Anda di halaman 1dari 13

Nama : Risha Risna Dewi

NIM : PO.62.20.1.17.344

Mata Kuliah : Kebijakan Kesehatan Nasional

Prodi : Sarjana Terapan Keperawatan regular IV

Tugas Pak Yongwan

1. Pelayanan kesehatan penduduk miskin kelas III RS


Peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu terus
dilakukan. Sejak tahun 2005 melalui penyediaan upaya jaminan pemeliharaan
kesehatan bagi masyarakat miskin (askeskin) di puskesmas dan jaringannya serta rumah
sakit kelas III. Pada tahun 2008 program tersebut dikembangkan melalui program
jaminan kesehatan kepada masyarakat (jamkesmas) dengan sasaran seluruh penduduk
miskin yang berobat ke puskesmas dan jaringannya dilayani secara cuma-cuma, dan
sasaran penduduk miskin sebesar 76,4 juta orang untuk perawatan di rumah sakit kelas
III.
Penentuan besaran penduduk miskin didasarkan pada kriteria BPS tahun 2005 Statistik
Mikro Rumah Tangga Miskin, yaitu sebesar 19,1 juta rumah tangga yang terdiri atas 3,8
juta rumah tangga sangat miskin, 8,2 juta rumah tangga miskin, dan 6,9 juta rumah
tangga dekat miskin. Dengan penghitungan setiap rumah tangga miskin rata-rata 4 jiwa,
jumlah penduduk miskin yang menjadi sasaran sebanyak 76,4 juta orang.
Pertimbangan sasaran tersebut untuk mencakup kelompok sangat miskin, miskin, dan
tidak mampu dalam program jamkesmas adalah jika kelompok tersebut sakit dan
memerlukan layanan kesehatan di rumah sakit, dan tidak mampu secara ekonomi.
Berdasarkan data SDKI-BPS tahun 2002—2003, alasan orang yang sakit tidak mau
memanfaatkan layanan kesehatan sebagian besar karena tidak mempunyai uang (34%),
biaya transportasi mahal (16%) dan kendala jarak (18%).
Dengan demikian, kepada kelompok tersebut perlu diberikan perlindungan melalui
program jaminan kesehatan masyarakat. Dengan adanya jaminan tersebut diharapkan
akses kelompok miskin terhadap pelayanan kesehatan di puskesmas dan RS kelas III
dapat dijamin keberlangsungannya. Dengan menyadari pentingnya penanganan yang
berkelanjutan terhadap masalah kesehatan masyarakat miskin, Pemerintah tetap
berkomitmen menyelenggarakan layanan dan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat
miskin melalui program upaya kesehatan perseorangan dan kesehatan masyarakat.
Sumber :
https://www.bappenas.go.id/files/5613/5229/8326/bab28__20090202204616__1756_
_29.pdf

