Anda di halaman 1dari 9

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian mengenai hubungan kebiasaan sarapan dengan status gizi anak usia

sekolah di SDIT Nur Hidayah Surakarta dilakukan pada 71 siswa kelas V, yang terdiri

dari 28 siswa laki-laki dan 43 siswi perempuan. Dari 71 responden tersebut, terdapat

21 orang (29,6%) memiliki kebiasaan sarapan tidak teratur dan 50 orang (70,4%)

memiliki kebiasaan sarapan teratur.

Peneliti memperoleh data melalui kuisioner, formulir food record 24 jam, serta

pengukuran berat badan dan tinggi badan. Dari hasil pengukuran berat badan dan tinggi

badan, didapatkan nilai z-score berdasarkan IMT/U masing-masing responden. Nilai z-

score terendah yaitu -2,15 yang berarti termasuk kategori underweight, sedangkan nilai

z-score tertinggi yaitu 4,3 yang berarti termasuk kategori obesitas. Rata-rata seluruh z-

score yang didapatkan adalah 0,39 yang berarti termasuk kategori normal.

Setelah dilakukan penelitian mengenai hubungan kebiasaan sarapan dengan

status gizi anak usia sekolah di SDIT Nur Hidayah Surakarta dan dianalisis dengan

menggunakan uji t tidak berpasangan, didapatkan nilai p yaitu 0,01 sehingga dapat

diartikan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada z-score

berdasarkan indeks IMT/U antara kelompok responden yang memiliki kebiasaan

sarapan teratur dan tidak teratur. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata z-

score berdasarkan IMT/U pada responden yang memiliki kebiasaan sarapan teratur

commit to
49 user
library.uns.ac.id 50
digilib.uns.ac.id

adalah 0,12. Hasil tersebut lebih rendah dibanding rata-rata z-score berdasarkan IMT/U

pada responden yang memiliki kebiasaan sarapan tidak teratur, yaitu 1,03.

Berdasarkan klasifikasi status gizi melalui penilaian antopometri menurut

Kemenkes (2010), rata-rata z-score pada responden yang memiliki kebiasaan sarapan

teratur termasuk kategori status gizi normal, di mana rentang z-score status gizi normal

adalah antara -2 sampai 1. Sedangkan rata-rata z-score pada responden yang memiliki

kebiasaan sarapan tidak teratur termasuk kategori status gizi overweight, di mana

rentang z-score status gizi overweight adalah antara 1 sampai 2. Perbandingan rata-rata

z-score pada kelompok responden yang memiliki kebiasaan sarapan teratur dan tidak

teratur dapat menunjukkan bahwa terdapat penurunan risiko overweight dan obesitas

pada kelompok orang yang memiliki kebiasaan sarapan teratur. Hal ini sesuai dengan

hipotesis penelitian ini yang menyatakan bahwa kebiasaan sarapan teratur dapat

menurunkan risiko overweight dan obesitas.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Dubois et al (2008) pada 1549 anak usia 44 bulan sampai 56 bulan. Penelitian Dubois

et al (2008) menyatakan bahwa mengonsumsi sarapan setiap hari berkaitan dengan

terbentuknya berat badan ideal. Pada penelitian Dubois et al (2008), peneliti

menggunakan formulir food recall 24 jam untuk mengetahui konsumsi energi di luar

sarapan. Klasifikasi kebiasaan sarapan terbagi menjadi empat kelompok, yaitu 1)

Sarapan seiap hari, 2) Sarapan teratur namun tidak setiap hari, 3) Sarapan hanya apabila

sempat, dan 4) Tidak pernah sarapan. Kategori 1 dan 2 termasuk memiliki kebiasaan

sarapan teratur, sedangkan kategori 3 dan 4 termasuk memiliki kebiasaan sarapan tidak

commit to user
library.uns.ac.id 51
digilib.uns.ac.id

teratur. Pengelompokan status gizi didasarkan pada kurva pertumbuhan US Centers for

