Anda di halaman 1dari 127

UNIVERSITAS ANDALAS

STUDI EKOLOGI SOSIODEMOGRAFI DAN LINGKUNGAN


TERHADAP PREVALENSI TUBERKULOSIS PARU
DI KOTA PADANG TAHUN 2016

Oleh :

TARI AMANDA R
No. BP. 1311212013

Diajukan Sebagai Pemenuhan Syarat untuk Mendapatkan


Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2017
SARAN DAN TANGGAPAN PENGUJI

HASIL PENELITIAN SKRIPSI


STUDI EKOLOGI SOSIODEMOGRAFI DAN LINGKUNGAN

PREVALENSI TUBERKULOSIS DI KOTA PADANG

TAHUN 2016

NAMA : TARI AMANDA R

NO. BP : 1311212013

PEMINATAN : EPIDEMIOLOGI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS ANDALAS

No Penguji Saran dan Tanggapan Tanda


Tangan
1 Vivi Triana, SKM, MPH 1. Penulisan diperbaiki
2. Gambarkan peta dengan variasi yang lebih
jelas
3. Penjelasan dalam abstrak ditambah dan
dijelaskan lebih spesifik lagi, terutama untuk
tujuan dan hasil.
2 Dr. dr. Hj. Fauziah Elytha, M.Sc 1. Penulisan tabel diperbaiki
2. Pembahasan ditambah lagi
3. Kesimpulan disesuaikan dengan tujuan khusus
4. Saran lebih disesuaikan lagi dengan
kesimpulan
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari
sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada
Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”
(Q.S. Ash-Sharh 6-8)

Alhamdulllahirabbil’alamin…. Alhamdulllahirabbil ‘alamin…. Alhamdulllahirabbil alamin….


Akhirnya aku sampai ke titik ini,
Sepercik keberhasilan yang Engkau hadiahkan padaku ya Rabb
Tak henti-hentinya aku mengucap syukur pada Mu ya Rabb
Serta shalawat dan salam kepada idola ku Rasulullah SAW dan para sahabat yang mulia
Semoga sebuah karya ini menjadi amal shaleh bagiku dan menjadi kebanggaan
bagi keluargaku tercinta

Ku persembahkan karya ini…

Hasil karyaku ini kupersembahkan sebagai bentuk cinta dan baktiku kepada orang tuaku.
Untuk ayaaaahhhhhedi-ku dan ibuuuuuuu eni-ku
Terimakasih untuk semua perjuangan dan do’a-do’a selama ini
Love you Mmuahhhh

Untuk adik-ku Dela Dwi Amanda R


Terimakasih telah membolak-balikkan mood ku
Terimakasih sudah menjadi pelacut semangat dan komdis pribadiku disaat lalai
Maaf jarang pulang dan membuatmu merasa sendiri
Akhirnya satu tahap lagi terselesaikan, ayo sama-sama wujudkan mimpi demi ayah dan ibu
Love you Mmuahhh

Kepada Ibu Ade terimakasih banyak untuk bimbingannya selama ini, untuk setiap kesempatan
dan kepercayaan yang telah diberikan. Bersyukur sekali telah menjadi anak bimbinganmu dan
berhasil menyelasaikan semua ini. Alhamdulillah........
Kepada bapak Masrizal, Ibu Fauziah, dan Ibu Vivi terimakasih banyak telah membimbing dan
mengajarkan ananda menjadi lebih baik lagi......
Kepada teman-teman seperjuangan (FKM ’13) khususnya rekan-rekan Epidemilogi 13” yang tak
bisa tersebutkan namanya satu persatu terima kasih yang tiada tara ku ucapakan
Untuk ipit-ku terimakasih karena telah berjuang bersama. Akhirnya resmi SKM di hari yang
sama, dan alhamdulillah h-2 terbebas dari tuntutan UKT hahaha
Untuk seseorang yang spesial terimakasih banyak, Banyak pelajaran dan banyak pengalaman
yang bisa dimaknai . Kisah ini akan terus berlanjut. Semoga kita masih tetap sama. Tetap
berjuang dan saling menguatkan.
Inshaallah kalau jodoh tak kemana
Akhir kata, semoga skripsi ini membawa kebermanfaatan bagi siapapun dan dimanapun
.
Jika engkau jatuh maka bergegaslah untuk bangkit, jika engkau tak mampu bangkit
maka mulailah dengan perlahan, yakini semua yang ada dalam dirimu. Semangatlah. Tak ada
perjungan yang sia-sia.
Dimana ada niat disitu ada jalan.
Allahualam................

by: Tari AmandaR, SKM


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Tari Amanda R

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tanggal Lahir : Padang Panjang/ 26 Maret 1995

Alamat : Panyalaian, Kec X Koto. Tanah Datar

Status Keluarga : Belum Menikah

No Telp/HP : 085834141564.

E-mail : tariamanda1995@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

1. SD Teladan (SD 03 Balai- Balai), lulus tahun 2007

2. SMP Negeri 1 Padang Panjang, lulus tahun 2010

3. SMA Negeri 2 Padang Panjang, lulus tahun 2013

4. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, lulus tahun 2017


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS

Skripsi, Juli 2017

Tari Amanda R, No. BP. 1311212013

STUDI EKOLOGI SOSIO DEMOGRAFI DAN LINGKUNGAN


TUBERKULOSIS PARU DI KOTA PADANG TAHUN 2016

x + 71 halaman, 10 tabel, 13 gambar, 6 lampiran

ABSTRAK

Tujuan
TB masih menjadi penyakit menular utama di dunia dan semakin menjadi
perhatian karena dapat meyerang siapa dan dimana saja. Prevalensi adalah
salah satu indikator penting untuk mengukur permasalahan TB paru. Prevalensi
TB paru di Kota Padang mengalami peningkatan sebesar 0,18 % pada tahun
2016. Banyak faktor yang dicurigai menjadi penyebab terjadinya peningkatan
prevalensi TB Paru ini, yakni diantaranya faktor sosiodemografi dan
lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran serta
mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel sosiodemografi dan
lingkungan terhadap prevalensi TB Paru per kecamatan di Kota Padang pada
btahun 2016.
Metode
Metode penelitian adalah deskriptif analitik dengan desain studi ekologi.
Dilakukan pengumpulan data sekunder di Dinkes Kota Padang. Data dianalisis
secara univariat dan bivariat.
Hasil
Hasil analisis univariat digambarkan dengan tabel serta pemetaan variabel
sosiodemografi dan lingkungan per-kecamatan di Kota Padang. Selanjutnya
pada hasil analisis bivariat diperoleh bahwa persentase rumah sehat dan rumah
tangga ber-phbs memiliki hubungan dengan prevalensi TB Paru (r= -0,854)
dan (r=-0,607). Sedangkan persentase jenis kelamin (r=0,103), angka
kepadatan penduduk (r=0,185), rasio sarana pelayanan kesehatan (r=-0,061)
juga tidak memiliki hubungan dengan prevalensi TB Paru per kecamatan di
Kota Padang.
Kesimpulan
Rumah sehat dan rumah tangga ber-phbs memiliki pengaruh terhadap
hubungan faktor sosiodemografi dan lingkungan dengan prevalensi TB Paru.
Untuk itu diharapkan kepada pihak Dinkes, Puskesmas dan instansi kesehatan
terkait dapat meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit TB
paru ini. Pendekatan kepada masyarakat terkhusus keluarga di dalam rumah
tangga merupakan salah satu cara yang tepat untuk mengurangi resiko
terjadinya TB paru, terutama untuk meningkatkan persentase rumah sehat dan
rumah tangga ber-PHBS.

Daftar Pustaka : 71 (1999 – 2017)


Kata Kunci : ekologi, lingkungan, prevalensi, sosiodemografi, TB Paru

i
FACULTY OF PUBLIC HEALTH
ANDALAS UNIVERSITY
Undergraduate Thesis, July 2017
Tari Amanda R, No. BP. 1311212013
SOCIODEMOGRAPHY AND ENVIRONMENTAL ECOLOGY STUDY
ON TUBERCULOSIS PARENTS IN PADANG CITY 2016

x + 71 pages, 10 tables, 13 figures, 6 appendices

ABSTRACT

Objective
Pulmonary Tuberculosis (TB) is a disease caused by Mycobacterium
tuberculosis. TB is still a major infectious disease in the world and it is
increasingly a concern because it can attack anyone and anywhere. The
important indicator for measuring pulmonary TB problems is to see prevalence
of the cases. The prevalence of pulmonary tuberculosis in Padang has increased
by 0.18% in 2016. Many factors are suspected to be the cause of the increasing
prevalence of pulmonary tuberculosis, such as sociodemography and
environmental factors. This study aims to obtain a picture and to know the
relationship between sociodemographic and environmental variables on the
prevalence of Pulmonary TB each sub-district in Padang City in 2016.
Method
The research method is analytical descriptive with ecological study design.
Secondary data was collected in Padang City Health Office. Data were
analyzed by univariate and bivariate with correlate test and linear regression.
Result
The results of univariate analysis are depicted with tables and mapping of
sociodemographic and environmental variables per sub-district in Padang City.
Next the result of bivariate analysis showed that the percentage of healthy
house and phosphate households was related to the prevalence of pulmonary
tuberculosis (r =-0,854) and (r = -0,607). While the percentage of sex
(r=0,103), population density (r=0,185), ratio of health service also have no
relation with prevalence Pulmonary TB per sub-district in Padang City
Conclusion
Healthy homes and phylogenic households have an influence on the association
of sociodemographic and environmental factors with the prevalence of
pulmonary tuberculosis. Therefore, it is hoped that the health office, health
center and related health institutions can improve the prevention and control of
pulmonary TB disease. Approach to community-specific family in the
household is one of the appropriate ways to reduce the risk of pulmonary
tuberculosis, especially to increase the percentage of healthy homes and
households with PHBS

References : 71 (1999-2017)
Keywords : Ecology, environment, prevalence, sociodemography, Pulmonary
TB

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya

sehingga peneliti dapat menyelesaikan hasil penelitian skripsi yang berjudul

“Studi Ekologi Sosiodemografi dan Lingkungan terhadap Prevalensi

Tuberkulosis Paru Di Kota Padang Tahun 2016”

Dalam penyusunan hasil penelitian skripsi ini, peneliti banyak

mendapat bantuan, bimbingan, dorongan, petunjuk, serta sumbangan gagasan

dan pikiran dari berbagai pihak. Untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Bapak Defriman Djafri, SKM, MKM, Ph.D, selaku Dekan Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas sekaligus pembimbing

akademik yang telah memberikan bimbingan dan dukungan selama masa

perkuliahan.

2. Ibu Ade Suzana Eka Putri, SKM, M.Comm Health Sc.Ph.D selaku

pembimbing satu yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam

penuyusunan usulan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Masrizal Dt. Mangguang, SKM, M.Biomed, selaku

pembimbing dua yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam

penyusunan usulan penelitian skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen beserta Staf Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.

5. Orang tua dan Keluarga besar yang turut memberikan dukungan baik

moral maupun materil selama menjalankan perkuliahan.

6. Teman-teman dan semua pihak, baik secara langsung maupun tidak

iii
langsung yang telah membantu dalam menyelesaikan usulan penelitian

skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa penyusunan usulan penelitian skripsi ini

masih jauh dari kesempurnaan, baik materi maupun teknik penulisan. Oleh

karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang

sifatnya membangun. Peneliti berharap semoga penyusunan hasil penelitian

skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Padang, Juli 2017

Peneliti

iv
DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERNYATAAN PENGESAHAN

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ v

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ viii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... ix

DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN ............................................................................. x

BAB 1 : PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ........................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 5

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................. 6

1.5 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................................. 7

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 8

2.1 Tuberkulosis ....................................................................................................... 8

2.2 Faktor determinan TB ...................................................................................... 13

2.3 Studi Ekologi.................................................................................................... 25

2.4 Telaah Sistematis ............................................................................................. 29

2.5 Kerangka Teori................................................................................................. 31

2.6 Kerangka Konsep ............................................................................................. 31

v
BAB 3 : METODE PENELITIAN ............................................................................ 33

3.1 Jenis Penelitian ................................................................................................. 33

3.2 Waktu dan Tempat ........................................................................................... 33

3.3 Populasi dan Sampel ........................................................................................ 33

3.4 Sumber Data ..................................................................................................... 33

3.5 Definisi Operasional......................................................................................... 34

3.6 Teknik Pengolahan Data .................................................................................. 36

3.7 Analisis Data .................................................................................................... 37

BAB 4 : HASIL.......................................................................................................... 40

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................................ 40

4.2 Distribusi Kejadian Tuberkulosis Paru di Kota Padang................................... 43

4.3 Faktor Sosiodemografi dan Lingkungan TB Paru ........................................... 47

4.4 Hubungan Faktor Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Prevalensi


TB Paru .......................................................................................................... 52

BAB 5 : PEMBAHASAN .......................................................................................... 63

5.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................................... 63

5.2 Distribusi Kejadian Tuberkulosis..................................................................... 63

5.3 Faktor Sosiodemografi dan Lingkungan TB Paru ........................................... 64

5.4 Hubungan Faktor Sosiodemografi dan Lingkungan terhadap Prevalensi


TB Paru di Kota Padang Tahun 2016............................................................. 65

BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 73

6.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 73

6.2 Saran................................................................................................................. 74

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Kecamatan, Kelurahan, RW/RT di Kota Padang Tahun 2016 .. 40

Tabel 4.2 Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2016 . 41

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Tahun 2016 ................................................................................ 42

Tabel 4.4 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin................ 45

Tabel 4.5 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Kelompok Umur di Kota


Padang Tahun 2016 ................................................................... 45

Tabel 4.6 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian TB Paru di Kota Padang
................................................................................................... 52

Tabel 4.7 Hubungan Angka Kepadatan Penduduk Terhadap Prevalensi TB


Paru di Kota Padang Tahun 2016 .............................................. 55

Tabel 4.8 Hubungan persentase rumah sehat terhadap prevalensi TB Paru ..... 57

Tabel 4.9 Hubungan persentase rumah tangga ber-PHBS terhadap prevalensi


TB Paru di Kota Padang Tahun 2016 ........................................ 59

Tabel 4.10 Hubungan Jumlah Sarana Kesehatan terhadap prevalensi TB Paru


di Kota Padang Tahun 2016 ...................................................... 61

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Modifikasi Kerangka Teori H,L Blum, L.Green, John Gordon ... 31
Gambar 2.2 Diagram kerangka konsep TB Paru .............................................. 32
Gambar 4.1 Prevalensi TB Paru per kecamatan di Kota Padang Tahun 2016 .. 44
Gambar 4.2 Persentase Penduduk Kota Padang Berdasarkan Jenis Kelamin
Tahun 2016 .................................................................................. 47
Gambar 4.3 Persentase Kepadatan Penduduk di Kota Padang Tahun 2016 ..... 48
Gambar 4.4 Rumah Sehat di Kota Padang Tahun 2016.................................... 49
Gambar 4.5 Presentase RT Ber-PHBS di Kota Padang Tahun 2016 ................ 51
Gambar 4.6 Rasio sarana pelayanan kesehatan di Kota Padang Tahun 2016 ... 52
Gambar 4.7 Scatter Plots Hubungan Persentase Jenis Kelamin laki-laki
Terhadap Prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016 ...... 54
Gambar 4.8 Scatter Plots Hubungan Angka Kepadatan Penduduk Terhadap
Prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016 ........................ 56
Gambar 4.9 Scatter Plots Plots Hubungan Persentase Rumah Sehat Terhadap
Prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016 ........................ 58
Gambar 4.10 Scatter Plots Hubungan persentase rumah phbs terhadap
prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016 .................... 60
Gambar 4.11 Scatter Plots Hubungan rasio rumah sakit terhadap prevalensi TB
Paru di Kota Padang Tahun 2016. ............................................... 62

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Master Tabel


Lampiran 2 : Hasil Output
Lampiran 3 : Kartu Kontak Bimbingan
Lampiran 4 : Formulir Menghadiri Seminar
Lampiran 5 : Surat Izin Pengambilan Data Awal
Lampiran 6 : Surat Akhir Penelitian

ix
DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN

1. ARTI : Annual Risk of Tuberculosis Infection


2. BTA : Basil Tahan Asam
3. BTA : Basil Tahan Asam
4. CDR : Case Detection Rate
5. OAT : Obat Anti Tuberkulosis
6. PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
7. RENSTRA : Rencana Strategi
8. RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar
9. SKRT : Survey Kesehatan Rumah Tangga
10. SR : Sucses Rate
11. TB : Tuberkulosis
12. WHO : World Health Orgaization

x
BAB 1 : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberculosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini merupakan penyebab kematian ke

dua setelah HIV.[1] Penyakit TB juga merupakan penyebab kematian nomor 5 setelah

penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napas pada semua kelompok usia dan

nomor 1 dari golongan penyakit infeksi.[2] Berdasarkan data World Health

Organization (WHO) pada tahun 2013 terjadi kenaikan jumlah kasus terinfeksi

kuman TB sebesar 0,6 % pada tahun 2014.[3] Pada tahun 2014 di dunia persentase TB

Paru terbanyak adalah pada wilayah Afrika (37%), sedangkan Asia Tenggara

dengan persentase kasus TB Paru sebesar 28 %.[4]

Indonesia berada pada rangking kelima negara dengan beban TB

tertinggi di dunia.[1] Angka prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 0,4

% dari jumlah penduduk.[5] Prevalensi TB paru di Sumatera Barat pada tahun 2013

adalah 0,2 %.(5) Pada tahun 2014 prevalensi TB di Sumbar adalah 0,11 % dan pada

tahun 2016 prevalensi TB Paru di Sumbar mengalami peningkatan menjadi 0,15%.[6]

Kota Padang menyumbang angka kejadian TB paru yang cukup tinggi di

Provinsi Sumatera Barat. Prevalensi TB Paru di Kota Padang pada tahun 2014 adalah

0,11 %.[7] Sedangkan pada tahun 2016 meningkat menjadi 0,18 %.[8] Angka ini

melebihi angka prevalensi TB Paru di Sumbar (0,15 %).

Tingginya prevalensi TB Paru disebabkan oleh berbagai faktor risiko.

Beberapa faktor risiko terjadinya TB Paru adalah faktor sosioekonomi, demografi,

kesehatan lingkungan dan faktor perilaku.[9] Penelitian yang dilakukan oleh Rukmini

tahun 2007 menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor risiko terjadinya TB Paru,

1
2

diantaranya yakni umur, jenis kelamin, status pekerjaan, status gizi, kondisi fisik

rumah.[9] Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Jendra di

Kecamatan Wori yang menyatakan bahwa umur, jenis kelamin, dan kepadatan

hunian merupakan faktor risiko terjadinya TB Paru.[10] Penelitian Sylva Lestari di

Lampung juga menunjukkan bahwa kepadatan penduduk dan PHBS behubungan

dengan terjadinya TB Paru.[11]

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB Paru.

Menurut WHO, jenis kelamin dapat juga menyebabkan terjadinya penyakit TBC

Paru yang cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan

perempuan dikarenakan oleh faktor kebiasaan merokok pada lakilaki yang hampir

dua kali lipat dibandingkan wanita.[4] Penelitian Chandra Wibowo yang menemukan

bahwa pada laki-laki mendapatkan TB Paru Pada kasus kontak 0, 36 kali pada

perempuan.[12]

Mudahnya penularan penyakit tuberkulosis disebabkan mobilitas yang

berkaitan dengan kualitas kesehatan dan kualitas hidup pada masyarakat. Masalah

persebaran penduduk tidak kalah pentingnya dengan masalah tingginya angka

keterpaparan terhadap kasus penyakit, terutama penyakit tuberkulosis, dan ini

berhubungan dengan kepadatan jumlah penduduk yang tidak merata. Wilayah yang

kepadatan penduduknya tinggi cenderung memiliki tempat tinggal yang

kumuh, hygiene dan nutrisi yang buruk, sehingga bila ada warganya terkena

penyakit TB akan mempercepat proses penyebarannya.[13] Hal ini sejalan dengan

penelitian Woro yang menyatakan bahwa kepadatan penduduk memiliki hubungan

dengan kejadian TB di Provinsi Lampung.[14]

Selain itu kondisi kesehatan lingkungan rumah juga berpengaruh secara

tidak langsung terhadap kejadian Penyakit TB Paru, karena lingkungan rumah yang
3

kurang memenuhi syarat kesehatan atau rumah yang terlalu sempit akan

menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh sehingga memudahkan terjadinya

penyakit.[2] Menurut Yuherry, faktor kesehatan lingkungan rumah seperti kepadatan

rumah, luas ventilasi, pencahayaan, lantai dan dinding mempunyai hubungan yang

bermakna dengan Kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Ujung Gading

Kecamatan Lembah Melintang Kabupaten Pasaman Barat.[15] Ventilasi rumah yang

tidak baik berperan pada kejadian infeksi TB (45,6%) dibandingkan dengan ventilasi

baik (35,7%), sesuai dengan penelitian Gustafon.[16] Ventilasi rumah yang buruk

dapat meningkatkan transmisi kuman TB karena aliran udara yang statis. Aliran

udara yang statis akan menyebabkan udara yang mengandung banyak kuman TB

akan terhirup oleh anak yang berada dalam rumah dengan ventilasi buruk.[17]

PHBS merupakan salah satu bentuk prilaku kesehatan yang berpengaruh

terhadap resiko terjadinya TB Paru. Penelitian Syfa menunjukkan bahwa PHBS

berpengaruh terhadap terjadinya TB Paru. Ada 10 indikator PHBS yang seharusnya

dilakukan dalam rumah tangga, salah satuya adalah tidak merokok di dalam rumah.

