Anda di halaman 1dari 29

APLIKASI ASKEP GAWAT DARURAT & KRITIS

Disusun Oleh :

AYU RATNA NINGRUM (201902007)


HILLARY ELSAFITRA (201902017)
KARISMA OKTAVIA (201902022)
MADE WAHYU SUTA KRESNA DEWI (201902027)
SHINTA NURIYAH (201902045)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
2020
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR

Konsep Dasar
A. Definisi
Menurut Suddarth (2002:2353) Fraktur adalah diskontiunitas jaringan tulang
yang banyak disebabkan karena kekerasan yang mendadak atau tidak atau kecelakaan.
Menurut Santoso Herman (2000:144) Fraktur adalah terputusnya hubungan
normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2000:43)
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak
mampu lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2000:625)

B. Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

b. Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur.


1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut).
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.

c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.


1. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu
tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
a. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
b. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
c. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.

d. Berdasarkan jumlah garis patah.


1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.

e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.


1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu
dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
d) Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
e) Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
(Suddarth, 2002:2354-2356)

C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan
bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada
anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2000:627)
Menurut Carpenito (2000:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang
atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah
dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
Menurut (Doenges, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur
2. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik).

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari faktur ,menurut Brunner and Suddarth,(2002:2358)
a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi. Spasme otot
yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di rancang utuk
meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
b. Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung bergerak
secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran
fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui membandingkan ekstermitas yang
normal dengan ekstermitas yang tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi
satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)
d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji krepitus
dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari
pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah beberapa jam
atau hari setelah cidera.
Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur adalah:
- Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi,
hematoma, dan edema.
- Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
- Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas
dan dibawah tempat fraktur.
- Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
- Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.

E. Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma. Baik itu
karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau tidak
langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa
karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena
otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Doenges, 2000:629)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih
dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darahketempat tersebut.
Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk
fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru.
Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati Carpenito (2000:50)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total
dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth,
2002: 2387).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan
pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi
terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari
proses penyembuhan tulang nantinya (Doenges, 2000:629).

F. Pathway

G. Proses Penyembuhan Tulang


a. Tahap Hematoma.
Pada tahap terjadi fraktur, terjadi kerusakan pada kanalis Havers sehingga
masuk ke area fraktur setelah 24 jam terbenutk bekuan darah dan fibrin yang masuk
ke area fraktur, terbenuklah hematoma kemudian berkembang menjadi jaringan
granulasi.
b. Tahap Poliferasi.
Pada area fraktur periosteum, endosteum dan sumsum mensuplai sel yang
berubah menjadi fibrin kartilago, kartilago hialin dan jaringan panjang.
c. Tahap Formiasi Kalus atau Prakalus.
Jaringan granulasi berubah menjadi prakalus. Prakalus mencapai ukuran
maksimal pada 14 sampai 21 hari setelah injuri.
d. Tahap Osifikasi kalus.
Pemberian osifikasi kalus eksternal (antara periosteum dan korteks), kalus
internal (medulla) dan kalus intermediet pada minggu ke-3 sampai dengan minggu
ke-10 kalus menutupi lubang.
e. Tahap consolidasi.
Dengan aktivitas osteoblasi dan osteoklas, kalus mengalami proses tulang
sesuai dengan hasilnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemulihan :
a. Usia klien
b. Immobilisasi
c. Tipe fraktur dan area fraktur
d. Tipe tulang yang fraktur, tulang spongiosa lebih cepat sembuh dibandingkan
dengan tulang kompak.
e. Keadaan gizi klien.
f. Asupan darah dan hormon – hormon pertumbuhan yang memadai.
g. Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang.
h. Komplikasi atau tidak misalnya infeksi biasa menyebabkan penyembuhan lebih
lama.
i. Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid.
(Doenges, 2000:632-633)

H. Komplikasi
a. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat
trauma.
b. Mal union.
Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal
union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara
fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk
sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
c. Non union
Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu.
Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
d. Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam
waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.
e. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau
pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti
plate, paku pada fraktur.
f. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah
kecil, yang memsaok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
g. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas
permanen jika tidak ditangani segera.
h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia, dan
gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau keadaan
penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau pemasangan traksi.
(Brunner & suddarth, 2002: 2390).