2. Pembangunan Rumah sakit daerah terpencil


Kementrian kesehatan (dulu Departemen Kesehatan) pernah memiliki program
WKS (Wajib Kerja Sarjana) agar para dokter spesialis yang baru lulus mengabdi di daerah
terpencil selama dua tahun sebelum berkarir. Namun program ini kemudian mendapat
pertanyaan dikalangan tenaga medis itu sendiri, mengapa hanya profesi dokter saja
yang terkena wajib sarjana, sedangkan prodesi lain tidak. Bahkan muncul isu hak „asasi
manusia" dimana profesi dokter juga berhak menentukan ingin berkarir di daerah mana,
sehingga kemudian program ini dihapuskan. Para dokter spesialis yang tadinya
menjalani WKS di daerah terpencil ada yang kemudian menetap disana, namun lebih
banyak yang memilih untuk pindah ke kota besar. Meskipun Kemenkes telah memiliki
program flying health care sebagai penggantinya, namun tetap saja tidak semua daerah
bisa terjangkau oleh pelayanan ini. Penelitian UGM menunjukkan bahwa penyebaran
dokter spesialis sangat tidak merata. Rasio dokter spesialis terhadap masyarakat yang
dilayani di Pulau Jawa jauh lebih besar dibanding provinsi lain.
Ketidakmerataan fasilitas dan tenaga profesional kesehatan juga menyebabkan
variasi dalam status kesehatan mayarakat. Provinsi NTT misalnya memiliki angka
kematian bayi yang masih tinggi meskipun terjadi penurunan dari 2010 ke 2011 (1.214
ke 1.131 kematian) dan kematian ibu yang juga tinggi (239 di tahun 2010 dan 197 di
tahun 2011). Salah satu hambatan utama menurunkan angka kematian ini adalah
kurangnya tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit. Banyak RS hanya memiliki 1
atau 2 dokter spesialis tetap. Kini dengan adanya program revolusi KIA yang
dicanangkan oleh Gubernur sejak 2009 melahirkan program sister hospital. Beberapa RS
besar di Jawa dan Sulawesi Selatan (disebut sebagai RS Mitra A) menjadi konsultan
pendamping peningkatan pelayanan khususnya maternal dan neonatal di 11 RSUD di
NTT (disebut sebagai RS Mitra B). RS Mitra A ini terdiri dari RSCM, RS Harapan Kita, RSUP
Dr. Kariyadi, RSUP Dr. Sardjito, RSUD Dr. Syaiful Anwar, RSUD Dr. Soetomo, RSUD
Sanglah, dan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Sedangkan RSUD di NTT yang masuk
dalam program ini adalah RSUD Soe, RSUD Kefamenanu, RSUD Atambua, RSUD
Waikabubak, RSUD Umbu Rara Meha, RSUD Ruteng, RSUD Ende, RSUD TC Hillers, RSUD
Bajawa, RSUD Larantuka, dan RSUD Lewoleba, Salah satu kegiatannya adalah mengirim
dokter spesialis atau residen senior untuk melaksanakan pelayanan di RSUD-RSUD
tersebut sambil mengembangkan sistem klinik dan manajemen yang mendukung.
Dengan demikian, kebutuhan tenaga spesialis di RSUD khususnya untuk Spesialis
Kebidanan dan Kandungan, Spesialis Anak, Spesialis Bedah, Spesialis Anestesi cukup
teratasi.
Untuk mempercepat proses pembelajaran, 11 RSUD di NTT tersebut juga
dilengkapi dengan seperangkat komputer beserta kamera dan sambungan internet
untuk melakukan komunikasi lebih intensif dengan RS Mitra A. Awalnya perangkat ini
hanya digunakan untuk mengkoordinasikan kegiatan melalui email dan rapat jarak jauh
melalui Skype. Namun kemudian fungsinya berkembang menjadi alat konsultasi pada
saat tim medis di RSUD melakukan tindakan pada pasien. Hal ini sudah terjadi
contohnya di RSUD Kefamenanu. Pada saat ini di RSUD Kefamenanu tidak terdapat
dokter spesialis Anestesi, sehingga saat terdapat kasus partus dengan kompllikasi yang
membutuhkan operasi, dokter spesialis anestesi di RS Harapan Kita meng-guide tim
medis di RSUD Kefamenanu melalui Skype yang perangkatnya sudah dipasang di OK
RSUD. Cara ini dianggap efektif untuk mengatasi kendala kekurangan tenaga spesialis.
Jika merefer pada berbagai literatur, apa yang dilakukan di RSUD Kefamenanu tersebut
sebenarnya adalah telemedicine. Menurut situs news-medical.net, telemedicine bisa
berupa kegiatan sederhana dimana dua orang profesi kesehatan yang mendiskusikan
sebuah kasus melalui telepon, sampai ke kegiatan yang lebih kompleks yang melibatkan
teknologi satelit, perangkat video-conference untuk melakukan konsultasi real time
antar benua. Dengan demikian, pelayanan kesehatan di NTT maupun daerah-daerah
lainnya di Indonesia bisa ditingkatkan melalui fasilitas ini.
Yang diperlukan hanyalah seperangkat komputer dan jaringan internet, dan
tentu saja kerjasama antara RSUD dengan RS lain yang lebih besar dan memiliki dokter
spesialis yang dapat memberikan pelayanan secara jarak jauh. Saat ini sambungan
internet sudah menjangkau hampir semua kota kecil di Indonesia. Masyarakat juga
sudah sangat familiar dengan internet, jika dilihat dari gadget yang digunakan sehari-
hari, termasuk oleh masyarakat dipelosok. Tinggal bagaimana kita menggunakan potensi
infrastruktur dan teknologi yang telah tersedia ini untuk kepentingan yang lebih besar
dan lebih bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Sumber : https://kebijakankesehatanindonesia.net/25-berita/berita/1483-
telemedicine-harapan-baru-untuk-meningkatkan-kapasitas-rs-daerah-terpencil

3. Perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit


Instalasi Pemeliharaan Sarana & Prasarana Rumah Sakit (IPSRS) adalah suatu unit
fungsional untuk melaksanakan kegiatan teknis instalasi, pemeliharaan dan perbaikan,
agar fasilitas yang menunjang pelayanan kesehatan di rumah sakit yaitu sarana,
prasarana dan peralatan alat kesehatan RS selalu berada dalam keadaan layak pakai
guna menunjang pelayanan kesehatan yang paripurna dan prima kepada pelanggan.
Semua urusan teknis dan manajerial ada di IPSRS.
Di beberapa Rumah Sakit ada yang menyebut bagian SARPRAS (Sarana
Prasarana), Bagian Teknis, UPSRS (Unit Pemeliharaan Sarana &Prasarana Rumah Sakit).
Pelayanan lain yaitu kegiatan pemeliharaan sarana, prasarana dan alat, yang
dilaksanakan oleh Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit (IPSRS) yang meliputi
pemeliharaan fisik, peralatan medis, pemeliharaan peralatan nonmedis, dan lain
sebagainya. IPSRS juga melakukan pengelolaan pemakaian sumber listrik PLN dan
generator, sumber air bersih (Artesis, RO dan PDAM), Jaringan Telepon, dll.

Layanan rumah sakit yang baik tentunya ditunjang dengan keberadaan peralatan
dan perlengkapan pendukung yang prima pula. Jangan sampai ketika pasien
membutuhkan, peralatan tersebut tidak tersedia sehingga akan menghambat proses
layanan kepada pasien. Sehingga pasien dapat segera terlayani  dan meminimalisasi
risiko bagi pasien.  Apalagi saat ini sedang hangat – hangatnya tentang akreditasi
standar rumah sakit. Berdasar pada Undang – Undang  No 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit pasal 40 dijelaskan bawa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan rumah
sakit dilakukan akreditasi secara berkala minimal tiga (3) tahun sekali. Akreditasi rumah
sakit dilakukan oleh suatu lembaga independen baik dari dalam ataupun luar negeri
berdasar standar akreditasi yang berlaku. Untuk memenuhi standar tersebut rumah
sakit dituntut untuk menyediakan layanan dan fasilitas sesuai standar yang telah
ditetapkan.

