Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


 
Jejas sel atau cedera sel adalah keadaan dimana suatu sel tidak lagi
dapat beradaptasi terhadap rangsangan. Hal ini terjadi apabila rangsangan
ataustimulus tersebut terlalu lama atau terlalu berat.(Elizabeth J. Corwin,
2001).Stimulus atau rangsangan eksogen dan endogen yang sama
yangmenyebabkan jejas sel, juga menimbulkan reaksi kompleks pada jaringan
ikatyang memiliki vaskularisasi yang dinamakan inflamasi.(Mitchell &
Cotran,2007). Dasar terjadinya penyakit ialah jejas pada sel. Bentuk reaksi sel
jaringanorgan atau system tubuh terhadap jejas disebut adaptasi sel,

Seperti hewan, manusia juga menyesuaikan dengan perubahan lingkungan pada


evolusi jenisnya, demikian juga sel-sel menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan
mikronya. Fungsi dan morfologi sel normal tidak berada dalam keadaan yang kaku, tetapi
mengikuti perubahan struktur dan fungsi cairan yanfg mencerminkan perubahan tantangan
hidup. Organel menjadi tua dan diganti yang lebih baru untuk menyesuaikan diri dengan
tantangan metabolik. Bila tekanan dan pengaruh yang merusak mengenai sel, bila
memungkinkan sel akan menyesuaikan diri dan siap berubah, memungkinkan sel hidup
dalam lingkungan yang berubah. Seperti sebelumnya terjadi peralihan berkesinambungan
substruktur sel untuk penyusaian jumlah organel yang sesuai dengan kadar tekanan.
Keseimbangan baru tetapi berubah akan tercapai, salah satu contohnya yaitu atrofi.

Atrofi adalah pengerutan ukuran sel dengan hilangnya substansi sel. Halini


bisa disebabkan karena berkurangnya beban kerja, hilangnya persarafan, berkurangnya
suplai darah, nutrisi yang tidak adekuat dan penuaan. Harus ditegaskan
walaupun menurun fungsinya,sel atrofi tidak mati.

Atrofi menggambarkan pengurangan komponen struktur sel, mekanisme


biokimiawi yang mendasari proses tersebut berfariasi, tetapi akhirnya
memengaruhi keseimbangan antara sintesis dan degradasi. Sintesis yang
berkurang, peningkatan katabolisme, atau keduanya akan memyebabkan atrofi.

1.2 RUMUSAN MASALAH

 Apa pengertian atrofi


 Apa saja faktor yang menyebabkan atrofi
 Apa saja jenis-jenis atrofi

1
1.3 TUJUAN PENULISAN

 Tujuan umum
Dengan pembuatan makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui dan memahami tentang masalah adaptasi sel terutama
atrofi.

 Tujuan khusus
o Mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan apa
yang dimaksud dengan atrofi.
o Mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan
tentang penyebab atrofi.
o Mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan
tentang jenis – jenis atrofi.

2
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 DEFINISI ATROFI

Atrofi merupakan pengerutan ukuran sel dengan hilangnya substansi sel.


Apabila mengenai sel dalam jumlah yang cukup banyak, seluruh jaringan atau
organ berkurang massanya, menjadi atrofi. Harus ditegaskan bahwa walaupun
dapat menurun fungsinya, sel atrofi tidak mati. Pada kondisi yang berlawanan,
kematian sel terprogram ( apoptotik ) bisa juga di induksi oleh sinyal yang sama
yang menyebabkan atrofi sehingga dapat menyebabkan hilang sel pada “atrofi”
seluruh organ.

Atrofi yang terjadi pada suatu alat tubuh menyebabkan alat tubuh tersebut
mengecil.Mengecilnya alat tubuh tersebut terjadi karena sel-sel spesifik,yaitu
sel-sel parenchyma yang menjalankan fungsi alat tubuh tersebut mengecil.Jadi
bukan mengenal sel-sel jaringan ikat atau sroma alat tubuh tersebut.Srtoma
tampaknya bertambah,yang srbenarnya hanya relative,karena stroma tetap.

Kadang-kadang dapat terjadi atrofi akibat jumlah sel parenchyma


berkurang,yaitu atrofi numerik.Meskipun atrofi biasanya merupakanproses
patologik juga di kenal atrofi fisiologik.Beberapa alat tubuh dapat mengecil atau
menghilang sama sekali selama masa perkembangan/kehidupan,dan jika alat
tubuh tersebut sesudah masa usia tertentu tidak menghilang,malah di anggap
patologik.contoh:Kelenjar thymus,ductus omphalomesentericus,ductus
thyrogiossus.

