Anda di halaman 1dari 9

IMPLIKASI TEORI BEHAVIORISTIK DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN PADA

LEMBAGA PENDIDIKAN
Rizky Allivia Larasati Haibar1, Yuzarion2
1
Program Studi Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Indonesia.
ralhaibar@gmail.com
2
Program Studi Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Indonesia.
yuzarionzubir11@gmail.com
ABSTRACT
Behavioristic learning theory is a learning theory that is widely applied in the learning process in
Indonesia. In this theory, the change in behavior shown by students is the main indicator as a result
of stimuli and responses. Students who are able to show a response in the form of behavior change
are successes in the learning process. Behavioristic learning theory has a main characteristic,
namely the teacher is authoritarian who acts as a controller, while students are passive and depend
on the stimulus provided by the teacher. The purpose of applying behavioristic learning theory is so
that student behavior changes as a form of response to a better direction. According to this theory,
changes in behavior as a desired response will be stronger if reinforcement is given. Likewise, the
unwanted response will disappear when given a punishment. This article describes the concept of
behavioristic learning theory and its applications and implications in education. Behavioristic
learning theory is believed to be able to bring out good behavior in students.
Keywords: Learning Theory, Behavioristic Theory, Reinforcement, Punishment.
ABSTRAK
Teori belajar behavioristik merupakan sebuah teori belajar yang banyak diterapkan dalam proses
pembelajaran di Indonesia. Dalam teori ini, perubahan tingkah laku yang ditunjukan siswa
merupakan indicator utama sebagai akibat adanya stimulus dan respon. Siswa yang mampu
menunjukan respon berupa perubahan tingkah laku merupakan keberhasilan dalam proses belajar.
Teori belajar behavioristik memiliki ciri utama yaitu guru bersifat otoriter yang berperan sebagai
pengendali sedangkan siswa bersifat pasif dan bergantung pada stimulus yang diberikan oleh
gurunya. Tujuan dari penerapan teori belajar behavioristik adalah supaya terjadi perubahan perilaku
siswa sebagai bentuk respon ke arah yang lebih baik. Menurut teori ini, perubahan tingkah laku
sebagai respon yang diinginkan akan semakin kuat apabila diberikan penguatan (reinforcement).
Begitu pula sebaliknya, respon yang tidak diinginkan akan menghilang ketika diberikan hukuman
(punishment). Artikel ini memaparkan konsep teori belajar behavioristik beserta aplikasi dan
implikasinya dalam dunia pendidikan. Teori behavioristik dipercaya mampu memunculkan tingkah
laku baik pada peserta didik.
Kata Kunci: Teori Belajar, Teori Behavioristik, Penguatan, Hukuman
PENDAHULUAN
Salah satu kebutuhan utama setiap individu dan hal tersebut sangat berperan penting secara
kontinyu di dalam kehidupannya adalah belajar. Belajar merupakan sebuah proses yang akan selalu
ada dalam kehidupan manusia. Wahyuni dan Baharuddin (2008) mengatakan bahwa belajar ialah
suatu proses yang bertujuan untuk mencapai atau menguasai berbagai macam keterampilan,
kompetensi, dan sikap yang dilakukan oleh manusia. Sedangkan menurut Hariyanto dan Suyono
(2011), belajar merupakan suatu proses atau aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan
keterampilan, memperbaik perilaku, memperoleh pengetahuan, dan mengkohkan kepribadian.
Belajar merupakan sebuah proses dalam kehidupan yang dilakukan oleh seorang individu untuk
menciptakan perubahan tinfkah laku yang baru secara menyeluruh sebagai buah dari experience
atau pengalaman hidup yang ia dapatkan selama berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya
(Slameto, 2010). Menurut pendapat ahli diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan
proses yang terjadi sepanjang hidup manusia dan merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai
hasil interaksi dengan lingkungan sekitarnya.
