Latar belakang : Menilai prevalensi dan faktor risiko leukopenia pada pasien tuberculosis
(TB) dan dampak regimen OAT pada kejadian leukopenia pada pasien yang baru menjalani
pengobatan OAT.
Metode : Sebanyak 1.904 pasien TB dinilai dalam penelitian ini. Survei prevalensi leukopenia
secara potong lintang dilakukan di awal studi dan faktor-faktor yang memengaruhi leukopenia
diidentifikasi menggunakan analisis regresi logistik. Faktor non-pengobatan yang memengaruhi
jumlah leukosit darah perifer dianalisis menggunakan model regresi proporsional COX univariat.
Analisis kovariat digunakan untuk menilai efek independen dari regimen OAT yang berbeda
pada jumlah leukosit darah perifer.
Hasil : Wanita, lansia dan riwayat durasi pengobatan OAT sebelumnya (> 6 bulan) adalah
faktor risiko leukopenia pada pasien tuberkulosis, sedangkan tuberkulosis paru sekunder, IMT
lebih (BMI: 24−27,9 kg / m2), dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi SMA atau lebih tinggi)
faktor protektif. Jenis kelamin, konsumsi sayuran, kebiasaan minuman beralkohol, infeksi paru-
paru, penyakit kronis lainnya, dan penggunaan antibiotik memiliki asosiasi bermakna dengan
kemungkinan terjadinya leukopenia pada pasien dengan penggunaan OAT. Pada pasien TB yang
diobati dengan regimen OAT tanpa antibiotik, jumlah leukosit pada pemeriksaan darah tepi
tampak berkurang secara gradual dan berbanding lurus dengan lamanya durasi pengobatan.
Pada pasien TB yang diobati dengan regimen OAT dengan antibiotik, jumlah leukosit pada
pemeriksaan darah tepi tampak berkurang secara signifikan.
Kesimpulan: Pasien wanita, lansia dan pasien TB relaps dengan riwayat konsumsi OAT lama
merupakan factor risiko tinggi terjadinya leukopenia. Perhatian khusus harus diberikan kepada
factor non-terapi seperti; pengaruh konsumsi minuman beralkohol dan sayuran, penyakit
komorbiditas dan penggunaan antibiotik selama pengobatan.
Kata kunci: Tuberkulosis; leukopenia; pengobatan anti-TB; faktor risiko
Introduksi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi pernapasan kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Pada tahun 2012 terdapat 8,6 juta kasus baru TBC dan 1,3 juta kasus kematian
terkait TB di seluruh dunia (1), sementara di Cina terdapat 1 juta kasus baru dan 44.000 kasus
kematian terkait TB (2). Prevalensi tuberkulosis tersebar heterogen di berbagai negara dan
wilayah; dimana Negara maju memiliki prevalensi rendah TB dan 95% pasien TB terdistribusi di
Negara berkembang (3). Cina merupakan satu dari 22 negara dengan beban tuberkulosis tertinggi
di seluruh dunia, kedua setelah India (4). Berdasarkan survei epidemiologi TB nasional kelima
pada tahun 2010 (5), prevalensi TB aktif di Cina adalah 459 / 1.015 pada responden berusia 15
tahun dan meningkat dengan bertambahnya usia, hal ini menunjukkan bahwa beban TB masih
OAT dapat membunuh dan menghambat Mycobacterium tuberculosis, tetapi OAT memiliki
berbagai efek samping pada system organ manusia, terutama sistem hematologi (6). Studi
antigen-antibodi. Saat kompleks ini diserap oleh leukosit, hal ini dapat menyebabkan lisis dan
target kerusakan sel, sehingga menyebabkan leukopenia (7-9). Studi oleh Nagayama dkk. di
Jepang menemukan OAT jenis isoniazid dan rifampisin dapat menyebabkan leukopenia (10);
sementara Lee et al. di Korea Selatan menemukan bahwa penggunaan OAT lini pertama dapat
kejadian leukopenia pada pengobatan awal dengan isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan
etambutol, rifapentine atau levofloxacin (12,13). Tetapi penelitian mengenai prevalensi dan
faktor risiko leukopenia pada pasien yang sedang menjalani terapi OAT masih jarang.