Penelitian yang dilakukan oleh Aryana mendapatkan peluang terinfeksi TB lebih

banyak dijumpai pada subjek dengan pajanan asap rokok.[17]

Ketersediaan sarana kesehatan merupakan merupakan hal penting dalam

rangka peningkatan dan menjaga kesehatan pada masyarakat. Ketersediaan fasilitas

kesehatan khususnya yang dapat diakses oleh masyarakat akan mempercepat

peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Ketersediaan fasilitas kesehatan menjadi

kunci penting dalam hal penanganan penyebaran penyakit menular, bencana alam

maupun kegawat-daruratan lain.[18]

Kota Padang merupakan ibukota Provinsi Sumatera Barat. Kota Padang

memiliki jumlah penduduk terbanyak yakni 914.968 jiwa. Kepadatan penduduk di


4

Kota Padang adalah 11316 orang/km2. Kota Padang terdiri atas 11 kecamatan dan

104 kelurahan. Jumlah seluruh rumah di Kota Padang adalah 176.745 unit,

sedangkan jumlah rumah tangga yang tercatat sebanyak 199.704. Jumlah sarana

pelayanan kesehatan yang terdapat di Kota Padang adalah sebanyak 29 unit rumah

sakit, 22 unit Puskesmas, serta 62 Puskesmas Pembantu (Pustu)..[8]

Penelitian tentang TB Paru telah banyak dilakukan oleh peneliti

sebelumnya. Namun penelitian TB Paru menggunakan ekologi masih sedikit

dilakukan terutama di Kota Padang. Studi ekologi adalah studi epidemiologi dengan

populasi sebagai unit analisis, yang bertujuan mendeskripsikan hubungan korelatif

antara penyakit dan faktor-faktor yang diminati peneliti dapat menentukan ada atau

tidaknya hubungan serta ke arah mana hubungan tersebut (positif/negatif). Sehingga

dengan begitu peneliti dapat langsung mencari keberadaan hubungan dan tingkat

hubungan variabel yang direfleksikan dalam koefisien korelasi.[19, 20]

Penelitian sebelumnya tentang TB Paru sudah banyak dilakukan di Kota

Padang. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Shabrina mengenai risiko terjadinya

TB di wilayah kerja Puskesmas Andalas Kota Padang yang menggunakan desain

case control.[21] Sedangkan penelitian TB Paru dengan desain cross sectional juga

dilakukan oleh Ivan Putra di tempat yang sama.[22] Beberapa penelitian yang sudah

pernah dilakukan di Kota Padang pada umumnya membahas pada tingkat individu,

untuk tingkat populasi masih jarang dilakukan. Penelitian dengan pendekatan ekologi

perlu dilakukan di Kota Padang sebab, dicurigai bahwa keadaan demografis dan

kondisi lingkungan kota Padang beresiko untuk terjadinya TB Paru. Melalui

pendekatan ekologi diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan kebijakan yang

lebih luas. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang diatas dan juga didukung

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya maka peneliti ingin meneliti “Studi
5

Ekologi sosiodemografi dan lingkungan terhadap prevalensi Tuberkulosis Paru di

Kota Padang”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, perumusan

masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah ada hubungan persentase jenis kelamin dengan prevalensi

Tuberkulosis (TB) Paru per kecamatan di Kota Padang?

2. Apakah ada hubungan angka kepadatan penduduk dengan prevalensi

Tuberkulosis (TB) Paru per kecamatan di Kota Padang?

3. Apakah ada hubungan persentase rumah sehat dengan prevalensi

Tuberkulosis (TB) Paru per kecamatan di Kota Padang?

4. Apakah ada hubungan persentase rumah ber-PHBS dengan prevalensi

Tuberkulosis (TB) Paru per kecamatan di Kota Padang?

5. Apakah ada hubungan rasio jumlah sarana kesehatan yang tersedia dengan

prevalensi Tuberkulosis (TB) Paru per kecamatan di Kota Padang?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan faktor sosiodemografi dan lingkungan

terhadap prevalensi tuberkulosis di Kota Padang Tahun 2016?”.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menggambarkan variasi prevalensi prevalensi TB Paru di Kota Padang

2. Menggambarkan variabel sosiodemografi dan lingkungan per kecamatan di

Kota Padang tahun 2016.

3. Untuk mengetahui hubungan persentase jenis kelamin dengan prevalensi

Tuberkulosis (TB) per kecamatan di Kota Padang tahun 2016.


6

4. Untuk mengetahui hubungan angka kepadatan penduduk dengan prevalensi

Tuberkulosis (TB) per kecamatan di Kota Padang tahun 2016.

5. Untuk mengetahui hubungan persentase rumah sehat dengan prevalensi

Tuberkulosis (TB) per kecamatan di Kota Padang tahun 2016.

6. Untuk mengetahui hubungan persentase rumah ber-PHBS dengan prevalensi

Tuberkulosis (TB) per kecamatan di Kota Padang tahun 2016.

7. Untuk mengetahui hubungan rasio jumlah sarana kesehatan yang tersedia

dengan prevalensi Tuberkulosis (TB) per kecamatan di Kota Padang tahun

2016.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis


1. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat untuk pengkayaan literatur tentang

kejadian TB.

2. Untuk menambah pengetahuan peneliti dalam menemukan faktor determinan

sosial dan lingkungan yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Kota

Padang.

3. Untuk memberikan kesempatan lebih pada peneliti dalam mempersiapkan,

mengumpulkan, mengolah, menganalisis, dan menginformasikan data yang

diperoleh.

4. Sebagai bahan tambahan referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan

penelitian lebih lanjut.

1.4.2 Manfaat Praktis


1. Bagi Dinas Kesehatan

Diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan bagi

pemegang program TB, khususnya prevalensi TB Paru per kecamatan dalam

mengetahui faktor sosiodemografi dan lingkungan yang berhubungan dengan


7

Prevalensi TB Paru, sehingga dapat menjadi masukan dalam pengambilan

kebijakan yang lebih luas.

2. Bagi Masyarakat

Sebagai informasi tambahan bagi masyarakat melalui penyuluhan oleh

petugas kesehatan atau kader mengenai faktor sosiodemografi dan lingkungan

terhadap prevalensi TB Paru. Sehingga masyarakat bisa dan mampu untuk

meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai faktor sosiodemografi

dan risiko lingkungan yang berhubungan dengan prevalensi TB Paru.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Padang dengan melihat prevalensi TB

Paru per kecamatan di Kota Padang pada tahun 2016, untuk mengetahui hubungan

sosiodemografi dan lingkungan terhadap prevalensi Tuberkulosis Paru di Kota

Padang Tahun 2016. Variabel independen yang diambil berupa jenis kelamin,

kepadadatan penduduk, rumah sehat, rumah ber-PHBS dan ketersediaan sarana

kesehatan. Menggunakan pendekatan ekologi serta menggunakan data sekunder

yakni data laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota Padang Tahun 2016.
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Pengertian

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan

oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), yang menyerang terutama paru dan

disebut juga tuberkulosis paru. Bila menyerang organ selain paru (kelenjar limfe,

kulit, otak, tulang, usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru.[23]

2.1.2 Etiologi TB

TB Paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, kuman ini

berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron,

mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu

disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tuberkulosis cepat mati dengan

sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang

gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama

dalam beberapa tahun.[23]

2.1.3 Epidemiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global dan

masalah kesehatan yang paling serius. Saat ini TB merupakan masalah kesehatan di

dunia dan penyebab utama kematian di negara berkembang . Berdasarkan data WHO

pada tahun 2013 terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB.[24]

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa

penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 5 setelah penyakit kardiovaskular

dan penyakit saluran napas pada semua kelompok usia dan nomor 1 dari golongan

penyakit infeksi.[2]

8
9

2.1.4 Cara Penularan

Cara penularan tuberkulosis paru melalui percikan dahak (droplet)

sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA(+), pada waktu penderita

tuberkulosis paru batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB dapat

bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat

menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam

ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat

mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh

kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan

lembab. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran

pernafasan. Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan,

kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem

peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke

bagian tubuh lainnya.[23]

2.1.5 Risiko Penularan

Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis Infection=

ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah

dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun di antara 1000penduduk terdapat 10

(sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak

akan menjadi penderita TBC, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan

menjadi penderita TBC. Dari keterangan di atas dapat diperkirakan pada daerah

dengan ARTI 1% maka di antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100

(seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, di mana 50 penderita adalah BTA

Positif.[23]
10

Faktor risiko yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi

penderita tuberkulosis paru adalah karena daya tahan tubuh yang lemah, di antaranya

karena gizi buruk dan HIV/AIDS. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat

bagi yang terinfeksi kuman TB menjadi sakit tuberkulosis paru. Infeksi HIV

mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity),

sehingga jika terjadi infeksi penyerta (opportunistic), seperti tuberkulosis paru maka

yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.

Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita tuberkulosis

paru akan meningkat pula, dengan demikian penularan penyakit tuberkulosis paru di

masyarakat akan meningkat pula.

2.1.6 Riwayat Alamiah Penyakit

Penyakit ini diawali oleh infeksi primer pada seseorang terpapar pertama

kali dengan kuman TB Paru. Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil

berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru sehingga mengakibatkan

peradangan di dalam paru. Saluran limfe di sekitar hilus paru, hal ini

berlangsung sekitar 4-6 minggu. Setelah infeksi primer terjadi, perkembangan

penyakit tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respons daya

tahan tubuh. Ada kuman persisten atau dormant (tidur) dan akan aktif ketika daya

tahan tubuh tidak mampu melawan kuman tersebut, sehingga terjadilah penderita

TB Paru, waktu yang diperlukan untuk proses ini diperkirakan sekitar 6 bulan.[25]

2.1.7 Klasifikasi Penyakit TB Paru

a. Berdasarkan organ tubuh yang terkena

1. Tuberkulosis Paru
11

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan

parenkim paru, tidak termasuk pleura (selaputt paru) dan kelenjar pada

hilus.

2. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya

pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymphe,

tulan, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan

lain lain.

b. Berdasarkan tingkat keparahan penyakit

1. Tuberkulosis Paru BTA Positif foto toraks positif dibagi berdasarkan

tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berta dan ringan. Bentuk

berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan

paru yang luas (misalnya proses “far advanced”) dan atau keadaan umum

pasien buruk.

2. TB ekstra Paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,

yaitu :

a. TB ektra paru ringan, misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis

eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan

kelenjar adrenal.

b. TB ekstra paru berat, misalnya : meningitis, milier, perikarditis,

peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus,

TB saluran kemih dan alat kelamin.


12

2.1.8 Tipe Penderita

a. Kasus baru

Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan 30 dosis harian.

b. Kambuh Relaps

Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh kemudian kembali

lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

c. Pindahan

Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain

dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.Penderita pindahan tersebut

harus membawa surat rujukan atau pindah.

d. Setelah Lalai Pengobatan

Pengobatan setelah default drop out adalah penderita yang sudah berobat

paling kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan atau lebih kemudian datang

kembali berobat.Umunya penderita tersebut kembali dengan hasil

pemriksaan dahak BTA positif.

e. Gagal

Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi

positif pada akhir bulan ke 5 satu bulan sebelum akhir pengobatan atau

lebih.

f. Kasus Kronis

Adalah penderita dengan hasil peeriksaan masih BTA positif setelah selesai

pengobatan ulang kategori 2.


13

2.1.9 Penemuan TB Paru

Penemuan penderita dilakukan secara pasif artinya penjaringan

tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit

pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan

secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk

meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal

dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita secara

pasif dengan promosi yang aktif). Selain itu, semua kontak penderita TBC Paru

BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya.[25]

2.1.10 Program Penanggulangan TB Paru

a. Jangka Pendek

Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TB dengan cara

memutuskan mata rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi

merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia.[25]

b. Jangka Panjang

Tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru

BTA positif yang ditemukan dengan menggunakan strategi DOTS dan

tercapainya cakupan penemuan penderita sesuai dengan target CDR yang

ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar 70% secara bertahap.[25]

2.2 Faktor determinan TB

Mengikuti kerangka Konsep HL. Blum yang menyatakan bahwa untuk

mengetahui status kesehatan masyarakat terdapat empat faktor yakni faktor

penduduk, faktor lingkungan, faktor perilaku dan faktor yankes. Keempat faktor

tersebut berpengaruh langsung terhadap status kesehatan. Status kesehatan akan


14

tercapai secara optimal ketika keempat faktor tersebut secara bersama-sama

mencapai kondisi optimal pula. Berikut adalah faktor-faktor terjadinya TB Paru :

a. Faktor Penduduk

Manusia merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium

Tuberculosis. Kuman ini menular melalui udara. Seorang penderita TB Paru

dapat menularkan pada 10-15 orang.[26] Karakteristik Host dapat dibedakan

antara lain sebagai berikut :

1. Umur

Menurut data surveyllance national epidemic TB mulai bergeser secara

perlahan kepada kelompok umur yang lebih tua dan mencapai puncaknya pada

umur <65 tahun. Gejala penyakit yang berhubungan dengan kejadian TB, didata

berdasarkan kelompok rumah tangga terpilih menurut Riskesdas tahun 2007.

Terbanyak kejadian TB pada usia yang lebih tua disbanding yang usia muda, hal

ini juga berpengaruh kepada masalah efektivitas proteksi vaksin terhadap

kekebalan tubuh melawan kuman tuberculosis.[27]

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Merryani

Girsang yang menyatakan bahwa umur memilki hubungan dengan kejadian TB

Paru (p value = 0,000).[28] Penelitian yang dilakukakan oleh Lamria Pangaribuan juga

menyatakan terdapat hubungan jensi kelamin dengan kejadian TB Paru (p value =

0,000) dan resiko 2,5 kali lebih beresiko pada umur 35 tahun ke atas.[29]

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada seluruh penderita TB di

Kabupaten Karo didapatkan bahwa penderita TB pada laki-laki lebih banyak

dibandingkan dengan perempuan yaitu 60,4 % (laki-laki) dan 22 %

(perempuan). Hal ini disebabkan karena pada umumnya seorang laki-laki

dituntut bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari


15

terutama yang berusi produktif, bahkan terkadang masih ada yang bekerja pada

usia tua. Angka kejadian TB pada laki-laki cukup tinggi pada semua usia, tetapi

pada perempuan angka TB cenderung menurun setelah melampaui usia subur.

Selain itu laki-laki sebagian besar memiliki kebiasaan merokok sehingga

memudahkan terjangkitnya TB. Kebiasaan merokok merupakakan salah satu

faktor resiko untuk terinfeksi TB.[13]

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chandra Wibowo menemukan

bahwa pada laki-laki mendapatkan TB Paru. Pada kasus kontak 0, 36 kali pada

perempuan. Selain itu juga dikatakan bahwa penelitian di negara maju

didapatkan laki-laki memiliki risiko tertular akibat kontak lebih besar dari

pada perempuan. [12]

3. Pendidikan

Pendidikan atau pengetahuan akan mengambarkan perilaku seseorang

dalam bidang kesehatan, semakin rendah tingkat pendidikannya maka

pengetahuan di bidang kesehatannya juga akan rendah baik itu tentang asupan

makanan, penanganan keluarga yang sakit dan usaha-usaha preventif

lainnya. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap

pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat

kesehatan dan pengetahuan TB Paru sehingga dengan pengetahuan yang

cukup maka sesorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku untuk

hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan sesorang akan

berpengaruh terhadap jenis pekerjaannya.[30]

Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Merryani Girsang yang menyatakan

bahwa adanya hubungan pendidikan dengan kejadian Tuberkulosis (p value =


16

0,000).[28] Penelitian oleh Wardhani juga menunjukkan bahwa pendidikan

memiliki hubungan dengan kejadian TB Paru (p value=0,01).[14]

4. Pekerjaan .

Pekerjaan dalam pandangan ekonomi adalah segala aktivitas yang

dilakukan, baik sendiri atau melalui organisasi, lembaga atau jasa. Baik di

tempat tertutup, maupun ditempat terbuka, kemudian dari bekerja tersebut

memperoleh produk berupa upah dari hasil pekerjaan produk itu sebagai

pengasilan. Jenis pekerjaan tertentu yang dilakukan seseorang bisa

mempengaruhi angka kejadian TB Paru.[31]

Pekerjaan juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dimana

ditemukan pada kelompok anggota rumah tangga yang tidak mempunyai

pekerjaan (p value=0,000) dibandingkan pada kelompok yang mempunyai

pekerjaan, bahwa lebih besar kemungkinan terpapar tuberkulosis, diantara

kelompok anggota rumah tangga yang tidak mempunyai pekerjaan.[28] Semakin

lama kelompok yang tidak mempunyai kesibukan atau tidak mempunyai

pekerjaan terpapar dengan penderita TB paru yang tidak diobati, maka dalam

waktu dua tahun setiap penderita yang terinfeksi tuberkulosis akan menularkan

kuman tuberkulosis kepada 10 orang yang ada disekitarnya. Termasuk

masyarakat lingkungan sekitar, atau orang yang serumah.[32]

Hal ini juga berpengaruh kepada faktor kemampuan membayar

pengobatan serta kemampuan membeli obat untuk mengobati penyakit yang

dideritanya. Selain itu pekerjaan berkaitan erat dengan perbaikan kualitas hidup,

makin rendah tingkat pekerjaan maka semakin sulit memperoleh gizi yang baik,

dan dapat mengakibatkan kurang asupan gizi sehingga rentan terhadap penyakit

terutama penyakit tuberkulosis.


17

5. Kepadatan Penduduk

Masalah kesehatan lingkungan cendrung timbul pada daerah padat

persatuan area, misalnya daerah perkotaan. Pertumbuhan penduduk dalam

satu wilayah dengan kecendrungan peningkatan penggunaan energi dan kegiatan

dapat memperburuk kondisi kesehatan lingkungan.[33]

Pada daerah perkotaan yang padat penduduknya dibandingkan

pedesaan, peluang terjadinya kontak dengan penderita TB paru akan lebih besar.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang rentan akan terpapar dengan

penderita TB paru menular lebih tinggi pada wilayah yang padat

penduduknya. Semikin besar komunitas, semakin besar rentang masalah-

masalah kesehatan dan semakin besar jumlah sumber daya kesehatan. Dan

sumber daya tersebut kerap dibutuhkan karena penyakit menular dapat

menyebar dengan lebih cepat dan masalah lingkungan kerap lebih parah pada

wilayah yang berpenduduk padat.[34]

Faktor Kependudukan merupakan salah satu faktor kemungkinan risiko

TB. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa kepadatan penduduk memiliki

hubungan yang nyata dengan kejadian TB di Provinsi Lampung (p value=0,008).

Meningkatnya kepadatan penduduk merupakan vektor penularan TB, karena

dengan bertambahnya jumlah penduduk interaksi yang dilakukan oleh suatu

individu ke individu lain akan semakin mudah dilakukan, bakteri

Mycobacterium tuberkulosis juga dapat berpindah dan berkembang biak denga

ceat, hal ini juga didukung oleh daya tahan tubuh individu.[14]

Sejalan dengan penelitian Chandra bahwa hasil uji statistik diperoleh ada

hubungan yang signifikan antara kepadatan penduduk dengan kejadian TB Paru

BTA Positif pada tahun 2002 dan 2004 (p value= 0,009 dan 0,002). Selain itu
18

wilayah yang kepadatan penduduknya tinggi cendrung memiliki lingkungan

tempat tinggal yang kumuh sehingga bila ada salah satu warganya yang

menderita TB paru BTA positif akan mempercepat terjadinya proses

penyebaran penyakit tersebut. Dan pada analisis spasial, pola persebaran

jumlah kasus TB paru BTA positif pada tahun 2002 dan 2003 terbanyak rata-

rata berada pada kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi

yaitu pada range > 1456 Km2 per jiwa.[35]

b. Faktor Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host, baik benda

mati, benda hidup, nyata dan abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi

semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Distribusi geografis TBC mencakup

seluruh dunia dengan variasi kejadian yang besar dan prevalensi menurut tingkat

perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan

letak geografis. Faktor lingkungan terdiri atas :

1. Lingkungan Fisik

Menurut Ahmadi faktor lingkungan (kepadatan, lantai rumah,

ventilasi, dll) merupakan faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya

penyakit Tb paru, di samping faktor kependudukan (jenis kelamin, umur, status

gizi, sosial ekonomi). Begitu pula lingkungan fisik rumah memberikan

kontribusi bagi derajat kesehatan penghuninya.[14]

Berdasarkan UU RI No 4 tahun 1992, setiap manusia dimanapun berada

membutuhkan tempat untuk tinggal yang disebut rumah. Rumah adalah struktur

fisik yang terdiri dari ruangan, halaman, dan area sekitarnya yang dipakai

sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga.


19

Rumah sehat terdiri atas beberapa indikator yakni :

a. Bahan bangunan

b. Komponen dan penataan ruang rumah

c. Pencahayaan

d. Kualitas Udara

e. Ventilasi

f. Binatang penular penyakit

g. Air

h. Tersedianya sarana penyimpanan makanan yang aman dan hygiene

i. Limbah

j. Kepadatan hunian ruang tidur

Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor risiko penularan penyakit
[36]
TB. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan

kuman. Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan

penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi

berkembangbiaknya kuman Mycobacterium tuberculosis [37]

Kriteria rumah sehat menurut Ditjen Cipta Karya antara lain, fondasi

yang kuat, lantai kedap air dan tidak lembab, memiliki ventilasi, memiliki

dinding rumah yang kedap air, memiliki langit-langit yang daat menahan

menahan dan menyerap panas matahari kriteria tersebut sangat berpengaruh

terhadap kejadian TB Paru. Variabel rumah sehat memiliki koefisien sebesar

0,03818, artinya setiap bertambahnya presentase rumah sehat di setiap

kabupaten/kota akan menurunkan insiden TB sebesar 0,03818 per 100000

penduduk. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Erwin
20

yang mengatakan bahwa kondisi lingkungan rumah memilik hubungan dengan

kejadian TB Paru (p value = 0,000).[38]

Seseorang yang tinggal di rumah dengan kualitas fisik yang tidak sehat

mempunyai risiko 45,5 kali lebih besar dibandingkan dengan seseorang yang

tinggal di rumah dengan kualitas fisik yang sehat. Hasil penelitian ini sesuai

dengan teori yang menyatakan bahwa kualitas fisik rumah yang tidak sehat

memegang peranan penting dalam penularan dan perkembangbiakan kuman

Mycobacterium tuberculosis. Kurangnya sinar yang masuk ke dalam rumah,

ventilasi yang buruk cenderung menciptakan suasana yang lembab dan gelap,

kondisi ini menyebabkan kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-

bulan di dalam rumah. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Achmadi bahwa risiko untuk mendapatkan TB Paru sebanyak 1,3 kali lebih

tinggi pada penduduk yang tinggal di rumah yang tidak memenuhi persyaratan

kesehatan.[33] Konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat

kesehatan merupakan factor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit.

