PENDAHULUAN
1
1.3 TUJUAN PENULISAN
Tujuan umum
Dengan pembuatan makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui dan memahami tentang masalah adaptasi sel terutama
atrofi.
Tujuan khusus
o Mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan apa
yang dimaksud dengan atrofi.
o Mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan
tentang penyebab atrofi.
o Mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan
tentang jenis – jenis atrofi.
2
BAB II
KAJIAN TEORI
Atrofi yang terjadi pada suatu alat tubuh menyebabkan alat tubuh tersebut
mengecil.Mengecilnya alat tubuh tersebut terjadi karena sel-sel spesifik,yaitu
sel-sel parenchyma yang menjalankan fungsi alat tubuh tersebut mengecil.Jadi
bukan mengenal sel-sel jaringan ikat atau sroma alat tubuh tersebut.Srtoma
tampaknya bertambah,yang srbenarnya hanya relative,karena stroma tetap.
Lisosom
Lisosom mengandung protease dan enzim lain pendegradasi
molekul yang di endositosis dari lingkungan ekstrasel, serta
mengatabolisme komponen subselular, seperti organelanyang
menunjukkan proses penuaan ( senescent).
3
Jalur ubiquitin-proteasome
Bertanggung jawab untuk degradasi banya protein sitosolik dan
inti. Protein yang di degradasi melalui proses ini, secara khas menjadi
sasaran oleh konjugasi ubiquitin, peptida 76-asam amino sitosolik.
Protein ini kemudian di degradasi dalam proteasome, kompleks
proteolitik sitoplasmik besar. Jalur ini menyebabkan percepatan
proteolisis pada keadaan hiperkatabolik ( termasuk kakeksia kanker )
dan pengaturan berbagai molekul aktifasi intra sel.
Mekanisme biokimia atrofi tidak diketahui benar. Pada sel normal terdapat
keseimbangan yang diatur cermat antara sintesis dan degradasi protein, dan
pengurangan sintesis, peningkatan katabolisme atau keduanya, dapat
menyebabkan atrofi. Hormon, khususnya insulin, hormon tiroid, glukokortikoid
4
dan prostaglandin mempengaruhi peralihan protein tersebut. Jadi hanya sedikit
kenaikan degradasi yang berlangsung lama dapat menimbulkan atrofi.
Konsentrasi protease hidrolitik dalam sel meningkatkan atrofi, akan tetapi enzim-
enzim ini tidak mudah di lepaskan ke dalam sitoplasma, karena hal ini dapat
mengakibatkan perusakan sel yang tak terkendali. Enzim ini, tergabung dalam
vakuol autofagi. Jadi pada banyak keadaan atrofi disertai kenaikan nyata jumlah
vakuol autofagi.
1. Atrofi fisiologis
Adalah alat tubuh yang dapat mengecil atau menghilang sama sekali selama
masaperkembangan atau kehidupan .
mis: pengecilan kelenjar thymus, ductus omphalomesentricus, ductus thyroglossus.
2. Atrofi Senilis
Adalah mengecilnya alat tubuh pada orang yang sudah berusia lanjut (aging
process). Alat tubuh pada orang yang sudah berumur lanjut umumnya
mengecil.
5
3. Atrofi kelaparan(starvation atrophy)
Starvation atrophy terjadi bila tubuh tidak mendapat makanan untuk
waktu yang lama.Dapat terjadi pada orang yang sengaja puasa pada
waktu yang lama(tanpa berbuka puasa),orang yang memang tidak
mendapat makanan sama sekali(karna terdampar di laut atau di padang
pasir),orang yang menderita gangguan pada saluran perncernaan
misalnya karena terdapat penyempitan(striktura)esophagus.Pada
penderita tersebut terakhir mungkin mendapat makanan dan minuman
cukup,tetapi makanan ini tidak dapat mencapai lambung dan usus karena
disemprotkan kembali.Karena itu alat-alat tubuh tidak mendapat makanan
cukup dan mengecil.Badan menjadi kurus kering,mengalami
emasiasi,inanisi.
Karena atrofi ini terjadi akibat hilangnya implus trofik maka juga disebut
atrofi neurotrofik.Tulang-tulang pada orang yang karena pada suatu
keadaan terpaksa harus berbaring lama mengalami atrof
inaktivitas.Tulang-tulang ini menjadi berlubang-lubang karena kehilangan
kalsiumnya sehingga tidak dapat menunjang tubuh dengan baik.Sel-sel
kelenjar akan rusak apabila saluran keluarnya tersumbat untuk waktu
lama. Ini misalnya nyata pada pancreas.Bila terdapat sumbatan
(occlusion) pada saluran keluar pancreas maka sel-sel asinus pancreas
(eksokrin) menjadi atrofik,tetapi pulau-pulau Langerhans (endokrin) yang
membentuk hormone dan disalurkan ke dalam darah tidak mengalami
atrofi.
