Anda di halaman 1dari 11

= TONE CONTROL =

Output dari pre-amp diolah di dalam unit ini sehingga untuk mendapatkan pengaturan boost
(ditonjolkan) atau cut (diminim-kan) pada range frekwensi audio yang diinginkan.

Tone control pasif

Tone control yang paling sederhana adalah tone control pasif yang hanya terdiri dari
potentiometer, resistor dan kondensator. Pengaturan nada hanya sebatas cut terhadap
nada-nada tinggi. Pada tone control yang seperti ini tidak terjadi boost dan tidak terjadi
penguatan sinyal.

Gambar di atas memperlihatkan tone control pasif sederhana. Jika posisi pengaturan VR
minimum maka nilai resistansinya adalah maksimal, sehingga kondensator C praktis
dikatakan tidak berpengaruh terhadap sinyal audio yang melintas di antara input dan
output. Apabila posisi VR maksimum, maka resistansinya minimal (atau nol) sehingga C
menghubung singkat ke ground sebagian sinyal pada frekwensi-frekwensi tertentu.
Frekwensi-frekwensi yang dihubung singkat oleh C adalah frekwensi-frekwensi tinggi dalam
spektrum audio di mana reaktansi kapasitansi C adalah kecil terhadapnya.
Reaktansi kapasitansi C (disimbolkan dengan Xc) adalah :

Xc = 1 / (2πf.C)

Untuk frekwensi-frekwensi tinggi audio, lazimnya nilai C adalah dalam besaran puluhan
hingga ratusan nanoFarad. Semakin besar nilai C semakin lebar jalur frekwensi tinggi audio
yang akan di-cut.
Pada gambar di atas diperlihatkan tone control pasif yang lebih baik. Pola yang seperti ini
telah dikemukakan seseorang bernama E.J James pada tahun 1949 dan hingga sekarang
pola aslinya masih tetap banyak diterapkan.

E.J. James menerapkan untuk pertama kalinya penggunaan dua potentiometer untuk
pengaturan nada-nada tinggi audio (treble) dan nada-nada rendah audio (bass).

Tone control aktif

Tone control yang lengkap adalah tone control aktif yang menerapkan fungsi komponen
aktif seperti transistor atau IC. Di dalam tone control aktif terjadi boost dan cut dan terjadi
pula penguatan level sinyal.

Tone control aktif pertama kali dikemukakan oleh P.J Baxandall pada tahun 1952 sebagai
pengembangan tone control pasif yang telah dikemukakan sebelumnya oleh E.J James.

Ia menggunakan sebuah penguat (pada waktu itu) tabung pentoda dan merangkai sirkit
umpan balik negatif di dalam pengaturan nada. Hasilnya lebih baik karena dihasilkan boost
dan cut yang lebih selektif.

Pola asli konsep Baxandall kira-kira dapat digambarkan sebagai berikut :


Azas Baxandall kini banyak diterapkan di dalam tone control aktif pada banyak rancangan
audio hi-fi dengan penguat berupa transistor ataupun IC. Lihat ulasan khusus tentang azas
Baxandall dalam : Konsep E.J.James dan P.J.Baxandall dalam pengaturan nada audio .

Sebagaimana pada tone control pasif, umumnya sebuah tone control aktif pun mempunyai
dua penyetelan nada, yaitu penyetelan boost dan cut untuk nada-nada rendah (bass) serta
penyetelan boost dan cut untuk nada-nada tinggi (treble). Nada-nada rendah adalah range
frekwensi audio pada kisaran 250Hz ke bawah, dengan frekwensi senter antara 60 atau
80Hz. Dan nada-nada tinggi berada pada kisaran 3kHz ke atas dengan frekwensi senter
antara 5 atau 10 kHz. Kadang-kadang tone control dilengkapi pula dengan pengaturan
untuk nada-nada tengah (midrange) dengan frekwensi senter 1khz. Dengan adanya
pengaturan-pengaturan nada ini sinyal audio dari pre-amp diperbaiki. Jika ada kekurangan
pada range frekwensi tertentu yang mungkin kurang menonjol maka dilakukan boost, dan
jika ada yang malah terlampau menonjol maka dilakukan cut. Hal ini dilakukan karena
adanya kemungkinan pick-up sumber yang berbeda-beda tanggapan frekwensinya. Selain
itu juga karena adanya “selera” pendengaran bagi setiap orang yang mungkin berbeda-
beda pula.

