Referat Melanoman29!03!21
Referat Melanoman29!03!21
Disusun oleh
Danesh A/L Agilan (112018121)
Dominic Timotius (112018044)
Virginia Marsella Teiseran (112017206)
Chandra Franata (112018057)
Rasyadi bin Razali (112018111)
Wynda Muljono (112018091)
Pembimbing
dr. Chadijah Rifai Latif, Sp.KK
Epidemiologi
Kanker kulit adalah salah satu kanker paling umum di dunia. Insiden kanker kulit
semakin meningkat dalam beberapa dekade terakhir dan beberapa didapatkan beberapa factor
yang menyumbang kepada prevalensi yang meningkat yaitu oleh paparan sinar matahari
berulang kali, perubahan iklim, termasuk perubahan ketebalan dari lapisan pelindung ozon
bersama dengan perubahan dalam kebiasaan individu dan sosial.5
Tipe kanker NMSC biasanya memiliki prognosis yang lebih buruk. Kedua jenis
kanker tersebut berasal dari sel epidermis dan memiliki kesamaan fitur epidemiologis dan
karsinogenik. Kejadian kanker non-melanoma pada orang kulit putih adalah lebih tinggi
dibandingkan orang kulit hitam dan lainnya.5
Menurut data Global Cancer Society (Globocan) tahun 2018 dari WHO didapatkan
bahwa angka kasus baru kanker kulit non melanoma berada di peringkat 5 secara global
dengan jumlah 1,042,056 kasus baru dan angka mortalitas sebanyak 65,155 kasus. (Gambar
1)6
Hasil data Globacan 2018 menunjukkan bahwa kadar insiden age standardized (ASR)
kasus non melanoman berdasarkan jenis kelamin di Asia tenggara didapatkan laki-laki adalah
2.4 per 100,000 orang sedangkan pada data jenis kelamin perempuan didapatkan 1,7 per
100,000 orang. Seterusnya, kadar angka mortalitis berdasarkan jenis kelamin di Asia tenggara
pada golongan laki-laki adalah sebanyak 2.0 per 100,000 orang dan golongan perempuan
sebanyak 0.82 per 100,000 orang.(Gambar 2)6
Gambar 3: Hasil statistik kasus kanker Globcan di negara Indonesia tahun 20186
Gambar 4: Data Globocan tahun 2018 negara Indonesia6
Di negara Indonesia, didapatkan data kasus kanker kulit melanoma berdasarkan data
Globocan tahun 2018 yaitu 1,392 kasus dan berada di peringkat 23 dalam jumlah kasus
kanker yang terbanyak di Indonesia. (Gambar 4)6
Selain itu, didapatkan 5 jenis kasus kanker yang sering ditemukan di Indonesia selain
kasus kanker non melanoma yaitu kanker payudara, kanker serviks uteri, kanker paru, kanker
kolorektal dan kanker hati. (Gambar 3)6
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional
Dr. Cipto Mangunkusumo menyatakan bahwa belum terdapat publikasi data nasional data
kanker di Indonesia. Namun, rumha sakit tersebut memounyai hasil data kanker kulit dari
tahun 1996 hingga 1998 yang menunjukkan angka 91 kasus BCC dan kasus SCC sebanyak
32 kasus. Seterusnya, pada tahun 2005 hingga 2009, kejadian BCC adalah sekitar 171 dan
SCC 196.7
Secara statistik didapatkan bahwa beban ekonomi dan kesehatan akibat kasus
melanoma akan meningkat pada tahun 2030 apabila tanpa adanya tindakan pencegahan.
Meskipun kematian akibat NMSC pada umumnya jarang terjadi, pengobatan NMSC secara
signifikan telah menimbulkan beban pada sistem kesehatan.
HDI adalah indeks gabungan indeks dalam tiga factor yaitu harapan hidup, tingkat
studi, dan dominasi lebih dari sumber yang dibutuhkan untuk kehidupan stabil. Insiden dan
mortalitas kanker kulit (melanoma dan non-melanoma) terkait dengan perkembangan indeks
(HDI). Kenaikan indeks HDI meningkatkan akses ke layanan kesehatan dan deteksi dini
penyakit dan pengobatan
penyakit di sebuah tahap
awal, sehingga
mengurangi kematian.5
Faktor Resiko
Gambar 6: Faktor resiko karsinoma sel basal dan karsinoma sel skuamosa.4
Etiologi
Berdasarkan beberapa penelitian yang menyarankan teori kejadian melanoma
terutama disebabkan oleh paparan sinar matahari intermiten, kanker keratinosit terkait dengan
dosis kumulatif cahaya ultra-kekerasan.3 Faktor karsinogenik utama adalah sinar ultraviolet
(UV), yang menjelaskan teori bahwa sebagian besar tumor terlokalisir pada area yang
terekspos pada sinar matahari.BCC merupaka tumor manusia yang angka bermutasi yang
paling tinggi yaitu 65 mutasi / megabases dan menyimpan persentase besar mutasi yang
disebabkan UV9 Faktor risiko tambahan untuk pengembangan NMSC termasuk terapi radiasi,
menurunkan jenis kulit Fitzpatrick 1-4, imunosupresi berkepanjangan, human
immunodeficiency virus (HIV), human papilloma virus (HPV), dan diagnosis sindrom atau
kelainan genetik tertentu.3
Patogenesis BCC
Paparan sinar matahari dan situs anatomi tampaknya menjadi etiologi penting dalam
pengembangan BCC. Paparan sinar matahari rekreasional, radiasi UV kumulatif, merupakan
faktor risiko yang signifikan terutama dengan spektrum ultraviolet B (290–320 nm) yang
menginduksi mutasi pada gen penekan tumor.
Perkembangan BCC terbatas pada kulit yang mengandung unit pilosebaceous. Fakta
bahwa BCC umumnya berkembang pada letak anatomis di wajah, dan khususnya di hidung,
menunjukkan bahwa lokasi anatomi, yaitu area kulit tertentu yang mengandung jumlah sel
progenitor target yang lebih tinggi dan memainkan peran penting.
Radiasi UVB merusak DNA dan memengaruhi kekebalan tubuh. sistem yang
mengakibatkan perubahan genetik dan neoplasma progresif. Mutasi yang diinduksi UV pada
gen penekan tumor p53 telah ditemukan pada sekitar 50% kasus BCC. 4 Saat ini, diperkirakan
bahwa peningkatan regulasi jalur pensinyalan perkembangan mamalia, Hedgehog (HH),
merupakan kelainan penting di pada kasus BCC.8
PTCH dan Hedgehog Signaling
Gen p53
Perubahan genetik paling umum kedua yang ditemukan pada BCC adalah mutasi titik
pada gen p53. Gen penekan tumor p53 pertama kali dideskripsikan pada 1979 dan pada
awalnya keliru diklasifikasikan sebagai onkogen karena kemampuannya untuk mengubah sel.
