Anda di halaman 1dari 37

PRAKTIK KEPERAWATAN III

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA

Dosen Pembimbing : Ni Made Wedri, S.Kep., Ners., M.Kes.

Oleh :

Nama : Ni Nyoman Budi Astiti

NIM : P07120219003

Kelas/ Prodi : II A/ S.Tr. Keperawatan

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLTEKKES KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2021
KONSEP DASAR CEDERA KEPALA

A. DEFINISI

M. Clevo Rendi, Margareth TH (2012). Cedera kepala yaitu adanya deformasi


berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak,
percepatan dan perlambatan (accelerasi-deceleasi) yang merupakan perubahan
bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan
penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga
oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.

Morton (2012). Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit
kepala, tengkorak, dan otak. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari
fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2008, hal
270-271).

Wahyu Widagdo, dkk (2007). Cedera kepala adalah trauma yang mengenai
otak disebabkan oleh kekuatan eksternal yang menimbulkan peubahan tingkat
kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik, fungsi tingkah laku
dan emosional.

B. PENYEBAB/FAKTOR PREDISPOSISI

Menurut Taqiyyah Bararah, M Jauhar (2013). Penyebab utama terjadinya


cedera kepala adalah sebagai berikut:

a. Kecelakaan lalu lintas

Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor


bertabrakan dengan kendaraan yang lain atau benda lain sehingga
menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.

b. Jatuh

Menurut KBBI, jatuh didefenisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur


ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di
gerakkan turun maupun sesudah sampai ke tanah

c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan di defenisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau
orang lain (secara paksa).

Beberapa mekanisme yang timbul terjadi cedera kepala adalah seperti


translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala
bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat
searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan
(akselerasi) pada arah tersebut.

Menurut Andra Saferi Wijaya, Yessie Mariza Putri (2013). Ada 2 macam
cedera kepala yaitu:

a. Trauma tajam
Adalah trauma oleh benda tajam yang menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan
masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Adalah trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk:
cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,
hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar
pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.

Menuurut NANDA (2013) mekanisme cidera kepala meliputi Cedera


Akselerasi, Deselersi, Akselerasi-Deselerasi, Coup-Countre Coup, dan Cedera
Rotasional.

a. Cedera Akselerasi
Tejadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak,
missal, alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan
ke kepala.
b. Cedera Deselerasi
Terjadi jika kepala bergerak membentur objek diam, seperti pada kasus
jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil.
c. Cedera Akselerasi-Deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan
fisik.
d. Cedera Coup-Countre Coup
Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam
ruang cranial dan denga kuat mengenai area tulang tengkorak yang
berlawanan serta area kepala yang pertamakali terbentur. Sebagai contoh
pasien dipukul dibagian belakang kepala.
e. Cedera Rotasional
Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar di dalam
rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron
dalam substansi alba serta robeknya pembuluh darah yang menfiksasi otak
dengan bagian dalam rongga tengkorak.
C. POHON MASALAH

Resti Gangguan Gangguan Bersihan jalan


Integritas kulit Mobilitas Fisik napas tidak efektif

Nyeri

Bedrest Total Akumulasi Cairan

Peregangan
duramen dan Kompresi
pembuluh darah batang otak Risiko injuri Penurunan Kesadaran

Perubahan
Perfusi Jaringan Kejang
Serebral

Peningkatan Perubahan
Iskemia Hipoksia autoregulasi
TIK

Perdarahan, Gangguan Jaringan otak rusak,


Resti infeksi
hematoma suplai darah kontusio, laserasi

Terputusnya kontinuitas Terputusnya


jaringan kulit, otot, dan kontinuitas
vaskuler jaringan tulang

Ekstrakranial Tulang Kranial Intrakranial

Cedera Kepala
Kecelakaan, Jatuh
D. KLASIFIKASI
1) Luka/lecet pada kulit kepala yang paling sering terjadi, karena kulit kepala
terdiri dari banyak pembuluh darah dengan kemampuan yang kurang,
kebanyakan lukanya disertai dan bercampur dengan perdarahan
komplikasi utama yang terjadi pada kulit kepala adalah infeksi.
2) Trauma Kepala terdiri dari :
a. Trauma Kepala Terbuka
Adalah suatu keadaan dimana tengkorak sudah fraktur dan bagian
duramaternya terbuka dan tergores. Ada jenis fraktur kepala terbuka
yang mengenai dasar tengkorak, yaitu fraktur basis kranii yang
ditandai dengan:
- Echymosis disekitar Os mastoideus
- Hemotimpanum yaitu perdarahan yang keluar dari telinga.
- Echymosis periorbital (black eyes) walaupun trauma tidak ada
pada mata. 
- Rinorrhea atau ottorhea
b. Trauma Kepala Tertutup 
 Concussion/commotio/memar

Adalah banyak cedera yang mengakibatkan kerusakan fungsi


neurologi tanpa terjadinya kerusakan struktur, untuk sementara
kehilangan kesadaran dalam beberapa menit atau 2-3 jam. Fenomena
ini memerlukan pengawasan dan orientasi secara bertahap. Dapat juga
disertai dengan pusing dan sakit kepala, karakteristik gejala commotio,
sakit kepala, pusing, lelah, amnesia retrograde dan ketidakmampuan
berkonsentrasi. 

 Contusio 

Adalah cedera kepala yang termasuk didalamnya luka memar,


perdarahan dan edema. Keadaan ini lebih serius daripada commotio
serebri. Pasien dapat tidak sadar dalam waktu yang tidak tentu (2-3
jam, atau bulanan). Amnesia retrograde lebih berat dan jelas. Gejala
neurologis, parese, cedera. connorio ini biasanya dapat terlihat pada
lobus frontalis jika dilakukan lumbal funksi maka liquor serebrospinal
hemoragic.