Selain berfungsi utama sebagai pengatur nada, sebuah unit tone control secara
keseluruhan juga berfungsi sebagai penguat tegangan sinyal audio agar mencapai level
yang cukup untuk diberikan kepada power-amplifier (penguat daya). Apabila level tegangan
sinyal maksimal yang dipersyaratkan oleh power-amplifier tidak tercapai, maka power-
amplifier pun tidak akan maksimal mengeluarkan daya-nya kepada speaker.
Sebagai contoh, pada sebuah unit rangkaian power-amplifier tertera di dalam data
spesifikasinya : Power-output maks. 45W dengan kepekaan input 1V. Ini berarti level sinyal
audio yang dikeluarkan oleh rangkaian tone control harus mencapai maks. 1V agar power-
amplifier mengeluarkan daya maksimal 45W. Rangkaian tone control yang hanya
mengeluarkan tegangan sinyal 500mV tidak akan cocok dengan unit rangkaian power-
amplifier yang seperti ini.

Karena itu tidak sembarang rangkaian tone control yang dibuat orang selalu cocok dengan
suatu rangkaian power-amplifier. Level keluaran/output tone control harus sesuai dengan
kepekaan input power-amplifier.
Gambar di atas adalah satu contoh rangkaian tone control dengan transistor yang cukup
populer dan banyak diterapkan di dalam amplifier-amplifier stereo lokal. Pada dasarnya
rangkaian itu adalah bentuk penerapan konsep asli Baxandall, hanya divariasikan dengan
penambahan sedikit.

Transistor pertama bertindak sebagai buffer (penyangga) dengan pengatur volume di jalan
masukannya. Transistor kedua bertindak sebagai pengatur nada aktif yang sebenarnya.
Pengaturan boost dan cut untuk bass dan treble dilakukan melalui dua potentiometer.
Dalam rangkaian seperti ini transistor membentuk filter untuk frekwensi-frekwensi tinggi dan
rendah dalam spektrum audio.

Pada pengaturan treble, apabila VR2 berada pada posisi maksimum maka kondensator
332 akan berderet dengan resistor 1k (membentuk R dan C deret) memungut langsung
sinyal audio frekwensi tinggi dari emitor T1. Frekwensi senter-nya adalah frekwensi di mana
impedansi R dan C deret paling kecil baginya. Kaitan antara impedansi (Z) R dan C deret
dengan frekwensi adalah :

Z = √(R² + X²C)

(Xc adalah reaktansi kapasitansi dan telah disinggung di bagian sebelumnya).


Apabila VR2 berada pada posisi minimum maka kondensator 332 akan berderet dengan
resistor 1k dari jalur keluaran T2 sehingga terbentuklah peredaman bagi frekwensi senter.
Pada pengaturan bass, apabila VR3 berada pada posisi maksimum maka kondensator 473,
resistor 4k7 dan 8k2 membentuk low pass filter bagi jalur masukan T2. Ketika VR3 berada
pada posisi minimum maka kondensator 473, resistor 4k7 dan 8k2 menjadikan transistor
sebagai peredam aktif bagi frekwensi-frekwensi rendah audio.

Output tone control ini mempunyai level tegangan sinyal hingga beberapa ratus milivolt
yang cukup untuk mengemudikan sebuah power-amplifier 20W.

Frekwensi senter pengaturan nada.

Besaran-besaran nilai kondensator dan resistor yang membentuk filter pada sebuah
rangkaian tone control menentukan frekwensi senternya. Perhatikanlah gambar berikut :
Gambar di atas adalah potongan dari skema rangkaian tone control aktif yang telah
dikemukakan pada tulisan sebelumnya. C1 bersama dengan R1,R2 dan VR2 membentuk
konfigurasi filter untuk freekwensi nada-nada tinggi (treble). Apabila C1 dikecilkan nilainya
(misalkan diberi 272) maka frekwensi senter (frekwensi pusat/tengah) akan berubah ke
yang lebih tinggi.