Pasien dengan leukopenia memiliki potensi imunosupresi. Leukopenia berat dapat menyebabkan
infeksi bakteri yang cukup berat (14). Studi ini menganalisis leukosit darah perifer kadar pada
pasien tuberculosis secara potong lintang, mengidentifikasi prevalensi dan faktor risiko
leukopenia pada pasien tuberkulosis, serta melakukan studi observasi lanjutan untuk
Metode
Subyek penelitian
Sebanyak 1.904 pasien TB di unit rawat jalan atau rawat inap yang dirawat di 11 rumah sakit di
Provinsi Jiangsu, Cina dari 1 Maret 2013 hingga 31 Mei 2013 sebagai responden penelitian. Usia
responden berkisar antara 15 hingga 93 tahun, dengan usia rata-rata 46,6 ± 19,5 tahun.
Responden terdiri dari 1.308 (68,7%) pria dan 596 (31,3%) wanita. Terdapat 1.440 kasus TB
baru dan 464 kasus TB lama. Kasus-kasus dengan jumlah hitung sel darah putih sama dengan
Dari jumlah TB kasus baru, sebanyak 1.249 responden berhasil menyelesaikan follow up dan
sebanyak 41 responden (3,18%) tidak dapat di- follow up. Kasus TB baru didefinisikan sebagai
pasien yang tidak pernah menerima OAT atau pernah menerima terapi OAT selama kurang dari
satu bulan. TB kasus lama didefinisikan sebagai pasien yang pernah menerima terapi OAT
selama minimal 1 bulan, termasuk pada kasus yang baru didiagnosis, TB relaps dan TB putus
obat. Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Penelitian Klinis di Rumah Sakit Nanjing Chest.
tatap muka. Kuesioner mencakup informasi dasar termasuk jenis kelamin, etnis, usia, domisili,
tingkat pendidikan, pendapatan, tinggi/berat badan, jaminan kesehatan, dan kebiasaan gaya
hidup; informasi terkait diagnosis dan perawatan termasuk diagnosis, komplikasi, kasus TB
baru/lama, lamanya gejala, proses perawatan, dan obat-obatan; temuan laboratorium, termasuk
pemeriksaan rutin darah, fungsi hati dan ginjal, serta informasi tindak lanjut termasuk durasi
pengobatan, regimen pengobatan, pemeriksaan darah serial, pemeriksaan fungsi hati dan ginjal
serial, dan berat badan pada minggu ke-2, 4 dan 8 selama terapi.
Analisis statistic
Dilakukan pemeriksaan jumlah leukosit dari sel darah tepi semua pasien dan dilakukan
perhitungan persentase pasien dengan leukopenia (jumlah leukosit <4,0 × 109 / L). Analisis
leukopenia pada pasien TB kasus baru/lama. Untuk menghindari bias faktor yang mempengaruhi
leukopenia, kami memilih tingkat signifikansi (α = 0,1). Secara statistik, tujuan ini adalah untuk
mengurangi kemungkinan kesalahan tipe II. Dengan demikian, digunakan variabel yang
menunjukkan perbedaan signifikan (P≤0.10) pada analisis univariat menjadi regresi logistik
faktor leukopenia pada pasien tuberkulosis. Kemudian, model regresi proporsional COX
univariat digunakan untuk memantau perubahan kadar leukosit pada pemeriksaan darah tepi
pasien TB kasus baru dengan jumlah leukosit awal normal atau lebih tinggi pada minggu terapi
OAT ke-2, 4 dan 8 untuk menggambarkan perubahan jumlah leukosit pada pemeriksaan darah
tepi dikelompokkan berdasarkan karakteristik demografis kebiasaan diet harian dan riwayat
penyakit (faktor non-OAT), serta untuk menganalisis faktor lain yang potensial mempengaruhi
hasil studi. Akhirnya, untuk menggambarkan tren perubahan dalam kadar leukosit darah tepi
pasien TB menerima regimen pengobatan yang berbeda, kami menggunakan analisis kovarians
untuk menilai dampak OAT pada kadar leukosit darah tepi. Semua analisis statistik dilakukan
Hasil
Sebanyak 1.904 pasien TB sebagai responden penelitian. Usia responden berkisar antara 15
hingga 93 tahun, dengan usia rata-rata 46,6 ± 19,5 tahun. Responden terdiri dari 1.308 (68,7%)
pria dan 596 (31,3%) wanita. Berdasarkan diagnosa, sebanyak 35 responden (1,8%) memiliki TB
paru primer, 23 responden (1,2%) memiliki TB diseminata, 1.325 (69,6%) responden memiliki
TB paru sekunder, 334 (17,6%) responden memiliki TBC pleura, dan 187 responden (9,8%)
