Anda di halaman 1dari 36

TUGAS

STUDI KASUS PENYAKIT NON INFEKSI

KASUS 4 – PRE EKLAMPSIA BERAT

HALAMAN JUDUL

OLEH :
KELOMPOK 4 – KELAS B

1. AMALIA REFINA PRATIWI 12. RAHMITA BIMASARI


2. TIARA 13. BIANCA PUTRI HIDAYAT
3. FIANNY REZKA SJAHJADI 14. HAFIZHATUL HILMA
4. HOLY AMALIA NINGTYAS 15. AULIA RAHMI
5. HANNY TRI GUSTIA 16. EUREKA FADILLAH SUSANTI
6. LATHIFAH HANUM FAJRI 17. APRILA HASPIZA
7. MUHAMMAD REDHA ILAHI 18. NOVA WAHYUNI
8. FAUZIAH SIRAHTUL AINI 19. RIKA PUTRI
9. CICI ANGGRAINI OLDETAPIA 20. NAJWA MILADI HASRI
10. SYARIFAH FADHLIRA H 21. LUTHFI ARIZA LUBIS
11. SITI INELZA RAMADHANI 22. ARDILLA MAIZULFIANI

H
ALPROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020
DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN JUDUL ...................................................................................................................... 1


DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 2
BAB I .............................................................................................................................................. 4
TINJAUAN PATOFISIOLOGI ...................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 4
1.2 Definisi .................................................................................................................................. 4
1.3 Patogenesis ............................................................................................................................ 6
1.4 Jenis Preeklampsia ................................................................................................................ 9
1.5 Stress Oksidatif pada Kehamilan Normal dan Preeklampsia .............................................. 10
1.6 Histopatologi Arteri Spiralis Uterus pada Kehamilan Normal dan Preeklampsia .............. 12
1.7 L-Arginine ........................................................................................................................... 15
1.8 Peran L-Arginine dalam Preeklampsia ............................................................................... 17
1.9 Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low Platelet Count (HELLP) Syndrome ......... 18
BAB II........................................................................................................................................... 22
TINJAUAN FARMAKOTERAPI ................................................................................................ 22
2.1 Tujuan Farmakoterapi ......................................................................................................... 22
2.2 Tinjauan Farmakoterapi ...................................................................................................... 22
2.2.1 Pemilihan Farmakoterapi untuk Preeklampsia Berat ................................................... 22
2.2.2 Penatalaksanaan Preeklampsia ..................................................................................... 23
2.2.3 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Pasien Preeklampsia ............................................... 24
BAB III ......................................................................................................................................... 27
ANALISIS DRP............................................................................................................................ 27
3.1 Data Pasien .......................................................................................................................... 27
3.2 Drug Therapy Assessment Worksheet (DTAW) ................................................................ 28
BAB IV ......................................................................................................................................... 31
RENCANA ASUHAN ATAU PELAYANAN KEFARMASIAN ............................................ 31
4.1 Rencana Pemantauan Efek Terapi....................................................................................... 31
4.2 Rencana Pemantauan Efek Samping ................................................................................... 32
4.3 Rencana Edukasi Pasien ...................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 34
BAB I

TINJAUAN PATOFISIOLOGI

1.1 Latar Belakang


Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK), khususnya preeklampsia, merupakan salah satu
masalah terpenting dalam ranah kesehatan masyarakat dan kedokteran perinatal. Prreklampsia
merupakan penyebab terbesar dari morbiditas dan mortalitas maternal, yang didefinisikan
sebagai hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan pertama kali didiagnosis dan
disertai dengan adanya komponen protein pada urine atau yang disebut dengan proteinuria.
Eklampsia adalah preeklampsia yang mengalami komplikasi kejang tonik klonik yang bersifat
umum. Dewasa ini, HDK telah diklasifikasikan sebagai subtipe toksemia pada kehamilan yang
terdiri atas satu atau lebih gejala berupa hipertensi, proteinuria, dan edema selama kehamilan.
Berkaitan dengan klasifikasi, hingga saat ini belum terdapat konsensus yang mengatur klasifikasi
HDK secara internasional, namun di Indonesia, klasifikasi telah ditetapkan dengan menggunakan
pedoman dari Kementerian Kesehatan dan The National High Blood Pressure Education
Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy (NHBPEP). Kejadian HDK,
khususnya preeklampsia dan eclampsia kini berada pada angka 5-15%, dan merupakan salah satu
penyebab mortalitas ibu hamil tertinggi di Indonesia selain infeksi dan perdarahan (Kemenkes,
2014)

1.2 Definisi
Preeklampsia (PE) merupakan suatu sindroma klinis yang didefinisikan sebagai suatu
onset baru dari hipertensi dan proteinuria selama waktu paruh kedua kehamilan (Poweet al,
2011). PE juga bisa diartikan sebagai kondisi spesifik hanya pada kehamilan yang meningkatkan
mortalitas dan morbiditas pada maternal dan fetal. Diagnosis PE ditegakkan pada tekanan darah
dengan cut-off 140/90 dan harus ada proteinuria (Shamsi et al, 2013). Ghulmiyyah dan Sibai
(2012) menyebutkan bahwa PE merupakan sindrom klinis dengan karakteristik onset baru dari
hipertensi dan proteinuria setelah 20 minggu usia gestasi pada wanita yang sebelumnya
normotensi.
Sindrom ini berhubungan dengan adanya penurunan perfusi uteroplasenta, peningkatan
kematian sel trofoblas dan aktivasi sel endotel maternal dan juga salah satu indikasi mayor
dilakukannya operasi cesar elektif. Preeklampsia dikarakteristikan dengan adanya oliguria,
xanthin oxidase, asam sialik, aspartat transaminase, kreatinin, asam urat, laktat dehidrogenase,
dan edema lokal (Ekambaran, 2011).

Diagnosis preeklampsia merupakan diagnosis klinis.Sebagaimana didefinisikan oleh


American College of Obstetrics and Gynecology, diagnosis preeklapmsia ditegakkan dengan
adanya tekanan darah >140/90 mmHg pada 2 kali pemeriksaan yang dikombinasikan dengan
adanya proteinuria >300 mg per hari (Powe et al, 2011). Kondisi preeklampsia berat ditentukan
jika ditemukan salah satu kriteria sebagai berikut: tekanan darah > 160/110 mmHg pada dua kali
pemeriksaan dalam waktu 6 jam, proteinuria > 5 gram dalam 24 jam atau +3 dalam pemeriksaan
dipstick dua spesimen urin dalam 4 jam, oliguria (urin < 500 mL dalam 24 jam) (Ekambaran,
2011).

Komplikasi maternal akut preeklampsia antara lain eklampsia, stroke, solusio plasenta,
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ruptur hati dan perdarahan, edema paru, gagal
ginjal akut, dan kematian. Sedangkan komplikasi maternal kronis preeklampsia antara lain
hipertensi kronis, diabetes mellitus, penyakit jantung coroner dan defisit neurologis. Komplikasi
perinatal antara lain still birth, prematuritas, petumbuhan janin terhambat, komplikasi neonatal
dan sekuelnya terutama terkait prematuritas. Subklasifikasi preeklampsia dapat juga berdasarkan
derajat beratnya karakteristik maternal dan fetal. Sindroma preeklampsia meluas tidak hanya
timbulnya hipertensi disertai timbulnya proteinuria, tetapi keterlibatan maternal dan fetal seperti
insufisiensi renal, disfungsi hepatoseluler ataupun pertumbuhan janin terhambat. Definisi
preeklampsia dapat digunakan dalam praktik klinis dimana penilaian klinis penting dalam
penatalaksanaan, ataupun juga dalam penelitian dimana kriteria objektif tergantung peneliti.
Dalam penelitian ini tidak digunakan definisi klasik preeklampsia (Staff et al, 2013).

Faktor risiko terjadinya preeklampsia antara lain nulipara (multipara dengan pasangan
baru mempunyai risiko yang sama seperi nulipara), hipertensi kronis, diabetes mellitus, penyakit
ginjal, obesitas, kondisi hiperkoagulitas (misalnya sindroma anti fosfolipid), usia tua maternal
dan kondisi yang menyebabkan bertambahnya massa plasenta (misalnya kehamilan multifetus
dan mola hidatidosa). Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya meningkatkan risiko
berulangnya preeklampsia. Pada kebanyakan kasus tidak ditemukan riwayat keluarga, akan tetapi
riwayat keluarga derajat pertama meningkatkan 2 sampai 4 kali lipat risiko terjadinya
preeklampsia (Wang et al, 2009).

