Anda di halaman 1dari 8

P-ISSN:

Vol. x, No. x,
2355 - 8245 JPIPS : JURNAL PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Bulan Tahun
E-ISSN: Tersedia secara online: http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/jpips
Halaman: x - x
2614 - 5480

OPTIMALISASI INDONESIA UNTUK MEMBERANTAS AKAR


PERMASALAHAN KORUPSI

Tri Imam Wahyudi, Agung Mukhlisin, Ika Nur Annastasyia


Institut Agama Islam Negeri Kudus
triimamwahyudi17@gmail.com, agungmukhlisin99@gmail.com,
ikanurannastasyalk@gmail.com
Diterima: Tgl-Bln-Thn.; Direvisi: Tgl-Bln-Thn; Disetujui: Tgl-Bln-Thn
Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.15548/...........

Abstrak: Profesionalisasi pemberantasan korupsi harus dilakukan secara


komprehensif, holistik dan komprehensif. Agar dapat menegakkan hukum secara
imparsial, memberikan kepastian hukum dan bermanfaat bagi masyarakat, komitmen
aparat penegak hukum untuk melaksanakan penegakan yang tegas, konsisten dan
komprehensif merupakan langkah penting. Langkah-langkah tersebut dapat dilakukan
dengan memberikan sanksi yang paling berat kepada pelaku kejahatan korupsi, baik
berupa hukuman pidana, denda, mata uang alternatif, bukti penggelapan pajak yang
dikumpulkan (TPPU),dan sanksi sosial. Hal ini diupayakan agar dapat menambah
kepercayaan publik, investor, dan kepercayaan negara, serta menjadi penangkal calon
koruptor, mengoptimalkan perolehan mata uang negara atau masyarakat, dan memiliki
efek positif yang lainnya.

Kata Kunci: Penegakan hukum, Pemberantasan korupsi

Abstract: The professionalization of debasement eradication must be carried out


comprehensively, holistically and comprehensively. In order to enforce the law
impartially, provide legal certainty and benefit the community, the commitment of law
enforcement officials to carry out law enforcement in a firm, predictable and complete
way is a significant advance. These steps can be taken by giving the most severe
sanctions to perpetrators of corruption, in the form of criminal sanctions, fines,
alternative currencies, accumulated reverse evidence of money laundering (TPPU),
and social sanctions. This is required to expand public certainty, financial backers,
public confidence, and have an impediment impact, forestall degenerate competitors,
streamline the money related returns of the state or society, and have other beneficial
outcomes.