 Laceratio Cerebri (trauma kapitis berat)

Adanya sobekan pada jaringan otak karena tekanan atau fraktur


dan luka tusukan. Dapat terjadi perdarahan, hematoma dan edema
cerebral. Akibat perdarahan dapat terjadi ketidaksadaran, hemiplegi
dan dilatasi pupil, cerebral laceratio diklasifikasikan berdasarkan 
lokasi benturan yaitu : Coup, counter coup lesi tidak langsung terjadi
pada tempat pukulan melainkan terlihat pada bagian belakangnya

3) Klasifikasi trauma kepala berdasarkan  Nilai Glasgow Coma Scale (GCS):


a. Minor
- GCS 13 – 15
- Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit.
-  Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
hematoma.
b. Sedang
- GCS 9 – 12
- Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
- Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
- GCS 3 – 8
- Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
- Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.
E. GEJALA KLINIS
 Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun untuk beberapa saat
kemudian sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan kepribadian diri.
f. Letargik.
 Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat
a. Gejala atau tanda-tanda kardinal yang menunjukkan peningkatan di
otak menurun atau meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi
pernapasan).
d. Apabila meningkatnya tekanan intracranial terdapat pergerakan atau
posisi abnormal ekstermitas.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan foto polos kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang mungkin sudah ditinggalkan. Jadi, indikasi meliputi jejas lebih
dari 5 cm , luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi
dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, dan
gangguan kesadaran.
2. CT –Scan
Indikasi CT Scan adalah :
a) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat-obatan analgesia atau anti muntah.
b) Adanya kejang –kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat
pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
c) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor –faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena
syok, febris, dll).
d) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
e) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru. Perawatan selama 3 hari
tidak ada perubahan yang membaik dari GCS (Sthavira, 2012).
3. MRI (Magnetic resonance imaging)
MRI biasa digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status
mental yang digambarkan oleh CT Scan. MRI telah terbukti lebih sensitif
dari pada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non
hemoragik cedera aksonal.
4. EEG
Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat
perkembangan gelombang yang patologis.
5. X –Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan atau edema), fragmen tulang (Rasad, 2011).
G. PENATALAKSANAAN MEDIS

Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala meliputi sebagai berikut


(Wahyu Widagdo, dkk, 2007).

a. Non pembedahan

1) Glukokortikoid (dexamethazone) untuk mengurangi edema


2) Diuretik osmotik (manitol) diberikan melalui jarum dengan filter
untuk mengeluarkan kristal-kristal mikroskopis
3) Diuretik loop (misalnya furosemide) untuk mengatasi peningkatan
tekanan intracranial

4) Obat paralitik (pancuronium) digunakan jika klien dengan ventilasi


mekanik untuk megontrol kegelisahan atau agitasi yang dapat
meningkatkan resiko peningkatan tekanan intracranial

b. Pembedahan
Kraniotomi di indikasikan untuk:
1) Mengatasi subdural atau epidural hematoma
2) Mengatasi peningkatan tekanan cranial yang tidak terkontrol
3) Mengobati hidrosefalus
H. KOMPLIKASI
a. Faktor kardiovaskular
1) Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup
aktivitas atipikal moikardial, peubahan tekanan vaskuler dan edema
paru.
2) Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi
penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan
curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh
berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sisolik. Pengaruh dari
adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
b. Faktor respiratori
1) Adanya edema paru pada cedera kepala dan vasokonstriksi paru atau
hipetensi paru menyebabkan hiperpnoe dan bronkokonstriksi.
2) Konsentrasi oksigen dan karbon doiksida mempengaruhi aliran darah.
Bila PO2 rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi.
Penurunan PCO2, akan tejadi alkalosis yang menyebabkan
vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (Cerebral Blood
Fluid) sehingga oksigen tidak sampai ke otak denan baik.
3) Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya
tekanan intra cranial (TIK) yang dapat menyebabkan herniasi dan
penekanan batang otak atau medulla oblongata.
c. Faktor metabolisme
1) Pada cedera kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma
tubuh lainnya yaitu kecenderungan retensi natrium dan air, dan
hilangnya sejumlah nitrogen.
2) Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap
hipotalamus, yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi
aldosteron.
d. Faktor gastrointestinal
Trauma juga mempegaruhi system gastrointestinal.Setelah cedera
kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan meransang aktivitas
hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan meransang lambung menjadi
hiperasiditas, dan mengakibatkan terjadinya stress alser.
e. Faktor piskologis
Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, cedera
kepala pada pasien adalah suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa
yang timbul pascatrauma akan mempengaruhi psikis pasien. Demikian
pula pada trauma berat yang menyebabkan penurunan kesadaran dan
penururnan fungsi neurologis akan mempengaruhi psikososial pasien dan
keluarga.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a) Identitas pasien
Berisi biodata pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal
lahir, golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status
perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat.
b) Identitas penanggung jawab
Berisikan biodata penangguang jawab pasien yaitu nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir,
pekerjaan, alamat.
c) Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk memnita pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran ( Muttaqin, A. 2008 ). Biasanya klien akan
mengalami penurunan kesadaran dan adanya benturan serta perdarahan
pada bagian kepala klien yang disebabkan oleh kecelakaan ataupun
tindaka kejahatan.
d) Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berisikan data adanya penurunan kesadaran (GCS <15), letargi, mual
dan muntah, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis,
perdarahan, fraktur, hilang keseimbangan, sulit menggenggam,
amnesia seputar kejadian, tidak bias beristirahat, kesulitan mendengar,
mengecap dan mencium bau, sulit mencerna/menelan makanan.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Berisikan data pasien pernah mangalami penyakit system persyarafan,
riwayat trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit
sistemik/pernafasan cardiovaskuler, riwayat hipertensi, riwayat cedera
kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia,
penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat
adiktif, dan konsumsi alkohol ( Muttaqin, A. 2008 ).
3) Riwayat kesehatan keluarga
Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit menular seperti
hipertensi, diabetes mellitus, dan lain sebagainya.
e) Pemeriksaan fisik
1) Tingkat kesadaran
i. Kuantitatif dengan GCS (Glasgow Coma Scale)
Penilaian GCS