Penelitian epidemiologi mendapatkan 20% perempuan dengan riwayat preeklampsia


berkembang menjadi hipertensi atau terdapat mikroalbuminuria hingga 7 tahun setelahnya
dibandingkan hanya 2% pada perempuan tanpa riwayat preeklampsia. Risiko jangka panjang
terhadap penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular meningkat dua kali lipat pada
preeklampsia dan hipertensi gestasional. Preeklampsia berat, rekurensi preeklampsia,
preeklampsia disertai persalinan preterm, dan preeklampsia disertai pertumbuhan janin terhambat
mempunyai hubungan kuat terjadinya penyakit kardiovaskular di kemudian hari. Preeklampsia
dan penyakit kardiovaskular mempunyai faktor risiko yang sama antara lain hipertensi kronis,
diabetes, obesitas, penyakit ginjal, dan sindroma metabolik. Penelitian lainnya menunjukkan
preeklampsia sebagai faktor risiko penyakit gagal ginjal (end stage renal disease) di kemudian
hari (Wang et al, 2009).

Adapun manifestasi klinis preeklampsia yaitu endoteliosis glomerular, peningkatan


premeabilitas vaskuler dan respon inflamasi sistemik yang mengakibatkan kerusakan organ dan
hipoperfusi. Hal tersebut akan menyebakan terjadinya proteinuria, hipertensi, edema serebri,
HELLP, dan IUGR ( Intra Uterine Growth Restriction ) (Perkin,2011). Biasanya sindrom ini
terutama muncul pada akhir trimester kedua sampai ketiga kehamilan. Gejala akan berkurang
atau menghilang setelah melahirkan, sehingga terapi definitifnya adalah mengakhiri kehamilan
(Cunningham et al, 2014).

1.3 Patogenesis
Preeklampsia merupakan sindroma sistemik pada kehamilan yang berasal dari plasenta.
Diyakini invasi sitotrofoblas plasenta yang inadekuat dan diikuti dengan disfungsi endotel
maternal menjadi penyebabnya. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa adanya faktor
antiangiogenik seperti soluble fins-like tyrosine kinase 1 (sFlt1) dan juga soluble endoglin (sEng)
yang muncul di plasenta menjadi penyebab hipertensi, proteinuria dan manifestasi klinis lain
(Young et al, 2010). Bersamaan dengan itu faktor angiogenik yang menurun juga menjadi
penyebab PE, faktor tersebut antara lain VEGF dan PIGF. Selain faktor-faktor tersebut, faktor
genetik, nulipara, riwayat PE, usia ibu yang terlalu tua atau terlalu muda, obesitas, diabetes,
hipertensi kronis, kelainan ginjal serta penyakit autoimun juga berperan dalam kejadian PE
(Hisashi et al, 2012).

Gambar 1: Bagan patofisiologi preeklampsia (George dan Granger, 2010)

Preeklampsia (PE) diawali dengan invasi trofoblas yang dangkal dan kegagalan
remodeling arteriol spiral. Hal ini akan menginisiasi keadaan hipoksia dan menghambat ekspresi
beberpa agen regulator hipoksia (George dan Granger, 2010). Plasenta hipoksia yang timbul
pada awal PE ini akan berhubungan dengan sFlt-1. Keadaan hipoksia ini pada penelitian
menggunakan tikus menunjukkan adanya peningkatan kadar sFlt-1 serum dan menyebabkan
adanya sindroma menyerupai PE (Gilbert et al , 2007).
Kelainan tersebut mungkin berkaitan dengan jalur nitrit oksida, yang memberikan
kontribusi substansial untuk mengontrol tekanan vaskuler. Selain nitrit oksida, adanya stres
oksidatif memacu pelepasan dari radikal bebas, lipidoksida,sitokin dan sFlt-1. Hal tersebut
mengakibatkan disfungsi endotel dengan gangguan permeabilitas vaskuler dan peningkatan
tekanan darah (Ekambaran,2011).

Proses plasentasi pada mamalia membutuhkan faktor angiogenesis yang tinggi untuk
mencukupi kebutuhan oksigen dan nutrisi janin. Faktor proangiogenik dan antiangiogenik
bekerjasama dalam perkembangan plasenta. Dipercaya bahwa angiogenesis plasenta pada
preeklampsia tidak efektif. Pada preeklampsia, sitotrofoblas gagal merubah ikatan cell-surface
dan adhesion molecules. Perubahan yang abnormal dari sitotrofoblas merupakan deteksi awal
yang akan menyebabkan iskemia plasenta (Hagman,2012).

Gambar 2. Perbedaan proses invasi trofoblas pada kehamilan normal dan preeklampsia
(Powe et al, 2011)
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pada gambar di atas dapat dijelaskan bahwa PE
terjadi juga karena penurunan fungi dari faktor angiogenik seperti VEGF dan analognya yang
dihasilkan plasenta yaitu PIGF. Faktor-faktor tersebut sangat penting pada proses embriogenik
vaskulogenesis dan angiogenesis. Pada gambar di atas juga terlihat adanya plasentasi normal,
sitotrofoblas invasif fetus akan menginvasi arteri spiralis maternal, mengubah vasa darah tersebut
vasa darah resisten kaliber kecil menjadi vasa kapasitansi kaliber besar yang mampu menjamin
perfusi adekuat bagi pertumbuhan fetus. Selama proses invasi vaskuler, sitotrofoblas berubah
dari fenotip epitel menjadi fenotip endotel, sebuah proses yang merujuk pada pseudo-
vaskulogenesis atau mimikri vaskuler. Pada PE, terjadi kegagalan sitotrofoblas untuk
mengadopsi fenotip invasif endotelial. Sebaliknya invasi terhadap arteri spiralis dangkal dan vasa
darah tetap menjadi vasa darah yang resisten dengan kaliber kecil (Powe et al, 2011).

1.4 Jenis Preeklampsia


Preeklampsia merupakan jenis HDK yang memiliki diagnosis khusus, yaitu terbagi
menjadi preeklampsia ringan (PER) dan berat (PEB).

Kriteria diagnosis PER adalah sebagai berikut: (Chestnut, 2015).

1. Hipertensi Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg dan kurang dari 160/110 Kenaikan tekanan darah
sistolik ≥ 30 mmHg Kenaikan tekanan darah diastolik ≥ 15 mmHg
2. Proteinuria 0,3 g/L dalam 24 jam atau secara kualitatif sampai +2.
Diagnosis preeklampsia berat (PEB) ditegakkan bila didapatkan satu atau lebih gejala sebagai
berikut:

1. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak
turun meskipun ibu hamil sudah dirawat dan menjalani tirah baring.
2. Proteinuria lebih dari 5 g/L dalam 24 jam atau kualitatif +4.
3. Oligouria, yaitu jumlah produksi urine kurang dari 500 cc dalam 24 jam yang disertai
kenaikan kadar kreatinin darah.
4. Adanya keluhan subjektif berupa:
 Gangguan visus: mata berkunang-kunang
 Gangguan serebral: kepala pusing
 Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen
 Hiperefleksia
5. Adanya sindroma HELLP, yaitu kumpulan gejala yang mencakup hemolisis, peningkatan
enzim hepar, dan jumlah platelet rendah (low platelet count)
6. Sianosis.
Pada sebagian besar kasus preeklampsia, akan terdapat proteinuria onset baru. Proteinuria
didefinisikan sebagai ekskresi 300 mg atau lebih protein dalam 24 jam, atau mencapai rasio
protein/kreatinin minimal yaitu 0,3 mg/dl, yang merupakan ekuivalen dari ekskresi protein 24
jam. Pembacaan protein pada dipstick +1 juga merupakan tanda dari proteinuria, namun karena
metode kualitatif tersebut memiliki banyak hasil positif dan negatif palsu, maka pengukuran
tersebut disarankan hanya digunakan apabila tidak terdapat sarana diagnosis secara kuantitatif.

1.5 Stress Oksidatif pada Kehamilan Normal dan Preeklampsia


Dalam kehamilan terdapat dua fenomena stress oksidatif fisiologis. Pertama, pada akhir
trimester pertama, terjadi stress oksidatif pada bagian perifer plasenta. Sirkulasi uteroplasenta di
bawah area ini tidak pernah tertutup oleh tudung trophoblastik, memperbolehkan aliran darah
maternal secara terbatas memasuki plasenta dari usia kehamilan 8 hingga 9 minggu. Hal ini
menyebabkan peningkatan konsentrasi oksigen lokal pada suatu tahap kehamilan dimana
trophoblas memiliki konsentrasi dan aktivitas antioksidan utama seperti SOD, katalase dan
glutathione peroxidase yang rendah. Kerusakan oksidatif trophoblastik utama dan degenerasi
villi secara progresif memicu terbentuknya membrane fetus yang merupakan langkah
perkembangan penting untuk terjadinya kelahiran pervaginam (Suardana, 2012).

Yang kedua melibatkan fenomena ischemia-reperfusion(I/R). Studi angiografi terhadap


pembuluh darah uterus dari kera rhesus menunjukkan bahwa pada kehamilan normal, aliran dari
arteri spiralis ke intervillous space sering intermiten, akibat kompresi eksternal arteri selama
kontraksi uterus pada manusia dan bahkan akibat perubahan postural. Sehingga stimulus I/R
derajat tertentu merupakan gambaran normal pada kehamilan, terutama setelah mendekati aterm,
dimana fetus dan plasenta mengeluarkan oksigen dalam jumlah banyak dari intervillous space.
Stimulus kronis ini menyebabkan peningkatan perlindungan radikal bebas pada plasenta,
sehingga menurunkan stress oksidatif. Seperti pada kehamilan muda, stress oksidatif yang
terkontrol baik akan berperan dalam remodeling plasenta secara terus menerus dan pentiong
untuk fungsi plasenta seperti transport dan sintesis hormone. Dalam konteks ini, abortus dan
preeklampsia dapat merupakan akibat maladaptasi sementara terhadap perubahan kadar oksigen
(Suardana, 2012).

Preeklampsia mempunyai patofisiologi yang kompleks, penyebab utamanya yaitu adanya


plasentasi yang abnormal. Invasi yang tidak efektif dari sel sitotrofoblas pada arteri spiralis
preeklampsia telah lama diteliti. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa invasi sel sitotrofoblas
pada preeklampsia terjadi kelainan. Kelainan tersebut mungkin berkaitan dengan jalur nitrit
oksida, yang memberikan kontribusi substansial untuk mengontrol tekanan vaskuler. Selain nitrit
oksida, adanya stres oksidatif memacu pelepasan dari radikal bebas, lipid oksida, sitokin dan
sFlt-1. Hal tersebut mengakibatkan disfungsi endotel dengan hiperpermeabilitas vaskuler,
trombofilia dan hipertensi (Li Zhihe et all 2007, Siddiqui A, 2011).

Salah satu teori etiologi preeklampsia yang saat ini cukup banyak dianut adalah teori
iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel. Teori ini mengatakan adanya
ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan akibat
iskemia plasenta, sehingga terjadi stres oksidatif. Proses peroksidasi lipid dianggap memiliki
peranan penting didalamnya. Idealnya selama kehamilan normal, peningkatan produksi radikal
bebas keseimbangannya selalu dijaga melalui produksi antioksidan yang cukup, namun pada
preeklampsia terjadi peningkatan produksi radikal bebas berlebihan dan penurunan kadar
antioksidan sehingga menyebabkan suatu keadaan stres oksidatif (Gede, 2013).

Hipotesis yang penting pada patogenesis dari preeklampsia adalah terdapatnya senyawa
yang dihasilkan jaringan uteroplasenta yang masuk ke sirkulasi ibu dan menyebabkan kerusakan
endotel. Perubahan fungsi endotel yang terjadi dianggap sebagai penyebab utama timbulnya
gejala preeklampsia: hipertensi, proteinuria dan aktivasi sistem hemostasis. Senyawa yang
dihasilkan jaringan uteroplasenta yang dapat merusak endotel itu adalah hasil metabolisme lipid
terutama yaitu peroksidase lipid. Peroksidase lipid ini diproduksi pada saat radikal bebas
menyerang asam lemak tidak jenuh dan kolesterol pada membran sel dan lipoprotein.
Peroksidase lipid merupakan zat toksik yang bisa menyebabkan kerusakan sel baik secara
langsung maupun tidak langsung (Gede, 2013).

Keadaan hipoksia yang terjadi dapat meningkatkan jumlah xantin dehidrogenase yang
terkonversi menjadi xantin oksigenase yang akan mendegradasi purin, xantin dan hipoxantin
menjadi asam urat. Dalam proses degradasi tersebut terbentuk juga superoksida yang merupakan
suatu radikal bebas yang poten. Terjadinya reaksi radikal bebas ini ditandai dengan
meningkatnya lipid peroksida pada pasien preeklampsia dibandingkan dengan kehamilan normal.
Reaksi radikal bebas inilah yang akan menimbulkan disfungi endotel, yaitu terjadi endoteolisis
dan perubahan ultrastrukturnya pada alas plasenta dan pembuluh darah uterus, karena radikal
bebas ini bereaksi dengan membran sel sehingga terbentuk lipid peroksidase dan aldehida yang
toksik sehingga dapat mematikan sel (Gede, 2013).

1.6 Histopatologi Arteri Spiralis Uterus pada Kehamilan Normal dan Preeklampsia
Kehamilan membutuhkan adaptasi fisiologis dalam setiap sistem tubuh. Terkait dengan
curah jantung dan volume plasma yang meningkat mungkin ada perubahan dalam dinding
pembuluh darah sendiri yang sejauh ini belum didefinisikan. Arteri spiralis merupakan
percabangan dari arteri radialis,dimana arteri uterina sebagai pemasok aliran darah secara
topografi. Kegagalan konversi fisiologis arteri spiral dapat menyebabkan sejumlah komplikasi,
termasuk pembatasan pertumbuhan intrauterin dan pre-eklampsia.

Dalam kehamilan manusia, reaksi desidua baru selesai setelah implantasi blastokista.
Namun,perubahan pradesidua terjadi lebih dahulu saat fase midluteal dalam sel stroma
endometrium yang terletak di dekat arteriola dan arteri spiralis. Sebagai akibat implantasi, aliran
darah ke desidua kapsularis akan menghilang seiring berkembangnya embrio- janin. Aliran darah
ke desidua parietalis melalui arteri spiralis menetap, seperti juga aliran darah endometrium
selama fase luteal siklus. Arteri spiralis dalam desidua parietalis mempertahankan struktur
endotel dan otot polos pada dindingnya sehingga tetap responsive terhadap agen vasoaktif yang
bekerja pada otot polos atau sel endotel. Sistem arteri spiralis yang mendarahi desidua basalis
tepat dibawah blastokista yang berimplantasi, dan akhirnya mendarahi juga ruang intervillus,
mengalami perubahan yang dramatis. Arteriola dan arteri spiralis ini diinvasi oleh sitotrofoblas.
Selama proses ini, dinding pembuluh darah desidua basalis dihancurkan. Hanya tersisa selubung
pembuluh tanpa otot polos ataupun sel endotel. Akibat yang penting dari hal tersebut adalah
saluran pembuluh darah maternal ini yang menjadi pembuluh darah uteroplasenta tidak
responsive terhadap agen vasoaktif (Cunningham, 2014).

Pada kehamilan normal terjadi invasi trofoblas pada pembuluh darah di bagian desidua.
Invasi trofoblas gelombang pertama ini terjadi pada usia kehamilan 10–16 minggu. Pada usia
kehamilan 22 minggu terjadi invasi trofoblas gelombang kedua, di mana sel-sel trofoblas
memasuki arteri spiralis di lapisan desidua sampai ke lapisan miometrium. Lapisan otot dinding
pembuluh darah tersebut digantikan oleh jaringan elastis, sehingga pembuluh darah berdilatasi
mencapai 30 kali dari sebelum hamil. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan
fisiologis. Pada PE invasi trofoblas gelombang kedua tidak sempurna atau gagal terjadi. Dengan
demikian lapisan otot tunika media pembuluh darah tetap sebagaimana biasa sehingga arteri
spiralis tidak berdilatasi dan memungkinkan terjadinya vasokonstriksi. Pada keadaan ini
perubahan fisiologis tidak terjadi. Akibat kegagalan invasi trofoblas ini akan terjadi perubahan
pada arteri spiralis sehingga terjadi penurunan aliran darah uteroplasenta, terjadi hiperplasia
tunika intima dan proses aterosis. Pada hasil penelitian didapatkan hasil pada hiperplasia tunika
intima pada kelompok Preeklampsia/Eklampsia 20 kasus dan kelompok normotensif tidak
dijumpai, aterosis akut pada Preeklampsia/Eklampsia 18 kasus dan kelompok normotensif tidak
dijumpai ( Lukito, 2007 ).

