MAKALAH
Oleh :
Kelas : Sosiologi 3E
JURUSAN SOSIOLOGI
2020 M/1442 H
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
dengan judul Hadits-hadits Nabi SAW tentang Stratifikasi Sosial tepat pada waktunya.
Tugas makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits Sosial pada
Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung.
Terima kasih kepada pihak-pihak yang telah turut serta membantu dalam menyusun
makalah ini. Oleh karena itu, kami memohon kepada para pembaca barangkali menemukan
kesalahan atau kekurangan dalam makalah ini baik dari bahasanya maupun isinya harap
maklum. Selain itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada
semua pembaca agar kami bisa melakukan perbaikan dalam penyusunan makalah diwaktu
yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Hadits sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, merupakan pedoman
dan tuntunan bagi umat Islam dalam melakukan seluruh aktivitasnya, baik masalah ibadah,
budi pekerti, sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat, dan lain sebagainya. Hadits
merupakan sikap dan perilaku Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari, yang
tidak terlepas dari tuntunan Allah SWT yang dijelaskan dalam Al-Quran, sudah sepantasnya
dijadikan suri tauladan bagi umat manusia.
Hadits dalam kaitannya dengan stratifikasi sosial, menyatakan bahwa dalam ajaran
Islam, Allah SWT melihat hambanya itu bukan atas dasar dari kekayaan harta ataupun status
yang dimilikinya, akan tetapi dilihat dari iman dan taqwanya. Oleh karena itu, dalam makalah
ini dijelaskan mengenai hadist-hadist Nabi SAW dalam kaitannya dengan stratifikasi sosial.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsepsi mengenai hadits.
2. Untuk mengetahui konsepsi mengenai stratifikasi sosial.
3. Untuk mengetahui stratifikasi sosial dalam perspektif hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
Hadist mengandung beberapa makna, seperti jadid, qarib dan khabar.1 Kata jadid
merupakan lawan dari kata qadim, berarti yang baru. Qarib berarti yang dekat, atau yang
belum lama terjadi. Adapun khabar berarti warta, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang pada orang lain. Adapun menurut istilah, mayoritas ulama hadits
mengartikan hadits sebagai segala ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi. Keterangan ini
mengindikasikan bahwa segala yang berasal dari Rasulullah SAW, baik berupa ucapan,
perbuatan, maupun berupa hal keadaan termasuk dalam kategori hadits.2
Hadits menurut bahasa artinya baru. Hadits juga secara bahasa berarti “sesuatu yang
dibicarakan dan dinukil”, juga “sesuatu yang sedikit dan banyak”. Bentuk jamaknya adalah
alhadits.3 Hadits menurut istilah ahli hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW.
baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah, baik sebelum kenabian atau
sesudahnya. Sedangkan menurut ahli ushul fikih, hadits adalah perkataan, perbuatan, dan
penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah setelah kenabian. Adapun sebelum kenabian
tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa
yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi
setelah kenabian.4
Hadits, sebagai sumber ajaran islam kedua setelah Al-Quran, merupakan pedoman
dan tuntunan bagi umat islam dalam melakukan seluruh aktivitasnya, baik masalah ibadah,
budi pekerti, sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat, dan lain sebagainya. Hadits
merupakan sikap dan perilaku Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari, yang
tidak terlepas dari tuntunan Allah SWT yang dijelaskan dalam Al-Quran, sudah sepantasnya
dijadikan suri tauladan bagi umat manusia.5
1
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, cet. VI (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), h. 1.
2
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Cet. III (Bandung; Citapustaka Media Perintis, 2011), h. 4
3
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu hadits, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h. 22
4
Ushulul Hadits, Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, h. 27
5
Agusman Damanik, Urgensi Studi Hadits di UIN Sumatera Utara, (https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/shahih/article/download/1886/1515&ved=2a
2.2. Konsepsi Mengenai Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial (social stratification) berasal dari kata stratum yang berarti lapisan.
Pitrim Sorokin menyatakan bahwa social stratification adalah perbedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Sehingga, lapisan (stratifikasi)
adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau
secara hierarkis.6 Stratifikasi sosial timbul karena adanya sesuatu yang dihargai, dan sesuatu
itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan dalam masyarakat.
a. Keadaan senasib. Dengan paham ini, kita mengenal lapisan yang terendah yaitu
lapisan pengemis, lapisan masyarakat kelas bawah, dan sebagainya.
b. Persamaan batin atau kepandaian. Lapisan masyarakat terpelajar, atau lapisan
masyarakat sejenisnya bahwa di dalamnya terdapat stratifikasi sosial berdasarkan
tingkat penguasaan akan keilmuannya (pengetahuan).
