HALAMAN JUDUL
OLEH :
KELOMPOK 4 – KELAS B
H
ALPROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020
DAFTAR PUSTAKA
TINJAUAN PATOFISIOLOGI
1.2 Definisi
Preeklampsia (PE) merupakan suatu sindroma klinis yang didefinisikan sebagai suatu
onset baru dari hipertensi dan proteinuria selama waktu paruh kedua kehamilan (Poweet al,
2011). PE juga bisa diartikan sebagai kondisi spesifik hanya pada kehamilan yang meningkatkan
mortalitas dan morbiditas pada maternal dan fetal. Diagnosis PE ditegakkan pada tekanan darah
dengan cut-off 140/90 dan harus ada proteinuria (Shamsi et al, 2013). Ghulmiyyah dan Sibai
(2012) menyebutkan bahwa PE merupakan sindrom klinis dengan karakteristik onset baru dari
hipertensi dan proteinuria setelah 20 minggu usia gestasi pada wanita yang sebelumnya
normotensi.
Sindrom ini berhubungan dengan adanya penurunan perfusi uteroplasenta, peningkatan
kematian sel trofoblas dan aktivasi sel endotel maternal dan juga salah satu indikasi mayor
dilakukannya operasi cesar elektif. Preeklampsia dikarakteristikan dengan adanya oliguria,
xanthin oxidase, asam sialik, aspartat transaminase, kreatinin, asam urat, laktat dehidrogenase,
dan edema lokal (Ekambaran, 2011).
Komplikasi maternal akut preeklampsia antara lain eklampsia, stroke, solusio plasenta,
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ruptur hati dan perdarahan, edema paru, gagal
ginjal akut, dan kematian. Sedangkan komplikasi maternal kronis preeklampsia antara lain
hipertensi kronis, diabetes mellitus, penyakit jantung coroner dan defisit neurologis. Komplikasi
perinatal antara lain still birth, prematuritas, petumbuhan janin terhambat, komplikasi neonatal
dan sekuelnya terutama terkait prematuritas. Subklasifikasi preeklampsia dapat juga berdasarkan
derajat beratnya karakteristik maternal dan fetal. Sindroma preeklampsia meluas tidak hanya
timbulnya hipertensi disertai timbulnya proteinuria, tetapi keterlibatan maternal dan fetal seperti
insufisiensi renal, disfungsi hepatoseluler ataupun pertumbuhan janin terhambat. Definisi
preeklampsia dapat digunakan dalam praktik klinis dimana penilaian klinis penting dalam
penatalaksanaan, ataupun juga dalam penelitian dimana kriteria objektif tergantung peneliti.
Dalam penelitian ini tidak digunakan definisi klasik preeklampsia (Staff et al, 2013).
Faktor risiko terjadinya preeklampsia antara lain nulipara (multipara dengan pasangan
baru mempunyai risiko yang sama seperi nulipara), hipertensi kronis, diabetes mellitus, penyakit
ginjal, obesitas, kondisi hiperkoagulitas (misalnya sindroma anti fosfolipid), usia tua maternal
dan kondisi yang menyebabkan bertambahnya massa plasenta (misalnya kehamilan multifetus
dan mola hidatidosa). Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya meningkatkan risiko
berulangnya preeklampsia. Pada kebanyakan kasus tidak ditemukan riwayat keluarga, akan tetapi
riwayat keluarga derajat pertama meningkatkan 2 sampai 4 kali lipat risiko terjadinya
preeklampsia (Wang et al, 2009).
1.3 Patogenesis
Preeklampsia merupakan sindroma sistemik pada kehamilan yang berasal dari plasenta.
Diyakini invasi sitotrofoblas plasenta yang inadekuat dan diikuti dengan disfungsi endotel
maternal menjadi penyebabnya. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa adanya faktor
antiangiogenik seperti soluble fins-like tyrosine kinase 1 (sFlt1) dan juga soluble endoglin (sEng)
yang muncul di plasenta menjadi penyebab hipertensi, proteinuria dan manifestasi klinis lain
(Young et al, 2010). Bersamaan dengan itu faktor angiogenik yang menurun juga menjadi
penyebab PE, faktor tersebut antara lain VEGF dan PIGF. Selain faktor-faktor tersebut, faktor
genetik, nulipara, riwayat PE, usia ibu yang terlalu tua atau terlalu muda, obesitas, diabetes,
hipertensi kronis, kelainan ginjal serta penyakit autoimun juga berperan dalam kejadian PE
(Hisashi et al, 2012).