Keywords: Law enforcement, Corruption

1
PENDAHULUAN
Banyak komentar negative bahkan merupakan kutukan bagi perilaku koruptor
dan penjahat. Rasa jijik, marah, frustasi, putus asa, marah dan pengaruh negatif
lainnya, faktor-faktor ini akan terus berlanjut dan memperburuk perilaku korup.
Apalagi di acara TV, tersangka kriminal, terdakwa bahkan terpidana pun seolah-olah
memperlihatkan kekerasan atau menampilkan aksi-aksi selebritis.
Maraknya tindak pidana korupsi sudah pasti membuat tegang seluruh bangsa
Indonesia. Jelas terlihat bahwa korupsi merajalela di berbagai sektor, bersama dengan
otoritas eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta sektor swasta. Karenanya,
pemberantasan korupsi menjadi fokus utama dari pemerintah dan rakyat Indonesia.
Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dilakukan secara bersamaan,
mengingat korupsi sebagai kejahatan kerah putih sekaligus kejahatan luar biasa.
Upaya-upaya tersebut telah dilakukan dan diusahakan untuk mewujudkan hasil dari
pemberantasan korupsi. Selama masa reformasi, selain kepolisian dan kejaksaan
banyak lembaga pelaksana pemberantasan korupsi didirikan, yaitu Komisi
Pemberaantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporann dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), serta Lembaga Perliindungan Saksi dan Korban (LPSK). Juga telah
membentuk pengadilan khusus untuk kasus korupsi. Semua itu untuk meningkatkan
upaya pemberantasan korupsi.
Sejumlah terobosan telah dilakukan Presiden Joko Widodo dalam
pemberantasan korupsi. Sejak awal menjabat sebagai presiden, Jokowi sudah
memperlihatkan dukungannya kepada Otoritas Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
terus diguncang, terutama oleh para politisi. Komitmen tersebut ditunjukkan oleh
Jokowi, misalnya dengan membentuk Satgas Pembersihan Pungutan Liat (Satgas
Saber Pungli).
Pada masa pemerintahannya, Jokowi mendorong pemerintahan yang bersih dan
bebas korupsi. Dengan demikian, reformasi birokrasi merupakan langkah strategis
untuk membangun aparatur negara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang lebih
baik. Dalam tiga tahun terakhir, reformasi birokrasi di lembaga atau kementerian
meningkat pada tahun 2014 sebesar 47%, tahun 2015 sebesar 86,84%, dan tahun 2016
sebesar 92,68%. Jokowi percaya bahwa konsep ini akan menjadi langkah pencegahan
korupsi dan mewujudkan pemerintahan korupsi yang baik dan bersih di negara bagian
selanjutnya.
Pada 6 Mei 2015, Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7
Tahun 2015 tentang langkah-langkah Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK).
Arahan Presiden ini merupakan implementasi dari Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2015 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Jangka Panjang 2012-2025 dan Jangka Menengah 2012-2014 yang ditetapkan pada
23 Mei 2012. Jokowi meyakini Bahwa langkah ini akan menjadi langkah hukum yang
tegas, yang dapat menimbulkan efek jera bagi pelakunya.
Meningkatkan pemberantasan korupsi merupakan sebuah jawaban yang tepat
untuk merespon maraknya perilaku korupsi. Kesuksesan pemberantasan korupsi
berdampak baik bagi masyarakat, bangsa, juga negara. Karena tindak korupsi
menunjukkan bisnis yang korup, korup, korup, dan tidak terhormat yang berkaitan
dengan uang, korupsi juga menjadi sebuah tekanan yang serius bagi stabilitas dan
keamanan yang dapat melumpuhkan kelembagaan, nilai-nilai dari demokrasi, moral
dan keadilan juga dapat mengancam pembangunan berkelanjutan serta dukungan
terhadap peraturan hokum.
METODE
Artikel ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research),
yang merupakan pengumpulan data dengan cara mencari data dan informasi melalui
dokumen, baik melalui dokumen tertulis seperti jurnal, buku, koran online, gambar
maupun elektronik yang mendukung dalam proses penelitian. Tujuan dari artikel ini
adalah untuk mengetahui dan meninjau kembali tentang optimalisasi Indonesia dalam
membrantas permasalahan korupsi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
a) Tipologi Korupsi
Masyarakat umum mengetahui bahwa korupsi merupakan kejahatan yang
merugikan keuangan negara. Faktanya lebih luas lagi, bahwa korupsi adalah tindakan
korup, korup, jahat, jelek dan tidak jujur yang memiliki konotasi negatif lain, bahkan
kejahatan yang tidak biasa. Dengan demikian, definisi, ruang lingkup dan bentuk
korupsi dapat diperiksa secara verbatim, hukum, sosial, politik, dll.
Terkait dengan hal tersebut, terdapat banyaknya bentuk dan tindakan yang
menyimpang dalam ranah korupsi. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang
diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, terdapat sekurang-kurangnya 8 (delapan) kelompok tindak pidana
korupsi, yaitu:
i. Kelompok delik yang dapat merugikan kas negara atau ekonomi negara.
ii. Kelompok pelanggaran suap
iii. Kelompok pelanggaran penggelapan dalam jabatan di kantor
iv. Kelompok pelanggaran pemerasan
v. Kelompok delik pemalsuan
vi. Kelompok delik berkaitan dengan pemborongan, kontrak penyedia, dan
rekanan .
vii. Kelompok delik gratifikasi
viii. Kelompok delik yang mencegah dan menghalangi penanganan perkara
korupsi.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Penghapusan Pencucian Uang (UUTPPU), tindak pidana korupsi
dapat terakumulasi dengan tindak pidana pencucian uang.
Muladi kemudian mengutip pernyataan dari Bank Dunia bahwa korupsi
adalah penyalahgunaan kewenangan publik untuk kepentingan pribadi, dalam bentuk
sebagai berikut :
a. Political Corruption (Grand Corruption) yang terjadi di tingkat
tinggi (penguasa, politisi, pengambil keputusan) dimana mereka
memiliki suatu kewenangan untuk memformulasikan, membentuk
dan melaksanakan Undang- Undang atas nama rakyat, dengan
memanipulasi institusi politik, aturan prosedural dan distorsi
lembaga pemerintahan, dengan tujuan meningkatkan kekayaan dan
kekuasaan;
b. Bureaucratic Corruption (Petty Corruption), yang biasa terjadi
dalam administrasi publik seperti di tempat-tempat pelayanan
umum;
c. Electoral Corruption, dengan tujuan untuk memenangkan suatu
persaingan seperti dalam pemilu, pilkada, keputusan pengadilan,
jabatan pemerintahan dan sebagainya;
d. Private or Individual Corruption, korupsi yang bersifat terbatas,
terjadi akibat adanya kolusi atau konspirasi antar individu atau
teman dekat;
e. Collective or Aggregated Corruption, dimana korupsi dinikmati
beberapa orang dalam kelompok seperti dalam suatu organisasi
atau lembaga
f. Active and Passive Corruption dalam bentuk memberikan dan
menerima suap (bribery) untuk dilakukan atau tidak dilakukan atas
dasar tugas dan kewajiban.
g. Corporate Corruption baik berupa corporate criminal yang
dibentuk untuk mewadahi hasil korupsi ataupun corruption for
corporation dimana seseorang atau kelompok yang mempunyai
kedudukan penting dalam suatu perusahaan melakukan korupsi
untuk mencari keuntungan untuk perusahaannya tersebut.
Berdasarkan uraian di tersebut, perkara yang menjadi subjek korupsi itu
kompleks bahkan multi kompleks. Dalam kesepakatan bersama antara Wakil Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, dan
Sekretaris Jenderal Badan Pemberantasan Korupsi tanggal 29 Maret 2012 tentang
pemetaan sepuluh (sepuluh) daerah rawan korupsi Tahun 2012 teridentifikasi 10
(sepuluh) bidang rawan korupsi, ialah :
a. Pengadaan suatu barang serta jasa Pemerintah
b. Perbankan dan keuangan
c. Perpajakann
d. Gas juga minyak
e. BUMN dan BUMD
f. Cukai serta kepabian
g. Penggunaan APBN, APBD, dan juga APBNP atau APBDP;
h. Aset suatu negara/daerah
i. Pertambaangan
j. Pelayanan Umum.

b) Optimalisasi Pemberantasan Korupsi

Pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas utama dalam rangka memajukan


kesejahteraan masyarakat serta memperkuat kesatuan negara serta dalam upaya untuk
mencapai tujuan nasional. Oleh sebab itu, kebijakan pemberantasan korupsi terus
diupayakan secara optimal dengan strategi yang terintegritas, komprehensif dan
komprehensif guna mencapai hasil yang diinginkan.
Melihat sebab terjadinya korupsi dapat diambil kesimpulan bahwa aspek
kemanusiaan, birokrasi, kemauan politik, komitmen, konsistensi penegakan hukum
dan budaya masyarakat. Oleh karena itu, strategi yang diterapkan secara umum
meliputi yaitu :
i. Meningkatkan Integritas serta Etika Penyelenggara Negara
ii. Meningkatkan kercepatan juga konsolidasi Reformasi Birokrasi
iii. Memperkuat Budaya Anti Korupsi Masyarakat
iv. Penegakan Hukum yang Konsisten, Tegas dan Terintegritas.

Pembahasan
1) Meningkatan Etika dan Integritas Penyelenggara Negara dalam Mewujudkan
Aparatur Negara yang Profesional dan Berintegritas.
Rendahnya integritas dan etika pejabat menjadi penyebab utama terjadinya
pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang. Institusi negara adalah faktor utama
kesuksesan pemerintahan dalam mewujudkan pemerintahan yang benar dan bersih
yang bebas dari korupsi, kolusi dan Nepotisme. Jika tidak adanya sebuah alat yang
berintegritas dan bermoral, maka prosedur kerja pemerintah tidak dapat berfungsi
dengan tepat. Selanjutnya, salah satu bagian utama dari rencana perubahan
administratif adalah perubahan aset manusia, karena bagian ini akan mengarahkan
rencana reformasi birokrasi maju ke depan.
Namun reformasi birokrasi saja tidak dapat mengembangkan integritas dan etika
lembaga negara dalam waktu yang singkat. Dari sekolah hingga pendidikan formal,
integritas dan etika lembaga negara harus berkembang secara simultan. Oleh karena
itu, diperlukan pembenahan kembali dengan menyerap nilai luhur bangsa Indonesia,
nilai-nilai baik berasal dari kepercayaan, tradisi maupun ideologi bangsa yaitu
Pancasila. Nila luhur tersebut harus diwujudkan dalam setiap acara ketatanegaraan
agar upaya penyelenggara negara dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga pada akhirnya terbentuk lembaga negara yang sangat disiplin dan
profesional.
Penyelenggara negara yang bercirikan integritas dan etika merupakan syarat untuk
mewujudkan penyelenggaraan pemerintah yang benar, bersih dan lugas. Di banyak
negara, memajukan kejujuran dan moral otoritas publik adalah metode yang ampuh
untuk mengumpulkan perspektif dan perhatian pada kesadaran atau jika tidak ada cara
lain yang berhasil mengurangi tindak korupsi.

2) Meningkatkan Percepatan Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Mewujudkan


Tata Kelola Pemerintahan yang Baik, Bersih, dan Bebas KKN
Reformasi birokrasi adalah usaha membangun kembali birokrasi pemerintahan
supaya bisa memberi pelayanan yang nyaman kepada publik. Reformasi birokrasi pada
mulanya terdiri 3 (tiga) aspek utama, yaitu: kelembagaan (organisasi); Manajemen
(proses bisnis); Dan sumber daya maanusia (perangkat).
a. Aspek Kelembagaan
Perubahan di bidang kelembagaan diharapkan dapat menyusun ulang
desain otoritatif menjadi kerangka asosiasi yang sesuai dengan kapasitas dan
ukurannya (ukuran yang tepat) guna mewujudkan organisasi modern yang
mampu mendukung pelaksanaan tugas dan pekerjaan secara efektif dan
efektif. Secara transparan dan akuntabel serta mengutamakan pelayanan
kepada masyarakat.
b. Aspek Ketatalaksanaan
Reformasi tata pemerintahan diperlukan agar setiap pelaksanaan tugas
dan fungsi baik teknis, hukum, maupun administratif memiliki pedoman
yang jelas agar hasil yang diperoleh dapat diukur dengan jelas. Reformasi
administrasi dilaksanakan dengan membangun sistem, proses, dan prosedur
bisnis (SOP) yang jelas, terstruktur, dan tidak tumpang tindih sesuai dengan
prinsip tata kelola yang baik.
c. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM)
Reformasi di bidang sumber daya manusia meliputi 3 (tiga) hal, yaitu:
perubahan mentalitas, perubahan budaya kerja (kelompok budaya), dan
perubahan perilaku.

3) Membangun Budaya Anti Korupsi Masyarakat Dalam Rangka Membangun


Sikap dan Mental Masyarakat yang Anti Korupsi
Intinya, upaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas
KKN tidak hanya dilaksanakan oleh lembaga pemerintah. Karena pada hakikatnya
terdapat 3 (tiga) pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik,
bersih dan bebas korupsi, yaitu: negara, swasta, dan publik. Negara atau pemerintahan,
konsep pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan negara, tetapi di luar itu juga
mencakup sektor swasta dan lembaga masyarakat. Pelaku sektor swasta termasuk
perusahaan swasta yang aktif berinteraksi dalam sistem pasar, seperti: industri
pengolahan perdagangan, bank, koperasi, termasuk kegiatan sektor informal Dan
masyarakat, dalam konteks kenegaraan, sekelompok orang ada terutama di tengah-
tengah atau antara pemerintah dan individu, yang meliputi individu dan kelompok orang
yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengoreksi nilai-nilai tersebut di masyarakat
melalui penyuluhan hukum, pendidikan antikorupsi yang dimulai sejak dini di sekolah,
pembentukan masyarakat antikorupsi, modeling, dan kampanye antikorupsi yang
dilakukan di berbagai media, terutama media. Dengan masifnya gerakan kampanye
antikorupsi dan penanaman nilai-nilai antikorupsi sejak dini diharapkan dapat
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang betapa berbahayanya korupsi bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, pelaku harus menyadari bahwa
keuntungan yang didapat dari korupsi tidak sebanding dengan penderitaan yang akan
diterimanya (penyesalan hingga tujuh generasi). Dengan tumbuhnya kesadaran
tersebut diharapkan mampu membentuk sikap dan mentalitas anti korupsi di
masyarakat. Kondisi ini idealnya diperkuat dengan pemahaman dan pengamalan nilai-
nilai patriotik, pancasila, dan nasionalisme Indonesia.