Gambar 3. Arteri spiralis pada wanita tidak hamil.(Robertson,2011)

Pada implantasi arteri spiralis uteri mengalami remodeling ekstensif karena diinvasi oleh
trofoblas endovascular. Sel-sel ini menggantikan lapisan otot dan endotel untuk memperlebar
diameter pembuluh darah. Vena-vena hanya diinvasi secara superficial. Namun, pada
preeklampsia, mungkin terjadi invasi trofoblastik inkomplet. Bila terjadi invasi dangkal,
pembuluh desidua, dan bukan pembuluh darah miometrium, akan dilapisi oleh trofoblas
endovascular. Arteriola miometrium yang lebih dalam tidak kehilangan lapisan endotel dan 17
jaringan muskoelastik mereka, dan rerata diameter eksternal mereka hanya setengah diameter
pembuluh pada plasenta normal. Pada bebeberapa penelitian memperlihatkan bahwa derajat
gangguan invasi trofoblas pada arteri spiralis berhubungan dengan keparahan penyakit
hipertensi. ( Cunningham, 2009 ).

Gambar 4. Perubahan anatomi arteri spiralis pada kehamilan. (Robertson,2011)

Adanya perubahan preeklampsia dini, termasuk kerusakan endotel, insudasi komponen


plasma ke dalam dinding pembuluh darah, proliferasi sel miointima, dan nekrosi tunika media.
Lipid awalnya terakumulasi dalam sel miointima dan selanjutnya dalam makrofag. Sel yang
dipenuhi lipid semacam ini dan temuan terkait disebut sebagai aterosis. Biasanya, pembuluh
darah yang terkena aterosis akan mengalami dilatasi aneurismal (Cunningham,2009).

Yang terbaik dipelajari adalah pada mencit, dengan masa yang singkat (19 - 20) hari
kehamilan dan adanya remoderlling arteri spiral desidua signifikan. Pada mencit, terdapat
Natural killer sel yang terutama bertanggung jawab untuk remodelling arteri dalam spesies ini.
Invasi trofoblas di mencit relatif dangkal dan sementara dibatasi sampai akhir kehamilan,
umumnya dianggap sebagai kontributor minor terjadinya remodeling arteri (Burke, 2013).

Gambar 5. Remodeling arteri spiralis pada kehamilan. (Hills, 2010)


Gambar 6. Perubahan arteri spiral selama kehamilan. (A) transformasi fisiologis normal arteri
spiral pada kehamilan normal. Lumen arteri spiral (tanda bintang) adalah dilatasi. Sel-sel
trofoblas yang infiltrasi dinding arteri spiral. (B) Kegagalan transformasi fisiologis arteri spiral
pada pasien dengan preeklampsia. Lumen arteri (tanda bintang) tidak melebar. Lapisan medial
arteri spiral yang utuh. Meskipun banyak trofoblas interstitial mengelilingi arteri spiral, trofoblas
tidak menginvasi dinding pembuluh darah (Kim,2015)

1.7 L-Arginine
Arginine adalah salah satu bentuk asam amino esensial, bentuk aktif dalam L-form, yang
disintesis oleh sel-sel endotel dan diekskresikan lewat urin. Arginine telah diketahui sebagai
terapi dari berbagai penyakit dan berperan sebagai diet. L-Arginine adalah substrat nitrit oksida
(NO), sebuah vasodilator yang potent, yang mungkin memainkan peran utama dalam regulasi
tekanan darah. Penelitian dengan model hewan coba menunjukkan bahwa L-Arginine-No system
mengalami upregulasi selama kehamilan, dan hipertensi, proteinuria, IUGR, dan kerusakan
glomerulus dapat terjadi akibat blokade dari sintesis NO, sementara hipertensi akibat inhibisi
sintesis NO dapat diperbaiki dengan suplementasi L-Arginine. Pada manusia, pemberian L-
Arginine dapat meningkatkan sirkulasi uteroplasenta dan menurunkan tekanan darah maternal,
dan stress oksidatif dapat berperan sebagai kunci utama dalam perkembangan disfungsi endotel
dan preeklampsia. Oleh karena itu, L-Arginine mungkin dapat menjadi opsi terapi baru untuk
hipertensi pada kehamilan. (Shunping Gui et all 2013).

L-Arginine secara tradisional diklasifikasikan sebagai asam amino semi esensial atau
penting secara kondisional; adalah esensial pada anak-anak dan non-esensial pada orang dewasa.
Homeostasis plasma konsentrasi L-Arginine diatur oleh asupan makanan arginin, omset protein,
sintesis arginin, dan metabolisme. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa, dalam kondisi
tertentu, L-Arginine dapat menjadi komponen makanan yang penting. Jaringan utama di mana
endogen sintesis L-Arginine terjadi adalah ginjal, di mana L-Arginine terbentuk dari citrulline,
yang dirilis terutama oleh usus kecil. Hati juga mampu mensintesis jumlah yang cukup L-
Arginine; namun, ini benar-benar digunakan ulang dalam siklus urea agar hati memberikan
kontribusi sedikit atau tidak sama sekali untuk fluks arginin plasma.

L-Arginine biasanya merupakan sekitar 5 – 7 % dari kandungan asam amino dari diet
dewasa khas yang sehat. Ini dihitung untuk asupan rata-rata 2,5 – 5 g/hari, yang hanya memenuhi
persyaratan minimal tubuh untuk memperbaiki jaringan, sintesis protein dan pemeliharaan sel
kekebalan tubuh. L-Arginine disampaikan melalui saluran pencernaan (GIT) diserap dalam
jejunum dan ileum dari usus kecil. Sebuah sistem transportasi asam amino tertentu (y+
transporter) memfasilitasi proses ini; sistem transportasi ini juga bertanggung jawab untuk
membantu pengangkutan asam amino dasar lainnya L-lysine dan L-histidine. Sekitar 60% dari
L- Arginine yang diserap dimetabolisme oleh GIT, dan hanya 40% mencapai sirkulasi sistemik
utuh (Z.Gad, 2010).

Pada kondisi normal, tubuh mampu mensintesis L-Arginine untuk mencukupi kebutuhan,
tetapi pada kondisi stress tertentu, dimana terjadi peningkatan kebutuhan terhadap L- Arginine,
produksi dalam tubuh tidak lagi mampu mencukupi, dan pada saat itu L-Arginine dalam
makanan menjadi sangat essensial. L-Arginine banyak dijumpai pada makanan antara lain
kacang kacangan (brazil nuts dan almonds) kerang, dan termasuk daging sapi, daging babi. L-
Arginine disintesis terutama diginjal, memegang peranan penting dalam siklus krebs-henseleit
urea. L-ornithine dan L-citrulline merupakan precursor pada sintesis L-Arginine, yang kemudian
dikonversi menjadi urea dan Lorhithine oleh enzim arginase. Sebagian L-Argininee yang tidak
dikonversi masuk dalam sirkulasi dan didistribusikan keseluruh jaringan tubuh dan
dimetabolisme. Sebagian kecil L-Arginine disintesis di liver. Analisis farmakokinetik
menunjukan bahwa L-Arginine dose-related kinetics. Bioavailabilitas oral sekitar 70% dan
konsentrasi plasma maksimum dicapai lebih lambat daripada setelah pemberian intravena. Hal
ini berhubungan dengan absorbsi yang lambat pada traktus gastrointestinal. L-Arginine berperan
penting pada beberapa fungsi sistem dalam tubuh. Antara lain: detoksifikasi ammonia; precursor
nitric oxide, keratin, polyamine, glutamate, l-proline, agmantin, tetrapeptide tufsin; merupakan
asam aminoglikogenik; memperbaiki sistem imun; penatalaksanaan alkalosis metabolik berat;
merangsang sekresi growth hormone, prolaktin, hormone pancreas glucagon dan insulin, serta
aktifitas antioksidan (Andhi,2006).