I. Pemeriksaan Penunjang
1. X-Ray (Rontgen)
X-ray atau roentgen adalah pemberian dosis radiasi ionisasi dalam jumlah kecil
pada tubuh untuk menghasilkan citra atau gambaran tubuh bagian dalam. X-ray
merupakan cara atau treatment yang paling tua dan sering digunakan untuk pencitraan
di dalam dunia medis. X-ray konvensional (rontgen) merupakan pengambilan gambar
dari suatu obyek dengan menggunakan sinar-X. Obyek yang akan diamati akan disinari
dengan sinar-X, dan dibelakangnya diletakkan film untuk menangkap gambar yang
dihasilkan. X-ray biasanya sering digunakan untuk melihat ada atau tidaknya faktur
atau patah tulang dan melihat gambar pada bagian dada seseorang.
2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
MRI (Magnetic Resonance Imaging) merupakan suatu alat diagnostik terbaru
untuk memeriksa dan mendeteksi tubuh Anda dengan menggunakan medan magnet
yang besar dan gelombang frekuensi radio, tanpa operasi, penggunaan sinar X, ataupun
bahan radioaktif. Selama pemeriksaan MRI, akan memungkinkan molekul-molekul
dalam tubuh bergerak dan bergabung untuk membentuk sinyal-sinyal. Sinyal inilah
yang akan ditangkap oleh antena dan dikirimkan ke komputer untuk diproses dan
ditampilkan di layar monitor menjadi sebuah gambaran yang jelas dari struktur rongga
tubuh bagian dalam. Kelebihan MRI jika dibandingkan dengan peralatan lain adalah
gambar yang dihasilkan lebih jelas serta dapat dilihat dari berbagai sisi tanpa
melibatkan pengunaan radiasi, memberikan hasil tanpa perlu mengubah posisi pasien
dan tidak menggunakan kontras untuk sebagian besar pemeriksaan MRI. MRI
menciptakan gambar yang dapat menunjukkan perbedaan sangat jelas dan lebih sensitif
untuk menilai anatomi jaringan lunak dalam tubuh, terutama otak, sumsum tulang
belakang dan susunan saraf dibandingkan dengan pemeriksaan X-ray biasa maupun CT
scan.
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
Arteriogram disebut juga angiogram atau angiografi adalah pemindaian yang
dilakukan dengan menyuntikkan zat kontras ke dalam pembuluh nadi (nadi), sehingga
arteri menjadi lebih nampak pada saat rontgen. Alasan menggabungkanrontgen dengan
penyuntikkan zat kontras atau fluoroskopi membuat bagian dalam oembuluh darah
terlihat lebih gelap. Dengan demikian, akan lebih mudahbagi dokter untuk melakukan
pemeriksaan.
4. CCT kalau banyak kerusakan otot.
Circuit training memiliki pengertian yaitu suatu latihan fisik yang mana di sana
menggabungkan latihan kekuatan dengan Latihan aerobic yang mana dibuat dalam
bentuk pos-pos yang sudah tersusun berbentuk putaran.

Circuit training sendiri dibuat dengan tujuan agar orang tersebut dapat
meningkatkan kekuatan serta ketahanan otot. Manfaat yang didapat setelah melakukan
circuit training diantaranya ialah melatih daya tahan otot, melatih kekuatan jantung dan
melatih semua anggota tubuh.