Atrofi menggambarkan pengurangan komponen struktur sel, mekanisme


biokimiawi yang mendasari proses tersebut berfariasi, tetapi akhirnya
memengaruhi keseimbangan antara sintesis dan degradasi. Sintesis yang
berkurang, peningkatan katabolisme, atau keduanya akan memyebabkan atrofi.
Pada sel normal, sintesis dan degradasi isi sel dipengaruhi sejumlah hormon,
termasuk insulin, TSH ( hormon perangsang tiroid), dan glukokortikoid.

Pengaturan degradasi protein tampaknya mempunyai peran kunci pada


atrofi. Sel mamalia mengandung dua sistem proteolitik yang menjalankan
funmgsi degradasi berbeda:

 Lisosom
Lisosom mengandung protease dan enzim lain pendegradasi
molekul yang di endositosis dari lingkungan ekstrasel, serta
mengatabolisme komponen subselular, seperti organelanyang
menunjukkan proses penuaan ( senescent).

3
 Jalur ubiquitin-proteasome
Bertanggung jawab untuk degradasi banya protein sitosolik dan
inti. Protein yang di degradasi melalui proses ini, secara khas menjadi
sasaran oleh konjugasi ubiquitin, peptida 76-asam amino sitosolik.
Protein ini kemudian di degradasi dalam proteasome, kompleks
proteolitik sitoplasmik besar. Jalur ini menyebabkan percepatan
proteolisis pada keadaan hiperkatabolik ( termasuk kakeksia kanker )
dan pengaturan berbagai molekul aktifasi intra sel.

Pada banyak situasi, atrofi disertai peningkatan bermakna sejumlah


vakuola autofagik, fusi lisosom dengan organela dan sitosol intra sel
memungkinkan katabolisme dan pembokaran komponen selnya sendiri pada sel
yang atrofi. Beberapa debris sel di dalam vakuola autofagositik dapat menahan
digesti dan menetap sebagai badan residu yang terikat membran ( misal,
lipofuscin ).

2.2 PENYEBAB ATROFI

Penyebab atrofi antara lain:

 Berkurangnya beban kerja ( contoh: Imobilisasi anggota gerak yang


memungkinkan proses penyembuhan fraktur )
 Hilangnya persyarafan
 Berkurangnya suplai darah
 Nutrisi yang tidak adekuat
 Hilangnya ransangan endokrin
 Penuaan

Walaupun beberapa ransangan di atas bersifat fisiologis (misalnya,


hilangnya ransangan hormon pada monopose ) dan patologi lain ( misal,
denervasi), perubahan selular yang mendasar bersifat identik. Perubahan itu
menggambarkan kemunduran sel menjadi ukuran yang lebih kecil dan masih
memungkinkan bertahan hidup, suatu keseimbangan baru di capai antara ukuran
sel dan berkurangnya suplai darah, nutrisi, atau stimulasi trofik.

Semua perubahan sel yang mendasari sifatnya sama, berupa


kemunduran sel sampai ukuran yang lebih kecil disertai kemampuan hidup yang
masih di mungkinkan. Sel mengandung sedikit mitokondria dan miofilamen serta
pengurangan retikulum endoplasma.

Mekanisme biokimia atrofi tidak diketahui benar. Pada sel normal terdapat
keseimbangan yang diatur cermat antara sintesis dan degradasi protein, dan
pengurangan sintesis, peningkatan katabolisme atau keduanya, dapat
menyebabkan atrofi. Hormon, khususnya insulin, hormon tiroid, glukokortikoid

4
dan prostaglandin mempengaruhi peralihan protein tersebut. Jadi hanya sedikit
kenaikan degradasi yang berlangsung lama dapat menimbulkan atrofi.
Konsentrasi protease hidrolitik dalam sel meningkatkan atrofi, akan tetapi enzim-
enzim ini tidak mudah di lepaskan ke dalam sitoplasma, karena hal ini dapat
mengakibatkan perusakan sel yang tak terkendali. Enzim ini, tergabung dalam
vakuol autofagi. Jadi pada banyak keadaan atrofi disertai kenaikan nyata jumlah
vakuol autofagi.