Preeklampsia (PE) diawali dengan invasi trofoblas yang dangkal dan kegagalan
remodeling arteriol spiral. Hal ini akan menginisiasi keadaan hipoksia dan menghambat ekspresi
beberpa agen regulator hipoksia (George dan Granger, 2010). Plasenta hipoksia yang timbul
pada awal PE ini akan berhubungan dengan sFlt-1. Keadaan hipoksia ini pada penelitian
menggunakan tikus menunjukkan adanya peningkatan kadar sFlt-1 serum dan menyebabkan
adanya sindroma menyerupai PE (Gilbert et al , 2007).
Kelainan tersebut mungkin berkaitan dengan jalur nitrit oksida, yang memberikan
kontribusi substansial untuk mengontrol tekanan vaskuler. Selain nitrit oksida, adanya stres
oksidatif memacu pelepasan dari radikal bebas, lipidoksida,sitokin dan sFlt-1. Hal tersebut
mengakibatkan disfungsi endotel dengan gangguan permeabilitas vaskuler dan peningkatan
tekanan darah (Ekambaran,2011).
Proses plasentasi pada mamalia membutuhkan faktor angiogenesis yang tinggi untuk
mencukupi kebutuhan oksigen dan nutrisi janin. Faktor proangiogenik dan antiangiogenik
bekerjasama dalam perkembangan plasenta. Dipercaya bahwa angiogenesis plasenta pada
preeklampsia tidak efektif. Pada preeklampsia, sitotrofoblas gagal merubah ikatan cell-surface
dan adhesion molecules. Perubahan yang abnormal dari sitotrofoblas merupakan deteksi awal
yang akan menyebabkan iskemia plasenta (Hagman,2012).
Gambar 2. Perbedaan proses invasi trofoblas pada kehamilan normal dan preeklampsia
(Powe et al, 2011)
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pada gambar di atas dapat dijelaskan bahwa PE
terjadi juga karena penurunan fungi dari faktor angiogenik seperti VEGF dan analognya yang
dihasilkan plasenta yaitu PIGF. Faktor-faktor tersebut sangat penting pada proses embriogenik
vaskulogenesis dan angiogenesis. Pada gambar di atas juga terlihat adanya plasentasi normal,
sitotrofoblas invasif fetus akan menginvasi arteri spiralis maternal, mengubah vasa darah tersebut
vasa darah resisten kaliber kecil menjadi vasa kapasitansi kaliber besar yang mampu menjamin
perfusi adekuat bagi pertumbuhan fetus. Selama proses invasi vaskuler, sitotrofoblas berubah
dari fenotip epitel menjadi fenotip endotel, sebuah proses yang merujuk pada pseudo-
vaskulogenesis atau mimikri vaskuler. Pada PE, terjadi kegagalan sitotrofoblas untuk
mengadopsi fenotip invasif endotelial. Sebaliknya invasi terhadap arteri spiralis dangkal dan vasa
darah tetap menjadi vasa darah yang resisten dengan kaliber kecil (Powe et al, 2011).
1. Hipertensi Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg dan kurang dari 160/110 Kenaikan tekanan darah
sistolik ≥ 30 mmHg Kenaikan tekanan darah diastolik ≥ 15 mmHg
2. Proteinuria 0,3 g/L dalam 24 jam atau secara kualitatif sampai +2.
Diagnosis preeklampsia berat (PEB) ditegakkan bila didapatkan satu atau lebih gejala sebagai
berikut:
1. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak
turun meskipun ibu hamil sudah dirawat dan menjalani tirah baring.
2. Proteinuria lebih dari 5 g/L dalam 24 jam atau kualitatif +4.
3. Oligouria, yaitu jumlah produksi urine kurang dari 500 cc dalam 24 jam yang disertai
kenaikan kadar kreatinin darah.
4. Adanya keluhan subjektif berupa:
Gangguan visus: mata berkunang-kunang
Gangguan serebral: kepala pusing
Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen
Hiperefleksia
5. Adanya sindroma HELLP, yaitu kumpulan gejala yang mencakup hemolisis, peningkatan
enzim hepar, dan jumlah platelet rendah (low platelet count)
6. Sianosis.
Pada sebagian besar kasus preeklampsia, akan terdapat proteinuria onset baru. Proteinuria
didefinisikan sebagai ekskresi 300 mg atau lebih protein dalam 24 jam, atau mencapai rasio
protein/kreatinin minimal yaitu 0,3 mg/dl, yang merupakan ekuivalen dari ekskresi protein 24
jam. Pembacaan protein pada dipstick +1 juga merupakan tanda dari proteinuria, namun karena
metode kualitatif tersebut memiliki banyak hasil positif dan negatif palsu, maka pengukuran
tersebut disarankan hanya digunakan apabila tidak terdapat sarana diagnosis secara kuantitatif.
Salah satu teori etiologi preeklampsia yang saat ini cukup banyak dianut adalah teori
iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel. Teori ini mengatakan adanya
ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan akibat
iskemia plasenta, sehingga terjadi stres oksidatif. Proses peroksidasi lipid dianggap memiliki
peranan penting didalamnya. Idealnya selama kehamilan normal, peningkatan produksi radikal
bebas keseimbangannya selalu dijaga melalui produksi antioksidan yang cukup, namun pada
preeklampsia terjadi peningkatan produksi radikal bebas berlebihan dan penurunan kadar
antioksidan sehingga menyebabkan suatu keadaan stres oksidatif (Gede, 2013).
Hipotesis yang penting pada patogenesis dari preeklampsia adalah terdapatnya senyawa
yang dihasilkan jaringan uteroplasenta yang masuk ke sirkulasi ibu dan menyebabkan kerusakan
endotel. Perubahan fungsi endotel yang terjadi dianggap sebagai penyebab utama timbulnya
gejala preeklampsia: hipertensi, proteinuria dan aktivasi sistem hemostasis. Senyawa yang
dihasilkan jaringan uteroplasenta yang dapat merusak endotel itu adalah hasil metabolisme lipid
terutama yaitu peroksidase lipid. Peroksidase lipid ini diproduksi pada saat radikal bebas
menyerang asam lemak tidak jenuh dan kolesterol pada membran sel dan lipoprotein.
Peroksidase lipid merupakan zat toksik yang bisa menyebabkan kerusakan sel baik secara
langsung maupun tidak langsung (Gede, 2013).
Keadaan hipoksia yang terjadi dapat meningkatkan jumlah xantin dehidrogenase yang
terkonversi menjadi xantin oksigenase yang akan mendegradasi purin, xantin dan hipoxantin
menjadi asam urat. Dalam proses degradasi tersebut terbentuk juga superoksida yang merupakan
suatu radikal bebas yang poten. Terjadinya reaksi radikal bebas ini ditandai dengan
meningkatnya lipid peroksida pada pasien preeklampsia dibandingkan dengan kehamilan normal.
Reaksi radikal bebas inilah yang akan menimbulkan disfungi endotel, yaitu terjadi endoteolisis
dan perubahan ultrastrukturnya pada alas plasenta dan pembuluh darah uterus, karena radikal
bebas ini bereaksi dengan membran sel sehingga terbentuk lipid peroksidase dan aldehida yang
toksik sehingga dapat mematikan sel (Gede, 2013).
1.6 Histopatologi Arteri Spiralis Uterus pada Kehamilan Normal dan Preeklampsia
Kehamilan membutuhkan adaptasi fisiologis dalam setiap sistem tubuh. Terkait dengan
curah jantung dan volume plasma yang meningkat mungkin ada perubahan dalam dinding
pembuluh darah sendiri yang sejauh ini belum didefinisikan. Arteri spiralis merupakan
percabangan dari arteri radialis,dimana arteri uterina sebagai pemasok aliran darah secara
topografi. Kegagalan konversi fisiologis arteri spiral dapat menyebabkan sejumlah komplikasi,
termasuk pembatasan pertumbuhan intrauterin dan pre-eklampsia.
Dalam kehamilan manusia, reaksi desidua baru selesai setelah implantasi blastokista.
Namun,perubahan pradesidua terjadi lebih dahulu saat fase midluteal dalam sel stroma
endometrium yang terletak di dekat arteriola dan arteri spiralis. Sebagai akibat implantasi, aliran
darah ke desidua kapsularis akan menghilang seiring berkembangnya embrio- janin. Aliran darah
ke desidua parietalis melalui arteri spiralis menetap, seperti juga aliran darah endometrium
selama fase luteal siklus. Arteri spiralis dalam desidua parietalis mempertahankan struktur
endotel dan otot polos pada dindingnya sehingga tetap responsive terhadap agen vasoaktif yang
bekerja pada otot polos atau sel endotel. Sistem arteri spiralis yang mendarahi desidua basalis
tepat dibawah blastokista yang berimplantasi, dan akhirnya mendarahi juga ruang intervillus,
mengalami perubahan yang dramatis. Arteriola dan arteri spiralis ini diinvasi oleh sitotrofoblas.
Selama proses ini, dinding pembuluh darah desidua basalis dihancurkan. Hanya tersisa selubung
pembuluh tanpa otot polos ataupun sel endotel. Akibat yang penting dari hal tersebut adalah
saluran pembuluh darah maternal ini yang menjadi pembuluh darah uteroplasenta tidak
responsive terhadap agen vasoaktif (Cunningham, 2014).
Pada kehamilan normal terjadi invasi trofoblas pada pembuluh darah di bagian desidua.
Invasi trofoblas gelombang pertama ini terjadi pada usia kehamilan 10–16 minggu. Pada usia
kehamilan 22 minggu terjadi invasi trofoblas gelombang kedua, di mana sel-sel trofoblas
memasuki arteri spiralis di lapisan desidua sampai ke lapisan miometrium. Lapisan otot dinding
pembuluh darah tersebut digantikan oleh jaringan elastis, sehingga pembuluh darah berdilatasi
mencapai 30 kali dari sebelum hamil. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan
fisiologis. Pada PE invasi trofoblas gelombang kedua tidak sempurna atau gagal terjadi. Dengan
demikian lapisan otot tunika media pembuluh darah tetap sebagaimana biasa sehingga arteri
spiralis tidak berdilatasi dan memungkinkan terjadinya vasokonstriksi. Pada keadaan ini
perubahan fisiologis tidak terjadi. Akibat kegagalan invasi trofoblas ini akan terjadi perubahan
pada arteri spiralis sehingga terjadi penurunan aliran darah uteroplasenta, terjadi hiperplasia
tunika intima dan proses aterosis. Pada hasil penelitian didapatkan hasil pada hiperplasia tunika
intima pada kelompok Preeklampsia/Eklampsia 20 kasus dan kelompok normotensif tidak
dijumpai, aterosis akut pada Preeklampsia/Eklampsia 18 kasus dan kelompok normotensif tidak
dijumpai ( Lukito, 2007 ).
Pada implantasi arteri spiralis uteri mengalami remodeling ekstensif karena diinvasi oleh
trofoblas endovascular. Sel-sel ini menggantikan lapisan otot dan endotel untuk memperlebar
diameter pembuluh darah. Vena-vena hanya diinvasi secara superficial. Namun, pada
preeklampsia, mungkin terjadi invasi trofoblastik inkomplet. Bila terjadi invasi dangkal,
pembuluh desidua, dan bukan pembuluh darah miometrium, akan dilapisi oleh trofoblas
endovascular. Arteriola miometrium yang lebih dalam tidak kehilangan lapisan endotel dan 17
jaringan muskoelastik mereka, dan rerata diameter eksternal mereka hanya setengah diameter
pembuluh pada plasenta normal. Pada bebeberapa penelitian memperlihatkan bahwa derajat
gangguan invasi trofoblas pada arteri spiralis berhubungan dengan keparahan penyakit
hipertensi. ( Cunningham, 2009 ).
Yang terbaik dipelajari adalah pada mencit, dengan masa yang singkat (19 - 20) hari
kehamilan dan adanya remoderlling arteri spiral desidua signifikan. Pada mencit, terdapat
Natural killer sel yang terutama bertanggung jawab untuk remodelling arteri dalam spesies ini.
Invasi trofoblas di mencit relatif dangkal dan sementara dibatasi sampai akhir kehamilan,
umumnya dianggap sebagai kontributor minor terjadinya remodeling arteri (Burke, 2013).
1.7 L-Arginine
Arginine adalah salah satu bentuk asam amino esensial, bentuk aktif dalam L-form, yang
disintesis oleh sel-sel endotel dan diekskresikan lewat urin. Arginine telah diketahui sebagai
terapi dari berbagai penyakit dan berperan sebagai diet. L-Arginine adalah substrat nitrit oksida
(NO), sebuah vasodilator yang potent, yang mungkin memainkan peran utama dalam regulasi
tekanan darah. Penelitian dengan model hewan coba menunjukkan bahwa L-Arginine-No system
mengalami upregulasi selama kehamilan, dan hipertensi, proteinuria, IUGR, dan kerusakan
glomerulus dapat terjadi akibat blokade dari sintesis NO, sementara hipertensi akibat inhibisi
sintesis NO dapat diperbaiki dengan suplementasi L-Arginine. Pada manusia, pemberian L-
Arginine dapat meningkatkan sirkulasi uteroplasenta dan menurunkan tekanan darah maternal,
dan stress oksidatif dapat berperan sebagai kunci utama dalam perkembangan disfungsi endotel
dan preeklampsia. Oleh karena itu, L-Arginine mungkin dapat menjadi opsi terapi baru untuk
hipertensi pada kehamilan. (Shunping Gui et all 2013).
L-Arginine secara tradisional diklasifikasikan sebagai asam amino semi esensial atau
penting secara kondisional; adalah esensial pada anak-anak dan non-esensial pada orang dewasa.
Homeostasis plasma konsentrasi L-Arginine diatur oleh asupan makanan arginin, omset protein,
sintesis arginin, dan metabolisme. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa, dalam kondisi
tertentu, L-Arginine dapat menjadi komponen makanan yang penting. Jaringan utama di mana
endogen sintesis L-Arginine terjadi adalah ginjal, di mana L-Arginine terbentuk dari citrulline,
yang dirilis terutama oleh usus kecil. Hati juga mampu mensintesis jumlah yang cukup L-
Arginine; namun, ini benar-benar digunakan ulang dalam siklus urea agar hati memberikan
kontribusi sedikit atau tidak sama sekali untuk fluks arginin plasma.
L-Arginine biasanya merupakan sekitar 5 – 7 % dari kandungan asam amino dari diet
dewasa khas yang sehat. Ini dihitung untuk asupan rata-rata 2,5 – 5 g/hari, yang hanya memenuhi
persyaratan minimal tubuh untuk memperbaiki jaringan, sintesis protein dan pemeliharaan sel
kekebalan tubuh. L-Arginine disampaikan melalui saluran pencernaan (GIT) diserap dalam
jejunum dan ileum dari usus kecil. Sebuah sistem transportasi asam amino tertentu (y+
transporter) memfasilitasi proses ini; sistem transportasi ini juga bertanggung jawab untuk
membantu pengangkutan asam amino dasar lainnya L-lysine dan L-histidine. Sekitar 60% dari
L- Arginine yang diserap dimetabolisme oleh GIT, dan hanya 40% mencapai sirkulasi sistemik
utuh (Z.Gad, 2010).
Pada kondisi normal, tubuh mampu mensintesis L-Arginine untuk mencukupi kebutuhan,
tetapi pada kondisi stress tertentu, dimana terjadi peningkatan kebutuhan terhadap L- Arginine,
produksi dalam tubuh tidak lagi mampu mencukupi, dan pada saat itu L-Arginine dalam
makanan menjadi sangat essensial. L-Arginine banyak dijumpai pada makanan antara lain
kacang kacangan (brazil nuts dan almonds) kerang, dan termasuk daging sapi, daging babi. L-
Arginine disintesis terutama diginjal, memegang peranan penting dalam siklus krebs-henseleit
urea. L-ornithine dan L-citrulline merupakan precursor pada sintesis L-Arginine, yang kemudian
dikonversi menjadi urea dan Lorhithine oleh enzim arginase. Sebagian L-Argininee yang tidak
dikonversi masuk dalam sirkulasi dan didistribusikan keseluruh jaringan tubuh dan
dimetabolisme. Sebagian kecil L-Arginine disintesis di liver. Analisis farmakokinetik
menunjukan bahwa L-Arginine dose-related kinetics. Bioavailabilitas oral sekitar 70% dan
konsentrasi plasma maksimum dicapai lebih lambat daripada setelah pemberian intravena. Hal
ini berhubungan dengan absorbsi yang lambat pada traktus gastrointestinal. L-Arginine berperan
penting pada beberapa fungsi sistem dalam tubuh. Antara lain: detoksifikasi ammonia; precursor
nitric oxide, keratin, polyamine, glutamate, l-proline, agmantin, tetrapeptide tufsin; merupakan
asam aminoglikogenik; memperbaiki sistem imun; penatalaksanaan alkalosis metabolik berat;
merangsang sekresi growth hormone, prolaktin, hormone pancreas glucagon dan insulin, serta
aktifitas antioksidan (Andhi,2006).
Konsentrasi L-Arginine telah dibuktikan secara signifikan berkurang pada wanita dengan
preeklampsia bila dibandingkan dengan wanita yang sehat tanpa penyakit, dengan orang lain
menunjukkan perubahan dalam transportasi substrat. Namun, tampak bahwa rasio ADMA untuk
L-Arginine (bukan konsentrasi mutlak L-Arginine) mungkin lebih penting dalam menentukan
aktivitas nitrat oksida sintase dan produksi berikutnya radikal bebas oksigen, sehingga
menciptakan siklus mengabadikan nitrat disfungsi sintase oksida (Dorniack wall,2013).
a. Manifestasi Klinis
Pasien dengan preeklampsia-eklampsia dan sindrom HELLP dapat datang dengan
berbagai tanda dan gejala yang sama sekali tidak mengarah ke diagnosis. Wanita hamil biasanya
hadir di trimester ketiga dengan keluhan malaise (90%), epigastrium atau nyeri kuadran kanan
atas (90%), mual atau muntah (50%), atau gejala mirip virus yang tidak spesifik. Meskipun
sebagian besar pasien ini hadir pada trimester ketiga, tidak jarang pasien datang pada akhir
trimester kedua atau pada periode postpartum. Untuk alasan ini, wanita hamil dengan gejala yang
mengkhawatirkan harus menjalani pemeriksaan diagnostik termasuk hitung darah lengkap,
jumlah trombosit, evaluasi enzim hepar, dan dipstik urin untuk protein, terlepas dari tekanan
darah mereka. Adanya hasil protein yang abnormal pada uji dipstik urin harus diikuti dengan
evaluasi kuantitatif untuk protein dalam uji 24 jam spesimen urin (Harmon, 2015).