Dalam konsepsi sosiologi, stratifikasi atau lapisan sosial termasuk ke dalam konsep
struktur sosial yang unsur utamanya adalah status dan peran. Status dan peran ini yang
kemudian membentuk strata atau lapisan. Stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat terjadi
dengan sendirinya sebagai akibat dari proses dalam masyarakat. Akan tetapi, stratifikasi
sosial ini dapat terjadi dengan sengaja yang disusun untuk tujuan bersama. Dalam stratifikasi
lapisan atas, kedudukannya yang tinggi itu bersifat kumulatif, yaitu mereka yang mempunyai
materi dalam bentuk uang yang banyak. Sehingga mereka yang menduduki kelas atas akan
lebih mudah mendapatkan tanah, kekuasaan, dan mungkin juga kehormatan.
Dasar stratifikasi dalam masyarakat disebabkan oleh adanya sesuatu yang dihargai
lebih. Terdapat ukuran, standar, atau kriteria yang bisa dipakai untuk menggolong-golongkan
anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan, yaitu: kekayaan (capital), kekuasaan atau jabatan
(power), kehormatan (privilege), dan ilmu pengetahuan (science), yang akan diuraikan
sebagai berikut:9
a) Ukuran kekayaan. Barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak, termasuk
lapisan ke atas. Kekayaan tersebut dapat di lihat pada bentuk rumah yang
bersangkutan, mobil pribadinya, cara menggunakan pakaian, bahan pakaian yang
dipergunakan, kebiasaan berbelanja, barang-barang mahal, dan seterusnya.
b) Ukuran kekuasaan. Barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang memiliki
wewenang terbesar, ia akan menempati lapisan teratas.
c) Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-
ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati,
mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai pada masyarakat
tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua yang pernah berjasa.
d) Ukuran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran, dipakai oleh masyarakat
yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ukuran tersebut kadang-kadang
menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif. Karena ternyata bukan mutu ilmu
8
Bagja Waluya, Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat, (Bandung: PT Setia Purna Inves, 2007),
h. 17
9
Bagja Waluya, Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat, (Bandung: PT Setia Purna Inves, 2007),
h. 19
pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar kesarjanaannya. Akibatnya,
terjadi perlombaan untuk mendapatkan gelar sarjana tanpa ada usaha untuk
memperdalam ilmu pengetahuan. Hal ini terjadi karena gelar kesarjanaan merupakan
lambang dari ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang. Sudah tentu hal demikian
memicu segala macam usaha untuk mendapatkan gelar walau tidak halal.10
Selain kriteria tersebut, juga terdapat ciri umum faktor yang menentukan adanya
lapisan atau stratifikasi. Pertama, status atas dasar fungsi pekerjaan, misalnya sebagai dokter,
guru, dan militer. Semuanya sangat menentukan kedudukan dalam masyarakat. Kedua,
seseorang yang beragama, jika seseorang bersungguh-sungguh dengan penuh ketulusan dan
taat dalam menjalankan agamanya, kedudukan seseorang dalam masyarakat akan terangkat.
Ketiga, status atas dasar keturunan. Keempat, latar belakang sosial dan lamanya seseorang
atau kelompok yang tinggal pada suatu tempat. Dan yang kelima adalah status atas dasar
umur, karena biasanya orang yang lebih tua di masyarakat pada umumnya mendapat
penghormatan dari yang lebih muda.
Menurut Soekanto, semua manusia dapat dianggap sederajat, tetapi sesuai dengan
kenyataan kehidupan dalam kelompok-kelompok sosial, tidaklah demikian. Perbedaan atas
lapisan-lapisan masyarakat, merupakan gejala yang universal yang merupakan bagian dari
sistem sosial dalam setiap masyarakat.11
10
Dwi Narwoko, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 166
11
Bagja Waluya, Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat, (Bandung: PT Setia Purna Inves, 2007),
h. 18
12
Edulab Indonesia, Outline SMA IPS, (Bandung: PT Edu Kreasi, 2018), h. 58
sistem kasta di India, dimana status yang berlangsung dalam kasta di India adalah status yang
berlaku seumur hidup.
Kita sebagai umat Islam pastinya mengenal Al-Qur’an dan Al-Hadits. Keduanya hadir
sebagai petunjuk bagi orang-orang beriman dalam mengatasi problema sosial, persamaan
derajat, dan pemerataan sosial yang selalu menjadi momok dan gejala sosial didalam
maayarakat manapun termasuk Indonesia15. Berikut ini merupakan hadits-hadits nabi yang
berkaitan dengan stratifikasi sosial.
13
Embun Bening, Mengenal Sifat dan Fungsi Stratifikasi Sosial,
(https://www.google.com/amp/s/blog.ruangguru.com/mengenal-sifat-dan-fungsi-stratifikasi-sosial
%3fhs_amp=true ) diakses pada 26 Desember 2020, pukul 12:48 WIB.