Faktor-faktor risiko lingkungan pada pembangunan rumah yang dapat

mempengaruhi kejadian penyakit antara lain ventilasi, pencahayaan dan

kepadatan hunian tidur.[4]

2. Lingkungan Biologis

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini

berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron,

mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena

itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tuberkulosis cepat mati

dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di
21

tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant

atau tertidur lama dalam beberapa tahun.[23]

3. Lingkungan Sosial-Ekonomi

WHO menyebutkan 90% penderita Tuberkulosis Paru di dunia

menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin.[39]

Hubungan antara kemiskinan dengan penyakit tubekulosis bersifat timbal

balik, yaitu tuberkulosis merupakan penyebab kemiskinan dan karena

miskin maka manusia menderita tuberkulosis. Kondisi sosial ekonomi itu

sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat

merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk,

serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan

juga kurang. Menurut perhitungan rata-rata penderita tuberkulosis

kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun, dan juga

kehilangan penghasilan setahun secara total mencapai 30% dari pendapatan

rumah tangga.[40]

Sejalan dengan penelitian oleh Wardhani menunjukkan bahwa


[14]
pendapatan memiliki hubungan dengan kejadian TB Paru (p value=0,01).

Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian oleh Merryani Girsang yang

mnayatakan bahwa ekonomi berpengaruh terhadap kejadian TB Paru (p value =

0,000).[28]

Penelitian tersebut menyatakan bahwa salah satu penentu status ekonomi

yakni penghasilan perkapita pada kelompok yang termiskin berdasarkan

pembagian menurut quintil, semakin rendah penghasilan pada quintil 5 lebih

banyak terpapar TB dibanding kelompok quintil yang lebih mampu (quintil 1

atau quintil 2).[41] Hal ini menunjukkan bahwa semakin miskin masyarakat itu
22

maka keterpaparan penyakit juga semakin tinggi, hal ini disebabkan karena tidak

mampu mengobati dan tidak mencukupi biaya untuk kehidupan buat dirinya

sendiri. Mudahnya penularan penyakit tuberkulosis dari satu orang ke orang lain

dipengaruhi oleh daya tahan tubuh serta faktor kemiskinan, faktor pendidikan

dan pekerjaan.

c. Faktor Perilaku

Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau

rangsangan dari luar. Perilaku kesehatan merupakan berbagai hal yang

berhubungan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan

meningkatkan kesehatan, termasuk juga tindakan untuk mencegah penyakit,

kebersihan perorangan, memilih makanan, dan sanitasi.[42]

1. Status gizi

Merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit.

Terjadi hubungan timbal balik antara penyakit infeksi dengan keadaan gizi

kurang. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi, dan keadaan gizi

yang jelek dapat mempermudah terkena infeksi. Penyakit yang umum terkait

dengan masalah gizi antara lain diare, tuberkulosis, campak dan batuk rejan.[43] Hasil

penelitian Elvina menyebutkan bahwa jumlah penderita TB Masalah

kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa (18 tahun ke atas) merupakan

masalah penting, karena selain mempunyai resiko penyakit-penyakit tertentu,

juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja.[44]

Status gizi berpengaruh terhadap kejadian TB Paru. Hal ini karena nutrisi

diperlukan dalam pembentukan system kekebalan tubuh untult melawan penyakit.

Sejalan dengan penelitian Misnadiarly dan Sunarno yang menyatakan bahwa ada

hubungan antara status gizi dengan kejadian TB Paru (p value = 0,000).[45]


23

2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Secara teori sanitasi lingkungan berkaitan erat dengan kondisi

permukiman. Sanitasi lingkungan yang dimaksud adalah usaha pengendalian

dari faktor-faktor lingkungan fisik yang mungkin menimbulkan kerugian bagi

perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia. Upaya

pengendalian tersebut adalah penyediaan air rumah tangga yang baik, pengaturan

pembuangan tinja, sampah, air limbah, pengaturan rumah sehat, pembasmian

vektor penyakit seperti lalat dan nyamuk, pengawasan polusi udara dan radiasi

dari sisa-sisa zat radioaktif. Sanitasi keluarga diukur dari tiga aspek: kondisi fisik

rumah, sarana rumah tangga dan sumber air. [46]

Bentuk prilaku kesehatan salah satunya adalah perilaku hidup bersih dan

sehat (PHBS). PHBS adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga

agar tahu, mau, dan mampu mempraktekan perilaku hidup bersih dan sehat serta

berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. PHBS di rumah tangga

dilakukan untuk mencapai Rumah Tangga berperilaku hidup bersih dan sehat

(Rumah ber-PHBS). Ada 10 indikato PHBS di Rumah Tangga, yakni :[47]

a. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan

b. Memberi bayi ASI Ekslusif

c. Menimbang balita setiap bulan

d. Menggunakan air bersih

e. Mencuci tangan pakai dengan air bersih yang mengalir dan menggunakan

sabun

f. Menggunakan jamban sehat

g. Memberantas jentik di rumah sekali seminggu

h. Makan sayur dan buah setiap hari


24

i. Melakukan aktivitas fisik setiap hari

j. Tidak merokok di dalam rumah

PHBS merupakan salah satu indikator untuk menilai kinerja

pemerintah daerah kabupaten/kota di bidang kesehatan, yaitu pencapaian

70% rumah tangga sehat. Menurut Laporan Akuntanbilitas Kinerja

Kementrian Kesehatan RI tahun 2014 bahwa target rumah tangga ber-PBHS

adalah 70%.[48]

Terdapat beberapa inidikator yang sangat berpengaruh terhadap kejadian

TB yakni merokok, kesesuaian lantai dengan jumlah penghuni, dan lantai

rumah bukan dari tanah. Sejalan dengan penelitian Syfa yang menunjukkan

bahwa PHBS berpengaruh nyata terhadap insiden rate TB (p value= 0,042).

d. Faktor Pelayanan Kesehatan

Berdasarkan konsep Blum menyatakan bahwa yang tergolong dalam

yankes adalah ketersediaan sarana kesehatan yakni Puskesmas dan Rumah Sakit.

Puskesmas merupakan fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang merupakan

ujung tombak pelayanan kesehatan di masyarakat dan memiliki fungsi sebagai

kontak pertama.[49] Sedangkan Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan

yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.[50]

Faktor sarana pelayanan kesehatan juga menjadi faktor penting dalam

usaha penanggulangan tuberkulosis paru yang meliputi Surveilans, deteksi dini, dan

DOTS ( Directly Observed Treatment, Short-course Therapy), dimana ada 5

komponen kunci dari DOTS yaitu; Komitmen politis, pemeriksaan

dahakmikroskopis yang terjamin mutunya, pengobatan jangka pendek yang standar

bagi semua kasus tuberkulosis dengan tata laksana kasus yang tepat, termasuk
25

pengawasan langsung pengobatan, jaminan ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) yang bermutu, sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan

penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara

keseluruhan.[51]

Sarana pelayanan kesehatan yang ada diharapkan mampu memfasilitasi

masyarakat untuk dapat meningkatan dan menjaga kesehatannya. Selain itu

ketersediaan fasilitas kesehatan khususnya yang dapat diakses oleh masyarakat akan

mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Ketersediaan fasilitas

kesehatan menjadi kunci penting dalam hal penanganan penyebaran penyakit

menular, bencana alam maupun kegawat-daruratan lain.[18]

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa sarana kesehatan memiliki

koefisien yang bernilai negatif sebesar -0,03234 artinya setiap penambahan jumlah

sarana kesehatan per 100.000 penduduk akan berpengaruh untuk menurunkan kasus

TB sebesar 0,03234 kejadian per 100.000 penduduk. Untuk menekan angka kejadian

TB selain dengan tersedianya sarana kesehatan namun juga diperlukan kesadaran

masyarakat akan pentingnya kesehatan serta keinginan untuk sembuh dari dalam diri

masyarakat.

2.3 Studi Ekologi

2.3.1 Defenisi

Studi ekologikal atau studi korelasi populasi adalah studi epidemiologi

dengan populasi sebagai unit analisis, yang bertujuan mendeskripsikan hubungan

korelatif antara penyakit dan faktor-faktor yang diminati peneliti. Penelitian korelasi

atau ekologi adalah suatu penelitian untuk mengetahui hubungan dan tingkat

hubungan antara dua variabel atau lebih tanpa ada upaya untuk mempengaruhi

variabel tersebut sehingga tidak terdapat manipulasi variabel. Adanya hubungan dan
26

tingkat variabel ini penting karena dengan mengetahui tingkat hubungan yang ada,

peneliti akan dapat mengembangkannya sesuai dengan tujuan penelitian. Jenis

penelitian ini biasanya melibatkan ukuran statistik/tingkat hubungan yang disebut

dengan korelasi. Penelitian korelasional menggunakan instrumen untuk menentukan

apakah, dan untuk tingkat apa, terdapat hubungan antara dua variabel atau lebih yang

dapat dikuantitatifkan.[19, 20]

2.3.2 Tujuan

Tujuan penelitian korelasional menurut Suryabrata adalah untuk

mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-

variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi.[20]

Sedangkan menurut Gay, penelitian korelasional adalah untuk menentukan hubungan

antara variabel, atau untuk menggunakan hubungan tersebut untuk membuat

prediksi. Studi hubungan biasanya menyelidiki sejumlah variabel yang dipercaya

berhubungan dengan suatu variabel mayor, seperti hasil belajar variabel yang

ternyata tidak mempunyai hubungan yang tinggi dieliminasi dari perhatian

selanjutnya.[19]

2.3.3. Karakteristik

Penelitian korelasi mempunyai tiga karakteristik penting untuk para

peneliti yang hendak menggunakannya. Tiga karakteristik tersebut adalah sebagai

berikut : [20]

a. Penelitian korelasi tepat jika variabel kompleks dan peneliti tidak mungkin

melakukan manipulasi dan mengontrol variabel seperti dalam penelitian

eksperimen.

b. Memungkinkan variabel diukur secara intensif dalam setting (lingkungan)

nyata.
27

c. Memungkinkan peneliti mendapatkan derajat asosiasi yang signifikan

2.3.4. Unit Analisis

Unit observasi dan unit analis pada studi ini adalah kelompok (agregat)

individu, komunitas atau populasi yang lebih besar.[20]

2.3.5. Ruang Lingkup

Desain studi ini menggunakan data agregat yang dibatasi secara

geografik, misalnya penduduk provinsi, penduduk kob/kota, penduduk negara, dan

sebagainya.[20]

2.3.6. Kemampuan Studi

Desain studi ekologi ini dapat menggunakan data insidensi, prevalensi

maupun mortalitas. Rancangan ini tepat sekali digunakan pada penyelidikan awal

hubungan penyakit, sebab mudah dilakukan dan murah dengan memanfaatkan

informasi yang tersedia.[20] Misalnya, Biro Pusat Statistik secara teratur

mengumpulkan data demografi dan data konsumsi yang dapat dikorelasikan dengan

morbiditas, mortalitas dan penggunaan sumber sumber daya kesehatan yang

dikumpulkan Departemen Kesehatan.

2.3.7. Keterbatasan Studi

Studi ekologi tak dapat dipakai untuk menganalisis hubungan sebab

akibat karena dua alasan, yakni :[19, 20]

1. Alasan pertama adalah, ketidak mampuan menjembatani kesenjangan status

paparan dan status penyakit pada tingkat populasi dan individu.

2. Sedangkan alasan kedua adalah studi ekologi tak mampu untuk mengontrol

faktor perancu potensial.


28

2.3.8. Manfaat Studi Ekologi

Mendapatkan gambaran serta dapat mendiskripsikan hubungan korelatif

antara penyakit dan faktor-faktor yang diminati peneliti. Penelitian korelasional

dilakukan dalam berbagai bidang diantaranya pendidikan, sosial, maupun ekonomi.

Penelitian ini hanya terbatas pada panafsiran hubungan antarvariabel saja tidak

sampai pada hubungan kausalitas, tetapi penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk

diajadi penelitian selanjutnya seperti penelitian eksperimen.[19]


2.4 Telaah Sistematis

No Nama Peneliti Tahun Judul Desain Variabel Kesimpulan


(Hasil)
1 Balgis, Panji Fortuna H, 2016 The Relationship Between HIV Ekologi study Jumlah puskesmas (per Terdapat hubungan
Lukman Hifli[52] Incidence Rate, District/ 10.000 penduduk) dan (P value = 0,008)
Municipality Health Budget, Healthy Jumlah dokter dan
House Rate, and perawat (per 100.000
Tuberculosis Prevalence in Indonesia penduduk)
Jumlah kasus baru HIV Terdapat hubungan (p value = 0,002)
Jumlah rumah sehat (%) Terdapat hubungan (p value = 0,009)
Lokasi rumah d Tidak terdapat hubungan (p value = 0,009)
lingkungan kumuh

2 Tiara Hastuti, 2015 Analisis Spasial, Korelasi Dan Tren Ecology study Kepadatan penduduk Tidak terdapat hubungan (p value = 0,208)
La Ode Ali Imran Ahmad, Kasus Tb Paru Bta Positif Menggunakan Jumlah keluarga miskin Tidak terdapat Hubungan (p value = 0,376)
Karma Ibrahim[53] Web Sistem Informasi Geografis Di Kota
Kendari Tahun 2013-2015

3 Rindy Erlinda, Wantiyah, 2013 Hubungan Peran Pengawas Minum Obat Ecology study Peran PMO Terdapat hubungan (p value = 0,023)
Erti Ikhtiarini Dewi[54] (PMO) dalam Program Directly
Observed
Treatment Shortcourse (DOTS)dengan
Hasil Apusan BTA Pasien Tuberkulosis
Paru
di Puskesmas Tanggul Kabupaten
Jember

4 Jeremy I Hawker, Surinder 1999 Ecological analysis of ethnic differences Ecology study Kepadatan hunian rumah Terdapat Hubungan (p value = 0,0036)
S Bakhshi, Shaukat Ali, C in relation tangga
Paddy Farrington between tuberculosis and poverty Kemiskinan
[55]

29
Kriteria yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang lain, yaitu:

1. Variabel dependent dalam penelitian ini adalah prevalensi TB Paru. Sedangkan

variabel independen yang membedakan dengan penelitian sebelumnya yaitu

jenis kelamin, kepadatan penduduk, rumah sehat, rumah ber-PHBS,serta rasio

sarana pelayanan kesehatan per kecamatan di Kota Padang.

2. Analisis dalam penelitian ini menggunakan gammbaran pemetaan dengan

Archview dan data dianalisis secara univariat dan bivariat.

3. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Padang pada tahun 2017 menggunakan data

Dinas Kesehatan Kota (DKK) Padang tahun 2016.

30
31

2.5 Kerangka Teori

Faktor Penduduk

1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Kepadatan penduduk

Faktor Lingkungan

1. Lingkungan fisik : kondisi Faktor Pelayanan


lingkungan sanitasi rumah Derajat Kesehatan
2. Lingkungan biologi : kuman kesehatan TB
Mycobacterium tuberulosis 1. Puskesmas
3. Lingkungan sosial : Paru 2. Rumah sakit
pendidikan, pekerjaan, status
ekonomi

Faktor Perilaku

1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Tindakan

Gambar 2.1 Modifikasi Kerangka Teori H,L Blum, L.Green, John Gordon
32

2.6 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Persentase Jenis Kelamin laki-laki

Angka Kepadatan Penduduk

Persentase Rumah sehat Prevalensi


TB Paru

Persentase Rumah ber-PHBS

Rasio Sarana Pelayanan Kesehatan

Gambar 2.2 Diagram kerangka konsep TB Paru

HIPOTESIS

1. Terdapat hubungan antara presentase jenis kelamin dengan prevalensi TB

Paru per kecamatan di Kota Padang tahun 21016.

2. Terdapat hubungan antara angka kepadatan penduduk dengan prevalensi

TB Paru per kecamatan di Kota Padang tahun 21016.

3. Terdapat hubungan antara persentase Rumah Sehat dengan prevalensi TB

Paru per kecamatan di Kota Padang tahun 21016.

4. Terdapat hubungan antara persentase Rumah ber-PHBS dengan

prevalensi TB Paru per kecamatan di Kota Padang tahun 21016.

5. Terdapat hubungan antara rasio sarana pelayanan kesehatan dengan

prevalensi TB Paru per kecamatan di Kota Padang tahun 21016.


BAB 3 : METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan studi ekologi. Studi ekologi

merupakan suatu pengamatan dimana satuan unit yang dianalis adalah kelompok

dalam suatu daerah administrasi atau geografis tertentu yang menyangkut data

insidensi, prevalensi maupun data mortalitas. Dalam penelitian ini studi ekologi

digunakan untuk melihat hubungan faktor determinan sosial dan lingkungan terhadap

prevealensi TB Paru di Kota Padang.[56]

3.2 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Kota Padang yang dilaksanakan pada bulan

Januari - Juli 2017.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kecamatan di Kota Padang

tahun 2016.

3.4 Sumber Data

Data sekunder tentang jumlah kejadian penyakit TB per kecamatan

diukur dengan telaah dokumen. Hasil laporan dan rekapitulasi data prevalensi TB

Paru di Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2016 digunakan sebagai alat ukur. Data

sekunder tentang faktor sosiodemografi dan lingkungan terhadap prevalensi TB Paru

yang terdiri dari umur, jenis kelamin, kepadatan penduduk, rumah sehat, rumah ber-

PHBS dan sarana kesehatan tahun 2016 diperoleh dari pencatatan data Dinas

Kesehatan (DKK) Kota Padang. Hasil pencatatan dan rekapitulasi data tersebut

dijadikan alat ukur.


3.5 Definisi Operasional

Cara
No Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur Skala
Pengukuran Alat Ukur

1. Variabel Dependen

Ratio
Prevalensi TB Paru Jumlah seluruh kasus TB Paru per jumlah Data sekunder Data Dinas Kesehatan Persentase
penduduk di tiap kecamatan di Kota Padang Kota Padang tahun 2016
tahun 2016

2. Variabel Independen

a. Persentase jenis kelamin Persentase penduduk laki-laki per kecamatan di Data sekunder Data Dinas Kesehatan Persentase Ratio
Kota Padang Kota Padang tahun 2016

Rata-rata jumlah penduduk tiap 1 kilometer Data Dinas Kesehatan


b. Kepadatan Penduduk Data sekunder Angka
persegi per kecamatan di Kota Padang[57] Kota Padang tahun 2016 Ratio
dengan standar sebagai berikut :[58]
<100 : I : sangat kurang
100 – 250 : II : kurang
250 – 500 : III : sedang
500 – 750 : IV : lumayan
750 – 1000 : V : padat
>1000 : VI : sangat padat.
35

c. Presentase penduduk yang memiliki Persentase Penduduk yang memiliki rumah Data sekunder Data Dinas Kesehatan Presentase Ratio
Rumah Sehat yang memenuhi kriteria sehat yang tercatat Kota Padang tahun 2016
di Dinas Kesehatan Kota Padang per
kecamatan di Kota Padang[57] dengan standar
nasional = 86,6%.[59]

Persentase rumah tangga yang melakukan phbs


d. Persentase rumah tangga ber-PHBS Data sekunder Data Dinas Kesehatan Persentase Ratio
di kota Padang dan tercatat di Dinkes Kota
Kota Padang tahun 2016
Padang per kecamatan. Standar capaian adalah
70%.[60]

e Fasilitas kesehatan per kecamatan Rasio sarana pelayanan kesehatan yaitu Data sekunder Data Dinas Kesehatan Ratio Ratio
Puskesmas dan Rumah Sakit per kecamatan di Kota Padang 2016
Kota Padang[57]
(puskesmas= 1/30000)
(RS = 1/120000).[61]
3.6 Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan salah satu bagian dari rangkaian kegiatan

penelitian setelah kegiatan pegumpulan data. Untuk menghasilkan informasi yang

benar, ada empat tahapan pengolahan data, antara lain : [62, 63]

a. Pemeriksaan Data (Editing)

Editing adalah memeriksa data yang telah dikumpulkan baik berupa daftar

pertanyaan, kartu atau buku register. Kegiatan editing bertujuan untuk

melakukan pengecekan isian formulir, apakah sudah lengkap, jelas, relevan,

dan konsisten.

b. Pemasukan Data (Entry Data)

Memasukkan data yang sudah dilakukan editing ke dalam komputer melalui

program Microsoft Excel untuk kemudian diolah.

c. Proses Data (Proccessing)

Setelah entry data selesai, langkah selanjutnya adalah melakukan

proccessing agar data dapat dianalisis. Proccessing data dilakukan dengan

cara memasukkan data ke program komputer. Program komputer yang

digunakan adalah SPSS.

d. Pembersihan Data (Cleaning)

Celaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah

dimasukkan, apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut dapat

terjadi saat data dimasukkan ke komputer. Dalam hal ini, nilai yang hilang

(missing value) dan data yang tidak sesuai atau di luar range penelitian tidak

diikutsertakan dalam analisis.


37

3.7 Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat ini digunakan untuk mengetahui gambaran dari

prevalensi TB Paru di Kota Padang serta faktor determinan sosial dan lingkungan

yakni umur, jenis kelamin, kepadatan penduduk, rumah sehat, rumah ber-PHBS dan

sarana kesehatan yang ada pada tahun 2016. Data analisis univariat akan

ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik distribusi. Semua variabel yang telah di

entry dianalisis menggunakan software untuk mendapatkan gambaran ukuran

tengah, minimum maksimum, serta estimasi interval pada tingkat kepercayaan

95%.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel

independen yaitu presentase jenis kelamin, angka kepadatan penduduk, presentase

rumah sehat, presentase rumah ber-PHBS, serta jumlah sarana kesehatan yang

tersedia dengan variabel dependen yaitu prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun

2016. Dalam analisis bivariat akan dilakukan uji statistik korelasi, dan dilanjutkan

dengan uji regresi linear.