No Komponen Nilai Hasil


1 Verbal 1 Hasil berespon

2 Suara tidak dapat dimengerti

3 Ritihan

4 Bicara ngawur/ tidak nyambung


Bicara membingungkan Orientasi
5
baik
2 Motorik 1 Tidak berespon

2 Ekstensi abnormal

3 Fleksi abnormal

4 Menghindari area nyeri


Melokalisasi nyeri
5
Ikut perintah
6
3 Reaksi 1 Tidak berespon
membuka
2 Dengan rangsangan nyeri
mata
3 Dengan perintah (sentuh)

4 Spontan
ii. Kualitatif
 Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal,
sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan
tentang keadaan sekelilingnya, nilai GCS: 15 - 14.
 Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh,
nilai GCS: 13 - 12.
 Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat,
waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi,
kadang berhayal, nilai GCS: 11-10.
 Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran
menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah
tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal, nilai GCS: 9 – 7.
 Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur
lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.
 Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak
ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon
kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada
respon pupil terhadap cahaya), nilai GCS : ≤ 3
(Satyanegara.2010).
2) Fungsi motorik

Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut ini yang
digunakan secara internasional:

Kekuatan Otot

Respon Skala
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang, Bisa terangkat, bisa melawan gravitasi, 4
namun tidak mampu melawan tahanan pemeriksa, gerakan
tidak terkoordinasi
Kelemahan berat, Terangkat sedikit < 450, tidak mampu 3
melawan gravitasi
Kelemahan berat, Dapat digerakkan, mampu 2
terangkat sedikit
Gerakan trace/ Tidak dapat digerakkan, tonus otot Ada 1

Tidak ada gerakan 0

Biasanya klien yang mengalami cedera kepala kekuatan ototnya


berkisar antar 0 sampai 4 tergantung tingkat keparahan cedera
kepala yang dialami klien.

3) Pemeriksaan reflek fisiologis

a. Reflek bisep

Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk,


dengan membiarkan lengan untuk beristirahat di pangkuan pasien, atau
membentuk sudut sedikit lebih dari 900 di siku, minta pasien
memflexikan di siku sementara pemeriksa mengamati dan meraba
fossa antecubital, tendon akan terlihat dan terasa seperti tali tebal,
ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.biceps
brachii, posisi lengan setengah diketuk pada sendi siku, normalnya
terjadi fleksi lengan pada sendi siku.

b. Reflek trisep

Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk,


secara perlahan tarik lengan keluar dari tubuh pasien, sehingga
membentuk sudut kanan di bahu atau lengan bawah harus menjuntai ke
bawah langsung di siku, ketukan pada tendon otot triceps, posisi
lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi, normalnya terjadi
ekstensi lengan bawah pada sendi siku.

c. Reflek patella

Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi duduk atau


berbaring terlentang, ketukan pada tendon patella, respon: plantar
fleksi kaki karena kontraksi m.quadrisep femoris.

d. Reflek achiles

Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, kaki


menggantung di tepi meja ujian atau dengan berbaring terlentang
dengan posisi kaki melintasi diatas kaki di atas yang lain atau
mengatur kaki dalam posisi tipe katak, identifikasi tendon mintalah
pasien untuk plantar flexi, ketukan hammer pada tendon achilles.
Respon: plantar fleksi kaki krena kontraksi m.gastroenemius
(Muttaqin, A. 2010).

4) Pemeriksaan Reflek Patologis

Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasus-kasus


tertentu.

a. Reflek babynski

Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki


diluruskan, tangan kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien
agar kaki tetap pada tempatnya, lakukan penggoresan telapak kaki
bagian lateral dari posterior ke anterior, respon: posisitif apabila
terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki
lainnya.

b. Reflek chaddok

Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus


lateralis dari posterior ke anterior, amati ada tidaknya gerakan
dorsofleksi ibu jari, disertai mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.

c. Reflek Oppenheim

Pengurutan dengan cepat krista anterior tibia dari proksiml ke


distal, amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai
mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.

d. Reflek Gordon

Menekan pada musculus gastrocnemius (otot betis), amati ada


tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya (fanning)
jari-jari kaki lainnya.

e. Reflek hofmen tromen

Melakukan petikan pada kuku jari, perhatikan jari yang lain.


Normalnya jari-jari lain tidak bergerak (Muttaqin, A. 2010).

f) Aspek neurologis
1) Kaji GCS (cedera kepala ringan 14-15, cedera kepala sedang 9-13,
cedera kepala berat 3-8).
2) Disorientasi tempat/waktu
3) Reflek patologis dan fisiologis
4) Perubahan status mental
5) Nervus Cranial XII (sensasi, pola bicara abnormal)
6) Perubahan pupil/penglihatan kabur, diplopia, fotophobia,
kehilangan sebagian lapang pandang
7) Perubagan tanda-tanda vital
8) Gangguan pengecapan dan penciuman, serta pendengaran 9.) Tanda-
tanda peningkatan TIK
9) Penurunan kesadaran
10) Gelisah letargi
11) Sakit kepala
12) Muntah proyektil
13) Pupil edema
14) Pelambatan nadi
15) Pelebaran tekanan nadi
16) Peningkatan tekanan darah systole
g) Aspek kardiovaskuler

1) Peubahan tekanan darah (menurun/meningkat)


2) Denyut nadi (bradikardi, tachi kardi, irama tidak teratur)