4) Menegakan Hukum yang Tegas, Konsisten, dan Terintegritas Dalam Rangka


Mewujudkan Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan, Yaitu Timbulnya
Efek Jera Bagi Koruptor dan Mencegah Calon Koruptor
Persyaratan hukum yang terpadu sangat penting untuk mencapai prinsip kesetaraan
dan jaminan yang sah. Pokok-pokok keadilan dan kepastian yang sah adalah penopang
penting dari ukuran perubahan aturan mayoritas. Demokratisasi ialah salah satu
priinsip good governance, karena demokratisasi membuka jalan bagi masyarakat untuk
ikut serta menjalankan negara. Selain itu, kepastian hukum juga dibutuhkan bagi
perusahaan untuk berinvestasi di suatu negara. Karena tanpa adanya kepastian hukum,
risiko dalam berbisnis menjadi sangat tidak terduga sehingga dapat menurunkan iklim
investasi. Investasi kecil akan mengurangi lapangan kerja baru untuk masyarakat,
sehingga banyak terjadi pengangguran yang dapat menimbulkan ancaman dan
gangguan keamanan.
Selain itu, penegakan hukum yang konsisten dan terintegrasi akan memberikan
manfaat untuk publik, khususnya munculnya efek jera, hingga bisa mencegah
seseorang melakukan korupsi. Keuntungnan yang lainnya adalah meningkatnya
kepercayaan masyarakat terhadap usaha penegakan hukum, sehingga partisipasi
masyarakat terhadap aparat penegak hukum semakin diperkuat. Sebaliknya, jika terjadi
inkonsiistensi dan kurangnya integritas dalam penegakan hukum, masyarakat akan
memandang bahwa dalam proses penegakan hukum terjadi adanya tarik ulur, sehingga
kepercayaan kepada penegak hukum berkurang. Artinya hal ini akan memperlemah
budaya hukum dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum.

KESIMPULAN
Adanya macam-macam ketentuan tersebut, maka akan dicapai kesepakatan
bersama untuk meningkatkan saling melengkapi dan bersinergi untuk pemberantasan
korupsi yang pada akhirnya akan berdampak baik untuk pemberantasan korupsi di
Indonesia. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya ialah komitmen penegak hukum
untuk melaksanakan hukum secara konsisten, dan terintegrasi agar dapat menerapkan
hukum secara adil, memberikan kepastian hukum, dan bermanfaat bagi masyarakat.
Langkah-langkah yang dilakukan dengan memberikan hukuman yang paling berat
kepada pelaku korupsi, baik hukuman pidana, denda, penggantian uang, bukti refleksi
tindak pidana pencuciian uang (TPPU), serta pemberian saksi sosial terakumulasi.
Dengan demikian, pemberantasan korupsi ditangani secara terintegrasi dan
menyeluruh. Hal ini diupayakan agar dapat meningkatkan kepercayaan publik,
investor, dan kepercayaan negara, serta menjadi penangkal calon koruptor,
mengoptimalkan perolehan mata uang negara atau masyarakat, dan memiliki efek
positif yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Basrief. (2014). Perampasan Aset Hasiil Kejahatan, Jakarta: Kejaksaan
Agung Jaksa.

Agung RI, Penjelasan Tertulis Jaksa Agung pada Rapat Kerja Komisi III DPR RI,
18 Februari 2015.

Komisi Pemberatasan Korupsi. (2013). Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK Tahun


2013, Jakarta: KPK.

Muladi. (2005). Konsep Total Enforcement Dalam Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Korupsi,
Pencegahan dan Pemberantasannya”, Lemhanas RI dan ADEKSI-ADKASI,
Jakarta, 8 Desember 2005.

Sutardjo. (2011). Memahami Korupsi Untuk tidak Korupsi, (Online).


Diambil dari : http://sutardjo70.wordpress.com/2011/12/22/memahami-korupsi-
untuk-tidak%20korupsi, diakses tanggal 13 april 2021.

Preambule United Nations Convention Against Corruption. (2003)


Sedarmayanti.(2012).Good Governance “Kepemimpinan Yang Baik”, Bagian Kedua,
(Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan produktivitas
Menuju Good Governance), Bandung: Mandar Maju.

Sudarto. (1996). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Anda mungkin juga menyukai