Protein p53 tipe wild terlibat dalam banyak kejadian seluler dan menggambarkan peran mesin
molekuler kompleks di dalam sel 18.1
Protein p53 dianggap sebagai "penjaga genom" karena melindungi integritas DNA
sebagai respons terhadap stres sitotoksik, termasuk radiasi. Perlindungan dicapai dengan
manajemen jalur persinyalan yang mengatur perkembangan siklus sel, perbaikan DNA dan
apoptosis kematian sel. Kemampuan p53 untuk menginduksi apoptosis melalui transaktivasi
gen target sangat penting untuk fungsinya sebagai gen penekan tumor.1
Proliferasi klandestin keratinosit yang mengekspresikan protein p53 secara berlebihan
terlihat jelas pada kulit orang Kaukasia normal yang terpapar sinar matahari secara
kronis..Pola dan derajat ekspresi berlebih sangat berbeda dari pola penyebaran keratinosit
imunoreaktif p53 mengikuti paparan tunggal terhadap iradiasi UV.Sebuah studi terbaru,
menggunakan next-generation sequencing pada golongan terpapar sinar matahari dan
kelompok yang berpelindung kulit, mengungkapkan bahwa mutasi p53 persisten telah
terakumulasi di 14% sel epidermis pada kulit normal secara fenotip, tanpa tampak bukti
keuntungan pertumbuhan.1,8
Mutasi p53 muncul lebih awal selama karsinogenesis dan setidaknya 50% BCC
memiliki gen p53 yang bermutasi. Peran mutasi p53 dalam karsinogenesis BCC dapat
didasarkan pada perluasan jumlah sel target, klon p53 epidermal, rentan terhadap
transformasi.1
Potensi replikatif tak terbatas penting untuk fenotipe ganas, dan pemeliharaan telomer
juga terlihat pada BCC, karena aktivitas telomerase yang tinggi. BCC mengekspresikan
tingkat telomerase yang sama atau lebih tinggi bila dibandingkan dengan keganasan tingkat
tinggi. Kehadiran gen perbaikan DNA utuh juga sangat penting.1
BCC adalah tumor kulit yang umum dan invasif lokal, dimana radiasi UV dan perubahan
pada gen PTCH penting faktor etiologi. BCC bergantung pada stroma untuk
pertumbuhannya, muncul tanpa prekursor, dan menunjukkan pertumbuhan berkelanjutan
tanpa perkembangan ke metastasis penyakit.1,4,12
Pemeriksaan Penunjang
a. Histopatologi
Karakteristik histologik umum dari basalioma ialah adanya sel-sel tumor
basaloid dalam kelompok dengan bagian tepi tersusun palisading, sel-sel dengan inti
mitosis, badan apoptosis, stroma miksoid, dan adanya celah artefak di daerah
peritumor antara sel-sel tumor dan stroma sekitarnya.15
Sifat-sifat histopatologis pada KSB sangat bervariasi tetapi pada umumnya
mempunyai inti yang besar, oval atau memanjang dengan sedikit sitoplasma.14
b. Sitologi
Pemeriksaan sitologi bertujuan untuk mengevaluasi sel secara mikroskopis.
Pemeriksaan sitologi merupakan prosedur yang cepat dan mudah dilakukan. Pada
KSB, pemeriksaan sitologi dilakukan untuk membedakan dari keganasan kulit lain,
yaitu karsinoma sel skuamosa (KSS). Pada kasus keganasan kulit, beberapa studi
menyebutkan angka sensitivitas pemeriksaan ini sebesar 91% dan spesifisitasnya
sebesar 87%. Cara pengambilan sediaan pada KSB bergantung pada jenis KSB, dapat
dengan aspirasi jarum halus, impression smears, atau gentle tissue scraping. Kriteria
untuk mendiagnosis KSB secara sitologi yaitu kohesi interselular yang tinggi pada
fragmen jaringan, kelompok sel kecil yang seragam dan padat dengan sitoplasma
basofilik. Nukleus berbentuk oval atau fusiformis, terkadang bulat dengan struktur
kromatin yang samar, dan biasanya tidak terdapat nukleoli. Pada beberapa lesi
terdapat bahan amorfik berwarna merah muda.13
c. Imunohistokimia KSB
Pada pemeriksaan imunohistokimia terlihat inti sel yang terwarnai p53. Jika
inti sel yang terwarnai melebihi 10%, maka dinyatakan positif. 13 Pada pemeriksaan
imunohistokimia, antibodi yang digunakan adalah antibodi primer poliklonal
βcatenin. Kemudian dilakukan interpretasi ekspresi βcatenin yang terlihat,
berdasarkan pada intensitas dan lokasi. Intensitas dibagi menjadi dua, yaitu sedang
dan kuat, sedangkan lokasi juga dibagi menjadi dua, yaitu ekspresi di inti atau
nukleositoplasmik. Pewarnaan βcatenin dikatakan positif jika berwarna cokelat.13
A B
Gambar 10. A) Pengecatan imunohistokimia protein p53 pada KSB.
B) Ekspresi β-catenin pada sel tumor KSB13
d. Dermoskopi
Dermoskopi atau yang sering disebut dermatoskopi merupakan suatu metode
in vivo dengan menggunakan mikroskop epiluminens untuk melihat lesi kulit
epidermis dan dermis.16 Karakteristik gambaran dermoskopi yang ditemukan pada
KSB dapat berupa arborizing vessel dan atau superfisial fine telangiectasis, ulserasi
dan atau multiple small erosions, blue-gray ovoid nest, multiple blue-gray
dots/globules, maple leaf-like areas, atau spoke-wheel area. Arborizing vessels
gambaran yang merupakan pelebaran pembuluh darah di dermis akibat peningkatan
volume vaskularisasi atau neo-vaskularisasi untuk nutrisi sel tumor.16
Superfisial fine telangiectasis merupakan gambaran pembuluh darah yang
pendek, halus, lurus. Ulserasi atau multiple small erosion dapat dikarenakan
hilangnya lapisan epidermis, sering pula ditutupi oleh krusta hemoragik. Blue-gray
ovoid nest merupakan gambaran akibat sel tumor yang berpigmen berkumpul di
lapisan dermis. Multipel blue-gray dots/globules adalah gambaran yang terbentuk
akibat kumpulan sel tumor berpigmentasi yang berlokasi di dermis. Maple leaf-like
areas adalah gambaran ini terbentuk akibat sel-sel tumor berpigmen yang bergabung,
banyak ditemukan di lapisan epidermis, tetapi kadang-kadang juga ditemukan di
lapisan dermis. Spoke wheel areas merupakan kumpulan sel tumor yang sering
ditemukan pada lapisan epidemis.16
Berikut ini dipaparkan berbagai manifestasi klinis setiap subtipe KSB beserta
masing-masing gambaran dermoskopinya.16
a. KSB subtipe Nodular : gambaran dermoskopi pada lesi tersebut ditemukan
arborizing vessel
Gambar 11. KSB tipe nodular A) Gambaran klinis tipe nodular: nodul
translusen. B) Gambaran dermoskopi memerlihatkan aborizing vessels (tanda bulat)16
Gambar 12. KSB tipe superfisial A. Gambaran klinis tipe superfisial; B. Gambaran
dermoskopi superfisial fine telangiectasis (tanda bulat) dan multipel small erosions
(tanda panah)16
Gambar 13. KSB subtipe pigmentasi yang menyerupai subtipe nodular A. Gambaran
klinis subtipe superfisial; B. Gambaran dermoskopi blue-gray avoid nest (tanda
panah) dan superfisial fine telangictasis (tanda bulat)16
Gambar 14. KSB subtipe pigmentasi yang menyerupai subtipe superfisial. A.
Gambaran klinis KSB pigmentasi; B. Gambaran demoskopi spoke wheel areas (tanda
kotak), multipel small erosions (tanda panah)16
Gambar 16. KSB tipe morfeaformis A. Gambaran klinis KSB tipe morfeaformis; B.
Gambaran dermoskopi superfisial fine telangiectasis (tanda bulat)16
e. KSB subtipe Fibroepitelioma of Pinkus : gambaran white streaks area merupakan
gambaran khas pada KSB subtipe FOP, yaitu berupa gambaran berwarna putih
yang merupakan area fibrosis.
Gambar 17. KSB tipe fibroepitelioma of pinkus (FOP) A. Gambaran klinis KSB
subtipe FOP; B. Gambaran dermoskopi ditemukan aborizing vessel (tanda panah) dan
white streaks area (tanda bulat)16
Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis pada karsinoma sel basal (BCC), anamnesa dan
gambaran makroskopis lesi penting untuk menegakkan diagnosa awal BCC.17 Selain itu,
manifestasi klinis, serta lokasi lesi juga penting dan mayoritas lesi yaitu lebih dari 80% BCC
ditemukan di kulit bagian kepala dan leher serta 90% darinya ditemukan di wajah. 18
Penggunaan dermoskopi juga dapat membantu dalam menegakkan diagnosis karena hasilnya
cepat dan tidak invasif. Hasil dermoskopi akan disesuaikan dengan hasil subtipe dari
histopatologi. Hal ini karena, pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas dalam
penegakkan diagnosa BCC. 18
Diagnosis Banding
Tabel 1. Diagnosa Banding Karsinoma Sel Basal17
Tatalaksana
Tatalaksana BCC adalah berdasarkan lokasi anatomis lesi dan juga dari hasil
histopatologis dan peluang terbaik untuk menyembuhkan BCC adalah dengan terapi yang
adekuat karena kekambuhan BCC dapat berulang dan akan terjadi destruksi yang lebih jauh. 17
Operasi dan radioterapi dilihat sebagai modalitas terapi yang paling afektif dalam terapi BCC
di lokasi yang beresiko rendah. Terdapat juga studi menggunakan imiquimod sebagai terapi
BCC, namun harus diklarifikasi adakah imiquimod sebagai pilihan terapi berbanding
pemebedahan. Berikut merupakan algoritma managemen terapi karsinoma sel basal:1
Curettage and Desiccation (C&D) merupakan modalitas terapi yang kerap dilakukan
pada pasien dengan karsinoma sel basal dan berdasarkan Kopf et al, ditemukan terapi C&D
adalah operator-dependen karena terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat
kesembuhan pasien yaitu 94.3% pada praktis swasta dan 81.2% pada residen. 17 Tingkat
kesembuhan dengan C&D juga tinggi yaitu 98.8% pada karsinoma sel basal primer,
nonfibrosing BCC dan lokasi beresiko tinggi di wajah jika operasi di lakukan oleh operator
yang berketrampilan. Selain itu, terapi ini juga tidak direkomendasikan untuk terapi pada
kasus tumor yang rekuren dan jika dibandingkan dengan eksisi standar dan MMS, C&D tidak
meningkatkan kualitas kehidupan pasien setelah diterapi.21
Terapi fotodinamik atau PDT adalah terapi dengan pemberian bahan fotosensitisasi
melalui intavena atau topical yang mana setelah 24 hingga 48 jam akan berakumulasi di
dalam sel tumor dan akan diradiasi dengan panjang gelombang 630 hingga 660nm atau laser
dengan foto-oksidasi yang akan menyebabkan kematian dari sel kanker.22 Penggunaan bahan
tersebut adalah dengan Exogenous δ-aminolevulinic acid dan berdasarkan Morrison et al
melaporkan 88% pembersihan tumor setelah satuhingga tiga kali terapi. Namun, berdasarkan
Marmur et al, menyatakan tingkat kekambuhan terapi PDT pada kanker kulit non-melanoma
adalah dari 0% hingga 31% pada karsinoma sel basal.17
Terapi radiasi (XRT) digunakan pada kasus karsinoma sel basal primer atau pada
kasus margin positif setelah operasi. Kelebihan dari terapi ini adalah meminimalisir
ketidakselesaan pasien dan dapat mengelakkan prosedur invasif pada psien yang tidak dapat
menjalani prosedur operasi.17 Terapi radiasi juga efektif sebagai terapi adjuvan dan
merupakan metoda pilihan pada kanker kulit non melanoma yang beresiko tinggi dan dapat
juga digunakan sebagai terapi paliatif untuk meningkatkan kualitas kehidupan pada kasus
yang tidak dapat disembuhkan.21
Seterusnya adalah terapi dengan bahan botani. Ekstrak botani adalah senyawa tunggal
yang semakin meningkat penggunaanya dalam kosmetik tetapi juga pada obat bebas dan
suplemen makanan. Botani adalah sekelompok senyawa yang berasal dari tumbuhan,
rempah-rempah, batang, akar dan bahan yang lain yang dapat digunakan dalam bentuk
tumbuhan kering atau segar dan memberikan khasiat seperti antioksidan, anti-inflamasi dan
sifat imunomodulator dan dipercayai dapat sebagai agen kemopreventif yang dapat menekan
proses karsinogenesis. Pengobatan botani dirujuk pada pengobatan herba, phytotheraphy atau
phytomedicine.23 Terdapat peningkatan minat dalam penggunaan obatan topikal alternatif
sebagai pencegah dan terapi pada kanker kulit non melanoma terutama pada bagian
superfisial.24 Berikut merupakan jenis agen botani yang telah diuji coba pada manusia dan
hewan:
Tabel 2. Ringkasan afek agen botani yang diuji coba pada manusia24
Tabel 3. Ringkasan afek agen botani yang diuji coba pada hewan24
1. Ingenol mebutate
Ingenol mebutate adalah berasal dari Euphorbia peplus (E. peplus). Agen ini dikenal pasti
mempunyai potensi kemoterapi dan telah diluluskan oleh U.S FDA untuk terapi untuk actinic
keratose. Berdasarkan model studi menunjukkan ingenol mebutate menyebabkan terjadinya
pembengkakan mitokondria dan displastik daripada keratinosit serta apoptosis dari nekrosis
primer.24 Berdasarkan studi Ramsay et al pada 36 pasien dengan BCC, SCC dan karsinoma
intraepidermal yang diterapi dengan ingenol mebutate, didapatkan respon klinis yaitu 82%
pada bCC, 75% pada SCC dan 94% pada karsinoma intraepidermal. Didapatkan antara afek
dari penggunaan bahan tersebut adalah kulit kering eritema dan deskuamasi kulit. 24
Berdasarkan sebuah studi pada mencit yang dengan kerusakan kulit akibat UVB, didapatkan
dengan aplikasi salep ingenol mebutate, kira-kira 70% penurunan jumlah lesi kulit dan juga
menurunkan kira-kira 70% jumlah patch mutasi keratinosit p53. Hal ini penting karena
mutasi pada gen p53 adalah penyebab tersreing dari kanker kulit dan merupakan hal yang
penting pada proses oncogenesis kanker kulit.25 Pada sebuah studi Bettencourt MS,
didapatkan kesemua 9 pasien BCC yang diterapi dengan ingenol mebutate menunjukkan
reaksi kulit pada hari 1 dan ke 2 dan puncak pada hari 2 hingga 7 dan terselesaikan pada 2
minggu setelah terapi. Pengulangan biopsi enam lesi pada empat pasien setelah 3 atau 4 bulan
menunjukkan histologic clearance.26
2. Hypericin
Hypericin adalah agen botani yang berasal dari Hypericum perforatum. Hypericum
perforatum mengandungi senyawa fotoaktif yang mana adalah fotosensitizer poten dalam
terapi fotodinamik dan agen ini dapat diaktivasi dengan cahaya visible (400-700nm) atau
UVA (320-400nm). Hypericin telah menunjukkan sifat sitotoksik dan antiproliferative dalam
melawan sel kanker.24 Hypericin juga digunakan pada terapi PDT karena agen ini
menginduksi apoptosis pada sel melanoma yang berpigmen dan non-berpigmen terutaman
pada sel SCC.28 Pada sebuah studi prospektif oleh Kacerovska et al pada 34 pasien dan 21
darinya dengan BCC, didapatkan 28% respon klinis pada pasein dengan BCC supeerfisial
dan peghilangan total sel kanker ditemukan 11% pada BCC superfisial. Semua pasien
dilaporkan merasa sakit dan rasa terbakar semasa diterapi. Selain itu, antara afek samping
lain bagi hypericin adalah fotodermatitis. 24, 27
Selain itu, pada sebuah studi pasien dengan
BCC telah diberikan 400–200 mg hypericin secara intralesi tiga hingga lima kali seminggu
elama dua hingga enam minggu dan ditemukan agen ini efektif untuk sel kanker tersebut
tanpa menimbulkan nekrosis jaringan sekitar. Setelah itu ditemukan remisi klinis setelah
enam hingga lapan minggu namun, penelitian lanjutan tidak mendukung temual awal dari
studi ini.