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui derajat atau kekuatan

hubungan serta arah hubungan dua variabel numerik dengan α = 0.05, dalam

penelitian ini yaitu kejadian TB Paru dan faktor lingkungan. Secara sederhana,

hubungan dua variabel tersebut dapat dilihat dalam diagram tebar/pencar (Scatter

plot). Scatter plot menunjukkan titik-titik perpotongan nilai data dari dua variabel

(X dan Y). Variabel independen (X) diletakkan pada garis horizontal, sedangkan

variabel dependen (Y) pada garis vertikal. Dengan Scatter plot tersebut diperoleh
38

informasi tentang pola hubungan antara dua variabel X dan Y, serta dapat

menggambarkan keeratan hubungan dari kedua variabel tersebut.[62, 63]

Analisis regresi merupakan suatu model matematis yang dapat

digunakan untuk mengetahui bentuk hubungan antara dua variabel atau lebih.

Tujuannya adalah untuk membuat perkiraan/prediksi nilai suatu variabel (variabel

dependen) melalui variabel yang lain (variabel independen). Ukuran yang

digunakan dalam analisis regresi adalah koefisien determinasi yang disimbolkan

dengan R2 (R Square). Koefisien determinasi dihitung dengan mengkuadratkan

nilai r, atau dengan formula R2 = r2. Koefisien determinasi berfungsi untuk

menunjukkan seberapa jauh variabel independen dapat memprediksi variabel

dependen. Semakin besar nilai R square maka semakin baik atau tepat variabel

independen memprediksi variabel dependen. Besarnya nilai R square antara 0

sampai dengan 1 atau antara 0% sampai dengan 100%.[62, 63]

Derajat kekuatan hubungan dapat dilihat dari tebaran data pada Scatter

plot tersebut. Semakin rapat tebarannya, maka semakin kuat hubungannya.

Sebaliknya, semakin melebar tebarannya, maka hubungannya semakin lemah. Untuk

mengetahui derajat hubungan dua variabel tersebut digunakan Koefisien Korelasi

Pearson Product Moment yang disimbolkan dengan r (huruf r kecil). Nilai korelasi

(r) berkisar antara 0 sampai dengan 1 atau jika disertakan arah, nilainya antara -1 dan

+1.[62, 63]

r=0 : tidak ada hubungan linier

r = -1 : hubungan linier negatif sempurna

r = +1 : hubungan linier positif sempurna


39

Hubungan positif terjadi apabila kenaikan satu variabel diikuti oleh kenaikan

variabel lain. Sementara itu, hubungan negatif terjadi apabila kenaikan satu variabel

diikuti penurunan variabel yang lain. Menurut Ahmadi faktor lingkungan

(kepadatan, lantai rumah, ventilasi, dll) merupakan faktor risiko yang berperan

terhadap timbulnya penyakit Tb paru, di samping faktor kependudukan (jenis

kelamin, umur, status gizi, sosial ekonomi). Begitu pula lingkungan fisik rumah

memberikan kontribusi bagi derajat kesehatan penghuninya.

Menurut Calton, kekuatan hubungan antara dua variabel secara kualitatif

dapat dibagi dalam 4 area, yakni :

1. r = 0.00 – 0.25 : tidak ada hubungan / hubungan lemah

2. r = 0.26 – 0.50 : hubungan sedang

3. r = 0.51 – 0.75 : hubungan kuat

4. r = 0.76 – 1.00 : hubungan sangat kuat / sempurna.


40

BAB 4 : HASIL

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian


4.1.1 Kondisi Geografis dan Topografis
Padang adalah ibukota provinsi Sumatera Barat yang terletak di pantai

bagian barat pulau Sumatera dan berada antara 0° 44’00” - 1°08’35‘’ Lintang Selatan

dan 100°05‘ 05’’ - 100° 34’09” Bujur Timur. Pada bagian utara berbatasan dengan

Kab. Padang Pariaman, di timur berbatasan dengan Kab. Solok, di selatan berbatasan

dengan Kabupaten Pesisir Selatan dan Samudera Indonesia, serta di batas barat

dengan Samudera Indonesia

Luas Wilayah Kota Padang adalah 694,96 km2 atau setara dengan 1,65

persen dari luas provinsi Sumatera Barat, yang terdiri dari 11 kecamatan dan

memiliki 104 kelurahan. Kecamatan terluas adalah Koto Tangah yang mencapai

232,25 km2.

Tabel 4.1 Kecamatan, Kelurahan, RW/RT di Kota Padang Tahun 2016

Kecamatan Kelurahan RT/RW


Bungus 6 106/30
Lubuk Kilangan 7 196/48
Lubuk Begalung 15 510/133
Padang Selatan 12 276/72
Padang Timur 10 319/89
Padang Barat 10 230/65
Padang Utara 7 272/70
Nanggalo 6 242/50
Kuranji 9 409/95
Pauh 9 176/52
Koto Tangah 13 686/182
Jumlah 104 3422/886
41

Dari luas kota Padang sebagian besar berupa hutan lindung (51,01 %),

sisanya untuk lahan budidaya dan bangunan/pekarangan. Selain daratan, Kota

Padang memiliki 19 pulau, yang terbesar adalah Pulau Bintangur (seluas 56,78 ha)

diikuti oleh Pulau Sikuai (seluas 48,12 ha) dan Pulau Toran (seluas 33,67 ha).

Ketinggian wilayah daratan Kota Padang sangat bervariasi, yaitu antara 0

-1853 m di atas permukaan laut dengan daerah tertinggi adalah Kecamatan Lubuk

Kilangan. Kota Padang memiliki banyak sungai, yaitu 5 sungai besar dan 16 sungai

kecil, dengan sungai terpanjang yaitu Batang Kandis sepanjang 20 km.

Tingkat curah hujan Kota Padang selama tahun 2015 mencapai rata-rata

296,00 mm per bulan dengan rata-rata hari hujan 16 hari. Sementara itu udara Kota

Padang cukup rendah bila dibandingkan tahun sebelumnya yaitu antara 26,10°C -

27,10°C dengan kelembaban berkisar antara 81-88 persen.[64]

4.1.2 Kondisi Demografis


Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Padang, pada tahun 2016 jumlah

penduduk Kota Padang sebanyak 914.968 jiwa, yang terdiri dari 457.090 laki-laki

dan 457.878 perempuan, sedangkan rata-rata tingkat kepadatan penduduk sebesar

1.316 jiwa/km². Rincian luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk Kota Padang

tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.2 Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2016
Kepadatan
Kecamatan Luas (km²) Jumlah Penduduk
(org/km²)
Bungus 100,80 25,164 249.64
Lubuk Kilangan 86,00 54,080 628.84
Lubuk Begalung 30,90 117,769 3811.29
Padang Selatan 10,00 62,498 6249.80
Padang Timur 8,20 83,729 10210.85
Padang Barat 7,00 47,675 6810.71
Padang Utara 8,10 74,760 9229.63
Nanggalo 8,10 62,591 7727.28
Kuranji 57,40 140,827 2453.43
42

Pauh 146,30 66,433 454.09


Koto Tangah 232,30 179,442 772.46
Jumlah 695,10 914,968 1,316

Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa Kecamatan dengan luas wilayah

terbesar adalah Kecamatan Koto Tangah, sedangkan Kecamatan dengan luas wilayah

terkecil adalah Kecamatan Padang Barat. Jumlah penduduk terbanyak adalah

Kecamatan Koto Tangah dan kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan

Padang Timur, sedangkan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk terendah

adalah Kecamatan Bungus.

Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kota

Padang tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Tahun 2016

Kelompok Umur Jumlah Penduduk


No
(Tahun) Laki-Laki Perempuan Total
1. 0–4 41.681 40.313 81.994
2. 5–9 40.499 38.782 79.281
3. 10 – 14 38.784 37.347 76.131
4. 15 – 19 47.805 49.079 96.884
5. 20 – 24 59.162 58.603 117.765
6. 25 – 29 40.023 37.539 77.562
7. 30 – 34 33.234 32.957 66.191
8. 35 – 39 30.603 32.123 62.726
9. 40 – 44 30.032 30.889 60.921
10. 45 – 49 26.086 26.388 52.474
11. 50 – 54 22.444 22.578 45.022
12. 55 – 59 18.845 19.259 38.104
13. 60 – 64 12.380 12.644 25.024
14. 65 – 69 7.342 7.598 14.940
15. 70 – 74 4.242 5.130 9.372
16. 75+ 3.928 6.649 10.577
Jumlah 457.090 457.878 914.968

Berdasarkan Tabel 4.3 diketahui bahwa pada tahun 2016 di Kota Padang

kelompok umur terbanyak adalah 20 – 24 tahun dengan jumlah 117.765 jiwa,

sedangkan kelompok umur terkecil adalah 70 – 74 tahun dengan jumlah 9.372 jiwa.
43

Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin maka yang terbanyak adalah perempuan

dengan jumlah 457.878 jiwa.

4.2 Distribusi Kejadian Tuberkulosis Paru di Kota Padang


4.2.1 Distribusi Kejadian TB Paru
Distribusi prevalensi TB Paru di Kota Padang tahun 2016 dapat dilihat

pada peta dibawah ini :


44

Gambar 4.1 Prevalensi TB Paru per kecamatan di Kota Padang Tahun 2016
Berdasarkan Gambar 4.1 diketahui prevalensi TB Paru tertinggi terdapat

di Kecamatan Nanggalo yakni sebesar 0,14 % . Prevalensi TB Paru terendah

terdapat pada Kecamatan Lubuk Kilangan sebesar 0,06 %. Berdasarkan grafik

diketahui kejadian seluruh kasus TB Paru per kecamatan di Kota Padang memiliki
45

variasi, yaitu terdapat perbedaan prevalensi di masing-masing kecamatan pada tahun

2016.

4.2.2 Distribusi Kejadian TB Paru menurut Jenis Kelamin dan Kelompok


Umur
Distribusi penderita Tb Paru menurut karakteristik prevalensi TB

paru berdasarkan data Riskesdas 2010 diperoleh dari jumlah responden berusia

15 tahun ke atas yang pernah didiagnosis Tb paru. Distribusi menurut jenis

kelamin, penderita Tb paru tertinggi terjadi pada kelompok laki-laki

dibandingkan perempuan di masing-masing kecamatan yang ada di kota Padang

dengan persentase

Tabel 4.4 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin


di Kota Padang Tahun 2016

Laki-laki Perempuan
Kecamatan Total %
F % f %
Padang Barat 30 68,1 14 31,9 44 100
Padang Timur 10 18,5 51 81,5 61 100
Padang Utara 42 72,4 16 27,6 58 100
Padang Selatan 46 63,0 27 37,0 73 100
Koto Tangah 93 68,8 42 31,2 135 100
Nanggalo 48 55,1 39 44,9 87 100
Kuranji 70 56,4 54 43,6 124 100
Pauh 32 51,6 30 48,4 62 100
Lubuk Kilangan 21 63,6 12 36,4 33 100
Lubuk Begalung 62 65,9 32 34,1 94 100
Bungus Teluk Kabung 35,8
18 64,2 10 28 100
TOTAL 40,9
472 59,07 327 799 100

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa penderita TB Paru lebih banyak

pada laki-laki dibanding perempuan, yakni pada laki-laki 59,1 dan 40,9% pada

perempuan.

Tabel 4.5 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Kelompok Umur di Kota


Padang Tahun 2016
46

Kelompok Umur
Kecamatan 0-14 tahun >15 tahun Total %
f % f %
Padang Barat 1 2,3 43 97,9 44 100
Padang Timur 8 13,2 53 86,8 61 100
Padang Utara 1 1,8 57 98,2 58 100
Padang Selatan 10 13,7 63 86,3 73 100
Koto Tangah 3 2,3 132 97,7 135 100
Nanggalo 11 12,7 76 87,3 87 100
Kuranji 19 15,4 105 84,6 124 100
Pauh 5 8,1 57 91,9 62 100
Lubuk Kilangan 1 3,1 32 96,9 33 100
Lubuk Begalung 3 3,2 91 96,8 94 100
Bungus Teluk Kabung 2 7,2 26 92,8 28 100
TOTAL 64 8,1 735 91,9 799 100

Pada tabel 4.5 diketahui bahwa prevalensi penderita Tb paru di 11

kecamatan yang ada di Kota Padang lebih banyak diderita oleh kelompok umur

diatas 15 tahun, yakni dengan persentase 91,9 %. Persentase TB Paru tertinggi untuk

kelompok umur diatas 15 tahun berada di Kecamatan Padang Utara (98,2 %), dan

persentase TB pada kelompok umur diatas 15 tahun terendah terdapat di Kecamatan

Kuranji.
47

4.3 Faktor Sosiodemografi dan Lingkungan TB Paru


4.3.1 Jenis kelamin

Gambar 4.2 Persentase Penduduk Kota Padang Berdasarkan Jenis Kelamin


Tahun 2016
Berdasarkan gambar 4.2 diketahui bahwa persentase penduduk

perempuan terbanyak terdapat di Kecamatan Padang Utara (53,57 %), dan untuk

persentase penduduk laki-laki terendah juga terdapat di Kecamatn Padang Utara

yakni 46,43 %.

.
48

4.3.2 Kepadatan Penduduk

Gambar 4.3 Persentase Kepadatan Penduduk di Kota Padang Tahun 2016


Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk per luas wilayah (km2).

Berdasarkan gambar 4.3 diketahui bahwa rata-rata kepadatan penduduk di Kota

Padang tahun 2016 adalah 1318 org/km2. Angka kepadatan penduduk tertinggi

terdapat pada Kecamatan Koto Tangah yakni 10210,85 orang/km2, sedangkan

kecamatan dengan angka kepadatan penduduk terendah adalah Bungus yakni 249,65

orang/km2.
49

4.3.3 Rumah Sehat


Jumlah seluruh rumah yang terdapat di Kota Padang pada tahun 2016

adalah 176.745 rumah. Rata-rata persentase rumah sehat di Kota Padang adalah

88,95 %. Kota Padang telah mencapai standar nasional yakni > 86,6 %. Setiap

kecamatan memiliki persentase rumah sehat yang bervariasi. Untuk persentase

rumah sehat di masing-masing kecamatan dapat dilihat pada peta dibawah ini :

Gambar 4.4 Rumah Sehat di Kota Padang Tahun 2016


50

Berdasarkan gambar 4.4 diketahui bahwa persentase rumah sehat

tertinggi yaitu terdapat di Kecamatan Padang Barat (95,27 %) sedangkan persentase

rumah sehat terendah terdapat pada kecamatan Nanggalo (84,2 %).

4.3.4 Rumah ber-PHBS

Jumlah seluruh rumah tangga yang terdapat di Kota Padang pada tahun

2016 adalah 199.704 rumah tangga. Rata-rata persentase rumah tangga ber-phbs di

Kota Padang hanya 43,01 %. Kota Padang belum mencapai target yang sudah

ditetapkan oleh Dinkes Kota Padang yakni 70 %. Setiap kecamatan memiliki

persentase rumah tangga ber-phbs yang bervariasi. Untuk persentase rumah tangga

ber-phbst di masing-masing kecamatan dapat dilihat pada peta dibawah ini :


51

Gambar 4.5 Presentase Rumah Tangga Ber-PHBS di Kota Padang Tahun 2016

Berdasarkan gambar 4.5 diketahui bahwa persentase Rumah Tangga Ber-

PHBS tertinggi yaitu terdapat di Kecamatan Lubuk Kilangan (75,5%) sedangkan

persentase Rumah Tangga Ber-PHBS terendah terdapat pada kecamatan Bungus

(13,3%). Berdasarkan grafik dapat disimpulkan bahwa perentase Rumah Tangga

Ber-PHBS di Kota Padang cukup bervariasi.

4.3.5 Rasio Sarana Pelayanan Kesehatan


Sarana pelayanan kesehatan terdiri atas Rumah Sakit, Puskesmas, dan

Puskesmas Pembantu (Pustu). Untuk rasio sarana pelayanan kesehatan di Kota

Padang dapat dilihat pada gambar dibawah ini :


52

Gambar 4.6 Rasio sarana pelayanan kesehatan di Kota Padang Tahun 2016

Berdasarkan gambar 4.6 diketahui bahwa kecamatan Padang Barat

adalah kecamatan dengan rasio sarana yankes tertinggi (25,27), artinya sedangkan

kecamatan Kuranji adalah kecamatan dengan rasio saranan yankes terendah (7,09).

4.4 Hubungan Faktor Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Prevalensi TB


Paru
4.4.1 Hubungan Persentase Jenis Kelamin Terhadap Prevalensi TB
Hasil analisis korelasi antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru Di

Kota Padang Tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.6 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian TB Paru di Kota Padang
53

Tahun 2016
Variabel R R2 p value
Persentase Jenis Kelamin
0,103 0,011 0,763
(laki-laki)

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara persentase jenis kelamin terhadap Prevalensi TB Paru di Kota

Padang Tahun 2016 (p = 0.763). Hasil analisis korelasi antara persentase jenis

kelain terhadap Prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016 memiliki

kekuatan lemah (r = 0.103) dengan arah positif, artinya semakin tinggi persentase

jenis kelamin laki-laki, maka semakin tinggi prevalensi TB Paru atau sebaliknya,

semakin rendah persentase jenis kelamin laki-laki, maka semakin rendah

prevalensi TB Paru seperti terlihat pada scatter plot berikut :


54

Gambar 4.7 Scatter Plots Hubungan Persentase Jenis Kelamin laki-laki

Terhadap Prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016

Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa persentase jenis

kelamin laki-laki memiliki pengaruh sebesar 1,1% terhadap kejadian TB Paru (R2 =

0.011). Hal tersebut berarti 98.9% kejadian TB Paru di Kota Padang tahun 2016

disebabkan oleh faktor lain


55

4.4.2 Hubungan Angka Kepadatan Penduduk terhadap Prevalensi TB Paru


Kepadatan penduduk adalah rasio banyaknya penduduk per kilometer

persegi (Badan Pusat Statistik Kota Padang). Kepadatan penduduk pada penelitian

ini diperoleh dengan membagi jumlah penduduk dengan luas kecamatan (km2).

Hasil analisis korelasi antara Angka Kepadatan Penduduk Terhadap

Prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016 dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 4.7 Hubungan Angka Kepadatan Penduduk Terhadap Prevalensi TB Paru di


Kota Padang Tahun 2016
Variabel R R2 p value
Angka Kepadatan
0,185 0,034 0,587
penduduk

Berdasarkan tabel 4..7 diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara Angka Kepadatan Penduduk Terhadap Prevalensi TB Paru di Kota

Padang Tahun 2016 (p = 0.587). Hasil analisis korelasi antara Angka Kepadatan

Penduduk Terhadap Prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016 memiliki

kekuatan lemah (r = 0.185) dengan arah positif, artinya semakin tinggi kepadatan

penduduk, maka semakin tinggi kejadian TB Paru atau sebaliknya, semakin rendah

angka kepadatan penduduk, maka semakin rendah kejadian TB Paru seperti terlihat

pada scatter plot berikut :


56

0.14

0.12
p re v a le n s i tb

0.10

0.08

R Sq Linear = 0.034

0.06

0.00 2000.00 4000.00 6000.00 8000.00 10000.00 12000.00


kepadatan penduduk

Gambar 4.8 Scatter Plots Hubungan Angka Kepadatan Penduduk Terhadap

Prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016

Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa angka kepadatan

penduduk memiliki pengaruh sebesar 3.4% terhadap kejadian TB Paru (R2 = 0.034).

Hal tersebut berarti 96.6% kejadian TB Paru di Kota Padang tahun 2016 disebabkan

oleh faktor lain.


57

4.4.3 Hubungan Persentase Rumah Sehat Terhadap Prevalensi TB Paru


Hasil analisis korelasi antara persentase rumah sehat terhadap prevalensi

TB Paru di Kota Padang Tahun 2016 dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 4.8 Hubungan persentase rumah sehat terhadap prevalensi TB Paru


Variabel r R2 p value

Persentase Rumah Sehat -0,635 0,404 0,036

Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara persentase rumah sehat terhadap prevalensi TB Paru di Kota Padang

Tahun 2016 (p = 0.036). Hasil analisis korelasi antara persentase rumah sehat

terhadap prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016 memiliki kekuatan kuat (r

= -0,635) dengan arah negatif , artinya semakin tinggi persentase rumah sehat, maka

semakin rendah prevalensi TB Paru atau sebaliknya, semakin rendah persentase

rumah sehat, maka semakin tinggi prevalensi TB Paru seperti terlihat pada scatter

plot berikut :
58

Gambar 4.9 Scatter Plots Plots Hubungan Persentase Rumah Sehat Terhadap

Prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016

Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa persentase rumah

sehat memiliki pengaruh sebesar 72,9 % terhadap prevalensi TB Paru (R2 = 0.729).

Hal tersebut berarti hanya 17,1 % kejadian TB Paru di Kota Padang tahun 2016

disebabkan oleh faktor lain.


59

4.4.4 Hubungan Persentase Rumah Tangga Ber-PHBS Terhadap prevalensi TB


Paru
Hasil analisis korelasi antara persentase rumah tangga ber-PHBS

terhadap prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016 dapat dilihat sebagai

berikut :

Tabel 4.9 Hubungan persentase rumah tangga ber-PHBS terhadap prevalensi


TB Paru di Kota Padang Tahun 2016
Variabel r R2 p value
Persentase Rumah Tangga ber-PHBS -0,607 0,368 0,048

Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara persentase rumah tangga ber-PHBS terhadap prevalensi TB Paru di

Kota Padang Tahun 2016 (p = 0.048). Hasil analisis korelasi antara persentase rumah

tangga ber-PHBS terhadap prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016 memiliki

kekuatan lemah (r = -0,607) dengan arah negatif , artinya semakin tinggi persentase

rumah tangga ber-phbs, maka semakin rendah kejadian TB Paru atau sebaliknya,

semakin rendah persentase rumah tangga ber-phbs, maka semakin tinggi kejadian TB

Paru seperti terlihat pada scatter plot berikut :


60

Gambar 4.10 Scatter Plots Hubungan persentase rumah phbs terhadap

prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016

Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa persentase rumah

tangga ber-phbs memiliki pengaruh sebesar 36,8 % terhadap kejadian TB Paru (R2 =

0.368). Hal tersebut berarti 63,2 % kejadian TB Paru di Kota Padang tahun 2016

disebabkan oleh faktor lain.


