Anda di halaman 1dari 24

BAB I

LAPORAN KASUS

Nama Peserta : dr. Antania Isyatira Kartika


Nama Wahana : RS Betha Medika
Topik : Demam Tifoid
Tanggal Kasus : 24 September 2020
Pembimbing : dr. Indra Sandinirwan Sp.A
Pendamping 1 : dr. Elfani Sakinah

A. DATA PASIEN

Data Administrasi
Nama : An. RF
No. RM : 00238xxx
TTL : 1 September 2009
Data Demografis
Usia : 11 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sukabumi
Agama : Islam
Suku : Sunda
B. ANAMNESIS

Keluhan Utama :
Demam sejak 2 hari smrs

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan demam sejak 2 hari smrs. Demam dirasakan
naik turun, naik pada sore menjelan malam hari dan turun ketika menjelang
pagi. 1 hari smrs demam masih naik turun dan sudah diberikan obat tetapi
tidak ada perbaikan. Pasien mengatakan kadang nyeri pada perut bagian
pusar dan rasa pahit pada mulut. Pasien tidak merasakan mual dan muntah
tetapi nafsu makan berkurang namun minum masih baik. Tidak ditemukan
mual dan muntah. Tidak ditemukan batuk dan sesak. Buang air kecil tidak
ada keluhan. Ibu pasien mengatakan anaknya hanya dirumah saja dan tidak
tahu apakah jajan sembarangan di luar rumah atau tidak. Menurut pasien,
pasien kadang sering jajan di luar dan lupa untuk cuci tangan sebelum
makan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mempunyai keluhan yang serupa

Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga tidak ada yang pernah mengalami hal yang sama seperti
pasien.

Riwayat Pengobatan
- Ibu pasien memberikan obat penurun panas bentuk sirup saat demam

Riwayat Alegi
Alergi obat, makanan, dan cuaca disangkal.
Riwayat Kehamilan
Saat mengandung pasien, Ibu pasien sering kontrol ke bidan. Riwayat
sakit dan perdarahan pada saat hamil disangkal.

Riwayat Persalinan
Pasien dilahirkan di tempat praktek bidan dengan usia kehamilan cukup
bulan. Pasien dilahirkan secara spontan pervaginam. Saat lahir, pasien
langsung menangis. BBL : 3,2 kg PBL : 49 cm.

Riwayat Perkembangan
Motorik kasar : Sudah mencapai kemampuan motorik kasar sesuai
usia
Motorik Halus : Sudah mencapai kemampuan motorik halus sesuai
usia
Perkembangan Bahasa : Sudah mencapai kemampuan bahasa sesuai usia
Perkembangan Sosial : Sudah mencapai kemampuan personal sosial
sesuai usia
Kesan : Perkembangan sesuai dengan usia.

Riwayat Imunisasi
Pasien melakukan imunisasi rutin setiap ada kegiatan posyandu.

Riwayat Pemberian Makanan


Pasien diberikan ASI eksklusif sejak lahir s.d. usia 6 bulan, tanpa
makanan atau minuman tambahan apapun. Selain ASI, pasien mulai
diberikan makanan tambahan pada usia >6 bulan yaitu makanan siap saji
untuk bayi (Nestle) yang kadang di variasi dengan pembuatan nasi tim
sampai 1 tahun. Usia 7 bulan pasien mulai diperkenalkan susu formula.

Riwayat Psikososial
Pasien merupakan anak pertama. Tinggal dirumah milik sendiri.
Penghuni rumah berjumlah 3 orang. Jendela rumah sering dibuka, lantai dan
dinding tembok permanen. Kamar mandi milik sendiri dengan sistem
pembuangan tinja septic tank. Sumber air dari sumur tidak berbau, tidak
berasa dan tidak berwarna.
C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Kompos mentis