Sekolah adalah salah satu lembaga pendidikan yang digunakan sebagai tempat menimba
ilmu bagi para pelajar. Mengenyam bangku sekolah setinggi mungkin dapat meningkatkan kualitas
Pendidikan yang lebih terkonsep dan terarah melalui bimbingan para pendidik yang professional.
Penyelenggaraan Pendidikan harus memiliki landasan yang kuat dan tidak boleh asal-asalan.
Landasan yang digunakan tentu memiliki teori yang akan memberikan dampak bagi para peserta
didiknya.
Dalam dunia pendidikan, para ahli banyak menemukai teori belajar. Teori – teori belajar ini
diterapkan supaya seorang individu mampu belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. Teori
belajar yang menjadi landasan dari penyelenggaraan pendidikan di negara Indonesia yaitu teori
belajar behaviorisme. Teori belajar ini diterapkan dengan tujuan untuk menciptakan perubahan
sehingga terbentuk individu yang diinginkan sesuai dengan lingkungannya. Teori belajar
behaviorisme ialah sebuah teori psikologi yang fokusnya ada pada perilaku nyata yang dapat dilihat
dan diukur. Teori ini melihat bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku. Seorang individu
akan dianggap telah belajar apabila mampu menunjukkan perubahan tingkah laku.
Perubahan tingkah laku yang bisa diukur, dinilai, dan diamati secara konkrit merupakan
hasil dari proses belajar yang ditekankan dari teori belajar behavioristik. Berdasarkan paparan
diatas, peneliti tertarik untuk mengulas teori belajar behavioristik. Peneliti tertarik untuk membahas
teori belajar behavioristik karna teori ini banyak diterapkan dalam penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar di lembaga pendidikan terutama di Indonesia.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang digunakan merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research).
Metode deskriptif digunakan untuk menyusun penelitian ini dengan menggambarkan dan
menjelaskan variable yang ada di lapangan dengan berdasarkan kajian Pustaka dari berbagai
sumber. Peneliti mencari dan mengumpulkan data-data dari berbagai hasil penelitian yang
bersumber dari junral dan artikel ilmiah yang relevan dengan tema penelitian. Penulis menggunakan
analisis deskriptif dimana data – data yang sudah diperoleh dikaji, dan dianalisis secara sistematis
dan mendalam kemudian diurakan secara naratif sehingga dapat mudah untuk dipahami dan
informasi dapat tersampaikan pada pembaca.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengertian Teori Belajar Behaviorisme
Belajar merupakan proses yang terjadi sepanjang hayat manusia. Vygotsky (1978)
mendefinisikan belajar ialah suatu kegiatan konstruktivisme, yang mana siswa menjadi subjek
belajar aktif yang menciptakan struktur-struktur kognitifnya sendiri dalam interaksinya dengan
lingkungan. Para ahli dalah dunia pendidikan sudah menemukan beberapa teori belajar. Tujuan
digunakannya teori belajar adalah mengantarkan setiap individu supaya belajar sesuai dengan tahap
perkembangan yang harus dipenuhinya. Satu dari banyaknya teori belajar yang ada adalah teori
belajar behavioristik. Teori belajar ini merupakan sebuah teori yang menitik beratkan pada tingkah
laku manusia. Fokus dari teori ini adalah perubahan perilaku baru yang akan terus diulangi sampai
akhirnya perilaku tersebut menjadi membudaya dalam diri seorang individu dan terjadi secara
otomatis. Dicetuskan oleh Gagne dan Berliner, teori ini mengutamakan pengukuran untuk
mengamati perubahan tingkah laku yang terjadi dan muncul pada seorang individu.
