Anda di halaman 1dari 9

2.

1 Trauma Toraks

2.1.1 Definisi

Secara umum trauma toraks dapat didefinisikan sebagai suatu trauma yang

mengenai dinding toraks yang secara langsung maupun tidak langsung

berpengaruh pada pada organ didalamnya, baik sebagai akibat dari suatu trauma

tumpul maupun oleh sebab trauma tajam. Peningkatan dalam pemahaman

mekanisme fisiologis yang terlibat, kemajuan dalam modalitas imaging yang lebih

baru, pendekatan invasif yang minimal, dan terapi farmakologis memberikan

kontribusi dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan

cedera ini (Mattox, et al., 2013; Marc Eckstein, 2014; Lugo,, et al., 2015).

Cedera pada parenkim paru sering terjadi pada pasien yang mengalami cedera

berat meliputi, kontusio, laserasi dan hematoma pada paru. Hemotoraks dan

Pneumotoraks juga merupakan cedera yang biasa terjadi pada pasien - pasien

trauma toraks. Penatalaksanaan pada cedera ini telah berkembang selama beberapa

dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh kemajuan dalam teknik imaging

diagnostik dan peningkatan dalam pemahaman patofisologi. Pemahaman ini akan

meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma toraks

sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera (Mattox, et al., 2013;

Marc Eckstein, 2014).

8
9

2.1.2 Epidemiologi

Peningkatan pada kasus trauma toraks dari waktu ke waktu tercatat semakin

tinggi. Hal ini banyak disebabkan oleh kemajuan sarana transportasi diiringi oleh

peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Trauma toraks secara langsung

menyumbang 20% sampai 25% dari seluruh kematian akibat trauma, dan

menghasilkan lebih dari 16.000 kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat

begitu pula pada negara berkembang. Di Amerika Serikat penyebab paling umum

dari cedera yang menyebabkan kematian pada kecelakaan lalu lintas, dimana

kematian langsung terjadi sering disebabkan oleh pecahnya dinding miokard atau

aorta toraks. Kematian dini (dalam 30 menit pertama sampai 3 jam) yang

diakibatan oleh trauma toraks sering dapat dicegah, seperti misalnya disebabkan

oleh tension Pneumotoraks , tamponade jantung, sumbatan jalan napas, dan

perdarahan yang tidak terkendali. Oleh karena seringnya kasus trauma toraks

reversibel atau sementara tidak mengancam nyawa dan tidak memerlukan

tindakan operasi, sangat penting untuk dokter yang bertugas di unit gawat darurat

mengetahui lebih banyak mengenai patofisiologi, klinis, diagnosis, serta jenis

penanganan lebih lanjut (Saaiq, et al., 2010; Eckstein & Handerson, 2014; V

Shah & Solanki, 2015).

Di antara pasien yang mengalami trauma toraks, sekitar 50% akan mengalami

cedera pada dinding dada terdiri dari 10% kasus minor, 35% kasus utama, dan 5%

flail chest injury. Cedera dinding dada tidak selalu menunjukkan tanda klinis yang

jelas dan sering dengan mudah saja diabaikan selama evaluasi awal (Eckstein &

Handerson, 2014).
Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks. Dengan

adanya trauma pada toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien

dengan trauma. Trauma toraks dapat meningkatkan kematian akibat


10

Pneumotoraks 38%, Hematotoraks 42%, kontusio pulmonum 56%, dan flail

chest 69% (Mefire, et al., 2010; Saaiq, et al., 2010).

Trauma tumpul toraks menyumbang sekitar 75% - 80% dari keseluruhan

trauma toraks dan sebagian besar dari pasien ini juga mengalami cedera

ekstratoraks. Trauma tumpul pada toraks yang menyebabkan cedera biasanya

disebabkan oleh salah satu dari tiga mekanisme, yaitu trauma langsung pada dada,

cedera akibat penekanan, ataupun cedera deselarasi (Saaiq, et al., 2010).

2.1.3 Etiologi

Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul 65% dan

trauma tajam 34.9 % (Ekpe & Eyo, 2014). Penyebab trauma toraks tersering

adalah kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%) (Saaiq, et al., 2010). Dalam

trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis benturan (impact) yang berbeda, yaitu

depan, samping, belakang, berputar, dan terguling. Oleh karena itu harus

dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang

memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma

tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah

seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti tembakan pistol, dan berenergi

tinggi seperti pada tembakan senjata militer. Penyebab trauma toraks yang lain

adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru - paru yang bisa menyebabkan

Pneumotoraks seperti pada aktivitas menyelam (Saaiq, et al., 2010).

Trauma toraks dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan sternum,

rongga pleura saluran nafas intratoraks dan parenkim paru. Kerusakan ini dapat

terjadi tunggal ataupun kombinasi tergantung dari mekanisme cedera

(Gallagher, 2014).
11

2.1.5 Patofisiologi

Utuhnya suatu dinding Toraks sangat diperlukan untuk sebuah ventilasi

pernapasan yang normal. Pengembangan dinding toraks ke arah luar oleh otot -

otot pernapasan diikuti dengan turunnya diafragma menghasilkan tekanan negatif

dari intratoraks. Proses ini menyebabkan masuknya udara pasif ke paru - paru

selama inspirasi. Trauma toraks mempengaruhi strukur - struktur yang berbeda

dari dinding toraks dan rongga toraks. Toraks dibagi kedalam 4 komponen, yaitu

dinding dada, rongga pleura, parenkim paru, dan mediastinum. Dalam dinding

dada termasuk tulang - tulang dada dan otot - otot yang terkait. Rongga pleura

berada diantara pleura viseral dan parietal dan dapat terisi oleh darah ataupun

udara yang menyertai suatu trauma toraks. Parenkim paru termasuk paru - paru

dan jalan nafas yang berhubungan, dan mungkin dapat mengalami kontusio,

laserasi, hematoma dan pneumokel. Mediastinum termasuk jantung, aorta /

pembuluh darah besar dari toraks, cabang trakeobronkial dan esofagus. Secara

normal toraks bertanggungjawab untuk fungsi vital fisiologi kardiopulmoner

dalam menghantarkan oksigenasi darah untuk metabolisme jaringan pada tubuh.

Gangguan pada aliran udara dan darah, salah satunya maupun kombinasi

keduanya dapat timbul akibat dari cedera toraks (Eckstein & Handerson, 2014;

Lugo,, et al., 2015).

Secara klinis penyebab dari trauma toraks bergantung juga pada beberapa faktor,

antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi dari cedera, cedera lain yang

terkait, dan penyakit - penyakit komorbid yang mendasari. Pasien - pasien trauma

toraks cenderung akan memburuk sebagai akibat dari efek pada fungsi

respirasinya dan secara sekunder akan berhubungan dengan disfungsi jantung.


12

Pengobatan dari trauma Toraks bertujuan untuk mengembalikan fungsi

kardiorespirasi menjadi normal, menghentikan perdarahan dan mencegah sepsis

(Saaiq, et al., 2010; Eckstein & Handerson, 2014; Lugo,, et al., 2015)

Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma toraks dapat ringan sampai

berat tergantung pada besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan

anatomi yang ringan pada dinding toraks berupa fraktur kosta simpel. Sedangkan

kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multipel dengan

komplikasi pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio pulmonum. Trauma yang

lebih berat menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada

jantung (Saaiq et al., 2010; Lugo, et al., 2015 ).

Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat

mengganggu fungsi fisiologis dari sistem respirasi dan kardiovaskuler. Gangguan

sistem respirasi dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung

kerusakan anatominya. Gangguan faal respirasi dapat berupa gangguan fungsi

ventilasi, difusi gas, perfusi, dan gangguan mekanik alat pernafasan. Salah satu

penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan

pembuluh darah (Saaiq, et al., 2010; Mattox, et al., 2013; Lugo,, et al., 2015).