Terdapat 1.440 kasus TB baru dan 464 kasus TB lama pada studi ini. Jumlah leukosit darah tepi
dasar pasien TB kasus baru adalah 6,4 ± 2,6 dan pada TB kasus lama adalah 6.6 ± 2.5. Prevalensi
leukopenia pada pasien TB kasus baru adalah 150 responden (10,4%), sementara pada TB kasus
lama adalah 42 responden (9,1%). Pada TB kasus baru, Analisis regresi logistik univariat
menunjukkan bahwa wanita, usia (36−55 tahun dan ≥56 tahun) dan diabetes adalah faktor risiko
untuk terjadinya leukopenia (P <0,10), sementara TB paru sekunder, BMI lebih (24−27,9 kg /
m2), tingkat pendidikan yang tinggi (SMA atau lebih tinggi) dan lamanya durasi gejala (> 6
bulan) merupakan faktor protektif (P <0,10). Analisis regresi logistik multivariat menunjukkan
bahwa wanita dan usia (36−55 tahun) merupakan faktor risiko independen (P <0,05), sedangkan
TB paru sekunder, BMI lebih (24−27,9 kg / m2) dan tingkat pendidikan tinggi (SMA atau lebih
Pada pasien TB kasus lama, Analisis regresi logistik univariat menunjukkan bahwa perempuan,
lansia (≥56 tahun) dan durasi pengobatan OAT yang lebih panjang (> 6 bulan) adalah faktor
risiko untuk leukopenia (P <0,10), sementara kebiasaan merokok dan minum beralkohol
merupakan adalah faktor protektif (P <0,10), hal ini mungkin disebabkan karena proporsi
responden pria yang memiliki kebiasaan merokok dan minum lebih tinggi pada studi ini,
sehingga hal tersebut patut dipertimbangkan untuk mencegah kesalahpahaman. Analisis regresi
logistik multivarian menunjukkan bahwa durasi pengobatan OAT yang lebih panjang (> 6 bulan)
adalah independen faktor risiko terjadinya leukopenia pada pasien TB kasus lama (P = 0,04).
Tren perubahan kadar leukosit darah tepi pada TB kasus baru dengan kadar leukosit dasar
Terdapat 1.249 kasus TB baru yang menjalani terapi OAT dengan kadar leukosit darah tepi dasar
normal atau lebih tinggi. Setelah 2 minggu terapi OAT, leukopenia muncul pada 129 pasien
(10,3%). Setelah 4 minggu terapi OAT pengobatan, 132 (10,6%) pasien mangkir, dan
104 (9,3%) pasien menampakan leukopenia. Setelah 8 minggu terapi OAT, 168 (15,0%) pasien
mangkir, dan 188 (19,8%) pasien menampakan leukopenia. Seiring dengan bertambah
meningkat secara bertahap, sedangkan kadar leukosit darah perifer menurun perlahan (P <0,001).
Tren perubahan kadar leukosit darah tepi pasien tuberkulosis berdasarkan faktor non-terapi
OAT
Pada studi ini kami menilai durasi pengobatan sebagai variabel waktu (2, 4 dan 8 minggu
pengobatan), leukopenia (jumlah sel darah putih <4.0 × 109 / L) sebagai variabel hasil, dan
demografis karakteristik, kebiasaan diet, serta penyakit terkait faktor sebagai variabel
independen, kami menganalisis 1.249 kasus TB baru menggunakan model regresi proporsional
COX univariat. Hasil penelitian menunjukkan jenis kelamin, konsumsi sayur-mayur, minum,
infeksi paru-paru, penyakit kronis lainnya, dan penggunaan antibiotik secara signifikan terkait
dengan perkembangan leukopenia pada pasien TB yang menggunakan memulai terapi OAT, hal
Dampak OAT terhadap tren perubahan pada kadar leukosit darah tepi pasien TB
Dari 1.249 pasien TB kasus baru, 882 pasien (70,6%) diobati dengan OAT lini pertama, yang
terdiri dari 2−3HRZE(S)/4−10HR(E), 200 pasien (16,0%) diobati dengan OAT lini pertama yang
dikombinasikan dengan OAT lini kedua, misalnya seperti asam 4-aminosalisilat, amikasin,
ofloxacin atau levofloxacin, hanya 8 pasien (0,7%) yang diobati dengan OAT lini kedua (karena
jumlah kasus terlalu kecil, sehingga tidak dimasukkan dalam analisis data); dan 159 pasien
lainnya (12,7%) dirawat dengan obat yang tidak diketahui, sehingga tidak dimasukkan dalam
analisis data. Jumlah leukosit darah tepi pasien TB yang diobati regimen yang berbeda pada titik
waktu yang berbeda setelah pengobatan, serta tren perubahan leukosit ditunjukkan pada Tabel 4
dan 5.