3. Teh
Teh berasal dari daun Camellia sinensis yang dikeringkan dan tidak difermentasi serta
sering digunakan sebagai teh hijau dan hitam. Teh ini mempunyai sifat anti-inflamasi dan
antikarsinogenik. Berdasarkan sebuah studi pada model mencit, ditemukan green tea
catechins atau polifenol seperti major catechin (-)-epigallocatechin dan (-)-epigallocatechin-
3-gallate (EGCG), dapat melindungi dari radiasi-induksi UVB pada NMSC. EGCG
dipercayai bertindak sebagai pemulung terhadap spesis yang rekatif oksigen dan mungkin
dapat meningkatkan mekanisma perthanan antioksidan asli dari sel.24 Selain dari itu,
berdasarkan protokol standar fotokarsinogenesis, ditemukan pengambilan GTPs (campuran
catechin) secara oral di dalam minuman pada mencit memberikan hasil yang signifikan dalam
proteksi dari tumor kulit dalam aspek insidens tumor, multiplisitas tumor dan ukuran tumor
berbanding dengan hewan yang tidak diberikan dengan GTP. Selain itu, terapi ECCG atau
GTP`s secara topical memberikan hasil yang signifikan dalam menghambat perkembangan
tumor kulit UVB-induced.31 Seterusnya, pada satu penelitian, didapatkan penggunaan
kombinasi black tea polyphenol (BTP) dan resveratrol dapat menurunkan insidens tumor
secara signifikan yaitu kira-kira 89% dan berdasarkan pemeriksaan histologi dan kematian
sel, didapatkan bahwa terapi kombinasi ini dapat mencegah proliferasi selular dan
menginduksi apoptosis.32 Wang et al menunjukkan komsumsi teh hitam dan hijau yang sama
komposisinya minuman teh pada manusia dapat menurunakn resiko tumor kulit UVB-induce
dalam studinya pada mencit.24
4. Paclitaxel
Paclitaxel adalah tanaman alkaloid yang bersal dari kulit pohon Pacific yew Taxus
brevifolia. Paclitaxel ini mengikat tubulin dari mikrotubulus dan menstabilkan struktur
mikrotubulus untuk memblokir kerusakannya dan oleh karena itu, agen ini dapat
menghambat pemecahan sel yang menyebabkan apoptosis dari sel kanker.24 Pada sebuah
studi, pasien usia 60 tahun dengan BCC pada awalnya diterapi dengan terapi local, operasi,
radiasi dan enam siklus cisplatin dan capecitabine kemudian diterapi dengan paclitaxel 175
mg secara intravena selama 21 hari (15 siklus) memberikan respon eliminasi BCC setelah
dua belas siklus.24 Selain itu, agen ini juga digunakan sebagai anti-tumor pad kanker payudara
metastasis, kanker paru non-small-cell, kanker ovari, heada and neck tumor, Kaposi`s
sarcoma dan malignansi urologi. Namun, pada penggunaan agen ini secara intravena,
didapatkan afek sampingnya adalah reaksi hipersensitivitas, neuropati perifer, neutropenisa
yang berhubungan dengan nausea, trobositepenia, muntah, penurunan selera makan dan
diare.34 Selain itu, pada sebuah studi pasien usia 74 tahun dengan BCC relaps pada skapula
kanan dan nodus pada aksila setelah terapi eksisi, diberikan cisplatin 75 mg/m2 dan pactitaxel
75 mg/m2 secara intravena memberikan hasil eliminasi dari efusi pleura, nodus dan
keterlibatan kulit. Namun pasien tersebut telah meninggal akibat neurotoksisitas, komplikast
deep venous thrombosis dan tromboemboli paru yang diinduksi oleh kemoterapi.24
Faktor Resiko
a. Faktor pejamu meliputi usia, pigmentasi, status imunitas, dan adanya kelainan genetik
misalnya pada xeroderma pigmentosum, mutasi tumor supresor p53 yang
menjadikan sel tumor resisten terhadap apoptosis, overekspresi onkogen H-ras, dan
disfungsi telomer.36
b. Faktor lingkungan yang paling berperan adalah akumulasi pajanan sinar ultraviolet.
Ultraviolet A dan B berbahaya bagi kulit, namun sinar ultraviolet B (UVB) dengan
panjang gelombang (200-320 nm) lebih bersifat karsinogenik. Radiasi UVB
menyebabkan terbentuk ikatan kovalen antar pirimidin dan pembentukan mutagen.
Akumulasi pajanan sinar ultraviolet dapat menyebabkan akumulasi mutasi genetik
keratinosit sehingga muncul sel yang potensial ganas.36
c. Faktor lain yang berperan antara lain lesi prakanker (aktinik keratosis dan penyakit
Bowen), infeksi virus Human Papilloma, radiasi ion, jaringan parut, dermatosis kronik,
luka bakar, merokok, dan pajanan bahan kimia yang bersifat karsinogen misalnya: arsen
atau coal-tar.36
Patogenesis
Karsinoma sel skuamosa berasal dari keratinosit epidermal dan struktur adneksa
(seperti kelenjar ekrin atau unit pilosebasea). Ini biasanya muncul dari Keratonis Artinik.
Pasien dengan AK diperkirakan memiliki risiko seumur hidup 6-10% untuk mengembangkan
SCC. Klasifikasi AK kontroversial. Meskipun banyak dokter menganggap ini sebagai lesi
prakanker, Bernard Ackerman mendalilkan bahwa AK adalah bentuk SCC in situ.
Berbagai varian AK telah diidentifikasi, termasuk subtipe hipertrofik, atrofik,
acantolitik, berpigmen, proliferatif, dan Bowenoid. Secara umum, AK proliferatif dikaitkan
dengan perilaku biologis yang lebih agresif, seperti potensi ganas yang lebih tinggi,
pertumbuhan lateral, gambaran histologis invasif, dan resistensi terhadap pengobatan.
Karsnimo skuamosa sel dapat berkembang bahkan jika riwayat subjek terpapar sinar matahari
terjadi puluhan tahun sebelum berkembangnya lesi kulit. Ini adalah kanker kulit yang paling
sering muncul dalam bekas luka sebelumnya. Hal ini terutama terjadi di Jepang, di mana 32-
44% SCC timbul dari bekas luka (dibandingkan dengan 1,9-2,5% di negara lain).
Perbedaan ini cenderung mencerminkan fakta-fakta yang tidak meninggalkan bekas
luka. SCC lebih umum di negara-negara dengan populasi berkulit terang dan SCC yang
diinduksi UV relatif lebih jarang di negara-negara dengan individu berkulit gelap.
Keratoacanthoma adalah neoplasma kulit lain yang tampak sangat mirip dengan lesi SCC
konvensional.
Ada kontroversi tentang apakah lesi ini adalah entitas terpisah atau subtipe SCC.
Mereka yang menganggapnya sebagai entitas terpisah percaya itu menjadi lesi jinak,
sedangkan yang lain mencirikannya sebagai SCC tingkat rendah. Etiologi keratoacanthoma
mirip dengan SCC dan mengacu pada iradiasi UV, paparan HPV, defisiensi imun, dan
anomali perbaikan DNA. keratoacanthoma juga telah secara konsisten dilaporkan muncul
dari bekas luka operasi, cangkok kulit, trauma, dan laser resurfacing.
Banyak keratoacanthoma dapat ditemukan pada sindrom Ferguson-Smith, sindrom
Grzybowski, sindrom Muir-Torre, dan sindrom Witten-Zak. Itu peran HPV dalam
pembentukan SCC kulit telah dipelajari oleh banyak kelompok. Human papillomavirus
adalah virus DNA tanpa selubung yang menginfeksi manusia, mamalia, burung, dan reptil
Virus bereplikasi dalam inti keratinosit dan bergantung pada perbedaan keratinosit untuk
menyelesaikan siklus hidupnya. DNA HPV risiko rendah ada dalam episode terpisah dari
host DNA, sedangkan HPV risiko tinggi (karsinogenik) terintegrasi ke dalam host genom.
Beta (b) subtipe HPV memiliki hubungan terkuat dengan SCC kulit. HPV tipe 1 lebih
sering terjadi pada lesi jinak, sedangkan HPV 2 lebih umum pada SCC. Lebih lanjut, paparan
sinar matahari memicu infeksi HPV dan pembentukan SCC. Sinar ultraviolet dapat
meningkatkan laju infeksi HPV melalui efek destruktif dan iimunosupresifnya.
Satu kelompok menunjukkan tingkat infeksi HPV yang lebih tinggi pada pasien yang
diobati dengan PUVA dan UVB UVB. Individu dengan gangguan kekebalan memiliki risiko
tinggi untuk tertular HPV dan transformasi ganas berikutnya karena sistem kekebalan adaptif
(respons sel T fungsional) merupakan bagian integral untuk melawan infeksi HPV.
Pada pasien dengan gangguan kekebalan, subtipe HPV yang paling umum adalah 5,
20, 23, dan 24. Dalam sebuah penelitian terhadap 60 biopsi kulit SCC pada pasien
imunokompeten, DNA HPV tipe mukosa terdeteksi pada 30% sampel, dan HPV 18
ditemukan sebagai subtipe yang paling umum, diikuti oleh tipe 6 dan 11.Namun, banyak
penelitian menunjukkan tidak ada korelasi antara HPV dan SCC pada pasien
imunokomponen. Akibatnya, peran HPV pada SCC masih memerlukan banyak
penyelidikan.37
Manifestasi Klinis
KSS pada umumnya sering terjadi pada usia 40 -50 tahun dengan lokasi yang
tersering terpajan matahari seperti wajah, telinga, bibir bawah, punggung, tangan, dan
tungkai bawah.
Secara klinis ada 2 bentuk KSS, yaitu :
1. KSS in situ
Karsinoma sel skuamosa ini terbatas pada epidermis dan terjadi pada berbagai lesi
kulit yang telah ada sebelumnya seperti solar keratosis, kronis radiasi keratosis,
hidrokarbon keratosis, arsenical keratosis, kornu kutanea, penyakit bowen, dan
eritroplasia Queyrat. KSS in situ ini dapat menetap di epidermis dalam jangka
waktu lama dan tak dapat diprediksi, dapat menembus lapisan basal sampai ke
dermis dan selanjutnya bermetastase melalui saluran getah bening regional.
2. KSS invasive
KSS invasive ini dapat berkembang dari KSS in situ dan dapat juga dari kulit
normal, walaupun jarang. KSS invasive yang dini baik yang muncul pada
karsinoma in situ, lesi premaligna atau kulit normal, biasanya adalah berupa nodul
keciol dengan batas yang tidak jelas, berawarna sama dengan warna kulit atau
agak sedikit eritema. Permukaannya mula – mula lembut kemudian berkembang
menjadi verikosa atau papilomatosa. Ulserasi biasanya timbul didekat pusat dari
tumor, dapat terjadi cepat dan lambat, sering sebelum tumor berdiameter 1-2 cm.
permukaan tumor mungkin granular dan mudah berdarah, sedangkan pinggir
ulkus biasanya meninggi dan mengeras. Dapat dijumpai krusta. 38
Gambaran Tumor Risiko Tinggi menurut (NCCN 2012):39
1. Area M ≥10 mm
2. Area H ≥6 mm
3. Poorly defined
4. Rekurensi
5. Imunosupresi
6. Site of prior RT atau proses inflamasi kronis
7. Tumor yang berkembang dengan cepat
8. Gejala neurologi
9. Patologi
a. Moderately or poorly differentiated histology
b. Subtipe akantolitik, adenoskuamosa atau desmoplastic
10. Kedalaman: ≥2 mm atau Clark levels IV,V
11. Keterlibatan perineural atau vaskular
Dikatakan tumor risiko tinggi apabila ada salah satu tanda diatas.
M: “medium” risk -> daerah kening, kulit kepala, pipi, dan leher
H: “High” risk -> wajah bagian tengah, telinga, periaurikular, kelopak mata,
periorbital, hidung, pelipis, dan bibir.39
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis, yaitu :
1 Dermoskopi
Struktur vaskular polimorfik berupa linear ireguler/serpentine, hairpin/looped,
glomerular/coiled dan dotted. Sedangkan struktur keratin berupa white circle, white
pearl/clod central keratin, dan central keratin with blood spot.
Gambar 19. A. Karsinoma sel skuamosa dengan dot dan pembuluh glomerular. B.
KSS dengan hairpin dan pembuluh serpetine39
2 Biopsi
Spesimen diambil pada bagian lesi yang dicurigai infiltrasi lebih dari
superfisial (NCCN kategori 2A). Biopsi kulituntuk pemeriksaan histo – patologis
menunjukan adanya masa sel tumor yang tumbuh ke dermis, terdiri atas sel skuamosa
normal dan atipik. Semakin banyak sel atipik, semakin buruk differensiasi sel. Sel
atipik ini bervariasi bentuk, ukuran, nucleus, hiperplasi, hiperkromasi, jembatan antar
sel menghilang, keratinisasi sel individual dan mitosis atipik.
3. Histopatologi
Pada pemeriksaan harus mencantumkan subtipe perubahan morfologi pada sel,
derajat diferensiasi, dalamnya tumor dalam millimeter, kedalaman invasi, dan
pemeriksaan keterlibatan saraf, vaskular, dan kelenjar getah bening. (NCCN kategori
2A).
4. Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI)
Dilakukan bila terdapat kecurigaan perluasan penyakit pada tulang, saraf
maupun jaringan lunak lain (NCCN kategori 2A).1-5 Pemeriksaan kelenjar getah
bening (NCCN kategori2A).39
Tabel 3. Klasifikasi TNM dari KSS invasif berdasarkan UICC (tanpa termasuk tumor pada
kelopak mata, penis atau vulva).40
Tabel 4. Klasifikasi TNM dari karsinoma sel skuamosa kulit invasif berdasarkan AJCC
(tanpa termasuk tumor pada kelopak mata, penis, atau vulva)41
Stadium klinis ini berpengaruh terhadap kekambuhan karsinoma sel skuamosa kulit
karena pada stadium yang lebih tinggi sudah terjadi metastase pada kelenjar limfe regional
ataupun T dari tumor yang lebih besar atau sudah infiltrasi lebih dalam. Pertumbuhan sel
kanker juga dikarenakan zeta chain TCR (T cell receptor) yang hilang. Makin banyak zeta
chain yang hilang maka makin agresif atau makin tinggi stadiumnya.41
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada sel skuamosa karsinoma adalah keratoankatoma, ulkus atau
granuloma kronik, karsinoma sel basal.
Pengobatan
Pengobatan pilihan untuk SCC invasif mencakup modalitas bedah dan non-bedah.
Pilihan terapi bergantung pada beberapa faktor, seperti lokasi anatomi, faktor risiko
kekambuhan tumor, usia, dan status kesehatan pasien. 45 Klasifikasi TNM, yang
dikembangkan oleh AJCC / IUAC / UICC, yang digunakan untuk semua kanker kulit kecuali
melanoma, tidak cocok untuk SCC, karena tidak dipertimbangkan dalam beberapa kriteria
prognostik yang diidentifikasi dalam literatur. Tujuan utama pengobatan adalah untuk
mengangkat atau menghancurkan tumor sepenuhnya, dengan tetap menjaga fungsi dan
penampilan estetika.
Pembedahan masih merupakan pendekatan standar emas dan dapat dikombinasikan
dengan rekonstruksi plastik, bedah mikro-grafis (MMS) Mohs, elektrodesikasi, atau kuretase.
Pilihan non-bedah untuk cSCC invasif termasuk kemoterapi topikal, pengubah respon imun
topikal, radioterapi, dan kemoterapi sistemik. Yang terakhir biasanya disediakan untuk pasien
dengan lesi metastasis. Pendekatan semacam itu direkomendasikan hanya jika pasien
menolak pembedahan atau pembedahan tidak dapat dilakukan.
1. Operasi
Operasi pengangkatan lengkap dengan kontrol histopatologis dari margin eksisi
merupakan pengobatan lini pertama untuk cSCC. Tujuan utama pembedahan adalah
untuk mendapatkan eksisi tumor yang lengkap dengan tetap mempertahankan fungsi
dan hasil kosmetik yang memuaskan, terutama di area sensitif seperti bibir, suara
bising, telinga, dan lubang alami. Pembedahan juga diindikasikan dengan radiasi
adjuvan untuk mengontrol penyakit regional dengan adanya metastasis nodal dan
invasi periural. Namun, sulit untuk memprediksi risiko pengembangan metastasis
kelenjar getah bening dari cSCC dan data klinis tentang kegunaan biopsi sentinel node
(SNB) masih kurang dalam literatur. Hal ini menyebabkan dokter menjadi tidak yakin
pasien mana yang memerlukan stadium dan prosedur apa yang digunakan dalam
penentuan stadium nodal. Sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui peran SLNB pada pasien dengan cSCC. Sedangkan untuk perawatan
bedah, dua teknik dapat dilakukan: eksisi bedah standar dengan penilaian margin pasca
operasi atau bedah mikrografik dan variannya: teknik MMS dan “Mohs lambat”.