Nyeri abdomen sering terjadi dan dapat ditemukan pada sekitar 50% pasien. Nyeri perut
biasanya ditemui di daerah kuadran kanan atas, epigastrik atau substernal dan sering dikaitkan
dengan kelainan laboratorium yang mendefinisikan sindrom HELLP. Nyeri perut umumnya
tidak ada pada gangguan lain yang unik pada kehamilan seperti kolestasis dan hiperemesis,
namun sering ditemukan di HELLP dan acute fatty liver of pregnancy (AFLP) atau sindrom
perlemakan hati akut pada kehamilan (American College of Obstetricians and Gynecologists,
2013). Meskipun sindrom HELLP mungkin memiliki gejala yang mirip dengan preeklamsia dan
merupakan salah satu kriteria bukanlah prasyarat untuk sindrom HELLP dan hipertensi, jika ada,
tidak harus parah. Hipertensi berat didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥110 mmHg. Hemolisis, didefinisikan sebagai adanya anemia hemolitik
mikroangiopati, adalah ciri khas dari triad sindrom HELLP. Temuan klasik hemolisis
microangiopatik termasuk penurunan yang signifikan dalam kadar hemoglobin, peningkatan
serum bilirubin tidak langsung, kadar haptoglobin serum yang rendah, peningkatan kadar laktat
dehidrogenase (LDH) dan apus perifer abnormal (schistocytes, sel duri, dan echinocytes).
Ambiguitas yang sama ada pada penggunaan tes fungsi hati yang abnormal untuk
mendefinisikan sindrom HELLP. Tidak ada konsensus mengenai tingkat peningkatan enzim hati
yang digunakan untuk mendiagnosis sindrom HELLP (Harmon, 2015). Jumlah trombosit yang
rendah adalah kelainan lain yang diperlukan untuk membuat diagnosis sindrom HELLP. Namun,
tidak ada kriteria yang menentukan untuk jumlah trombosit yang rendah. Diferensial diagnosis
dari sindrom HELLP adalah sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS), disseminated
intravascular coagulation (DIC), thrombocytopenic purpura (TTP), sindrom uremik hemolitik
(HUS) dan AFLP. yang dapat menentukan preeklamsia berat, sindrom ini dapat berkembang
pada wanita yang mungkin tidak memiliki tanda atau gejala preeklamsia lainnya. Preeklampsia
Tabel 1. Kriteria diagnostik utama dan sistem klasifikasi HELLP Syndrome (Harmon, 2015)
Keterangan: PEB, preeklampsia berat; ELLP, peningkatan enzim liver dan jumlah platelet
rendah (tidak terdapat hemolisis); EL, peningkatan enzim liver; LP, jumlah platelet yang rendah.
TINJAUAN FARMAKOTERAPI
pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit organ yang terlibat dan saat yang tepat
untuk persalinan. Penderita preeklamsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap
Pengelolaan cairan pada preeklamsia bertujuan untuk mencegah terjadinya edema paru
dan oliguria. Diuretikum diberikan jika terjadi edema paru dan payah jantung. Diuretikum yang
dipakai adalah furosemid. Pemberian diuretikum secara rutin dapat memperberat hipovolemi,
memperburuk perfusi utero-plasenta, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat
janin. Antasida digunakan untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang
Terapi untuk preeklampsia dapat di berikan jika sudah memasuki masa akan melahirkan,
jika belum pada masa akan melahirkan, terapi berupa bed rest dengan memonitor secara rutin
Wanita penderita preeklamsia harus dirawat di rumah sakit, dimulai dengan memberikan
magnesium sulfat untuk mencegah kejang. Pemberian IV mungkin lebih disukai, karena
magnesium membawa resiko keracunan, dan infusa IV dapat segera dihentikan. Pemberian
dimulai dengan memberikan 4 gram dosis dan diikuti dengan infusa 1-3 g/jam secara IV dengan
menggunakan infus terkontrol. Aturan lain dimulai dengan 4 gram secara IV dimasukkan secara
simultan melalui injeksi intramuskular dengan 10 gram (5 gram melalui bokong) diikuti 5 gram
IM setiap 4 jam. Pemberian volume injeksi IM yang besar akan menyakitkan, dan lidocaine
dapat digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut (Dipiro et al., 2005). Pengawasan
ketat terhadap pasien yang menerima magnesium sulfat sangat diperlukan. Konsenterasi serum
optimal untuk pencegahan kejang adalah 4-7 mEq/L. Refleks harus dicek setiap jam. Keluaran
urin harus >25 ml/jam dan pernafasan harus >10/menit. Pemberian IV 1 gram kalsium glukonat
(10 ml dari 10% larutan) biasanya mengurangi keracunan magnesium. Kejang yang tidak dapat
dikontrol dengan magnesium mungkin merespon IV diazepam atau phenytoin (Dipiro et al.,
2005).