3) TD naik, TIK naik

h) System pernafasan

1) Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh


hiperventilasi), nafas berbunyi stridor, tersedak
2) Irama, frekuensi, kedalaman, bunyi nafas

3) Ronki, mengi positif

i) Kebutuhan dasar
1) Eliminasi : perubahan pada BAB/BAK (inkontinensia, obstipasi,
hematuri)
2) Nutrisi : mual, muntah, gangguan pencernaan/menelan makanan,
kaji bising usus
3) Istirahat : kelemahan, mobilisasi, kelelahan, tidur kurang
j) Pengkajian psikologis

1) Gangguan emosi/apatis, delirium

2) Perubahan tingkah laku atau kepribadian

k) Pengkajian social
1) Hubungan dengan orang terdekat
2) Kemampuan komunikasi, afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa
arti, disartria, anomia
l) Nyeri/kenyamanan

1) Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda

2) Gelisah

m) Nervus cranial
 N.I : penurunan daya penciuman
 N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
 N.III, IV, VI : penurunan lapang pandang, reflek cahaya menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah,
anisokor
 N.V : gangguan mengunyah
 N.II, XII : lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada 2/3
anterior lidah
 N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
 N.IX, X, XI : jarang ditemukan
n) Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan diagnostic
1) X-ray/CT scan
- Hematom serebral
- Edema serebral
- Perdarahan intracranial
- Fraktur tulang tengkorak
2) MRI : Dengan/tanpa mempengaruhi kontras.
3) Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
4) EEG: memperlihatkankeberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
5) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi
korteks dan batang otak.
6) PET (Positron Emission Tomograpfy) : menunjukan perubahan
aktivitas metabolism pada otak.
 Pemeriksaan laboratorium
1) AGD, PO2, PH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin
aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah
oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.
2) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan
gangguan regulasi natrium, retensi Na dapat berakhir beberapa
hari, diikuti dengan dieresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan
kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.
3) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum.
4) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid
(warna, komposisi, tekana).
5) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
6) Kadar Antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif mengatasi kejang.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan keabnormalan
masa protrombin dan/atau masa tromboplastin parsial, penurunan kinerja
ventrikel kiri, aterosklerosis aorta, diseksi arteri, fibrilasi atrium, tumor
otak, stenosis karotis, miksoma atrium, aneurisma serebri, koagulopati,
dilatasi kadiomiopati, koagulasi intravaskuler diseminata, embolisme,
cedera kepala, hiperkolesteronemia, hipertensi, endokarditis infektif, katup
protestik mekanis, stenosis mitral, neoplasma otak, infark miokard akut,
syndrome sick sinus, penyalahgunaan zat, terapi tombolitik, efek samping
tindakan.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis, agen pencedera
kimiawi, agen pencedera fisik dibuktikan dengan mengeluh nyeri, tampak
meringis, bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur,
tekanan darah meningkat, pola napas berubah, napsu makan berubah,
proses berfikir terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri,
diaforesis.
3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan
napas, hipersekresi jalan napas, disfungsi neuromuskuler, benda asing
dalam jalan napas, adanya jalan napas buatan, sekresi yang tertahan,
hyperplasia di dinding jalan napas, proses infeksi, respon alergi, efek agen
farmakologis, perokok aktif, merokok pasif, terpanjan polutan dibuktikan
dengan batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebih, mengi,
wheezing, dan/atau ronkhi kering, meconium di jalan napas (pada
neonates), dipsnea, sulit bicara, ortopnea, gelisah, sianosis, bunyi napas
menurun, frekuensi napas berubah, pola napas berubah.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang, perubahan metabolism, ketidakbugaran fisik, penurunan
kendali otot, penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot,
keterlambatan perkembangan, kekakuan sendi, kontraktur, malnutrisi,
gangguan musculoskeletal, gangguan neuromuscular, indeks masa tubuh
diatas persentil ke-75 sesuai usia, efek agen farmakologis, program
pembatasan gerak, nyeri, kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik,
kecemasan, gangguan kognitif, keengganan melakukan pergerakan,
gangguan sensoripersepsi dibuktikan dengan mengeluh sulit
menggerakkan ekstremitas, kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM)
menurun, nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa
cemas saat bergerak, sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan
terbatas, fisik lemah.
C. INTERVENSI

No Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Intervensi Rasional


Hasil
1 Risiko perfusi Setelah dilakukan Manajemen Peningkatan 1. Mengetahui
serebral tidak efektif asuhan keperawatan .... Tekanan Intrakranial penyebab
berhubungan dengan x .... jam diharapkan a. Observasi peningkatan SIK
keabnormalan masa perfusi serebral 1. Identifikasi penyebab 2. Mengetahui
protrombin dan/atau meningkat dengan peningkatan TIK (mis. tanda/gejala
masa tromboplastin kriteria hasil : Lesi, gangguan peningkatan TIK
parsial, penurunan metabolisme, edema 3. Mengetahui MAP
kinerja ventrikel kiri, 1. Tingkat kesadaran serebral) pasien
aterosklerosis aorta, meningkat 2. Monitor tanda/gejala 4. Mengetahui CVP
diseksi arteri, fibrilasi 2. Kognitif meningkat peningkatan TIK (mis. pasien
atrium, tumor otak, 3. Tekananan Tekanan darah 5. Mengetahui PAWP
stenosis karotis, intrakranial meningkat, tekanan pasien
miksoma atrium, menurun nadi melebar, 6. Mengetahui PAP
aneurisma serebri, 4. Sakit kepala bradikardia, pola Pasien
koagulopati, dilatasi menurun napas ireguler, 7. Mengetahui ICP
kadiomiopati, 5. Gelisah menurun kesadaran menurun) pasien
koagulasi 6. Kecemasan 3. Monitor MAP (Mean 8. Mengetahui CPP
intravaskuler menurun Arterial Pressure) pasien
diseminata, 7. Agitasi menurun 4. Monitor CVP (Central 9. Memantau
embolisme, cedera 8. Demam menurun Venous Pressure), jika gelombang ICP
kepala, 9. Nilai rata-rata perlu pasien
hiperkolesteronemia, tekanan darah 5. Monitor PAWP, jika 10. Memantau status
hipertensi, membaik perlu pernapasan pasien
endokarditis infektif, 10. Kesadaran 6. Monitor PAP, jika 11. Mengetahui intake
katup protestik membaik perlu dan output cairan
mekanis, stenosis 11. Tekanan darah 7. Monitor ICP (Intra 12. Mengetahui cairan
mitral, neoplasma sistolik membaik Cranial Pressure), serebro-spinalis
otak, infark miokard 12. Tekanan darah jika perlu 13. Agar pasien lebih
akut, syndrome sick diastolik membaik 8. Monitor CPP tenang
sinus, 13. Refleks saraf (Cerebral Perfusion 14. Agar pernapasan
penyalahgunaan zat, membaik Pressure) pasien lebih lancer
terapi tombolitik, 9. Monitor gelombang 15. Mencegah
efek samping ICP peningkatkan
tindakan. 10. Monitor status tekanan di dada saat
pernapasan bernapas
11. Monitor intake dan 16. Agar tidak terjadi
output cairan kejang
12. Monitor cairan 17. agar tidak terjadi
serebro-spinalis (mis. peningatan
Warna, konsistensi) functional residu
b. Terapeutik capacity
13. Meminimalkan 18. Mencegah
stimulus dengan pemberian cairan
menyediakan IV hipotonik
lingkungan yang 19. Agar PaCO2
tenang. optimal
14. Berikan posisi semi 20. Agar suhu tubuh
fowler pasien tetap optimal
15. Hindari manuver 21. Untuk mencegah
valsava pengumpalan darah
16. Cegah terjadinya 22. Untuk menghambat
kejang. penyerapan cairan
17. Hindari penggunaan 23. Agar tidak terjadi
PEEP konstipasi
18. Hindari pemberian
cairan IV hipotonik
19. Atur ventilator agar
PaCO2 optimal
20. Pertahankan suhu
tubuh normal.
c. Kolaborasi
21. Kolaborasi pemberian
sedasi dan
antikonvulsan, jika
perlu
22. Kolaborasi pemberian
diuretic osmosis, jika
perlu
23. Kolaborasi pemberian
pelunak tinja, jika
perlu
Pemantauan Tekanan 1. Mengetahui
Intrakranial penyebab
a. Observasi peningkatan TIK
1. Identifikasi penyebab 2. Memantau
peningkatan TIK (mis. peningkatan TD
Lesi, gangguan pasien
metabolisme, edema 3. Memantau
serebral, peningkatan pelebaran tekanan
tekanan vena, nadi
obstruksi aliran cairan 4. Mengetahui apakah
serebrospinal, pasien mengalami
hipertensi intracranial penurunan
idiopatik) frekuensi jantung.
2. Monitor peningkatan 5. Mengetahui apakah
TD irama napas pasien
3. Monitor pelebaran normal atau tidak.
tekanan nadi (selisih 6. Mengetahui
TDS dan TDD). penurunan
4. Monitor penurunan kesadaran pasien
frekuensi jantung 7. Mengetahui
5. Monitor irreguleritas respond pupil
irama napas pasien
6. Monitor penurunan 8. Agar kadar CO2
tingkat kesadaran pasien normal.
7. Monitor perlambatan 9. Mengetahui
atau tekanan perfusi
ketidakseimbangan serebral pasien.
respon pupil 10. Mengetahui tentang
8. Monitor kadar CO2 kondisi drainase
dan pertahanan dalam cairan serebrospinal
rentang yang pasien.
diindikasikan 11. Mengetahui efek
9. Monitor tekanan stimulus
perfusi serebral lingkungan
10. Monitor jumlah, terhadap TIK
kecepatan, dan pasien.
karakteristik drainase 12. Melakukan
cairan serebrospinal pengecekan lebih
11. Monitor efek stimulus lanjut.
lingkungan terhadap 13. Mengetahui
TIK karakteristik air di
b. Terapeutik dalam tubuh pasien.
12. Ambil sampel drainase 14. Mencegah infeksi.
cairan serebrospinal 15. Agar tindak terjadi
13. Kalibrasi transduser aliran darah yang
14. Pertahankan sterilitas lebih besar ke
pemantauan kepala yang cedera.
15. Pertahankan posisi 16. Untuk menjaga
kepala dan leher netral kebersihan sistem
16. Bilas sistem pemantauan.
pemantauan, jika 17. Agar tindakan yang