(Carpenito 2000:50)

J. Penatalaksanaan Medis
1. Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi.
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
2. Konservatif
Pembedahan dapat mempermudah perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi
dapat berlangsung lebih cepat. Pembedahan yang sering dilakukan seperti disektomi
dengan peleburan yang digunakan untuk menyatukan prosessus spinosus vertebra;
tujuan peleburan spinal adalah untuk menjembatani discus detektif, menstabilkan
tulang belakang dan mengurangi angka kekambuhan. Laminectomy mengangkat
lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan
kompresi medulla dan radiks. Microdiskectomy atau percutaeneus diskectomy untuk
menggambarkan penggunaan operasi dengan mikroskop, melihat potongan yang
mengganggu dan menekan akar syaraf.
(Carpenito 2000:50)
K. Penatalaksanaan UGD
Penatalaksanaan di Unit Gawat Darurat merupakan penanganan awal pada
fraktur terbuka meliputi survei primer dan resusitasi, pemberian profilaksis antibiotik
dan tetanus, debridement dan stabilisasi awal.

1. Survei Primer dan Resusitasi


Pada survei primer dilakukan penanganan pada keadaan yang mengancam
nyawa, misalnya sumbatan jalan napas, henti napas, atau henti jantung.
2. Debridement
Dilakukan irigasi dengan larutan garam fisiologis atau air steril untuk
membersihkan luka dari material asing dan jaringan mati sehingga memperbaiki
suplai darah pada daerah tersebut. Kemudian luka ditutup dengan kasa steril dan
sekitar luka dipastikan bersih, lalu disiapkan untuk operasi.
Beberapa prinsip dalam melakukan debridement, antara lain eksisi luka,
ekstensi luka, penilaian terhadap fraktur, membersihkan jaringan mati, dan
membersihkan debris.
Penggunaan povidone iodine dan H2O2 tidak direkomendasikan karena dapat
menyebabkan kerusakan jaringan.
3. Pemberian Antibiotik Profilaksis
Pemberian antibiotik profilaksis pada fraktur terbuka dapat menurunkan risiko
infeksi. Pemberian antibiotik direkomendasikan sesegera mungkin dan dapat dipilih
berdasarkan derajat fraktur, dengan rekomendasi sebagai berikut :
 Derajat I-II : Cefazolin 1-2 g dosis awal, dilanjutkan dengan 1 gram setiap 8
jam selama 48 jam. Diberikan secara intravena. Apabila pasien memiliki
riwayat alergi terhadap sefalosporin, dapat digunakan clindamycin 900 mg
intravena setiap 8 jam selama 48 jam.
 Derajat III : Ceftriaxone 1 g intravena setiap 24 jam selama 48 jam. Alternatif
lain adalah clindamycin 900 mg intravena setiap 8 jam dan aztreonam 1 gram
intravena setiap 8 jam selama 48 jam
 Derajat III dengan keadaan khusus seperti crush injury atau gangguan vaskular:
Tambahkan Penicillin G 4 juta IU intravena setiap 4 jam selama 48 jam yang
berfungsi untuk mencegah infeksi Clostridium pada luka yang terkontaminasi
tanah, terutama pada area pertanian.
4. Pemberian Profilaksis Tetanus
Berikut indikasi pemberian profilaksis tetanus:
 Jika pemberian booster tetanus dalam 5 tahun terakhir, maka tidak perlu
mendapatkan profilaksis tetanus.
 Jika pemberian booster tetanus > 5 tahun atau vaksin tidak lengkap, maka perlu
diberikan Tetanus Toksoid (TT) 0,5 mL.
 Jika pemberian booster tetanus >10 tahun atau pasien imunokompromais, maka
perlu diberikan Tetanus Toksoid (TT) 0,5 mL dan Tetanus immunoglobulin
(HTIG) sesuai dengan usia. Anak < 5 tahun mendapatkan 75 U, usia 5-10 tahun
mendapatkan 125 U, dan usia >10 tahun mendapatkan 250 U.
5. Stabilisasi
Stabilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan splint, brace, atau traksi
sementara. Tujuan tindakan ini untuk mengurangi rasa nyeri, meminimalkan trauma
jaringan lunak dan mencegah terjadinya gangguan pembekuan.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


a. Pengkajian

Primary Survey
1. Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan
nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi
selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau
dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000). Yang perlu diperhatikan
adalah mengkaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas
2. Breathing
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai,
maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan
drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan
ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).

3. Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis
shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,
pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin.
Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan
yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain
yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax,
cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan
eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara
memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000).

4. Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.

5. Expose
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting
untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung
pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Secondary Survey
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan
utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga,
sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat
pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan
bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan
dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat
kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan
gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau
vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)

2. Pemeriksaan Fisik
a. Kulit Kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka
termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp &
Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
menjadi sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata
Periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor atau
anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis
atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies
campus), apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri,
gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2) Hidung
Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman,
apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga
Periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan atau hilangnya
pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani
atau adanya hemotimpanum
4) Rahang atas
Periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah
Periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring
Inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna, kelembaban, dan
adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil
meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/
tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang
atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri
c. Vertebra Servikalis dan Leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan
menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi
trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas,
pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan
simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga
airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak
sekunder.
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan
tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace
maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan
kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot
dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang,
untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah
distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda
tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi
abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk
mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus
yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan
pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG (Ultra
Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala
mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi
berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila
diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).
f. Pelvis
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang
PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD
118, 2010).
g. Ekstremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,
jangan lupa untuk memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuka), pada saat pelpasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari
fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma
kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi
sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada
penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118,
2010).
Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan
sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur,
sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya
nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat
s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan
berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament
dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan
mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan
kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur
torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma.
Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal,
dan dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent.
Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan
punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga
terjadi syok yang dapat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita
dalam keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali
barulah kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
h. Bagian Punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,
memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini
dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa
adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema
serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
i. Neorologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik.
Perubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.
Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau
saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar
servikal, dan alat imobilisasi dilakukan sampai terbukti tidak ada fraktur
servikal.
b. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa yang yang mungkin kita angkat dan menjadi perhatian pada open
fraktur tibia 1/3 distal dextra, diantaranya :
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran
alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
5. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang
terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang
akurat/lengkapnya informasi yang ada
c. Intervensi Keperawatan
Observasi
- Identifikasi lokasi , karakteristik , durasi , frekuensi , kualitas , identitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respons nyeri non verbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (misalnya :
TENS , hipnosis , akupresur , terapi musik , biofeedback , terapi pijat ,
aromaterapi , teknik imajinasi terbimbinng , kompres hangat/dingin , terapi
bermain)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (Misalnya : suhu ruangan ,
pencahayaan , dan kebisingan)
- Fasilitas istirahat dan tidur
- Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan starategi meredakan
nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu.
d. Implementasi Keperawatan
Menurut Nursalam (2011), Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana
intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah
rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing order untuk membantu klien
mencapai tujuan yang diharapkan.
e. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan, rencana intervensi, dan
implementasinya (Nursalam, 2011), maka hasil yang diharapkan sesuai dengan rencana
tujuan, yaitu:
a. Nyeri yang dialami pasien berkurang.
Kriteria hasil:
1) Pasien menyatakan nyeri berkurang
2) Pasien mengungkapkan mampu tidur / istirahat dengan baik.
3) Pasien tampak rileks
4) TD pasien dalam rentang normal 100/60- 120/80 mmHg
5) Frekuensi nadi pasien dalam rentang normal 80-100 x/menit
6) Skala nyeri 0 dari 0 - 10
7) Wajah tampak tenang dan rileks.
8) Pasien dapat beraktivitas sesuai kemampuan.
b. Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi
Kriteria hasil :
1) Penyembuhan luka sesuai waktu
2) Tidak ada laserasi, integritas kulit baik
c. Perfusi jaringan efektif
Kriteria hasil :
1) Meningkatkan perfusi jaringan
2) Tingkat kesadaran composmentis
3) Fungsi kognitif dan motorik/sensorik yang membaik
4) Tidak terjadinya tanda-tanda peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial)
5) Tekanan darah dalam rentang yang normal (100/60- 120/80 mmHg)
6) Nadi perifer tidak teraba
7) Edema perifer tidak ada
d. Pasien dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri atu kerusakan mobilitas fisik
dapat berkurang
Kriteri hasil :
1) Men ingkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat yang paling tinggi
yang mungkin
2) Mempertahankan posisi fungsional
3) Meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit
e. Resiko syok hipovolemik tidak terjadi
Kriteria hasil :
1) Klien tidak mengeluh pusing
2) Membra mukosa lembab
3) Turgor kulit normal
4) TTV dalam batas nomal (N : 80-100 x/menit, TD : 100/60- 120/80 mmHg)
5) CRT <2 detik
6) Urine >600 ml/hari
f. Tidak terjadi infeksi
Kriteri hasil :
1) Tidak terdapat tanda dan gejala infeksi
2) Klien mampu mendiskripsikan proses penularan penyakit, factor yang
mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya
3) Klien mempunyai kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
4) Jumlah leukosit dalam batas normal (5.000 – 10.000)
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