Disease Control (CDC) untuk anak usia 2-18 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa anak-anak yang sarapan kurang dari 7 hari dalam seminggu memiliki

peningkatan konsumsi makanan dengan kandungan energi lebih besar di siang dan

malam hari sehingga meningkatkan risiko overweight dan obesitas.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Trzciakowska et al (2012)

yang dilakukan pada 1268 anak perempuan usia 7-9 tahun di Polandia. Pengukuran

antropometri dilakukan oleh tim peneliti. Klasifikasi kebiasaan sarapan dibagi menjadi

dua, yaitu kebiasaan sarapan teratur dan tidak teratur. Dianggap sarapan teratur apabila

selalu sarapan setiap hari dan dianggap sarapan tidak teratur apabila sarapan kurang

dari 7 hari sepekan atau tidak pernah sarapan. Trzciakowska et al (2012) menyatakan

bahwa risiko obesitas lebih besar dimiliki oleh anak-anak perempuan yang sarapan

teratur dibanding anak-anak perempuan yang sarapan tidak teratur.

Selain itu, hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Tin et al (2011)

yang dilakukan pada 113.457 anak kelas 4 SD di Hongkong. Peneliti mengikuti

perkembangan responden selama dua tahun. Dua tahun setelahnya, data yang

didapatkan dari 68.608 responden di antaranya dianalisis. Pada analisis cross-sectional,

didapatkan hasil penelitian bahwa anak-anak yang melewatkan sarapan memiliki IMT

lebih tinggi dibanding yang melakukan sarapan. Pada analisis kohort prospektif, anak

yang melewatkan sarapan mengalami peningkatan IMT yang lebih besar selama dua

tahun dibanding anak yang mengonsumsi sarapan.

commit to user
library.uns.ac.id 52
digilib.uns.ac.id

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian dari Croezen et al (2009) yang

dilakukan pada 25.176 remaja usia 13-16 tahun di Belanda. Pada penelitian Croezen et

al (2009), berat badan dan tinggi badan tidak diukur sendiri oleh peneliti, tetapi

diperoleh melalui laporan responden. Klasifikasi kebiasaan sarapan ada 8 kategori,

yaitu orang yang memiliki kebiasaan sarapan 0-7 hari per minggu. Croezen et al (2009)

menyatakan bahwa terdapat relasi yang kuat antara kebiasaan melewatkan sarapan

dengan overweight dan obesitas.

Kebiasaan sarapan tidak hanya mempengaruhi status gizi anak saja, namun juga

pada orang dewasa bahkan lansia, seperti pada hasil penelitian Watanabe et al (2014)

yang dilakukan pada 766 responden usia 30-79 tahun di Jepang. Watanabe et al (2014)

menyatakan bahwa pola makan yang tidak teratur, seperti melewatkan sarapan dan

makan malam terlalu larut menyebabkan metabolisme tubuh yang abnormal dan

obesitas.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebiasaan

sarapan menurunkan risiko overweight dan obesitas pada semua kelompok umur, mulai

dari balita hingga lanjut usia. Namun, menurut Pandita et al (2016) pencegahan

obesitas pada anak-anak perlu diutamakan karena anak-anak yang obesitas cenderung

akan menjadi dewasa yang obesitas pula. Penatalaksanaan obesitas pada dewasa sulit

dilakukan, kecuali jika diketahui etiopatogenesis organiknya, seperti defisiensi leptin.

Pencegahan obesitas pada anak-anak akan menurunkan risiko terjadinya komplikasi

jangka panjang dari obesitas.

commit to user
library.uns.ac.id 53
digilib.uns.ac.id

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Niswah et al (2014) yang

dilakukan pada 60 remaja beusia 13-15 tahun di Indonesia. Penelitian tersebut

menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara

siswa yang biasa sarapan dengan siswa yang tidak biasa sarapan. Namun, terdapat

kecenderungan bahwa semakin tinggi frekuensi sarapan berat badan cenderung

semakin rendah dan status gizi cenderung normal.

Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Anuar dan Masuri (2011) di Malaysia dengan melibatkan 168 responden berusia 18-

25 tahun. Kebiasaan sarapan pada penelitian ini diteliti berdasarkan konsumsi sarapan

pada hari di mana data diambil, pekan di mana data diambil, pekan sebelum data

diambil, serta selama liburan. Berdasarkan keempat waktu sarapan tersebut, tidak

terdapat hubungan antara kebiasaan sarapan dengan status gizi. Hipotesis penelitian

Anuar dan Masuri (2011) ditolak mungkin disebabkan karena status gizi hanya

diklasifikasi menjadi dua kelompok, yaitu BMI <25 kg/m2 dan BMI ≥25 kg/m2.