2.1.6 Komplikasi

Trauma toraks memiliki beberapa komplikasi seperti pneumonia 20%,

pneumotoraks 5%, hematotoraks 2%, empyema 2%, dan kontusio pulmonum

20%. Dimana 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang berat akan menjadi

ARDS. Walaupun angka kematian ARDS menurun dalam dekade terakhir, ARDS

masih merupakan salah satu komplikasi trauma toraks yang sangat serius dengan
13

angka kematian 20-43% (Aukema, et al., 2011; Lugo, et al., 2015 ; El-Menyar, et

al., 2016).

Kontusio dan hematoma dinding toraks adalah bentuk trauma toraks yang

paling sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding toraks,

perdarahan masif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada kulit,

subkutan, otot dan pembuluh darah interkosta. Kebanyakan hematoma

ekstrapleura tidak membutuhkan pembedahan, karena jumlah darah yang

cenderung sedikit ( Milisavljevic, et al., 2012 ; Lugo, et al., 2015 ).

Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupun

tidak langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35% - 40% pada trauma toraks.

Karakteristik dari trauma kosta tergantung dari jenis benturan terhadap dinding

dada (Saaiq, et al., 2010; Milisavljevic, et al., 2012). Gejala yang spesifik pada

fraktur kosta adalah nyeri, yang meningkat pada saat batuk, bernafas dalam atau

pada saat bergerak. Pasien akan berusaha mencegah daerah yang terkena untuk

bergerak sehingga terjadi hipoventilasi. Hal ini meningkatkan risiko atelektasis

dan pneumonia (Novakov, et al., 2014 ; Feng Lin, et al., 2015 ; Lugo, et al.,

2015).

Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta - kosta yang berdekatan

patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah kostokondral.

Angka kejadian dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan lalu lintas menjadi

penyebab yang paling sering. Diagnosis flail chest didapatkan berdasarkan

pemeriksaan fisik, foto Toraks, dan CT scan Toraks (Wanek & Mayberry, 2004;

Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al., 2015)

Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat sering kali

disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ mediastinum harus

dicurigai pada pasien fraktur sternum, umumnya adalah kontusio miokardium


14

(dengan nyeri prekordium dan dispnea). Diagnosis fraktur sternum didapatkan

dari pemeriksaan fisik, adanya edema, deformitas, dan nyeri lokal (Milisavljevic,

et al., 2012).

Kontusio parenkim paru adalah manifestasi trauma tumpul toraks yang paling

umum terjadi. Kontusio pulmonum paling sering disebabkan trauma tumpul pada

dinding dada secara langsung yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim,

edema interstitial dan perdarahan yang mengarah ke hipoventilasi pada sebagian

paru. Kontusio juga dapat menyebabkan hematoma intrapulmoner apabila

pembuluh darah besar didalam paru terluka. Diagnosis didapatkan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik (adanya suara gurgling pada auskultasi), foto toraks, dan CT

scan toraks. Kontusio lebih dari 30% pada parenkim paru membutuhkan ventilasi

mekanik (Milisavljevic, et al., 2012 ; Lugo, et al., 2015).

Pneumotoraks adalah adanya udara pada rongga pleura. Pneumotoraks

sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan visceralis.

Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru dapat menyebabkan

Pneumotoraks, sedangkan robekan dari pleura parietalis dapat menyebabkan

terbentuknya emfisema subkutis. Pneumotoraks pada trauma tumpul toraks terjadi

karena pada saat terjadinya kompresi dada tiba - tiba menyebabkan terjadinya

peningkatan tekanan intraalveolar yang dapat menyebabkan ruptur alveolus.