Tanda – Tanda Vital

Nadi : 100 kali/menit

Pernapasan : 20 kali/menit

Suhu : 36.9 ºC

Status Gizi

Berat Badan : 28 Kg

Tinggi Badan : 125 Cm

Status Generalisata

 Kepala
o Bentuk : Normochepal
o Rambut : Rambut hitam, tipis dan tidak mudah rontok
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Hidung : PCH (-), Sekret (-/-), epistaksis (-/-)
 Telinga : Normotia (+/+),Serumen (-/-)
 Mulut : Mukosa bibir lembab, lidah kotor (-), stomatitis (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-), tonsil
T1:T1
 Thorax
o Inspeksi : Bentuk dan gerakan simetris, retraksi intercosta (-)
o Palpasi : Tidak dilakukan
o Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
o Auskultasi :
- Cor BJ I,II murni, reguler, murmur (-), gallop (-)
- Pulmo Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
 Abdomen
o Inpeksi : Datar, retraksi epigastrium (-)
o Auskultasi : Bising usus (+)
o Palpasi : Nyeri tekan (+) pada umbilical, turgor kulit
kembali cepat, hepar dan lien tidak ada pembesaran.
o Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen.
 Ekstremitas : Akral hangat +/+, CRT < 2 detik, edema tungkai
(-/-)
Status Neurologis
 Refleks Meningen :
- Kaku Kuduk (-)
- Kernig Sign (-)
- Brudzunski I (-)
- Brudzunski II (-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratirium klinik harapan (24/09/2020)

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hematologi Lengkap
 Hemoglobin 13.8 g/dL 12 - 16
 Leukosit 7.4 ribu/µL 4-9

 Hematokrit 37,8 % 35 - 45

 Trombosit 148 ribu/µL 150 - 350

Differential
0 % 0–1
 Basofil
0 % 1–3
 Eosinofil
0 % 2–6
 Stab
80 % 50 -70
 Segmen
15 % 20 – 40
 Limfosit
5 % 2–8
 Monosit
Widal
(+) : 1/320 Negatif
 TO
(+): 1/160 Negatif
 TH Negatif
(+) : 1/80
 AH Negat
(+) : 1/160 if
 BH
Laboratorium Rs Betha Medika ( 24/09/2020)

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hematologi Lengkap
 Hemoglobin 12.4 g/dL 11,5 - 13,5
 Leukosit 9.5 ribu/µL 4.5 - 13,5

 Hematokrit 36,6 % 35 - 45

 Erirosit 4.38 Juta/µL 4,88 – 6.15


174 ribu/µL 150 - 450
 Trombosit
Index
83.6 fL 77 - 95
 MCV
28.3 pg 25 - 33
 MCH
33.8 % 31 - 37
 MCHC
Differential
0 % 0–1
 Basofil
2 % 1–3
 Eosinofil
7 % 2–6
 Stab
74 % 50 -70
 Segmen 12 % 20 – 40
 Limfosit 5 % 2–8
 Monosit
Widal
1/80 Ne
 Ant S Typhi H
1/80 gatif
 Anti S H Paratyphi A
1/80 Ne
 Anti S H Paratyphi B 1/160 gatif
 Anti S H Paratyphi C 1/80 Ne
 Anti S Typhi O 1/160 gatif
 Anti S O Paratyphi A 1/80 Ne
 Anti S O Paratyphi B 1/80 gatif
 Anti S O Paratyphi C Ne
gatif
Ne
gatif
Ne
gatif
Ne
gatif

Laboratorium RS Betha Medika (28/09/20)

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hematologi Lengkap
 Hemoglobin 12.9 g/dL 11,5 - 13,5
 Leukosit 76 ribu/µL 4.5 - 13,5

 Hematokrit 37,9 % 35 - 45

 Erirosit 4.55 Juta/µL 4,88 – 6.15


171 ribu/µL 150 - 450
 Trombosit
Index
83.6 fL 77 - 95
 MCV
28.3 pg 25 - 33
 MCH
33.8 % 31 - 37
 MCH

E. RESUME

Seorang anak perempuan usia 11 tahun datang ke IGD RS Betha medika


dengan keluhan demam naik turun sejak 2 hari SMRS. Demam terutama
menjelang malam hari dan turun pada pagi hari. Nafsu makan berkurang.
ditemukan nyeri perut terutama pada bagian umbilikal. Mual, muntah bab cair
tidak ditemukan. Ibu pasien tidak mengetahui apakah anakanya sering jajan
sembarangan atau tidak. Pasien mengaku kadang jajan sembarangan dan lupa
untuk cuci tangan. Dari pemeriksaan fisik nadi 100 x/menit, rr 20 x/menit,
suhu 36.9. Dari pemeriksaan penunjang ditemukan titer Tifoid 1/320
F. Diagnosa Kerja : Demam Tifoid
Differential Diagnosis : - Demam Dengue