Atrofi desakan fisiologis : pada gusi akibat desakan gigi yang mau tumbuh
(pada anak-anak).
6
Atrofi desakan patologis :
Atrofi desakan patogik misalnya terjadi pada sternum
akibat aneurisma aorta.Pelebaran aorta di daerah substernal
biasanya terjadi akibat syphlisis.Karena desakan yang tinggi
dan terus menerus mengakibatkan sternum menipis.Parenchym
ginjal dapat menipis akibat desakan terus menerus.Ginjal
seluruhnya berubah menjadi kantung berisi air,disebut
hydronephrosis,yang biasanya terjadi akibat obstruksi
ureter,yang biasanya disebabkan oleh batu.Atrofi dapat terjadi
pada suatu alat tubuh karena menerima desakan suatu tumor
didekatnya yang makin lama makin besar.
7. Atrofi Endrokin
Atrofi yang terjadi pada alat tubuh yang aktifitasnya bergantung pada
rangsang hormon tertentu. Atrofi akan terjadi apabila pembentukan
hormone tersebut berkurang atau terhenti sama sekali.Hal ini misalnya
dapat terjadi pada penyakit Simmonds.Pada penyakit ini hipofisis tidak
aktif sehinggamengakibatkan atrofi pada kenjer gondok,adrenal dan
ovarium.
Pada sumber lain dikatakan bahwa berdasarkan penyebabnya, atrofi dibagi atas :
3. Disuse Atrofi : akibat dari tidak dipergunakan dalam waktu yang lama,
mis. pada orangsakityang harus berbaring lama di tempat tidur.
7
BAB III
KASUS
Dalam makalah ini, kelomopk kami akan membahas salah satu contoh dari
gangguan atrofi yaitu Rinitis Atrofi.
Seorang wanita SM, berumur 17 tahun , datang ke Poli THT RSUP H. Adam
Malik, Medan pada tanggal 23 September 2004 dengan keluhan utama hidung
tersumbat.
Hal ini dialami sejak 1 tahun yang lalu disertai ingus kental dan kerak hidung
bewarna kuning kehijauan, hidung berbau busuk yang dirasakan oleh keluarga dan
teman-temannya sedangkan penderita sendiri tidak merasa bau. Kadang-kadang
timbul sakit kepala dan terasa tersangkut ketika menelan.
Pemeriksaan rinoskopi anterior dijumpai krusta hijau dan sekret hijau di dalam
kedua kavum nasi. Setelah krusta diangkat tampak mukosa pucat, konka media dan
inferior atrofi sehingga kavum nasi lapang. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior
dijumpai postnasal drip.
Kontrol pada hari ke-15, keluhan telah berkurang seperti hidung tersumbat,
hidung berbau dan ingus. Kerak hidung tidak dijumpai lagi dan penciuman mulai
membaik. Pada pemeriksaan tidak dijumpai lagi krusta. Sekret hidung berubah
menjadi warna kuning dan mukosa sudah merah muda. Konka media dan inferior
masih atrofi sedangkan postnasal drip tidak ada lagi. Kepada pasien dianjurkan
untuk meneruskan obat.
Kontrol hari ke-29, keluhan hidung tersumbat tidak ada lagi dan penciuman
sudah membaik. Di samping itu hidung berbau dan ingus sudah berkurang. Pada
pemeriksaan,sekret hidung sudah berubah menjadi serous. Kavum nasi masih
terlihat lapang, namun konka sudah merah muda dan hipotrofi.
8
DISKUSI
Rinitis atrofi yang terjadi pada kasus ini merupakan rinitis atrofi primer
(ozaena) yaitu terjadi pada wanita usia pubertas dengan sosio-ekonomi yang rendah
dan lingkungan yang buruk serta adanya infeksi hidung yang sudah lama. Pada
kasus ini diberikan pengobatan secara konservatif dengan medikamentosa dan cuci
hidung. Setelah 2 minggu penderita mengalami perbaikan dan pada minggu ke-4
terlihat konka tumbuh menjadi hipotrofi. Pasien dianjurkan untuk kontrol 2 minggu
sekali selama 2 – 3 bulan.
9
BAB IV
PEMBAHASAN
RINITIS ATROFI
A. DEFINISI
Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang ditandai atrofi progresif
mukosa hidung dan tulang penunjangnya disertai pembentukan sekret yang
kental dan tebal yang cepat mengering membentuk krusta, menyebabkan
obstruksi hidung, anosmia, dan mengeluarkan bau busuk. Rinitis atrofi disebut
juga rinitis sika, rinitis kering, sindrom hidung-terbuka, atau ozaena.