Sementara itu, proporsi masing-masing kelompok berbeda jauh. Dari 168 responden

yang termasuk dalam kelompok BMI <25 kg/m2 adalah 148 orang, sedangkan yang

termasuk dalam kelompok BMI ≥25 kg/m2 adalah 20 orang.

Mekanisme kebiasaan sarapan tidak teratur berkontribusi dalam terjadinya

overweight dan obesitas belum ditentukan. Namun, beberapa gagasan mengenai

mekanisme tersebut diusulkan, di antaranya, orang yang tidak mengonsumsi sarapan

cenderung memiliki aktivitas fisik yang kurang sehingga pengeluaran energi juga

berkurang. Gagasan lain menyebutkan bahwa mekanisme kebiasaan sarapan tidak

commit to user
library.uns.ac.id 54
digilib.uns.ac.id

teratur berkontribusi dalam terjadinya overweight dan obesitas yaitu karena orang yang

tidak mengonsumsi sarapan cenderung mengonsumsi makanan tinggi energi di luar

waktu sarapan melalui cemilan ataupun makan siang dan makan malam. (Huang et al,

2010)

Menurut Huang et al (2010) dalam penelitiannya pada responden usia 18-64

tahun di Taiwan, melewatkan sarapan memperpanjang periode tubuh berada dalam

keadaan puasa, yaitu antara waktu makan malam terakhir hingga waktu sarapan,

sehingga memicu peningkatan jumlah ghrelin. Ghrelin dikenal sebagai hormon

pencetus rasa lapar. Menurut Baqai dan Wildings (2015), pada saat muncul rasa lapar,

terjadi penurunan konsentrasi glukosa darah, asam lemak, dan asam amino. Akibatnya,

ghrelin disekresikan oleh lambung sehingga merangsang sinyal lapar. Peningkatan

ghrelin menyebabkan sesorang mengonsumsi lebih banyak energi di luar waktu

sarapan (Dubois et al, 2008; Huang et al, 2010; Leidy et al, 2013).

Selain berkaitan dengan hormon ghrelin, berdasarkan penelitian Leidy et al

(2013) yang dilakukan pada responden usia 15-20 tahun di Columbia, mengonsumsi

sarapan secara teratur dapat meningkatkan hormon perangsang rasa kenyang, yaitu

PYY. Menurut Efthimia et al (2009), jumlah PYY rendah dalam keadaan puasa,

meningkat secara cepat sebagai respon dari pemasukan makanan, serta berada dalam

jumlah tertinggi pada 1-2 jam setelah makan dan tetap tinggi dalam beberapa jam.

Peningkatan PYY karena konsumsi sarapan dapat menurunkan keinginan seseorang

mengonsumsi cemilan dan makanan tinggi energi di waktu lainnya.

commit to user
library.uns.ac.id 55
digilib.uns.ac.id

Analisis mengenai hubungan kebiasaan sarapan dengan konsumsi makanan

selain sarapan dengan menggunakan uji t tidak berpasangan mendapatkan nilai p

sebesar 0,46 sehingga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna

secara statistik pada konsumsi makanan selain sarapan antara kelompok responden

yang memiliki kebiasaan sarapan teratur dan tidak teratur.

Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian eksperimental Kral et al (2011)

pada 21 anak usia 8-10 tahun di Philadelpia. Pada penelitian tersebut, 21 anak

mengikuti dua uji, yaitu uji sarapan dan tidak sarapan. Saat uji sarapan, responden

diberikan sarapan dengan jumlah dan jenis yang sama. Setelah sarapan, responden

diberikan kebebasan untuk makan sebanyak-banyaknya. Jumlah makanan yang

dimakan dihitung jumlah karorinya. Dari hasil penelitian Kral et al (2011), tidak

terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada konsumsi makanan selain

sarapan antara saat sarapan dan tidak sarapan.