Teori behavioristik merupakan salah satu teori belajar yang mempelajari tingkah laku
manusia dengan menggunakan pendekatan objective, mekanistic, dan materialistic. Dengan
demikian, perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri seorang individu dapat dilakukan melalui
upaya pengkondisian (Desmita, 2009). Sedangkan Sihkabuden (2012) mengatakan behaviorisme
ialah proses perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang merupakan hasil pengalaman yang
relative menetap hasil hubungan antara stimulus dan respon. Focus dari perspektif behavioral
adalah peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah laku manusia dan terjadi melalui rangsangan
berdasarkan stimulus yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respons) hukum – hukum
mekanistik. Putrayasa (2013) mengungkapkan bahwa teori belajar behavioristik tidak
memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur – unsur yang
diamati. Asumsi dasar toeri ini adalah mengenai tingkah laku yang sepenuhnya ditentukan oleh
aturan, bisa diramalkan, dan bisa ditentukan.
Dalam praktek pendidikan dan pembelajaran, teori ini sangat menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar atau respon yang muncul karena stimulus
yang diberikan. Teori behavioristik dengan model hubngan stimulus responnya, memandang orang
yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku yang diinginkan dapat terbentuk
melalui metode pembiasaan atau drilling. Respon atau perilaku yang muncul akan semakin kuat bila
diberikan reinforcement dan akan berkurang bahkan menghilang bila dikenai hukuman atau
punishment. Tingkah laku yang adaptive (positif) yang tampak akan diberikan penguatan atau
reinforcement yang bersifat menyenangkan setelah tingkah laku positif yang diinginkan muncul
dengan tujuan agar tingkah laku tersebut akan diulangi, meingkat, bahkan menetap di kemudian
hari. Sementara tingkah laku maldaptive (negative) cenderung akan diberikan hukuman atau
punishment dengan tujuan supaya tingkah laku yang tidak diinginkan tersebut tidak akan terulang
lagi di masa yang akan datang. Eni (2016) menjelaskan bahwa tingkah laku yang bermanfaat
ataupun merusak merupakan tingkah laku yang dipelajari.
Teori belajar behavioristik memiliki ciri utama yaitu guru memiliki sifat otoriter yang
berperan sebagai pengendali masukan perilaku yang diinginkan. Sehingga siswa bersifat pasif dan
segala sesuatunya tergantung pada stimulus yang diberikan oleh lingkungannya. Teori behavioristik
merupakan aliran yang mengkaji perilaku seorang manusia tidak melalui kesadaran dirinya akan
tetapi mengamati perbuatan dan tingkah laku yang ada berdasarkan realitanya. Dalam teori ini,
pengalaman secara batin dikesampingkan dan hanya berfokus pada mempelajari gerak-gerik yang
muncul pada badan. Oleh karenanya, behaviorisme dapat disebut sebagai ilmu jiwa tanpa jiwa.
Segala tingkah laku sebagai respon yang muncul dikembalikan pada refleks.
Teori belajar behavioristik cocok digunakan untuk mendapatkan kemampuan atau tingkah
laku yang membutuhkan praktek dan latihan sebagai pembiasaan. King (2010) menjelaskan bahwa
prinsip-prinsip perilaku diterapkan secara luas untuk membantu orang merubah perilakunya
menjadi lebih baik. Dengan dilakukannya pengarahan dan latihan secara terus menerus, siswa
diharapkan lebih memahami materi yang diajarkan dengan baik sehingga dapat menerapkan dengan
tepat dan baik. Teori behavioristik juga dipercaya mampu membangun konsentrasi pikiran siswa.
Penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment) yang menjadi kunci dari teori belajar
behaviorisme sangat dibutuhkan sebagai pemicu siswa supaya memperkuat munculnya respon
sedangan hukuman yang diberikan sifatnya membangun sehingga siswa mampu bebenah dan
berkonsentrasi dengan baik.
Teori belajar behavioristik terus dikembangkan secara kontinyu oleh para ahli. Terlepas dari
keberhasilan teori ini memunculkan respon positif, tak dapat dipungkiri bahwa teori ini memiliki
beberapa kelemahan. Penerapan teori belajar behavioristik membuat proses pembelajaran
bergantung pada guru atau guru sebagai pusatnya. Siswa hanya mendapatkan materi namun tidak
diberikan kesempatan untuk berkreasi sesuai dengan perkembangan imajinasi dan kemampuannya.
Sehingga siswa cenderung pasif dan merasa bosan ketika mengikuti proses pembelajaran. Kegiatan
belajar mengajar juga terkesan monoton. Hukuman yang diberikan biasanya dugunakan sebagai
salah satu cara untuk membuat siswa tertib dan disiplin. Teori ini tidak berfokus pada proses
belajarnya akan tetapi hanye terfokus pada input dan outpunya saja sehingga teori ini tidak mampu
menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan stimulus dan respon.
Tokoh – Tokoh Teori Belajar Behavioristik
Sifat dari aliran behavioristik adalah elementaristik, memandang manusia sebagai organisme
pasif, yang dikuasai oleh stimulus-stimulus yang muncul dari sekitarnya. Menurut Mukminan
(1997), manusia pada dasarnya mudah dan mampu dimanipulasi, tingkah lakunya mampu dikontrol
dengan cara mengontrol stimulus-stimulus yang muncul di lingkungannya. Dalam pandangan teori
behaviorisme, proses belajar secara umum memiliki beberapa teori, yaitu; teori Connectionism yang
dicetuskan oleh Thorndike, Classical Conditioning yang dipelopori oleh Pavlov, Contiguous
Conditioning yang dikembangkan oleh Guthrie dan teori yang terakhir adalah Descriptive
Behaviorisme atau biasa dikenal dengan istilah Operant Conditioning oleh Skinner.
Edward L. Thorndike mengusung teori Connectionism. Menurutnya, belajar ialah suatu
peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus (S) dan respon (R).
Teori ini mengatakan bahwa belajar dapat terjadi karena adanya hubungan antara kesan panca
indera manusia (sense of impression) dengan dorongan yang muncul untuk melakukan Tindakan
(impuls to action). Dalam eksperimennya, Thorndike menggunakan konsep baru di dalam belajar
yaitu dorongan (motivation), hadiah (reward), dan hukuman (punishment). Moreno (2010)
mengatakan terdapat tiga macam hukum belajar yang dicetuskan oleh Thorndike. Pertama, hukum
kesiapan (law of readiness), proses belajar akan berhasil apabila peserta didik memiliki kesiapan
untuk melakukan kegiatan tersebut. Pada dasarnya, belajar membutuhkan individu yang siap untuk
merespon sehingga akan membuahkan hasil yang memuaskan. Hukum belajar selanjutnya yaitu
hukum latihan (law of exercise), proses belajar akan berhasil apabila dilakukan latihan secara terus
menerus dan mengulang apa yang sudah didapatkan. Semakin sering tingkah laku itu dilakukan
pengulangan atau latihan, maka akan semakin kuat. Hukum belajar yang terakhir adalah hukum
akibat (law of effect), asosiasi antara stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya
menyenangkan dan cenderung diperlemah jika respon yang muncul tidak memuaskan.
Perkembangan lanjut dari teori connectionism adalah classical conditioning yang dicetuskan
oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Teori ini memiliki perspektif bahwa belajar merupakan perubahan
perilaku yang ditimbulkan oleh seorang individu. Berdasarkan teori ini, belajar pada prinsipnya
mengikuti suatu hukum yang sama untuk semua manusia, bahkan makhluk hidup lain seperti
hewan. Pavlov menggunakan seekor anjing sebagai objek dalam eksperimen yang ia lakukan. Dia
berharap agar air liur anjing itu bisa keluar bukan karena adanya suatu makanan, akan tetapi oleh
adanya kondisi tertentu yang sengaja dibuat. Dari hasil percobaannya, Pavlov menyimpulkan bahwa
Gerakan – Gerakan refleks mampu dipelajari dan bisa berubah dengan melakukan beberapa latihan,
sehingga dari hasil ini Pavlov membedakan dua macam refleks yaitu refleks bawaan dan refleks
hasil belajar. Singkatnya, teori Pavlov menjelaskan bahwa seorang individu bisa dikendalikan
melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus lain yang tepat untuk mendapatkan
pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tersebut tidak menyadari bahwa ia
dikendalikan oleh stimulus eksternal yang berasal dari luar dirinya.
Edwin R. Guthrie (1952) mengembangkan sebuah teori yang dikenal dengan contiguous
conditioning. Teori ini mengasumsukan terjadinya proses belajar berdasarkan kedekatan hubungan
antara stimylus dengan respon yang relevan. Di dalamnya terdapat prinsip kontinguitas (contiguity)
yang berarti kedekatan antara stimulus dan respon (Syah, 2004). Dalam teori ini diyakini bahwa
stimulus yang terus muncul berkali-kali terbukti sukses menimbulkan respon tertentu dari objek
penelitian, maka stimulus tersebut dapat diyakini menimbulkan respon yang sama ketika ia muncul
kembali. Untuk mendukung teori kontinguitasnya, Guthrie melakukan percobaan terhadap kucing
yang dimasukan ke dalam kotak yang dilengkapi dengan alat yang jika disentuh dapat membuka
kotak tersebut. Guthrie juga memasang alat yang dapat merekam Gerakan-gerakan kucing di dalam
kotak. Kucing berusaha keluar, hal ini menandakan bahwa kucing telah belajar dengan mengulang
gerakan – gerakan sama yang diasosiasikan dengan Gerakan sebelumnya ketika kucing berhasil
keluar dari kotak tersebut. Berdasarkan eksperimennya, Guthrie kemudian memunculkan beberapa
prinsip dari teori kontinguitas, antara lain siswa harus melakukan sesuatu atau merespon sesuatu
agar terjadi pembiasaan; supaya pembiasaan tingkah laku dapat terwujud, instruksi yang diberikan
kepada siswa harus jelas dan spesifik; stimulus yang diberikan harus dirancang secara baik, prinsip
yang terakhir adalah asosiasi akan menjadi kuat jika terjadi pengulangan. Singkatnya, Guthrie
beranggapan bahwa belajar memerlukan hadiah (reward) dan adanya kedekatan antara stimulus dan
respons. Selain itu, pemberian hukuman (punishment) atas respon yang tidak diinginkan memiliki
sisi baik dan sisi buruk. Keefektifan hukuman yang diberikan sangat bergantung pada apakah
hukuman itu menyebabkan seorang siswa menjadi belajar ataukah malah menjadi malas untuk
belajar.
Teori belajar yang dikembangan oleh B.F Skinner terkenal dengan istilah Operant
Conditioning. Teori ini mengetengahkan penggunakan reinforcement sebagai stimulus.
Reinforcement dibagi menjadi positif dan negative. Reinforcement positif diberikan atas respon
yang sesuai dengan keinginan, sedangkan reinforcement negative diberikan pada respon yang
sebaliknya. Teori ini memiliki komponen rangsangan atau stimulus, respon, dan konsekuensi.
Konsekuensi – konsekuensi ini nantinya akan memunculkan perilaku baru (Slavin, 2000). Teori
Skinner ini kemudian mendasari munculnya strategi reward and punishment untuk modifikasi
perilaku dalam dunia pendidikan. Untuk mendemonstrasikan teorinya, Skinner melakukan
eksperimen dengan menjadikan tikus sebagai objeknya. Seekor tikus dalam kondisi lapar diletakkan
di sebuah kotak yang dinamai dengan kotak Skinner. Saat berada di dalam kotak tersebut, seekor
tikus yang lapar tadi dibebaskan untuk beraktivitas, berjalan, dan mengeksplorasi keadaan sekitar.
Kemudian, tanpa sengaja tikus menyenggol sebuah tuas yang dapat menyebabkan keluarnya
makanan. Tikus kemudian mengulangi aktivitas yang sama supaya dia bisa mendapatkan makanan
lagi dengan cara menekan kembali tuasnya. Lama kelamaan aktivitas yang dilakukan untuk
menyentuh tuas supaya mendapatkan makanan berkurang. Dengan begitu, seekor tikus yang lapar
itu telah mempelajari hubungan antara tuas dan makanan. Hubungan ini akan tetap terbentuk selama
makanan masih menjadi hadiah bagi aktivitas yang dilakukan oleh tikus (Desmita, 2005). Melalui
teorinya, Skinner mengembangkan beberapa prinsip belajar. Yang pertama, siswa harus segera
diberitahu tentang hasil belajarnya sehingga jika salah akan segera dibetulkan dan jika benar akan
diberi penguat. Prinsip yang kedua adalah proses belajar hendaknya mengikuti irama dari yang
belajar atau peserta didiknya. Selanjutnya, selama proses pembelajaran sebaiknya lebih
dipentingkan aktivitas sendiri dan tidak hukuman tidak digunakan selama proses pembelajaran
berlamgsung. Prinsip terakhir yaitu tingkah laku sebagai hasil belajar yang diinginkan oleh pendidik
diberi hadiah (reward) dan sebainya hadiah tersebut diberikan menggunakan sistim jadwal variable
ratio reinforce dalam pembelajaran digunakan shapping.
Aplikasi Teori Belajar Behavioristik dalam Pembelajaran
Belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat yang ditimbulkan oleh interaksi
antara stimulus dan respon. Perubahan tingkah laku membutuhkan penguatan (reinforcement).
Menurut Nasution (2006), perilaku yang muncul pada siswa akan menjadi kuat apabila diberikan
penguatan, namun akan menghilang apabila diberikan hukuman. Teori belajar behavioristik
menekankan terbentuknya perilaku baru sebagai hasil belajar. Menurut Sugandi (2007), aplikasi
teori behavioristik dalam kegiata pembelajaran bergantung pada beberapa komponen seperti tujuan
pembelajaran, karakteristik siswa, materi pembelajaran, media, fasilitas, lingkungan serta penguatan
yang diberikan. Teori belajar ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir. Pembelajaran yang
disusun berdasarkan teori behavioristik berperspektif bahwa pengetahuan adalah objek, Maka dari
itu belajar ialah sebuah proses untuk memperoleh pengetahuan, sedangkan kegiatan mengajar
merupakan proses membagikan atau mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Oleh karena
itu, seorang siswa diharapkan memperoleh pemahaman yang sama terhadap sesuatu atau
pemahaman yang sudah disampaikan oleh gurunya.
Sampai dengan saat ini, penerapan teori belajar behavioristik kadang kala masih harus
dikombinasikan dengan teori lain, seperti teori kognitifisme. Contoh penerapan teori behavioristik
yang mudah dijumpai adalah pemberian hadiah kepada siswa yang berhasil meraih prestasi karena
dianggap menunjukan perubahan perilaku positif berupa pemahaman yang baik terhadap materi
pembelajaran yang diberikan. Selain itu, memuji siswa yang memberikan jawaban benar,
memberikan nilai sesuai hasil ujian, dan menunjukan gesture baik kepada siswa juga merupakan
contoh aplikasi teori belajar behavioristik dalam proses pembelajaran.
Aplikasi teori belajar behavioristik dalam proses pembelajaran bertujuan untuk
memaksimalkan tercapainya tujuan pembelajaran (siswa menumbuhkan respon baik/munculnya
tingkah laku dan kompetensi yang telah dirumuskan). Dalam penerapannya, ada dua hal yang perlu
disiapkan oleh guru. Pertama, sebagai seorang guru hendaknya melakukan analisis kemampuan
awal dan karakteristik siswa sebelum menerapkan teori belajar behavioristik dalam kegiatan
pembelajaran. Sebagai objek yang diharapkan mampu memiliki sejumlah kompetensi sebagaimana
yang telah dirumuskan, kemampuan awal dan karakteristik siswa perlu dianalisis terlebih dulu. Hal
ini perlu dilakukan mengingat background knowledge yang dibawa oleh setiap siswa pasti berbeda-
beda. Selain itu, setiap siswa memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam hal menangkap dan
merespons materi yang akan disampaikan. Menurut Hamalik (2002), dengan melakukan analisis
awal terhadap kemampuan dan karakteristik siswa, guru akan memperoleh gambaran yang lengkap
mengenai pengalaman, latar belakang, tingkat pertumbuhan dan perkembangan siswa, dan juga
tingkat penguasaan pengetahuan yang dimiliki setiap siswa. Selain menganalisis karakteristik siswa,
guru juga hendaknya merencanakan materi pembelajaran yang akan disampaikan. Agar proses
pembelajaran berjalan dengan ideal, hendaknya kegiatan yang disampaikan benar-benar sesuai
dengan kondisi siswa dan sesuai juga dengan apa yang diharapkan oleh siswa. Dengan begitu, guru
tidak akan under-estimate maupun over-estimate terhadap siswa. Suparman (1997) mengatakan
bahwa untuk dapat memberikan layanan pembelajaran kepada semua kelompok siswa, seorang guru
dapat menggunakan dua pendekatan. Pertama, siswa menyesuaikan diri dengan materi yang akan
diajarkan, yaitu dengan cara menjalani tes dan pengelompokan sebelum dilakukan pembelajaran.
Yang kedua adalah materi pembelajaran harus disesuaikan dengan keadaan siswa.
Implikasi Teori Belajar Behavioristik dalam Pembelajaran
Hasil akhir yang dapat diperoleh dari proses pembelajaran menurut teori belajar
behavioristik adalah perubahan tingkah laku siswa. Thorndike berpendapat bahwa peserta didik
yang telah siap menerima perubahan perilaku akan membawa kepuasan tersendiri bagi dirinya.
Selain itu, stimulus dan respon ini juga perlu diulang agar mendapatkan perubahan perilaku yang
diharapkan.
Implikasi teori belajar adalah sebuah bagian terpenting dari teknologi pendidikan yang
memiliki potensi besar dalam peningkatan pendidikan secara optimal dengan memanfaatkan sarana
dan prasarana. Dengan adanya asosiasi antara ketertarikan antar system berbagai sarana dan
prasarana yang tersedia dapat menjadi suatu kesatuan dalam system pendidikan, sengan begitu
maka akan tercipta suatu system pendidikan yang dapat mengembangkan pendidikan secara efisien.
Terdapat beberapa implikasi dari teori belajar behavioristik dalam proses pembelajaran,
antara lain; pembelajaran merupakan suatu proses alih pengetahuan dari guru yang diberikan
kepada siswa (transfer knowledge). Kedua, tujuan dari proses pembelajaran lebih ditekankan pada
bagaimana pengetahuan siswa dapat bertambah. Selanjutnya, strategi yang digunakan dalam
kegiatan belajar mengajar lebih difokuskan pada keterampilan yang diperoleh terisolasi dengan
akumulasi fakta yang berbasis pada logika linier. Keempat adalah proses kegiatan belajar mengajar
yang dilakukan mengacu pada susunan kurikulum yang bersifat ketat dan penekanannya lebih
kepada keterampilan mengungkapkan atau menjabarkan kembali hal-hal yang telah dipelajari
sebelumnya. Kemudian, kegagalan yang terjadi pada proses belajar atau ketidakmampuan siswa
untuk memahami pengetahuan dapat dikelompokan sebagai sebuah kesalahan yang perlu diberi
hukuman, sedangkan keberhasilan atau prestasi yang diraih atau kemampuan memunculkan respon
yang diinginkan dikelompokan sebagai bentuk perilaku yang hendaknya diapresiasi dan diberi
hadiah (reward). Terakhir, evaluasi yang dilakukan penekanannya ada pada respons pasif melalui
system paper and pencil test dan hanya menuntut satu jawaban yang benar. Dengan begitu, evaluasi
belajar yang dilaksanakan akan memiliki penekanan pada hasil dan bukan pada proses
pembelajaran, atau sintesis antara keduanya.