2.4 MACAM – MACAM ATROFI

Macam - macam atrofi adalah sebagai berikut:

1. Atrofi fisiologis
Adalah alat tubuh yang dapat mengecil atau menghilang sama sekali selama
masaperkembangan atau kehidupan .
mis: pengecilan kelenjar thymus, ductus omphalomesentricus, ductus thyroglossus.

2. Atrofi Senilis
Adalah mengecilnya alat tubuh pada orang yang sudah berusia lanjut (aging
process). Alat tubuh pada orang yang sudah berumur lanjut umumnya
mengecil.

Sebab-sebab proses atrofi pada masa tua bermacam-macam,di


antaranya ialah endokrin,involusi akibat hilangnya rangsang-rangsang
tumbuh(growh stimuli),mengurangnya pembekalan darah(vascular
supply)akibat sklerosis(penebalan)arteri.

Dapat dilihat misalnya payudara,yang mengecil pada wanita dalam


menopause.Juga ovarium dan uterus.Kulit yang menjadi tipis dan
keriput .Tulang-tulang,baik tulang panjang maupun tulang tengkorak
menipis dan ringan akibat resopsi,sehingga tulang ini menjadi berlubang-
lubang,dan mudah patah oleh trauma yang ringan.Otak juga
mengecil,melisut.Sulkus-sulkus melebar.susunan ventrikel membesar.Sel
ganglion berkurang,sebaliknya sel glia bertambah(gliosis).Perubahan otak
menyebabkan kemunduran dalam kejiwaan yang disebut dementia sinilis.

Pada atrofi susunan saraf ,pembuluh darah otak biasanya mengalami


arteriosklerosis.Pada atrofi senilis,atrofi terjadi pada semua alat tubuh
secara umum,karena atrofi senilis termasuk dalama atrofi umum(general
atrophy).

5
3. Atrofi kelaparan(starvation atrophy)
Starvation atrophy terjadi bila tubuh tidak mendapat makanan untuk
waktu yang lama.Dapat terjadi pada orang yang sengaja puasa pada
waktu yang lama(tanpa berbuka puasa),orang yang memang tidak
mendapat makanan sama sekali(karna terdampar di laut atau di padang
pasir),orang yang menderita gangguan pada saluran perncernaan
misalnya karena terdapat penyempitan(striktura)esophagus.Pada
penderita tersebut terakhir mungkin mendapat makanan dan minuman
cukup,tetapi makanan ini tidak dapat mencapai lambung dan usus karena
disemprotkan kembali.Karena itu alat-alat tubuh tidak mendapat makanan
cukup dan mengecil.Badan menjadi kurus kering,mengalami
emasiasi,inanisi.

4. Atrofi setempat (local atrophy)


Atrofi setempat akibat keadaan-keadaan tertentu.

5. Atrofi inaktifitas (Disuse atrophy)


Adalah atropi yang terjadi akibat in aktifitas otot-otot yangmengakibatkan otot-otot
tersebut mengecil.
Mis: pada kelumpuhan otot akibat hilangnyapersarafan seperti pada poliomyelitis
(atrophy neurotrofik).

Karena atrofi ini terjadi akibat hilangnya implus trofik maka juga disebut
atrofi neurotrofik.Tulang-tulang pada orang yang karena pada suatu
keadaan terpaksa harus berbaring lama mengalami atrof
inaktivitas.Tulang-tulang ini menjadi berlubang-lubang karena kehilangan
kalsiumnya sehingga tidak dapat menunjang tubuh dengan baik.Sel-sel
kelenjar akan rusak apabila saluran keluarnya tersumbat untuk waktu
lama. Ini misalnya nyata pada pancreas.Bila terdapat sumbatan
(occlusion) pada saluran keluar pancreas maka sel-sel asinus pancreas
(eksokrin) menjadi atrofik,tetapi pulau-pulau Langerhans (endokrin) yang
membentuk hormone dan disalurkan ke dalam darah tidak mengalami
atrofi.

6. Atrofi Desakan (pressure atrophy)


Atrofi yang terjadi karena desakan yang terus-menerus ataudesakan untuk wakru
yang lama dan mengenai suatu alat tubuh atau jaringan mis:

 Atrofi desakan fisiologis : pada gusi akibat desakan gigi yang mau tumbuh
(pada anak-anak).