[Catatan: 2−3HRZE (S) / 4−10HR (E): isoniazid, rifampicin, pirazinamid, etambutol dengan
atau tanpa streptomisin selama 2-3 bulan, kemudian isoniazid, rifampisin dengan atau tanpa
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3, distribusi faktor-faktor yang tidak merata seperti
jenis kelamin, kebiasaan diet, dan komorbiditas memiliki pengaruh yang signifikan pada tingkat
leukosit darah tepi pasien TB. Setelah mengendalikan faktor di atas menggunakan analisis
kovarians, kami menilai efek independen terapi OAT pada jumlah leukosit darah tepi pasien TB,
dan hasil menunjukan jumlah leukosit darah perifer pada durasi tertentu merupakan efek dari
jenis terapi yang berbeda. Pasien dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan penggunaan
antibiotik atau tidak. Menurut hasil analisis kovarians, setelah mengendalikan berbagai factor
non-terapi yang telah disebutkan di atas, tidak didapatkan perbedaan pada jumlah leukosit darah
tepi di pemeriksaan minggu ke-2, 4, dan 8 setelah OAT. Hal ini menunjukan itu penggunaan
regimen OAT yang berbeda, yaitu lini pertama, regimen lini pertama dikombinasikan dengan lini
kedua, tidak memiliki efek yang signifikan secara statistik pada tingkat jumlah leukosit darah
tepi (Tabel 5). Sebaliknya, berdasarkan jumlah rata-rata leukosit darah tepi pada titik waktu
berbeda dari berbagai pasien yang diestimasikan oleh kovarians analisis regresi, ditemukan
bahwa pada pasien TB tanpa antibiotik, tingkat leukosit darah perifer tampak turun secara
bertahap seiring dengan perpanjangan durasi penggunaan OAT (P <0,001), sementara pada
pasien TB dengan antibiotik, tingkat leukosit darah tepi menunjukkan tren penurunan nyata pada
awal pemeriksaan, diikuti penurunan lambat atau sedikit peningkatan, meskipun masih di bawah
Pembahasan
Saat ini, beban TB masih tinggi di Cina, dengan tingginya prevalensi, tingkat resistensi obat
yang tinggi, mortalitas serta morbiditas yang tinggi (15). OAT mencapai tujuan pengobatan TBC
dengan melalui proses biologis setelah OAT masuk ke dalam tubuh manusia, tetapi terdapat
beberapa reaksi yang merugikan yang memengaruhi system organ manusia, termasuk sistem
hematologi, sistem pencernaan, ginjal dan fungsi hati dan sistem saraf pusat (15), dengan sistem
hematologi menjadi salah satu sistem yang paling terpengaruh (6). Penelitian ini menganalisis
hubungan karakteristik pasien TB dengan leukopenia, dengan menilai prevalensi dan faktor
risiko untuk leukopenia pada pasien TB, dan mengeksplorasi dampak OAT pada leukosit darah
perifer melalui pengamatan pada pasien TB kasus baru dan lama, sehingga memberikan dasar
tilikan bagi klinisi untuk waspada terhadap pasien risiko tinggi leukopenia selama masa terapi
OAT.
Studi ini menemukan bahwa pada pasien TB kasus baru, prevalensi leukopenia lebih tinggi pada
wanita, hasil ini sejalan dengan studi oleh Lee et al. (11) Hal ini mungkin disebabkan oleh
system imunitas wanita yang lebih rendah daripada pria. Selain itu, prevalensi leukopenia lebih
tinggi pada usia yang lebih lanjut, yang mungkin berhubungan dengan penurunan fungsi system
imunitas pada lansia (16). Hasil ini menunjukkan dibutuhkannya perhatian khusus pada evaluasi
hematologi dan fungsi sistem imun wanita dan lansia dalam pengobatan TB.