Eksisi standar memungkinkan konfirmasi diagnosis histologis cSCC dan
verifikasi pengangkatan tumor secara menyeluruh. Margin eksisi mengacu pada
jumlah minimal kulit sehat yang melebihi batas yang terlihat dari tumor yang harus
diangkat untuk memastikan pemberantasan tumor lengkap.46 Margin eksisi harus
disesuaikan dengan ukuran klinis dan derajat agresi tumor. Sebuah studi prospektif
yang melibatkan 141 kasus cSCC menunjukkan bahwa margin 4 mm memungkinkan
pengangkatan 95% tumor berisiko rendah sepenuhnya, dengan ukuran
yangberdiameter lebih dari 2 cm.47 Tumor yang lebih besar (> 2 cm) membutuhkan
margin eksisi lebih dari 6 mm. Selain itu, pada tumor dengan faktor prognostik risiko
tinggi, seperti diferensiasi sedang atau buruk, tumor berulang, invasi perineural,
pelebaran jauh ke dalam lemak subkutan, dan / atau lokasi di telinga atau bibir,
direkomendasikan margin lebih dari 6 mm, tergantung dari diameter klinis.48
2. Bedah Terkontrol Secara Mikroskopis (Mohs 'Micrographic Operasi).
Operasi terkontrol secara mikroskopis (MCS) atau operasi mikrografik Mohs
(MMS) diperkenalkan pada paruh pertama abad ke-20 sebagai alternatif untuk eksisi
standar, elektrodesikasi, dan terapi radiasi untuk karsinoma kulit MMS terdiri dari
pengangkatan bagian horizontal serial dari margin tumor, untuk meminimalkan risiko
kekambuhan.49 Tujuan utama MMS adalah untuk mengangkat tumor sepenuhnya
sambil menyisakan jaringan sebanyak mungkin.
Di pertama, tumor diangkat melalui pembedahan dengan margin minimal;
kemudian potongan horizontal tipis (2 mm) dari kulit di sekitarnya ditandai dan
dihilangkan secara topografis dan dianalisis secara histologis dengan cara yang tidak
terduga. Jika margin positif untuk sel tumor, eksisi ulang lokal dilakukan sampai area
tersebut benar-benar bebas tumor.
Tumor irisan diperiksa intraoperatif menggunakan bagian beku (operasi Mohs)
atau pada bagian parafin (operasi "Mohs lambat").Kekurangan MMS terdiri dari durasi
operasi yang lebih lama dan biaya yang lebih tinggi. MMS menunjukkan tingkat
kekambuhan 5 tahun untuk cSCC dibandingkan dengan operasi standar masing-masing
3% versus 8%, dan harus direkomendasikan dalam kasus tertentu:50,51
(i) Pada cSCC risiko tinggi sebagai pengobatan lini pertama.52
(ii) Pada cSCC risiko rendah ketika margin positif setelah eksisi standar
dengan margin 4–6 mm.52
(iii) Ketika eksisi lengkap sulit dicapai.53
(iv) Dalam kasus risiko tinggi kambuh
(v) Untuk cSCCs terlokalisasi di situs sensitif seperti daerah wajah pusat
dan daerah periorificial, hidung dan bibir.53
(vi) Dalam kasus di mana eksisi bedah dapat menyebabkan gangguan
fungsi.54
(vii) Pada tumor dengan pola pertumbuhan histologis yang agresif.55
3. Radioterapi.
Radioterapi didasarkan pada pemberian radiasi pengion untuk pengobatan
kanker kulit melalui dua teknik yang berbeda: radioterapi eksternal dan terapi
antialergi (brachytherapy).
Radioterapi eksternal menggunakan sinar-X superfisial atau dalam, sinar
gamma (telecobalt), atau berkas elektron (akselerator linier). 56 Regimen yang berbeda
telah digunakan sampai saat ini, yang bervariasi dalam hal durasi, fraksinasi, dan dosis
total yang diberikan.57 NCCN merekomendasikan algoritme yang terdiri dari dosis
total 45–50 Gy dalam fraksi 2.5–3 Gy untuk SCC dengan diameter <2 cm dan 60–66
Gy dalam fraksi 2 Gy atau 50–60 Gy dalam fraksi 2.5 Gy untuk tumor > 2 cm. 58
Bidang radiasi melibatkan tumor dan batas keamanan 1–1,5 cm dari kulit di
sekitarnya.
Radioterapi direkomendasikan untuk cSCC dalam kasus-kasus berikut:
(i) Itu direkomendasikan sebagai alternatif untuk operasi ketika pasien
menolak operasi atau kondisi pasien mengkonstruksikan operasi.59
(ii) Itu direkomendasikan sebagai pengobatan utama untuk SCC yang tidak
dapat dioperasi atau dalam pengaturan adjuvan.59,60
(iii) Itu dianjurkan untuk pasien yang lemah yang tidak dapat mentolerir
pembedahan ekstensif.
(iv) Itu dianjurkan bila eksisi bedah akan sangat melukai.
(v) Pada cSCC rekuren, radioterapi harus dianggap sebagai terapi adjuvan
untuk meningkatkan pengendalian tumor.
(vi) Itu dianjurkan dalam penanganan metastasis.
(vii) Itu dianjurkan bila tepi jaringan tidak bebas tumor setelah eksisi bedah.
(viii) Pembantu radioterapi harus direkomendasikan pada semua pasien yang
terkena SCC agresif dengan invasi perineural dan untuk individu yang
telah menjalani diseksi kelenjar getah bening dengan penyakit nodal di
daerah kepala dan leher.58
(ix) Itu direkomendasikan dalam kasus SCC yang melibatkan situs
bermasalah seperti wajah atau tangan.
(x) Akhirnya, radioterapi harus dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami imunosupresi.
Radioterapi tidak dianjurkan pada SCC verukosa,61 pada pasien dengan
genodermatosis yang merupakan predisposisi kanker kulit seperti xeroderma
pigmentosum atau sindrom Gorlin-Goltz, dan pada pasien dengan penyakit jaringan
ikat (misalnya, sklerosis sistemik).
Radioterapi merupakan kontraindikasi pada kulit yang rusak karena sinar
matahari dan pada area yang sebelumnya diradiasi, untuk cSCC yang terlokalisasi di
tempat yang mengalami vaskularisasi atau trauma yang buruk dan untuk lesi lanjut
yang menyerang tulang, sendi, atau tendon.59
Efek samping akut dan kronis (radiodermatitis) umumnya terkait dengan
pemberian radioterapi, yang terakhir termasuk perubahan pigmen, atrofi, rambut
rontok, fibrosis, limfedema, dan telangiektasia. Insidennya tergantung pada area yang
dirawat dan rejimen radioterapi yang diberikan; jadwal hiperfraksionasi biasanya
dikaitkan dengan kejadian lebih rendah dari efek samping terlambat dan
sebaliknya.62,63
4. Cryosurgery
Cryosurgery didasarkan pada aplikasi nitrogen cair pada suhu -196,5°C untuk
menghancurkan sel tumor melalui efek langsung dari pembekuan dan stasis vascular.
Kerusakan jaringan tergantung pada pembentukan kristal intraseluler dan ekstraseluler.
Untuk cSCC, pendinginan cepat lebih disukai karena mengarah pada pembentukan
kristal intraseluler yang lebih cepat yang menghasilkan kerusakan sel tumor yang lebih
baik.
Setelah pengobatan, pasien mungkin menunjukkan vesikulasi, eritema,
eksudasi, dan edema, tetapi setelah periode 4-6 minggu area yang rusak biasanya
sembuh tanpa gejala sisa. Hipopigmentasi adalah efek samping utama cryosurgery
akibat kerusakan melanosit selama pembekuan.
Metode ini direkomendasikan untuk merawat cSCC dengan batas yang jelas
pada pasien lanjut usia dan penyandang disabilitas.
5. Kuretase dan Elektrodesikasi
Kuretase dan elektrodesikasi adalah teknik destruktif yang sering digunakan
untuk menangani cSCC risiko rendah superfisial pada badan dan ekstremitas, yaitu
bentuk yang sangat berbeda. Ini lebih disukai pada orang tua. Setelah anestesi lokal,
jaringan tumor yang rapuh dikikis dengan kuretase dan kemudian area tersebut
dielektrodesik untuk menyebabkan nekrosis sel sisa.