No. Rekam Medis ... ... ... Diagnosa Medis : OF Tibia 1/3 distal dekstra
IDENTITAS

Nama : Tn. X Jenis Kelamin :L Umur : 25 tahun


Agama : Islam Status Perkawinan : Kawin Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta Sumber informa :
Alamat : Denpasar
TRIAGE P1 P2 P3 P4
GENERAL IMPRESSION
Keluhan Utama : Pasien datang sadar mengeluhkan nyeri pada kaki kanannya setelah terkena
mesin 4 jam sebelum MRS.

Mekanisme Cedera : Pasien sedang memperbaiki mesin yang rusak, tiba-tiba kaki kanan pasien
terpleset dan tergilas mesin.

Orientasi (Tempat, Waktu, dan Orang) : √ Baik  Tidak Baik, ... ... ...
AIRWAY
Jalan Nafas : √ Paten  Tidak Paten
Obstruksi :  Lidah  Cairan  Benda Asing √ Tidak ada
Suara Nafas : Snoring Gurgling Stridor
Keluhan Lain:-
PRIMERY SURVEY

BREATHING
Gerakan dada: √ Simetris  Asimetris
Irama Nafas :  Cepat  Dangkal √ Normal
Pola Nafas : √ Teratur  Tidak Teratur
Retraksi otot dada :  Ada √ Tidak ada
Sesak Nafas :  Ada √ Tidak Ada  RR : 32 x/mnt
Keluhan Lain:-

CIRCULATION
Nadi : 124 x/mnt √ Teraba  Tidak teraba
Sianosis :  Ya √ Tidak
CRT : √ < 2 detik  > 2 detik
Pendarahan : √ Ya  Tidak ada
Akral : √ Hangat  Panas  Dingin
TD : 190/50 mmHg
Keluhan Lain:-

DISABILITY
Respon :√ Alert  Verbal  Pain  Unrespon
Kesadaran : √ CM  Delirium  Somnolen  ... ... ...
GCS : √ Eye ... √ Verbal ... √ Motorik ...
Pupil : √ Isokor  Unisokor  Pinpoint  Medriasis
Refleks Cahaya: √ Ada  Tidak Ada
Keluhan Lain :-
SECONDARY SURVEY

ANAMNESA
Gejala : Pasien mengeluh nyeri dan pusing

Alergi : pasien tidak memiliki alergi

Medikasi : tidak mendapatkan pengobatan apapun

Riwayat Penyakit Sebelumnya: tidak memiliki riwayat

Makan Minum Terakhir: 1 jam

Even/Peristiwa Penyebab: Pasien sedang memperbaiki mesin yang rusak, tiba-tiba kaki kanan
pasien terpleset dan tergilas mesin.