Tekanan darah sistolik ≥160-180 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥110 mmHg harus
diterapi dengan anti hipertensi secara IV. Hidralazine 5-10 mg IV, diberikan pertama kali, diikuti
dengan 10 mg setiap 20 menit setiap dibutuhkan untuk menurunkan tekanan darah diastolik
kurang dari 100 mmHg. Infus mungkin juga dibutuhkan. Propanolol dapat berguna untuk
menanggulangi efek samping hydralazine terhadap jantung (takikardi, palpitasi, berdebar), tetapi
tidak disarankan digunakan sebagai control tekanan darah tunggal. IV labetalol, dan adrenergic
blocker, mungkin dapat menjadi alternatif hydralazine karena memiliki onset efektifitas yang
lebih cepat dengan reflek takikardi yang lebih rendah. Hydralazine cenderung lebih efektif
Kebanyakan kasus hipertensi di luar kehamilan merupakan hipertensi esensial yang bersifat
kronis. Terapi hipertensi di luar kehamilan ditujukan untuk mencegah komplikasi jangka
panjang, seperti stroke dan infark miokard, sedangkan hipertensi pada kehamilan biasanya
kembali normal saat post-partum, sehingga terapi tidak ditujukan untuk pencegahan komplikasi
jangka panjang. Preeklamsia berisiko menjadi eklamsia, sehingga diperlukan penurunan tekanan
darah yang cepat pada preeklamsia berat. Selain itu, preeklamsia melibatkan komplikasi
multisistem dan disfungsi endotel, meliputi kecenderungan protrombotik, penurunan volume
intravaskuler, dan peningkatan permeabilitas endotel. Preeklamsia onset dini (<34 minggu)
memerlukan penggunaan obat antihipertensi secara hati-hati; selain itu, diperlukan tirah baring
dan monitoring baik terhadap ibu maupun bayi. Pasien preeklamsia biasanya sudah mengalami
deplesi volume intravaskuler, sehingga lebih rentan terhadap penurunan tekanan darah yang
terlalu cepat; hipotensi dan penurunan aliran uteroplasenta perlu diperhatikan karena iskemia
plasenta merupakan hal pokok dalam patofisiologi preeklampsia. Selain itu, menurunkan
Terapi obat antihipertensi direkomendasikan untuk wanita hamil dengan tekanan darah
sistolik 160-180 mmHg atau tekanan darah sistolik yang lebih besar dari 180 mmHg dan tekanan
darah diastolik besar dari 105-110 mmHg. Tujuan terapi adalah untuk menurunkan tekanan
sistolik sampai 140-155 mmHg dan tekanan diastolik sampai 90-105 mmHg. Untuk menghindari
terjadinya hipotensi, tekanan darah harus diturunkan secraa perlahan-lahan (Wagner, 2004).
Hipertensi ringan hingga hipertensi berat selama kehamilan adalah umum. Obat
antihipertensi sering digunakan dengan harapan bahwa penurunan tekanan darah akan mencegah
berkembangnya penyakit menjadi lebih parah dan dengan demikian meningkatkan kondisi pasien
(Abalos, et al 2001).
Tujuan terapi hipertensi ringan dalam kehamilan adalah untuk mencapai tekanan darah
diastolik 80-90 mmHg. Adapun obat lini pertama adalah metildopa, obat lini kedua adalah
Labetalol, nifedipin dan klonidin. Adapun obat yang harus dihindari adalah penghambat
ACE dan antagonis reseptor angiostensin II. Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain,
fungsi neuromuscular dan tekanan darah ketika menggunakan nifedipin bersamaan dengan
magnesium sulfat, dan tanda-tanda β-blocker pada janin yang baru lahir dari ibu yang diberi
penghambat β.
Tujuan terapi hipertensi berat dalam kehamilan adalah untuk mecapai tekanan darah
diastolik 90-100 mmHg. Adapun obat lini pertama adalah hidralazin. Lini kedua lebatalol
dan nifedipin. Indikasi khusus untuk pasien yang tidak dapat diberi obat lini pertama dan lini
kedua digunakan diazoxide dan sodium nitopurusside. Hal-hal yang harus diperhatikan
antara lain, fungsi neuromuscular dan tekanan darah ketika menggunakan nifedipin
bersamaan dengan magnesium sulfat dan perlu memonitor denyut jantung bayi selama terapi
akut.
Tidak digunakannya lini pertama ataupun lini kedua (labetalol) pada terapi preeklamsia
berat ini karna ketersediaan Hidralazin dan labetalol yang jarang ditemukan di Indonesia,
sehingga terapi dialihkan ke lini ke dua (nicardipin) atau golongan calcium chanel blocker.