1.8 Peran L-Arginine dalam Preeklampsia


L-Arginine bertindak sebagai precursor NO dan diubah menjadi NO dan L-citrulline oleh
NOS, seperti yang dijelaskan dalam bagian patofisiologi preeklampsia. Ini telah menjadi fokus
penelitian yang bertujuan untuk menyelidiki peran pencegahan dalam wanita berisiko tinggi
untuk menjadi preeklampsia. Sebuah studi dari infus intravena L-Arginine pada wanita hamil
menunjukan penurunan yang signifikan pada tekanan darah, efek yang lebih besar pada wanita
preeklampsia. Baru-baru ini, focus pada efek dari suplementasi L-Arginine pada pencegahan
preeklampsia wanita yang berisiko tinggi. Sebuah acak percobaan terkontrol menunjukan bahwa
suplementasi diet dengan kombinasi L-Arginine dan antioksidan dikaitkan dengan penurunan
yang signifikan dalam kejadian preeklampsia, dibandingkan dengan antioksidan sendiri dan
placebo (Vadillo-Ortega F et all, 2011). Mengingat bahwa L-Arginine adalah suplemen makanan
yang tersedia secara luas , bukti tentang efek yang menguntungkan bisa menyediakan sarana
yang layak untuk mencegah preeklampsia. Maka, penelitian lebih lanjut, dalam peran untuk
mengurangi kejadian preeklampsia pada populasi berisiko rendah (Tamanrit Johal et all, 2014).

Konsentrasi L-Arginine telah dibuktikan secara signifikan berkurang pada wanita dengan
preeklampsia bila dibandingkan dengan wanita yang sehat tanpa penyakit, dengan orang lain
menunjukkan perubahan dalam transportasi substrat. Namun, tampak bahwa rasio ADMA untuk
L-Arginine (bukan konsentrasi mutlak L-Arginine) mungkin lebih penting dalam menentukan
aktivitas nitrat oksida sintase dan produksi berikutnya radikal bebas oksigen, sehingga
menciptakan siklus mengabadikan nitrat disfungsi sintase oksida (Dorniack wall,2013).

Penelitian dengan model hewan coba menunjukkan bahwa system L-Arginine-NO


mengalami regulasi selama kehamilan. Hipertensi, proteinuria, IUGR dan kerusakan glomerulus
dapat terjadi akibat blokade dari sintesis NO, sementara hipertensi akibat inhibisi sintesis NO
dapat diperbaiki dengan suplementasi L-Arginine. Pada manusia, pemberian L-Arginine dapat
meningkatkan sirkulasi uteroplasenta dan menurunkan tekanan darah maternal dan stress
oksidatif dapat berperan sebagai kunci utama dalam perkembangan disfungsi endotel dan
preeklampsia. Oleh karena itu, L-Arginine mungkin dapat menjadi opsi terapi baru untuk
hipertensi pada kehamilan (Shunping et al, 2013).
1.9 Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low Platelet Count (HELLP) Syndrome
HELLP Syndrome atau sindroma HELLP adalah kumpulan gejala yang mencakup
hemolisis, peningkatan enzim liver, dan jumlah platelet yang kurang dari batas bawah. Bersama
dengan preeklampsia, sindroma HELLP adalah penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi
pada ibu hamil di dunia. HELLP biasanya berkembang secara tibatiba dalam kehamilan (Usia
Kehamilan/UK 27-37 minggu) atau pada masa puerperium.10 Sebagai salah satu bentuk kriteria
dari preeklampsia berat, HELLP memiliki onset yang juga mengawali proses gangguan pada
perkembangan dan fungsi plasenta, dan iskemia yang memicu stress oksidatif, yang secara
akumulatif akan mengganggu endothelium melalui aktivasi platelet, vasokonstriktor, dan
menyebabkan terganggunya kehamilan normal yang ditunjukkan dengan abnormalitas relaksasi
vaskular. Walaupun sebagian besar pasien dengan sindrom HELLP menunjukkan tanda berupa
hipertensi dan proteinuria, kedua tanda PEB tersebut tidak memiliki hubungan yang konsisten
dengan parameter laboratorium dari vaskulopati yang merupakan penyebab dasarnya. Kumpulan
gejala dapat tampak ambigu, namun juga dapat terfokus pada system gastrointestinal. Kesamaan
antara HELLP dan Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) ditekankan oleh
beberapa peneliti. Gangguan hemodinamik yang terjadi pada pasien HELLP syndrome dapat
merupakan hasil dari mekanisme patofisiologi yang berujung pada preeklampsia secara umum.

a. Manifestasi Klinis
Pasien dengan preeklampsia-eklampsia dan sindrom HELLP dapat datang dengan
berbagai tanda dan gejala yang sama sekali tidak mengarah ke diagnosis. Wanita hamil biasanya
hadir di trimester ketiga dengan keluhan malaise (90%), epigastrium atau nyeri kuadran kanan
atas (90%), mual atau muntah (50%), atau gejala mirip virus yang tidak spesifik. Meskipun
sebagian besar pasien ini hadir pada trimester ketiga, tidak jarang pasien datang pada akhir
trimester kedua atau pada periode postpartum. Untuk alasan ini, wanita hamil dengan gejala yang
mengkhawatirkan harus menjalani pemeriksaan diagnostik termasuk hitung darah lengkap,
jumlah trombosit, evaluasi enzim hepar, dan dipstik urin untuk protein, terlepas dari tekanan
darah mereka. Adanya hasil protein yang abnormal pada uji dipstik urin harus diikuti dengan
evaluasi kuantitatif untuk protein dalam uji 24 jam spesimen urin (Harmon, 2015).

Nyeri abdomen sering terjadi dan dapat ditemukan pada sekitar 50% pasien. Nyeri perut
biasanya ditemui di daerah kuadran kanan atas, epigastrik atau substernal dan sering dikaitkan
dengan kelainan laboratorium yang mendefinisikan sindrom HELLP. Nyeri perut umumnya
tidak ada pada gangguan lain yang unik pada kehamilan seperti kolestasis dan hiperemesis,
namun sering ditemukan di HELLP dan acute fatty liver of pregnancy (AFLP) atau sindrom
perlemakan hati akut pada kehamilan (American College of Obstetricians and Gynecologists,
2013). Meskipun sindrom HELLP mungkin memiliki gejala yang mirip dengan preeklamsia dan
merupakan salah satu kriteria bukanlah prasyarat untuk sindrom HELLP dan hipertensi, jika ada,
tidak harus parah. Hipertensi berat didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥110 mmHg. Hemolisis, didefinisikan sebagai adanya anemia hemolitik
mikroangiopati, adalah ciri khas dari triad sindrom HELLP. Temuan klasik hemolisis
microangiopatik termasuk penurunan yang signifikan dalam kadar hemoglobin, peningkatan
serum bilirubin tidak langsung, kadar haptoglobin serum yang rendah, peningkatan kadar laktat
dehidrogenase (LDH) dan apus perifer abnormal (schistocytes, sel duri, dan echinocytes).
Ambiguitas yang sama ada pada penggunaan tes fungsi hati yang abnormal untuk
mendefinisikan sindrom HELLP. Tidak ada konsensus mengenai tingkat peningkatan enzim hati
yang digunakan untuk mendiagnosis sindrom HELLP (Harmon, 2015). Jumlah trombosit yang
rendah adalah kelainan lain yang diperlukan untuk membuat diagnosis sindrom HELLP. Namun,
tidak ada kriteria yang menentukan untuk jumlah trombosit yang rendah. Diferensial diagnosis
dari sindrom HELLP adalah sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS), disseminated
intravascular coagulation (DIC), thrombocytopenic purpura (TTP), sindrom uremik hemolitik
(HUS) dan AFLP. yang dapat menentukan preeklamsia berat, sindrom ini dapat berkembang
pada wanita yang mungkin tidak memiliki tanda atau gejala preeklamsia lainnya. Preeklampsia

b. Diagnosis dan Klasifikasi HELLP Syndrome Dua sistem


Klasifikasi diagnostik utama saat ini digunakan untuk klasifikasi sindrom HELLP (Tabel
1). Dalam sistem klasifikasi Tennessee, diagnosis sindrom HELLP membutuhkan kehadiran
ketiga komponen utama, sedangkan sindrom HELLP parsial atau tidak lengkap hanya terdiri dari
satu atau dua elemen dari triad. Kehadiran hasil apusan darah perifer abnormal (misalnya,
anemia mikroangioplastik dengan schistocytosis), trombositopenia, dan peningkatan kadar AST,
ALT, bilirubin, dan laktat dehidrogenase (LDH) adalah penanda diagnostik. Sistem klasifikasi
Mississippi telah diusulkan untuk menilai tingkat keparahan proses patologis, dengan sindrom
HELLP kelas 1 memiliki prognosis yang lebih buruk dan tinggal di rumah sakit yang lebih lama
daripada kelas 2 atau kelas 3. Sistem klasifikasi ini didasarkan pada tingkatan trombositopenia
dan tingkat peningkatan kadar transaminase dan LDH, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1
Jumlah trombosit dan kadar LDH serum tidak hanya menjadi cukup prediktif untuk mendeteksi
keparahan penyakit tetapi juga untuk menunjukkan kecepatan pemulihan.