14
Edulab Indonesia, Outline SMA IPS, (Bandung: PT Edu Kreasi, 2018), h. 62
15
Hermanto Halil, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar dalam Perspektif Islam,
(Pamekasan: Duta Media Publishing, 2015), h. 176
1. HR Bukhari
Artinya: Sebaik-baik orang di antara kamu adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan
mengajarkannya kepada yang lain. (HR Bukhari).16
Penjelasan dari hadits tersebut adalah bahwasannya kita sebagai umat muslim wajib
mempelejari Al-Qur’an dan mengajarkannya ke orang lain. Karena, dalam agama Islam,
Allah melihat hambanya bukan atas dasar dari kekayaan harta ataupun status yang
dimilikinya. Tetapi, yang dilihatnya itu adalah iman dan taqwanya. Dalam pandangan
masyarakat, semakin banyak hartanya dan semakin tinggi statusnya, maka dia akan
ditempatkan di strata yang paling atas. Oleh karena itu lah kita sebagai umat muslim
yang taat kepada Allah harus mempelajari Al-Qur’an, sesungguhnya apa yang kita
pelajari dalam Al-Qur’an tersebut akan menjadi penolong kita di akhirat nanti.
2. HR Abu Daud
Artinya: Laknat Rasulullah (saw) kepada orang yang menyogok dan yang disogok.17
Penjelasan dari hadits tersebut adalah pada dasarnya stratifikasi sosial itu muncul
didasarkan kekayaan dan kekuasaan. Seperti yang kita ketahui saat ini bahwasannya
banyak sekali para politikus-politikus yang menginginkan sebuah jabatan yang dilalui
dengan cara menyogok, bukan dengan cara yang seharusnya. Saat ini banyak kasus-
16
Nida Anisya, Kumpulan 40 Hadist Pendek yang Dapat Diajarkan pada Anak,
(https://www.popmama.com/big-kid/6-9-years-old/ninda/kumpulan-hadits-pendek-yang-
dapat-diajarkan-pada-anak/3), diakses pada 28 November 2020, pukul 20:08 WIB.
17
Musthafa Dib Al-Bugha, Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i: Penjelasan Kitab Matan Abu Syuja’ dengan Dalil Al-
Quran dan Hadis, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2009), h. 613
kasus penggelapan dana dan kasus sogok menyogok seperyi yang dilakukan oleh para
koruptor yang menyogok aparat penegak hukum agar hukuman dan pemberian sanksinya
ringan. Demi sebuah jabatan dan kekayaan mereka rela melakukan cara kotor tersebut.
Padahal, dalam hadits ini, Rasulullah sangat melaknat orang yang menyogok dan yang
disogok.
3. HR Al-Bukhari
“Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah rasa
cukup yang ada di dalam hati.” (HR. Al-Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051 dari
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu).18
Penjelasan dari hadits ini adalah orang yang disifati dengan ghina an-nafs (kekayaan
jiwa) adalah orang yang qana’ah terhadap apa yang Allah rizkikan kepadanya. Dia tidak
tamak untuk menumpuk-numpuk harta tanpa ada kebutuhan. Tidak pula dia meminta-
minta kepada manusia dengan mendesak. Dia merasa ridha dengan apa yang diberikan
Allah kepadanya, seakan-akan ia terus-menerus merasa cukup. Sedangkan, orang yang
disifati dengan faqru an-nafs (kefakiran jiwa) adalah kebalikannya. Karena dia tidak
qana’ah terhadap apa yang diberikan kepadanya. Dia selalu rakus untuk menumpuk-
numpuk harta, dari arah mana saja. Kemudian, bila dia tidak mendapatkan apa yang ia
cari, ia akan merasa sedih dan menyesal. Seakan-akan dia adalah orang yang tidak
memiliki harta. Karena dia tidak merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya,
sehingga seakan-akan dia bukan orang yang kaya.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hadits, sebagai sumber ajaran islam kedua setelah Al-Quran, merupakan pedoman
dan tuntunan bagi umat islam dalam melakukan seluruh aktivitasnya, baik masalah ibadah,
budi pekerti, sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat, dan lain sebagainya. Hadits
merupakan sikap dan perilaku Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari, yang
tidak terlepas dari tuntunan Allah SWT yang dijelaskan dalam Al-Quran, sudah sepantasnya
dijadikan suri tauladan bagi umat manusia.
Stratifikasi sosial dalam perspektif hadits menyatakan bahwa dalam Islam, Allah
SWT melihat hambanya itu bukan atas dasar dari kekayaan harta ataupun status yang
dimilikinya. Akan tetapi, yang dilihat itu adalah iman dan taqwanya. Oleh karena itu, sebagai
manusia, kita harus senantiasa bersyukur atas apa yang telah Allah berikan kepada kita.
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, A. 1999. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
Abdul Wahid, R. 2011. Studi Ilmu Hadis. Bandung; Citapustaka Media Perintis.
Dib Al-Bugha, M. 2009. Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i: Penjelasan Kitab Matan Abu
Syuja’ dengan Dalil Al-Quran dan Hadis. Jakarta: PT Mizan Publika.
Halil, H. 2015. Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar dalam
Perspektif Islam. Pamekasan: Duta Media Publishing.
Manna Al-Qaththan, S. 2015 Pengantar Studi Ilmu hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Maryati, K. 2001. Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XI. Jakarta: Penerbit Erlangga.