Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

EKLAMPSIA

Pembimbing :

Dr. dr. Laksmi Maharani, SpOG (K)

Disusun Oleh :
Elfira Sutanto 31.191.021
Putri Nur Rahmahwati 31.191.063
Queena Raihan Salsabila 31.191.064
Rizal Maulana Ramdhan 31.191.069

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 16 NOVEMBER 2020 – 11 DESEMBER 2020


LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

REFERAT

Judul:
Eklampsia

Nama Koas:
Elfira Sutanto 31.191.021
Putri Nur Rahmahwati 31.191.063
Queena Raihan Salsabila 31.191.064
Rizal Maulana Ramdhan 31.191.069

Telah disetujui untuk dipresentasikan

Pada hari , tanggal 2020

Pembi
mbing

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan berkat serta kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat
yang berjudul “Eklampsia”. Penyusunan referat ini sebagai persyaratan untuk
memenuhi tugas dalam Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi
Pendidikan Dokter Universitas Trisakti
Penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada pembimbing serta
teman-teman yang turut memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan
referat, serta penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan
memiliki kesalahan, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan oleh penulis untuk nantinya dapat memperbaiki dalam pembuatan
selanjutnya, penyusun selalu mengharapkan semoga pembaca dapat mengambil
manfaat dari tinjauan pustaka ini.

Jakarta, 16 November 2020

Penyusun

DAFTAR IS

ii
HALAMAN
BAB I.......................................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................3
2.1 Definisi.......................................................................................................3
2.2 Epidemiologi..............................................................................................3
2.3 Klasifikasi..................................................................................................4
2.4 Etiologi.......................................................................................................4
2.4.1 Proses plasentasi yang abnormal................................................4
2.4.2 Faktor genetik.............................................................................4
2.4.3 Faktor imun.................................................................................5
2.5 Faktor risiko...............................................................................................5
2.6 Patofisiologi...............................................................................................6
2.6.1 Plasenta abnormal.......................................................................6
2.7 Manifestasi Klinis......................................................................................8
2.8 Diagnosis....................................................................................................9
2.8.1 Anamnesis..................................................................................9
2.8.2 Pemeriksaan Fisik.....................................................................10
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang............................................................10
2.9 Diagnosis Banding...................................................................................11
2.10Tatalaksana...............................................................................................11
2.11Komplikasi...............................................................................................15
2.12Prognosis..................................................................................................16
BAB III...................................................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Pre-eklampsia atau eklampsia merupakan suatu komplikasi kehamilan yang


sangat berperan dan substansial dalam tingkat mortalitas dan morbiditas ibu dan
janin. Komplikasi ini biasanya diawali dengan new-onset hypertension dan
proteinuria yang dimana keadaan ini akan terus berkembang menjadi kerusakan
organ yang multiple seperti gangguan hepar, renal, dan serebral pada ibu jika
tidak segera ditatalaksana atau dilakukan terminasi kehamilan.(1)
Pre-eklampsia merupakan masalah kehamilan dengan angka insidensi
yang mencapai 4-5% dari seluruh kehamilan di dunia. Pre-klampsia atau
eklampsia sangat berperan dalam tingkat mortalitas dan morbiditas ibu dan janin.
Pre-eklampsia atau eklampsia turut memberi kontribusi menjadi faktor resiko dari
kelahiran prematur dan kejadian gangguan organ yang multipel pada ibu. Pre-
eklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan hipertensi dan
proteinuria pada usia gestasi 20 minggu, sedangkan eklampsia merupakan
keadaan pre-eklampsia yang ditandai dengan adanya bangkitan kejang pada ibu.(2)
Deskripsi mengenai eklampsia sudah ada sejak tahun 1637 yang
dipublikasikan oleh seorang dokter spesialis bidang obstetri, Francis Mauriceau.
Francis Mauriceau menyebutkan bahwa resiko kejang pada wanita hamil dengan
pre-eklampsia lebih tinggi pada wanita primigravida. 3 Pada tahun 1960, beberapa
studi menyimpulkan bahwa kejadian pre-eklampsia disebabkan oleh karena
adanya gangguan pada proses implantasi sehingga terdapat gangguan perfusi pada
plasenta janin.(3) Dalam dua dekade terakhir beberapa studi mendapatkan bahwa
dasar patogenesis dari pre-eklampsia adalah terjadinya disfungsi pada dua sisi
yaitu dari proses plasentasi dan sisi regulasi metabolik ibu sendiri. Menurut
beberapa studi dari dua dekade terakhir, faktor yang memiliki peran penting dari
proses patogenesis pre-eklampsia adalah masalah genetik, masalah reaksi imun
ibu, dan masalah ketidakseimbangan antara protein faktor angiogenesis dan
antiangiogenesis. Bahkan menurut studi yang dilakukan oleh Romero et al, faktor
antiangiogenesis menjadi kunci mediator patogenesis pre-eklampsia pada ibu.(4)