perlu diberikan tepat.
17. Atur interval 18. Agar mengetahui
pemantauan sesuai hasil pemantauan.
kondisi pasien. 19. Agar pasien
18. Dokumentasikan hasil mengetahui tujuan
pemantauan. dan prosedur dari
c. Edukasi pemantauan.
19. Jelaskan tujuan dan 20. Agar pasien
prosedur pemantauan. mengetahui hasil
20. Informasikan hasil pemantaun.
pemantauan, jika
perlu
2. Nyeri akut Setelah diberikan Manajemen Nyeri 1. Untuk mengetahui
berhubungan dengan asuhan keperawatan a. Observasi karakteristik nyeri
agen pencedera selama ..…x….. jam 1. Identifikasi lokasi, 2. Untuk mengetahui
fisiologis, agen diharapkan tingkat karakteristik, durasi, skala nyeri pasien
pencedera kimiawi, nyeri pasien menurun frekuensi, kualitas, 3. Mengetahui respon
agen pencedera fisik dengan kriteria hasil : intensitas nyeri nyeri non verbal
dibuktikan dengan 1. Kemampuan 2. Identifikasi skala nyeri pasien
mengeluh nyeri, menuntaskan 3. Identifikasi respons 4. Untuk mengatasi
tampak meringis, aktivitas meningkat nyeri non verbal nyeri pasien
bersikap protektif, 2. Keluhan nyeri 4. Identifikasi faktor 5. Untuk mengetahui
gelisah, frekuensi menurun yang memperberat dan keyakinan tentang
nadi meningkat, sulit 3. Meringis menurun memperingan nyeri nyeri pasien
tidur, tekanan darah 4. Sikap protektif 5. Identifikasi 6. Agar mengetahui
meningkat, pola menurun pengetahuan dan respon nyeri pasien
napas berubah, napsu 5. Gelisah menurun keyakinan tentang terhadap budayanya
makan berubah, 6. Kesulitan tidur nyeri 7. Mengetahui
proses berfikir menurun 6. Identifikasi pengaruh pengaruh nyeri
terganggu, menarik 7. Menarik diri budaya terhadap terhadap kualitas
diri, berfokus pada menurun respon nyeri hidup pasien
diri sendiri, 8. Berfokus pada diri 7. Identifikasi pengaruh 8. Agar mengetahui
diaforesis. sendiri menurun nyeri pada kualitas terapi yang
9. Diaforesis menurun hidup dilakukan berhasil
10. Perasaan depresi 8. Monitor keberhasilan atau tidak
(tertekan) menurun terapi komplementer 9. Agar mengetahui
11. Perasaan takut yang sudah diberikan efek dari analagetik
mengalami cedera 9. Monitor efek samping yang diberikan
berulang menurun penggunaan analgesik 10. Agar nyeri pasien
12. Anoreksia menurun b. Terapeutik berkurang
13. Perineum terasa 10. Berikan teknik 11. Agar nyeri pasien
tertekan menurun nonfarmakologis tidak bertambah
14. Uterus teraba untuk mengurangi rasa 12. Agar kebutuhan
membulat menurun nyeri (mis. TENS, istirahat tidur
15. Ketegangan otot hipnotis, akupresur, pasien terpenuhi
menurun terapi music, 13. Untuk menentukan
16. Pupil dilatasi biofeedback, terapi strategi meredakan
menurun pijat, aromaterapi, nyeri yang tepat
17. Muntal menurun teknik imajinasi pada pasien
18. Mual menurun terbimbing, kompres 14. Agar pasien
19. Frekuensi nadi hangat/dingin, terapi memahami tentang
membaik bermain) nyeri yang dialami
20. Pola napas 11. Kontrol lingkungan 15. Agar pasien
membaik yang memperberat memahami cara
21. Tekanan darah rasa nyeri (mis. Suhu meredakan nyeri
membaik ruangan, pencahayaan, 16. Agar pasien dapat
22. Proses berpikir kebisingan) mengatasi nyeri
membaik 12. Fasilitasi istirahat dan secara mandiri
23. Fokus membaik tidur 17. Agar nyeri pasien
24. Fungsi berkemih 13. Pertimbangkan jenis dapat teratasi
membaik dan sumber nyeri dengan cepat
25. Perilaku membaik dalam pemilihan 18. Untuk mengatasi
26. Nafsu makan strategi meredakan nyeri pasien
membaik nyeri. 19. Agar nyeri pasien
27. Pola tidur membaik c. Edukasi berkurang
14. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
15. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
16. Anjurkan memonitor
nyeri secara mendiri
17. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
18. Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa
nyeri
d. Kolaborasi
19. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Pemberian Analgesik 1. Untuk mengetahui
a. Observasi karakteristik nyeri
1. Identifikasi pasien.
karakteristik nyeri 2. Untuk mengetahui
(mis. Pencetus, apakah pasien
pereda, kualitas, mempunyai riwayat
lokasi, intensitas, alergi obat.
frekuensi, durasi) 3. Agar analgetik yang
2. Identifikasi riwayat diberikan sesuai.
alergi obat 4. Untuk mengetahui
3. Identifikasi kesesuaian tanda-tanda vital
jenis analgesik (mis. pasien stabil.
narkotika, non- 5. Untuk mengetahui
narkotik, atau NSAID) keefektifan
dengan tingkat analgetik yang
keparahan nyeri diberikan.
4. Monitor tanda-tanda 6. Agar analgesik
vital sebulan dan yang diberikan
sesudah pemberian bekerja optimal.
analgesik 7. Mengetahui kadar
5. Monitor efektifitas dalam serum
analgesik terpenuhi.
b. Terapeutik 8. Agar pasien
6. Diskusikan jenis mencapai target
analgesik yang disukai yang ditetepkan.
untuk mencapai 9. Agar pasien
analgesia optimal, jika mengetahui
perlu perkembangan
7. Pertimbangkan kesehatannya.
penggunaan infus 10. Agar pasien
