Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Perkembangan moral dan etika di tengah-tengah masyarakat akhir-


akhir-akhir ini semakin pesat. Tak sampai disitu saja, perkembangan ini
juga memiliki pengaruh yang sangat besarterhadap pola pikir dan pilihan
yang diambil oleh mereka, bentuk dan perkembangan moral dan etika
yang terjadi di masyarakat bermacam-macam dan salah satunya adalah
Eutanasia. Eutanasia adalah suatu isu yang sangat kompleks dan sangat
kontroversial, sehingga melibatkan banyaknyapertanyaan yang
membingungkan dan menimbulkan pro dan kontra.

Didalam Al-qur’an surat Al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup


dan mati adalah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman,
amalan, dan ketaatan manusia terhadap Tuhan, karena itu, islam sangat
memperhatikan keselamatan hidup dan keselamatan manusia sejak ia
berada di rahim ibunya dan sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk
melindungi keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu, islam
menetapkan berbagai norma hukum,perdana dan perdata serta sangsi-
sangsi hukumannya, baik di dunia berupa hukuman had dan qisas
termasuk hukuman mati, diyat (denda), atau ta’zir, ialah hukuman yang
ditetapkan oleh ulul amr atau lembaga peradilan, maupun hukuman
diakhirat berupa siksaan Tuhan di neraka kelak. Karena hidup dan mati di
tangan Tuhan, maka islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik
terhadap orang lain maupun pada dirinya sendiri.

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus


kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di
dunia dengan berbagai macam permasalahannya dan diakhiri dengan

1
kematian. Dari berbagai siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan
salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat besar

Sampai saat ini kematian merupakanmisteri yang paling besar, dan


ilmu pengetahuan belum berhasil menguakkkannya. Salah satunya
jawaban yang tersedia di dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari
rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada
seorangpun yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya,
termasuk mempercepat waktu kematiannya.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1.2.1 Apa pengertian dari Eutanasia ?
1.2.2 Apa saja jenis Eutanasia ?
1.2.3 Bagaimana hukum Eutanasia ?
1.2.4 Bagaimana Eutanasia dalam pandangan Islam ?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Untuk mengetahui apa pengertian dari Eutanasia
1.3.2 Untuk mengetahui jenis-jenis Eutanasia
1.3.3 Untuk mengetahui hukum pidana dari Eutanasia
1.3.4 Untuk mengetahui Eutanasia dalam pandangan islam
1.3.5

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN EUTANASIA

Eutanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. EU = baik, tanpa


penderitaan; sedangkan tanathos = kematian. Dengan demikian, eutanasia
mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkannya mati cepat
tanpa derita. Belanda salah satu negara di Eropa yang maju dalam
pengetahuan hukum kesehatan mendefinisikan eutanasia sesuai dengan
rumusan yang dibuat oleh Eutanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter
Belanda).

“Eutanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk


memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan
untuk kepentingan pasien sendiri.

Dalam bahasa Arab, Eutanasia dikenal dengan istilah qatl ar-rahma


atau taysir al-mawt. Menurut istilah kedokteran, eutanasia berarti tindakan
untuk meringankan kesakitan atau penderitaan yang dialami oleh seseorang
yang akan meninggal; juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada
dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.

Secara harfiah istilah eutanasia ini berkonotasi positif, yaitu mati


secara baik dan mudah tanpa penderitaan. Sehingga sesungguhnya eutanasia
merupakan dambaan dan harapan setiap pemeluk aliran kepercayaan dan
agama. Sebab, kamatian secara baik, mudah dan tanpa disertai penderitaan
menjadi penyejuk bagi si penderitanya itu sendiri, keluarga serta yang lain,
dan itu merupakan salah satu indikator bahwa orang tersebut termasuk orang
baik. Pengertian demikian dalam bahasa agama disebut dengan mati yang
Husnul Khatimat. Tetapi dikalangan medis istilah eutanasia berarti mengakhiri

3
dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara kematian yang tenang dan
mudah untuk menamatkan penderitaannya.

Dengan berpijak pada pengertian tersebut, dalam Kode Etik


Kedokteran Indonesia disebutkan, istilah eutanasia dipergunakan dalam tiga
arti, yaitu:

1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan,


untuk orang yang beriman dengan menyebut nama Allah SWT di bibir.
2. Ketika hidup berakhir, penderitaan si sakit diringankan dengan
memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja
atas permintaan pasien sendiri dan keluarga.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), eutanasia adalah


tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang ataupun
hewan piaraan) yang mengalami sakit berat atau luka parah dengan kematian
yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan sehingga dapat
disimpulkan bahwa eutanasia adalah praktik pecabutan kehidupan manusia
atau hewan melalui cara yang dianggap dapat meminimalkan rasa sakit,
bahkan tanpa rasa sakit sekalipun.

4
2.2 JENIS-JENIS EUTANASIA

Eutanasia terdiri dari beberapa jenis. Berdasarkan dari cara


pelaksanaannya, eutanasia dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Eutanasia aktif
Eutanasia aktif adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh
dokter atau tenaga kesehatan untuk mencabut atau mengakhiri hidup
seorang pasien, misalnya dengan memberikan obat-obat yang mematikan
melalui suntikan, maupun tablet. Pada eutanasia aktif ini, pasien secara
langsung meninggal setelah diberikan suntikan mati.
2. Eutanasia pasif
Eutanasia pasif adalah tinakan mengakhiri nyawa pasien denga
menghentikan pengobatan atau perawatan suportifyang mempertahankan
hidup, misalnya antibiotik, nutrisi, cairan, respirator, yang tidak diperlukan
lagi oleh pasien.

Berdasarkan dari status permintaan izin, eutanasia dibedakan menjadi 2, yaitu:

1. Eutanasia volunter
Eutanasia volunter adalah eutanasia yang dilakukan atas persetujuan dari
pasiennya sendiri dalam keadaan sadar.
2. Eutanasia involunter
Eutanasia involunter adalah tindakan yang menyebabkan kematian yang
dilakukan bukan atas dasar persetujuan dari klien dan seringkali melanggar
keinginan klien. Namun di sisi lain, kondisi pasien sendiri tidak
memungkinkan untuk memberikan izin, misalnya pasien mengalami koma
atau tidak sadar. Pada umumnya, pengambilan keputusan untuk
melakukan eutanasia didasarkan pada ketidaktegaan seseorang melihat
pasien kesakitan.

5
2.3 HUKUM EUTANASIA

Ditinjau dari aspek hukum, eutanasia merupakan yang dilarang sebab


eutanasia adalah tindakan mengakhiri (membunuh) seseorang. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau dihukum jika
ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang
hati-hati. Ketentuan pelanggaran pidana yang berkaitan langsung dengan
eutanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP

PASAL 344 KUHP

“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan


orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-
sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.”

Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun


terdapat beberapa alasan kuat untuk membantu pasien/keluarga pasien
mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman
ini harus dihadapinya.

Untuk jenis eutanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan,


beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui.

PASAL 338 KUHP

“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain,


dihukum karenan makar mati; dengan penjara selama-lamanya lima belas
tahun.”

PASAL 340 KUHP

“Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu


menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan
direncanaakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara selama-
lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamnaya dua puluh
tahun.”

6
PASAL 359 KUHP

“Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang


dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-
lamanya satu tahun.”

Selanjutnya, dibawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum


yang mengingatkan kalangan tenaga kesehatan untuk berhati-hati
menghadapi kasus eutanasia.

PASAL 345 KUHP

“Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk


membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya
upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.”

Pasal ini mengingatkan dokter untuk, jangankan melakukan


eutanasia, menolong atau memberi harapan ke arah perbuatan itu saja pun
sudah mendapat ancaman pidana.

7
2.4 EUTANASIA DALAM PANDANGAN ISLAM

Syariat Islam jelas mengharamkan eutanasia aktif, karena termasuk


kedalam kategori melakukan pembunuhan dengan sengaja (Al- Qatl Al-
Amad), walaupun niatnya baik, yaitu untuk meringankan penderitaan
pasien. Hukumnya tetap haram walaupun atas permintaan pasiennya
sendiri atau keluarganya.

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang


mengharamkan pembunuhan, baik pembunuhan terhadap jiwa orang lain
maupun diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT: “Janganlah kalian
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (Qs. Al-An’am [6]: 151).

Dari dalil di atas, jelaslah rharam hukumnya bagi dokter


melakukan eutanasia aktif, karena sengaja melakukan pembunuhan
terhadap pasien, sekalipun atas permintaan keluarga atau pasiennya
sendiri. Demikian halnya bagi si pasien, tindakan tersebut bisa
dikategorikan tindakan putus asa dan membunuh diri sendiri yang
diharamkan.

Karena itu, apapun alasannya( (termasuk faktor kasihan tethadap


penderita), tindakan eutanasia aktif tersebut jelas tidak dapat diterima.
Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal dibalik itu ada
aspek-aspek lain yang tidak diketahui dan terjangkau oleh manusia, yaitu
pengampunan dosa. Rasulullah saw bersabda:

“Tidakkah suatu musibah menimpa seorang muslinm, keciali Allah


menghapuskan dengan musibah itu dosanya, hatta sekadar duri yang
menusuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadist tersebut menunjukkan boleh tidaknya berobat. Jika hadist


ini digabungkan dengan hadist pertama diatas yang memerintahkan
berobat maka hadist terakhir ini menjadikan indikasi (qarinah), bahwa

8
perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan wajib. Kesimpulannya,
hukum berobat adalah sunnah, bukan wajib. (Zallum, 1998: 69)., termasuk
dalam hal memasang alat0alat bantu bagi pasien.

Dalam islam, prinsipnya segala upaya aytau perbuatan yang


berakibat matinya seseorang, baik disengaja atau tidak disengaja, tidak
dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan
dalam hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena
salah satu dari tiga alasan, yaitu: penzina mukhshan (sudah berkeluarga),
maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang
muslin yang lainnyadengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan
seseorang yang keluat dari islam (murtad), kemudian memerangi Allah
dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat
kediamannya.” (HR Abu Daud dan An-Nasa’i).

Selain alasan-alasan di atas, segala perbuatan yang berakibat


kematian orang lain dimasukkan kedalam kategori perbuatan
jarimah/tindak pidana (jinayat), yang mendapat sanksi hukum. Dengan
demikian eutanasia karena termasuk salah satu dari jarimah dilarang oleh
agama dan merupakan tindakan yang lagi diancam denga hukuman pidana.
Pada prinsipnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang
sakit berarti mendahului takdie. Allah telah menentukan batas akhir usia
manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan
manfaat dari ujian yang diberikan Allah SWT kepadanya, yakni berupa
bertawakal kepada-Nya Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah menimpa
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,
kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang cobakannya
itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan


manusia hanyalah Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak

9
mempunyai hak atau kewenangan untuk memberi hidup atau
mematikannya. (Qs. Yunus: 56, Qs. Al-Mulk: 1-2). Dengan demikian
melalui eutanasia aktif berarti manusa mengambil hak Allah SWT yang
sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kemtian secara aktif
tidak diperkenankan oleh syari’ah. Sebab yang yang demikian itu berati
dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh pasien yang
sakit dan mempercepat kematiannnya melalu pemberian obat secara over
dosis atau cara lainnya. Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan
yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan tersebut
tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya
itu rasa kasihan terhadap si sakit dan untuk meringankan penderitaaanya.
Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari
pada Allah Al-Khaliq. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada
Allah, karena Dia-lah yang memberikan kehidupan kepada manusia dan
yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah di tetapkan-Nya.

Euthanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu


cepat menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah Swt menyuruh
hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan untuk berputus asa atas suatu
penyakit selama masih ada harapan, sebab kepadanya masih ada
kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi Saw disebutkan betapapun
beratnya penyakit itu,tetap ada obat penyembuhnya. (HR Ahmad dan
Muslim). Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia
pasif sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itu
termasuk dalam katagori praktik pengertian pengobatan.

Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang


dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si
sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan
hukum sebab-akibat. Masalah ini terkait dengan hukum melakukan
pengobatan yang diperselisihkan oleh para ulama fiqih apakah wajib atau
sekedar sunnah.

10
Menurut jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit
hukumnya sunnah dan tidak wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada
yang mewajibkannya, seperti kalangan ulama Syafi’i dan Hambali
sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.

Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih


utama: berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat
bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Abbas
yang diriwayatkan dalam kitab shahih dari seorang wanita yang menderita
epilepsi. Wanita itu meminta kepada nabi agar mendoakannya, lalu beliau
menjawab: “jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan
mendapatkan surga, dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah
agar dia menyembuhmu”. Wanita itu menjawab akan bersabar dan
memohon kepada nabi untuk mendoakan kepada allah agar ia tidak
diminta dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga auratnya sehingga
tidak tersingkap ketika kambuh.

Pengobatan atau berobat hukumnya sunah ataupun wajib apabila


penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara
perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjawabkan sudah tidak
ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnattullah dalam hukum kausalitas
yang dikuasai para ahli seperti dokter ahli maka tidak ada seorangpun yang
mengatakan sunah berobat apalagi wajjib. Apabila penderita sakit
kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian berbagai macam
media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus, dan
sebagainya, atau menggunakan alat pernafasan buatan dan peralatan medis
lainnya dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tidak ada
perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak
juga sunah sebagaimana difatwakan oleh syeikh Yusuf Al-Qardhawi
dalam Fatawa Mu’ashirahny, bahkan mungkin kebalikannya yakni tidak
mengobatinya itulah yang wajib atau sunah.

11
Euthanasia aktif yaitu cara menghentikan alat pernafasan buatan
dari pasein, yang menurut pandangan dokter ahli ia sudah “mati” atau
“dikatagorikan telah mati” karena jaringan otak ataupun fungsi saraf
sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang dilakukan
dokter tersebut semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama
dengan tidak memberikan pengobatan. Dengan demikian masalahnya
sama seperi cara-cara euthanasia pasif lainnya. Karna itu, euthanasia untuk
seperti ini adalah bukan termasauk katagori euthanasia aktif yang
diharmkan. Tindakan tersebut dibenarkan syari’ah dan tidak terlarang
terutama bila peralatan bantu medis tersebut hanya dipergunakan pasien
sekedara untuk kehidupan lahiriah yang tampak dalam pernafasan dan
denyut nadi saja, padahal bila dilihat secara medis dari segi aktivitas maka
pasein tersebut sudah seperti orang mati tidak responsif, tidak dapat
mengerti sesuatu dan tidak merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan
sarafnya sebagai sumber semua aktivitas hidup rusak.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dari urian diatas dapat disimpulkan:

1. Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah allah.oleh karena


itu, orang yang mengakhiri hidupnya sendiri atau orang lain dengan
cara dan alasan yang bertentangan dengan agama ketentuan agama,
seperti eutanasia aktif, adalah merupakan perbuatan bunuh diri yang
diharamkan dan diancam dengan siksa yang berat, didunia jika
persyaratannya terpenuhi dikenai qishash, kaffarah, atau diyat dan atau
diakhirat dengan azab neraka.
2. Eutanasia pasif diperbolehkan menurut pandangan hukum islam
sedangkan eutanasia aktif,dilihat dari segi kode etik kedokteran,
KUHP, apalagi hkum islam,merupakan perbuatan terlarang. Terhadap
keluarga yang menyuruh, dokter yang melaksanakannya dipandang
sebagai pelaku pembunuhan dengan sengaja dikenakan hukuman
qishash atau diyat. Dokter yang melaksanakannya atas permintaan
pasien dipandang sebagai membantu terlaksananya bunuh diri, juga
ikut menanggung dosa atau perbuatannya.

3.2 SARAN

Dalam makalah ini penulis memberikan saran kepada para pemberi


pelayanan kesehatan khususnya para dokter dan perawat untuk tidak
melakuka euthansia, karena jika dilihat dari segi hak asasi manusia setiap
orang berhak untuk hidup. Dan jika dilihat dari segi agama, yang
mempunyai kuasa atas hidup manusia adalah Allah.

13
DAFTAR PUSTAKA

“Etika kedokteran & hukum kesehatan”/ M. jusuf hanafiah & amri amir. –ed.4.-
Jakarta : EGC, 2008.

“Fiqih kesehatan kontemporer, pendidikan agama islam untuk mahasiswa


kesehatan”/M. muhamad Bajri, M. Ag; Jakarta: TIM, 2014.

“Islam Untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran” 2 (fiqh kontemporer).


Drs. Zuhroni, M.Ag.dkk,Jakarta:Departement Agama RI Direktorat Jendral
Kelembagaan Agama Islam 2003.

Prof. Dr. Notoatmodjo Soekidjo Etika dan hukum kesehatan. Rineka cipta 2010

Dra.Hj Suhaemi Emi Mimin Mpd. Etka keperawatan aplikasi pada praktik. EGC
2004

14

Anda mungkin juga menyukai