1
Pre-eklampsia dan eklampsia memiliki angka mortalitas dan morbiditas
yang tinggi, oleh sebab itu diagnosis awal dan tatalaksana segera akan sangat
mempengaruhi prognosis dari ibu dan janin. Oleh karena itu, tujuan dibuatnya
makalah ini adalah untuk menyimpulkan beberapa studi mengenai pre-eklampsia
dan eklampsia seperti definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala hingga
tatalaksana serta komplikasi guna meningkatkan kesadaran, pengenalan, serta
early diagnosis dan prompt treatment pada pasien dengan pre-eklampsia dan
eklampsia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut
dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa
didahului oleh tanda-tanda lain. Pada wanita yang menderita eklampsia timbul
serangan kejang yang diikuti oleh koma.(5)
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia, yang disertai
dengan kejang menyeluruh dan koma dan dapat timbul saat antepartum,
intrapartum dan postpartum.(6)
Eklampsia juga didefinisikan sebagai onset baru kejang umum tonik-klonik
pada wanita dengan preeklamsia. Kejang eklampsia dapat terjadi antepartum, 20
minggu setelah gestasi, intrapartum, dan postpartum.(7)

II.2 Epidemiologi
Eklampsia lebih sering terjadi pada primigravida daripada multipara. (5)
Wanita dengan eklampsia umumnya muncul setelah usia kehamilan 20 minggu,
dengan sebagian besar kasus terjadi setelah usia kehamilan 28 minggu.(7)
Insiden eklampsia berkisar antara 2 – 10% tergantung pada populasinya.
Data pada wanita di India yang melakukan persalinan dipengaruhi oleh eklampsia
berkisar 0,9 – 7,7%.(8) Sekitar 60 - 75% eklampsia dapat terjadi sebelum
persalinan, dan sekitar 40 - 50% terjadi saat persalinan dan 48 jam pertama setelah
melahirkan.(9) Eklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang sangat serius
yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu dan perinatal.(10) Di seluruh
dunia, eklampsia menyebabkan 50.000 kematian ibu setiap tahun. Sebuah studi di
Brazil, menyebutkan bahwa prevalensi dan angka mortalitas eklampsia pada
daerah dengan tingkat pendapatan rendah (8,1% dan 22%) lebih tinggi dibanding
daerah dengan pendapatan tinggi (0,2% dan 0,8%).(5)

3
II.3 Klasifikasi
Berdasarkan dari saat timbulnya eklampsia diklasifikasikan menjadi
eklampsia gravidarum (eklampsia antepartum), eklampsia parturientum
(eklampsia intrapartum), dan eklampsia puerperale (eklampsia postpartum).(5)
Eklampsia posrpartum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama
setelah persalinan.(6)

II.4 Etiologi
Etiologi pasti dari pre-eklampsia dan eklampsia belum diketahui secara
pasti, namun terdapat beberapa teori yang menyebutkan bahwa dasar penyebab
dari terjadinya pre-eklampsia dan eklampsia adalah proses plasentasi yang
abnormal, faktor genetik (SNP pada gen FLT1 dan Trisomi 13), dan faktor imun.

II.4.1 Proses plasentasi yang abnormal.