61

4.4.5 Hubungan rasio Sarana Pelayanan Kesehatan Terhadap Prevalensi TB


Paru
Hasil analisis korelasi antara jumlah sarana kesehatan terhadap

prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016 dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 4.10 Hubungan Rasio Sarana Pelayanan Kesehatan terhadap prevalensi


TB Paru di Kota Padang Tahun 2016
Variabel r R2 p value
Rasio sarana pelayanan kesehatan -0.061 0,004 0,859

Berdasarkan tabel 4.10 diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara rasio sarana pelayanan kesehatan dengan prevalensi TB Paru di

Kota Padang Tahun 2016 (p = 0.859). Hasil analisis korelasi antara rasio sarana

pelayanan kesehatan terhadap prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016

memiliki kekuatan lemah (r = -0,061) dengan arah negatif , artinya semakin

meningkat rasio sarana pelayanan kesehatan, maka semakin rendah prevalensi TB

Paru atau sebaliknya, semakin menurun rasio sarana pelayanan kesehatan, ,maka

prevalensi TB Paru akan semakin meningkat. Seperti terlihat pada scatter plot

berikut :
62

Gambar 4.11 Scatter Plots Hubungan rasio sarana pelayanan kesehatan


terhadap prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016.

Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa rasio sarana pelayanan

kesehatan memiliki pengaruh sebesar 0,4 % terhadap kejadian TB Paru (R2 = 0.004).

Hal tersebut berarti 96,6 % kejadian TB Paru di Kota Padang tahun 2016 disebabkan

oleh faktor lain.


63

BAB 5 : PEMBAHASAN

5.1 Keterbatasan Penelitian


Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi ekologi

yang menggunakan data sekunder sehingga terdapat beberapa keterbatasan yaitu:

1. Data prevalensi TB Paru dan unsur sosiodemografi serta lingkungan yang

disajikan masih terbatas hanya dalam kurun 1 tahun,

2. Variabel yang diambil masih tergolong baru yakni rumah sehat, dan rumah

tangga ber-PHBS.

5.2 Distribusi Kejadian Tuberkulosis


Prevalensi TB Paru di Kota Padang menunjukkan angka yang bervariasi

di masing-masing kecamatan pada tahun 2016. Ditinjau berdasarkan analisis

temporal didapatkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi TB Paru pada tahun 2015

ke 2016. Kota Padang juga merupakan salah satu kota yang banyak menyumbang

jumlah seluruh kasus TB Paru di Sumatera Barat.

Prevalensi TB Paru ditinjau berdasarkan jenis kelamin tahun 2016

didapatkan hasil bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak mengalami kejadian TB

Paru dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan. Jika ditinjau berdasarkan

kelompok umur, maka umur > 15 tahun lebih banyak mengalami kejadian TB Paru

dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Berdasarkan hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa jenis kelamin laki-laki dan kelompok umur > 15 tahun lebih

berisiko untuk terkena TB Paru. Hal tersebut juga akan berdampak terhadap

peningkatan prevalensi TB Paru di Kota Padang pada tahun 2016.


64

5.3 Faktor Sosiodemografi dan Lingkungan TB Paru


Faktor sosiodemografi terdiri dari umur, jenis kelamin, kepadatan

penduduk. Berdasarkan hasil penelitian, persentase penduduk laki-laki tertinggi

sebesar 49,95 % terdapat di beberapa kecamatan yakni pada Kecamatan Kuranji,

Pauh, Lubuk Kilangan, Lubuk Begalung dan Bungus. Sedangkan persentase terendah

terdapat di Kecamatan Padang Utara yakni 46,43 %. .

Rata-rata kepadatan penduduk di Kota Padang pada tahun 2016 adalah

1316 jiwa /km2. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat pada Kecamatan Padang

Timur 10210,90 jiwa /km2. Kepadatan penduduk terendah terdapat pada Kecamatan

Bungus yaitu 249,60 jiwa /km2.

Jumlah seluruh rumah yang terdapat di Kota Padang pada tahun 2016

adalah 176.745 unit. Rata-rata rumah sehat di Kota Padang adalah 88,9 %.

Persentase rumah sehat tertinggi terdapat pada Kecamatan Padang Barat yakni

95,2%. Persentase rumah sehat terendah terdapat pada Kecamatan Nanggalo yakni

hanya 84,2 %.

Kota Padang pada tahun 2016 mencatat bahwa terdapat 199.704 rumah

tangga. Sebagaimana peraturan yang tertuang dalam Permenkes No 2269 tahun 2011

yang menyatakan bahwa setiap rumah tangga diharapkan mampu menerapkan

perilaku hidup bersih dan sehat agar terwujud kesehatan bagi setiap anggota

keluarga.[65] Oleh karena itu PHBS dalam rumah tangga sangat diperlukan. Rata-rata

rumah tangga ber-phbs di Kota Padang adalah 43 %. Persentase rumah tangga ber-

phbs tertinggi terdapat pada Kecamatan Lubuk Kilangan sebesar 75,5 %. Sedangkan

persentase rumah tangga ber-phbs terendah terdapat pada Kecamatan Bungus yakni

13,3 %.
65

5.4 Hubungan Faktor Sosiodemografi dan Lingkungan terhadap Prevalensi TB


Paru di Kota Padang Tahun 2016
5.4.1 Hubungan Persentase Jenis Kelamin laki-laki dengan Prevalensi TB Paru
Hasil analisis korelasi mengenai hubungan persentase jenis kelamin laki-

lakidengan prevalensi TB Paru memiliki kekuatan yang lemah (r =0,103) dan tidak

terdapat hubungan yang bermakna antara persentase jenis kelamin laki-laki dengan

prevalensi TB Paru dengan p value 0,763.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Demsa yang menyatakan

bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian Tuberkulosis (p

value = 0,115).[66] Penelitian yang dilakukan oleh Merryani Girsang juga menyatakan

tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian Tuberkulosis (p value =

0,201).[28]

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB Paru. Di

dunia TB Paru banyak menyerang laki-laki. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-

laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai

kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB Paru. (51).

Namun hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Demsa tidak

menumakan bahwa laki-laki lebih berisiko menderita TB Paru. Terdapat faktor risiko

lain yang menyebakan bahwa perempuan lebih beresiko menderita TB Paru

dibanding laki laki. Adanya hubungan yang bermakna antara sumber penular dengan

kejadian TB Paru di dalam rumah adalah salah satu penyebabnya.[66] Laki-laki

umumnya bekerja di luar rumah demi memenuhi kebtuhan keluarganya, sedangkan

kebanyakan perempuan menetap di rumah sebagai ibu rumah tangga. Dengan begitu
66

perempuan lebih banyak mengahabiskan waktu di rumah dan itu menyebabkan

resikonya untuk tertular TB lebih besar. Di dalam rumah terjadi kontak dengan

penderita TB Paru secara langsung dan sering. Hal ini lah yng menyebabkan resiko

perempuan menderita TB Paru lebih besar dibandingkan laki.laki. Selain itu juga

karena eratnya hubungan lama kontak yang sangat berperan karena semakin lama

kontak maka semakin beresiko untuk tertular kuman TB.

5.4.2 Hubungan angka Kepadatan Penduduk dengan Prevalensi TB Paru


Hasil analisis korelasi mengenai hubungan kepadatan dengan prevalensi

TB Paru memiliki kekuatan yang lemah (r =0,185) dengan arah positif. Dalam uji

regresi didapatkan bahwa angka kepadatan penduduk tidak berhubungan dengan

prevalensi TB Paru di Kota Padang tahun 2016 (p value =0,587). Hasil penelitian ini

sesuai dengan penelitian Dyah yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan

antara kepadatan penduduk dengan prevalensi TB Paru (p value = 0,97).[67]

Kepadatan penduduk merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB

Paru. Pada daerah perkotaan yang padat penduduknya dibandingkan pedesaan,

peluang terjadinya kontak dengan penderita TB paru akan lebih besar. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa orang yang rentan akan terpapar dengan penderita TB

paru menular lebih tinggi pada wilayah yang padat penduduknya. Semikin besar

komunitas, semakin besar rentang masalah-masalah kesehatan dan semakin besar

jumlah sumber daya kesehatan. Dan sumber daya tersebut kerap dibutuhkan

karena penyakit menular dapat menyebar dengan lebih cepat dan masalah lingkungan

kerap lebih parah pada wilayah yang berpenduduk padat.[34]

Berbeda dengan teori tersebut, dalam penelitian ini tidak terdapat

hubungan antara kepadatan penduduk terhadap prevalensi TB Paru, sebab pada


67

kepadatan penduduk tidak selalu terjadi kontak langsung apalagi sering. Kepadatan

hunian di rumah lah yang lebih beresiko karena di rumah terjadi kontak secara

langsung dan sering. Penularan TB Paru akan mudah terjadi bahkan dari orang tua ke

anaknya atau dari satu anggota keluarga ke anggota keluarga lainnya. Hal ini sejalan

dengan penelitian Demsa yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara sumber penular dengan kejadian TB Paru. Orang yang kontak

serumah dengan penderita TB Paru berisiko 3,897 kali untuk terjadi TB Paru

dibandingkan dengan orang yang kontak di luar rumah. Penyakit TB ditularkan oleh

orang dewasa kepada anak-anak dan tidak dari anak-anak ke orang dewasa. Sumber

penular yang paling berbahaya adalah penderita TB dewasa. Pada waktu batuk dan

bersin penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet yang

mengandung kuman dan bertahan pada suhu kamar dalam beberapa jam. Orang

dapat terinfeksi jika droplet terhirup saluran pernafasan.[66]

Semakin meningkat waktu berhubungan dengan penderita kemungkinan

terinfeksi oleh kontak semakin besar. Tingkat eratnya hubungan lama kontak sangat

berperan karena semakin lama kontak maka semakin beresiko untuk tertular kuman

TB. Keeratan kontak dilihat dari adanya kontak serumah dan kontak di luar rumah.

Dari hasil penelitian ditemukan perbedaan risiko yang bermakna antara kontak

serumah dengan kontak di luar rumah.

5.4.3 Hubungan persentase Rumah Sehat dengan Prevalensi TB Paru


Hasil anlisis korelasi mengenai hubungan rumah sehat dengan prevalensi

TB Paru memiliki kekuatan yang kuat (r = -0,635) dengan arah negatif, artinya

semakin tinggi persentase rumah sehat, maka semakin rendah prevalensi TB Paru

atau sebaliknya, semakin rendah persentase rumah sehat, maka semakin tinggi
68

prevalensi TB Paru. Analisis lebih lanjut mengenai hubungan rumah sehat dengan

prevalensi TB Paru menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

rumah sehat dengan prevalensi TB Paru (p =0,036).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Demsa Simbolon yang

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kepadatan hunian kamar dengan

kejadian TB Paru (pv = 0,005),[66] serta terdapat hubungan pula antara luas ventilasi

dengan kejadian TB Paru (0,008). Dalam penelitian Ryana Ayu juga menyatakan

bahwa terdapat hubungan antara pencahayaan dengan kejadian Tuberkulosis

(pv=0,025), serta terdapat hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian

Tuberkulosis (pv=0,005).[68]

Dari beberapa indikator tersebut salah satu persyaratan rumah sehat yang

penting adalah kepadatan hunian. Dalam keputusan Menteri Kesehatan no

829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan disebutkan

bahwa kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang dikategorikan
[69]
sebagai tidak padat. Kepadatan penghuni rumah juga dapat mempengaruhi

kesehatan, karena jika suatu rumah yang penghuninya padat dapat

memungkinkan terjadinya penularan penyakit dari satu manusia kemanusia

lainnya. Kepadatan penghuni didalam ruangan yang berlebihan akan berpengaruh,

hal ini dapat berpengaruh terhadap perkembangan bibit penyakit dalam ruangan.

Kepadatan penguhuni dalam rumah merupakan salah satu faktor yang dapat

meningkatkan insiden penyakit TB Paru dan penyakit-penyakit lainnya yang dapat

menular.[10]

Ventilasi dan pencahayaan di dalam rumah juga menjadi faktor yang

berhubungan dengan terjadinya TB Paru. Hasil penelitian menemukan bahwa


69

kelompok yang mempunyai rumah dengan luas ventilasi yang kurang dari 10% luas

lantai berisiko 4,907 kali untuk terjadi TB Paru dibandingkan dengan kelompok yang

mempunyai rumah dengan ventilasi lebih dari 10% luas lantai. Hal ini sejalan

dengan penelitian Demsa yang mengatakan bahwa terdapat hubungan ventilasi

dengan terjadinya TB Paru. Selain itu pencahayan yang cukup juga diperlukan untuk

mengurangi resiko terjadinya TB Paru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

orang yang mempunyai rumah dengan cahaya matahari tidak masuk ke rumah

berisiko 5,008 kali dibandingkan dengan seseorang yang tinggal di rumah yang

masuk cahaya matahari [66]

Ventilasi kamar yang memenuhi syarat memungkinkan adanya

pergantian udara dalam kamar,sehingga dapat mengurangi kemungkinan penularan

pada orang lain seiring dengan menurunnya konsentrasi kuman. Kamar dengan luas

ventilasi yang tidak memenuhi syarat menyebabkan kuman selalu dalam konsentrasi

tinggi sehingga memperbesar kemungkinan penularan kepada orang lain. Ventilasi

rumah yang tidak cukup menyebabkan aliran udara tidak terjaga sehingga

kelembaban udara di dalam ruangan naik dan kondisi ini menjadi media yang baik

bagi perkembangan pathogen. Masuknya cahaya matahari ke dalam rumah

diharapkan dapat membunuh kuman TB yang dikeluarkan oleh penderita pada saat

batuk, sehingga jumlah kuman dalam rumah dapat dikurangi dan penularan juga

berkurang.

5.4.4 Hubungan persentase Rumah Tangga ber-PHBS dengan Prevalensi TB


Paru
Hasil analisis korelasi antara persentase rumah tangga ber-PHBS

terhadap prevalensi TB Paru di Kota Padang Tahun 2016 memiliki kekuatan lemah (r

= -0,607) dengan arah negatif , artinya semakin tinggi persentase rumah tangga ber-
70

phbs, maka semakin rendah kejadian TB Paru atau sebaliknya, semakin rendah

persentase rumah tangga ber-phbs, maka semakin tinggi kejadian TB Paru. Analisis

lebih lanjut mengenai hubungan rumah tangga ber-phbs dengan prevalensi TB Paru

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara rumah tangga ber-phbs dengan

prevalensi TB Paru (pv = 0,048).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Deska Adi yang

mengatakan bahwa terdapat hubungan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)

dengan kejadian Tuberkulosis Paru (0,002).[70]

PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktekan atas dasar

kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga,

kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiiri (mandiri) di bidang

kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. Salah satu

sasaran phbs adalah Rumah Tangga. Rumah Tangga ber-phbs berarti mampu

menjaga, meningkatkan dan melindungi kesehatan setiap anggota rumah tangga dari

gangguan ancaman penyakit yang kurang kondusif untuk hidup sehat. Oleh karena

itu menggerakkan dan memberdayakan keluarga untuk hidup bersih dan sehat

menjadi sebuah tanggung jawab bagi pemerintah dan jajaran sektor terkait.[47]

PHBS di kota Padang masih rendah karena belum mampu mencapai

standar yang sudah ditetapkan Dinkes Kota Padang. Beberapa indikator dalam PHBS

mempengaruhi terjadinya TB Paru, diantaranya yakni air bersih, mengonsumsi buah

dan sayur serta tidak merokok di dalam rumah. Perilaku masyarakat yang masih

banyak tidak menggunakan air bersih akan menyebabkan timbulnya penyakit.

Adanya penyakit akan menurunkan imunitas tubuh sehingga penyait lain juga akan

mudah menyerang, salah satunya adalah TB Paru. Begitupun untuk konsumsi buah
71

dan sayur yang merupakan indikator dalam phbs untuk meningkatkan status gizi di

rumah tangga. Dengan terpenuhinya satus gizi maka akan meningkatkan kekebalan

tubuh yang kemudian bisa menurunkan resiko terserang penyakit TB Paru. Tidak

merokok di dalam rumah merupakan indikator yang paling penting dalam

mengurangi risiko terinfeksi TB Paru.

Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan respon terhadap antigen

sehingga jika ada benda asing masuk ke paru tidak lekas dikenali dan dilawan.

Secara biokimia asap rokok juga meningkatkan sintesa elastase dan menurunkan

produksi anti protease sehingga merugikan tubuh manusia. Mereka yang merokok 3

sampai 4 kali lebih positif tesnya, artinya 3 sampai 4 kali lebih sering terinfeksi TB

Paru daripada yang tidak merokok.[66]

5.4.5 Hubungan Rasio Sarana Pelayanan Kesehatan dengan Prevalensi TB Paru


Sarana pelayana kesehatan di masyarakat terdiri atas Rumah sakit,

Puskesmas dan Pustu. Hasil analisis korelasi mengenai hubungan rasio sarana yankes

dengan prevalensi TB Paru memiliki kekuatan lemah (r = -0,061) dengan arah

negatif, artinya semakin tinggi rasio sarana yankes maka prevalensi TB Paru akan

semakin menurun. Begitupun sebaliknya, jika rasio sarana yankes menurun maka

prevalensi TB Paru akan semakin meningkat. Analisis lebih lanjut mengenai

hubungan rasio sarana pelayanan kesehatan terhadap prevalensi TB Paru

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara rasio sarana pelayanan

kesehatan dengan prevalensi TB Paru. Hasil ini sejalan dengan penelitian Herri di

Malang yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan sarana pelayanan

kesehatan dengan kejadian TB Paru (p value= 0,11).[71]


72

Ketersediaan sarana pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor

pendukung dalam usaha penanggulangan TB Paru. Selain dari segi jumlah, faktor

lain seperti akses menuju ke sarana pelayanan kesehatan dan pengetahuan

masyarakat tentang keberadaan sarana pelayanan kesehatan juga dapat berpengaruh

terhadap prevalensi TB Paru. Seperti di daerah pedesaan yang kejadian TB nya tinggi

karena faktor jarak menuju sarana pelayanan kesehatan, juga karena pengetahuannya

yang masih kurang untuk pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan. Belum lagi

ditambah dengan masalah ekonomi sehingga lebih memilih tidak berobat ke sarana

pelayanan kesehatan dan lebih memilih cara tradisional. Di Kota Padang untuk

sarana pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah Sakit memang sudah

tersedia dengan baik, mungkin hanya penyebarannya saja yang belum merata. Tapi

hal tersebut untungnya tidak berpengaruh karena jarak yang ditempuh untuk menuju

sarana yankes tidak terlalu jauh. Oleh karena itu dalam penelitian ini rasio puskesmas

dan rasio rumah sakit tidak memiliki hubungan dengan prevalensi TB Paru.
73

BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Prevalensi TB Paru per kecamatan di Kota Padang menunjukkan angka

yang bervariasi selama tahun 2016.

2. Terdapat variasi untuk semua variabel sosiodemografi dan lingkungan

prevalensi TB Paru. Namun untuk variabel persentase jenis kelamin tidak

terlalu menunjukkan variasi per kecamatannya.

3. Persentase jenis kelamin per kecamatan tidak berhubungan dengan

kejadian TB Paru di Kota Padang tahun 2016.

4. Angka kepadatan penduduk per kecamatan tidak berhubungan dengan

kejadian TB Paru di Kota Padang tahun 2016.

5. Persentase rumah sehat per kecamatan berhubungan dengan prevalensi

TB Paru di Kota Padang tahun 2016.

6. Persentase rumah tangga ber-PHBS per kecamatan berhubungan

prevalensi TB Paru di Kota Padang tahun 2016.


74

7. Rasio sarana pelayanan kesehatan per kecamatan berhubungan dengan

kejadian TB Paru di Kota Padang tahun 2016.

6.2 Saran
1. Diharapkan Dinas Kesehatan Kota Padang dapat melakukan kerjasama

lintas sektor dengan BPS Kota Padang dan Dinas Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat (PUPR) terkait pemerataan rumah sehat dan rumah

tangga ber-phbs sebagai salah satu upaya untuk mengurangi resiko

terjadinya Tuberkulosis.

2. Diharapkan kepada Puskesmas yang ada di Kota Padang untuk

meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit

Tuberkulosis, dengan melakukan upaya pendekatan kepada rumah tangga

agar dapat meningkatkan pengetahuan serta pemahaman akan pentingnya

rumah yang sehat dan didalamnya dilakukan perilaku hidup bersih dan

sehat (PHBS).