6
Atrofi desakan patologis :
Atrofi desakan patogik misalnya terjadi pada sternum
akibat aneurisma aorta.Pelebaran aorta di daerah substernal
biasanya terjadi akibat syphlisis.Karena desakan yang tinggi
dan terus menerus mengakibatkan sternum menipis.Parenchym
ginjal dapat menipis akibat desakan terus menerus.Ginjal
seluruhnya berubah menjadi kantung berisi air,disebut
hydronephrosis,yang biasanya terjadi akibat obstruksi
ureter,yang biasanya disebabkan oleh batu.Atrofi dapat terjadi
pada suatu alat tubuh karena menerima desakan suatu tumor
didekatnya yang makin lama makin besar.

7. Atrofi Endrokin
Atrofi yang terjadi pada alat tubuh yang aktifitasnya bergantung pada
rangsang hormon tertentu. Atrofi akan terjadi apabila pembentukan
hormone tersebut berkurang atau terhenti sama sekali.Hal ini misalnya
dapat terjadi pada penyakit Simmonds.Pada penyakit ini hipofisis tidak
aktif sehinggamengakibatkan atrofi pada kenjer gondok,adrenal dan
ovarium.

Mis: pengecilan payudara pada wanita lanjutkarena produksi hormon


yang berkurang.

Pada sumber lain dikatakan bahwa berdasarkan penyebabnya, atrofi dibagi atas :

1. Atrofi Neurogen : akibat dari kelumpuhan saraf


mis. pada orang yang lumpuh.

2. Atrofi Vaskuler : akibat dari gangguan sirkulasi darah,


mis. pengecilan otak karenaarteriosklerosis, pada usia lanjut.

3. Disuse Atrofi : akibat dari tidak dipergunakan dalam waktu yang lama,
mis. pada orangsakityang harus berbaring lama di tempat tidur.

7
BAB III
KASUS

Dalam makalah ini, kelomopk kami akan membahas salah satu contoh dari
gangguan atrofi yaitu Rinitis Atrofi.

LAPORAN KASUS (MR. 24-15-75)

Seorang wanita SM, berumur 17 tahun , datang ke Poli THT RSUP H. Adam
Malik, Medan pada tanggal 23 September 2004 dengan keluhan utama hidung
tersumbat.

Hal ini dialami sejak 1 tahun yang lalu disertai ingus kental dan kerak hidung
bewarna kuning kehijauan, hidung berbau busuk yang dirasakan oleh keluarga dan
teman-temannya sedangkan penderita sendiri tidak merasa bau. Kadang-kadang
timbul sakit kepala dan terasa tersangkut ketika menelan.

Pemeriksaan rinoskopi anterior dijumpai krusta hijau dan sekret hijau di dalam
kedua kavum nasi. Setelah krusta diangkat tampak mukosa pucat, konka media dan
inferior atrofi sehingga kavum nasi lapang. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior
dijumpai postnasal drip.

Diagnosa sementara adalah rinitis atrofi primer (ozaena). Diberikan terapi


ciprofloksasin 2 x 500 mg, vitamin A 3 x 50.000 IU dan sulfas ferrosus 2 x 1. Di
samping itu diberikan campuran tetes hidung yang mengandung streptomisin 1 gr
dan NaCl 0,9% ad 30 cc. Pasien dianjurkan cuci hidung dengan NaCl 0,9% atau air
garam dua kali sehari di rumah. Di samping itu juga dianjurkan menutup lubang
hidung secara bergantian pada malam hari.

Kontrol pada hari ke-15, keluhan telah berkurang seperti hidung tersumbat,
hidung berbau dan ingus. Kerak hidung tidak dijumpai lagi dan penciuman mulai
membaik. Pada pemeriksaan tidak dijumpai lagi krusta. Sekret hidung berubah
menjadi warna kuning dan mukosa sudah merah muda. Konka media dan inferior
masih atrofi sedangkan postnasal drip tidak ada lagi. Kepada pasien dianjurkan
untuk meneruskan obat.

Kontrol hari ke-29, keluhan hidung tersumbat tidak ada lagi dan penciuman
sudah membaik. Di samping itu hidung berbau dan ingus sudah berkurang. Pada
pemeriksaan,sekret hidung sudah berubah menjadi serous. Kavum nasi masih
terlihat lapang, namun konka sudah merah muda dan hipotrofi.

8
DISKUSI

Rinitis atrofi yang terjadi pada kasus ini merupakan rinitis atrofi primer
(ozaena) yaitu terjadi pada wanita usia pubertas dengan sosio-ekonomi yang rendah
dan lingkungan yang buruk serta adanya infeksi hidung yang sudah lama. Pada
kasus ini diberikan pengobatan secara konservatif dengan medikamentosa dan cuci
hidung. Setelah 2 minggu penderita mengalami perbaikan dan pada minggu ke-4
terlihat konka tumbuh menjadi hipotrofi. Pasien dianjurkan untuk kontrol 2 minggu
sekali selama 2 – 3 bulan.

9
BAB IV
PEMBAHASAN

RINITIS ATROFI

A. DEFINISI

Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang ditandai atrofi progresif
mukosa hidung dan tulang penunjangnya disertai pembentukan sekret yang
kental dan tebal yang cepat mengering membentuk krusta, menyebabkan
obstruksi hidung, anosmia, dan mengeluarkan bau busuk. Rinitis atrofi disebut
juga rinitis sika, rinitis kering, sindrom hidung-terbuka, atau ozaena.

B. INSIDENSI

Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara


berkembang. Penyakit ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan
daerah yang bersuhu panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan
Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan ekonomi rendah dengan
status higiene buruk. Rinitis atrofi kebanyakan terjadi pada wanita, angka
kejadian wanita : pria adalah 3:1. Penyakit ini dikemukakan pertama kali oleh
dr.Spencer Watson di London pada tahun 1875.1 Penyakit ini paling sering
menyerang wanita usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal
ini dihubungkan dengan statusestrogen (faktor hormonal).

C. KLASIFIKASI

Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer


Watson (1875) sebagai berikut:

1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan


mudah ditangani dengan irigasi.

2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang


berbau.

3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis,


ditandai oleh rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.

Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas:

1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis
pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi
disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.

10
2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di
negara berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus,
selanjutnya radiasi, trauma, serta penyakit granuloma dan infeksi.

D. ETIOLOGI

Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder. Rinitis atrofi
primer adalah rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya,
sedangkan rinitis atorfi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau
penyakit. Rinitis atrofi primer adalah bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana
penyebab pastinya belum diketahui namun pada kebanyakan kasus
ditemukan klebsiella ozaenae.

Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh operasi sinus, radiasi,


trauma, penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa atau. Operasi sinus
merupakan penyebab 90% rinitis atrofi sekunder. Prosedur operasi yang
diketahui berpengaruh adalah turbinektomi parsial dan total (80%), operasi sinus
tanpa turbinektomi (10%), dan maksilektomi (6%). Penyakit granulomatosa yang
mengakibatkan rinitis atrofi diantaranya penyakit sarkoid, lepra, dan
rhinoskleroma. Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan sifilis. Pada negara
berkembang, infeksi hanya berperan sebanyak 1-2% sebagai penyebab rinitis
atrofi sekunder. Meskipun infeksi bukan faktor kausatif pada rinitis atrofi
sekunder, namun sering ditemukan superinfeksi dan hal ini menjadi penyebab
terbentuknya krusta, sekret, dan bau busuk. Terapi radiasi pada hidung dan
sinus hanya menjadi penyebab pada 2-3% kasus, sedangkan trauma hidung
sebanyak 1%.

Selain faktor diatas, beberapa keadaan dibawah ini juga diduga sebagai
penyebab rinitis atrofi: 

1) Infeksi kronik spesifik oleh kuman lain


Yakni infeksi oleh Stafilokokus, Streptokokus
danKokobasilus, mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena.
Telahdilaporkan terjadinya rinitis atrofi pada seorang anak 7 tahun dari satu
keluarga setelah anak dari tetangga keluarga tersebut yang diketahui
menderita rinitis atrofi menginap bersamanya.

2) Defisiensi besi dan vitamin A

Dilaporkan terjadi perbaikan pada 50% pasien yang mendapat terapi besi
dan pada 84% pasien yang diterapi dengan vitamin A mengalami perbaikan
simptomatis. Adanya hiperkolesterolemia pada 50% pasien rinitis atrofi
menunjukkan peran diet pada penyakit ini.

11
3) Perkembangan

Dilaporkan adanya pengurangan diameter anteropsterior hidung dan aliran


udara maksiler yang buruk pada penderita rinitis atrofi.

4) Lingkungan

Dilaporkan telah terjadi rinitis atrofi pada pasien yang terpapar fosforit dan
apatida.