Proses plasentasi yang abnormal dapat menjadi peenyebab utama terjadinya
pre-eklampsia. Proses plasentasi yang abnormal menyebabkan ischemia dan
hypoxia pada plasenta yang kemudian akan men-aktivasi Hypoxia- inducible
factor (HIF1a dan HIF2a ) secara berlebihan. Aktivasi HIF1a dan HIF2a
merupakan bentuk kompensasi dari iskemia dan hipoksia plasenta namun jika
aktivasi dari kedua komponen ini berlebihan maka akan terjadi induksi ekspresi
dari komponen antiangiogenic yaitu sFLT1 yang kemudian akan memicu
terjadinya vasokonstriksi pada pembuluh darah preifer ibu dan memicu kenaikan
tekanan darah.Efek vasokonstriksi dari pembuluh darah akan terjadi apabila
terjadi ketidakseimbangan antara faktor angiogenesis dan antiangiogenesis.(11)

II.4.2 Faktor genetik


Studi Genome Wide Association Studies (GWAS) yang dilakukan oleh
McGinnis et al pada ibu dengan preklampsi menduga bahwa Single Nucleotide
Polymorphism atau polimorfisme pada region gen FLT1 janin menyebabkan
ekspresi dari protein sFLT1 yang berlebihan, yang dimana ekspresi protein dari

4
sFLT1 dari janin akan direlease ke dalam sirkulasi maternal, sehingga
menyebabkan efek vasokonstriksi dan menaikkan tekanan darah ibu. Pada
dasarnya FLT1 merupakan gen yang mengkode protein reeseptor yang mengikat
VEGF dan PIGF dalam proses angiogenesis dan gen ini harusnya diekspresikan
secara dominan oleh trophoblast, namun perubahan basa nukleotida pada region
gen ini mengubah mekanisme dari ekspresi region gen tersebut.(12)

II.4.3 Faktor imun


Reaksi inflamasi oleh sistem imun sangat berperan dalam proses implantasi
blastokista dan proses plasentasi. Reaksi inflamasai yang tidak adekuat akan
sangat mengganggu proses implantasi yang sempurna dan terjadi defek pada
proses plasentasi dimana terjadi hambatan pada proses remodeling pada arteri
spiralis.Reaksi imun yang tidak adekuat diduga disebabkan oleh karena reseptor
NK cell tidak dapat mengenali protein HLA-C pada plasenta.(13)

II.5 Faktor risiko


Faktor resiko dari kejadian pre-eklampsia dan eklampsia adalah: 1. Adanya
riwayat pre-eklampsia dalam keluarga, adanya riwayat pre-eklampsia dalam
keluarga diduga dapat mejadi salah satu resiko terjadinya pre-eklampsia karena
pre-eklampsia sangat berkaitan dengan faktor genetik; 2.Riwayat merokok,
riwayat merokok diduga dapat menjadi salah satu faktor resiko karena rokok dapat
menganggu perfusi plasenta serta dapat menginduksi reaksi stress oksidatif; 3.
Adanya riwayat komorbiditas pada ibu seperti hipertensi, diabetes mellitus,
chronic kodney disease, hal ini diduga dengan adanya riwayat komorbiditas maka
diduga akan terjadi resistensi pada VEGF; 4. Tindakan in-vitro fertilization; 5.
Kehamilan mola, kehamilan mola ddiduga dapat memicu terjadinya kejadian pre-
eeklampsia karena proses plasentasi yang tidak maksimal; dan 6. Adanya
gangguan plasenta pada kehamian sebelumnya.(1)

5
II.6 Patofisiologi
Patofisiologi atau patogenesis dari pre-eklampsia dan eklampsia dapat
dibagi menjadi dua tahap yaitu proses plasentasi yang abnormal dan proses
terbentuknnya gejala-gejala pada ibu.

II.6.1 Plasenta abnormal


Plasenta abnormal diduga menjadi dasar dari terbentuknya sindrom pre-
eklampsia. Pada plasenta yang abnormal dapat ditemukan arteri yang menyempit,
deposisi fibrin,dan jaringan infark yang diduga akan menyebabkan hipoperfusi
dan iskemia pada jaringan plasenta. Arteri yang menyempit pada plasenta
merupakan efek dari gagalnya proses remodeling arteri spiralis pada proses
plasentasi. Mekanisme remodeling dari arteri spiralis sampai saat ini belum
diketahui secara pasti, namun diduga mekanisme remodeling arteri spiralis
berhubungan dengan proses invasi arteri spiralis dan differrensiasi oleh
cytotrophoblast. Salah satu faktor yang diduga berperan dalam proses invasi
trophoblast adalah reaksi sistem imun, reaksi imun yang tidak adekuat akan
menyebabkan gagalnya invasi trophoblast dalam proses implantasi dan plasentasi.
Gagalnya proses invasi dan differensiasi cytotrophoblast menyebabkan protein
VE-cadherin dan integrin tidak terekspresi dengan maksimal dan menghampat
proses embryogenic angiogenesis yang berujung pada hipoksia plasenta.
Efek hipoksia plasenta menginduksi cytotrophoblast untuk melakukan
kompensasi dengan aktivasi HIF1a dan HIF2a. HIF1a dan HIF2a merupakan
pathway dari proses ekspresi gen eritropoietin, VEGF, dan produksi NO yang
dimana ketiga komponen tersebut berperan dalam proses vasodilatasi dan
meningkatkan perfusi jaringan.(14)
Akibat dari hipoksia plasenta pada pre-eklampsia yang terjadi terus menerus
maka aktivasi dari HIF1a dan HIF2a akan terus terjadi sehingga akan
menginduksi ekspresi dari faktor antiangiogenesis yaitu sFLT1 dan sENG. sFLT1
merupakan isoform dari protein FLT1 yang dimana akan menghambat proses
vasodilatasi dengan mengikat VEGF sehingga mekanisme vasodilatasi dari HIF1a
dan HIF2a akan gagal dan tetap akan memicu hipoksia secara terus menerus.(14)