G. Penatalaksanaan

 Infus RL 24 cc/jam
 Cefotaxim 3 x 1 gr iv
 Parasetamol 3 x 300 mg iv
 Gentamisin 1 x 160 mg iv
 Diet makan lunak
H. Follow Up

Tanggal S O A P
25/9/20 Demam TTV Demam - Infus RL 24
Jumat masih HR = 110 Tifoid cc/jam
naik x/menit - Cefotaxim 3 x 1
turun. RR = 24 x/menit gr iv
Mual (-), Suhu = 36.7ºC - Parasetamol 3 x
muntah Status 300 mg iv
(-), nafsu generalis : - Gentamisin 1 x
makan dalam batas 160 mg iv
masih normal - Diet makan
kurang, Status lunak
mencret neurologis :
(-) dalam batas
normal 

26/9/20 Demam TTV Demam - Infus RL 24


Sabtu masih HR = 90 Tifoid cc/jam
naik x/menit - Cefotaxim 3 x 1
turun. RR = 20 x/menit gr iv
Mual (-), Suhu = 37.9ºC - Parasetamol 3 x
muntah Status 300 mg iv
(-), nafsu generalis : - Gentamisin 1 x
makan dalam batas 160 mg iv
sudah normal - Diet makan
lebih baik, Status lunak
mencret neurologis :
(-) dalam batas
normal 

27/9/20 Demam TTV Demam - Infus RL 24


Minggu masih HR = 85 Tifoid cc/jam
naik x/menit - Cefotaxim 3 x 1
turun. RR = 21 x/menit gr iv
Mual (+), Suhu = 37ºC - Parasetamol 3 x
muntah Status 300 mg iv
(-), nafsu generalis : - Gentamisin 1 x
makan dalam batas 160 mg iv
sudah normal - Diet makan
lebih baik, Status lunak
mencret neurologis :
(-) dalam batas
normal 

28/9/20 Demam TTV Demam - Aff infus


Senin (-). Mual HR = 110 Tifoid - Cefixime syrup
(-), x/menit 2 x 100 mg
muntah RR = 20 x/menit - Curcuma 1 x 5
(-), nafsu Suhu = 36.8ºC mg
makan Status - BLPL
sudah generalis :
lebih baik, dalam batas
mencret normal
(-) Status
neurologis :
dalam batas
normal 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam typhoid merupakan penyakit sistemik yang disebabkan
oleh infeksi dan diseminasi bakteri Salmonella typhi dan/atau Salmonella
paratyphi dengan karakteristik berupa demam dan nyeri abdomen. Infeksi
ini melibatkan pembesaran plak Peyer dan limfe nodi mesenterikus
(Pegues dan Miller, 2011).

B. Epidemiologi
Terdapat 22 juta kasus demam typhoid di seluruh dunia dengan
200.000 kematian setiap tahunnya. Insidensi tertinggi dapat dijumpai pada
Asia Tenggara dan Asia Selatan (>100 kasus per 100.000 populasi per
tahun). Insidensi yang tinggi tersebut memiliki kaitan erat dengan sanitasi
yang tidak adekuat dan kurangnya akses air minum yang higienis. Pada
daerah endemik, demam typhoid lebih sering dijumpai di daerah perkotaan
dan terutama menjangkiti anak-anak dan remaja. Sebanyak 79% insidensi
demam typhoid pada negara maju terkait dengan adanya riwayat
berkunjung ke negara berkembang seperti India, Pakistan, Bangladesh,
Mexico, dan Filipina (Lynch et al., 2009).
Faktor risiko demam typhoid mencakup air/es yang
terkontaminasi, banjir, makanan dan minuman dari pedagang pinggir
jalan, buah dan sayuran mentah dengan air kotor sebagai sumber irigasi,
kontak dengan penderita yang tinggal serumah, kurangnya mencuci
tangan, kurangnya akses toilet higienis, dan adanya bukti infeksi
Helicobacter pylori (terkait penurunan keasaman gaster) (Pegues dan
Miller, 2011).
Terdapat setidaknya satu kasus infeksi S.paratyphi dalam empat
kasus demam typhoid, dimana insidensi infeksi S.paratyphi memiliki
kecenderungan meningkat, khususnya di India, akibat vaksinasi S>typhi
yang telah dilaksanakan pada negara tersebut. S. typhi strain multidrug
resistance (MDR) yang tidak sensitif terdapat beberapa antibiotik seperti
kloramfenikol, ampisilin, trimethoprim, siprofloksasin sudah mulai
ditemukan di China dan Asia Tenggara dan menyebar ke seluruh dunia
(Su et al., 2004).

C. Etiologi
Bakteri penyebab demam typhoid adalah Salmonella typhi
dan/atau S. paratyphi. Serotipe S. typhi dan S. paratyphi hanya mampu
hidup di manusia dan dapat menyebabkan demam typhoid, sedangkan
serotipe lainnya (non typhoidal salmonella) dapat hidup di tractus
digestivus berbagai hewan seperti mamalia, reptil, unggas, dan serangga.
Bakteri tersebut merupakan bagian dari genus Salmonella, yaitu bakteri
berbentuk basil berukuran 2-3 x 0,4-0,6 mikrometer, gram negatif, anaerob
fakultatif, motil, serta tidak memiliki kemampuan membentuk spora.
Salmonella typhi dan paratyphi sejatinya merupakan bagian dari spesies
Salmonella enterica subspesies enterica serotipe typhimurium.
erotipe/serovar dari bakteri ini dibagi berdasarkan antigen somatis O
(antigen lipopolisakarida pada dinding sel), antigen permukaan Vi (hanya
ditemukan pada S.typhi dan S.paratyphi C), serta antigen flagella H.
Secara biokimiawi, Salmonella mampu memproduksi asam pada
fermentasi glukosa dan mereduksi nitrat, namun tidak memproduksi
sitokrom oksidase (Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).

D. Patomekanisme
Bakteri Salmonella typhoid dan paratyphoid. masuk ke dalam
tubuh melalui ingesti makanan/air yang terkontaminasi. Dosis infeksi yang
dibutuhkan adalah 103-106 colony-forming units (CFU). Kondisi yang
dapat menurunkan keasaman gaster (misalnya usia <1 tahun, konsumsi
antasida, dan penyakit aklorhidrik), mengganggu integritas usus (misalnya
inflammatory bowel disease, riwayat operasi gastrointestinal, perubahan
keseimbangan flora usus akibat konsumsi antibiotik) dapat meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi Salmonella (Grassl dan Finlay, 2008; Haraga
et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Setelah bakteri mencapai ileum, ia akan menembus lapisan
mukosa dan melewati lapisan-lapisan usus melalui sel fagosit microfold
(sel M) yang berada di dalam plak Peyer. Salmonella dapat memicu
pembentukan lipatan membran pada sel epitel nonfagosit, sehingga lipatan
tersebut menyelimuti bakteri dalam sebuah vesikel besar, yang disebut
sebagai proses bacteria-mediated endocytosis (BME). Proses BME
tergantung kepada penyajian protein Salmonella secara langsung pada
sitoplasma epitel usus melalui sekresi bakteri tipe III. Protein bakteri
tersebut memiliki efek merubah aktin sitoskeleton yang dibutuhkan untuk
endositosis bakteri Salmonella (Grassl dan Finlay, 2008; Haraga et al.,
2008; Pegues dan Miller, 2011).
Setelah menembus lapisan epitel ileum, bakteri ini akan
difagositosis oleh makrofag. Salmonella dapat bertahan dalam makrofag
melalui kemampuannya dalam mendeteksi perubahan lingkungan yang
berbahaya. Berkat kemampuan tersebut, bakteri ini mampu memodifukasi
lipopolisakarida dan mengubah ekspresi protein membran luar sehingga ia
dapat bertahan melawan aktivitas mikrobisidal serta dapat pula mengubah
proses signalling sel fagosit. Sistem sekresi tipe III yang dimiliki oleh
Salmonella mampu menyajikan protein bakteri melewati membran
fagosom menuju sitoplasma makrofag, sehingga sistem sekresi tersebut
akan memicu remodelling vakuola berisi bakteri, dalam rangka menunjang
keberlangsungan hidup dan replikasi bakteri Salmonella (Grassl dan
Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Sejak difagositosis, bakteri Salmonella akan terbawa menuju
seluruh tubuh dalam makrofag melalui saluran limfatik, untuk kemudian
berkolonisasi di jaringan retikuloendotelial (seperti hepar, lien, limfe nodi,
dan sum-sum tulang). Dalam stadium inkubasi dini tersebut, belum
muncul tanda dan gejala yang dirasakan pasien. Demam dan nyeri
abdomen mulai muncul saat makrofag dan sel epitel mulai memproduksi
sitokin, akibat terstimulasi oleh produk bakteri dalam jumlah besar, karena
sejumlah produk bakteri tersebut mulai memicu rangsang imun bawaan.
Hepatosplenomegali mulai muncul sebagai akibat sekunder rekrutmen sel
mononuklear dan aktivasi respon imun yang dimediasi sel, sebagai respon
kolonisasi bakteri Salmonella. Rekrutmen dan infiltrasi sel mononuklear
dan limfosit tambahan menuju plak Peyer terjadi beberapa minggu setelah
infeksi/kolonisasi awal. Rekrutmen tersebut dapat menyebabkan
pembesaran dan nekrosis plak Peyer, sebagai akibat dari produk
proapoptotik dari bakteri maupun dari respon inflamasi tubuh (Grassl dan
Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Gastroenteritis yang disebabkan oleh Salmonella non typhoid
(NTS) memiliki ciri khas yang berbeda, dimana rekrutmen melibatkan sel
leukosit polimorfonuklear pada usus halus dan usus besar, akibat dari
sekresi IL-8 oleh sel usus, sebagai respon adanya kolonisasi dan
translokasi protein bakteri pada sitoplasma sel inang. Degranulasi dan
pelepasan zat toksik neutrofil menyebabkan kerusakan mukosa usus yang
menyebabkan diare inflamatorik pada NTS. Sedangkan, Salmonella
typhoid hanya melibatkan sel mononuklear dan usus halus (Grassl dan
Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).

E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala yang dikeluhkan pasien berupa demam dan nyeri
abdomen. Demam pada penyakit ini umumnya muncul malam hari,
dengan kisaran suhu 38,8-40,5oC. Demam berkisar antara seminggu
hingga 4 minggu apabila dibiarkan tanpa terapi. Waktu inkubasi S.
typhi umumnya sekitar 10-14 hari. Selain kedua gejala tersebut, dapat
pula muncul gejala sistemik seperti nyeri kepala, batuk, menggigil,
arthralgia, dan myalgia. Gejala gastrointestinal yang timbul antara lain
anoreksia, nyeri abdomen, mual, muntah, dan diare atau bahkan
konstipasi (Pegues dan Miller, 2011).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan rose spots (ruam
makulopapular kemerahan) di kulit dada dan perut, lidah kotor,
splenomegali, dan nyeri tekan abdomen (Pegues dan Miller, 2011).
3. Pemeriksaan Penunjang
Mengingat tanda dan gejala demam typhoid tidak spesifik,
diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.
Beberapa diagnosis banding yang dapat dipikirkan adalah malaria,
hepatitis, enteritis bakterial, demam dengue, infeksi rickettsia,
leptospirosis, abses hepar amoebik, dan infeksi HIV akut (Pegues dan
Miller, 2011).
Satu-satunya tes laboratorium yang menjadi standar baku emas
untuk penegakan diagnosis demam typhoid adalah hasil kultur yang
positif. Kultur dapat dilakukan dari sampel darah, sumsum tulang,
ruam kulit, feses, dan sekresi usus. Sensitivitas kultur darah hanya 40-
80% akibat penggunaan antibiotik yang tinggi di daerah endemik
maupun akibat jumlah bakteri di darah yang terlalu sedikit (<15
organisme per mL). Sentrifugasi sampel darah dan kultur buffy coat
dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk mengisolasi
organisme. Kultur sum-sum tulang lebih sensitif dibandingkan kultur
darah (55-90%). Namun beberapa pemeriksaan lain yang dapat
mengarahkan diagnosis adalah (Pegues dan Miller, 2011):
a. Darah rutin
Leukopenia dan neutropenia dapat ditemukan pada 15-25%,
sedangkan leukositosis juga dapat ditemukan pada pasien anak-
anak, terutama pada 10 hari pertama saat sakit dan kondisi
perforasi usus atau infeksi sekunder (Pegues dan Miller, 2011).

b. Tes serologi Widal


Pemeriksaan ini menguji reaksi aglutinasi antara reagen
aglutinogen (reagen S. typhi) dan aglutinin (antibodi) yang terdapat
dalam darah. Peningkatan titer minimal 1/160 atau titer kedua lebih
dari 4x dari pemeriksaan pertama mengindikasikan kemungkinan
infeksi S. typhi dan/atau S. paratyphi. Pemeriksaan Widal tidak
cukup sensitif maupun spesifik untuk menggantikan kultur sebagai
standar baku emas (Pegues dan Miller, 2011).
c. PCR dan DNA mampu mendeteksi S. typhi dalam darah, namun
masih belum digunakan dan dikembangkan dalam penggunaan
klinis (Pegues dan Miller, 2011).

F. Penatalaksanaan
1. Nonmedikamentosa (Steinberg et al., 2004; Pegues dan Miller, 2011).
a. Pencegahan menggunakan vaksin typhoid Ty21a (vaksin S.typhi
hidup peroral yang diberikan pada hari pertama, ketiga, kelima, dan
ketujuh dengan booster setiap 5 tahun) dan vaksin Vi VPS (vaksin
parenteral yang mengandung polisakarida Vi murni dari kapsul
bakteri, diberikan dalam dosis tunggal dengan booster setiap 2
tahun).
b. Diet lunak peroral yang mudah dikunyah dan ditelan.
c. Cairan dan elektrolit cukup dengan pemantauan harian.
d. Istirahat di rumah hingga pulih sempurna untuk mempercepat
proses penyembuhan.
e. Reseksi usus halus untuk pasien dengan komplikasi perforasi usus
multipel.
f. Kolesistektomi pada pasien dengan status karier kronis, namun
tidak menjamin hilangnya bakteri secara sempurna dari tubuh
penderita.
g. Hindari konsumsi makanan dan minuman yang tidak higienis.

2. Medikamentosa
Antipiretik seperti paracetamol dapat digunakan untuk memperbaiki
kondisi febris pada pasien. Terapi antibiotik setidaknya harus tetap
diberikan selama 5-10 hari setelah demam membaik tanpa antipiretik.
Beberapa antibiotik pilihan untuk demam typhoid adalah sebagai
berikut (Su et al., 2004).
a. Ciprofloxacin merupakan terapi lini pertama untuk demam typhoid
yang juga dapat digunakan pada kasus multidrug resistant, dengan
dosis 2 x 500 mg (per oral) atau 400 mg/12 jam (intravena) selama
5-7 hari. Dosis tinggi 2x750 mg (per oral) atau 400 mg/8 jam
(intravena) selama 10-14 hari dapat digunakan sebagai terapi pada
kasus nalidixic acid resistant. Obat ini termasuk golongan
floroquinolon, yang terbukti merupakan antibiotik paling efektif
untuk mengatasi demam typhoid. Angka kesembuhan berkisar
sekitar 98% dan angka kekambuhan kurang dari 2% (Thaver et al.,
2008). Untuk anak-anak tidak dianjurkan karena akan menganggu
pertumbuhan pada tulang.
b. Amoxicillin digunakan sebagai terapi lini kedua dengan dosis 4 x 1
gram (per oral) atau 2 gram/6 jam (intravena).
c. Antibiotik lainnya yang dapat digunakan pada pasien dengan
bakteri yang sensitif terhadap semua antibiotik adalah
kloramfenikol dengan dosis 4 x 25 mg/kg (per oral maupun
intravena) selama 14-21 hari, atau trimethoprim-sulfamethoxazole
dengan dosis 2x160/800 mg per oral selama 7-14 hari. Anak 100
mg/Kgbb/hari selama 10 hari.
d. Ceftriaxone 1-2 gram/hari intravena selama 7-14 hari, selain
sebagai terapi empiris juga dapat digunakan pada kasus multidrug
resistant dan nalidixic acid resistant dengan dosis 2-3 gram/hari
(intravena). Anak 80 mg/Kgbb/hari dosis tunggal selama 5 hari.
e. Azithromycin 1gram per hari per oral selama 5 hari, selain sebagai
terapi empiris juga dapat digunakan pada kasus multidrug resistant
dan nalidixic acid resistant dengan dosis yang sama
Tabel 1. Obat Demam Tifoid
G. Komplikasi dan Prognosis
Faktor pejamu (pasien dengan kondisi imunosupresi, terapi
antasida, paparan typhoid sebelumnya, dan vaksinasi), faktor agen
(virulensi dan inokulum), serta faktor antibiotik dapat mempengaruhi
progresifitas demam typhoid. Perdarahan gastrointestinal dan perforasi
usus merupakan manifestasi klinis yang kerap dijumpai pada minggu
ketiga dan keempat sejak inkubasi. Hal tersebut disebabkan oleh
hiperplasia, ulserasi, dan nekrosis pada plak Peyer yang menjadi lokasi
awal infiltrasi bakteri. Komplikasi tersebut dapat mengancam jiwa dan
membutuhkan resusitasi cairan serta terapi operatif dengan tambahan
antibiotik spektrum luas untuk mengatasi kemungkinan peritonitis
polimikrobial. Komplikasi lain mencakup manifestasi neurologis, seperti
meningitis, sindroma Guillain Barre, neuritis, dan gejala neuropsikiatrik
(Pegues dan Miller, 2011). Komplikasi lain yang lebih jarang terjadi
adalah koagulasi intravaskular diseminata, sindroma hematofagositik,
pankreatitis, abses dan granuloma hepar/lien, endocarditis, pericarditis,
myocarditis, pyelonefritis, sindroma hemolitik uremikum, pneumonia
berat, arthritis, osteomyelitis, dan parotitis (Pegues dan Miller, 2011).