3. Diharapkan agar Dinkes bersama dengan Puskesmas dapat memberikan

penyuluhan untuk mengurangi meningkatnya TB Paru di Kota Padang,

terutama kepada masyarakat di kecamatan dengan prevalensi TB Paru

tinggi dan kondisi lingkungan yang beresiko. Dinas Kesehatan juga

dapat menyebarkan media informasi seperti leaflet, poster dll, agar

semua lapisan masyarakat dapat tersentuh dengan informasi tetang TB

Paru.
75

DAFTAR PUSTAKA

1. P2pl, Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis Di Indonesia 2010-2014.


2011, Jakarta: Direktoral Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan.
2. Widoyono, Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan
Pemberantasannya. 2008, Jakarta: Erlangga.
3. Rafiglione, Tuberculosis Prevention,Care And Control 2010-2015 Farming
Global And Who Strategic Priorities. 2009, Who: Geneva.
4. Who, Global Tuberculosis Report. 2015.
5. RI, D.K., Riset Kesehatan Nasional Republik Indonesia. 2013, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
6. Barat, D.K.S., Data Tb Paru Sumatera Barat. 2014 - 2016, Dinas Kesehatan
Provinsi Sumbar: Padang.
7. Padang, D.K.K., Profil Kesehatan Kota Padang. 2014, Dinas Kesehatan Kota
Padang Padang.
8. Padang, D.K.K., Profil Kesehatan Kota Padang. 2016, Dinas Kesehatan Kota
Padang: Padang.
76

9. Rukmini, Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Tb Paru


Dewasa Di Indonesia (Analisis Data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010).
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 2011. 14.
10. Dotulong, J.F.J., M.R. Sapulete, And G.D. Kandou, Hubungan Faktor
Risiko Umur, Jenis Kelamin Dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian
Penyakit Tb Paru Di Desa Wori Kecamatan Wori. Jurnal Kedoteran
Komunitas Dan Tropik, 2015.
11. Sylva, L., Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Insiden Penyakit
Tuberkulosis Paru: Studi Di Provinsi Lampung (Effect Of Land Use Toward
Pulmunary Tuberkulosis Incidence:Study In Lampung Province). Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung, 2017. 5.
12. Chandra Wibowo, M.C.W., H Mewengkang, , Kasus Kontak Tuberkulosis
Paru Di Klinik Paru Rumah Sakit Umum Pusat Manado,. Majalah
Kedokteranindonesia 2004.
13. T.Y, A., Tuberkulosis, Rokok, Dan Perempuan. 2006, Jakarta: Balai Penerbit
Fkui.
14. Woro D., Peningkatan Determinan Sosial Dalam Menurunkan Kejadian
Tuberkulosis Paru Di Kota Bandar Lampung, U. Lampung, Editor. 2012,
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Universitas
Lampung: Lampung.
15. Yuherry I., Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan
Dengan Penyakit Tb Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ujung Gading
Kecamatan Lembah Melintang Kabupaten Pasaman. 2012, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Amdalas: Padang.
16. Lemos Ac, M.E., Pedral-Sampaio Db, Netto And Em., Risk Of Tuberculosis
Among Household Contacts In Salvador, Bahia. Bjid, 2004.
17. Aryana Diani, D.B.S., Waldi Nurhamzah, Proporsi Infeksi Tuberkulosis Dan
Gambaran Faktor Risiko Pada Balita Yang Tinggal Dalam Satu Rumah
Dengan Pasien Tuberkulosis Paru Dewasa. 2011, Jakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak, Rs Dr. Cipto Mangunkusumo, Fkui.
18. Ketut Hari Mulyawan, S.K., Mph And M. Dr Ketut Suarjana, Analisis Spasial
Keberadaan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (Fktp) Di Denpasar,
77

Badung Dan Tabanan 2015, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
19. Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif Dan Kualitatif. 2009,
Jakarta: Pt Raja Grafindo Pergoda.
20. Abidin And M. Zainal, Penelitian Korelasional. 2010.
21. Izzati1, S., Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Andalastahun 2013, 2015.
22. Siswanto, I.P., Hubungan Pengetahuan Dan Dukungan Keluarga Dengan
Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis Di Puskesmas Andalas Kota
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 2015.
23. Indonesia, D.K.R., Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 2 Ed.
2008, Jakarta: Depkes Ri.
24. Who, Global Tuberculosis 2014. 2014: Switzerland.
25. Indonesia, D.K.R., Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 2002:
Jakarta.
26. Soeharsono, Zoonesis Penyakit Menular Dari Hewan Ke Manusia. Vol. 2.
2005, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
27. Chandra And D. Budiman, Pengantar Prinsip Dan Metode Epidemiologi.
1996, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran Egc.
28. Girsang, M., Karakteristik Demografis Dan Hubungannya Dengan Penyakit
Tuberkulosis Di Provinsi Jawa Tengah (Analisis Lanjut Riskesdas 2007).
2010.
29. Lamria Pangaribuan , D.B.L., Faktor Determinan Terjadinya
Tuberkulosis Di Indonesia, 2007 Jurnal Ekologi Kesehatan 2010. 9.
30. O, W., Tuberkulosis Dan Faktor-Faktor Yang Berkaitan Jurnal Epidemiologi
Indonesia, 2005. 1.
31. P, A., Psikologi Kerja. 2009, Jakarta: Rineka Cipta.
32. Who, Report On The Tuberculosis Epidemic. 2006: Geneva.
33. Achmadi And U. Fahmi, Manjemen Penyakit Berbasis Wilayah. 2005,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
34. J.F, M., Kesehatan Masyarakat Suatu Pengantar 2007, Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran Egc.
78

35. F, C., Analisi Spasial Penyakit Tb Paru Bta Positif Di Kabupaten Sukabumi
Jawa Barat Tahun 2002-2004, U. Indonesia, Editor. 2007, Departemen
Kesehatan Lingkungan Ui: Depok.
36. Fitriani, E., Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru. Unnes Journal Of Public Health, 2013. 2.
37. Prabu, Faktor Risiko Tbc. 2008.
38. Fahreza, E.U., Hubungan Antara Kualitas Fisik Rumah Dan Kejadian
Tuberkulosis Paru Dengan Basil Tahan Asam Positif Di Balai Kesehatan
Paru Masyarakat Semarang. 2013.
39. Who, Global Tuberculosis Report. 2003.
40. T, Z., Faktor Yang Mempengaruhi Penurunan Angka Kesembuhan Tb Di
Kabupaten Banjar. Jurnal Buski, 2013. 4: P. 193.
41. Ri, D.K., Riset Kesehatan Nasional Republik Indonesia. 2007, Departemen
Kesehatan Ri.
42. S, N., Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. 2003, Jakarta:
Rineka Cipta.
43. C, J., N. Horne, And F. Miller, Tuberkulosis Klinis. 2002: Widya Medica.
44. K, E., Pusat Kajian Gizi Regional. 2002, Jakarta: Universitas Indonesi.
45. Misnadiarly And Sunarno, Tuberkulosis Paru Dan Analisis Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Tingginya Angka Kejadian Di Indonesia Tahun 2007.
2009.
46. Nikmatul, N., Permasalahan, Kelentingan, Dan Strategi Koping Keluarga.
2011, Institut Pertanian Bogor.
47. Depkes, (Permenkes Ri Nomor 2269 Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup
Bersih Dan Sehat (Phbs),, K.R.T. 2011), Editor. 2011.
48. Nurhajati, N., Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (Phbs) Masyarakat Desa
Samir Dalam Meningkatkan Kesehatan Masyarakat.
49. Mujiati, Y.Y., Ketersediaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional Di
Delapan Kabupaten-Kota Di Indonesiapusat Penelitian Dan Pengembangan
Sumber Daya Dan Pelayanan Kesehatan, Badan Litbangkes, Kemenkes Ri,,
2016. 26.
79

50. Depkes, Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang


Rumah Sakit. Departemen Kesehatan Ri.
51. Bambang, R., Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau
Dari Faktor Lingkungan Dalam Dan Luar Rumah Di Kabupaten Pekalongan,
In Program Pascasarjana Kesehatan Lingkungan 2010, Universitas
Diponegoro Semarang.
52. Bagis And Dkk, The Relationship Between Hiv Incidence Rate,
District/Municipality Health Budget, Healthy House Rate, And Tuberculosis
Prevalence In Indonesia. Journal Of Epidemiology And Public Health, 2016.
1: P. 168-178.
53. T, H., Analisis Spasial, Korelasi Dan Tren Kasus Tb Paru Bta Positif
Menggunakan Web Sistem Informasi Geografis Di Kota Kendari Tahun
2013-2015, F.K.M.U.H. Oleo, Editor.
54. R, E., Hubungan Peran Pengawas Minum Obat (Pmo) Dalam Program
Directly Observed Treatment Shortcourse (Dots) Dengan Hasil Asupan Bta
Pasien Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Tanggul Kabupaten Jember. 2013.
55. J, H.I., Ecological Analysis Of Ethnic Differences In Relation Between
Tuberculosis And Poverty. Bmj, 1999: P. 319.
56. Nn, N., Epidemiologi. 2014, Jakarta: Rineka Cipta.
57. Aulia, P., Analisis Pengelompokkan Dan Pemetaan Kecamatan Berdasarkan
Faktor Penyebab Penyakit Tuberkulosis (Tb) Paru Di Kota Padang U.
Andalas, Editor. 2014, Fakultas Kesehatan Masyarakat: Padang.
58. Tommy, M.J., Analisis Kepadatan Peduduk Indonesia Berdasarkan Sensus
Penduduk Pada Tahun 2000. 2014.
59. Kesehatan, B.P.D.P., Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia Tahun 2013.
2013, Kementerian Kesehatan Ri.
60. Padang, D.K., Rencana Strategis Tahun 2014-2019, D.K.K. Padang, Editor.
2014, Dinas Kesehatan Kota Padang.
61. Nasional, B.S., Standar Nasional Indonesia Sni 03-1733-2004 "Tata Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan Di Perkotaan". 2004, Badan
Standardisasi Nasional
62. Sumantri, A., Metodologi Penelitian Kesehatan. 2011, Jakarta: Kencana.
80

63. Santoso, I., Manajemen Data Untuk Analisis Data Penelitian Kesehatan.
2013, Yogyakarta: Gosyen Publishing.
64. Padang, B.P.S.K., Padang Dalam Angka. 2016, Badan Pusat Statistik Kota
Padang: Jakarta.
65. Kemenkes, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2269/Menkes/Per/Xi/2011 Tentang Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup
Bersih Dan Sehat, D.K. Ri, Editor. 2011.
66. Simbolon, D., Faktor Risiko Tuberculosis Paru Di Kabupaten Rejang Lebong
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 2007. 2.
67. Sumekar, D.W., Hubungan Spasial Kepadatan Penduduk Dan Proporsi
Keluarga Prasejahtera Terhadap Prevalensi Tuberkulosis Paru Di Bandar
Lampung. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
68. Ryana Ayu Setia Kurniasari, Suhartono, And K. Cahyo, Faktor Risiko
Kejadian Tuberkulosis Paru Di Kecamatan Baturetno Kabupaten
Wonogiri. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, , 2012. 11.
69. Depkes, Keputusan Menteri Kesehatan Ri No 829/Menkes/Sk/Vii/1999
Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. 2002.
70. Kurniawan, D.A., Hubungan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (Phbs)
Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Pada Warga Di Kelurahan Jaraksari,
Wonosobo, Jawa Tengah, S.T.I.K. 'Aisyiyah, Editor. 2010: Yogyakarta.
71. Mulyanto, H., Hubungan Lima Indikator Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
Dengan Tuberkulosis Multidrug Resistant Relationship Five Behavioral
Indicators And Healthy Living With Tuberculosis Multidrug-Resistant. Jurnal
Berkala Epidemiologi Kesehatan Masyarakat, 2014.
81

LAMPIRAN
82
83

ABSTRAK

Tujuan
TB masih menjadi penyakit menular utama di dunia dan semakin menjadi perhatian
karena dapat meyerang siapa dan dimana saja. Prevalensi adalah salah satu indikator
penting untuk mengukur permasalahan TB paru. Prevalensi TB paru di Kota Padang
mengalami peningkatan sebesar 0,18 % pada tahun 2016. Banyak faktor yang
dicurigai menjadi penyebab terjadinya peningkatan prevalensi TB Paru ini, yakni
diantaranya faktor sosiodemografi dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran serta mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel
sosiodemografi dan lingkungan terhadap prevalensi TB Paru per kecamatan di Kota
Padang pada btahun 2016.
Metode
Metode penelitian adalah deskriptif analitik dengan desain studi ekologi. Dilakukan
pengumpulan data sekunder di Dinkes Kota Padang. Data dianalisis secara univariat
dan bivariat.
Hasil
Hasil analisis univariat digambarkan dengan tabel serta pemetaan variabel
sosiodemografi dan lingkungan per-kecamatan di Kota Padang. Selanjutnya pada
hasil analisis bivariat diperoleh bahwa persentase rumah sehat dan rumah tangga ber-
phbs memiliki hubungan dengan prevalensi TB Paru (r= -0,854) dan (r=-0,607).
Sedangkan persentase jenis kelamin (r=0,103), angka kepadatan penduduk (r=0,185),
rasio sarana pelayanan kesehatan (r=-0,061) juga tidak memiliki hubungan dengan
prevalensi TB Paru per kecamatan di Kota Padang.
Kesimpulan
Rumah sehat dan rumah tangga ber-phbs memiliki pengaruh terhadap hubungan
faktor sosiodemografi dan lingkungan dengan prevalensi TB Paru. Untuk itu
diharapkan kepada pihak Dinkes, Puskesmas dan instansi kesehatan terkait dapat
meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit TB paru ini. Pendekatan
kepada masyarakat terkhusus keluarga di dalam rumah tangga merupakan salah satu
cara yang tepat untuk mengurangi resiko terjadinya TB paru, terutama untuk
meningkatkan persentase rumah sehat dan rumah tangga ber-PHBS.

Kata Kunci : ekologi, lingkungan, prevalensi, sosiodemografi, TB Paru


84

ABSTRACT

Objective
Pulmonary Tuberculosis (TB) is a disease caused by Mycobacterium tuberculosis.
TB is still a major infectious disease in the world and it is increasingly a concern
because it can attack anyone and anywhere. The important indicator for measuring
pulmonary TB problems is to see prevalence of the cases. The prevalence of
pulmonary tuberculosis in Padang has increased by 0.18% in 2016. Many factors are
suspected to be the cause of the increasing prevalence of pulmonary tuberculosis,
such as sociodemography and environmental factors. This study aims to obtain a
picture and to know the relationship between sociodemographic and environmental
variables on the prevalence of Pulmonary TB each sub-district in Padang City in
2016.
Method
The research method is analytical descriptive with ecological study design.
Secondary data was collected in Padang City Health Office. Data were analyzed by
univariate and bivariate with correlate test and linear regression.
Result
The results of univariate analysis are depicted with tables and mapping of
sociodemographic and environmental variables per sub-district in Padang City. Next
the result of bivariate analysis showed that the percentage of healthy house and
phosphate households was related to the prevalence of pulmonary tuberculosis (r =-
0,854) and (r = -0,607). While the percentage of sex (r=0,103), population density
(r=0,185), ratio of health service (r= -0,061) also have no relation with prevalence
Pulmonary TB per sub-district in Padang City
Conclusion
Healthy homes and phylogenic households have an influence on the association of
sociodemographic and environmental factors with the prevalence of pulmonary
tuberculosis. Therefore, it is hoped that the health office, health center and related
health institutions can improve the prevention and control of pulmonary TB disease.
Approach to community-specific family in the household is one of the appropriate
ways to reduce the risk of pulmonary tuberculosis, especially to increase the
percentage of healthy homes and households with PHBS

Keywords : Ecology, environment, prevalence, sociodemography, Pulmonary TB


85

Pendahuluan
Penyakit Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis.Penyakit ini merupakan penyebab kematian ke dua
setelah HIV.[1]Penyakit TB juga merupakan penyebab kematian nomor 5 setelah
penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napas pada semua kelompok usia dan
nomor 1 dari golongan penyakit infeksi.[2] Berdasarkan data World Health
Organization (WHO) pada tahun 2013 terjadi kenaikan jumlah kasus terinfeksi
kuman TB sebesar 0,6 % pada tahun 2014.[3]
Indonesia berada pada rangking kelima negara dengan beban TB tertinggi di
[1]
dunia. Angka prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 0,4 % dari
jumlah penduduk.[4]Prevalensi TB paru di Sumatera Barat pada tahun 2013 adalah
0,2 %.(5) Pada tahun 2014 prevalensi TB di Sumbar adalah 0,11 % dan pada tahun
2016 prevalensi TB Paru di Sumbar mengalami peningkatan menjadi 0,15%.[5]
Kota Padang menyumbang angka kejadian TB paru yang cukup tinggi di
Provinsi Sumatera Barat. Prevalensi TB Paru di Kota Padang pada tahun 2014 adalah
0,11 %.[6]Sedangkan pada tahun 2016 meningkat menjadi 0,18 %.[7] Angka ini
melebihi angka prevalensi TB Paru di Sumbar (0,15 %).

Tingginya prevalensi TB Paru disebabkan oleh berbagai faktor risiko.


Beberapa faktor risiko terjadinya TB Paru adalah faktor sosioekonomi, demografi,
kesehatan lingkungan dan faktor perilaku.[8]Penelitian yang dilakukan oleh Rukmini
tahun 2007 menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor risiko terjadinya TB Paru,
diantaranya yakni umur, jenis kelamin, status pekerjaan, status gizi, kondisi fisik
rumah.[8] Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Jendra di
Kecamatan Wori yang menyatakan bahwa umur, jenis kelamin, dan kepadatan
hunian merupakan faktor risiko terjadinya TB Paru.[9] Penelitian Sylva Lestari di
Lampung juga menunjukkan bahwa kepadatan penduduk dan PHBS behubungan
dengan terjadinya TB Paru.[10]

Penelitian Chandra Wibowo menemukan bahwa pada laki-laki mendapatkan


TB Paru Pada kasus kontak 0, 36 kali pada perempuan.[11]Pada penelitian Woro juga
menyatakan bahwa kepadatan penduduk memiliki hubungan dengan kejadian TB di
Provinsi Lampung.[12]Penelitian ini sejalan dengan penelitian Deska Adiyang
mengatakan bahwa terdapat hubungan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
dengan kejadian Tuberkulosis Paru (0,002).[13]
Kota Padang merupakan ibukota Provinsi Sumatera Barat. Kota Padang
memiliki jumlah penduduk terbanyak yakni 914.968 jiwa. Kepadatan penduduk di
Kota Padang adalah 11316 orang/km2. Kota Padang terdiri atas 11 kecamatan dan
104 kelurahan. Jumlah seluruh rumah di Kota Padang adalah 176.745 unit,
sedangkan jumlah rumah tangga yang tercatat sebanyak 199.704. Jumlah sarana
pelayanan kesehatan yang terdapat di Kota Padang adalah sebanyak 29 unit rumah
sakit, 22 unit Puskesmas, serta 62 Puskesmas Pembantu (Pustu)..[7]
86

Penelitian tentang TB Paru telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya.


Namun penelitian TB Paru menggunakan ekologi masih sedikit dilakukan terutama
di Kota Padang. Studi ekologi adalah studi epidemiologi dengan populasi sebagai
unit analisis, yang bertujuan mendeskripsikan hubungan korelatif antara penyakit dan
faktor-faktor yang diminati peneliti dapat menentukan ada atau tidaknya hubungan
serta ke arah mana hubungan tersebut (positif/negatif). Sehingga dengan begitu
peneliti dapat langsung mencari keberadaan hubungan dan tingkat hubungan variabel
yang direfleksikan dalam koefisien korelasi.[14, 15]

Penelitian sebelumnya tentang TB Paru sudah banyak dilakukan di Kota


Padang. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Shabrina mengenai risiko terjadinya
TB di wilayah kerja Puskesmas Andalas Kota Padang yang menggunakan desain
case control.[16] Sedangkan penelitian TB Paru dengan desain cross sectional juga
dilakukan oleh Ivan Putra di tempat yang sama.[17] Beberapa penelitian yang sudah
pernah dilakukan di Kota Padang pada umumnya membahas pada tingkat individu,
untuk tingkat populasi masih jarang dilakukan. Penelitian dengan pendekatan ekologi
perlu dilakukan di Kota Padang sebab, dicurigai bahwa keadaan demografis dan
kondisi lingkungan kota Padang beresiko untuk terjadinya TB Paru. Melalui
pendekatan ekologi diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan kebijakan yang
lebih luas. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang diatas dan juga didukung
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya maka peneliti ingin meneliti “Studi
Ekologisosiodemografi dan lingkungan terhadap prevalensi Tuberkulosis Paru di
Kota Padang”

Metode
Penelitian ini menggunakan rancangan studi ekologi. Studi ekologi
digunakan untuk melihat hubungan antara faktor sosiodemografi dan lingkungan
terhadap prevalensi TB Paru di Kota Padang. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh kecamatanyang terdapat di Kota Padang tahun 2016.Penelitian ini
menggunakan uji korelasi dan uji regresi linear sederhana.
Data sekunder tentang jumlah kejadian penyakit TB per kecamatan diukur
dengan telaah dokumen. Hasil laporan dan rekapitulasi data prevalensi TB Paru di
Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2016 digunakan sebagai alat ukur. Data
sekunder tentang faktor sosiodemografi dan lingkungan terhadap prevalensi TB Paru
yang terdiri dari umur, jenis kelamin, kepadatan penduduk, rumah sehat, rumah ber-
PHBS dan sarana kesehatan tahun 2016 diperoleh dari pencatatan data Dinas
Kesehatan (DKK) Kota Padang. Hasil pencatatan dan rekapitulasi data tersebut
dijadikan alat ukur.

Hasil
Berdasarkan gambaran spasial prevalensi TB Paru di Kota Padang pada tahun
2016 diketahui bahwa Kecamatan Nanggalo adalah daerah dengan prevalensi TB
87

Paru tertinggi. Sementara itu, kecamatan Lubuk Kilangan adalah daerah dengan
prevalensi TB terendah.
Berdasarkan distribusikejadianTB Paru di Kota Padangtahun 2016 diketahui
bahwa penderita TB Paru terbanyak adalah laki-laki (50,9 %) dan perempuan (49,1
%), Untuk kelompok umur paling banyak adalah kelompok umur lebih dari 15 tahun
(92%) dan kelompok umur 0-14 tahun hanya sebanyak 2 %.
Faktorsosiodemografi terdiri atas persentase jenis kelamin laki-laki dan angka
kepadatan penduduk. Berdasarkan hasil penelitian, persentase jenis kelamin laki-laki
terendah terdapat di Kecamatan Padang Utara yakni 46,43 %, dan di kecamatan lain
rata-rata persentase jenis kelamin laki-laki adalah 49,9 %. Kecamatan dengan
kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Padang Timur yakni 10210,85
orang/km2, dan Kecamatan Bungus adalah kecamatan dengan angka kepadatan
penduduk terendah yakni 249,65 orang/km2.
Sedangkan faktor lingkungan terdiri atas persentase rumah sehat, persentase
rumah tangga ber-PHBS dan rasio sarana pelayanan kesehatan yang terbagi pula atas
rasio puskesmas dan rasio rumah sakit. Persentase rumah sehat tertinggi adalah di
Kecamatan Padang Barat (95,27 %) dan persentase rumah sehat terendah terdapat di
Kecamatan Nanggalo (84,2 %). Persentase rumah tangga ber-PHBS tertinggi
terdapat di kecamatan Lubuk Kilangan (75,5 %), sedangkan kecamatan Bungus
adalah kecamatan dengan persentase rumah tangga ber-PHBS tersendah. Rasio
sarana pelayanan kesehatan tertinggi adalah pada kecamatan Padang Barat yakni
25,27 dan rasio sarana pelayanan kesehatan terendah terdapat pada kecamatan
Kuranji yakni 7,09
Berdasarkananalisiskorelasiantarahubungan factor sosiodemografi
danlingkunganterhadapprevalensiTB Parutahun 2016 diketahuibahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara persentase jenis kelamin laki-laki dengan prevalensi
TB (p = 0.763), memiliki kekuatan lemah (r = 0.103) dengan arah positif.Tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara angka kepadatan penduduk dengan
prevalensi TB Paru (p = 0.587), memiliki kekuatan lemah (r = 0.185). Terdapat
hubungan yang bermakna antara persentase rumah sehat dengan prevalensi TB Paru
(p = 0.036), memiliki kekuatan kuat (r = -0,635) dengan arah negatif. Terdapat
hubungan yang bermakna antara persentase rumah tangga ber-PHBS dengan
prevalensi TB Paru (p = 0.048), memiliki kekuatan kuat (r = -0,607) dengan arah
negatif. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara rasio sarana pelayanan
kesehatan dengan prevalensi TB Paru (p= -0,859).