Namun, hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Dubois et al (2008) yang

menyatakan bahwa kebiasaan sarapan kurang dari 7 kali per minggu memiliki kualitas

diet yang buruk, yaitu mengalami peningkatan konsumsi makanan tinggi protein pada

siang hari dan konsumsi cemilan tinggi energi pada sore dan malam hari. Orang yang

melewatkan sarapan cenderung mengalami peningkatan IMT seiring dengan

peningkatan konsumsi makanan tinggi energi di luar waktu sarapan.

Analisis mengenai kondisi ekonomi keluarga dan status gizi dengan

menggunakan uji t tidak berpasangan mendapatkan nilai p sebesar 0,84 sehingga

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada

commit to user
library.uns.ac.id 56
digilib.uns.ac.id

status gizi antara kelompok responden yang memiliki penghasilan oran tua rendah dan

tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Trzciakowska et al (2012) yang

menyatakan bahwa kondisi sosial-ekomoni keluarga tidak berkontribusi dalam

terjadinya obesitas pada anak.

Namun, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Pahlevi (2012) yang

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penghasilan orang tua dengan status gizi.

Pendapatan yang baik menunjang tumbuh kembang anak karena dapat memenuhi

kebutuhan primer dan sekunder yang menunjang tumbuh kembang anak. Selain itu,

semakin baik pendapatan suatu keluarga, maka semakin baik pula jumlah dan jenis

makanan yang dikonsumsinya.

Analisis mengenai hubungan pendidikan ibu terhadap status gizi tidak dapat

dilakukan karena proporsi sampel pada kelompok ibu berpendidikan tinggi dan rendah

terlalu jauh. Dari data yang diperoleh, terdapat 11 anak yang ibunya berpendidikan

rendah, yaitu 1 orang ibu berpendidikan SMP dan 10 orang ibu berpendidikan SMA.

Sedangkan 60 anak lainnya memiliki ibu berpendidikan tinggi, yaitu 9 orang ibu

berpendidikan diploma, 43 orang ibu berpendidikan strata-1, dan 8 orang ibu

berpendidikan lebih dari strata-1.

Berdasarkan penelitian Hermina (2009), terdapat hubungan antara pendidikan

ibu dengan kebiasaan sarapan di mana ibu yang berpendidikan tinggi memiliki anak

yang lebih biasa sarapan dibanding ibu yang berpendidikan rendah. Berbeda dengan

hasil penelitian Trzciakowska et al (2012) yang sebelumnya menyatakan bahwa

commit to user
library.uns.ac.id 57
digilib.uns.ac.id

sarapan secara teratur menurunkan risiko obesitas. Sementara itu, penelitian tersebut

menyebutkan bahwa risiko obesitas pada anak tidak dipengaruhi oleh pendidikan ibu.

Dalam pelaksanaan penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan penelitian.

Dalam penelitian ini, sarapan adalah segala makanan dan minuman yang dikonsumsi

sampai maksimal 3 jam setelah bangun tidur. Sarapan dalam penelitian ini tidak

memperhatikan jumlah nutrisi sehingga jumlah energi dalam sarapan dianggap sama.

Sedangkan definisi sarapan menurut Kemenkes (2014) adalah kegiatan makan dan

minum yang dilakukan antara bangun pagi sampai pukul 09.00 untuk memenuhi 15-

30% kebutuhan gizi per hari. Oleh karena itu, penilaian kandungan energi dalam

sarapan perlu dilakukan dalam pengelompokan responden yang termasuk sarapan dan

tidak sarapan.

Selain itu, pengukuran food record 24 jam dalam penelitian ini dilakukan hanya

satu hari. Penelitian food record 24 jam sebaiknya dilakukan dalam 3 hari yang

berbeda, yaitu dua hari aktif dan satu hari libur supaya dapat menggambarkan

kebiasaan konsumsi responden (Universitas Rochester, 2016). Penentuan jumlah

makanan yang dikonsumsi dengan satuan URT juga hanya berupa estimasi. Untuk

mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi secara pasti, dapat dilakukan

penimbangan makanan (food weighing), meskipun metode food weighing kurang

praktis dilakukan.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai