Anda di halaman 1dari 18

Pencegahan Skizofrenia

Penulis: A. R. Yung a; E. Killackey b; S. E. Hetrick a; A. G. Parker a; F. Schultze-Lutter c; J.


Klosterkoetter c; R. Purcell a; P. D. Mcgorry a
Afiliasi: a Departemen Psikiatri, Universitas Melbourne, Victoria, Australia dan Pusat
Penelitian ORYGEN, Parkville, Victoria, Australia
b
Departemen Psikologi, Universitas Melbourne, Victoria, Australia dan Pusat
Penelitian ORYGEN, Parkville, Victoria, Australia
c
Departemen Psikiatri dan Psikoterapi, Universitas Cologne, Cologne, Jerman
DOI: 10.1080/0954026070179803
Frekuensi Publikasi: 6 terbitan setiap tahunnya

Dipublikasi pada: International Review of Psychiatry, Volume 19, Terbitan 6 Desember


2007, halaman 633 – 646

Abstrak

Strategi pencegahan dapat dibagi menjadi pencegahan universal, secara selektif dan
terindikasi, dan intervensi dini. Pencegahan universal ditujukan kepada populasi secara
umum. Pendekatan secara selektif ditujukan pada orang yang memiliki faktor risiko
penyakit, tetapi tidak memiliki gejala pada saat ini. Pendekatan terindikasi mengarah pada
individu berisiko tinggi dengan tanda atau gejala minimal yang menandakan adanya
gangguan mental, namun belum mencapai tahapan diagnosis pada saat ini.
Intervensi dini meliputi pengobatan pasien yang telah didiagnosis gangguan pada waktu dan
secara optimal bertujuan untuk menurunkan keparahan penyakit, dan mengurangi angka
kejadian penyakit di kemudian hari. Meskipun intervensi universal dan selektif belum
menjadi strategi yang dapat dijalankan, pendekatan terindikasi dan intervensi dini sangat
mungkin diwujudkan pada penyakit skizofrenia. Pengembangan metode untuk identifikasi
pasien yang memiliki risiko psikotik terus menerus berkembang. Hasil yang menjanjikan di
masa transisi untuk mencegah dan menunda timbulnya gangguan psikotik dengan keadaan
berisiko tinggi telah ditemukan. Intervensi awal pada skizofrenia, termasuk promosi dalam
pencarian pertolongan dini, telah menunjukan pengurangan durasi pada kasus psikosis yang
tidak ditangani dan telah diketahui memiliki hubungan dengan hasil buruk pada skizofrenia.
Program intervensi dini yang mengoptimalkan pelayanan pada awal episode penyakit telah
menunjukan hasil yang lebih baik daripada manajemen penanganan pada umumnya.
Pembukaan

Gangguan mental sudah tidak diragukan lagi merupakan isu kesehatan yang penting yang
mempengaruhi usia muda (Murray & Lopez, 1996). Kesehatan jiwa dan gangguan terkait
substansi tersebut bertanggung jawab terhadap 60 – 70% penyakit non-fatal antara usia 15
-24 tahun (Public Health Group, 2005) dan sedikitnya 75% dari gangguan jiwa pada usia
dewasa dimulai sebelum mencapai usia 24 tahun (Kessler at al., 2005). Pada penelitian
Global Burden of Disease tahun 2002 telah menemukan bahwa skizofrenia bertanggung
jawab terhadap 2,8% kematian dan 1.1% disabilitas dalam kehidupan (Murray,Lopez,
Mathers, % Stein, 2001). Prevalensi kejadian skizofrenia dalam hidup prevalensi mencapai
1% dan umumnya mencapai 0,5%. Penyakit psikotik memiliki puncak onset pada masa
kanak-kanak akhir hingga awal masa dewasa (Kaplan, Sadock, Grebb, 1994). Disamping itu,
penyakit psikotik yang tidak diketahui, tidak diterapi, atau diterapi dengan buruk selama
masa kritis yang terus berkembang tidak hanya menyebabkan penderitaan pada orang
tersebut dan keluarga serta meningkatkan keparahan dari penyakit, tetapi juga memberi
kontribusi pada buruknya penampilan akademik, menyebabkan disabilitas dan kematian
prematur (McGorry & Yung, 2003; Mueser & McGirk, 2004. Risiko bunuh diri sangat tinggi,
terutama pada awal hingga pertengahan dewasa pada pasien dengan psikosis yang tidak
ditangani dan skizofrenia (Jackson & Birchwood, 1996; Power, 1999; SANE, 2002; WHO,
2001). Konsentrasi fokus pada awal indentifikasi dan intervensi yang efektif merupakan
prioritas utama dari kesehatan masyarakat.

Disamping itu, percobaan pencegahan pada skizofrenia telah lama terhambat, sebagian
besar, dikarenakan rasa pesimis dan landasan yang tidak akurat mengenai gagasan
Kraeplinian terhadap penyakit yang ditandai oleh progresivitas dan penurunan kualitas
hidup yang tidak terelakan. Sampai sekarang, dugaan ini telah melekat pada pemikiran
klinisi (Cohen & Cohen, 1984), dengan efek iatrogenik yang tidak dapat dihindari dan
pengabaian terus-menerus terhadap program pemulihan dengan orientasi rehabilitatif.
Meskipun ada dugaan pesimis ini, telah banyak peningkatan yang terjadi lebih dari dua
dekade kearah promosi dan adopsi pendekatan preventif terhadap terapi skizofrenia dan
penyakit psikotik lainnya (McGorry, Yung, & Philips, 2002). Review ini mengevaluasi bukti
intervensi dan identifikasi dini pada mereka dengan risiko psikosis yang berkembang dengan
pandangan kearah tindakan untuk mencegah atau menunda perkembangan penyakit (Yung
et al., 1998: 2003).

Teori dan Tahapan Pencegahan

Mrazek dan Haggerty (1994) memberikan pandangan modern terhadap pencegahan


gangguan mental, baik secara umum, selektif dan terindikasi. Intervensi universal ditujukan
untuk kelompok populasi umum. Pendekatan secara selektif ditujukan pada seseorang
dengan risiko yang terus meningkat berdasarkan pemahaman dari pengetahuan faktor
risiko/penyebab penyakit, tetapi tidak menunjukan tanda/gejala penyakit saat ini. Terakhir,
pendekatan terindikasi ditujukan pada individu yang berisiko dengan gejala/tanda gangguan
mental yang sedikit namun terdeteksi, tetapi belum didiagnosis pada saat ini.