6
B. Proses munculnya geejala atau maternal syndrome
Meningkatnya kadar sFLT1 pada sirkulasi peredaran darah pada ibu
memicu terjadinya vasokonstriksi dengan menghambat VEGF sehingga memicu
terbentuknya gejala hipertensi. Vasokonstriksi pada ibu juga akan berdampak
pada perdarahan pada plasenta, dengan adanya vasokonstriksi pada arteri perifer
ibu maka perfusi ke plasenta akan relatif berkurang dan memicu hipoksia pada
plasenta. Hipoksia pada plasenta memicu terjadinya kerusakan jaringan plasenta
melalui mekanisme stress oksidatif. Kerusakan jaringan ini kemudian memicu
reaksi inflamasi dengan menginduksi produksi sitokin TNF.1 Sitokin ini kemudian
akan memberikan efek meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan disfungsi
endotel. Disfungsi endotel, sitokin proinflamasi, dan vasokonstriksi menyebabkan
kerusakan pada mikrovaskuler organ (hepar), agregasi trombosit pada endotel
yang rusak (thrombositopenia), dan hemolysis akibat dari fibrin yang terbentuk
akibat agregasi trombosit sehingga memicu terjadinya sindroma HELLP.(15)
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah memicu terjadinya edema jaringan
khususnya otak, terbentuknya edema akan memicu bangkitan kejang atau
eklampsia.(1)
Peningkatan dari kadar sFLT1 juga memberi dampak pada endotel ginjal.
VEGF mreupakan salah satu faktor yang berfungsi untuk memptoteksi podosit
ginjal, dengan meningkatnya kadar sFLT1 pada penderita pre-eklampsia maka
sFLT1 akan mengikat VEGF dan menghambat aktivasi dari VEGF untuk
memproteksi podosit ginjal. Akibat terhambatnya aktivasi dari VEGF maka
podosit akan rusak sehingga terjadi podocytopathy atau berkurangnya jumlah
podosit untuk proses filtrasi ginjal, oleh sebab itu pada penderita pre-eklampsia
terjadi proteinuria.(16)

7
Gambar 1 Patofisiologi Pre-eklampsia dan Eklampsia

II.7 Manifestasi Klinis


Pada penderita preeklampsia yang akan kejang, umumnya memberi gejala-
gejala atau tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma
akan terjadinya kejang. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda prodoma
ini disebut sebagai impending eclampsia atau imminent eclampsia.(6) Pasien dapat
mengalami gejala peringatan seperti sakit kepala, perubahan penglihatan, sakit
perut, dan peningkatan tekanan darah sebelum terjadinya aktivitas kejang.(7)
Eklampsia bermanifestasi sebagai satu kejang atau lebih, dengan setiap
kejang umumnya berlangsung 60-75 detik. Kejang eklampsia dapat dibagi
menjadi dua fase.(17) Fase pertama kejang dimulai dengan kejang tonik. Tanda –
tanda kejang tonik yaitu dimulainya gerakan kejang berupa twitching atau kedutan
dari otot – otot muka khususnya sekitar mulut. Beberapa detik kemudian disusul
kontraksi otot – otot tubuh yang menegang, sehingga selutuh tubuh menjadi kaku.
Pada keadaan ini wajah penderita mengalami distorsi, bola mata menonjol, kedua
lengan fleksi, tangan menggenggam, kedua tungkai dalam posisi inverse. Semua
otot tubuh pada saat ini dalam keadaan kontraksi tonik. Fase pertama berlangsung
15 – 30 detik.(6)