Untuk lesi superfisial, satu siklus sudah cukup. Area tersebut kemudian
sembuh dengan niat kedua, yang biasanya menghasilkan bekas luka bundar merah
muda sampai putih. Serupa dengan cryosurgery, pendekatan ini tidak mengizinkan
pemeriksaan histologis dan tidak direkomendasikan untuk tumor berisiko tinggi, lesi
dengan diameter lebih dari 2 cm, atau tumor rekuren.64
6. Kemoterapi
a. Kemoterapi
Capecitabine adalah prodrug oral 5-FU yang dapat menjadi pengganti infusional 5-
FU.65,66
a. Kemoterapi Intravena. Kemoterapi intravena dapat digunakan untuk SCC pada
pasien dengan metastasis jauh, bila pembedahan dan radioterapi gagal atau bila
pengobatan ini merupakan kontraindikasi. Senyawa platinum mewakili pilihan
standar; selain itu mereka telah dikombinasikan dengan paclitaxel, 5-FU, dan
adriamycin.67-69
7. Pengobatan Alternatif Lain
a. Herbacetin.
Herbacetin adalah senyawa flavonol yang ditemukan pada tumbuhan; Ia
memiliki kapasitas antioksidan yang kuat dan memberikan efek antikanker
pada usus besar dan kanker payudara. Baru-baru ini penelitian in vivo dan in
vitro tentang pertumbuhan sel cSCC dan melanoma telah dilakukan untuk
mengidentifikasi herbacetin sebagai homolog onkogen virus (AKT) murine
thymoma ganda dan inhibitor ornithine dekarboksilase (ODC). Untuk
mengevaluasi efek herbacetin pada viabilitas sel, dilakukan pada sel kulit
normal N / TERT dengan herbacetin. Hasil menunjukkan bahwa herbacetin
(konsentrasi 50 μM) memiliki sedikit pengaruh pada viabilitas sel N / TERT.
Untuk menguji efek herbacetin pada pertumbuhan sel yang diinduksi TPA, sel
JB6 diobati bersama dengan herbacetin dan TPA selama 48 jam. Hasil
menunjukkan bahwa herbacetin secara signifikan menekan pertumbuhan sel
yang diinduksi TPA serta SCC kutukan dan pertumbuhan sel melanoma.
Selain itu, untuk menentukan efek herbacetin pada transformasi sel neoplastik
yang diinduksi TPA, sel-sel dirawat bersama dengan TPA dan herbacetin dan
hasilnya menunjukkan bahwa herbacetin secara nyata menekan transformasi
neoplastik yang diinduksi TPA dari sel epidermis JB6. Selain itu, herbacetin
sangat menghambat pertumbuhan sel yang tidak bergantung pada usia pada sel
SCC atau melanoma kulit. Sel diobati dengan herbacetin selama 3 jam dan
ekspresi proteinnya dianalisis dengan Western blotting. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa herbacetin menekan fosforilasi GSK3β, tetapi tidak
mempengaruhi fosforilasi ERK dan ekspresi protein ODC. Selain itu,
ditentukan apakah aktivitas ODC diatur oleh herbacetin dalam sel SCC atau
melanoma kulit. Hasil menunjukkan herbacetin itu secara signifikan
menghambat aktivitas ODC. Selanjutnya, sel-sel tersebut diobati dengan
herbacetin selama 48 jam untuk menentukan pengaruhnya terhadap aktivitas
reporter AP1 atau NF-κB. Kedua aktivitas reporter secara signifikan dihambat
oleh pengobatan herbacetin di SCC kulit dan sel melanoma.70
b. Wol Hidrolisat.
Sebuah studi baru-baru ini menyoroti sifat bioaktif hidrolisat wol pada sel
cSCC, yang mengurangi jumlahnya. Penulis penelitian berhipotesis bahwa wol
hidrolisat mungkin merupakan agen yang menjanjikan untuk digunakan secara
topikal untuk pengobatan keratinosit yang berubah pada keratosis aktinik dan
kanker kulit skuamosa invasif pada manusia.Keratin adalah protein yang keras
dan berserat, menjadi komponen utama rambut, bulu, kuku, wol, tanduk
mamalia, reptil dan burung, dan merupakan polimer ketiga yang paling
melimpah di lingkungan setelah selulosa dan kitin. Keratin memiliki sifat
biodegradabilitas dan biokompatibilitas yang unik dan tidak beracun. Keratin
juga dapat dimodifikasi dan dikembangkan dalam berbagai bentuk seperti gel,
film, butiran dan partikel nano / mikro. Terdapat dua jenis protein keratin yaitu
α keratin dan β keratin. α keratin adalah golongan keratin yang menyusun
rambut sedangkan β keratin adalah golongan keratin yang mendominasi kuku,
tanduk, cakar pada reptil dan paruh pada burung. Keratin adalah serat yang
dapat diisolasi dari wol menjadi protein hidrolisat yang digunakan untuk
berbagai aditif dalam beberapa jenis kosmetik. Ada beberapa metode yang
dapat diaplikasikan untuk membuat hidrolisat keratin, antara lain
menggunakan basa NaOH, KOH, dan Ca(OH)2. Keratin juga dapat
dihidrolisis menggunakan 7M urea, 6 gr SDS dan 15 ml 2- mercaptoethanol
dalam 300 ml wadah, diproses dengan orbital shaker suhu 600C selama 12
jam, menggunakan 0,5 mol/L larutan sodium sulfide (Na2S) dan 0,165 mol/L
larutan L-cystein, bulu domba dapat dihidrolisis menggunakan 0,5M NaOH
dan H2O2 sedangkan menghidrolisis bulu domba menggunakan kombinasi
Ca(OH)2 dan enzim protease. Untuk mendapatkan hidrolisat keratin dengan
proses yang ramah lingkungan dan dengan menggunakan bahan yang mudah
didapat, maka dilakukan hidrolisis menggunakan basa (NaOH) dan enzim
protease. Enzim protease yang digunakan adalah enzim yang biasa dipakai
dalam proses bating/pengikisan protein dalam proses penyamakan kulit.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengatasi masalah limbah padat
industri penyamakan kulit dan mengubahnya menjadi barang yang bernilai.
Dalam penelitian akan dilihat pengaruh konsentrasi enzim terhadap kadar
protein, kadar air, kadar sulfur, gugus fungsi FTIR dan karakteristik thermal
dari hidrolisat keratin.71
Daftar Pustaka
1. Bolognia J, Schaffer JV, Cerroni L.Pathogensis BCC. Dermatology. 3rd ed. Vol. 1.
China: Elsevier; 2018.hal.1767-69.
2. Tanese K, Nakamura Y, Hirai I, Funakoshi T. Updates on the Systemic Treatment of
Advanced Non-melanoma Skin Cancer. Frontiers in Medicine. 2019;[Cited 10 July
2019] 6. Available from https://doi.org/10.3389/fmed.2019.00160.
3. Fahradyan A, Howell A, Wolfswinkel E, Tsuha M, Sheth P, Wong A. Updates on the
Management of Non-Melanoma Skin Cancer (NMSC). Healthcare. 2017[Cited 1
November 2017] 5(4):82. Available from doi:10.3390/healthcare5040082.
4. Didona D, Paolino G, Bottoni U, Cantisani C. Non-Melanoma Skin Cancer
Pathogenesis Overview. Biomedicines. 2018 [Cited 2 Jannuary 2018];6(1):6.
Available from doi:10.3390/biomedicines6010006.
5. Khazaei Z., Ghorat F., Jarrahi A. M., Adineh H. A., Sohrabivafa M., Goodarzi E.
Global incidence and mortality of skin cancer by histological subtype and its
relationship with the human development index (HDI); an ecology study in 2018.
WCRJ 2019[Cited 17 Apr 2019]; 6: e1265. Available from doi:
10.32113/wcrj_20194_1265.
6. Cancer today [Internet]. Global Cancer Observatory. [dikunjungi 14 Agustus 2020].
Diambil dari: http://gco.iarc.fr/today
7. Wibawa LP, Andardewi MF, Krisanti IA, Arisanty R. The epidemiology of skin
cancer at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital from 2014 to
2017. Journal of General-Procedural Dermatology & Venereology Indonesia.
2019;4(1):11–6. Available from http://dx.doi.org/10.19100/jdvi.v4i1.162 .