EXPOSURE

Deformitas :  Ya  Tidak
Contusio :  Ya  Tidak
Abrasi :  Ya  Tidak
Penetrasi : Ya  Tidak
Laserasi : Ya  Tidak
Edema : Ya  Tidak
Keluhan Lain: ......

FULL VITAL SIGN/FIVE INTERVENTION/FAMILY PRESENT


TD :90/50 mmHg RR : 18x/menit

Nadi : 98x/menit Suhu : 36°C

GIVE COMFORT (Pemberian Kenyamanan)

supinasi

HISTORY

PEMERIKSAAN FISIK (Head To Toe Assessment)


1. Kepala dan Leher:
Inspeksi : Cephalhematoma (-), Memar (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-),Tenderness (-)

2. Dada:
Paru
Inspeksi : Simetris
Palpasi : nyeri tekan -
Perkusi : Sonor di semua lapang baru
Auskultasi :
Jantung
Inspeksi : scordis tidak nampak
Palpasi : Nyeri tekan (-),Tenderness (-)
Perkusi ; batas jantung
Auskultasi : Murmur (-)

3. Abdomen:
Inspeksi : Memar (-), Distansi (-)
Palpasi :
Perkusi : tympani
Auskultasi : BU

4. Pelvis:
Inspeksi : Memar (-)
Palpasi : Nyeri Tekan (-)

5. Ektremitas Atas/Bawah:
Inspeksi : ada luka terbuka kaki pucat
Palpasi : akral dingin, krepitasi

6. Punggung :
Inspeksi : Hematoma (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)

7. Pemeriksaan Neurologis : Pupil (+)


GCS
INSPECT POSTERIOR SURFACE

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
√ RONTGEN  CT-SCAN  USG  EKG
 ENDOSKOPI  Lain-lain, ... ...
 PEMERIKSAAN LAB
Hasil :
Open Fraktur Tibia Dekstra

Penatalaksanaan :
 Analgetik
 Antibiotik
 Antitetanus
 Debridemen
 Intramedullary wire Fibula
 Fiksasi Eksternal Tibia
 Memperbaiki Tendon
 Backslab
Tanggal Pengkajian :
Jam :
Keterangan :

ANALISA DATA

Nama Pasien : Tn. X


No. Register :
NO KELOMPOK DATA MASALAH ETILOGI

1. DS : Pasien mengeluh nyeri pada kaki


kanannya setelah terkena mesin 4 jam
sebelum MRS.
DO :

 Terdapat open fraktur pada tibia 1/3


distal dekstra

 TD : 120/70 mmHg

 RR : 18x/menit

 Nadi : 98x/menit

 Suhu : 36°C

 Skala nyeri 7

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Nama Pasien :
No. Register :

TANGGAL DIAGNOSA KEPERAWATAN TANGGAL TANDA


MUNCUL TERATASI TANGAN
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Nama Pasien :
No. Register :

TGL NO TUJUAN KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL TT


CATATAN KEPERAWATAN

Nama Pasien :
No. Register :

NO
TANGGAL JAM TINDAKAN KEPERAWATAN TT
DX

CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Pasien :
No. Register :

NO
TANGGAL TANGGAL TANGGAL
DX

DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3. EGC. Jakarta
Carpenito (2000). Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis. Ed. 6. EGC. Jakarta
Khumairoh, Lina. 2013. Pengkajian Gawat Darurat pada Pasien Dewasa.
https://www.academia.edu/10950378/pengkajian_kegawatdaruratan. Diakses pada 10
Juni pukul 21.30 WIB.
Purnomo. 2015. Open Fracture Tibia dan Fibula.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/0d217cb7118b64ceec31ca1f21c6
e568.pdf. Diakses pada 31 Mei 2020 pukul 18.54 WIB.
Sutanto, Karina. 2017. Penatalaksanaan Fraktur Terbuka.
https://www.alomedika.com/penyakit/ortopedi/fraktur-terbuka/penatalaksanaan. Diakses
pada 8 Juni 2020 pukul 19.20 WIB.

Anda mungkin juga menyukai