8
Fase kedua kejang yaitu kejang klonik. Kejang klonik dimulai dengan
terbukanya rahang secara tiba – tiba dan tertutup kembali dengan kuat disertai
pula dengan terbuka dan tertutupnya kelopak mata. Kemudian disusul dengan
kontraksi intermiten pada otot – otot muka dan seluruh tubuh. Kontraksi otot –
otot tubuh yang begitu kuat sehingga seringkali membuat penderita terlempar dari
tempat tidur. Lidah juga seringkali tergigit akibat kontraksi otot rahang yang
terbuka dan tertutup dengan kuat. Dari mulut keluar liur berbusa yang kadang –
kadang dapat disertai bercak – bercak darah. Wajah dapat tampak membengkak
karena kongesti dan pada konjungtiva mata dapat didapati bintik – bintik
perdarahan. Saat kejang timbul, diafragma terfiksir sehingga pernapasan tertahan,
kejang klonik berlangsung kurang lebih 1 menit. Setelah itu berangsur – angsur
kejang atau kontraksi melemah dan akhirnya penderita diam tidak bergerak atau
jatuh ke dalam koma.(6) 
Pada waktu timbul kejang, tekanan darah dengan cepat meningkat, suhu
tubuh juga meningkat kemungkinan dikarenakan gangguan serebral. Penderita
juga mengalami inkontinensia disertai dengan oliguria atau anuria dan kadang –
kadang terjadi aspirasi bahan muntah.(6)
Koma atau periode tidak sadar yang terjadi setelah kejang, berlangsung
sangat bervariasi mengikuti fase kedua.(6,17) Setelah kejang berakhir, frekuensi
pernapasan pasien akan meningkat, dapat mencapai 50 kali per menit akibat
terjadinya hiperkardia atau hipoksia. Pada beberapa kasus dapat menimbulkan
sianosis.(6) Setelah fase koma, pasien mungkin mendapatkan kembali kesadaran,
dan dia mungkin menjadi agresif, mengalami disorientasi dan sangat
gelisah. Namun, pasien tidak akan ingat kejang.(6,17)

II.8 Diagnosis
II.8.1 Anamnesis
Terdapat beberapa faktor risiko yeng penting ditanyakan apakah terdapat
Riwayat pre eclampsia pada kehamilan sebelumnya, kondisi kondisi yang
berpotensi menyebabkan penyakit mikrovaskular yaitu Diabetes mellitus,
hipertensi kronik, gangguan pembuluh darah dan jaringan ikat.(6)

9
II.8.2 Pemeriksaan Fisik
Keluhan yang dirasakan adalah adanya kejang yang diawali dengan gejala
prodromal eclampsia seperti nyeri kepala hebat, gangguan penglihatan, muntah-
muntah, nyeri ulu hati, dan kenaikan progresif tekanan darah. Pemeriksaan fisik
yang dapat ditemukan adalah kejang tonik yang dimulai dengan Gerakan kejang
berupa twitching dari otot-otot muka khususnya sekitar mulut, yang beberapa
detik kemudian akan disusul kontraksi otot-otot tubuh yang menegang, sehingga
seluruh tubuh menjadi kaku. Pada keadaan ini wajah penderita mengalami
distorsi, bola mata menonjol, kedua lengan fleksi, tangan menggenggam, kedua
tungkai dalam posisi inverse berlangsung sekitar 15-30 detik. Kejang tonik akan
segera disusul dengan kejang klonik yang dimuali denga terbukanya rahang secara
tiba-tiba dan tertutup Kembali dengan kuat. Seringkali lidah tergigit akibat
kontraksi otot rahang.(6,18)

II.8.3 Pemeriksaan Penunjang


Pada wanita dengan risiko tinggi terjadinya eklampsia perlu diperiksa
sebagai berikut(19) :
 Level hemoglobin
 Hematokrit
 Hitung platelet
 Level serum kreatinin dan urin
Sedangkan, pada ibu hamil yang mengalami hipertensi pada usia kehamilan
20 minggu memerlukan pemeriksaan sama seperti diatas namun dengan
tambahan(19) :
 Kadar serum transaminase
 Kadar albumin serum
 Kadar asam laktat dehydrogenase
 Pemeriksaan darah tepi
 Profile koagulasi