Tabel 1. Kriteria diagnostik utama dan sistem klasifikasi HELLP Syndrome (Harmon, 2015)

Keterangan: PEB, preeklampsia berat; ELLP, peningkatan enzim liver dan jumlah platelet
rendah (tidak terdapat hemolisis); EL, peningkatan enzim liver; LP, jumlah platelet yang rendah.

c. Manajemen HELLP Syndrome


Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, terutama kelainan
koagulasi. Langkah selanjutnya adalah evaluasi kesejahteraan janin dan usia kehamilan.10
Akhirnya, keputusan harus dibuat mengenai apakah pengiriman segera diindikasikan atau tidak.
Terdapat konsensus yang pendapat bahwa persalinan yang cepat diindikasikan jika sindrom
berkembang setelah 34 minggu kehamilan atau lebih awal jika ada disfungsi multi-organ, DIC,
infark hepar atau perdarahan, gagal ginjal, dugaan abrupsi plasenta, atau status janin yang tidak
meyakinkan untuk bertahan. Ada ketidaksepakatan yang signifikan mengenai manajemen wanita
dengan sindrom HELLP sebelum 34 minggu kehamilan, yaitu kematangan paru janin belum
tercapai pada UK tersebut. Beberapa penulis merekomendasikan memperpanjang kehamilan
sampai 34 minggu kehamilan atau sampai adanya perkembangan sebagai indikasi ibu atau janin
untuk persalinan. Meskipun tampaknya bahwa manajemen kehamilan mungkin bermanfaat, hasil
perinatal secara keseluruhan tampaknya tidak membaik bila dibandingkan dengan kasus usia
kehamilan yang sama yang dilahirkan dalam waktu 48 jam setelah diagnosis sindrom HELLP
(Hafizur, 2017).
BAB II

TINJAUAN FARMAKOTERAPI

2.1 Tujuan Farmakoterapi


Tujuan utama terapi preeklamsia berat adalah untuk mencegah dan mengurangi angka
kejadian eklampsia, mengurangi risiko terhadap ibu dan kerusakan organ target (komplikasi
serebrovaskuler dan kardiovaskuler)
Target terapi:
 mencegah/menghilangkan kejang
 menurunkan tekanan darah

2.2 Tinjauan Farmakoterapi

2.2.1 Pemilihan Farmakoterapi untuk Preeklampsia Berat


Penyakit preeklamsia berisiko tinggi bagi ibu hamil, oleh itu disarankan untuk melakukan
pengobatan ke rumah sakit segera sehingga dapat dilakukan pemantauan terus menerus. Terapi
yang diperlukan adalah terapi antihipertensi, jika perlu, pasien diberikan terapi profilaksis
antikonvulsif seperti Magnesium Sulfat, selai itu pasien juga diberikan perawatan ekspektatif.
 Perawatan ekspektatif

Gambar 7. Manajemen Ekspektatif Pasien Preeklamsia Berat (ACOG, 2013)


2.2.2 Penatalaksanaan Preeklampsia
Pengelolaan preeklamsia berat mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi,

pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit organ yang terlibat dan saat yang tepat

untuk persalinan. Penderita preeklamsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap

dan dianjurkan tidur miring ke kiri (POGI, 2005).

Pengelolaan cairan pada preeklamsia bertujuan untuk mencegah terjadinya edema paru

dan oliguria. Diuretikum diberikan jika terjadi edema paru dan payah jantung. Diuretikum yang

dipakai adalah furosemid. Pemberian diuretikum secara rutin dapat memperberat hipovolemi,

memperburuk perfusi utero-plasenta, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat

janin. Antasida digunakan untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang

dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung (Prawirohardjo, 2008).

1. Penanganan preeklamsia ringan

Terapi untuk preeklampsia dapat di berikan jika sudah memasuki masa akan melahirkan,

jika belum pada masa akan melahirkan, terapi berupa bed rest dengan memonitor secara rutin

tekanan darah, proteinuria, serum dan platelet (Dipiro et al.,2005).

2. Penanganan preeklamsia berat

Wanita penderita preeklamsia harus dirawat di rumah sakit, dimulai dengan memberikan

magnesium sulfat untuk mencegah kejang. Pemberian IV mungkin lebih disukai, karena

magnesium membawa resiko keracunan, dan infusa IV dapat segera dihentikan. Pemberian

dimulai dengan memberikan 4 gram dosis dan diikuti dengan infusa 1-3 g/jam secara IV dengan

menggunakan infus terkontrol. Aturan lain dimulai dengan 4 gram secara IV dimasukkan secara

simultan melalui injeksi intramuskular dengan 10 gram (5 gram melalui bokong) diikuti 5 gram

IM setiap 4 jam. Pemberian volume injeksi IM yang besar akan menyakitkan, dan lidocaine
dapat digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut (Dipiro et al., 2005). Pengawasan

ketat terhadap pasien yang menerima magnesium sulfat sangat diperlukan. Konsenterasi serum

optimal untuk pencegahan kejang adalah 4-7 mEq/L. Refleks harus dicek setiap jam. Keluaran

urin harus >25 ml/jam dan pernafasan harus >10/menit. Pemberian IV 1 gram kalsium glukonat

(10 ml dari 10% larutan) biasanya mengurangi keracunan magnesium. Kejang yang tidak dapat

dikontrol dengan magnesium mungkin merespon IV diazepam atau phenytoin (Dipiro et al.,

2005).

Tekanan darah sistolik ≥160-180 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥110 mmHg harus

diterapi dengan anti hipertensi secara IV. Hidralazine 5-10 mg IV, diberikan pertama kali, diikuti

dengan 10 mg setiap 20 menit setiap dibutuhkan untuk menurunkan tekanan darah diastolik

kurang dari 100 mmHg. Infus mungkin juga dibutuhkan. Propanolol dapat berguna untuk

menanggulangi efek samping hydralazine terhadap jantung (takikardi, palpitasi, berdebar), tetapi

tidak disarankan digunakan sebagai control tekanan darah tunggal. IV labetalol, dan adrenergic

blocker, mungkin dapat menjadi alternatif hydralazine karena memiliki onset efektifitas yang

lebih cepat dengan reflek takikardi yang lebih rendah. Hydralazine cenderung lebih efektif

(Dipiro et al., 2005).

2.2.3 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Pasien Preeklampsia


Terdapat perbedaan manajemen hipertensi pada kehamilan dan di luar kehamilan.

Kebanyakan kasus hipertensi di luar kehamilan merupakan hipertensi esensial yang bersifat

kronis. Terapi hipertensi di luar kehamilan ditujukan untuk mencegah komplikasi jangka

panjang, seperti stroke dan infark miokard, sedangkan hipertensi pada kehamilan biasanya

kembali normal saat post-partum, sehingga terapi tidak ditujukan untuk pencegahan komplikasi

jangka panjang. Preeklamsia berisiko menjadi eklamsia, sehingga diperlukan penurunan tekanan

darah yang cepat pada preeklamsia berat. Selain itu, preeklamsia melibatkan komplikasi
multisistem dan disfungsi endotel, meliputi kecenderungan protrombotik, penurunan volume

intravaskuler, dan peningkatan permeabilitas endotel. Preeklamsia onset dini (<34 minggu)

memerlukan penggunaan obat antihipertensi secara hati-hati; selain itu, diperlukan tirah baring

dan monitoring baik terhadap ibu maupun bayi. Pasien preeklamsia biasanya sudah mengalami

deplesi volume intravaskuler, sehingga lebih rentan terhadap penurunan tekanan darah yang

terlalu cepat; hipotensi dan penurunan aliran uteroplasenta perlu diperhatikan karena iskemia

plasenta merupakan hal pokok dalam patofisiologi preeklampsia. Selain itu, menurunkan

tekanan darah tidak mengatasi proses primernya.