Pembahasan
Persentase jenis kelamin laki-laki. Penelitian ini sejalan Demsa yang menyatakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian Tuberkulosis (p
value = 0,115).[18] Penelitian yang dilakukan oleh Merryani Girsangjuga menyatakan
tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian Tuberkulosis (p value =
0,201).[19]
88

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB Paru. Di dunia TB
Paru banyak menyerang laki-laki. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan
merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB Paru. [20]
Menurut asumsi peneliti, tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara
persentase jenis kelamin laki-laki dengan prevalensi TB Paru terjadi karenalaki-laki
umumnya bekerja di luar rumah demi memenuhi kebtuhan keluarganya, sedangkan
kebanyakan perempuan menetap di rumah sebagai ibu rumah tangga. Dengan begitu
perempuan lebih banyak mengahabiskan waktu di rumah dan itu menyebabkan
resikonya untuk tertular TB lebih besar. Di dalam rumah terjadi kontak dengan
penderita TB Paru secara langsung dan sering. Hal ini lah yng menyebabkan resiko
perempuan menderita TB Paru lebih besar dibandingkan laki.laki. Selain itu juga
karena eratnya hubungan lama kontak yang sangat berperan karena semakin lama
kontak maka semakin beresiko untuk tertular kuman TB.
Angka kepadatan penduduk.Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh penelitian Dyah yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
antara kepadatan penduduk dengan prevalensi TB Paru (p value = 0,97).[21]
Pada dasarnya, kepadatan penduduk mempunyai pengaruh terhadap terjadinya TB
Paru. orang yang rentan akan terpapar dengan penderita TB paru menular lebih
tinggi pada wilayah yang padat penduduknya. Semikin besar komunitas, semakin
besar rentang masalah-masalah kesehatan dan semakin besar jumlah sumber daya
kesehatan. Dan sumber daya tersebut kerap dibutuhkan karena penyakit menular
dapat menyebar dengan lebih cepat dan masalah lingkungan kerap lebih parah pada
wilayah yang berpenduduk padat.[22]
Menurut asumsi peneliti tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara angka
kepadatan penduduk dengan prevalensi TB Paru disebabkan karena pada kepadatan
penduduk tidak selalu terjadi kontak langsung apalagi sering. Kepadatan hunian di
rumah lah yang lebih beresiko karena di rumah terjadi kontak secara langsung dan
sering. Penularan TB Paru akan mudah terjadi bahkan dari orang tua ke anaknya atau
dari satu anggota keluarga ke anggota keluarga lainnya. Semakin meningkat waktu
berhubungan dengan penderita kemungkinan terinfeksi oleh kontak semakin besar.
Tingkat eratnya hubungan lama kontak sangat berperan karena semakin lama kontak
maka semakin beresiko untuk tertular kuman TB. Keeratan kontak dilihat dari
adanya kontak serumah dan kontak di luar rumah. Dari hasil penelitian ditemukan
perbedaan risiko yang bermakna antara kontak serumah dengan kontak di luar
rumah.
Persentase rumah sehat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh penelitian Demsa Simbolonyang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
kepadatan hunian kamar dengan kejadian TB Paru (p = 0,005),[18] serta terdapat
hubungan pula antara luas ventilasi dengan kejadian TB Paru (p=0,008). Dalam
penelitian Ryana Ayujuga menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pencahayaan
89

dengan kejadian Tuberkulosis (p=0,025), serta terdapat hubungan antara luas


ventilasi dengan kejadian Tuberkulosis (p=0,005).[23]
Secara teori dari beberapa indikator tersebut salah satu persyaratan rumah sehat yang
penting adalah kepadatan hunian. Kepadatan penghuni rumah dapat mempengaruhi
kesehatan, karena jika suatu rumah yang penghuninya padat dapat
memungkinkan terjadinya penularan penyakit dari satu manusia kemanusia
lainnya. Kepadatan penghuni didalam ruangan yang berlebihan akan berpengaruh,
hal ini dapat berpengaruh terhadap perkembangan bibit penyakit dalam ruangan.
Kepadatan penguhuni dalam rumah merupakan salah satu faktor yang dapat
meningkatkan kejadian TB Paru dan penyakit-penyakit lainnya yang dapat
menular.[9]
Ventilasi dan pencahayaan di dalam rumah juga menjadi faktor yang berhubungan
dengan terjadinya TB Paru. Ventilasi kamar yang memenuhi syarat memungkinkan
adanya pergantian udara dalam kamar,sehingga dapat mengurangi kemungkinan
penularan pada orang lain seiring dengan menurunnya konsentrasi kuman. Kamar
dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat menyebabkan kuman selalu dalam
konsentrasi tinggi sehingga memperbesar kemungkinan penularan kepada orang lain.
Ventilasi rumah yang tidak cukup menyebabkan aliran udara tidak terjaga sehingga
kelembaban udara di dalam ruangan naik dan kondisi ini menjadi media yang baik
bagi perkembangan pathogen. Masuknya cahaya matahari ke dalam rumah
diharapkan dapat membunuh kuman TB yang dikeluarkan oleh penderita pada saat
batuk, sehingga jumlah kuman dalam rumah dapat dikurangi dan penularan juga
berkurang.
Persentase rumah tangga ber-PHBS. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Deska Adiyang mengatakan bahwa terdapat hubungan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) dengan kejadian Tuberkulosis Paru (0,002).[13]
Secara teori, beberapa indikator dalam PHBS mempengaruhi terjadinya TB Paru,
diantaranya yakni air bersih, mengonsumsi buah dan sayur serta tidak merokok di
dalam rumah. Perilaku masyarakat yang masih banyak tidak menggunakan air bersih
akan menyebabkan timbulnya penyakit. Adanya penyakit akan menurunkan imunitas
tubuh sehingga penyait lain juga akan mudah menyerang, salah satunya adalah TB
Paru. Begitupun untuk konsumsi buah dan sayur yang merupakan indikator dalam
phbs untuk meningkatkan status gizi di rumah tangga. Dengan terpenuhinya satus
gizi maka akan meningkatkan kekebalan tubuh yang kemudian bisa menurunkan
resiko terserang penyakit TB Paru. Tidak merokok di dalam rumah merupakan
indikator yang paling penting dalam mengurangi risiko terinfeksi TB Paru. Mereka
yang merokok 3 sampai 4 kali lebih positif tesnya, artinya 3 sampai 4 kali lebih
sering terinfeksi TB Paru daripada yang tidak merokok.[18]
Rasio sarana pelayanan kesehatan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Herri di Malang yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
sarana pelayanan kesehatan dengan kejadian TB Paru (p value= 0,11).[24]
90

Ketersediaan sarana pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam
penanggulangan TB Paru. Namun menurut asumsi peneliti tidk terdapatnya
hubungan antara rasio sarana yankes dengan prevalensi TB Paru disebabkan karena
selain dari segi jumlah, faktor lain seperti akses menuju ke sarana pelayanan
kesehatan dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaan sarana pelayanan
kesehatan juga dapat berpengaruh terhadap prevalensi TB Paru. Seperti di daerah
pedesaan yang kejadian TB nya tinggi karena faktor jarak menuju sarana pelayanan
kesehatan, juga karena pengetahuannya yang masih kurang untuk pemanfaatan
sarana pelayanan kesehatan. Belum lagi ditambah dengan masalah ekonomi sehingga
lebih memilih tidak berobat ke sarana pelayanan kesehatan dan lebih memilih cara
tradisional. Di Kota Padang untuk sarana pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan
Rumah Sakit memang sudah tersedia dengan baik, mungkin hanya penyebarannya
saja yang belum merata. Tapi hal tersebut untungnya tidak berpengaruh karena jarak
yang ditempuh untuk menuju sarana yankes tidak terlalu jauh. Oleh karena itu dalam
penelitian ini rasio puskesmas dan rasio rumah sakit tidak memiliki hubungan
dengan prevalensi TB Paru.

Kesimpulan
Berdasarkan gambaran spasial diketahui Kecamatan Nanggalo merupakan
daerah dengan prevalensiTB Paru tertinggi pada tahun 2016.Variabelpersentase jenis
kelamin laki-laki, angka kepadatan penduduk dan rasio sarana pelayanan
kesehatantidakmemilikihubunganterhadapprevalensi TB Paru di Kota Padang.
Sedangkan persentase rumah sehat dan rumah tangga ber-phbs memiliki hubungan
kekuatan kuat dengan arah negatifterhadap prevaensi TB Paru.

Penghargaan / Pengakuan
Studi ini merupakan bagian dari skripsi, ucapan terima kasih disampaikan
kepada Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, kepada dosen
pembimbing atas bimbingannya, kepada seluruh dosen dan staf akademik Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, dan kepada pihak DinasKesehatan Kota
Padangyang turut berpartisipasi dan membantu dalam penelitian ini.
91

DAFTAR PUSTAKA

1. P2PL, Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis Di Indonesia 2010-2014.


2011, Jakarta: Direktoral Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan.
2. Widoyono, Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan
Pemberantasannya. 2008, Jakarta: Erlangga.
3. Rafiglione, Tuberculosis Prevention,Care And Control 2010-2015 Farming
Global And WHO Strategic Priorities. 2009, WHO: Geneva.
4. RI, D.K., Riset Kesehatan Nasional Republik Indonesia. 2013, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
5. Barat, D.K.S., Data TB Paru Sumatera Barat. 2014 - 2016, Dinas Kesehatan
Provinsi Sumbar: Padang.
6. Padang, D.K.K., Profil Kesehatan Kota Padang. 2014, Dinas Kesehatan Kota
Padang Padang.
7. Padang, D.K.K., Profil Kesehatan Kota Padang. 2016, Dinas Kesehatan Kota
Padang: Padang.
8. Rukmini, Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Tb Paru
Dewasa Di Indonesia (Analisis Data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010).
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 2011. 14.
9. Dotulong, J.F.J., M.R. Sapulete, And G.D. Kandou, Hubungan Faktor
Risiko Umur, Jenis Kelamin Dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian
Penyakit Tb Paru Di Desa Wori Kecamatan Wori. Jurnal Kedoteran
Komunitas Dan Tropik, 2015.
10. Sylva, L., Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Insiden Penyakit
Tuberkulosis Paru: Studi Di Provinsi Lampung(Effect Of Land Use Toward
Pulmunary Tuberkulosis Incidence:Study In Lampung Province).Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung, 2017. 5.
11. Chandra Wibowo, M.C.W., H Mewengkang, , Kasus Kontak
TuberkulosisParu Di Klinik Paru Rumah Sakit Umum Pusat Manado,.
Majalah KedokteranIndonesia 2004.
92

12. Woro, D, Peningkatan Determinan Sosial Dalam Menurunkan Kejadian


Tuberkulosis Paru Di Kota Bandar Lampung, U. Lampung, Editor. 2012,
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Universitas
Lampung: Lampung.
13. Kurniawan, D.A., Hubungan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (Phbs)
Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Pada Warga Di Kelurahan Jaraksari,
Wonosobo, Jawa Tengah, S.T.I.K. 'Aisyiyah, Editor. 2010: Yogyakarta.
14. Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif Dan Kualitatif. 2009,
Jakarta: PT Raja Grafindo Pergoda.
15. Abidin And M. Zainal, Penelitian Korelasional. 2010.
16. Izzati, S., Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan KejadianTuberkulosis
Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas AndalasTahun 2013, 2015.
17. Siswanto, I.P., Hubungan Pengetahuan Dan Dukungan Keluarga Dengan
Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis Di Puskesmas Andalas Kota
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 2015.
18. Simbolon, D., Faktor Risiko Tuberculosis Paru Di KabupatenRejang Lebong
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 2007. 2.
19. Girsang, M., Karakteristik Demografis Dan Hubungannya Dengan Penyakit
Tuberkulosis Di Provinsi Jawa Tengah (Analisis Lanjut Riskesdas 2007).
2010.
20. Bambang, R., Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau
Dari Faktor Lingkungan Dalam Dan Luar Rumah Di Kabupaten Pekalongan,
In Program Pascasarjana Kesehatan Lingkungan2010, Universitas
Diponegoro Semarang.
21. Sumekar, D.W., Hubungan Spasial Kepadatan Penduduk Dan Proporsi
Keluarga Prasejahtera Terhadap Prevalensi Tuberkulosis Paru Di Bandar
Lampung. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
22. J.F, M., Kesehatan Masyarakat Suatu Pengantar 2007, Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
23. Ryana Ayu Setia Kurniasari, Suhartono, And K. Cahyo, Faktor Risiko
Kejadian Tuberkulosis Paru Di Kecamatan Baturetno Kabupaten
Wonogiri. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, , 2012. 11.
24. Mulyanto, H., Hubungan Lima Indikator Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
Dengan Tuberkulosis Multidrug ResistantRelationship Five Behavioral
Indicators And Healthy Living With Tuberculosis Multidrug-Resistant.Jurnal
Berkala Epidemiologi Kesehatan Masyarakat, 2014.
93

Gambar1. PetaPrevalensi TB Paru di Kota PadangTahun 2016


Tabel 1HubunganUnsurIklimdenganKejadian DBD di Kota Pariaman

Variabel r p value
Persentase jenis kelamin laki-laki 0,103 0,763
Angka kepadatan penduduk 0,185 0,587
Persentase rumah sehat -0,635 0,036
Persentase rumah tangga ber-phbs -0,607 0,048
Rasio sarana pelayanan kesehatan -0,061 0,859
94

JURNAL PENELITIAN
KESEHATAN MASYARAKAT

STUDI EKOLOGI SOSIODEMOGRAFI DAN LINGKUNGAN TERHADAP


PREVALENSI TUBERKULOSIS (TB) PARU DI KOTA PADANG TAHUN 2016

Penulis : Tari Amanda R (1311210213)


Pembimbing I : Ade Suzana Eka Putri, SKM, M.Comm Health,
Ph.D
Pembimbing II : Dr. Masrizal, Dt. Mangguang, SKM, M.Biomed

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2017
95

STUDI EKOLOGI SOSIODEMOGRAFI DAN LINGKUNGAN TERHADAP


PREVALENSI TUBERKULOSIS (TB) PARU DI KOTA PADANG TAHUN 2016
Tari Amanda R*, Ade Suzana Eka Putri**, Masrizal Dt. Mangguang**

ABSTRAK

TB masih menjadi penyakit menular utama di dunia dan semakin menjadi perhatian karena
dapat meyerang siapa dan dimana saja. Prevalensi TB paru di Kota Padang mengalami peningkatan
sebesar 0,18 % pada tahun 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran serta
mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel sosiodemografi dan lingkungan terhadap
prevalensi TB Paru per kecamatan di Kota Padang pada tahun 2016.
Metode penelitian adalah deskriptif analitik dengan desain studi ekologi. Dilakukan
pengumpulan data sekunder di Dinkes Kota Padang. Data dianalisis secara univariat dan bivariate
menggunakan uji korelasi dan regresi linear.
Hasil analisis bivariat diperoleh bahwa persentase rumah sehat dan rumah tangga ber-phbs
memiliki hubungan dengan prevalensi TB Paru (r= -0,854) dan (r=-0,607). Sedangkan persentase jenis
kelamin (r=0,103), angka kepadatan penduduk (r=0,185), rasio sarana pelayanan kesehatan (r= -
0,061) juga tidak memiliki hubungan dengan prevalensi TB Paru per kecamatan di Kota Padang.
Rumah sehat dan rumah tangga ber-phbs memiliki pengaruh terhadap hubungan faktor
sosiodemografi dan lingkungan dengan prevalensi TB Paru. Untuk itu diharapkan kepada pihak
Dinkes, Puskesmas dan instansi kesehatan terkait dapat meningkatkan upaya pencegahan dan
pengendalian penyakit TB paru ini. Pendekatan kepada masyarakat terkhusus keluarga di dalam
rumah tangga merupakan salah satu cara yang tepat untuk mengurangi resiko terjadinya TB paru,
terutama untuk meningkatkan persentase rumah sehat dan rumah tangga ber-PHBS.

Daftar Pustaka : 71 (1999 – 2017)


Kata Kunci : ekologi, lingkungan, prevalensi, sosiodemografi, TB Paru

ABSTRACT

Pulmonary Tuberculosis (TB) is a disease caused by Mycobacterium tuberculosis. TB is still


a major infectious disease in the world and it is increasingly a concern because it can attack anyone
and anywhere. The prevalence of pulmonary tuberculosis in Padang has increased by 0.18% in 2016.
This study aims to obtain a picture and to know the relationship between sociodemographic and
environmental variables on the prevalence of Pulmonary TB each sub-district in Padang City in 2016.
The research method is analytical descriptive with ecological study design. Secondary data
was collected in Padang City Health Office. Data were analyzed by univariate and bivariate with
correlate test and linear regression.
The result of bivariate analysis showed that the percentage of healthy house and phosphate
households was related to the prevalence of pulmonary tuberculosis (r =-0,854) and (r = -0,607).
While the percentage of sex (r=0,103), population density (r=0,185), health services ratio (r=-0,061)
also have no relation with prevalence Pulmonary TB per sub-district in Padang City.
Healthy homes and phylogenic households have an influence on the association of
sociodemographic and environmental factors with the prevalence of pulmonary tuberculosis.
Therefore, it is hoped that the health office, health center and related health institutions can improve
the prevention and control of pulmonary TB disease. Approach to community-specific family in the
household is one of the appropriate ways to reduce the risk of pulmonary tuberculosis, especially to
increase the percentage of healthy homes and households with PHBS

References :71 (1999-2017)


Keywords :Ecology, environment, prevalence, sociodemography, Pulmonary TB

*Alumni FKM UNAND


96

** Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas

Pendahuluan Kota Padang menyumbang


Penyakit Tuberkulosis Paru angka kejadian TB paru yang cukup
adalah penyakit menular yang tinggi di Provinsi Sumatera Barat.
disebabkan oleh Mycobacterium Prevalensi TB Paru di Kota Padang
tuberculosis. Penyakit ini merupakan pada tahun 2014 adalah 0,11
penyebab kematian ke dua setelah %.[6]Sedangkan pada tahun 2016
HIV.[1] Penyakit TB juga merupakan meningkat menjadi 0,18 %.[7] Angka
penyebab kematian nomor 5 setelah ini melebihi angka prevalensi TB Paru
penyakit kardiovaskular dan penyakit di Sumbar (0,15 %).
saluran napas pada semua kelompok Tingginya prevalensi TB
usia dan nomor 1 dari golongan Paru disebabkan oleh berbagai faktor
penyakit infeksi.[2] Berdasarkan data risiko. Beberapa faktor risiko
World Health Organization (WHO) terjadinya TB Paru adalah faktor
pada tahun 2013 terjadi kenaikan sosioekonomi, demografi, kesehatan
jumlah kasus terinfeksi kuman TB lingkungan dan faktor
sebesar 0,6 % pada tahun 2014.[3] perilaku.[8]Penelitian yang dilakukan
Indonesia berada pada oleh Rukmini tahun 2007 menyatakan
rangking kelima negara dengan beban bahwa terdapat beberapa faktor risiko
TB tertinggi di dunia.[1]Angka terjadinya TB Paru, diantaranya yakni
prevalensi TB di Indonesia pada tahun umur, jenis kelamin, status pekerjaan,
2013 sebesar 0,4 % dari jumlah status gizi, kondisi fisik rumah.[8] Hal
penduduk.[4]Prevalensi TB paru di tersebut didukung oleh penelitian yang
Sumatera Barat pada tahun 2013 dilakukan oleh Jendra di Kecamatan
adalah 0,2 %.(5) Pada tahun 2014 Wori yang menyatakan bahwa umur,
prevalensi TB di Sumbar adalah 0,11 jenis kelamin, dan kepadatan hunian
% dan pada tahun 2016 prevalensi TB merupakan faktor risiko terjadinya TB
Paru di Sumbar mengalami Paru.[9] Penelitian Sylva Lestari di
peningkatan menjadi 0,15%.[5] Lampung juga menunjukkan bahwa
kepadatan penduduk dan PHBS
97

behubungan dengan terjadinya TB Penelitian tentang TB Paru


Paru.[10] telah banyak dilakukan oleh peneliti
Penelitian Chandra sebelumnya. Namun penelitian TB
Wibowo menemukan bahwa pada Paru menggunakan ekologi masih
laki-laki mendapatkan TB Paru Pada sedikit dilakukan terutama di Kota
kasus kontak 0, 36 kali pada Padang. Studi ekologi adalah studi
perempuan.[11]Pada penelitian Woro epidemiologi dengan populasi sebagai
juga menyatakan bahwa kepadatan unit analisis, yang bertujuan
penduduk memiliki hubungan dengan mendeskripsikan hubungan korelatif
kejadian TB di Provinsi antara penyakit dan faktor-faktor yang
Lampung.[12]Penelitian ini sejalan diminati peneliti dapat menentukan
dengan penelitian Deska Adiyang ada atau tidaknya hubungan serta ke
mengatakan bahwa terdapat hubungan arah mana hubungan tersebut
perilaku hidup bersih dan sehat (positif/negatif). Sehingga dengan
(PHBS) dengan kejadian Tuberkulosis begitu peneliti dapat langsung mencari
Paru (0,002).[13] keberadaan hubungan dan tingkat
Kota Padang merupakan hubungan variabel yang direfleksikan
ibukota Provinsi Sumatera Barat. Kota dalam koefisien korelasi.[14, 15]
Padang memiliki jumlah penduduk Penelitian sebelumnya
terbanyak yakni 914.968 jiwa. tentang TB Paru sudah banyak
Kepadatan penduduk di Kota Padang dilakukan di Kota Padang. Seperti
adalah 11316 orang/km2. Kota penelitian yang dilakukan oleh
Padang terdiri atas 11 kecamatan dan Shabrina mengenai risiko terjadinya
104 kelurahan. Jumlah seluruh rumah TB di wilayah kerja Puskesmas
di Kota Padang adalah 176.745 unit, Andalas Kota Padang yang
sedangkan jumlah rumah tangga yang menggunakan desain case control.[16]
tercatat sebanyak 199.704. Jumlah Sedangkan penelitian TB Paru dengan
sarana pelayanan kesehatan yang desain cross sectional juga dilakukan
terdapat di Kota Padang adalah oleh Ivan Putra di tempat yang
sebanyak 29 unit rumah sakit, 22 unit sama.[17] Beberapa penelitian yang
Puskesmas, serta 62 Puskesmas sudah pernah dilakukan di Kota
Pembantu (Pustu)..[7] Padang pada umumnya membahas
98

pada tingkat individu, untuk tingkat dokumen. Hasil laporan dan


populasi masih jarang dilakukan. rekapitulasi data prevalensi TB Paru di
Penelitian dengan pendekatan ekologi Dinas Kesehatan Kota Padang tahun
perlu dilakukan di Kota Padang sebab, 2016 digunakan sebagai alat ukur.
dicurigai bahwa keadaan demografis Data sekunder tentang faktor
dan kondisi lingkungan kota Padang sosiodemografi dan lingkungan
beresiko untuk terjadinya TB Paru. terhadap prevalensi TB Paru yang
Melalui pendekatan ekologi terdiri dari umur, jenis kelamin,
diharapkan penelitian ini dapat kepadatan penduduk, rumah sehat,
menjadi masukan kebijakan yang lebih rumah ber-PHBS dan sarana kesehatan
luas. Oleh karena itu, berdasarkan tahun 2016 diperoleh dari pencatatan
latar belakang diatas dan juga data Dinas Kesehatan (DKK) Kota
didukung penelitian yang telah Padang. Hasil pencatatan dan
dilakukan sebelumnya maka peneliti rekapitulasi data tersebut dijadikan
ingin meneliti “Studi alat ukur.
Ekologisosiodemografi dan
lingkungan terhadap prevalensi Hasil
Tuberkulosis Paru di Kota Padang” Gambar 1. Prevalensi TB Paru di Kota
Padang tahun 2016
Metode
Penelitian ini menggunakan
rancangan studi ekologi. Studi
ekologi digunakan untuk melihat
hubungan antara faktor
sosiodemografi dan lingkungan
terhadap prevalensi TB Paru di Kota
Padang. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh kecamatan yang
terdapat di Kota Padang tahun 2016.
Data sekunder tentang
jumlah kejadian penyakit TB per
kecamatan diukur dengan telaah
99