H. Prognosis
Sebanyak 10% pasien demam typhoid mengalami relaps ringan
sekitar 2-3 minggu setelah demam membaik. Sebanyak 10% pasien
demam typhoid yang tidak mendapatkan terapi dapat menjadi karier
dengan adanya bakteri pada feses/urin selama 3 bulan awal. Sedangkan 1-
4% pasien dapat menjadi karier asimtomatis kronis lebih dari 1 tahun,
umumnya pada wanita, infant, pasien dengan abnormalitas bilier, dan
pasien dengan infeksi Schistosoma hematobium (Pegues dan Miller, 2011).
BAB III. KESIMPULAN

Demam typhoid merupakan penyakit yang disebabkan infeksi


Salmonella typhi dan/atau S. paratyphi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
melakukan pemeriksaan kultur, namun klinisi dapat mencurigai adanya demam
typhoid melalui gejala yang didapat pada anamnesis, tanda pada pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang tambahan seperti Widal test. Penatalaksanaan
demam typhoid secara nonmedikamentosa meliputi vaksinasi, istirahat, diet, dan
peningkatan sanitasi serta higienitas. Sedangkan secara medikamentosa, demam
typhoid memerlukan terapi antibiotik definitif dengan lini pertama golongan
floroquinolon serta terapi simtomatis sesuai gejala yang dikeluhkan.
DAFTAR PUSTAKA

Grassl GA dan Finlay BB. 2008. Pathogenesis of enteric Salmonella infections.


Curr Opin Gastroenterol; 24(1): 22-26.
Haraga A et al. 2008. Salmonella interplay with host cells. Nat Rev Micobiol;
6:53.
Lynch MF et al. 2009. Typhoid fever in the United States, 1990–2006. JAMA;
302:859.
Pegues DA, Miller SI. 2011. Salmonellosis. Dalam Harrison's Principles of
Internal Medicine 18th edition. New York: McGraw and Hill.
Steinberg EB et al. 2004. Typhoid fever in travelers: Who should be targeted for
prevention? Clin Infect Dis; 39:186.
Su LH et al. 2004. Antimicrobial resistance in nontyphoid Salmonella serotypes:
A global challenge. Clin Infect Dis; 39:546.
Thaver D et al. 2008. Fluoroquinolones for treating typhoid and paratyphoid fever
(enteric fever). Cochrane Database Syst Rev; CD004530.

Anda mungkin juga menyukai