Kami menemukan bahwa prevalensi leukopenia yang lebih rendah pada pasien dengan tingkat
pendidikan tinggi, yang mungkin disebabkan oleh kebiasaan kesehatan dan gaya hidup yang
baik. Kami menyarankan bahwa pasien dengan TB harus mampu mengolah gaya hidup. Pasien
yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi menunjukkan pemahaman dan kepatuhan
pengobatan yang lebih baik. Modifikasi diet harian serta taraf BMI yang lebih tinggi juga
BMI yang lebih tinggi dikaitkan dengan asupan nutrisi yang relatif cukup dan beberapa studi
menunjukan bahwa pasien dengan kandungan protein tubuh yang lebih tinggi, memiliki kadar
Limfosit T-CD4 + yang lebih tinggi, yang dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh melalui
sekresi faktor limfatik (17), sementara diet harian tinggi sayur-mayur lebih berpotensi
menyebabkan leukopenia. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya asupan protein dan lemak.
Selain itu, kami menemukan bahwa prevalensi leukopenia lebih rendah pada pasien dengan TB
paru sekunder. Hipotesa kami hal ini disebabkan karena respon memori imun termediasi sel T
terhadap Infeksi TB sekunder lebih cepat daripada respon imun terhadap infeksi TB primer (15).
Selain itu, penelitian kami menemukan bahwa prevalensi leukopenia pada pasien TB kasus lama
yang menjalani terapi dengan riwayat konsumsi OAT durasi panjang (> 6 bulan)
lebih tinggi, dimana hasil ini konsisten dengan hasil sebelumnya (18). Pada pasien ini, fungsi
sistem imun tubuh menurun bertahap dan kemampuan untuk mempertahankan diri serta
mengeliminasi patogen berkurang. Akibatnya, komplikasi terkait paru-paru seperti infeksi sering
Pada pasien TB dalam terapi OAT tanpa antibiotic, prevalensi leukopenia secara meningkat
bertahap dan kadar leukosit darah tepi secara bertahap menurun seiring bertambahnya durasi
perawatan. Setelah mengendalikan berbagai factor non-terapi (jenis kelamin, konsumsi sayur-
mayur, minum, infeksi paru-paru, penyakit kronis lainnya) hasil dari pemeriksaan leukosit darah
tepi tidak berasosiasi dengan penggunaan regimen OAT yang berbeda, yaitu lini pertama,
regimen lini pertama dikombinasikan dengan lini kedua, serta tidak memiliki efek yang
signifikan secara statistik. Namun demikian kadar leukosit darah tepi menunjukkan penurunan
bertahap pada pasien yang menerima pengobatan rejimen jenis manapun. Studi telah
menunjukkan bahwa OAT dalam bentuk haptens melekat pada permukaan leukosit darah,
dapat dicerna oleh makrofag. OAT juga dapat mengikat protein makromolekular plasma, yang
kompleks ini diserap oleh leukosit, maka terjadi lisis leukosit dan kerusakan sel target,
menyebabkan leukopenia (7,11). Hasil penelitian kami juga menunjukkan bahwa OAT dapat
menyebabkan leukopenia dan jumlah leukosit darah perifer berkurang seiring meningkatnya
durasi penggunaan OAT. Pada pasien TB dalam terapi OAT dengan antibiotic, prevalensi
leukopenia secara bertahap meningkat dan kadar leukosit darah tepi menunjukkan penurunan
pada pasien yang diobati dengan regimen lini pertama, namun hal tersebut tidak ditemukan pada
pasien dalam terapi OAT kombinasi. Setelah melakukan control terhadap factor non-terapi, hasil
pemeriksaan tidak menunjukan perubahan yang berarti dan hanya terdapat sedikit peningkatan
leukosit darah tepi, meski jumlah leukosit tersebut masih berada di bawah batas dasar penilaian.
penjelasan yang mungkin adalah penggunaan antibiotik pada awal terapi menyebabkan
penurunan jumlah leukosit yang nyata. Kemudian dampak dari penggunaan antibiotik akan
leukosit dan makrofag polimorfonuklear, dengan demikian meningkatkan efek bakterisida sistem
kekebalan tubuh (19). Akibatnya, jumlah leukosit darah tepi jumlah menurun lambat atau sedikit
meningkat.
Kesimpulan
Pasien wanita, lansia dan pasien TB relaps dengan riwayat konsumsi OAT lama merupakan
factor risiko tinggi terjadinya leukopenia, sedangkan riwayat TB paru sekunder, BMI lebih,
tingkat pendidikan tinggi menunjukan prevalensi leukopenia yang rendah. OAT berkorelasi
signifikan pad prevalensi leukopenia, sedangkan factor on-terapi lain seperti konsumsi alcohol
dan sayur-mayur, penyakit komorbid serta penggunaan antibiotic juga berpengaruh terhdapa