Berdasarkan gambaran spasial Untuk kelompok umur paling


prevalensi TB Paru di Kota Padang banyak adalah kelompok umur lebih
pada tahun 2016 diketahui bahwa dari 15 tahun
Kecamatan Nanggalo adalah daerah Faktor sosiodemografi terdiri
dengan prevalensi TB Paru tertinggi. atas persentase jenis kelamin laki-laki
Sementara itu, kecamatan Lubuk dan angka kepadatan penduduk.
Kilangan adalah daerah dengan Berdasarkan hasil penelitian,
prevalensi TB terendah. persentase jenis kelamin laki-laki
Gambar 2. Distribusi Penderita TB terendah terdapat di Kecamatan
Paru Berdasarkan Jenis Kelamin Padang Utara yakni 46,43 %, dan di
kecamatan lain rata-rata persentase
jenis kelamin laki-laki adalah 49,9 %.
Kecamatan dengan kepadatan
penduduk tertinggi adalah Kecamatan
Padang Timur yakni 10210,85
orang/km2, dan Kecamatan Bungus
adalah kecamatan dengan angka

Berdasarkan distribusi kejadian TB kepadatan penduduk terendah yakni

Paru di Kota Padang tahun 2016 249,65 orang/km2.

diketahui bahwa penderita TB Paru Sedangkan faktor lingkungan

terbanyak adalah laki-laki terdiri atas persentase rumah sehat,

Gambar 3. Distribusi Penderita TB persentase rumah tangga ber-PHBS

Paru Berdasarkan Kelompok Umur dan rasio saranapelayanan kesehatan


yang terbagi pula atas rasio puskesmas
dan rasio rumah sakit. Persentase
rumah sehat tertinggi adalah di
Kecamatan Padang Barat (95,27 %)
dan persentase rumah sehat terendah
terdapat di Kecamatan Nanggalo (84,2
%). Persentase rumah tangga ber-
PHBS tertinggi terdapat di kecamatan
Lubuk Kilangan (75,5 %), sedangkan
100

kecamatan Bungus adalah kecamatan pada kecamatan Padang Barat yakni


dengan persentase rumah tangga ber- 25,27 dan rasio sarana pelayanan
PHBS tersendah. Rasio sarana kesehatan terendah terdapat pada
pelayanan kesehatan tertinggi adalah kecamatan Kuranji yakni 7,09.

Tabel 1. Hasil analisis bivariat

Variabel r R2 p value
Persentase jenis kelamin laki-laki 0,103 0,011 0,763
Angka kepadatan penduduk 0,185 0,034 0,587
Persentase rumah sehat -0,635 0,404 0,036
Persentase rumah tangga ber-phbs -0,607 0,368 0,048
Rasio sarana pelayanan kesehatan -0,061 0,004 0,859

Berdasarkan analisis korelasi antara persentase rumah sehat dengan


antara hubungan factor prevalensi TB Paru (p = 0.036),
sosiodemografi dan lingkungan memiliki kekuatan kuat (r = -0,635)
terhadap prevalensi TB Paru tahun dengan arah negatif. Terdapat
2016 diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
hubungan yang bermakna antara persentase rumah tangga ber-PHBS
persentase jenis kelamin laki-laki dengan prevalensi TB Paru (p =
dengan prevalensi TB (p = 0.763), 0.048), memiliki kekuatan kuat (r = -
memiliki kekuatan lemah (r = 0.103) 0,607) dengan arah negatif. Tidak
dengan arah positif. Tidak terdapat terdapat hubungan yang bermakna
hubungan yang bermakna antara antara rasio sarana pelayanan
angka kepadatan penduduk dengan kesehatan dengan prevalensi TB Paru
prevalensi TB Paru (p = 0.587), (p= -0,859).
memiliki kekuatan lemah (r = 0.185). Pembahasan
Terdapat hubungan yang bermakna
101

Persentase jenis kelamin untuk tertular TB lebih besar. Di


laki-laki. Penelitian ini sejalan Demsa dalam rumah terjadi kontak dengan
yang menyatakan bahwa tidak terdapat penderita TB Paru secara langsung
hubungan antara jenis kelamin dengan dan sering. Hal ini lah yng
kejadian Tuberkulosis (p value = menyebabkan resiko perempuan
0,115).[18] Penelitian yang dilakukan menderita TB Paru lebih besar
oleh Merryani Girsangjuga dibandingkan laki.laki. Selain itu juga
menyatakan tidak ada hubungan antara karena eratnya hubungan lama kontak
jenis kelamin dengan kejadian yang sangat berperan karena semakin
Tuberkulosis (p value = 0,201).[19] lama kontak maka semakin beresiko
Jenis kelamin merupakan untuk tertular kuman TB.
salah satu faktor risiko terjadinya TB Angka kepadatan
Paru. Di dunia TB Paru banyak penduduk. Penelitian ini sejalan
menyerang laki-laki. TB paru Iebih dengan penelitian yang dilakukan oleh
banyak terjadi pada laki-laki penelitian Dyah yang menyatakan
dibandingkan dengan wanita karena bahwa tidak terdapat hubungan antara
laki-laki sebagian besar mempunyai kepadatan penduduk dengan
kebiasaan merokok sehingga prevalensi TB Paru (p value =
memudahkan terjangkitnya TB Paru. 0,97).[21]
[20]
Pada dasarnya, kepadatan
Menurut asumsi peneliti, penduduk mempunyai pengaruh
tidak terdapatnya hubungan yang terhadap terjadinya TB Paru. orang
bermakna antara persentase jenis yang rentan akan terpapar dengan
kelamin laki-laki dengan prevalensi penderita TB paru menular lebih
TB Paru terjadi karena laki-laki tinggi pada wilayah yang padat
umumnya bekerja di luar rumah demi penduduknya. Semikin besar
memenuhi kebtuhan keluarganya, komunitas, semakin besar rentang
sedangkan kebanyakan perempuan masalah-masalah kesehatan dan
menetap di rumah sebagai ibu rumah semakin besar jumlah sumber daya
tangga. Dengan begitu perempuan kesehatan. Dan sumber daya tersebut
lebih banyak mengahabiskan waktu di kerap dibutuhkan karena penyakit
rumah dan itu menyebabkan resikonya menular dapat menyebar dengan lebih
102

cepat dan masalah lingkungan kerap Simbolonyang menyatakan bahwa


lebih parah pada wilayah yang terdapat hubungan antara kepadatan
berpenduduk padat.[22] hunian kamar dengan kejadian TB
Menurut asumsi peneliti Paru (p = 0,005),[18] serta terdapat
tidak terdapatnya hubungan yang hubungan pula antara luas ventilasi
bermakna antara angka kepadatan dengan kejadian TB Paru (p=0,008).
penduduk dengan prevalensi TB Paru Dalam penelitian Ryana Ayujuga
disebabkan karena pada kepadatan menyatakan bahwa terdapat hubungan
penduduk tidak selalu terjadi kontak antara pencahayaan dengan kejadian
langsung apalagi sering.Kepadatan Tuberkulosis (p=0,025), serta terdapat
hunian di rumah lah yang lebih hubungan antara luas ventilasi dengan
beresiko karena di rumah terjadi kejadian Tuberkulosis (p=0,005).[23]
kontak secara langsung dan sering. Secara teori dari beberapa
Penularan TB Paru akan mudah terjadi indikator tersebut salah satu
bahkan dari orang tua ke anaknya atau persyaratan rumah sehat yang penting
dari satu anggota keluarga ke anggota adalah kepadatan hunian. Kepadatan
keluarga lainnya. Semakin meningkat penghuni rumah dapat
waktu berhubungan dengan penderita mempengaruhi kesehatan, karena jika
kemungkinan terinfeksi oleh kontak suatu rumah yang penghuninya
semakin besar. Tingkat eratnya padat dapat memungkinkan
hubungan lama kontak sangat terjadinya penularan penyakit dari
berperan karena semakin lama kontak satu manusia kemanusia lainnya.
maka semakin beresiko untuk tertular Kepadatan penghuni didalam ruangan
kuman TB. Keeratan kontak dilihat yang berlebihan akan berpengaruh,
dari adanya kontak serumah dan hal ini dapat berpengaruh terhadap
kontak di luar rumah. Dari hasil perkembangan bibit penyakit dalam
penelitian ditemukan perbedaan risiko ruangan. Kepadatan penguhuni
yang bermakna antara kontak serumah dalam rumah merupakan salah satu
dengan kontak di luar rumah. faktor yang dapat meningkatkan
Persentase rumah sehat. Penelitian kejadian TB Paru dan penyakit-
ini sejalan dengan penelitian yang penyakit lainnya yang dapat
dilakukan oleh penelitian Demsa menular.[9]
103

Ventilasi dan pencahayaan hubungan perilaku hidup bersih dan


di dalam rumah juga menjadi faktor sehat (PHBS) dengan kejadian
yang berhubungan dengan terjadinya Tuberkulosis Paru (0,002).[13]
TB Paru.Ventilasi kamar yang Secara teori, beberapa
memenuhi syarat memungkinkan indikator dalam PHBS mempengaruhi
adanya pergantian udara dalam terjadinya TB Paru, diantaranya yakni
kamar,sehingga dapat mengurangi air bersih, mengonsumsi buah dan
kemungkinan penularan pada orang sayur serta tidak merokok di dalam
lain seiring dengan menurunnya rumah. Perilaku masyarakat yang
konsentrasi kuman. masih banyak tidak menggunakan air
Kamar dengan luas bersih akan menyebabkan timbulnya
ventilasi yang tidak memenuhi syarat penyakit. Adanya penyakit akan
menyebabkan kuman selalu dalam menurunkan imunitas tubuh sehingga
konsentrasi tinggi sehingga penyait lain juga akan mudah
memperbesar kemungkinan penularan menyerang, salah satunya adalah TB
kepada orang lain. Ventilasi rumah Paru. Begitupun untuk konsumsi buah
yang tidak cukup menyebabkan aliran dan sayur yang merupakan indikator
udara tidak terjaga sehingga dalam phbs untuk meningkatkan status
kelembaban udara di dalam ruangan gizi di rumah tangga. Dengan
naik dan kondisi ini menjadi media terpenuhinya satus gizi maka akan
yang baik bagi perkembangan meningkatkan kekebalan tubuh yang
pathogen.Masuknya cahaya matahari kemudian bisa menurunkan resiko
ke dalam rumah diharapkan dapat terserang penyakit TB Paru. Tidak
membunuh kuman TB yang merokok di dalam rumah merupakan
dikeluarkan oleh penderita pada saat indikator yang paling penting dalam
batuk, sehingga jumlah kuman dalam mengurangi risiko terinfeksi TB Paru.
rumah dapat dikurangi dan penularan Mereka yang merokok 3 sampai 4 kali
juga berkurang. lebih positif tesnya, artinya 3 sampai 4
Persentase rumah tangga ber- kali lebih sering terinfeksi TB Paru
PHBS. Penelitian ini sejalan dengan daripada yang tidak merokok.[18]
penelitian yang dilakukan oleh Deska Rasio sarana pelayanan kesehatan.
Adiyang mengatakan bahwa terdapat Penelitian ini sejalan dengan
104

penelitian yang dilakukan oleh Herri kesehatan seperti Puskesmas dan


di Malang yang menyatakan bahwa Rumah Sakit memang sudah tersedia
tidak terdapat hubungan sarana dengan baik, mungkin hanya
pelayanan kesehatan dengan kejadian penyebarannya saja yang belum
TB Paru (p value= 0,11).[24] merata. Tapi hal tersebut untungnya
Ketersediaan sarana tidak berpengaruh karena jarak yang
pelayanan kesehatan merupakan salah ditempuh untuk menuju sarana yankes
satu faktor penting dalam tidak terlalu jauh. Oleh karena itu
penanggulangan TB Paru. Namun dalam penelitian ini rasio puskesmas
menurut asumsi peneliti tidk dan rasio rumah sakit tidak memiliki
terdapatnya hubungan antara rasio hubungan dengan prevalensi TB Paru.
sarana yankes dengan prevalensi TB Kesimpulan
Paru disebabkan karena selain dari Berdasarkan gambaran spasial
segi jumlah, faktor lain seperti akses diketahui Kecamatan Nanggalo
menuju ke sarana pelayanan kesehatan merupakan daerah dengan prevalensi
dan pengetahuan masyarakat tentang TB Paru tertinggi pada tahun 2016.
keberadaan sarana pelayanan Variabel persentase jenis kelamin laki-
kesehatan juga dapat berpengaruh laki, angka kepadatan penduduk dan
terhadap prevalensi TB Paru. rasio sarana pelayanan kesehatan tidak
memiliki hubungan terhadap
Seperti di daerah pedesaan prevalensi TB Paru di Kota Padang.
yang kejadian TB nya tinggi karena Sedangkan persentase rumah sehat dan
faktor jarak menuju sarana pelayanan rumah tangga ber-phbs memiliki
kesehatan, juga karena hubungan kekuatan kuat dengan arah
pengetahuannya yang masih kurang negatif terhadap prevaensi TB Paru.
untuk pemanfaatan sarana pelayanan Penghargaan / Pengakuan
kesehatan. Belum lagi ditambah Studi ini merupakan bagian
dengan masalah ekonomi sehingga dari skripsi, ucapan terima kasih
lebih memilih tidak berobat ke sarana disampaikan kepada Dekan Fakultas
pelayanan kesehatan dan lebih Kesehatan Masyarakat Universitas
memilih cara tradisional. Di Kota Andalas, kepada dosen pembimbing
Padang untuk sarana pelayanan atas bimbingannya, kepada seluruh
105

dosen dan staf akademik Fakultas Kesehatan Dasar Tahun 2010).


Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan Masyarakat Universitas
Kesehatan 2011. 14.
Andalas, dan kepada pihak Dinas 9. Dotulong, J.F.J., M.R.
Sapulete, And G.D. Kandou,
Kesehatan Kota Padang yang turut
Hubungan Faktor Risiko
berpartisipasi dan membantu dalam Umur, Jenis Kelamin Dan
Kepadatan Hunian Dengan
penelitian ini.
Kejadian Penyakit Tb Paru Di
Desa Wori Kecamatan Wori.
Jurnal Kedoteran Komunitas
DAFTAR PUSTAKA
Dan Tropik, 2015.
1. P2PL, Strategi Nasional 10. Sylva, L., Pengaruh Perubahan
Pengendalian Tuberkulosis Di Penggunaan Lahan Terhadap
Indonesia 2010-2014. 2011, Insiden Penyakit Tuberkulosis
Jakarta: Direktoral Jenderal Paru: Studi Di Provinsi
Pengendalian Penyakit Dan Lampung(Effect Of Land Use
Penyehatan Lingkungan. Toward Pulmunary
2. Widoyono, Penyakit Tropis, Tuberkulosis Incidence:Study
Epidemiologi, Penularan, In Lampung Province).
Pencegahan Dan Fakultas Kedokteran
Pemberantasannya. 2008, Universitas Lampung, 2017. 5.
Jakarta: Erlangga. 11. Chandra Wibowo, M.C.W., H
3. Rafiglione, Tuberculosis Mewengkang, , Kasus Kontak
Prevention,Care And Control TuberkulosisParu Di Klinik
2010-2015 Farming Global Paru Rumah Sakit Umum
And WHO Strategic Priorities. Pusat Manado,. Majalah
2009, WHO: Geneva. KedokteranIndonesia 2004.
4. RI, D.K., Riset Kesehatan 12. Woro, D, Peningkatan
Nasional Republik Indonesia. Determinan Sosial Dalam
2013, Departemen Kesehatan Menurunkan Kejadian
Republik Indonesia. Tuberkulosis Paru Di Kota
5. Barat, D.K.S., Data TB Paru Bandar Lampung, U.
Sumatera Barat. 2014 - 2016, Lampung, Editor. 2012,
Dinas Kesehatan Provinsi Bagian Ilmu Kesehatan
Sumbar: Padang. Masyarakat Fakultas
6. Padang, D.K.K., Profil Kesehatan Universitas
Kesehatan Kota Padang. 2014, Lampung: Lampung.
Dinas Kesehatan Kota Padang 13. Kurniawan, D.A., Hubungan
Padang. Perilaku Hidup Bersih Dan
7. Padang, D.K.K., Profil Sehat (Phbs) Dengan Kejadian
Kesehatan Kota Padang. 2016, Tuberkulosis Paru Pada Warga
Dinas Kesehatan Kota Padang: Di Kelurahan Jaraksari,
Padang. Wonosobo, Jawa Tengah,
8. Rukmini, Faktor-Faktor Yang S.T.I.K. 'Aisyiyah, Editor.
Berpengaruh Terhadap 2010: Yogyakarta.
Kejadian Tb Paru Dewasa Di 14. Emzir, Metodologi Penelitian
Indonesia (Analisis Data Riset Pendidikan Kuantitatif Dan
106

Kualitatif. 2009, Jakarta: PT 23. Ryana Ayu Setia Kurniasari,


Raja Grafindo Pergoda. Suhartono, And K. Cahyo,
15. Abidin And M. Zainal, Faktor Risiko Kejadian
Penelitian Korelasional. 2010. Tuberkulosis Paru Di
16. Izzati, S., Faktor Risiko Yang Kecamatan Baturetno
Berhubungan Dengan Kabupaten Wonogiri. Media
KejadianTuberkulosis Paru Di Kesehatan Masyarakat
Wilayah Kerja Puskesmas Indonesia, , 2012. 11.
AndalasTahun 2013, 2015. 24. Mulyanto, H., Hubungan Lima
17. Siswanto, I.P., Hubungan
Indikator Perilaku Hidup
Pengetahuan Dan Dukungan
Keluarga Dengan Kepatuhan Bersih Dan Sehat Dengan
Minum Obat Anti
Tuberkulosis Multidrug
Tuberkulosis Di Puskesmas
Andalas Kota Padang. Jurnal ResistantRelationship Five
Kesehatan Andalas, 2015.
Behavioral Indicators And
18. Simbolon, D., Faktor Risiko
Tuberculosis Paru Di Healthy Living With
KabupatenRejang Lebong
Tuberculosis Multidrug-
Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional 2007. 2. Resistant. Jurnal Berkala
19. Girsang, M., Karakteristik
Epidemiologi Kesehatan
Demografis Dan Hubungannya
Dengan Penyakit Tuberkulosis Masyarakat, 2014.
Di Provinsi Jawa Tengah
(Analisis Lanjut Riskesdas
2007). 2010.
20. Bambang, R., Analisis Spasial
Sebaran Kasus Tuberkulosis
Paru Ditinjau Dari Faktor
Lingkungan Dalam Dan Luar
Rumah Di Kabupaten
Pekalongan, In Program
Pascasarjana Kesehatan
Lingkungan2010, Universitas
Diponegoro Semarang.
21. Sumekar, D.W., Hubungan
Spasial Kepadatan Penduduk
Dan Proporsi Keluarga
Prasejahtera Terhadap
Prevalensi Tuberkulosis Paru
Di Bandar Lampung. Fakultas
Kedokteran Universitas
Lampung.
22. J.F, M., Kesehatan Masyarakat
Suatu Pengantar 2007, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
107

Anda mungkin juga menyukai