Instalasi kerja IPSRS mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai berikut:

a. Membuat program kerja pemeliharaan dan perbaikan tahunan dan melaporkannya


kepada pimpinan direktur rumah sakit
b. Melakukan koordinasi dan rapat dengan instalasi terkait
c. Operator Utility, IPSRS sebagai penyedia sarana dan prasarana di rumah sakit, sumber
air bersih, sumber listrik PLN, catu daya pengganti khusus (CDPK) Genset, dan Lift
Elevator
d. Maintenance, pemeliharaan dan perawatan rutin.
e. Perencanaan dan program kegiatan pemeliharaan.
f. Pengukuran dan kalibrasi.
g. Manajemen informasi dan pemeliharaan.
h. Rujukan perbaikan
i. Pengawasan fasilitas dan keselamatan kerja
Sumber : https://snars.web.id/rs/pedoman-pelayanan-bagian-instalasi-pemeliharaan-sarana/

4. Pengadaan obat dan pembekalan rumah sakit


Pada siklus pengadaan tercakup pada keputusan-keputusan dan tindakan dalam
menentukan jumlah obat yang diperoleh, harga yang harus dibayar, dan kualitas obat-
obat yang diterima.
Siklus pengadaan obat mencakup pemilihan kebutuhan, penyesuaian kebutuhan
dan dana, pemilihan metode pengadaan, penetapan atau pemilihan pemasok,
penetapan masa kontrak, pemantauan status pemesanan, penerimaan dan pemeriksaan
obat, pembayaran, penyimpanan, pendistribusian dan pengumpulan informasi
penggunaan obat.
Proses pengadaan dikatakan baik apabila tersedianya obat dengan jenis dan jumlah
yang cukup sesuai dengan mutu yang terjamin serta dapat diperoleh pada saat
diperlukan.
Jenis pengadaan obat di Rumah Sakit dibagi menjadi :
a. Berdasarkan dari pengadaan barang, yaitu :
1) Pengadaan barang dan farmasi
2) Pengadaan bahan dan makanan
3) Pengadaan barang-barang dan logistik
b. Berdasarkan sifat penggunaannya :
1) Bahan baku, misalnya : bahan antibiotika untuk pembuatan salep
2) Bahan pembantu, misalnya : Saccharum lactis untuk pembuatan racikan
puyer
3) Komponen jadi, misalnya : kapsul gelatin
4) Bahan jadi, misalnya : bukan kapsul antibiotika, cairan infus
c. Berdasarkan waktu pengadaan, yaitu :
1) Pembelian tahunan (Annual Purchasing)
2) Merupakan pembelian dengan selang waktu satu tahun
3) Pembelian terjadwal (Schedule Purchasing)
Sistem pengadaan perbekalan farmasi adalah penentu utama ketersediaan obat
dan biaya total kesehatan. Manajemen pembelian yang baik membutuhkan tenaga
medis. Proses pengadaan efektif seharusnya:
a) Membeli obat-obatan yang tepat dengan jumlah yang tepat
b) Memperoleh harga pembelian serendah mungkin
c) Yakin bahwa seluruh obat yang dibeli standar kualitas diketahui
d) Mengatur pengiriman obat dari penyalur secara berkala (dalam waktu tertentu),
menghindari kelebihan persediaan maupun kekurangan persediaan
e) Yakin akan kehandalan penyalur dalam hal pemberian serius dan kualitas
f) Mengatur jadwal pembelian obat dan tingkat penyimpanan yang aman untuk
mencapai total lebih rendah.
Terdapat banyak mekanisme metode pengadaan obat, baik dari pemerintah, organisasi
non pemerintahan dan organisasi pengadaan obat lainnya. Sesuai dengan keputusan
Presiden No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelakasanaan Barang dan Jasa Instansi
Pemerintah, metode pengadaan perbekalan farmasi di setiap tingkatan pada sistem.
Kriteria pemilihan pemasok sediaan farmasi untuk Rumah Sakit, adalah :
a. Telah memenuhi persyaratan hukum yang berlaku untuk melakukan produksi dan
penjualan (telah terdaftar).
b. Telah terakreditasi sesuai dengan persyaratan CPOB dan ISO 9000.
c. Suplier dengan reputasi yang baik.
d. Selalu mampu dan dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemasok produk obat.