10
II.9 Diagnosis Banding
Kejadian eklampsia bisa menyerupai penyakit lain sehingga terdapat
beberapa diagnosis banding yaitu diantaranya(6,19) :
 Hipertensi
 Perdarahan otak
 Lesi di otak
 Meningitis
 Epilepsi
 Kelainan Metabolik

II.10 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan eklampsia adalah menghentikan kejang, mencegah
kejang berulang, mencegah terjadinya komplikasi eklampsia, stabilisasi maternal,
dan lakukan terminasi di saat yang tepat.(20) Kejang pada eklampsia merupakan
gawat darurat yang mengancam jiwa dan membutuhkan penanganan cepat untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas. Persalinan merupakan terapi definitif dari
eklampsia. Metode persalinan dan waktu persalinan tergantung faktor ibu dan
janin.(7,17)

11
Gambar 2. Algoritma manajemen eklampsia(20)

Tatalaksana suportif dilakukan dengan cepat pada pasien eklampsia. Pasien


segera dipasang IV line, monitor EKG, pemberian oksigen, dan mengubah posisi
pasien menjadi miring ke kiri. Posisi tersebut dilakukan untuk mencegah aspirasi
dan membantu aliran darah uterus. Tatalaksana suportif untuk membantu kejang
eklampsia yaitu monitor pasien secara ketat, beri bantuan airway, oksigenasi yang
adekuat, terapi anti kejang, dan kontrol tekanan darah.(17)
Magnesium sulfat menjadi pilihan utama saat ini sebagai anti kejang. Obat
ini digunakan untuk mengatasi kejang dan mencegah kejang berulang. Selama
pemberian obat ini, penting dilakukan pemantauan kadar magnesium sistemik
untuk menghindari masalah terkait hipermagnesemia. Pemberian magnesium
sulfat dilanjutkan hingga 24 jam setelah kejang terakhir. Apabila kejang belum
membaik, dapat diberikan alternatif yaitu diazepam intravena. Tetapi, obat
diazepam dapat membahayakan mortalitas ibu maupun janin. Sehingga,
pemberian diazepam hanya boleh apabila tidak membaik dengan magnesium
sulfat.(7,21)

12
Tabel 1. Pemberian magnesium sulfat(21)

Kontrol tekanan darah ibu dengan memberi obat anti hipertensi. Pemberian
obat anti hipertensi dilakukan segera sambil dilakukan monitor. Obat anti
hipertensi yang disarankan pada preeklampsia maupun eklampsia adalah labetalol.
Bila labetalol tidak berhasil, dapat diberikan lini kedua yaitu nifedipine atau
hydralazine.(20,21)
Tabel 3. Pemberian anti hipertensi(21)

Vital sign dilakukan setelah pasien diberikan tatalaksana awal. Vital sign
terdiri dari beberapa komponen yang dapat menentukan keadaan umum ibu yaitu
tekanan darah, nadi, temperatur, laju nafas, dan GCS. Jika skor mencapai ≥ 10,
terminasi kehamilan dapat dilakukan. Terminasi kehamilan terdapat dua pilihan
perabdominam dan pervaginam tergantung faktor ibu dan janin. Bila keadaan ibu
baik dan skor pelvik ≥5 dapat dilakukan persalinan pervaginam. Bila terjadi gawat
janin atau induksi persalinan tidak berhasil, lakukan persalinan perabdominam.(20)

13
Tabel 4. Skor Vital sign dan interpretasinya(20)

Tabel 5. Skor bishop(22)

Kortikosteroid penting diberikan dan dapat meningkatkan keberhasilan


kehamilan. Kortikosteroid dapat membantu maturasi dari paru-paru janin dan
sebagai neuroprotektif untuk janin preterm. Sehingga, pemberian kortikosteroid
direkomendasikan pada wanita hamil dengan usia gestasi 24-36 minggu yang
akan merencanakan persalinan dalam 7 hari.(20,21)

