Anda di halaman 1dari 3

KRITERIA TERBARU PASIEN COVID-19 DIPULANGKAN

Ari Baskoro 1

1
Divisi Alergi-Imunologi Klinik
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam FKUA/RS Dr. Soetomo Surabaya

Problema yang dihadapi Jawa Timur, khususnya kota Surabaya dalam


menghadapi Covid-19 yang saat ini amat dirasakan, adalah terbatasnya tempat perawatan
pasien Covid-19. Rumah sakit yang dikategorikan sebagai rumah sakit rujukan Covid-
19, kewalahan menampung pasien yang terus datang mengalir, sementara ketersediaan
ruang perawatan yang ideal untuk merawat penyakit yang sangat menular ini tidak dapat
dipenuhi dengan cepat. Dampak beranting yang mungkin timbul dari permasalahan ini,
adalah relatif terbengkalainya pengelolaan pasien-pasien non-Covid-19, karena segala
daya dan upaya fasilitas dan tenaga kesehatan lebih banyak terfokus pada “kedaruratan”
perawatan penyakit penyebab pandemi kali ini. Makna dari efek domino seperti ini,
mempunyai konsekuensi “harus” siapnya rumah sakit-rumah sakit non-rujukan Covid-19
merawat penyakit tersebut. Dampak yang bisa diprediksi dari alur masalah ini adalah
semakin meningkatnya risiko paparan Covid-19 pada tenaga medis dengan segala
akibatnya.

Salah satu aspek yang memberikan kontribusi pada keruwetan masalah ini,
adalah jangka perawatan yang menjadi (lebih) lama, karena kriteria dipulangkannya
pasien dari tempat perawatan, tergantung pada hasil tes PCR yang harus negatip pada
pemeriksaan dua kali berturut-turut, dengan selang waktu diantaranya adalah lebih dari
24 jam. Ini mengacu pada rekomendasi WHO yang dipublikasikan pada 12 Januari 2020.
Kesulitan dilapangan adalah tidak selalu mudahnya mengakses pemeriksaan PCR ini,
baik dari sisi waktu dan pembiayaan.

COVID 19 REVIEW | PAPDI SURABAYA | 28 JUNI 2020 | VOL 35 Hal 1


Covid-19 merupakan penyakit baru yang dampaknya sangat mengagetkan
dan tidak semua negara bisa dikatakan siap untuk menghadapi krisis seperti ini.
Perkembangan pengetahuan tentang “tingkah laku” SARS-CoV-2, sebagai virus yang
bertanggung jawab terhadap pandemi ini serta dampak penyakit yang ditimbulkannya,
selalu dipantau oleh para ahli diseluruh dunia dan masukan-masukan yang diberikannya
akan selalu dijadikan bahan pertimbangan para ahli di WHO untuk memberikan
rekomendasinya. Oleh karena itu, rekomendasi pertama yang dipublikasikan WHO
tanggal 12 Januari tersebut perlu direvisi. Rekomendasi pertama WHO, terutama
didasarkan atas pengalaman menghadapi kasus-kasus Covid-19 di Tiongkok dan
penyakit-penyakit yang sebelumnya juga disebabkan oleh virus Corona dan pernah
menggegerkan dunia yaitu SARS (Severe Acute Respiratory Infection) pada sekitar tahun
2002, serta MERS (Middle East Respiratory Syndrome) pada tahun 2012.