Mengecilkan C1 juga menjadikan agak menyempitnya range frekwensi senter. Efek dari
mengecilkan C1 akan terdengar di telinga seolah-olah treble-nya jadi semakin sedikit.
Apabila C1 dibesarkan (misalnya diberi 472) maka frekwensi senter akan bergeser kepada
yang lebih rendah, dan ada sedikit pelebaran range freksensi senter. Hal-hal ini berefek di
telinga terdengar seolah-olah treble-nya jadi tambah banyak.

Dalam gambar di atas nilai R1 dan R2 adalah sama, ini membuat boost dan cut berada
pada skala yang sama pula namun saling berlawanan.

Misalkan jika boost menunjukkan penguatan 10dB, maka cut akan menunjukkan -10dB.

Apabila diinginkan cut yang lebih sedikit, nilai R2 yang merupakan penyelenggara umpan
balik negatif perlu dibesarkan.

Pada bagian pengaturan nada-nada rendah (bass), C2 dan C3 bersama-sama dengan R3,
R4, R5 dan VR3 membentuk konfigurasi filter untuk frekwensi nada-nada rendah. Apabila
nilai C2 dan C3 dikecilkan (misalnya masing-masing diberi 393) maka frekwensi senter
akan lebih ke atas, sehingga nada bass yang dihasilkan pun nada bass yang lebih atas
pula. Dan apabila dibesarkan (misalnya masing-masing diberi 563) maka frekwensi senter
akan lebih ke bawah sehingga nada bass yang dihasilkan adalah nada bass bawah yang
lebih rendah frekwensinya.

Selain itu, besarnya dua resistor R3 dan R4 juga mempengaruhi frekwensi nada bass.
Semakin dibesarkan akan semakin rendah nada bass-nya. Begitu pula dengan besarnya
resistor tunggal R5.
Karena itu agar pengaturan berada pada nada-nada yang sesuai dengan apa yang
diinginkan, diperlukan penetapan besarnya nilai-nilai resistor dan kondensator yang tepat.
Anda akan memahami hal ini dengan baik jika anda rajin mencoba-coba dan berusaha
memperbandingkannya.

Pada gambar di atas diperlihatkan contoh skema rangkaian tone control aktif dengan
menggunakan IC. Rangkaian menggunakan split power-supply (power supply terbelah) di
mana terdapat tiga sambungan, yaitu + (positif), - (negatif) dan 0V (ground).
Pada prinsipnya cara kerja tone control aktif ini tidak berbeda jauh dengan yang
menggunakan transistor. Boost dan cut diselenggarakan oleh VR2 dan VR3 dengan
penentu frekwensi senter bass R7, R8, R9, C4 dan C5. Sedangkan penentu frekwensi
senter untuk treble adalah C3.

R5 dan R6 membatasi level boost dan cut untuk treble, sedangkan R7 dan R8 untuk bass.
Dua resistor berpasangan ini masing-masingnya biasanya dibuat bernilai sama, agar boost
dan cut mempunyai angka yang simetrik.

Penonjolan dan peredaman saat boost dan cut pada tone control.
Pada gambar berikut ini diperlihatkan tiga bentuk kurva penguatan frekwensi-frekwensi
pada posisi penyetelan potentiometer tone control yang berbeda-beda.
Kurva A adalah kurva penguatan ketika potentiometer pengatur treble dan bass berada
pada posisi tengah (seimbang). Semua frekwensi audio dikuatkan dengan penguatan yang
relatif sama dan praktis tidak ada penonjolan ataupun peredaman pada frekwensi-frekwensi
tertentu.
Kurva B adalah kurva ketika potentiometer pengatur treble dan bass ditaruh pada posisi
maksimum. X1 merupakan frekwensi senter untuk bass dan X2 merupakan frekwensi
senter untuk treble. Terjadi penguatan pada dua range frekwensi itu. Range frekwensi
tengah praktis dikatakan tetap, yaitu tidak mengalami penguatan.
Kurva C adalah kurva ketika potentiometer pengatur bass dan treble ditaruh pada posisi
minimum. Tampak X1 dan X2 mengalami peredaman ke arah –dB. Range frekwensi tengah
pun praktis tetap, yaitu tidak mengalami peredaman.

Pada tone control aktif yang mempunyai tiga pengaturan nada (bass, midrange dan treble)
frekwensi-frekwensi tengah bisa ditonjolkan (boost) dan bisa pula diredam (cut).
Dalam system pengaturan nada yang lebih kompleks seperti pada perangkat equalizer
aktif, boost dan cut dimungkinkan lebih detil pada frekwensi-frekwensi audio yang
diinginkan.