5) Sinusitis kronik

6) Ketidakseimbangan hormon estrogen

Dilaporkan adanya perburukan penyakit saat hamil atau menstruasi.

7) Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun

8) Ketidakseimbangan otonom

9) Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS)

10) Herediter

Dilaporkan adanya rinitis atrofi yang diturunkan secara dominan autosom


pada sebuah keluarga dimana ayah serta 8 dari 15 anaknya menderita
penyakit ini.

11) Supurasi di hidung dan sinus paranasal

12) Golongan darah

E. PATOGENESIS

Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada
rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas
epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada
rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia.
Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan
kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang
parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu
terjadi juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang
dapat menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses
penyakit rinitis atrofi itu sendiri).

12
Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I,
adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik
yang membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat
vasodilatasi kapiler yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan


menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi
sel bulat di submukosa. Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan
fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi
epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta
tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini
juga dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi adanya
antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan
merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi.
Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens
mukus dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia.
Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan
keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering
bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang
merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.

F. GEJALA KLINIS

Pemeriksaan fisik terhadap rinitis atrofi dapat dengan mudah dikenali.


Tanda pertama sering berupa bau (foeter ex nasi) dari pasien. Pada beberapa
kasus, bau ini bisa berat. Hal ini akan menyebabkan ganggguan pada setiap
orang kecuali pasien, karena pasien mengalami anosmia. Beberapa pasien juga
memperlihatkan depresi yang terjadi sebagai implikasi sosial dari
penyakit.  Pasien biasanya mengeluh obstruksi hidung (buntu), krusta yang luas,
dan perasaan kering pada hidung.

Gejala klinis rinitis atrofi secara umum adalah : 

Gejala :

- obstruksi hidung (buntu)

- sakit kepala

- epistaksis pada pelepasan krusta

- bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang
lain yang ada di sekitarnya. Bau ini tidak diketahui oleh pasien karena
atrofi dari mukosa olfaktoria.

13
- Faringitis sikka

- Penyumbatan yang terjadi karena lepasnya krusta dari nasofaring


masuk ke orofaring.

Tanda :

- foeter ex nasi

- krusta dihidung berwarna kuning, hijau, atau hitam

- pelepasan kusta akan memperlihatkan ulserasi dan perdarahan


mukosa hidung

Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 

a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir,


krusta sedikit.

b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna
makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai
garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan
krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis rinitis atrofi : 

 apusan hidung .
 radiologi dan kultur punksi sinus untuk meniyingkirkan sepsis pada
sinus.
 test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk
menyingkirkan sifilis.
 tes serologi yang lain :

− protein Serum.

− pemeriksaan Fe serum

− pemeriksaan darah rutin

− ANA dan anti-DNA antibodi.

14
 CT scan dianjurkan jika diagnosis meragukan

Pemeriksaan radiologis rinitis atrofi dapat dilakukan pada penyakit


primer maupun sekunder, tapi tidak ada tanda yang dapat membedakan di
antara keduanya. Perubahan kavum hidung bisa ditemukan dengan foto
sederhana atau CT scan. Foto sederhana dapat menunjukkan membusurnya
dinding lateral hidung yang, berkurang atau tidak adanya aliran, atau
hipoplastik sinus maksilaris. Pada CT scan dapat ditemukan : 

 penebalan mukoperiosteum sinus paranasal


 kehilangan ketajaman dari kompleks sekunder osteomeatal untuk
meresobsi bula etmoid dan proses “uncinate”.
 hipoplasia sinus maksilaris
 pelebaran kavum hidung dengan erosi dan membusurnya dinding
lateral hidung .
 resopsi tulang dan atrofi mukosa pada konka media dan inferior.

H. DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, dan perubahan


yang terjadi pada hidung seperti adanya pelebaran kavum hidung, atrofi mukosa
dan terdapatnya perlekatan, penebalan dan krusta hijau – kuning, pemeriksaan
mikrobiologi dengan isolasi bakteri seperti K. ozaenae dari kultur hidung . 

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding rinitis atrofi sebagai berikut : 

1. Rinitis atrofi
sekret bilateral dan berbau dengan krusta berwarna kuning kehijauan,
penderita tidak membau, sedangkan orang lain membau. Lebih banyak
menyerang wanita daripada pria, terutama sekitar usia pubertas.

2. Sinusitis
sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan orang
lain disekitarnya membau. Dapat terjadi baik pada anak-anak maupun orang
dewasa. Terkadang ditemukan hiposmia karena adanya obstruksi.

