksi dapat
digunakan untuk mendukung diagnosis infeksi virus. Deteksi antibodi IgM bisa mengindikasi
adanya pajanan baru (recent exposure) SARS-CoV-2, sedangkan deteksi antibodi IgG
mengindikasi pajanan virus yang sudah lama (Li et al., 2020). Salah satu metode yang dapat
digunakan untuk mengetahui adanya antibodi di dalam tubuh adalah rapid test antibody. Rapid
test antibody menggunakan prinsip lateral flow assay, yang mampu mendeteksi antibodi dalam
waktu 5−30 menit, dan proses pemeriksaannya tidak membutuhkan peralatan dan kemampuan
khusus.Sementara pemeriksaan RT-PCR yang menggunakan sampel swab orofaring,
nasofaring, atau sputum dijadikan pemeriksaan konfirmasi adanya SARS-CoV-2 di dalam
tubuh.

Keunggulan yang dimiliki metode RT-PCR adalah kemampuan alatnya yang mampu
memeriksa dalam jumlah banyak dalam satu waktu. Namun metode RT-PCR membutuhkan
teknisi profesional yang mampu melakukan pemeriksaan RT-PCR dan menganalisis data
dengan tepat, serta peralatan khusus karena proses pengerjaannya yang relatif lebih rumit.

4. Rapid Test
Antibody lebih unggul jika dibandingkan dengan metode RT-PCR karena mudah
dilakukan dan menghemat waktu. Pemeriksaan rapid test antibody tidak memerlukan peralatan
yang rumit dan khusus. Pengerjaannya pun relatif cepat, setiap pemeriksaan satu sampel hingga
hasil bisa diinterpretasi.
Membutuhkan waktu 15−20 menit. Selain itu pemeriksaan ini juga bisa digunakan
untuk pengujian massal yang bisa dilakukan di rumah sakit, klinik, laboratorium, di kawasan
bisnis, sekolah, bandara, pelabuhan dan stasiun kereta api. Tidak seperti pengerjaan RT-PCR
yang membutuhkan laboratorium minimal dengan fasilitas BSL-2 (World Health Organization,
2020b). Penggunaan sampel berupa serum atau plasma darah yang bisa diambil melalui vena
maupun jari tangan, juga mengurangi risiko paparan aerosol berupa batuk maupun bersin dari
pasien kepada petugas laboratorium yang mungkin terjadi saat pengambilan sampel pada swab
nasofaring atau orofaring.
5. Uji LAMP (Loop-mediated Isothermal Amplification)
Dapat dilakukan secara cepat dan tidak memerlukan reagen atau instrumen yang mahal,
sehingga penerapan uji LAMP dapat membantu mengurangi biaya untuk deteksi virus. Sebab
LAMP merupakan teknologi yang baru, maka masih sedikit bukti yang mendukung aplikasi
dan penggunaannya. Namun demikian, saat ini banyak perusahaan diagnostik yang sedang
melakukan uji klinik untuk mendukung deteksi COVID19 menggunakan teknologi LAMP.
Seperti teknik RT-PCR, teknik LAMP juga dapat dilakukan untuk deteksi ada atau tidaknya
RNA SARS-CoV-2 di dalam sampel pasien klinis. Teknik LAMP mengamplifikasi area
tertentu dari materi genetik virus, biasanya bagian protein S, N dan E atau sekaligus deteksi di
beberapa wilayah.
Tes LAMP untuk deteksi COVID-19 dimulai dengan pengumpulan sampel swabdari
hidung atau tenggorokan, atau dapat juga dengan menggunakan sampel lendir (sputum/dahak)
yang dihasilkan dari batuk. Seperti teknik RT-PCR, pada tes LAMP juga dilakukan konversi
RNA virus sampel menjadi DNA untuk kemudian diamplifikasi. Kemudian, keberadaan DNA
pada sampel dapat terdeteksi berdasarkan sifat turbidity (kekeruhan).
Campuran reaksi LAMP akan berubah menjadi keruh karena adanya produksi bahan
kimia magnesium pirofosfat. Oleh karenakekeruhan ini dapat dilihat dengan mata telanjang,
maka akan memudahkan deteksi COVID-19. Keakuratan hasil uji dengan teknik LAMP dapat
ditingkatkan dengan penggunaan pewarna fluoresen khusus, yang dapat berubah warna ketika
terjadi reaksi campuran. Ketika zat warna berinteraksi dengan DNA virus, intensitas cahaya
atau perubahan warna yang terjadi dapat diukur, sehingga dapat juga digunakan untuk
perkiraan jumlah molekul virus RNA yang terdapat di dalam sampel.
6. Lateral Flow Assay
Lateral Flow Assay, disebut juga sebagai ‘tes antibodi’, merupakan teknik untuk
deteksi antibodi terhadap penyakit dengan menggunakan sampel darah pasien. Tes Lateral
Flow menggunakan teknologi yang sama dengan teknik yang biasa digunakan untuk tes
kehamilan. Tes ini dapat mendeteksi antibodi terhadap virus dari darah pasien, serta dapat
menunjukkan apakah pasien masih terinfeksi atau telah pulih dari COVID-19.
Teknik Lateral Flow Assay mendeteksi respon antibodi pasien terhadap virus dan tidak
mendeteksi keberadaan virus itu sendiri. Tes Lateral Flow dapat diselesaikan dengan cepat,
sekitar 15 menit. Lateral Flow Immunoassay yang dikembangkan untuk uji SARS-CoV-2
mampu mendeteksi dua jenis antibodi, yaitu IgG dan IgM, yang menunjukkan adanya
kekebalan terhadap SARS-CoV-2 di dalam tubuh.