Kondisi awal pasien masuk ke rumah sakit ini adalah kondisi dimana pasien harus mendapatkan
obat antihipertensi yang memberikan kerja yang cepat. Dalam buku Farmaklogi Ricahrd A.
Harvey edisi 4, nicardipin merupakan salah satu obat anti hipertensi yang mampu bekerja cepat
untuk menurunkan tekanan darah, dimana mekanisme kerjanya adalah menghambat kanal
kalsium.
BAB III
ANALISIS DRP
Nama Pasien : -
Jenis Kelamin : Perempuan
Kondisi Umum pasien :
Hamil 23 minggu G1P0A0
o Gravida (kehamilan) : pertama
o Partus (Persalinan) : belum pernah
o Abortus (Keguguran) : belum pernah
Kejang terjadi 1 kali saat masuk rumah sakit
Nyeri epigastrium
Udema
Riwayat penyakit sekarang : Pre eklamsi berat
Riwayat penyakit terdahulu : -
Hasil pemeriksaan fisik
Tekanan darah : 180/110 mmHg (Tinggi)
o Tekanan darah normal : 140/90 mmHg
Protein Urine : +4 (Tinggi/Proteinuria)
o Protein Urin normal : < 300 mg dalam 24 jam atau Urin dipstick < positif 1
3.2 Drug Therapy Assessment Worksheet (DTAW)
Uraian Rekomendasi
Abalos E., Duley L., Steyn D.W. & Henderson-Smart, D.J. 2001. Antyhypertensive drug
therapy for mild to moderate hypertension during pregnancy (Cochrane Review).
Burke. S, Ananth (2013). Spiral Artery Remodelling in Preeklampsia Revisited ; 62p 1013-
1014.
Dipiro J.T., Wells B.G., Talbert R.L., Yee G.C., Matzke G.R. & Posey L.M.. 2005.
Pharmacotherapy Handbook Sixth Edition. New York: Mc Graw-Hill Companies.
Dorniak-wall T, Grivell R.M et al (2013). The Role of L-Arginineee in the prevention and
treatment of pre-eclampsia: a systematic review of randomized trials. 230-235.
Gilbert JS, Babcock SA, Granger JP (2007). Hypertension produced by reduced uterine
perfusion in pregnant rats is associated with increased soluble fms-like tyrosine
kinase-1 expression. Hypertension. 50: 1142–1147.
Hafizur, Rahman. Pinning Down HELLP: A Review. Biomed J Sci & Tech Res 1(3)-2017
Harmon, Ashlyn Cornelius, Denise Amaral, Lorena Paige, Adrienne Herse, Florian Ibrahim,
Tarek Wallukat, Gerd Faulkner, Jessica Moseley, Janae Dechend, Ralf LaMarca,
Babbette. (2015). IL-10 supplementation increases Tregs and decreases hypertension
in the RUPP rat model of preeclampsia. Hypertension in pregnancy. 34. 1-16.
10.3109/10641955.2015.1032054.
Harvey A. Ricard, Champe C. & Pamela. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: EGC.
Joint National Committee VII. 2003. The seventh report of the Joint National Committee on
prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood preassure
Hypertension.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Infodatin Hipertensi. Jakarta: Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Kim J.Y, Kim Y.M (2015). Acute Atherosis of the Uterine Spiral Arteries :
Clinicopathologic Implications;49: p 462-471.
Lukito J.S, Puspa Dewi. (2007). Gambaran Histopatologi Arteria Spiralis Altas Plasenta
pada Preeklampsia / Eklampsia dan kehamilan Normotensif. Vol 40. No. 3.
Persatuan Obstetri & Ginekologi Indonesia (POGI). 2005. Pedoman pengelolaan Hipertensi
pada kehamilan di Indonesia edisi 2. Semarang: Himpunan Kedokteran Feto Maternal
POGI
Powe C E, Levine R J, Karumachi S A (2011). Preeklampsia, a Disease of the Maternal
Endothelium The Role of Antiangiogenic Factors and Implications for Later
Cardiovascular Disease. Circulation.123:2856-2869.
Tamanrit Johal, Christoph C. Lees, Thomas R. Everett, Ian B. Wilkinson (2014). The Nitric
Oxide Pathway And Possible Therapeutic Options in Preeklampsia. British Journal of
Clinical Pharmacology. View Issue TOC. Vol. 78.issue 2. Page 244-257. DOI :
10.1111/bcp.12301.
Wang, A., Rana, S., Karumanchi, SA. (2009). Preeklampsia: The Role of Angiogenic
Factors in Its Pathogenesis. Physiology 24: 147–158.