Udara yang keluar ke rongga interstitial ke pleura visceralis ke mediastinum

menyebabkan Pneumotoraks atau emfisema mediastinum. Selain itu

Pneumotoraks juga dapat terjadi ketika adanya peningkatan tekanan

tracheobronchial tree, dimana pada saat glotis tertutup menyebabkan peningkatan

tekanan terutama pada bivurcatio trachea dan atau bronchial tree tempat dimana

bronkus lobaris bercabang, sehingga ruptur dari trakea atau bronkus dapat terjadi.
15

Gejala yang paling umum pada Pneumotoraks adalah nyeri yang diikuti oleh

dispneu (Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al., 2015).

Hematotoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Darah dapat masuk ke

rongga pleura setelah trauma dari dinding dada, diafragma, paru-paru, atau

mediastinum. Insiden dari hematotoraks tinggi pada trauma tumpul, 37% kasus

berhubungan dengan pneumotoraks (hemopneumotoraks ) bahkan dapat terjadi

hingga 58% (Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al., 2015). Terjadinya

hemotoraks yang massive dengan drainage sekitar 1000 mililiter ataupun 100

mililiter per jam lebih daari 4 jam pada kasus akut mengindikasikan untuk

dilakukan thoracotomy emergency karena sangat beresiko mengancam nyawa

bahkan kematian (Cobanoglu, et al., 2012).

2.1.8 Tatalaksana

Manajemen awal untuk pasien trauma toraks tidak berbeda dengan pasien

trauma lainnya dan meliputi ABCDE, yaitu A: airway patency with care of

cervical spine, B: Breathing adequacy, C: Circulatory support, D: Disability

assessment, dan E: Exposure without causing hypothermia (Saaiq, et al., 2010;

Lugo, et al., 2015; Unsworth, et al., 2015).

Pemeriksaan primary survey dan pemeriksaan dada secara keseluruhan harus

dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi yang

mengancam nyawa dengan segera, seperti obstruksi jalan napas, tension

Pneumotoraks , pneuomotoraks terbuka yang masif, hemotoraks masif,

tamponade perikardial, dan flail chest yang besar. Begitu kondisi - kondisi yang

mengancam nyawa sudah ditangani, maka pemeriksaan sekunder dari kepala

hingga kaki yang lebih mendetail disertai secondary chest survey harus dilakukan.

Pemeriksaan ini akan fokus untuk medeteksi kondisi - kondisi berikut: kontusio

pulmonum, kontusi miokardial, disrupsi aortal, ruptur diafragma traumatik,


16

disrupsi trakeobronkial, dan disrupsi esofageal (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al.,

2015).

Apnea, syok berat, dan ventilasi yang inadekuat merupakan indikasi utama untuk

intubasi endotrakeal darurat. Resusitasi cairan intravena merupakan terapi utama

dalam menangani syok hemorhagik. Manajemen nyeri yang efektif merupakan

salah satu hal yang sangat penting pada pasien trauma toraks. Ventilator harus

digunakan pada pasien dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan takipnea berat atau

ancaman gagal napas. Ventilator juga diindikasikan pada pasien dengan kontusio

paru berat, hemotoraks atau penumotoraks, dan flail chest yang disertai dengan

gangguan hemodinamik (Saaiq, et al., 2010; Lugo, et al., 2015).

Pasien dengan tanda klinis tension Pneumotoraks harus segera menjalani

dekompresi dengan torakosentesis jarum dilanjutkan dengan torakostomi tube.

Foto toraks harus dihindari pada pasien - pasien ini karena diagnosis dapat

ditegakkan secara klinis dan pemeriksaan x - ray hanya akan menunda

pelaksanaan tindakan medis yang harus segera dilakukan. Luka menghisap pada

dada harus segera dioklusi untuk mencegah berkembangnya tension

Pneumotoraks terbuka. Tindakan lainnya seperti torakostomi tube, torakotomi,

dan intervensi lainnya dilakukan sesuai dengan kondisi pasien (Saaiq, et al., 2010;

Lugo, et al., 2015).

Anda mungkin juga menyukai