Disusun oleh:
2010721059
2. Tingkatan Kecemasan
Stuart (2013), mengategorikan kecemasan menjadi 4 tingkatan dengan penjelasan
sebagai berikut:
a. Kecemasan ringan
Kecemasan ringan terjadi saat ketegangan hidup sehari-hari, dan selama tahap
ini lapang persepsi melebar dan orang akan bersikap hati-hati dan waspada. Respon
fisiologis yang dialami seperti tekanan darah batas normal atau sedikit meningkat,
kurang nyaman atau sedikit gelisah, iritabilitas atau ketidaksabaran, ketegangan
ringan; mengetuk jari, mengigit bibir, dan gemetar.Respon kongnitif orang yang
mengalami kecemasan ringan adalah lapang persepsi meluas, dan dapat menerima
rangsang yang kompleks, pikiran mungkin acak, tetapi dapat terkontrol. Jenis
kecemasan ringan dapat memotivasi dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas
(Morrison-Valfre, 2017; Varcarolis, 2017).
b. Kecemasan sedang
Kecemasan sedang, di mana seseorang hanya berfokus pada hal-hal yang
penting saja dan lapang persepsi menyempit sehingga kurang melihat, mendengar,
dan menangkap. Seseorang memblokir area tertentu tetapi masih mampu mengikuti
perintah jika diarahkan untuk melakukannya. Respon fisiologis yang dialami yaitu
tekanan darah naik, perubahan dalam nada suara, suara tremor, kesulitan
berkonsentrasi, tingkat pernapasan dan nadi meningkat, dan tekanan otot meningkat.
Respon kognitif dengan kecemasan sedang adalah lapang persepsi menyempit,
rangsang luar sulit diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatian. Respon
perilaku dan emosi yang dialami kecemasan sedang adalah tidak mampu secara
optimal dalam memecahkan masalah, perlu arahan/ bimbingan dari orang lain
(Morrison-Valfre, 2017; Varcarolis, 2017).
b. Kecemasan berat
kecemasan berat ditandai dengan penurunan yang signifikan di lapang persepsi.
Seseorang dengan kecemasan berat mungkin berfokus pada satu detail tertentu atau
banyak rincian yang tersebar sehingga orang tersebut akan mengalami kesulitan
untuk melihat kejadian yang terjadi di lingkungan, dan bahkan dengan bimbingan
oleh orang lain sekalipun. Respon fisiologis yang dialami yaitu perasaan takut, tanda-
tanda vital meningkat, mulut kering, nafsu makan menurun, pupil yang melebar, otot
kaku, tegang, panca indera terpengaruh; pendengaran menurun, dan sensasi rasa sakit
menurun. Respon kognitif dengan kecemasan berat adalah lapang persepsi sangat
sempit, pemecahan masalah sulit, perhatian selektif (fokus pada satu bagian), kurang
perhatian (menghalangi rangsangan yang mengancam), distorsi waktu (hal-hal yang
tampak lebih cepat atau lebih lambat dari yang sebenarnya), sedangkan respon
perilaku dan emosinya terlihat seperti merasa terancam, aktivitas dapat meningkat
atau menurun (mungkin kecepatan, lari, meremas tangan, mengerang, menjadi sangat
tidak terorganisir, membeku pada posisi/ tidak dapat bergerak), menunjukkan
penyangkalan; bisa mengeluh sakit atau nyeri, gelisah, atau mudah tersinggung
(Morrison-Valfre, 2017; Varcarolis, 2017).
c. Panik
Panik ditandai dengan rasa takut dan teror, sebagian orang yang mengalami
kepanikan tidak dapat melakukan hal-hal/ tindakan bahkan dengan arahan orang lain.
Respon fisiologis yang dialami adalah gejala sebelumnya meningkat sampai terjadi
pelepasan saraf simpatik, pucat, tekanan darah menurun/ hipotensi, koordinasi otot
buruk, rasa sakit, sensasi mendengar minimal. Respon kognitif pada tingkatan panik
adalah lapangan persepsi kacau atau tertutup, tidak dapat menerima rangsangan,
pemecahan masalah dan pemikiran logis sangat tidak mungkin, persepsi
ketidaknyataan tentang diri, lingkungan, atau kejadian disosiasi mungkin terjadi.
Respon perilaku dan emosi yang dialami pada tingkatan panik yaitu merasa tidak
berdaya dengan kehilangan kendali total, marah, ngeri; menjadi agresif atau benar-
benar menarik diri, menangis, lari, tidak terorganisir, dan perilaku biasanya sangat
aktif atau tidak aktif. Tingkat kecemasan ini tidak dapat bertahan tanpa batas waktu,
karena tidak kompatibel dengan kehidupan, dan kondisi panik yang berkepanjangan
akan menghasilkan kelelahan dan kematian (Morrison-Valfre, 2017; Varcarolis,
2017).