Terapi obat antihipertensi direkomendasikan untuk wanita hamil dengan tekanan darah

sistolik 160-180 mmHg atau tekanan darah sistolik yang lebih besar dari 180 mmHg dan tekanan

darah diastolik besar dari 105-110 mmHg. Tujuan terapi adalah untuk menurunkan tekanan

sistolik sampai 140-155 mmHg dan tekanan diastolik sampai 90-105 mmHg. Untuk menghindari

terjadinya hipotensi, tekanan darah harus diturunkan secraa perlahan-lahan (Wagner, 2004).

Hipertensi ringan hingga hipertensi berat selama kehamilan adalah umum. Obat

antihipertensi sering digunakan dengan harapan bahwa penurunan tekanan darah akan mencegah

berkembangnya penyakit menjadi lebih parah dan dengan demikian meningkatkan kondisi pasien

(Abalos, et al 2001).

1. Rekomendasi terapi hipertensi ringan dalam kehamilan (JNC VII, 2003)

Tujuan terapi hipertensi ringan dalam kehamilan adalah untuk mencapai tekanan darah

diastolik 80-90 mmHg. Adapun obat lini pertama adalah metildopa, obat lini kedua adalah

Labetalol, nifedipin dan klonidin. Adapun obat yang harus dihindari adalah penghambat

ACE dan antagonis reseptor angiostensin II. Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain,

fungsi neuromuscular dan tekanan darah ketika menggunakan nifedipin bersamaan dengan
magnesium sulfat, dan tanda-tanda β-blocker pada janin yang baru lahir dari ibu yang diberi

penghambat β.

2. Rekomendasi terapi hipertensi berat dalam kehamilan

Tujuan terapi hipertensi berat dalam kehamilan adalah untuk mecapai tekanan darah

diastolik 90-100 mmHg. Adapun obat lini pertama adalah hidralazin. Lini kedua lebatalol

dan nifedipin. Indikasi khusus untuk pasien yang tidak dapat diberi obat lini pertama dan lini

kedua digunakan diazoxide dan sodium nitopurusside. Hal-hal yang harus diperhatikan

antara lain, fungsi neuromuscular dan tekanan darah ketika menggunakan nifedipin

bersamaan dengan magnesium sulfat dan perlu memonitor denyut jantung bayi selama terapi

akut.

3. Rekomendasi terapi hipertensi post partum

Obat yang direkomendasikan adalah metildopa dan timolol.

Tidak digunakannya lini pertama ataupun lini kedua (labetalol) pada terapi preeklamsia

berat ini karna ketersediaan Hidralazin dan labetalol yang jarang ditemukan di Indonesia,

sehingga terapi dialihkan ke lini ke dua (nicardipin) atau golongan calcium chanel blocker.

Kondisi awal pasien masuk ke rumah sakit ini adalah kondisi dimana pasien harus mendapatkan

obat antihipertensi yang memberikan kerja yang cepat. Dalam buku Farmaklogi Ricahrd A.

Harvey edisi 4, nicardipin merupakan salah satu obat anti hipertensi yang mampu bekerja cepat

untuk menurunkan tekanan darah, dimana mekanisme kerjanya adalah menghambat kanal

kalsium.
BAB III

ANALISIS DRP

3.1 Data Pasien

Nama Pasien : -
Jenis Kelamin : Perempuan
Kondisi Umum pasien :
 Hamil 23 minggu G1P0A0
o Gravida (kehamilan) : pertama
o Partus (Persalinan) : belum pernah
o Abortus (Keguguran) : belum pernah
 Kejang terjadi 1 kali saat masuk rumah sakit
 Nyeri epigastrium
 Udema
Riwayat penyakit sekarang : Pre eklamsi berat
Riwayat penyakit terdahulu : -
Hasil pemeriksaan fisik
 Tekanan darah : 180/110 mmHg (Tinggi)
o Tekanan darah normal : 140/90 mmHg
 Protein Urine : +4 (Tinggi/Proteinuria)
o Protein Urin normal : < 300 mg dalam 24 jam atau Urin dipstick < positif 1
3.2 Drug Therapy Assessment Worksheet (DTAW)

No Problem Assessment Presence of drug- comment


related problem
1. Correlation - Are thre drug without 1. A problem exists - magnesium
between drug a medical indication 2. More information sulfat 40% =
therapy - Are any medication needed for anti kejang
problem and unindetilled (are any determination - klonidin
medical unlabeled or re any 3. No problem exists (catapres),
problems prior to admission/ or an intervention is captopril =
clinic visit-unknown) non needed antihipertensi
- Are thre untreated - Hidroklorthiazid
medical condition? (HCT) = diuretic
Do they require drug
therapy?
2. Appropriate - What is the 1. A problem exists - Hidroklorthiazid
drug selection comparative efficacy 2. More information (HCT) KI
of the chosen needed for terhadap ibu
medications? determination hamil
- What is the relative 3. No problem exists - Klonidin dan
safety of the chosen or an intervention is captopril dapat
medication? non needed menyebabkan
- Has the therapy been hipotensi
tallored to this
individual patient?
3. Drug regimen - Are the prescribed 1. A problem exists - Dosis MgSO4
dose and dosing 2. More information terlalu besar
frequency needed for - MgSO4 im
appropriate-whitin the determination diganti
usual therapeutic 3. No problem exists menjadi iv
range and or modified or an intervention is agar efek
for patient factor? non needed terapi cepat
- Is pm use appropriate didapat
for those medication
either prescribed or
taken that way?
- Is the route/dosage
form/mode of
administrasion
appropriate,
considering efficacy,
safety, convenience,
patient limitation , and
remigen complexity?
- Is the length of crouse
of therapy
appropriate?
4. Therapeutic Are there any therapeutic 1. A problem exists Tidak ada
duplication duplication? 2. More information duplikasi terapi
needed for
determination
3. No problem exists
or an intervention is
non needed
5. Drug allergy - Is the patient allecgic to 1. A problem exists tidak adanya
or intolerance or intolerance of any 2. More information riwayat alergi
cemical (or chemically needed for pada rekam
related medications) determination mmedis pasien
currently being taken? 3. No problem exists
- Is the pateient using any or an intervention is
method to alert health non needed
care providers of the
allergy/intolerance?
6. - Are there any medical 1. A problem exists .belum ada
problem that may be 2. More information penggunaan
drug induced? What is needed for sebelumnya
the the that the problem determination
is related? 3. No problem exists
or an intervention is
non needed
7. Interaction - Are there drug-drug 1. A problem exists - Captopril +
Drug-drug, interaction? Are they 2. More information klonidine =
drug-disease, clinically significant? needed for memyebabkan
drug-nutrient - Are any medication determination hipotensi
and drug- contraindicated given 3. No problem exists - HCT KI
laboratory test patient characteristic and or an intervention is terhadap ibu
current/past disease non needed hamil
states?
- Are there drug-nutrient
interactions? Are they
clinically significant?
8. Social or - Is patient current use of 1. A problem exists Tidak diketahui
recreational social drugs 2. More information riwayat
drug use problematic? needed for penggunaan
- Could the sudden determination obat pasien
decrease or 3. No problem exists
discontinuation of or an intervention is
social drugs be related non needed
to patient symtoms?
9. Financial - Is the chosen 1. A problem exists Kondisi finansial
impact medications cost 2. More information pasien tidak
effective? needed for diketahui
- Does the cost of determination
theraphy represent a 3. No problem exists
financial hardship for or an intervention is
patient? non needed
10. Failure to - Has the patient failed to 1. A problem exists Pasien belum
receive receive a medication due 2. More information pernah
therapy to system error or needed for mendapatkan
noncopilance determination obat sebelumnya
- Are there factor 3. No problem exists karena ini
hindering the or an intervention is merupakan
achievement of non needed kehamilan
therapeutic afficacy? pertama pasien
11. Patient - Does the patient 1. A problem exists -tidak diketahui
knowledge of understand the purpose 2. More information pengetahuan
drug therapy of his or her needed for pasien.
medication, how to take determination
it, and the potential side 3. No problem exists
effect of theraphy? or an intervention is
- Would the patient non needed
benefit from education
tooks?
BAB IV