Beberapa Prinsip Praktek Pengadaan Obat dan Perbekalan Kesehatan yang baik dan
merupakan standar universal mencakup aspek :
a. Pengadaan Obat merujuk kepada obat generik
b. Pengadaan Obat terbatas kepada DOEN atau daftar formularium Rumah Sakit
c. Pengadaan obat secara terpusat dan dengan jenis terbatas akan menurunkan harga
d. Pengadaan secara kompetitif
e. Pada tender terbatas, hanya suplier yang telah melewati prakualifikasi yang diizinkan
mengikuti.
f. Adanya komitmen pengadaan
g. Suplier harus menjamin pasokan obat yang kontraknya telah ditandatangani
h. Jumlah obat yang diadakan harus sesuai dengan perkiraan kebutuhan nyata
i. Gunakan penghitungan berdasarkan konsumsi kebutuhan masa kros cek dengan
pola penyakit dan jumlah kunjungan
j. Lakukan penyesuaian terhadap stok over, stok out, obat expired
k. Lakukan penyesuaian dan perhitungan terhadap kebutuhan program dan perubahan
pola penyakit (utamanya) lansia
l. Lakukan Manajemen Keuangan yang baik dan Pembayaran Pasti
m. Kembangkan kepastian pembayaran
n. Mekanisme pembayaran yang pasti akan dapat menurunkan harga
o. Prosedur tertulis dan transparan

5. Peningkatan pelayanan rujukan

Rujukan merupakan proses yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan


terutama untuk daerah dengan keterbatasan fasilitas. Dengan proses rujukan yang baik
masyarakat atau pasien bisa mendapatkan pelayanan yang berkualitas serta komprehensif.
Apalagi dalam era JKN telah ditetapkan system rujukan berjenjang sehingga proses rujukan
merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan mutu layanan
kesehatan. Masalah-masalah seperti administrasi, kepatuhan terhadap SOP rujukan,
fasilitas, dan juga akses transportasi masih menjadi kendala dalam system rujukan kita.
Masalah yang paling sering dijumpai adalah system rujukan balik yang tidak berjalan.

Rujukan balik merupakan bagian yang esensial dari system komunikasi dalam
rujukan untuk memberikan pelayanan lanjutan yang tepat bagi pasien setelah mendapatkan
pelayanan spesialis. Rujukan balik yang tepat selain meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan kepada pasien juga membentuk kerjasama yang solid antara penyedia layanan
yang berbasis pada kepercayaan dan komunikasi.

Menurut Piterman dan Koritsas, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
membangun komunikasi rujukan antara pemberi rujukan dan penerima rujukan adalah
sebagai berikut :

a. Penerima rujukan menginginkan informasi yang mendetail terkait dengan masalah yang
dihadapi sehingga pasien tersebut dirujuk. Mereka merasa bahwa pemberi rujukan
kurang memberikan informasi yang cukup terkait masalah yang dihadapi. Informasi yang
diharapkan oleh dokter spesialis antara lain detail pengobatan yang sudah diberikan
kepada pasien, pemeriksaan lanjutan yang diperlukan, dan masalah medis lain yang
perlu didiskusikan.
b. Pemberi rujukan mengharapkan respons yang jelas dari penerima rujukan, seperti
jawaban yang spesifik untuk masalah yang ditangani, diagnosa yang jelas, rekomendasi
untuk perawatan lebih lanjut, follow-up yang diperlukan, pengobatan yang sudah
diberikan, serta nama jelas dan tujuan kepada siapa rujukan balik diberikan untuk
ditindaklanjuti.

Sumber : Department of Health, State Government Victoria. 2011. Guidelines on


Feedback to General Practitioners for Community Health Services. Department of Health

6. Pengembangan pelayanan dokter keluarga


Konsep dokter keluarga di Indonesia pertama diajukan oleh IDI pada tahun 1980
sebagai hasil Muktamar ke –17 dengan latar belakang sebagai berikut:
a. Dokter Keluarga sebagai alternatif pengembangan karier dokter disamping karir
spesialis
b. Dokter Keluarga untuk memenuhi tuntutan pelayanan kesehatan yang termaksud
pada SKN pada waktu itu. Masalah mutu pada waktu itu masih belum menjadi
sorotan benar.
c. Dokter Keluarga untuk mengatasi masalah pembiayaan kesehatan dengan
menerapkan sistem pelayanan kesehatan terkendali.
d. Dokter Keluarga untuk menahan dampak negatif spesialisasi Dalam Mukernya yang
ke-18.