Teknik Lateral Flow Immunoassay yang mendeteksi antibodi IgG dan IgM ini sangat
mudah dibaca dan juga adanya garis kontrol yang ketika muncul dapat menunjukkan bahwa
pengujian telah berfungsi dengan benar. Garis uji akan muncul ketika salah satu dari kedua
jenis penanda antibodi tersebut ditemukan di dalam sampel. Kemunculan salah satu dari dua
garis penanda IgG atau IgM, atau kemunculan keduanya, mengindikasikan hasil tes positif,
yang menunjukkan bahwa pasien saat ini telah terinfeksi.
4. Pencegahan
Pencegahan utama adalah membatasi mobilisasi orang yang berisiko hingga masa
inkubasi. Pencegahan lain adalah meningkatkan daya tahan tubuh melalui asupan makanan
sehat, meperbanyak cuci tangan, menggunakan masker bila berada di daerah berisiko atau
padat, melakukan olah raga, istirahat cukup serta makan makanan yang dimasak hingga matang
dan bila sakit segera berobat ke RS rujukan untuk dievaluasi.11,15,22
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk pencegahan primer. Pencegahan sekunder
adalah segera menghentikan proses pertumbuhan virus, sehingga pasien tidak lagi menjadi
sumber infeksi. Upaya pencegahan yang penting termasuk berhenti merokok untuk mencegah
kelainan parenkim paru.
Pencegahan pada petugas kesehatan juga harus dilakukan dengan cara memperhatikan
penempatan pasien di ruang rawat atau ruang intensif isolasi. Pengendalian infeksi di tempat
layanan kesehatan pasien terduga di ruang instalasi gawat darurat (IGD) isolasi serta mengatur
alur pasien masuk dan keluar. Pencegahan terhadap petugas kesehatan dimulai dari pintu
pertama pasien termasuk triase. Pada pasien yang mungkinmengalami infeksi COVID-19
petugas kesehatan perlu menggunakan APD standar untuk penyakit menular. Kewaspadaan
standar dilakukan rutin, menggunakan APD termasuk masker untuk tenaga medis (N95),
proteksi mata, sarung tangan dan gaun panjang (gown)
5. Pengobatan
Sampai saat ini, belum ada obat untuk mengatasi penyakit COVID-19. Jika Anda di
diagnosis COVID-19 tetapi tidak mengalami gejala atau hanya mengalami gejala ringan, Anda
bisa melakukan perawatan mandiri di rumah, yaitu:
Lakukan isolasi mandiri selama 2 minggu dengan tidak keluar rumah dan menjaga jarak
dengan orang dalam satu rumah.
- Ukur suhu tubuh 2 kali sehari, pagi dan malam hari.
- Cuci tangan dengan sabun, air mengalir, atau hand sanitizer.
- Banyak minum air putih untuk menjaga kadar cairan tubuh.
- Istirahat yang cukup untuk mempercepat proses penyembuhan.
- Konsumsi obat pereda batuk, demam, dan nyeri, setelah berkonsultasi dengan dokter.
- Perhatikan gejala yang Anda alami dan segera hubungi dokter jika gejala memburuk.
Penelitian menunjukkan bahwa pasien COVID-19 dengan gejala ringan dapat sembuh
dalam 2 minggu. Namun, sebelum Anda mengakhiri isolasi mandiri dan kembali beraktivitas,
tetap lakukan konsultasi dengan dokter untuk mengetahui apakah Anda sudah memenuhi
kriteria sembuh dari COVID-19.
Jika Anda didiagnosis COVID-19 dan mengalami gejala berat, dokter akan merujuk Anda
untuk menjalani perawatan dan karantina di rumah sakit rujukan. Metode yang dapat dilakukan
dokter antara lain:
- Memberikan obat untuk mengurangi keluhan dan gejala
- Memasang ventilator atau alat bantu napas
- Memberikan infus cairan agar tetap terhidrasi
- Memberikan obat pengencer darah dan pencegah penggumpalan darah
Penelitian untuk mencari metode pengobatan yang efektif dalam mengatasi penyakit
COVID-19 masih terus dilakukan. Beberapa jenis obat yang diteliti untuk mengatasi COVID-
19 adalah remdesivir, lopinavir-ritonavir, dan favipiravir.
Di antara obat-obatan tersebut, remdesivir dinilai paling efektif dalam mengatasi COVID-
19 pada beberapa pasien. Meski demikian, penelitian tentang efektivitas remdesivir masih terus
berlanjut.
REFERENSI

Herawati,N. 2020. Jenis-Jenis Metode Rapid-Test Untuk Deteksi Virus SARS-CoV-2. Pusat
Penelitian Bioteknologi, Jakarta. Diakses pada 19 Maret 2021

Handayani.D, Rendra.D, DKK. 2020. Respirologi Penyakit Virus Corona 2019. Departemen
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,Rumah
Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta. Diakses pada 19 Maret 2021.

WHO. 2020. Tes Diagnostik Untuk SARS-COV-2. Diakses pada 19 Maret 2021

Agustina.S, Fajrunni.R,. 2020. PERBANDINGAN METODE RT-PCR DAN TES RAPID


ANTIBODI UNTUK DETEKSI COVID-19. Jurusan Teknologi Laboratorium Medis Poltekkes
Kemenkes Jakarta III. Diakses pada 19 Maret 2021

Anda mungkin juga menyukai