14
Tabel 2. Pemberian kortikosteroid(21)

II.11 Komplikasi
Salah satu komplikasi yang dapat terjadi adalah HELLP Syndrome. HELLP
Syndrome adalah kondisi berat dari preeklampsia-eklampsia yang ditandai dengan
adanya hemolisis (H) Elevated liver enzymes (EL), dan Low platelet count (LP).
Diagnosis dari HELLP Syndrome yaitu apabila ditemukan Lactate dehydrogenase
(LDH) > 600 IU/L, trombositopenia (≤ 150.000 per μl), dan AST atau ALT ≥ 40
IU/L. Stabilisasi maternal dan evaluasi kondisi janin segera dilakukan karena ibu
hamil dengan HELLP harus segera terminasi kehamilan. Apabila usia kehamilan
≥ 34 minggu, segera terminasi kehamilan, sedangkan bila usia kehamilan < 34
minggu, berikan kortikosteroid terlebih dahulu untuk membantu pematangan paru
sebelum dilakukan terminasi kehamilan.(20)
Edema paru merupakan salah satu komplikasi pada eklampsia. Disfungsi
endotel yang meningkatkan permeabilitas kapiler paru hipoalbumin yang
disebabkan proteinuria akibat vasospasme ginjal dan gangguan fungsi end
disastolic pada ventrikel kiri yang disebabkan gangguan relaksasi miokard akibat
hipertrofi ventrikel kiri. Komplikasi tersebut ditandai dengan adanya sesak nafas,
lebih nyaman posisi setengah duduk atau duduk, ronkhi paru, dan takikardi.
Tatalaksana yang diberikan yaitu stabilisasi maternal, elevasi dada dan kepala,
dan pemberian diuretik seperti furosemid.(20)
PRES (Posterior reversible encephalopathy syndrome) merupakan kondisi
neurologis yang merupakan komplikasi dari eklampsia. Komplikasi tersebut
ditandai dengan adanya gejala seperti nyeri kepala, kejang, penurunan kesadaran,
kebutaan, dan gangguan penglihatan lainnya. Sebagian besar kasus PRES dengan
sendirinya akan sembuh apabila tekanan darah mulai terkontrol.(7)

15
II.12 Prognosis
Kejadian hipertensi dalam kehamilan seperti eklampsia, preeklampsia,
hipertensi kronik, maupun hipertensi gestational memengaruhi sekitar 10%
kehamilan di seluruh dunia dan menjadi penyebab kematian ibu sebanyak 10% di
Amerika Serikat. Meskipun ada kemajuan dalam bidang medis, eklampsia masih
menjadi masalah utama morbiditas dan mortalitas ibu di seluruh dunia.(17)
Untuk menentukan prognosis pasien, dapat digunakan kriteria eden. Bila
memenuhi kriteria eden, eklampsia yang terjadi dapat dikatakan berat. Prognosis
makin buruk pada ibu hamil yang mengalami eklampsia berat. Kriteria eden
terpenuhi apabila ditemukan salah satu dari tanda berikut(23) :
1. Koma selama 6 jam atau lebih
2. Suhu ≥ 39°C
3. Nadi ≥ 120x/menit
4. Tekanan darah sistolik ≥ 200mmHg
5. Laju nafas ≥ 40x/menit
6. Kejang lebih dari 10 kali

16
BAB III
KESIMPULAN

Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan


yang disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri. Preeklampsia adalah
timbulnya hipertensi, oedema disertai proteinuria akibat kehamilan, setelah umur
kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul
sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik.
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau
nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma. Sebelumnya wanita tadi
menunjukkan gejala-gejala Preeklampsia. Etiologi penyakit ini sampai sekarang
belum dapat diketahui dengan pasti
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemerikasan lainnya yang
menunjang. Berbagai komplikasi pre-eklampsia dan ekalmpsia dapat
menyebabkan mortalitas dan mortalitas pada ibu dan janin yang dapat terjadi
seperti solusio plasenta, hipofibrinogenemia hemolisis, perdarahan otak, kelainan
mata, edema paru-paru, nekrosis hati, Sindroma HELLP, yaitu haemolysis,
elevated liver enzym dan low platelet, kelainan ginjal, komplikasi lain lidah
tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat kejang-kejang, pneumonia
aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular coagulation), prematuritas,
dismaturitas, dan kematian janin intrauterin. Komplikasi yang berat ialah
kematian ibu dan janin.
Penatalaksanaan pada pre-eklampsia dan eklampsia terdiri dari tindakan
konservatif untuk mempertahankan kehamilan dantindakan aktif (tindakan
obsetri) sesuai dengan usia kehamilan ataupun adanya komplikasi yang timbul
pada pengobatan konservetif. Pada pre-eklampsia dan eklampsia harus diobservasi
kesejahteraan janin dan ibu.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Phipps EA, Thadhani R, Benzing T, Karumanchi SA. Pre-eclampsia:


