DENGAN DIALISIS KRONIS DI FASILITAS KESEHATAN DI PERANCIS dr. Meinar Puspitaningrum dr. Muhammad Fahryzal dr. Nofi Fitriyani DISKUSI • Dari 2.336 pasien dengan dialysis kronis, sebanyak 129 pasien (5.5%) terinfeksi COVID-19. • Sebanyak 81% pasien dirawat di rumah sakit. • Pasien yang dirawat jalan harus datang tiga kali seminggu ke unit dialisis yang ditunjuk. • Penelitian dilakukan di beberapa fasilitas dialisis di dua kota yang berbeda, yaitu pasien ESRD di Champagne, wilayah timur laut Perancis dan di Marseille, di wilayah selatan Perancis. Kedua wilayah tersebut dipilih karena memiliki persamaan karakter kasus COVID-19. • Pelaksanaan skrining dari RS ikut berpengaruh terhadap angka kasus Covid-19. Sebagai contoh, di Marseille, hanya RS Bouchard saja yang melakukan skrining secara sistematik pada semua pasien hemodialisis yang dirawat. 5 orang pasien terkonfirmasi positif meskipun tanpa gejala, menjadikan RS Bouchard memiliki tingkat insiden lebih tinggi (8.3%). DISKUSI ◦ Dari 122 kasus, 77 pasien (63%) dapat bertahan hidup, dan 16% dibawa ke ICU (dengan 42% mortalitas). Total 28% pasien meninggal dunia, hanya 7% dari 28% tersebut meninggal dunia setelah ditransfer ke ICU. ◦ Angka mortalitas jauh lebih tinggi dibandingkan angka nasional, namun relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan kasus di negara lain. ◦ Jumlah kasus COVID-19 yang relatif kecil menjadi poin tersendiri dalam studi terkait, kususnya keberagaman dalam hal mortalitas. ◦ Kelebihan lain dari penelitian ini adalah pasien yang sembuh, diperbolehkan pulang, atau mendapatkan perawatan lanjutan selama 28 hari, jika dibandingkan pasien dari studi kohor lain, pasien yang sembuh yang masih harus dirawat di rumah sakit guna penelitian lanjutan. DISKUSI Penelitian ini memiliki dua variabel independen dan robust dalam mendeteksi terjadinya kondisi kritis dan mortalitas global. 1) Pemberian oksigen dua kali lipat pada kelompok pasien kritis (67%) dibanding pada kelompok non kritis (32%). Penelitian ini menjadi penelitian pertama yang menunjukan terapi oksigen pada pasien ESRD stadium V, terbukti lebih signifikan jika dilakukan sejak awal jika dibandingkan pada penyakit saluran napas lainnya. 2) Penurunan hitung limfosit. Pada kenyataannya, rata-rata hitung limfosit adalah 0.3 kali lipat lebih rendah pada kelompok kritis (0.6 G/L) dibandingkan pada kelompok non kritis (0.9 G/L). Limfopenia sejak awal telah muncul dan dikaitkan dengan penyakit-penyakit parah selama infeksi COVID-19 pada pasien dialisis dan pada populasi umum. Dalam penelitian ini, hitung limfosit menjadi penanda yang lebih baik atas terjadinya perburukan, dibandingkan penanda lain, seperti CRP atau LDH. Tidak ada hubungan antara kematian dengan faktor resiko yang sebelumnya telah diidentifikasi seperti usia, obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular. Namun, karena jumlah kasus di studi kohor yang relatif kecil, dan kebanyakan pasien berusia tua serta memiliki tingkat komorbid yang tinggi, menjadikan penelitian ini tidak cukup kuat mengidentifikasi variable- variabel tersebut sebagai faktor resiko. DISKUSI ◦ Terapi kombinasi AZT/HCQ digunakan secara luas oleh tim nephrologis di Marseille. ◦ Total 46% pasien mendapatkan terapi tersebut (86% di Marseille). Tidak terdapat perbedaan analisis univariate (51% terapi pada kelompok non kritis dengan 38% pada kelompok kritis). ◦ Sehingga disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang tingkat efektifitas terapi kombinasi AZT/HCQ. ◦ Pemberian terapi lainnya, seperti corticoids, terapi antiretroviral, dan profilaksis heparin juga tidak memberikan pengaruh apa pun pada masing-masing kelompok. ◦ Antibiotik sebagai pencegahan infeksi diberikan kepada sebagian besar pasien (90% dari keseluruhan pasien). ◦ Terapi yang lebih sering dibutuhkan pada kelompok kritis, seperti heparin, barangkali merefleksikan tingginya tingkat penanda pro-inflammatory dan pro-coagulant (neutrophil, CRP, dan fibrinogen), yang memang secara signifikan lebih tinggi di kelompok pasien ini. DISKUSI Pengaruh penggunaan ARB sebagai pengobatan : ◦ Analisis Multivariable menunjukan adanya kecenderungan efek protektif dari kombinasi dan juga pada mortalitas global (1% pada kelompok dengan ARBs dibanding 33% pada kelompok tanpa ARBs). ◦ Pada kelompok pasien yang memerlukan terapi oksigen (kecuali pasien tanpa gejala), didapatkan adanya efek protektif dari ARBs jangka panjang pada mortalitas global, namun tidak pada kombinasinya. Hal tersebut bisa jadi dikarenakan kurang kuatnya penggunaan ARBs tersebut. ◦ Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan ARBs sebelumnya memang tidak dikaitkan dengan diagnosis COVID- 19 atau dengan tingkat keparahan suatu penyakit. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan pada pasien non-dialysis. ◦ SARS-CoV-2 masuk ke dalam sel host melalui pengikatan protein S virus ke ACE2. Reseptor ACE2 receptor memiliki properti proinflammatory. ◦ Penggunaan recombinant ACE2 atau ARBs, dapat memperbaiki kondisi outcome pasien COVID-19 terutama mereka yang sedang sakit parah. Kesimpulan ◦ Dari keseluruhan populasi, COVID-19 paling banyak menginfeksi pasien dengan dialysis kronis. Dengan prognosis yang buruk pada pasien ESRD dan tingkat mortalitas 28%. ◦ Terapi oksigen dan lymphopaenia menentukan prognosis. ◦ Terapi umum dengan ARBs nampaknya lebih membawa hasil yang baik sehingga disarankan untuk terus diberikan pada pasien yang sedang dirawat. ◦ Tidak ditemukannya manfaat klinis dari penggunaan kombinasi AZT/HCQ.