3. Nasofaringitis kronis
sekret post nasal bilateral, penderita membau, sedangkan orang lain
tidak membau. Tidak ada perbedaan frekuensi antara pria dan wanita.

15
I. PENATALAKSANAAN

Pada rinitis atrofi terdapat tiga macam teknik penatalaksanaan yaitu


secara topikal, sistemik dan pembedahan. Keseluruhan teknik ini bertujuan
untuk pemulihan hidrasi nasal dan meminimalisir terbentuknya krusta.

Terapi Topikal

Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah dengan
irigasi nasal. Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu terapi pencegahan
atau sebagai suatu terapi yang bersifatrumatan. Fungsi dari irigasi nasal sendiri
ialah mencegah terbentuknya pengumpulan krusta dalam rongga hidung.
Terdapat beberapa variasi tipe dari bahan irigasi yang dianjurkan namun tak ada
literatur yang menunjukan akan kelebihan bahan yang satu dengan lainnya.

Adapun bahan-bahan itu antara lain:

1. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau larutan

 NaCl
 NH4Cl
 NaHCO3 aaa9
 Aqua ad 300 cc
 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat

2. Larutan garam dapur

3. Campuran

 Na bikarbonat 28,4 g
 Na diborat 28,4 g
 NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

4. Larutan antibiotik berupa Gentamisin 80 mg dalam satu liter NaCl

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan


menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui
mulut, dilakukan dua kali sehari. Beberapa literatur juga menyarankan untuk
menambahkan minyak mawar (rose oil) atau mentol untuk menutupi bau yang
terdapat pada rinitis atropi. Perlu diingat bahwa pengobatan topikal rinitis
atropi dengan irigasi nasal tidak berfungsi untuk menghilangkan penyakit,
melainkan sekedar mencegah penyakit hingga harus dilakukan secara
berkelanjutan. Ketidak patuhan dalam melanjutkan terapi biasnya berdampak
dengan kambuhnya penyakit dalam sebagian besar kasus.

16
Terapi Sistemik

Terapi sistemik biasa digunakan secara simultan dengan terapi topikal.


Terapi yang biasa digunakan ialah dengan pemberian antibiotik. Diberikan
antibiotik berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan
dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir
merujuk pengobatan akan terjadinya infeksi akut dengan menggunakan
antibiotik aminoglikosida oral atau streptomisin injeksi. Meskipun
penggunaannya seringkali cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul
setelah kurun waktu 2 tahun pemakaian.

Beberapa terapi sistemik lain juga dianjurkan diantaranya ialah adjuvan


berupa vitamin A yang terbukti berhasil mengalami peningkatan >80% dalam
sebuah penelitian dan adjuvan berupa besi yang juga berhasil mengalami
peningkatan >50%. Penggunaan kortikosteroid juga pernah diajukan sebagai
suatu adjuvan namun beberapa ahli menyatakan penggunaan kortikosteroid
merupakan kontra indikasi bagi pasien dengan rinitis atropi. Vasokontriksi untuk
kongesti nasal juga merupakan kontra indikasi karena berhubungan dengan
berkurangnya vaskularisasi di mukosa.

Terapi Bedah

Pada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi medikamentosa yang


maksimal, pasien akan selalu mengeluhkan krusta yang terbentuk dan bau dari
rongga hidung yang muncul meskipun sudah seringkali melakukan terapi
lanjutan. Dalam rangka mencegah pasien untuk bergantung pada terapi
medikamentosa sepanjang hidupnya perlu dilakukan terapi bedah. Secara
umum terapi bedah terdiri dalam 3 bagian kategori antara lain denervasi,
reduksi volume rongga hidung dan penutupan nasal

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain:

1. Operasi Young

Penutupan total rongga hidung dengan flap. Telah dilaporkan hasil yang


baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan
menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga
tahun.

2. Operasi Young yang dimodifikasi

Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

17
3. Operasi Lautenschlager

Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid,


kemudian dipindahkan ke lubang hidung.

4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis


seperti teflon, campuran triosite dan lem fibrin.

5. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasiWittmack)


dengan tujuan membasahi mukosa hidung.

Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara lain:

 Simpatektomi servikal
 Blokade ganglion Stellata
 Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina

Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan koana


menggunakan flap faring pada penderita rinitis atrofi anak berhasil dengan
memuaskan. Penutupan ini juga dapat dilakukan pada nares anterior yang
bertujuan untuk mengistirahatkan mukosa hidung.