RENCANA ASUHAN ATAU PELAYANAN KEFARMASIAN

4.1 Rencana Pemantauan Efek Terapi

Pharmacothera Recommendations Monitoring Desired Monitoring


peutic Goal for therapy Parameter Endpoint(s) Frequency

Mencegah MgSO4 Kejang Tidak terjadi 2 kali sehari


terjadinya kejang
kejang

Menurunkan Nicardipin iv Tekanan TD Normal 2 kali sehari


tekan darah Darah

Mengontrol Methyldopa Tekanan 2 kali sehari


TD Normal
tekanan darah Darah

Mengurangi Furosemid Udem Tidak ada Setiap hari


terjadinya udem udem
4.2 Rencana Pemantauan Efek Samping

Nama : - No. DMK : 10.45.84.09


Umur : -
Ruangan : -
BB : - kg TB: - cm
Hari Manifestasi Nama Obat Regimen Cara Mengatasi
dan ESO Dosis ESO
Tanggal
- Mual, muntah, MgSO4 dosis awal 4 gr Perbanyak minum air
haus, im dan dosis putih, konsumsi
mengantuk dan lanjutan 6 gr im makanan yang mudah
kulit kemerahan setiap 6 jam dicerna

- Pusing, mual, Nicardipin iv 1 ampul Konsumsi makanan


konstipasi yang mudah dicerna
atau yang berserat
serta minum air putih
yang cukup

- Gangguan Methyldopa 2 x sehari 1 tab Minum obat setelah


saluran cerna, makan, Jangan
mulut kering, melakukan aktifitas
sedasi berkendara selama
pemakaian obat, dan
perbanyak konsumsi
air untuk mengurangi
resiko mulut kering

- Hipotensi, Furosemid 1 x sehari 1/2 tab Kontrol tekanan


hipokalemia darah dan jangan
menggunakan dosis
berlebih, control
kadar kalium dalam
darah/plasma.

4.3 Rencana Edukasi Pasien

Uraian Rekomendasi

Antihipertensi - Kontrol tekanan darah dalam rentang normal


- Diet rendah garam untuk mencegah terjadinya
hipertensi
- Hindari stress, jaga pola tidur
- Mencegah terjadinya eklampsia ( kejang)
Pemberian MgSO4 - mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia

Lain-lain - Kontrol protein urin


- Gunakan obat dengan tepat dan teratur
- Hubungi dokter jika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan
DAFTAR PUSTAKA

Abalos E., Duley L., Steyn D.W. & Henderson-Smart, D.J. 2001. Antyhypertensive drug
therapy for mild to moderate hypertension during pregnancy (Cochrane Review).

American College of Obstetricians and Gynecologists - Task Force on Hypertension in


Pregnancy. 2013. Hypertension in Pregnancy. Washington DC: ACOG.

Burke. S, Ananth (2013). Spiral Artery Remodelling in Preeklampsia Revisited ; 62p 1013-
1014.

Chestnut, David H. Chestnut’s Obstetric Anesthesia: Principles and Practice 5 th ed.


Philadelphia (USA): Elsevier; 2015, p. 521, 532-533, 2056-2062

Cunningham F.G, Leveno Kenneth J, Bloom Steven L (2014). Hypertensive Disorders in


William Obstetrics 24th Edition. McGraw Hill Education. 762-768.

Dipiro J.T., Wells B.G., Talbert R.L., Yee G.C., Matzke G.R. & Posey L.M.. 2005.
Pharmacotherapy Handbook Sixth Edition. New York: Mc Graw-Hill Companies.

Dorniak-wall T, Grivell R.M et al (2013). The Role of L-Arginineee in the prevention and
treatment of pre-eclampsia: a systematic review of randomized trials. 230-235.

Ekambaram P (2011). HSP70 Expression and its Role in Preeclamptic Stress.Indian J.


Biochem.Biophys.48 : 243- 255.

Gede,P. (2013). Peranan Peroksidasi Lipid Pada Patogenesis Preeklampsia Bagian/SMF


Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

George EM, Granger JP (2010). Recent insights into the pathophysiology of


preeklampsia.Expert Rev. Obstet. Gynecol. 5(5), 557–566

Gilbert JS, Babcock SA, Granger JP (2007). Hypertension produced by reduced uterine
perfusion in pregnant rats is associated with increased soluble fms-like tyrosine
kinase-1 expression. Hypertension. 50: 1142–1147.

Hafizur, Rahman. Pinning Down HELLP: A Review. Biomed J Sci & Tech Res 1(3)-2017

Hagman H , Ravi T, Thomas B ,Ananth K, Holger S (2012). The promise of angiogenic


markers for the early diagnosis and prediction of preeklampsia. Clinical Chemistry.58:
5 837- 845.

Harmon, Ashlyn Cornelius, Denise Amaral, Lorena Paige, Adrienne Herse, Florian Ibrahim,
Tarek Wallukat, Gerd Faulkner, Jessica Moseley, Janae Dechend, Ralf LaMarca,
Babbette. (2015). IL-10 supplementation increases Tregs and decreases hypertension
in the RUPP rat model of preeclampsia. Hypertension in pregnancy. 34. 1-16.
10.3109/10641955.2015.1032054.

Harvey A. Ricard, Champe C. & Pamela. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: EGC.

Hishashi M, Etsuko N, Tomonori S,Yuji H (2012). Severe Superimposed preeklampsia with


obesity, diabetes, and mild imbalance of angiogenic factors. Acta Med Okayama.Vol
66. No 2.Pp 171-175.

Joint National Committee VII. 2003. The seventh report of the Joint National Committee on
prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood preassure
Hypertension.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Infodatin Hipertensi. Jakarta: Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.

Kim J.Y, Kim Y.M (2015). Acute Atherosis of the Uterine Spiral Arteries :
Clinicopathologic Implications;49: p 462-471.

LeiH ,Zhiling Y,et al (2014). Antepartum or Immediate Postpartum Renal Biopsi


Preeklampsia of Pregnancy: new Morphologic and Clinical
Findings.IntJClinExpPathol. 7(8): 5129- 5143.

Lukito J.S, Puspa Dewi. (2007). Gambaran Histopatologi Arteria Spiralis Altas Plasenta
pada Preeklampsia / Eklampsia dan kehamilan Normotensif. Vol 40. No. 3.

Persatuan Obstetri & Ginekologi Indonesia (POGI). 2005. Pedoman pengelolaan Hipertensi
pada kehamilan di Indonesia edisi 2. Semarang: Himpunan Kedokteran Feto Maternal
POGI
Powe C E, Levine R J, Karumachi S A (2011). Preeklampsia, a Disease of the Maternal
Endothelium The Role of Antiangiogenic Factors and Implications for Later
Cardiovascular Disease. Circulation.123:2856-2869.

Prawirohardjo S. 2008. Preeklamsia dan Eklamsia dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke 3.


Jakarta: Bina pustaka.

Shamsi U, Saleem S, Nishter N (2013). Epidemiology and risk factors of preeklampsia; an


overview of observational studies.AlAmeen J Med Sc i. 6( 4) : 292- 300.

Shunping G.,(2013). Arginine supplementation for improving maternal and neonatal


outcomes inhypertensive disorder of pregnancy: Department of Obstetrics and
Gynaecology, West China Second University Hospital, Sichuan University, PR
ChinaChinese Evidence-Based Medicine Centre, Sichuan University, PR
China.Journal of the Renin- Angiotensin-Aldosterone System 0(0) 1-9 © The
Author(s) Reprints and permission: sagepub.co.uk/ journals Permissions. Nav DOI
:10. 1177 / 1470320313475910 jra. sagepub.com

Staff Anne C, Benton Samantha J, Dadelszen Peter V et al (2013). Redefining Preeklampsia


Using Placenta - Derived Biomarkers.Hypertension. 61: 932-942.

Suardana Ketut. (2012). Peran Stress Oksidatif pada Abortus.

Tamanrit Johal, Christoph C. Lees, Thomas R. Everett, Ian B. Wilkinson (2014). The Nitric
Oxide Pathway And Possible Therapeutic Options in Preeklampsia. British Journal of
Clinical Pharmacology. View Issue TOC. Vol. 78.issue 2. Page 244-257. DOI :
10.1111/bcp.12301.

Task Force on Hypertension in Pregnancy, American College of Obstetricians and


Gynecologist. Hypertension in Pregnancy. Washington: ACOG. 2013

Wang, A., Rana, S., Karumanchi, SA. (2009). Preeklampsia: The Role of Angiogenic
Factors in Its Pathogenesis. Physiology 24: 147–158.

Zakaria Gad M. (2010), Anti Aging effect of L-Arginineee : 169-177.

Anda mungkin juga menyukai