kontinu, atau bolus mengetahui efek
oploid untuk terapi dan efek
mempertahankan samping obat.
kadar dalam serum 11. Agar pemberian
8. Tetapkan target analgetik dapat
efektifitas analgesik bekerja secara
untuk optimal.
mengoptimalkan
respons pasien
9. Dokumentasikan
respons terhadap efek
analgesik dan efek
yang diinginkan
c. Edukasi
10. Jelaskan efek terapi
dan efek samping obat
d. Kolaborasi
11. Kolaborasi pemberian
dosis dan jenis
analgesik, sesuai
indikasi
3. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan Latihan Batuk Efektif 1. Mengetahui
tidak efektif asuhan a. Observasi kemampuan batuk
berhubungan dengan keperawatan ....x.... 1. Identifikasi pasien
spasme jalan napas, jam diharapkan kemampuan batuk 2. Mengetahui adanya
hipersekresi jalan bersihan jalan nafas 2. Monitor adanya retensi sputum
napas, disfungsi meningkat dengan retensi sputum 3. Mengetahui adanya
neuromuskuler, kriteria hasil : 3. Monitor tanda dan tanda dan gejala
benda asing dalam 1. Betuk efektif gejala infeksi saluran infeksi saluran
jalan napas, adanya meningkat napas napas
jalan napas buatan, 2. Produksi spuntum 4. Monitor input dan 4. Memantau input
sekresi yang tertahan, menurun output cairan (mis. dan output cairan
hyperplasia di 3. Mengi menurun jumlah dan 5. Agar pasien lebih
dinding jalan napas, 4. Wheezing menurun karakteritik mudah bernapas
proses infeksi, respon 5. Mekonium b. Terapeutik 6. Agar memudahkan
alergi, efek agen menurun 5. Atur posisi semi membuang sisa
farmakologis, 6. Dispnea membaik fowler atau fowler tindakan
perokok aktif, 7. Ortopnea membaik 6. Pasang perlak dan 7. Agar secret tidak
merokok pasif, 8. Sulit bicara bengkok di pangkuan berceceran
terpanjan polutan membaik pasien 8. Agar pasien
dibuktikan dengan 9. Sianosis membaik 7. Buang sekret pada mengetahui tujuan
batuk tidak efektif, 10. Gelisah membaik tempat spuntum dan prosedur batuk
tidak mampu batuk, 11. Frekuensi napas c. Edukasi efektif
sputum berlebih, membaik 8. Jelaskan tujuan dan 9. Untuk melatih
mengi, wheezing, 12. Pola napas prosedur batuk efektif pernapasan pasien
dan/atau ronkhi membaik 9. Anjurkan tarik napas 10. Untuk melatih
kering, meconium di melalui hidung selama pernapasan pasien
jalan napas (pada 4 detik, ditahan selama 11. Agar pasien dapat
neonates), dipsnea, 2 detik, kemudian bernapas dengan
sulit bicara, ortopnea, keluarkan dari mulut lancer
gelisah, sianosis, dengan bibir mencucu 12. Agar dahak pasien
bunyi napas (dibulatkan) selama 8 dapat keluar dengan
menurun, frekuensi detik lancar
napas berubah, pola 10. Anjurkan mengulangi
napas berubah. tarik napas dalam
hingga 3 kali
11. Anjurkan batuk
dengan kuat langsung
setelah tarik napas
dalam yang ke-3
d. Kolaborasi
12. Kolaborasi pemberian
mukolitik atau
ekspektoran, jika
perlu
Manajemen Jalan Napas 1. Mengetahui pola
a. Observasi napas pasien
1. Monitor pola napas 2. Mengetahui adanya
(frekuensi, kedalaman, bunyi napas
usaha napas) tambahan
2. Monitor bunyi napas 3. Mengetahui adanya
tambahan (mis. sputum
gurgling, mengi, 4. Agar pasien
wheezing, ronkhi bernapas dengan
kering) lancar
3. Monitor sputum 5. Agar pasien dapat
(jumlah, warna, bernapas dengan
aroma) mudah
b. Terapeutik 6. Agar
4. Pertahankan mempermudah
kepatenan jalan napas pasien
dengan head-tilf (jaw- mengeluarkan
thrust jika curiga dahak
trauma servikal) 7. Agar dahak dapat
5. Posisikan semi fowler keluar
atau fowler 8. Agar pasien dapat
6. Berikan minum hangat bernapas dengan
7. Lakukan fisioterapi lancar
dada, jika perlu 9. Agar
8. Lakukan pengisapan mempermudah
lendir kurang dari 15 pengeluaran lender
detik 10. Agar sumbatan
9. Lakukan dapat diatasi
hiperoksigenasi 11. Agar kebutuhan
sebelum pengisapan oksigen terpenuhi
endotrakeal 12. Agar kebutuhan
10. Keluarkan sumbatan cairan pasien
benda padat dengan terpenuhi sesuai
forsep McGill kebutuhan
11. Berikan oksigen, jika 13. Agar pasien dapat
perlu melakukan batuk
c. Edukasi efektif
12. Anjurkan asupan 14. Agar dahak dapat
cairan 200ml/hari, jika keluar
tidak kontraindikasi
13. Ajarkan teknik batuk
efektif.
d. Kolaborasi
14. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
Pemantauan Respirasi 1. Mengetahui
a. Observasi frekuensi, irama,
1. Monitor frekuensi, kedalaman dan
irama, kedalaman dan upaya napas
upaya napas 2. Mengetahui pola
2. Monitor pola napas napas pasien
(seperti bradipnea, 3. Mengetahui
takipnea, kemampuan batuk
hoperventilasi, pasien
kussmaul, cheyne- 4. Mengetahui adanya
Stokes, biot, ataksik) produksi sputum
3. Monitor kemampuan 5. Agar sumbatan
batuk efektif jalan napas dapat
4. Monitor adanya teratasi
produksi sputum 6. Untuk mengetahui
5. Monitor adanya kesimetrisan
sumbatan jalan napas ekspansi paru
6. Palpasi kesimetrisan 7. Untuk mengetahui
ekspansi paru bunyi napas
7. Auskultasi bunyi tambahan
napas 8. Mengetahui saturasi
8. Monitor saturasi oksigen pasien
oksigen 9. Mengetahui nilai