18
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN

Atrofi merupakan pengerutan ukuran sel dengan hilangnya substansi sel.


Apabila mengenai sel dalam jumlah yang cukup banyak, seluruh jaringan atau
organ berkurang massanya, menjadi atrofi. Harus ditegaskan bahwa walaupun
dapat menurun fungsinya, sel atrofi tidak mati. Pada kondisi yang berlawanan,
kematian sel terprogram ( apoptotik ) bisa juga di induksi oleh sinyal yang sama
yang menyebabkan atrofi sehingga dapat menyebabkan hilang sel pada “atrofi”
seluruh organ.

Atrofi menggambarkan pengurangan komponen struktur sel, mekanisme


biokimiawi yang mendasari proses tersebut berfariasi, tetapi akhirnya
memengaruhi keseimbangan antara sintesis dan degradasi. Sintesis yang
berkurang, peningkatan katabolisme, atau keduanya akan memyebabkan atrofi.
Pada sel normal, sintesis dan degradasi isi sel dipengaruhi sejumlah hormon,
termasuk insulin, TSH ( hormon perangsang tiroid), dan glukokortikoid.

Penyebab atrofi antara lain:

 Berkurangnya beban kerja ( contoh: Imobilisasi anggota gerak yang


memungkinkan proses penyembuhan fraktur )
 Hilangnya persyarafan
 Berkurangnya suplai darah
 Nutrisi yang tidak adekuat
 Hilangnya ransangan endokrin
 Penuaan

Macam - macam atrofi adalah sebagai berikut:


 Atrofi fisiologis
 Atrofi Senilis
 Atrofi kelaparan(starvation atrophy)
 Atrofi setempat (local atrophy)
 Atrofi inaktifitas (Disuse atrophy)
 Atrofi Desakan (pressure atrophy)
 Atrofi Endrokin
 Atrofi Neurogen
 Atrofi Vaskuler :
 Disuse Atrofi

19
Rinitis atrofi adalah infeksi kronis pada rongga hidung dengan atrofi
mukosa yang progresif. Gejala khas penyakit ini adalah sekret purulen, krusta,
dan hidung berbau busuk yang dapat menyebabkan gangguan kejiwaan.
Penyakit ini biasanya mengenai wanita dan pada usia pubertas. Pengobatan
dapat dilakukan dengan konservatif dan operasi.

Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer


Watson (1875) sebagai berikut:

 Rinitis atrofi ringan,
  Rinitis atrofi sedang,
 Rinitis atrofi berat, 

Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas:

 Rinitis atrofi primer,


 Rinitis atrofi sekunder

Beberapa keadaan yang diduga sebagai penyebab rinitis atrofi

 Infeksi kronik spesifik oleh kuman lain.


 Defisiensi besi dan vitamin A
 Perkembangan.
 Lingkungan
 Sinusitis kronik
 Ketidakseimbangan hormon estrogen
 Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun
 Ketidakseimbangan otonom
  Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS)
 Herediter\
 Supurasi di hidung dan sinus paranasal
 Golongan darah

SARAN

Sebaiknya masyarakat khusnya bagi penderita yang mengalami rinitis


atrofi mengetahui tanda gejala penyakit, agar dapat di tangani dengan cepat,
karena jika terlambat dapat menimbulkan bahaya yang berat. Masyarakat
yang berada di kalangan ekonomi rendah dengan status higiene buruk harus
lebih memperhatikan tanda dan gejala dari penyakit rinitis atrofi ini. Rinitis
atrofi kebanyakan terjadi pada wanita. Oleh sebab itu jika telah terjadi tanda
dan gejala rinitis atrofi segera periksakan ke dokter.

20
DAFTAR PUSTAKA

Kumar, dkk.2011. Patologi. Jakarta: EGC

Nurhadi.2011.Atrofi.http://www.scribd.com/nurhadi/d/53424015-Atrofi.

diakses tanggal 15 maret 2012

Rizsa.2011. ozaena-rhinitis-atrofi.

http://rizsa82.wordpress.com/2008/07/19/ozaena-rhinitis-atrofi/

diakses tanggal 15 Maret 2012

Robin dan Umar. buku ajar patologi 1 edisi 4. Jakarta: EGC

21

Anda mungkin juga menyukai