B. INSIDENSI
C. KLASIFIKASI
1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis
pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi
disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.
10
2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di
negara berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus,
selanjutnya radiasi, trauma, serta penyakit granuloma dan infeksi.
D. ETIOLOGI
Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder. Rinitis atrofi
primer adalah rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya,
sedangkan rinitis atorfi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau
penyakit. Rinitis atrofi primer adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana
penyebab pastinya belum diketahui namun pada kebanyakan kasus
ditemukan klebsiella ozaenae.
Selain faktor diatas, beberapa keadaan dibawah ini juga diduga sebagai
penyebab rinitis atrofi:
Dilaporkan terjadi perbaikan pada 50% pasien yang mendapat terapi besi
dan pada 84% pasien yang diterapi dengan vitamin A mengalami perbaikan
simptomatis. Adanya hiperkolesterolemia pada 50% pasien rinitis atrofi
menunjukkan peran diet pada penyakit ini.
11
3) Perkembangan
4) Lingkungan
Dilaporkan telah terjadi rinitis atrofi pada pasien yang terpapar fosforit dan
apatida.
5) Sinusitis kronik
8) Ketidakseimbangan otonom
10) Herediter
12) Golongan darah
E. PATOGENESIS
Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada
rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas
epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada
rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia.
Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan
kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang
parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu
terjadi juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang
dapat menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses
penyakit rinitis atrofi itu sendiri).
12
Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I,
adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik
yang membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat
vasodilatasi kapiler yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.
F. GEJALA KLINIS
Gejala :
- sakit kepala
- bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang
lain yang ada di sekitarnya. Bau ini tidak diketahui oleh pasien karena
atrofi dari mukosa olfaktoria.
13
- Faringitis sikka
Tanda :
- foeter ex nasi
b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna
makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai
garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan
krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
apusan hidung .
radiologi dan kultur punksi sinus untuk meniyingkirkan sepsis pada
sinus.
test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk
menyingkirkan sifilis.
tes serologi yang lain :
− protein Serum.
− pemeriksaan Fe serum
14
CT scan dianjurkan jika diagnosis meragukan
H. DIAGNOSIS
DIAGNOSIS BANDING
1. Rinitis atrofi
sekret bilateral dan berbau dengan krusta berwarna kuning kehijauan,
penderita tidak membau, sedangkan orang lain membau. Lebih banyak
menyerang wanita daripada pria, terutama sekitar usia pubertas.
2. Sinusitis
sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan orang
lain disekitarnya membau. Dapat terjadi baik pada anak-anak maupun orang
dewasa. Terkadang ditemukan hiposmia karena adanya obstruksi.
3. Nasofaringitis kronis
sekret post nasal bilateral, penderita membau, sedangkan orang lain
tidak membau. Tidak ada perbedaan frekuensi antara pria dan wanita.
15
I. PENATALAKSANAAN
Terapi Topikal
Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah dengan
irigasi nasal. Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu terapi pencegahan
atau sebagai suatu terapi yang bersifatrumatan. Fungsi dari irigasi nasal sendiri
ialah mencegah terbentuknya pengumpulan krusta dalam rongga hidung.
Terdapat beberapa variasi tipe dari bahan irigasi yang dianjurkan namun tak ada
literatur yang menunjukan akan kelebihan bahan yang satu dengan lainnya.
NaCl
NH4Cl
NaHCO3 aaa9
Aqua ad 300 cc
1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
3. Campuran
Na bikarbonat 28,4 g
Na diborat 28,4 g
NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
16
Terapi Sistemik
Terapi Bedah
1. Operasi Young
17
3. Operasi Lautenschlager
Simpatektomi servikal
Blokade ganglion Stellata
Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina
18
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
19
Rinitis atrofi adalah infeksi kronis pada rongga hidung dengan atrofi
mukosa yang progresif. Gejala khas penyakit ini adalah sekret purulen, krusta,
dan hidung berbau busuk yang dapat menyebabkan gangguan kejiwaan.
Penyakit ini biasanya mengenai wanita dan pada usia pubertas. Pengobatan
dapat dilakukan dengan konservatif dan operasi.
Rinitis atrofi ringan,
Rinitis atrofi sedang,
Rinitis atrofi berat,
SARAN
20
DAFTAR PUSTAKA
Nurhadi.2011.Atrofi.http://www.scribd.com/nurhadi/d/53424015-Atrofi.
Rizsa.2011. ozaena-rhinitis-atrofi.
http://rizsa82.wordpress.com/2008/07/19/ozaena-rhinitis-atrofi/
21