pathogenesis, novel diagnostics and therapies. Nat Rev Nephrol.
2019;15(5):275–89.
2. Abalos E, Cuesta C, Grosso AL, Chou D, Say L. Global and regional
estimates of preeclampsia and eclampsia: A systematic review. Vol. 170,
European Journal of Obstetrics and Gynecology and Reproductive Biology.
2013. p. 1–7.
3. Bell MJ. A historical overview of preeclampsia-eclampsia. JOGNN - J
Obstet Gynecol Neonatal Nurs. 2010;39(5):510–8.
4. Romero R, Chaiworapongsa T. Preeclampsia: A link between trophoblast
dysregulation and an antiangiogenic state. J Clin Invest. 2013;123(7):2775–
7.
5. Alpiansyah A, Rodiani. Wanita usia 20 tahun, primigravida hamil 37
minggu dengan eklampsia antepartum. J Medula Unila. 2017;7(1):1–7.
6. Prawirohardjo S. Hipertensi dalam Kehamilan. In: Ilmu Kebidanan. 4th ed.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2016.
7. Magley M, Hinson M. Eclampsia [Internet]. StatPearls Publishing. 2020.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554392
8. Agrawal S, Walia GK, Staines-Urias E, Casas JP, Millett C. Prevalence of
and risk factors for eclampsia in pregnant women in India. Fam Med
Community Heal. 2017;
9. Andalas M, Ramadana AK, Rudiyanto. Eklampsia Postpartum: Sebuah
Tinjauan Kasus. J Kedokt Syiah Kuala. 2017;7(1):33–7.
10. Das R, Biswas S. Eclapmsia: The Major Cause of Maternal Mortality in
Eastern India. Ethiop J Health Sci. 2015;
11. Nevo O, Soleymanlou N, Wu Y, Xu J, Kingdom J, Many A, et al.
Increased expression of sFlt-1 in in vivo and in vitro models of human
placental hypoxia is mediated by HIF-1. Am J Physiol - Regul Integr Comp
Physiol. 2006;

18
12. McGinnis R, Steinthorsdottir V, Williams NO, Thorleifsson G, Shooter S,
Hjartardottir S, et al. Variants in the fetal genome near FLT1 are associated
with risk of preeclampsia. Nat Genet. 2017;
13. Hiby SE, Apps R, Sharkey AM, Farrell LE, Gardner L, Mulder A, et al.
Maternal activating KIRs protect against human reproductive failure
mediated by fetal HLA-C2. J Clin Invest. 2010;
14. Tal R, Shaish A, Barshack I, Polak-Charcon S, Afek A, Volkov A, et al.
Effects of hypoxia-inducible factor-1α overexpression in pregnant mice:
Possible implications for preeclampsia and intrauterine growth restriction.
Am J Pathol. 2010;
15. Khalid F, Tonismae T. HELLP Syndrome [Internet]. StatPearls Publishing.
2020. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560615/
16. Kopp JB, Anders HJ, Susztak K, Podestà MA, Remuzzi G, Hildebrandt F,
et al. Podocytopathies. Nat Rev Dis Prim. 2020;
17. Ross MG. Eclampsia [Internet]. Medscape. 2019. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/253960
18. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia;
2014.
19. Wagner LK. Diagnosis and management of preeclampsia. American
Family Physician. 2004.
20. Dachlan EG, Abdullah N, Hermanto T, Aditiawarman. Hipertensi Dalam
Kehamilan. Divisi Kedokteran Fetomaternal, Departemen Obstetrik dan
Ginekologi FK UNAIR; 2017.
21. Peres G, Mariana M, Cairrão E. Pre-Eclampsia and Eclampsia: An Update
on the Pharmacological Treatment Applied in Portugal. J Cardiovasc Dev
Dis. 2018;
22. Wormer K, Bauer A, Williford A. Bishop Score [Internet]. StatPearls
Publishing. 2020. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470368
23. El-Mowafi DM. Hypertensive Disorders in Pregnancy [Internet]. Geneva

19
Foundation for Medical Education and Research. 2019. Available from:
https://www.gfmer.ch/Obstetrics_simplified/Hypertensive_disorders_in_pr
egnancy.htm

20

Anda mungkin juga menyukai