Pemeriksaan PCR yang spesimennya diambil dari swab nasofaring


(tenggorok bagian atas yang terletak dibelakang hidung dan dibalik langit-langit rongga
mulut), bertujuan memeriksa material RNA virus penyebab Covid-19. Adanya hasil tes
PCR yang positip, tidak serta merta mengatakan virus tersebut dalam keadaan “hidup”
dan dapat menularkan penyakit. Hasil tes PCR ini harus dikorelasikan dengan fase
manifestasi penyakit yang ditimbulkannya tersebut. Setelah seseorang tertular dan
mengalami infeksi, virus ini sudah bisa dideteksi keberadaannya pada spesimen saluran
nafas dalam 1-3 hari sebelum awal gejala timbul. Pada kasus yang gejalanya ringan, bisa
terdeteksi hingga sekitar 8 hari. Pada kasus tanpa gejala, waktunya bisa lebih singkat,
sedangkan pada kasus yang lebih berat, periode ini bisa lebih lama lagi dan umumnya
mencapai puncaknya pada minggu kedua setelah terjadinya infeksi. Tingginya
jumlah/beban virus dalam tubuh seseorang, sangat erat kaitannya dengan awal timbulnya
gejala, disamping dapat menunjukkan potensi penularan pada stadium dini terjadinya
infeksi tersebut. Material RNA virus ini, bisa terdeteksi pada feces, darah, ludah, dahak
dan air seni. Hal ini menunjukkan, sebaran virus tidak hanya pada jaringan paru sebagai
organ target utama, namun juga menyasar organ lain, seperti ginjal, usus, otak, mata,
testis dan jantung. Organ-organ diluar paru inilah yang nantinya sebagai reservoar virus
yang akan “menumpahkan” isinya (walaupun sudah dalam keadaan “mati”/tidak aktif),
saat fase penyembuhan. Hasil tes PCR yang positip, bisa berasal dari material virus yang

COVID 19 REVIEW | PAPDI SURABAYA | 28 JUNI 2020 | VOL 35 Hal 2


sudah tidak infeksius lagi, kecuali bila hasil spesimen tersebut dilakukan kultur dan
didapatkan virus yang masih hidup/aktif yang berarti masih infeksius. Pemahaman
persoalan ini, antara lain menjadi konsep revisi rekomendasi WHO yang telah
dipublikasikan pada tanggal 27 Mei 2020.

Isolasi, baik yang dilakukan secara mandiri, di rumah sakit atau tempat-
tempat perawatan lainnya, bertujuan untuk memutus mata rantai penularan penyakit.
Penularan tidak akan terjadi jika melalui pemeriksaan swab PCR, dinyatakan negatip
sebanyak 2 kali secara berturut-turut dengan selisih waktu diantaranya adalah lebih dari
24 jam. Pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan lagi berdasarkan rekomendasi terbaru dari
WHO. Rekomendasi tersebut menggunakan kriteria klinis :

- Untuk pasien yang mempunyai gejala : 10 hari setelah timbulnya gejala, ditambah 3
hari bebas gejala (tidak didapatkan demam dan gejala-gejala pada saluran nafas).
- Untuk kasus yang tanpa gejala : 10 hari setelah dinyatakan positip Covid- 19 melalui
pemeriksaan swab PCR.
- Diluar kriteria diatas, WHO mempersilakan menggunakan pendekatan swab PCR
seperti kebijakan sebelumnya.

Sebagai contoh, bila seseorang mengalami gejala klinis selama 2 hari, maka
pada kasus ini tidak perlu menjalani isolasi setelah 10 hari + 3 = 13 hari, setelah awal
timbulnya gejala. Pada pasien bergejala klinis selama 14 hari, tidak perlu menjalani
isolasi lagi setelah 14 hari + 3 =17 hari, terhitung setelah awal terjadinya gejala. Bila
seorang pasien bergejala klinis selama 30 hari, tidak perlu menjalani isolasi lagi setelah
30 hari + 3 = 33 hari, terhitung setelah awal terjadinya gejala.

Rekomendasi terbaru WHO ini bisa memangkas lamanya waktu isolasi


dengan berbagai macam dampaknya, mengurangi biaya dan pemeriksaan swab PCR
yang tidak perlu, serta tidak perlu lagi mempertentangkan hasil pemeriksaan swab PCR
yang kadang kala memberi hasil positip, kadang kala pula memberi hasil negatip.
Keraguan terhadap hasil tes ini bisa disingkirkan.

COVID 19 REVIEW | PAPDI SURABAYA | 28 JUNI 2020 | VOL 35 Hal 3

Anda mungkin juga menyukai