IDI menetapkan definisi Dokter Keluarga sebagai berikut: Dokter Keluarga adalah
dokter yang memberi pelayanan kesehatan yang berorientasi komunitas dengan titik
berat pada keluarga sehingga ia tidak hanya memandang penderita sebagai individu
yang sakit tapi sebagai bagian dari unit keluarga dan tidak anya menanti secara pasif
tetapi bila perlu aktif mengunjungi penderita atau keluarganya.

Dengan definisi demikian IDI menggambarkan ciri pelayanan Dokter Keluarga


sebagai berikut:

1) Dokter Keluarga melayani penderita tidak hanya sebagai individu tetapi sebagai
anggota satu keluarga bakan anggota masyarakatnya.
2) Dokter Keluarga memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh dan memberikan
perhatian kepada penderitanya secara lengkap dan sempurna,jauh melebihi apa
yang dikeluhkannya.
3) Dokter Keluarga memberikan pelayanan kesehatan dengan tujuan utama
meningkatkan derajat kesehatan, mencegah timbulnya penyakit dan mengenal serta
mengobatinya penyakit sedini mungkin.
4) Dokter Keluarga mengutamakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
kebutuhan dan berusaha memenuhi kebutuhan itu sebaik-baiknya.
5) Dokter Keluarga menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan tingkat pertama
dan ikut bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan lanjutan Akan tetapi setelah
sekian lama, kedudukan DK dalam sistem pelayanan kesehatan kita masih belum
jelas.

Untuk peningkatan pengembangan Dokter Keluarga disadari bahwa perlu tekad


politis (political will) dari Pemerintah, profesi dan masyarakat untuk mengukuhkan
kedudukan Dokter Keluarga dalam sistem pelayanan kesehatan kita. Tekad politis pihak
profesi hendaknya dipertegas dengan menyadari bawa pelayanan Dokter Keluarga baru
dapat dijalankan kalau pelaksananya menguasai Kedokteran Keluarga (Family Medicine)
sebagai body of knowledge yang digunakannya dalam memberikan pelayanan
kedokteran. Upaya sinergisme dalam rangka pengembangan Dokter Keluarga di
Indonesia itu telah dilakukan dalam suatu wadah kerjasama tripartit pengembangan DK
di Indonesia yang terdiri dari Depkes, KDKI/IDI dan Fakultas Kedokteran.

Sumber : Azwar, A. 2016. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Jakarta : Yayasan Penerbit
Ikatan Dokter Indonesia.

7. Biaya operasional dan oprasional kesehatan

Masalah kesehatan sudah menjadi fokus yang tak diabaikan oleh pemerintah
Indonesia maupun pada tingkat global. Salah satu bukti dari fokus dan kesadaran
pemerintah terhadap kesehatan masyarakat adalah diluncurkannya program kesehatan
bernama Biaya Operasional Kesehatan (BOK), Jaminan Kesehatan Masyarakat
(JAMKESMAS), Jaminan Persalinan (JAMPERSAL). Sebelum membahas lebih jauh, perlu
diketahui bahwa tulisan ini memiliki kerangka pembahasan yaitu hanya memfokuskan
pada Biaya Operasional Kesehatan (BOK). Tepatnya adalah pembedahan pada petunjuk-
petuntuk teknis Biaya Operasional Kesehatan atau di singkat BOK, dan kedua adalah
landasan filosofis dari program kesehatan tersebut.