KESIMPULAN
Teori belajar behavioristik merupakan sebuah teori yang penekanannya ada pada tingkah
laku manusia dianggap sebagai hasil belajar dan merupakan akibat dari interaksi antara stimulus
dan respon. Teori behavioristik dengan model stimulus dan responnya, menganggap orang yang
belajar sebagai individu yang bersifat pasif. Respon atau perubahan perilaku yang diharapkan akan
dibentuk dengan cara tertentu menggunakan metode drill (pembiasaan). Munculnya perubahan
perilaku ini akan menguat jika diberikan reinforcement (penguatan) dan akan melemah atau
berkurang bahkan menghilang bila dikenai punishment (hukuman). Hingga saat ini, teori belajar
behavioristik merupakan teori yang cukup sering diterapkan dalam proses pembelajaran pada
lembaga pendidikan.
Hal terpenting dari teori belajar behavioristik yaitu input dan output yang berbentuk respons.
Dalam teori belajar behavioristik ini, antara stimulus dan respon dipandang tidak terlalu penting
untuk diperhatikan karena terlihat dan tidak dapat diukur. Dengan demikian yang akan terlihat dan
dapat diukur hanyalah stimulus dan responnya saja. Maka dari itu, input berupa materi
pembelajaran yang disusun dan diberikan oleh guru kepada siswa dan output berupa respons yang
dihasilkan oleh siswa sebagai hasil belajar harus dapat diamati dan diukur supaya terjadinya
perubahan tingkah laku dapat terlihat.
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin, J & Wahyuni, Esa Nur. (2008). Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media
Corey, Gerald. (2016). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Eresco.
Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hamalik, Oemar. (2002). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi
Aksara.
Haryanto, B. (2004). Psikologi Pendidikan dan pengenalan Teori-teori Belajar, Sidoarjo.
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Herpratiwi. (2016). Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Media Akademi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI). (2017). (online), (https://kbbi.web.id), diakses pada 5
Januari 2021.
King, Laura A. 2010. Psikologi Umum: Sebuah Pengantar Apresiatif. Jakarta: Salemba Humanika.
Lawrence A. Pervin, Daniel Carvone, at all. (2004). Psikologi Kepribadian Teori & Penelitian,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Mukminan. (1997). Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: P3G IKIP.
Moreno, Roxane. (2010). Educational Psychology. University of New Mexico
Nahar, Novi Irwan. (2016). Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses Pembelajaran.
Nusantara (Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial). Volume 1 Desember 2016.
Nasution. (2006). Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Putrayasa, Ida Bagus. (2013). Landasan Pembelajaran. Bali: Undiksha Press.
Santrock, John. W. (2011). Educational Psychology. University of Texas at Dallas
Sihkabuden. (2012). Handout dan Transparasi Kuliah Belajar dan Pembelajaran. Malang:
Universitas Negeri Malang
Slameto. (2010). Belajar & Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta
Slavin, R.E. (2000). Educational Psychology: Theory and Practice. Massachusetts: Allyn and
Bacon.
Sugandi, Ahmad. (2007). Teori Pembelajaran. Semarang: UPT MKK UNNES.
Suyono & Hariyanto. (2011). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Syah, Muhibbin. (2004). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes.
Cambridge, MA: Havard University Press.

Anda mungkin juga menyukai