Strategi Pencegahan Secara Universal

Terdapat investigasi kecil mengenai efektifnya strategi prevensi secara umum pada
skizofrenia. Karena ditujukan kepada seluruh populasi, setiap intervensi dan dampak
apapun yang dapat timbul harus diterima. Walaupun intervensi universal menegaskan
bahwa mereka yang diarahkan kepada populasi umum adalah yang tidak memiliki faktor
risiko, namun terdapat beberapa faktor risiko penyakit mental pada umumnya, dan
skizofrenia sebagian kecilnya, yang begitu luas sehingga akhirnya dapat dikategorikan
kedalam kelompok untuk intervensi universal. Sebagai contoh, tetap tinggal dalam waktu
yang lama di lingkungan perkotaan telah ditemukan dapat menjadi risiko untuk skizofrenia
(van Os, Hanssen, de Graaf, Vollebergh, 2002; van Os, 2004). Alasan untuk hal ini masih
belum jelas, tetapi dapat dibuktikan dengan adanya paparan terhadap lingkungan stres
seperti padatnya lalu lintas, kegaduhan dan kekerasan (Spauwen, Krabbendam, Lieb,
Wittchen, Van Os, 2006). Pendapatan sosial yang kecil termasuk buruknya interaksi sosial
dan adanya pihak yang diekslusi dan diskriminasi dapat pula meningkatkan stres (Boydell,
2003; van Os & McGuffin, 2003) yang mana dapat menjadi mekanisme yang menyebabkan
risiko terjadinya psikosis meningkat (Mortensen et al, 1999); Torrey, Miller, Rawlings, &
Yolken, 1997). Hidup penuh stres di masyarakat dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya
psikosis (Frangau & Murray, 2000). Pencegahan orang-orang dari hidup di kota terlihat jelas
bukanlah strategi preventif yang tepat, tetapi meningkatkan pendapatan sosial perkapita
dan menurunkan diskriminasi merupakan suatu target yang sangat mungkin dari
pencegahan universal. Strategi ini merupakan sasaran yang bermakna dalam kebijakan ini,
tidak adanya dampak yang buruk, dan dapat mengurangi angka kejadian tidak hanya
gangguan mental, melainkan juga skizofrenia.

Faktor risiko umum skizofrenia lainnya dapat pula dipertimbangkan sebagai tujuan dalam
prevensi universal termasuk status sosio-ekonomi rendah, komplikasi kehamilan,
penggunaan obat terlarang dan trauma masa kanak-kanak. Kausal yang berhubungan
dengan sebab akibat pada kondisi sosio-ekonomi rendah dan skizofrenia belum dapat
dipastikan. Hal ini dapat disebabkan oleh mereka yang memiliki riwayat penyakit psikotik
berubah status sosial menjadi masyarakat “bawah” dengan menjadi pengangguran,
hubungan buruk dengan lingkungan, isolasi sosial dan penolakan (Aro, Aro, & Keskimaeki,
1995; McNaughty et al., 1997). Pada sisi lain, kondisi sosio-ekonomi yang rendah
berhubungan dengan stres yang besar, yang mana dapat meningkatkan risiko terjadinya
psikosis (Mortensen et al., 1997; Torrey et al., 1997). Kebebasan dari kemiskinan dan
marginalisasi sosial dapat menjadi tujuan daripada strategi pencegahan.
Dengan metode yang sama, penggunaan obat terlarang, terutama ganja, telah menunjukan
memiliki bukti nyata, sekalipun sedikit, dapat menyebabkan timbulnya onset psikosis pada
studi prospektif follow-up jangka panjang berdasarkan populasi besar studies (Andrasson,
Allebeck, Engstrm, & Rydberg, 1987; Arseneault et al., 2002 Zammit, Allebeck, Andreasson,
Lundberg, & Lewis, 2002). Pengurangan rasio populasi yang mengkonsumsi ganja dapat
menjadi fokus yang lain dari pencegahan universal. Kehamilan dan komplikasi kelahiran
diduga memiliki pengaruh terhadap hipoksia dan cedera iskemia saraf (Geddes & Laurie,
1995; McNeil, 1995; Warner, 2001). Trauma masa kecil juga memiliki hubungan dengan
peningkatan risiko psikosis (e.g. Greenfield, Strakowski, Tohen, Batson, & Kolbrener, 1994),
walaupun studi prospektif lain menunjukan tidak adanya hubungan dengan diagnosis
skizofrenia (e.g. Spataro, Mullen, Burgess, Wells, & Moss, 2004). Pengurangan risiko ini pada
populasi memiliki potensi yang menjanjikan.

Beberapa faktor risiko tidak spesifik terhadap psikosis namun memiliki hubungan dengan
berbagai sekuele penyakit jiwa. Sebagai contoh, pada kasus trauma masa kanak-kanak,
terdapat hubungan antara pelecehan seksual pada anak dan akhirnya meningkatkan angka
kejadian gangguan mental pada anak-anak dan dewasa. dengan kondisi yang meningkat
pada rasio gangguan mental pada anak-anak dan remaja (Spataro et al., 2004).

Jadi intervensi universal yang ditujukan terhadap faktor risiko diatas memiliki nilai preventif
yang besar untuk gangguan mental yang banyak, bukan hanya psikosis dan skizofrenia,
sehingga argumentasi untuk pencanangan strategi pencegahan universal semakin menarik.
Ditambah lagi intervensi universal memiliki keuntungan intrinsik untuk populasi secara
umum. Sebagai contoh, intervensi untuk mengurangi komplikasi setelah kelahiran
(peningkatan nutrisi sebelum kelahiran, penurunan insidensi perinatal) membutuhkan
dorongan untuk implementasi intervensi (Mojtabai, Malaspina, & Susser, di media cetak).
Hal ini telah diperdebatkan bahwa kelompok besar yang terkena sedikit risiko menghasilkan
insiden yang lebih besar daripada kelompok kecil yang terkena risiko (Rose, 1992; Offord,
Kraemer, Kazdin, Jensen, & Harrington, 1998) dengan demikian program berdasaran
populasi dengan jangakuan besar dapat mengurangi berbagai gangguan (Brown dan Liao,
1999, disitasi pada Shochet & Ham, 2004). Populasi yang menjadi sampel umunya kurang
stigma dan sulitnya mengatasi masalah saat perekrutan dan penolakan yang tinggi selama
fase penyaringan sering terlihat saat kegiatan-kegiatan pengambilan data. Di sisi lain,
kerugian dari program ini, termasuk maanfat yang lebih kecil terhadap individu, dan hal ini
sulit untuk diketahui efek kebermanfaatannya karena efeknya sangat kecil. Hal ini sangat
mengkhawatirkan khususnya jika efek utama pada mereka yang berersiko rendah,
sementara efek terkecil adalah pada mereka yang beresiko itnggi. Intervensi universal juga
biasanya mahal (Offord et al., 1998) dan sulit untuk dievaluasi, terutama dalam kasus
gangguan insiden rendah karena pertimbangan ukuran sampel (Cuijpers, 2003).
Dasar Pemikiran Pencegahan Secara Selektif dan Terindikasi pada Psikosis

Bukti empiris menunjukan bahwa intevensi dini dan efektif, dibandingkan dengan stretegi
pencegahan secara umum, merupakan strategi pencegahan kesehatan masyarakat yang
paling hemat biaya yang dapat dilaksanakan, dan merupakan fokus utama dari kajian ini.
Timbulnya gangguan psikotik, termasuk skizofrenia, mengalami puncaknya pada akhir masa
remaja dan dewasa awal (Hafner et al., 1993).

Onset yang meningkat/memuncak pada masa tersebut penting karena pencegahannya


bergeser dari pencegahan universal kearah pecegahan secara selektif dan terindikasi,
mengingat apa yang telah diketahui mengenai dampak dari kondisi sosial yang berbeda
(misalnya pengaruh obat dan alkohol, penolakan dari teman sekelompok), genetik (misalnya
variabilitas individu dalam kerentanan terhadap stres kehidupan dan pengaruh obat-
obatan) dan neurobiologis (pematangan lobus frontal dan struktur limbik) yang merupakan
faktor risiko yang timbul selama masa remaja dan dewasa awal.

Kasus untuk pencegahan psikosis secara selektif dan terindikasi telah dipublikasikan
(McGlashan, 1996) dan secara terus-menerus mendapat dukungan secara luas (Killackey &
Yung, di media cetak).

Bukti Efektivitas dari Intervensi Secara Selektif

Intervensi pencegahan selektif ditargetkan untuk individu atau subkelompok yang berisiko
terkena gangguan lebih tinggi dari rata-rata. Risiko mungkin sementara atau seumur hidup
(Mrzak & Haggerty, 1994). Dengan demikian penerapan pencegahan secara selektif
membutuhkan identifikasi terhadap faktor risiko, yaitu karakteristik yang berhubungan
dengan probabilitas yang tinggi terhadap onset munculnya gangguan dikemudian hari
(Eaton, Badawi, & Melton, 1995).

Faktor risiko adalah istilah luas yang lebih sering digunakan yang kemudian dibagi menjadi
indikator risiko, yang menunjukan peningkatan risiko tetapi bukan penyebab, dan pengubah
risiko yang terkait penyebab (Tarrant & Jones, 1999). Sebagai contoh kecil anomali fisik,
seperti kelainan bentuk/anatomis dan abnormalitas kulit, mungkin menunjukan beberapa
aspek perkembangan otak yang abnormal (Buckley, 1998; McNeil & Cantor-Graae, 2000).

Paparan influenza terhadap ibu (Adams, Kendell, Hare, & Munk, 1993) dan gangguan otak
pada bayi yang baru lahir (Gedders & Laurie, 1995; McNeil, 1995) merupakan prekursor
risiko yang sangat mungkin dikendalikan, dimana, hal tersebut memengaruhi derajat risiko
yang dialami oleh individu yang terkena dampak dari keduanya. Adanya terminologi yang
berbeda namun mirip telah diusulkan oleh Kreamer dan rekannya (1997), yaitu faktor risiko
dibedakan berdasarkan faktor tersebut dapat dirubah atau tidak.
Mereka menggambarkan faktor risiko yang tidak dapat diubah sebagai penanda tetap. Ini
adalah produk atau mekanisme kausal yang mungkin atau tidak mungkin (seperti anomali
minor fisik, riwayat keluarga, komplikasi kebidanan dan tonggak tertunda). Faktor risiko
yang dapat diubah disebut faktor variabel yang kemudian dibagi lagi apakah dapat
dimanipulatif dapat mengubah hasilnya. Jika memanipulasi faktor dapat merubah hasil
maka faktor risiko tersebut disebut penyebab. Jika memanipulasi faktor risiko namun tidak
berubah hasilnya, faktor tersebut disebut penanda variabel. Contoh faktor risiko penyebab
dapat mencakup penggunaan narkoba dan deprivasi sosial (Eaton & Harrison, 2011) dan
keduanya berpotensi dapat dikendalikan/dimanipulasi.

Kelainan perilaku masa kanak-kanak, seperti perilaku overreaktif dalam anak laki-laki dan
perilaku tidak aktif atau menarik diri pada anak perempuan (Davidson et al., 1999; Done,
Sacker & Crow, 1994; Done, Crow, Johnstone, & Sacker 1994; Reichenberg et al., 2000,
2002) bisa dianggap baik indikator risiko (manifestasi dari gangguan otak yang mendasari)
dan faktor risiko yang dapat dirubah atau faktor risiko variabel, dimana keduanya mungkin
dapat dimanipulasi dan diterapi mungkin dapat mengubah hasil berikutnya. Artinya, pola
perilaku tersebut bisa mengakibatkan paparan faktor risiko lebih lanjut. Misalnya, perilaku
overreaktif dalam anak 11 tahun dapat mngakibatkan dirinya sebagai anak nakal dan
mungkin mengubah perilaku orang lain terhadap dirinya. Pola konflik dengan orang lain
maka bisa muncul. Dia mungkin terlibat dalam pengambilan risiko perilaku yang salah,
termasuk penggunaan narkoba. Pengalaman ini bisa mengakibatkan kelainan lebih lanjut
dalam proses perkembangan. Jadi perilaku overreaktif yang dianggap normal (indikator
risiko) mejadi faktor utama dalam serangkaian risiko yang dapat diubah (Yung & McGorry,
2004).

Namun, meskipun pengakuan beberapa faktor risiko yang mungkin untuk skizofrenia, tidak
ada satupun yang memiliki efek yang kuat dan ada asumsi bahwa gangguan ini disebabkan
oleh interaksi kompleks dari berbagai faktor biologis, sosial dan psikologis. Spesifitas
terhadap faktor risiko utama rendah, yang berarti bahwa sebagian besar subjek yang
terpapar faktor risiko tidak berkembang menjadi suatu gangguan. Isu-isu ini membuat sulit
untuk menunjukan efek dari intervensi selektif (Cuijpers, 2003).

Selanjutnya, penanda risiko tidak cukup untuk menimbulkan gangguan psikotik. Mungkin
diperlukan tekanan lingkungan untuk mengkonversi kerentanan yang mendasari untuk
mewujudkan suatu gangguan dan interaksi antara kewajiban dan stres adalah mekanisme
yang mungkin dilakukan(Spauwen et al., 2006). Pencegahan yang dipilih akan bergantung
pada identifikasi kelompok beresiko atas dasar penanda risiko dan ditargetkan untuk
diintervensi. Namun, menggunakan penanda risiko itu sendiri sebagai landasan sangatlah
kurang untuk skrining dan intervensi pencegahan. Sejak individu dapat menunjukan gejala
asimptomatik (setidaknya dalam kaitannya dengan gejala psikotik), meskipun menampilkan
penanda dari beberapa jenis gejala, tipe intervensi yang diusulkan juga bukanlah bentuk
pencegahan yang tepat untuk dilaksanakan. Jadi pada tahap ini, intervensi selektif tidak
layak sebagai strategi pencegahan yang efektif dalam skizofrenia.

Sampai saat ini ,sebagian besar pekerjaan intervensi awal telah dilakukan pada mereka
dengan manifestasi klinis awal dari suatu gangguan. Strategi ini paling mudah dikategorikan
sebagai strategi pencegahan yang terindikasi.

Bukti Keefektifan dari Intervensi Terindikasi

Relevansi dari gejala prodormal

Salah satu kunci tantangan dalam pencegahan terindikasi pada skizofrenia adalah
menetukan tanda-tanda dan gejala yang merupakan prekursor yang menyebakan timbulnya
gangguan. Sampai saat ini, pengetahuan kita tentang hal ini diperoleh dari anamnesis rinci
dan studi retrospektif dari pasien dengan skizofrenia (Muller & Husby, 2010; Yung &
McGOrry, 1996). Hal ini mengungkapkan bahwa fase prodormal sering terlihat sebelum
timbulnya gejala psikotik yang sebenarnya. Sering digambarkan dengan depresi suasana
hati, kecemasan, mudah marah dan perilaku agresif, ide dan upaya bunuh diri, dan
penggunaan narkoba (Yung & McGorry, 1996), serta defisit penilaian halus, termasuk
gangguan kognitif, afektif dan sosial. Ketiga hal ini disebut sebagai 'gejala dasar' (Gross &
Huber, 1996; Klosterkotter, Ebel, Schultze-Lutter, & Steinmeyer 1996).

Lebih awal dari timbulnya gejala psikotik yang sebenarnya, gejala psikotik yang masih belum
jelas dan belum mencapai batasan gejala dapat saja berkembang, seperti banyaknya ide.
Gangguan persepsi, seperti distorsi visual atau pendengaran, juga dapat terjadi. Ditambah
lagi deteriorasi fungsi dan gejala perilaku yang telah lama diamati sebelumnya (Bowers,
1965; Donlon & Blacker, 1973; Heinrichs & Carpenter, 1985; Herz & Meville, 1980; Meares,
1959).

Mengidentifikasi fase prodormal, agar intervensi dapat diberikan, adalah inti dari
pencegahan terindikasi, memberikan kemungkinan (1) meminimalkan kecacatan dan
kerugian kesehatan serta dampak sosial yang terkait dengan fase prodormal, (2) pemulihan
sebelum timbulnya gejala sebenarnya dan memburuknya fungsi, dan (3) mencegah,
menunda atau memperbaiki sebelum didiagnosis adanya gangguan psikotik.

Deteksi Gejala Prodormal Secara Prospektif

Istilah gejala prodormal hanya sekali digunakan jika seluruh gejala yang seharusnya telah
timbul dan oleh karena itu istilah retrospektif ini tidak digunakan saat fokus untuk
mendeteksi awal munculnya psikosis yang disebakan karena adanya gejala 'positif palsu'.
Ada bukti bahwa gejala psikotik ringan terjadi pada populasi umum (e.g. Tien, 1990; van Os,
2003; Verdoux & Cougnard 2006) dan tidak selalu diikuti dengan psikosis yang sebenarnya
(Poulton et al., 2000). Selain itu, istilah 'prodormal' berarti statusnya sebagai gangguan atau
penyakit dengan perkembangan yang tak terelakkan, bagaimanapun, untuk lebih akurat
menggambarkan kehadiran tanda dan gejala yang dijelaskan di atas sebagai indikasi
keadaan risiko yang akan berkembang menjadi psikosis dengan gejala yang lengkap. Lebih
banyak lagi terminologi yang lebih akurat yang dikembangkan, misalnya 'kondisi beresiko
timbulnya gangguan mental’ (McGorry &Singh, 1995). Periode waktu untuk seseorang
dianggap berisiko selama dan setelah resolusi gejala ini masih belum jelas (McGlashan et al.,
2003; Morrison et al., 2002; Yung, Philiphs, & McGorry, 2004a).

Kendala utama untuk identifikasi mereka yang berisiko psikosis adalah sifat yang relatif non-
spesifik dari gejala yang berhubungan dengan status risiko yang ada. Misalnya, Hafner dkk.
(2005) menunjukkan bahwa gejala prodormal skizofrenia tidak bisa dibedakan dengan gejala
depresi berat. Kriteria gejala non-spesifik dapat mengakibatkan identifikasi 'positif palsu'
(yaitu orang-orang belum pernah mengalami gangguan psikotik), yang berpotensi dirugikan
dengan dicap sebagai 'berisiko' dan mengakibatkan intervensi yang tidak perlu. Sulit untuk
membedakan dari kelompok 'positif palsu' (Yung et al., 2003) yang berkembang menjadi
gangguan psikotik tanpa adanya perubahan dalam kehidupan mereka, seperti intervensi,
pengurangan stres, atau penghentian penggunaan narkoba. Namun, adanya optimisme di
lapangan mengenai pencegahan terindikasi dengan pengembangan kriteria yang
ditingkatkan untuk mendeteksi orang-orang yang benar-benar berisiko tinggi (Ultra High
Risk/UHR) berkembang menjadi gangguan psikotik dan saat bersamaan mengurangi adanya
subjek ‘positif palsu’ yang diintevensi (Yung et al.,2003).

Identifikasi Populasi yang Memiliki Risiko Sangat Tinggi (UHR)

Pada bagian berikut kita kaan melihat berbagai penelitian dengan pendekatan untuk
menentukan dan kodifkasi UHR atau ‘gejala prodormal’ yang digunakan secara internasional
(McGorry, Yung, & Philips, 2003).

Kriteria UHR The Melbourn (PACE)

Untuk mengurangi banyaknya 'positif palsu', pendekatan skrining secara berurutan atau
'close-in strategy' telah diusulkan (Bell, 1992) dan membutuhkan gabungan beberapa faktor
risiko yng dipusatkan pada tingkat risiko tertentu pada kelompok yang dipilih sehingga
mereka yang mungkin berkembang memiliki gejala psikosis dalam waktu 12 bulan dapat
diidentifikasi lebih efektif. Strategi ini mengutamakan spesifisitas daripada sensitivitas,
dengan kemungkinan bahwa orang-orang bebas risiko mungkin tidak dapat diidentifikasi.
Umur dimasukkan sebagai faktor risiko tambahan karena masa remaja dan dewasa muda
merupakan usia insiden tertinggi untuk psikosis (Hafner et al., 1993). Pengalaman mengenai
mirip-psikosis dapat ditemukan pada populasi umum tanpa adanya stres terkait dan
pencarian pertolongan (Van Os, 2003), membutuhkan perawatan kejiwaan dan dimasukan
kedalam kriteria UHR. Deskripsi rinci mengenai kriteria UHR akan dibahas dibagian lain (e.g.
Yung et al., 2003; Yung, Philips, & McGorry, 2004a; Yung, Philips, Yuen, & McGorry, 2004b),
namun kriteria asli memerlukan orang muda berusia antara 14 dan 30 yang memiliki
masalah kesehatan mental memenuhi kriteria untuk satu atau lebih dari kelompok berikut:
1) Attenuated Psychotic Symptoms Group (APS ): memiliki gejala dibawah batas, positif
memiliki gejala psikotik ringan selama satu tahun terakhir; 2) Brief Limited Intermittent
Psychotic Symptoms Group (BLIPS): telah mengalami episode gejala psikotik sebenarnya
selama kurang dari seminggu dan telah spontan mereda; atau 3) Trait and State Risk Group:
memiliki riwayat gangguan psikotik di keluarga utama atau pasien tersebut telah
diidentifikasi memiliki gangguan kepribadian skizotipal dan mengalami penurunan yang
signifikan dalam fungsi selama satu tahun sebelumnya.

Alasan pembentukan kelompok diatas sebagian besar secara empiris berdasarkan:

Group 1 (APS): dibawah ambang, gejala psikotik ringan positif akan diketahui segera terjadi
sebelum onset gejala sebenarnya berdasarkan studi retrospektif (Yung & McGrorry, 1996).
Group 2 (BLIPS): episode transien singkat gejala psikotik yang secara spontan sembuh
terlihat pada pasien yang dikemudian hari memiliki gangguan psikotik (Faegerman, 1963;
Jauch & Carpenter, 1988).
Group 3 (trait plus state): gangguan kepribadian skizotipal dan ciri-ciri skizotipal (Yung et al.,
1996; 2003; 2004b) serta adanya riwayat gangguan mental di keluarga (Murray & McGuffin,
1993) dapat meningkatkan risiko terjadinya skizofrenia dengan gejala lengkap dan
deteriorasi fungsi termasuk menjadi alasan untuk identifikasi yang efektif untuk jangka
waktu yang singkat.

Untuk menguji validitas prediktif kriteria ini, sebuah layanan khusus untuk kelompok UHR
didirikan di Melbourne pada tahun 1994; the Personal Assessment and Crisis Evaluation
(PACE) clinic. Layanan ini merupakan klinik dan pusat penelitian pertama secara
international melayani individu yang baru saja mengalami gejala psikotik (Yung, MgGorry,
McFarlane, & Patton, 1995) yang belum mengalami episode psikotik sebelumnya. Instrumen
yang digunakan, the Comprehensive Assessment of At-Risk Mental State (CAARMS) telah
dikembangkan untuk membantu identifikasi kelompok UHR, menggabungkan intensitas
penilaian, frekuensi, durasi, dan kemunculan awal dari gejala psikotik (Yung et al., 2005).
Hasil utama dalam pengujian kriteria UHR di klinik PACE adalah untuk pencegahan episode
pertama dari gejala psikosis. Oleh karena itu perlu untuk dikembangkan pengertian
mengenai definisi dari psikosis. Hal ini didefinisikan sebagai gejala psikotik sebenarnya
selama lebih dari 1 minggu. Meskipun definisi ini terlihat sewenang-wenang dalam
penyusunannya, definisi ini memiliki implikasi pengobatan yang berlaku pula untuk gejala-
zat psikotik, gejala yang memiliki komponen suasana hati baik depresi atau mania dan
spektrum gangguan skizofrenia.

Dengan menggunakan kriteria UHR ini, sangat mungkin untuk mendeteksi dan menandai
individu pada usia muda yang berisiko menjadi gangguan psikotik yang sebenarnya, dengan
dibuktikan secara klinis dan didiagnosa berdasarkan kumpulan gejala yang ada (Yung et al.,
1996; 1998; 2003; 2004b). Tingkat transisi gangguan psikotik yang didiagnosis dalam waktu
12 bulan adalah sekitar 35 % (Yung et al., 2003; 2004b), hal ini melebihi ekspektasi beberapa
ribu kali lipat mengenai gejala psikotik episode pertama pada populasi umum. Ini dapat
terjadi meskipun sedikitnya penyediaan konseling suportif, manajemen kasus dan obat anti
depresan jika dibutuhkan. Hasil diagnostik utama kelompok dengan gejala psikotik yang
terus berkembang adalah skizofrenia (65 %).

Kriteria PACE UHR sudah banyak diadaptasi oleh berbagai klinik internasional (Haroun,
Dunn, Haroun, & Cadenhead, 2006). The Prevention trought Risk Identification,
Management and Education (PRIME) clinic di Universitas Yale, Amerika Serikat, melaporkan
tingkat transisi 54% (7 dari 13 subjek) dalam waktu 12 bulan (Miller et al., 2002). The
Psychological Assistance Service (PAS) di Newcastle, Australia, menggunakan kriteria serupa
juga mengungkapkan tingkat transisi 50% selama 12 bulan (Mason et al., 2004). The TOPP
clinic di Norwegia melaporkan tingkat transisi 12 bulan 0f 43% (Larsen, 2002), sedangkan
the Early Identification and Intervention Evaluation (EDIE) clinic di Manchester, Inggris,
memaparkan tingkat transisi 22% lebih dari 6 sampai 12 bulan (Morrison et al., 2002) dan
The Cognitive Assesment and Risk Evaluation (CARE) clinic di San Diego melaporkan tingkat
transisi 15% pada 12 bulan (Haroun et al., 2006). Dengan menggabungkan penelitian diatas
dan penelitian lain, tingkat transisi setiap tahun rata-rata mencapai 36,7% telah ditemukan
pada subyek tidak menerima pengobatan anti-psikotik secara khusus (Ruhrmann, Schultze-
Lutter, & Klosterkotter, 2003). Rata-rata transisi turun dalam studi yang lebih baru untuk
alasan yang tinggal diklarifikasi pada penelitian sleanjutnya (Yung et al., 2006).

Kriteria Dasar Gejala

Sejalan dengan konsep Jerman 'gejala dasar', The Cologne Early Recognition ( CER ) study
(Klosterktter, Hellmich, Steinmeyer, & Schultz-Lutter, 2001) meneliti keabsahan gejala ini
untuk memprediksi skizofrenia. Tiga ratus delapan puluh lima pasien yang, atas dasar klinik,
diduga berada pada ‘fase prodormal’ skizofrenia yang dinilai menggunakan Bonn Scale for
Assessment of Basic Symptom (BSABS; Gross et al., 1996; Klosterktter et al., 1997). Setelah
mencapai rata-rata 9.6 (± 7.6) tahun, mendekati setengahnya (49,4%) saat di follow-up (n =
160) berkembang menjadi skizofrenia. Hanya dua pasien yang kemudian berkembang
menjadi skizofrenia tidak dilaporkan adanya gejala dasar pada awal. Dengan demikian ada
atau tidak adanya gejala dasar dapat memprediksi konversi kearah skizofrenia sekitar 78,1 %
(Klosterktter et a;., 2001).

Analisis lebih lanjut mengungkapkan sepuluh gejala dasar kognitif-perseptif 'informasi


pengolahan gangguan' yang sebelumnya (a) dilaporkan berada pada awal setidaknya
seperempat pasien skizofrenia yang muncul dikemudian hari (b) menunjukkan nilai prediksi
positif yang baik (setidaknya 0.70). Dan hal inni melipiti : gangguan berpikir, gejala yang
menetap, aanya tekanan atau hambatan, gangguan bahasa reseptif, penurunan
kemampuan untuk membedakan antara ide-ide, persepsi, fantasi dan kenangan yang benar,
dasar ide-ide yang tidak stabil, derealisasi; gangguan persepsi visual atau auditori.

Subkelompok gejala dasa inir membentuk dasar dari the first European ‘prodormal’ or UHR
centre yang didirikan pada tahun 1997 di departemen psikiatri dari the Universal of Cologne,
Germany, The Frh-erkennungs-& Therapie-Zentrum for psychische Krisen (FETZ).
Selanjutnya , tiga pusat layanan didirikan pula di Jerman berdasarkan model dari FETZ, di
Bonn, Dsseldorf dan Munich. Layanan ini juga menggunakan a close-in strategy. Tapi untuk
membedakan antara the ‘ealry initial prodormal state’ ( EIPS ) dengan gejala psikotik yang
ringan menggunakan kriteria PACE , APS dan BLIPS.

Sebuah alat penilaian, the Schizophrenia Proneness Instrument, versi dewasa (SPI-A; Schutlz-
Lutter et al., 2004) yang menilai keparahan, frekuensi dan gejala yang baru muncul dari
gejala dasar telah dikembangkan. Kriteria gejala dasar sedikit diubah (2 dari 9 gejala dasar
yang dibutuhkan) telah digunakan untuk mengevaluasi EIPS dan LIPS di the multisite
European Prediction of Psychosis Study (EPOS; Klosterktter et al., 2005), dengan transisi
tingkat untuk psikosis sebenarnya yang dinilai dari gejala dasar dilaporkan 23,9 % dalam
satu tahun pertama, 22, 4 % pada tahun kedua, 14,9 % pada tahun ketiga ,dan 17,9 % lebih
dari tiga tahun.

Kriteria RAP

Melihat pandangan ahli dari penelitian berisiko tinggi genetik dan menggunakan skizofrenia
sebagai subjek, the Hillside Recognition and Prevention (Hillside-RAP) programme di New
York (Cornblatt, Lencz, Obuchowski, 2002) menyusun tiga kelompok : (1) kelompok yang
secara klinis berisiko tinggi (CHR) - (negatif), dengan gejala negatif ringan seperti isolasi
sosial, avolition, dan deteriorasi fungsi belajar; (2) kelompok (CHR) + (positif), dengan gejala
psikotik ringan positif (menurut skor SIPS ); dan (3) kelompok a Schizophrenia-Like Psychosis
(SLP) dengan gejala psikotik, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia. Para peneliti
RAP memberikan teori perkembangan dari CHR menjadi CHR + menjadi SLP menjadi
skizofrenia dengan gangguan kognitif sebelum awal onset skizofrenia dan mekanisme
dimana CHR merupaka kelompok yang sangat berisiko. Masa transisi dari CHR + (positif)
status untuk gangguan psikotik adalah 26,9 % (9 dari 34 pasien) dalam waktu 6 bulan (Lencz,
Smith, Auther, Correll, & Cornblatt, 2003). Tingkat jumlah transisi untuk skizofrenia dalam
kelompok SLP adalah 33 % (Cornblatt et al., 2002).

Intervensi pada Kelompok UHR (Gejala Prodormal)

Berbagai uraian penelitian yang diulas di atas menunjukkan bahwa sangat mungkin untuk
mengidentifikasi kelompok berisiko tinggi pada inidvidu yang baru mengalami gejala
psikosis. Tujuan dari mengidentifikasi dengan probabilitas tinggi untuk mengetahui
sepenuhnya episode pertama psikosis, bahkan setelah perawatan psikososial yang
berkualitas, pengobatan yang sering dikombinasikan dengan antidepresan, adalah untuk
menemukan intervensi yang lebih spesifik untuk memperbaiki, memperlambat atau bahkan
mencegah timbulnya skizofrenia. Percobaan pertama, dilakukan di klinik PACE di
Melbourne, menunjukkan bahwa onset psikosis bisa tertunda dan mungkin dicegah dengan
intervensi tertentu. Penelitian tersebut membandingkan gabungan CBT dan dosis rendah
atipikal obat anti-psikotik (risperidone) (n = 31) dengan manajemen kasus biasa (n = 28).
Subjek secara acak, tetapi baik pasien atau peneliti tidak mengetahui jika telah dilakukan
intervensi. Tingkat onset psikosis pada kelompok yang diberikan terapi secara signifikan
lebih rendah daripada kelompok kontrol setelah fase pengobatan 6 bulan (9,7%
dibandingkan 35%, p = 0,026). Namun, setelah lebih dari 6 bulan follow-up tidak ada lagi
perbedaan yang signifikan antara kelompok, terutama, karena pasien yang tidak mematuhi
obat anti-psikotik mengembangkan gangguan psikotik (McGorry et al., 2002b).

Penelitian selanjutnya telah memberikan pemahaman untuk memahami komponen aktif


yang diperlukan untuk pencegahan terindikasi semakin efektif. Misalnya, olanzapine dosis
rendah (n = 31) telah dibandingkan dengan plasebo (n = 29) secara acak. Percobaan double
blind ini diprakarsai oleh McGlashan bersama rekan (2003) dari Universitas Yale . Dari 60
peserta, 16 (26,6 %) mengembangkan gangguan psikotik selama perawatan 12 bulan,
dengan 50 % dari ini mengalami konversi pada bulan pertama. Ada perbedaan yang tidak
signifikan (tetapi dengan kecenderungan untuk perbedaan yang signifikan) di tingkat
konversi antara kelompok; 5 berada di kelompok olanzapine, dan 11 pada kelompok
plasebo. Pada periode pemantauan 12 bulan, 2 yang berkembang dari olanzapine, dan 11
dari kelompok plasebo berkembang menjadi psikosis.

Sebuah penelitian di Manchester, UK, peserta secara acak (n = 58) dilakukan terapi kognitif
atau pemantauan kondisi mental saja. Setelah 6 bulan terapi kognitif, ada peningkatan
transisi secara signifikan lebih rendah daripada yang diberikan plasebo (6 % dibandingkan 26
%, p < 0,05). Setelah 12 bulan follow-up, kelompok terapi kognitif juga secara signifikan
menunjukan penurunan gejala kejiwaan (p < 0,02 ; Morrison et al, 2004).

Intervensi yang berbeda telah diuji coba pada the German early and late ‘prodrome’ groups
(LIPS and EIPS). Satu studi percontohan yang tidak terkendali telah menguji efektivitas
kedua multi-modal intervensi kognitif-perilaku yang lebih ramah untuk kelompok EIPS.
Analisis eliminasi awal dari 12 bulan data mengevaluasi intervensi CBT dibandingkan dengan
konseling dalam uji coba terkontrol secara acak menunjukan keuntungan yang signifikan
untuk kelompok CBT dalam transisi menjadi LIPS dan psikosis (Bechdolf et al., 2005b; 2006).

Untuk kelompok LIPS, percobaan sedang berlangsung untuk menguji efektivitas manajemen
klinis ditambah amisulpride yang dibandingkan dengan manajemen klinis saja. Analisis awal
pertama 124 peserta setelah 12 minggu intervensi menunjukan amisulpride meningkatkan
gejala dasar, gejala psikotik ringan dan gejala psikotik sebenarnya, gejala negatif, gangguan
afektif dan fungsi secara global global. Sebuah RCT menyelidiki lebih lanjut eicosapentaenoic
acid (EPA) versus plasebo sedang berlangsung di Wina kepada subjek UHR dan akan
dilaporkan segera hasil dari penelitian tersebut.

Intervensi Dini pada Skizofrenia

Pencegahan meliputi tidak hanya penurunan angka kejadian, tetapi meminimalisir


disabilitas, promosi pemulihan, dan pencegahan morbiditas sekunder. Semua tujuan ini
dapat dicapai melalui intervensi dini pada saat episode pertama psikosis.

Prinsip utama dari intervensi dini dapat diringkas secara singkat sebagai berikut (lihat
McGorry & Yung, 2003, untuk elaborasi).

Minimalisasi Durasi Psikosis yang Tidak Diterapi

Durasi yang lama dari psikosis tidak diobati (Duration of Untreated Psychosis/DUP) dikaitkan
dengan hasil yang lebih buruk dalam hal gejala, fungsi dan kualitas hidup baik dalam jangka
pendek (Harrigan, McGorry, & Krstev, 2003; Malla et al., 2002; Marshall et al., 2005) dan
menengah untuk jangka panjang (Harris et al., 2005; Bottlender & Moller, 2003). Mereka
yang dalam kondisi DUP memiliki kecenderungan yang kecil untuk mencapai remisi (Harris
et al., 2005; Marshall et al., 2005). Selanjutnya dan sangat krusial, deteksi dengan
koresponden untuk mengurangi DUP dikaitkan dengan hasil klinis yang membaik, khususnya
kesulitan untuk mengubah domain gejala negatif (Larsen et al., 2006; Melle et al., 2004).

Ide untuk identifikasi diri dari risiko dan promosi perilaku mencari-bantuan untuk
memfasilitasi presentasi awal episode pertama psikosis dan meminimalkan DUP adalah
praktis dan dapat dicapai dengan pengetahuan kita saat ini. The Scandinavian Early
Treatment and Identification of Psychosis study (TIPS; Johannessen et al., 2001) merupakan
sebuah proyek penelitian untuk mendeteksi awal dan menargetkan psikosis episode
pertama. Program deteksi dini termasuk kampanye yang ditargetkan untuk dokter, pekerja
sosial, dan pekerja kesejahteraan sekolah, serta penyediaan informasi dari tim deteksi dini.
Intervensi ini terbukti mengurangi individu dengan DUP dan penyalahgunaan zat dan pada
satu tahun follow-up secara signifikan mengurangi gejala negatif, penyalahgunaan zat, dan
meningkatkan kegiatan sehari-hari dan hubungan sosial (Friis et al., 2005; Larsen et al.,
2006; Melle et al., 2004).

Sebuah kampanye multi-media merupakan bagian integrasi dari program deteksi dini TIPS
dan terbukti efektif dalam meningkatkan pemahaman terhadap kesehatan mental, yang
sangat penting jika pencarian bantuan awal diharapkan untuk sukses. Paham Kesehatan
mental didefinisikan sebagai 'pengetahuan dan keyakinan tentang gangguan mental dimana
dapat membantu dalam hal pengenalan gejala, manajemen atau pencegahan' (Jorm et al.,
1997). Kurangnya Pemahaman kesehatan mental telah ditunjukkan dalam serangkaian
penelitian di Australia menjadi hambatan yang signifikan untuk mencari bantuan pada usia
muda dan dewasa (Jorm et al., 1997; Keys & Young, 1997). Promosi untuk mencari bantuan-
awal dalam strategi promosi kesehatan seperti kampanye kesadaran masyarakat belum
secara luas digunakan dalam dunia penaganan psikosis, namun sebuah penelitian terbaru
(the ‘compass strategy’), menggunakan kampanye kesadaran masyarakat mirip dengan yang
digunakan dalam penelitian TIPS meskipun fokus pada psikosis, namun memberikan hasil
positif pada gangguan depresi (Wright, McGorry, Harris, Jorm, & Pennell, 2006). Hal ini
ditargetkan selama 12 sampai 25 tahun melalui multimedia, termasuk website dan layanan
informasi telepon. Pesan utama disempurnakan menjadi slogan ’Get on top of it before it
gets on top of you’. Hal ini dilengkapi dengan lima pesan kunci lainnya yang berpusat di
sekitar kerentanan orang muda untuk masalah kesehatan mental, gejala utama dan
kebutuhan keseriusan mereka dalam hal pencegahan ini, termasuk mendapatkan bantuan
awal dan arah untuk lebih banyak sumber informasi. Evaluasi meliputi survei telepon
mengenai pemahaman kesehatan mental sebelum dan sesudah kampanye dan wawancara
dari 600 sampel yang dipilih secara acak dari daerah eksperimental dan daerah
perbandingan. Ada sejumlah hasil positif termasuk kesadaran yang lebih besar terhadap
masalah kesehatan mental, mencari bantuan dan pengurangan hambatan dalam proses
pencarian bantuan tersebut (Wright et al., 2006).

Promosi Pemulihan dari Episode Pertama Psikotik

The Early Psychosis Prevention And Intevention Centre (EPPIC) mengajukan model pertama
dari seorang spesialis, program intervensi awal yang komprehensif untuk orang-orang muda
dengan gangguan psikotik. Program ini menerima orang-orang yang mengalami gejala
psikosis 'episode pertama yang telah ditangani' (misalnya individu yang telah menerima
lebih dari 6 bulan pengobatan farmakologis untuk psikosis yang dirujuk dari tempat lain).
Penanganan di EPPIC biasanya meliputi manajemen kasus, dukungan bagi keluarga,
intervensi kelompok, perawatan akut berbasis rumah dan masyarakat dan akses ke sarana
dan fasilitas. Sebuah studi efektivitas naturalistik, membandingkan hasil 12 bulan antara
pasien yang ditangani dengan model EPPIC pada tahun 1993 dengan kohort pasien dengan
riwayat episode pertama psikosis, menunjukkan mereka yang dirawat dalam model EPPIC
mengalami hasil signifikan lebih baik daripada pasien yang tidak ditangani dengan model
EPPIC berkaitan dengan kualitas keseluruhan kehidupan, termasuk kehidupan sosial dan
fungi dalam peran serta membuktikan nilai yang lebih baik (McGorry, Edwards,
Mihalopoulos, Harrigan, & Jackson, 1996; Mihalopoulos, McGorry, & Carter, 1999). Tingkat
stres pasca-trauma terkait dengan rawat inap dan elemen lain dari perawatan juga
berkurang, dan mengalami yang mengalami psikosis sendiri dlaiporkan lebih sedikit yang
diakibatkan oleh trauma.

Beberapa percobaan besar lainnya telah dilakukan sejak keberhasilan pengujian intervensi
spesialis untuk episode awal psikosis. Pengobatan terpadu dalam penelitian OPUS dilakukan
di Denmark berlangsung dua tahun dan termasuk kasus lebih kecil untuk staf anggota,
penggalakan pengobatan masyarakat, obat anti - psikotik, pelatihan keterampilan sosial jika
dianggap perlu, dan membentuk kelompok multi-keluarga, termasuk fokus pada psiko-
pendidikan (Jorgensen et al., 2000). Pada satu dan dua tahun follow-up, peserta yang tetap
dalam kelompok perawatan terpadu secara signifikan, puas dengan, daripada kelompok
dengan perawatan standar.mereka dalam perawatan standar. Selain itum ada juga
penurunan yang signifikan dari gejala psikotik positif dan negatif (Nordentoft et al., 2002;
Petersen et al., 2005b; Thorup et al., 2005).

The Lanbeth Early Onset (LEO) study membandingkan perawatan khusus berdasarkan model
penjangkauan penggalakan dengan perawatan standar (Craig et al., 2004; Garety et al.,
2006). Perawatan spesialis termasuk dosis rendah atipikal anti - psikotik, menggunakan
protokol CBT secara manual (Jolley et al., 2003; Jackson et al., 1998) dan konseling keluarga
dan strategi kejuruan berdasarkan yang telah ditetapkan (Edwards & McGorry, 2002; EPPIC,
1997). Peserta yang berada dalam kelompok perawatan spesialis secara signifikan lebih
sedikit yang mengalami readmissions dan peserta pada kelompok ini lebih terlihat lebih
dapat mempertahankan aktivitas dengan pelayanan psikiatrik yang diberikan (Craig et al.,
2004).

The SoCRATES study (Study of Cognitive Reality Alignment Therapy in Early Schizophrenia)
merupakan studi yang lebih spesifik dari komponen pengobatan, yang dirancang untuk
membandingkan terapi perilaku kognitif (CBT) dengan konseling suportif untuk episode
pertama ataukedua dari skizofrenia untuk meningkatkan pemulihan dan mencegah
kekambuhan (Lewis et al., 2002). Selama 18 bulan follow-up (Tarrier et al., 2004),
penambahan CBT dan konseling suportif menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam
gejala dibandingkan dengan perawatan rutin.

Minimalisasi Morbiditas dan Mortalitas Sekunder

Onset skizofrenia dikaitkan dengan berbagai komorbiditas yang, jika berhasil diatasi, dapat
mengurangi angka kematian dan meningkatkan pemulihan dalam arti luas (Birchwood, Todd
& Jackson, 1998; Edwards, Harris & Bapat, 2005). Komorbiditas ini termasuk
penyalahgunaan zat, depresi, kecemasan sosial dan bunuh diri. Risiko bunuh diri dapat
dikurangi dengan kombinasi optimisme, perawaatan yang berkualitas dan hambatan yang
diberikan dalam pelayanan seperti EPPIC di tahun-tahun awal setelah onset muncul (Harris,
Burgess, Chant, Pirkis, & McGorry, 2006; Power et al., 2003). Percobaan OPUS menunjukkan
bahwa kelompok yang menerima pelayanan spesialis psikosis awal lebih sedikit memiliki
risiko narkoba, penyalahgunaan atau ketergantungan alkohol (Petersen et al., 2005b).