3. Rentang Respons
Rentang respons kecemasan dari respons paling adaptif yaitu antisipasi sampai ke
respons yang paling maladaptif yaitu panik, seperti berikut (Stuart, 2013; Morrison-
Valfre, 2017) :
5. Faktor Predisposisi
Stressor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat
menyebabkan timbulnya kecemasan. Ketegangan dalam kehidupan tersebut dapat
berupa:
1) Faktor biologis.
Otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine. Reseptor ini membantu
mengatur ansietas. Penghambat GABA juga berperan utama dalam mekanisme
biologis berhubungan dengan ansietas sebagaimana halnya dengan endorfin. Ansietas
mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas
seseorang untuk mengatasi stresor.
2) Faktor psikologis
a. Pandangan psikoanalitik.
Ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara antara dua elemen
kepribadian—id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif,
sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh
norma-norma budaya seseorang. Ego atau aku berfungsi menengahi tuntutan dari
dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego
bahwa ada bahaya.
b. Pandangan interpersonal.
Ansietas timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan
penolakan interpersonal. Ansietas berhubungan dengan perkembangan trauma,
seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan spesifik. Orang
yang mengalami harga diri rendah terutama mudah mengalami perkembangan
ansietas yang berat.
c. Pandangan perilaku.
Ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu
kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku
menganggap sebagai dorongan belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk
menghindari kepedihan. Individu yang terbiasa dengan kehidupan dini dihadapkan
pada ketakutan berlebihan lebih sering menunjukkan ansietas dalam kehidupan
selanjutnya.
3) Sosial budaya
Ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam keluarga. Ada tumpang tindih
dalam gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas dengan depresi. Faktor ekonomi
dan latar belakang pendidikan berpengaruh terhadap terjadinya ansietas.
6. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat
mencetuskan timbulnya kecemasan. Stressor presipitasi dikelompokkan menjadi dua
bagian, yaitu:
1) Ancaman terhadap integritas fisik, meliputi:
a) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem imun, regulasi
suhu tubuh, dan perubahan biologis normal (misalnya: hamil).
b) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polutan
lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal.
2) Ancaman terhadap harga diri, meliputi sumber internal dan eksternal
a) Sumber internal, kesulitan dalam hubungan interpersonal di rumah dan tempat
kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap integritas fisik
jug dapat mengancam harga diri.
b) Sumber eksternal, kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status
pekrjaan, tekanan kelompok, dan sosial budaya.
8. Mekanisme Koping
Kemampuan individu menanggulangi kecemasan secara konstruksi merupakan
faktor utama yang membuat pasien berperilaku patologis atau tidak. Mekanisme koping
untuk mengatasi kecemasan sedang, berat, dan panik membutuhkan banyak energi.
Menurut Suliswati , mekanisme koping yang dapat dilakukan ada dua jenis, yaitu:
a) Task Oriented Reaction atau reaksi yang berorientasi pada tugas.
Tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan koping ini adalah individu mencoba
menghadapi kenyataan tuntutan stress dengan menilai secara objektif ditujukan untuk
mengatasi masalah, memulihkan konflik dan memenuhi kebutuhan.
Perilaku menyerang digunakan untuk mengubah atau mengatasi hambatan pemenuhan
kebutuhan.
Perilaku menarik diri digunakan baik secara fisik maupun psikologik untuk
memindahkan seseorang dari sumber stress.
Perilaku kompromi digunakan untuk mengubah cara seseorang mengoperasikan,
mengganti tujuan, atau mengorbankan aspek kebutuhan personal seseorang.
b) Ego Oriented Reaction atau reaksi berorientasi pada ego.
Koping ini tidak selalu sukses dalam mengatasi masalah. Mekanisme ini seringkali
digunakan untuk melindungi diri, sehingga disebut mekanisme pertahanan ego diri
biasanya mekanisme ini tidak membantu untuk mengatasi masalah secara realita. Untuk
meniliti penggunaan mekanisme pertahanan individu apakah adaptif atau tidak adaptif,
perlu dievalusi hal-hal berikut:
Perawat dapat mengenali secara akurat penggunaan mekanisme pertahanan pasien.
Tingkat penggunaan mekanisme pertahanan diri tersebut apa pengaruhnya terhadap
disorganisasi kepribadian.
Pengaruh penggunaan mekanisme pertahanan terhadap kemajuan kesehatan pasien.
Alasan pasien menggunakan mekanisme pertahanan.
Cor Problem
Gangguan suasana perasaan: Cemas
Causa
Morrison-Valfre, M. (2017). Foundations of Mental Health Care (6th ed.). Elsevier, Inc.
Prabowo, E. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika
Stuart, G. W. (2013). Prinsip dan praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa (J. P. Keliat, A.B. (ed.);
Indonesia). Elsevier.
Varcarolis, E. M. (2017). Essentials Of Psychiatric Mental Heart Nursing: A Communication
Approach To Evidence Based Care (3rd ed.). Elsevier, Inc.
Videbeck, Sheila, L. (2014). Psychiatric Mental Health Nursing (6th ed.). Lippincott Williams &
Wilkins.