9. Monitor nilai AGD AGD pasien
10. Monitor hasil X-Ray 10. Mengetahui hasil
thoraks X-Ray thoraks
b. Terapeutik 11. Untuk memantau
11. Atur interval respirasi pasien
pemantauan respirasi 12. Mengetahui hasil
sesuai kondisi pasien pemantauan pasien
12. Dokumentasikan hasil 13. Agar pasien
pemantauan mengetahui tujuan
c. Edukasi dan prosedur
13. Jelaskan tujuan dan pemantauan
prosedur pemantauan 14. Agar pasien
14. Informasikan hasil mengetahui hasil
pemantauan, jika pemantauannya
perlu
4. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Dukungan Ambulasi 1. Mengetahui
fisik berhubungan asuhan keperawatan … keluhan yang
a. Observasi
dengan kerusakan x… jam diharapkan dirasakan pasien.
1. Identifikasi adanya
integritas struktur mobilitas fisik 2. Mengetahui adanya
nyeri atau keluhan
tulang, perubahan meningkat dengan toleransi fisik
fisik lainnya
metabolism, kriteria hasil : melakukan
2. Identifikasi toleransi
ketidakbugaran fisik, ambulasi.
1. Pergerakan fisik melakukan
penurunan kendali 3. Untuk mengetahui
ekstremitas ambulasi
otot, penurunan kondisi pasien
meningkat 3. Monitor frekuensi
massa otot, sebelum memulai
2. Kekuatan otot jantung dan tekanan
penurunan kekuatan ambulsi
meningkat darah sebelum
otot, keterlambatan 4. Mengetahui kondisi
perkembangan, 3. Rentang gerak memulai ambulasi pasien secara
kekakuan sendi, (ROM) meningkat 4. Monitor kondisi umum.
kontraktur, 4. Nyeri menurun umum selama 5. Untuk
malnutrisi, gangguan 5. Kecemasan melakukan ambulasi memaksimalkan
musculoskeletal, menurun b. Terapeutik dalam melakukan
gangguan 6. Kaku sendi 5. Fasilitasi aktivitas ambulasi.
neuromuscular, menurun ambulasi dengan alat 6. Agar pasien mampu
indeks masa tubuh 7. Gerakan tidak bantu (mis. Tongkat, melakukan
diatas persentil ke-75 terkoordinasi kruk) mobilisasi dengan
sesuai usia, efek agen menurun 6. Fasilitasi melakukan benar.
farmakologis, 8. Gerakan terbatas mobilisasi fisik, jika 7. Agar keluarga
program pembatasan menurun perlu mampu melakan
gerak, nyeri, kurang 9. Kelemahan fisik 7. Libatkan keluarga ambulasi.
terpapar informasi menurun untuk membantu 8. Agar pasien
tentang aktivitas pasien dalam mengetahui tujuan
fisik, kecemasan, meningkatkan dan prosedur dari
gangguan kognitif, ambulasi tindakan ambulasi.
keengganan c. Edukasi 9. Mencegah kondisi
melakukan 8. Jelaskan tujuan dan pasien memburuk.
pergerakan, prosedur ambulasi 10. Agar pasien mampu
gangguan 9. Anjurkan melakukan melakukan
sensoripersepsi ambulasi dini ambulasi dari yang
dibuktikan dengan 10. Ajarkan ambulasi sederhana.
mengeluh sulit sederhana yang harus
menggerakkan dilakukan (mis.
ekstremitas, kekuatan Berjalan dari tempat
otot menurun, tidur ke kursi roda,
rentang gerak (ROM) berjalan dari tempat
menurun, nyeri saat tidur ke kamar mandi,
bergerak, enggan berjalan sesuai
melakukan toleransi)
pergerakan, merasa Dukungan Mobilisasi 1. Mengetahui
cemas saat bergerak, a. Observasi keluhan yang
sendi kaku, gerakan 1. Identifikasi adanya dirasakan pasien.
tidak terkoordinasi, nyeri atau keluhan 2. Mengetahui apakah
gerakan terbatas, fisik lainnya pasien ada toleransi
fisik lemah. 2. Identifikasi toleransi fisik dalam
fisik melakukan melakukan
pergerakan pergerakan.
3. Monitor frekuensi 3. Mengetahui kondisi
jantung dan tekanan pasien sebelum
darah sebelum melakukan
memulai mobilisasi tindakan.
4. Monitor kondisi 4. Untuk mengetahui
umum selama kondisi pasien
melakukan mobilisasi secara umum.
b. Terapeutik 5. agar mobilisasi
5. Fasilitasi aktivitas dapat dilakukan
mobilisasi dengan alat dengan benar.
bantu (mis. pagar 6. Mencegah pasien
tempat tidur) dikubitus.
6. Fasilitasi melakukan 7. Agar keluarga
pergerakan, jika perlu mampu melakukan
7. Libatkan keluarga atau membantu
untuk membantu pasien mobilisasi.
pasien dalam 8. Agar pasien
meningkatkan mengetahui tujuan
pergerakan dan prosedur
c. Edukasi mobilisasi.
8. Jelaskan tujuan dan 9. Mencegah
prosedur mobilisasi decubitus pada
9. Anjurkan melakukan pasien.
mobilisasi dini 10. Agar pasien mampu
10. Ajarkan mobilisasi melakukan
sederhana yang harus mobilisasi dengan
dilakukan (mis. duduk baik.
di tempat tidur, duduk
di sisi tempat tidur,
pindah dari tempat
tidur ke kursi)

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E.1999.Rencana Asuhan Keperawatan ed-3. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Padila (2012). Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarya: Nuha


Medika.

Rahnaaryani, L.D. (2008). Asuhan Keperawatan Pasien Trauma Kepala. Jakarta :


EGC

Saputra, Yozi E. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Cedera


Kepala Di Ruang Hcu Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang : Politeknik
Kesehatan Kemenkes Padang.

Smeltzer , Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Jakarta:


EGC.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Anda mungkin juga menyukai