TONE-CONTROL KLASIK TRANSISTOR

Di antara sekian banyak rangkaian tone-control dengan transistor, rangkaian ini adalah yang paling
‘legend’, paling banyak digunakan dan sudah ada sejak akhir era ’80-an.
Entah siapa yang pertamakali merancangnya, rangkaian ini sangat familiar bagi para teknisi dan
sangat banyak diterapkan di amplifier-amplifier lokal (termasuk penggunaan di speaker-aktif) dari
berbagai merek.

Meskipun sederhana, tetapi memang cukup memenuhi syarat untuk mengemudikan sebuah power-
amplifier bertransistor dengan daya antara 20W...40W.
Daftar komponen :
R1, R5, R6, R13, R14, R15 = 1k
R2, R3, R10 = 330k
R4, R7, R8, R12, R16 = 4k7
R9 = 8k2
R11 = 47k
VR1 = 50k/CT
VR2, VR3 = 50k
C1, C6 = 2,2uF/25V
C2, C7 = 4,7uF/25V
C8 = 47uF/16V
C9 = 470uF/35V
C10 = 102
C11 = 473
T1, T2 = C828

Rangkaiannya dibangun oleh dua transistor setiap kanal, beserta komponen-komponen pasif
lainnya. Transistor pertama (T1) bertindak sebagai buffer, dan transitor kedua (T2) bertindak
sebagai tone-control aktif yang sebenarnya.

Pola yang digunakan adalah pola Baxandall, sehingga boost dan cut yang dihasilkan lebih tajam
dalam mengatur frekwensi audio tinggi (treble) dan rendah (bass).

Pada emitor T2 terpasang kondensator by-pass C8 sehingga penguatan menjadi lebih besar.
Alhasil, rangkaian dapat mengeluarkan sinyal audio sekitar 400mV dengan level input standar dari
sebuah line-out audio.

PCB tone-control klasik.

Bagi para hobbyst perakit audio yang ingin mencoba membuat rangkaian ini, berikut ini disertakan
layout PCB beserta tata-letak komponennya.

Ada dua rancangan layout PCB, satu untuk unit tone-control (ukuran 10 x 4,8cm) dan satu lagi untuk
unit volume-control (ukuran 3,5 x 3,4cm).
Gambar memperlihatkan pemasangan/tata-letak komponen dalam tampak atas.
Perhatikanlah bahwa pada unit tone-control semua resistor dipasang berdiri.

Pada gambar, komponen-komponen untuk kanal L (left) tidak ditandai dengan tanda aksen ( ’ ),
sedangkan untuk kanal R (right) ditandai dengan tanda aksen ( ’ ).

Potentiometer volume dipasang pada PCB tersendiri di unit volume-control. Sengaja dibuat seperti
itu karena seringkali memang dibutuhkan begitu, yaitu setelan volume terletak agak jauh dari setelan
bass dan treble.

Adanya penambahan switch Loudness menuntut komponen-komponen pasif loudness agar berada
sedekat mungkin dengan potentiometer volume dan switch.

Agar “warna suara” lebih bagus, disarankan agar menggunakan kondensator-kondensator khusus,
yaitu untuk C3, C4, C5, C10 dan C11.

C3 dan C10 hendaknya menggunakan kondensator milar yang sering dipakai untuk audio, yaitu
(biasanya) yang berwarna kuning transparan. Penggunaan kondensator MKT dan mika adalah
pilihan kedua untuk fungsi ini.

Sedangkan untuk C4, C5 dan C11 hendaknya menggunakan kondensator MKT, namun
menggunakan kondensator mika juga masih lumayan bagus.

Untuk semua kondensator tersebut itu sangat tidak dianjurkan menggunakan kondensator keramik.

Sumber tegangan untuk suplai boleh antara 18...35V, dapat mengambil langsung dari jalur suplai V+
power-amplifier yang digandengkan dengannya.

Jika tegangan suplai V+ yang digunakan 25V (maks.) maka nilai untuk R15 adalah 1k.
Jika tegangan suplai V+ 35V (maks.) maka R15 = 1k8.

Anda mungkin juga menyukai