Jaminan Kerusakan Psikososial pada Masa Kritis

Dampak sosial dari timbulnya psikosis biasanya substansial tapi buruknya hubungan sosial
selama masa remaja akhir dan dewasa awal. Hal yang sama, pengembangan diri dan
identitas seksual, transisi kehidupan dalam keluarga, dan jalur kejuruan merupakan tonggak
penting dalam fase ini. Sayangnya, kecenderungan hanya fokus pada pengobatan gejala
psikotik selama fase akut meninggalkan sebagian besar terapi tambahan untuk
meminimalkan dampak. Intervensi dini di domain ini meningkatkan kemungkinan pemulihan
fungsional yang lebih lengkap setelah resolusi gejala. Mereka yang telah menerima
perawatan spesialis terbukti memiliki pengaturan hidup lebih mandiri. Lebih sedikit
tunawisma (rasio odds = 0,53, p = 0,02) dan lebih mungkin untuk melanjutkan pendidikan
formal (Nordentoft et al., 2002; Petersen et al., 2005b; Thorup et al.,2005) serta
menghabiskan lebih banyak waktu dalam kegiatan kejuruan, mempertahankan atau
dukungan sosial pembentukan dan hubungan, dan melaporkan kualitas hidup yang lebih
tinggi. (Garety et al., 2006). Ada juga indikasi awal dari manfaat bentuk intervensi
psikososial (Gleeson, Larsen, % McGorry, 2003) dan program pemulihan kejuruan preventif
(Killackey, Jackson, Gleeson, Hickie, & McGorry, 2006; Rinaldi et al., 2004).

Pelindung Saraf dan Stadium Klinis

Ada bukti bahwa munculnya fase awal psikosis dikaitkan dengan perubahan perlahan dari
neurobologi (Pantelis, Yucel, Wood, McGorry, & Velakoulis, 2003; Pantelis et al., 2005;
Wood et al., 2003, 2006). Banyak model menekankan pada aktivasi perkembangan saraf
yang sangat rentan sekarang semakin bersaing dengan teori-teori disfungsi neuronal
kompleks yang berkembang sekitar awal periode (Pantelis et al., 2003; 2005). Tampaknya
semakin mungkin bahwa proses seperti apoptosis mungkin terlibat (Berger, Wood, &
McGorry, 2003; Yao, Reddy, & van Kammen, 2001) dengan efek pada akhir proses
perkembangan saraf. Alternatif lain adalah dampak perkembangan stres dan lingkungan
stres pada struktur dan fungsi SSP melalui sistem HPA dapat menjadi jalur patofisiologi yang
layak untuk diteliti. Sel saraf, sel glia dan fungsi sinaptik serta keintegritas kesemuanya
merupakan fokus penelitian yang penting dan muncullah paradigma terapi yang mengalir
dari pelindung saraf, yang meliputi agen terapi yang dapat meningkatkan kesehatan dan
fungsi sistem saraf dan glial. Jika agen neuroprotektif dapat dibuktikan untuk
mempengaruhi variabel biologis seperti perubahan struktural SSP, perubahan secara
fungsional dan indikator metabolisme, dan krusial untuk mengurangi risiko pengembangan
dari awal untuk bentuk yang lebih parah dari gangguan, maka alasan untuk intervensi awal
menjadi lebih menarik. Dua paradigma heuristik berpotensi sangat sinergis. Ada beberapa
bukti bahwa berbagai agen termasuk mood stabilizers dan anti-psikoti jenis atipikal memiliki
efek neuroproteksi di laboraturium dan hewan coba (e.g. Bai et al., 2002; Manji, Moore, &
Chen, 2000). Terapi spektrum yang luas dan tidak berbahaya seperti EPA juga menjanjikan
efek yang sama (Berger et al., dalam media cetak). Penggunaan terapi yang tidak berbahaya
dan lebih ramah di awal perjalanan penyakit konsisten dengan dan mendukung penyusunan
stadium dari suatu gangguan, karena jangkauan efikasi untuk neuroproteksi dapat dibatasi
untuk tahap-tahap awal penyakit ketika penyakit ini aktif dan responsif, sementara fase
kronis dalam kondisi stabil mungkin relatif berefrakter. Model stadium klinis terkait erat
dengan paradigma intervensi dini (Fava & Kellner, 1993; McGorry, Hickie, Yung, Pantelis, &
Jackson, 2006), dan tampaknya menjadi model yang berguna untuk menyatukan bukti
mengenai pencegahan secara selektif dan terindikasi dan intervensi dini pada psikosis, serta
tahap akhir dari penyakit penyakit. Model ini dapat diprediksi melalui dua asumsi utama:
bahwa pasien pada tahap awal dari penyakit memiliki respon yang lebih baik terhadap
pengobatan dan prognosis yang lebih baik daripada di tahap selanjutnya, dan bahwa
mereka yang mendapat perawatan yang ditawarkan pada tahap awal harus tidak berbahaya
serta lebih efektif. Dengan demikian, rasio risiko-manfaat adalah pertimbangan utama dan
dapat untuk kedua alasan.

Kesimpulan

Mrazek dan Heggerty (1994) menyatakan dalam seminar pencegahan penyakit mental
bahwa:
Harapan terbaik sekarang untuk pencegahan skizofrenia terletak dengan pencegahan
intervensi terindikasi ditargetkan pada individu mewujudkan tanda-tanda dan gejala
prekursor yang belum memenuhi seluruh kriteria untuk diagnosis. Identifikasi individu pada
tahap awal ini, bersama dengan pengenalan intervensi farmakologis dan psikososial, dapat
mencegah perkembangan tahapan gangguan dengan seluruh gejala yang lengkap.
Intervensi pencegahan pada gangguan psikotik sekarang merupakan kemungkinan yang
realistis untuk pertama kalinya dan sedang dikembangkan di banyak bagian dunia. Konsep
stadium klinis dan neuroprotektif menyediakan kerangka kerja yang mendukung untuk
melakukan studi lebih lanjut dalam pengobatan intervensi awal dalam gangguan psikotik
dan berpontensi dalam mengangani gangguan mood yang berat. Kita sudah bisa melihat
bukti bahwa mungkin untuk mengurangi risiko pengembangan dari negara UHR untuk FEP,
dan untuk mengurangi keterlambatan dalam deteksi dan pengobatan FEP, dengan
perbaikan yang sesuai hasil utama pada variabel, terutama gejala negatif. Program psikosis
awal yang telah berjalan menunjukkan peningkatan secara klinis dan fungsi pada awal tahun
pasca diagnosis dan mengurangi tingkat bunuh diri dan penyalahgunaan zat. Penelitian lebih
lanjut dan reformasi diperlukan untuk memperbaiki kriteria UHR dan untuk
mengembangkan dan mempelajari pengobatan baru yang lebih aman dan lebih efektif di
tahap awal gangguan psikotik dan mood yang berpotensi menjadi gangguan yang serius.

Anda mungkin juga menyukai