Definisi dari Biaya Operasional Kesehatan (BOK) adalah bantuan dana dari
pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dalam membantu Pemerintah Daerah
Kabupaten melaksanakan pelayanan kesehatan sesuai Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Kesehatan menuju Millenium Development Goals (MDGs) Bidang
Kesehatan tahun 2015 melalui peningkatan kinerja Puskesmas dan jaringannya serta
Poskesdes dan Posyandu dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat
promotif dan preventif (Buku Tata Cara Penyelengaraan Administrasi Keuangan BOK
2012).
Program ini merupakan salah satu upaya dari pemerintah Indonesia untuk
mensukseskan MDGs dan juga peningkatan kesehatan rakyat Indonesia. Konkritnya
adalah program Biaya Operasional Kesehatan merupakan bentuk pembiayaan yang
diturunkan dari APBN dan melalui Kementerian Kesehatan RI untuk dialokasikan kepada
Pemerintah Daerah, Kota/Kabupaten yang akan diteruskan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota selaku Kuasa Pengguna Anggran (KPA), lalu dialirkan ke puskesmas-
puskemas. Lanjut agar puskesmas dapat memperoleh BOK maka puskesmas perlu
membuat Rencana Pelaksanaan Anggaran (RPK) yang akan diturunkan menjadi plan of
action (POA) per bulan. Dan proses pembuatan POA haruslah melalui lokakarya mini
(Lokmin). Setelah membuat plan of action maka perlu disertakan untuk Surat
Permintaan Uang (SPU) dan dikirim ke kantor Kesehatan Kabupaten/Kota selaku Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) yang akan diteruskan kepada Pejabat Pengguna Anggaran
(PPA) dan diteruskan kepada Penguji Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM)
untuk dianalisis kelayakan dan apabila telah layak maka PPSPM akan menyuruh
Bendahara Pengeluaran Keuangan untuk mencairkan uang ke puskesmas.

Setelah deskripsi umum, tahapan selajutnya adalah membedah landasan filosofis


dari BOK. Penjelasannya adalah merujuk pada definisi BOK, tampak dengan jelas bahwa
ada kesadaran untuk meningkatkan kesehatan Indonesia pada khususnya dan global
pada umumnya melalui pelayanan kesehatan yang lebih baik. Selain itu, tampak juga
bahwa kesadaran tersebut sebenarnya tidak turun dari langit melainkan ada landasan
filosofisnya. Dari perspektif Indonesia, fokus dan kesadaran untuk meningkatkan
pelayana kesehatan agar kesehatan masyarakat meningkat sebenarnya telah tertuang
dalam Undang-Undang dasar 45 dan ditegaskan serta dikerucutkan menjadi berbagai
pasal-pasal dan peraturan. Gambaran umumnya berbunyi, menurut Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 28 H ayat 1, setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Sebagai penutup, pemberian Biaya Operasional Kesehatan (BOK) yang berfungsi


utama melancarkan pelayanan kesehatan sebenarnya menggambarkan benih-benih
kesadaran untuk memperhatikan kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila penilaian plus dan unik wajib diberikan kepada pemerintah
Indonesia yang telah terdorong sanubarinya untuk membuat program-program
pelayanan kesehatan seperti salah satunya adalah Biaya Operasional Kesehatan (BOK)
bagi rakyat indonesia, terutama rakyat miskin atau tidak mampu. Akhir kata, pada
prinsipnya kita bangsa Indonesia wajib berbangga hati dan bersama-sama berusaha
mensukseskan upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan kesehatan melalui
pemberian pelayanan kesehatan yang memadai seperti salah satunya adalah bersama-
sama mensukseskan aplikasi Biaya Operasional Kesehatan (BOK) yang tepat sasaran.

Sumber: https://www.kompasiana.com/sina/550ee2bd8133118b2cbc66a1/biaya-
operasional-kesehatan-bok

Anda mungkin juga menyukai