8. Samarasinghe V, Madan V, Lear JT. Focus on Basal Cell Carcinoma. Journal of Skin
Cancer. 2011[Cited 24 October 2010]; 2011:1–5. Available from
https://doi.org/10.1155/2011/328615.
9. Peris K, Fargnoli MC, Garbe C, Kaufmann R, Bastholt L, Seguin NB, et al. Diagnosis
and treatment of basal cell carcinoma: European consensus–based interdisciplinary
guidelines. European Journal of Cancer. 2019[Cited 6 July 2019]; 118:10–34.
Available from https://doi.org/10.1016/j.ejca.2019.06.003.
10. Marks JG, Miller JJ. Lookingbill and Marks' principles of dermatology. Philadelphia:
Elsevier; 2019. hal. 44-47
11. C.Herman, A.SD.Suriadiredja. Tumor kulit. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. In:
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2016. hal. 262-76.
12. Kang S., Neoplasia.Fitzpatrick’s dermatology. 8th ed.New York: McGraw-Hill
Education; 2012. hal.1294-98
13. Miryana W, Reza NR, dkk. Gambaran histopatologi karsinoma sel basal. MDVI.
2013;40(3):138-144. Last update: November 2018. Diakses pada 13 Agustus 2020.
Diambil dari: http://www.perdoski.or.id/doc/mdvi/fulltext/28/179/138-144.pdf
14. Pramuningtyas R, Mawardi P. Gejala klinis sebagai prediktor pada karsinoma sel
basal. Biomedika. 2012;4(1):35. Last update: Februari 2012. Diakses pada 13 Agustus
2020. Diambil dari:
https://www.researchgate.net/publication/331404365_GEJALA_KLINIS_SEBAGAI_PREDI
KTOR_PADA_KARSINOMA_SEL_BASAL
15. Lily L, Durry LM. Basalioma. Jurnal Biomedik (JBM). 2013;5(3):S21-26. Last
update: November 2013. Diakses pada 13 Agustus 2020. Diambil dari:
https://docplayer.info/41618524-Basalioma-lily-l-loho-meilany-f-durry.html
16. Fakhrosa I, Sutedja EK, dkk. Tinjauan pustaka: manifestasi klinis dan gambaran
dermoskopi pada karsinoma sel basal. MEDIKA. 2018;8(2):55-65. Last update: Maret
2018. Diakses pada 13 Agustus 2020. Diambil dari:
https://www.semanticscholar.org/paper/Tinjauan-Pustaka%3A-Manifestasi-Klinis-dan-
Gambaran-Fakhrosa-Sutedja/3ca25a8809f798142fc55dd6d855ba54a0bf7e68
17. Carucci JA, Leffell DJ, Pettersen JS. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick`s Dermatology In General Medicine.
Edisi ke lapan; Amerika Serikat: 2012. h.1298-1302.
18. Leslak A. Czuwara J, Kaminska-Wnclorek G, Kiprian D, Maj J, Owczarek W et al.
Basal cell carcinoma. Diagnostic and therapeutic recommendations of the polish
dermatological society. Dermatol Rev. 2019; 106: 107-126.
19. Chren MM, Linos E, Torres JS, Stuart S,Parvataneni R, Boscardin WJ. Tumor
recurrence 5 years after treatment of cutaneous basal cell carcinoma and squamous
cell carcinoma. Journal of Investigative Dermatology. 2013; 133: 1188-1196
20. Tokachjov SN, Brodland DG, Coldiron BM, Fazio MJ, Hruza GJ, Roenigk RK et al.
Understanding mohs micrographic surgery: a review and practical guide for the
nondermatologist. Mayo Clinic Proc. 2017; 92(8): 1261-1271
21. Madan V, Lear JT, Szeimies RM. Non-melanoma skin cancer. Lancet. 2010; 375:
673-685.
22. Witmanowski H, Lewandowicz E, Sobieszek D, Rykala J, Luczkowska M. Facial skin
cancers: general information and an overview of treatment methods. Postep Derm
Alergol. 2012; 29 (4): 240-255.
23. Reuter J, Merrfort I, Schempp CM. Botanicals in dermatology an evidence based
review. Am J Clin Dermatol. 2010; 11 (4):247-267
24. Millsop JW, Sivamani RK, Fazel N. Review article botanical agents for the treatment
of nonmelanoma skin cancer. Hindawi Publishing Corporation Dermatology Research
and Practice. 2013: 1-9
25. Cozzi SJ, Ogbourne SM, James C, Rebel HG, de Gruji FR, Ferguson B, et al. Ingenol
mebutate field-directed treatment of uvb-damaged skin reduces lesion formation and
removes mutant p53 patches. The Society for Investigate Dermatology. 2012; 132:
1263–1271.
26. Bettencourt MS. Treatment of superficial basal cell carcinoma with ingenol mebutate
gel, 0.05%. Clinical, Cosmetic and Investigational Dermatology. 2016; 9: 205–209.
27. Euphoria Peplus. (Diunduh pada 20 Agustus 2020) Didapat dari: URL:
https://plants.ces.ncsu.edu/plants/euphorbia-peplus-l/
28. Li JY, Kampp JT. Review of common alternative herbal “remedies” for skin cancer.
The American Society for Dermatology Surgery. 2018; 45: 58-67
29. Zimmerman C. Herbs for low-risk skin cancers and precancers. Mary Ann Liebert,
Inc. 2019; 25 (3): 162-66
30. St. John's Wort (Hypericum perforatum). (Diunduh pada 20 Agustus 2020) DIdapat
dari : URL: https://www.taprootnurseryky.com/medicinal-plants/st-johnswort-hypericum-
perforatum
31. Nichols JA, Katiyar SK. Skin photoprotection by natural polyphenols: anti-
inflammatory, antioxidant and DNA repair mechanisms. Arch Dermatol Res. 2010;
302: 71-83.
32. George J, Songh M, Srivasta AK, Bhui K, Roy P, Kumar P et al. Resveratrol and
black tea polyphenol combination synergistically suppress mouse skin tumors growth
by inhibition of activated mapks and p53. Plos One. 2011; 6 (8): 1-12
33. Camellia sinensis. (Diunduh pada 20 Agustus 2020) Didapat dari: URL:
https://id.wikipedia.org/wiki/Camellia_sinensis
34. Bharadwaj R. Das PJ. Pal P, Mazumer B. Topical delivery of paclitaxel for treatment
of skin cancer. Drug Development and Industrial Pharmacy. 2016; 42 (9): 1482-1494
35. Taxus brevifolia. (Diunduh pada 20 Agustus 2020) Didapat dari: URL:
https://ngoosen.fotki.com/taxaceae/taxus/taxus-brevifolia.html
36. Widiawaty, A., Rihatmadja, R., & Djurzan, A. Metode Pemeriksaan pada Sistem
TNM untuk Karsinoma Sel Skuamosa Kulit. Jurnal Ilmu Kedokteran. 2017;10(1):5-
16.
37. Kallini, J. R., Hamed, N., & Khachemoune, A. (2015). Squamous cell carcinoma of
the skin: epidemiology, classification, management, and novel trends. International
journal of dermatology, 54(2), 130-140.
38. Partogi D. Karsinoma Sel Skuamosa. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK.USU/RSUP H. Adam Malik RS.Pirngadi.
Medan.2008.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3431/1/08E00856.pdf .
Dikunjungi 18 Agustus 2020
39. Widaty,S. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan kelamin Indonesia (PERDOSKI).2017.
“Panduan Praktik Klinis: Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia”.
https://www.perdoski.id/uploads/original/2017/10/PPKPERDOSKI2017.pdf . dikunjungi 14
Agustus 2020
40. Edge SB, Byrd DR, Compton CC, et al. AJCC cancer staging manual. 7 ed. New
York, Dordrecht: Heidelberg, London, Springer; 2009.
41. Metchnikoff C, Mully T, Singer JP, Golden JA, Arron ST. The 7th edition AJCC
staging system for cutaneous squamous cell carcinoma accurately predicts risk of
recurrence for heart and lung transplant recipients. J Am Acad Dermatol
2012;67:829–35.
42. Jambusaria-Pahlajani A, Kanetsky PA, Karia PS, et al. Evaluation of AJCC tumor
staging for cutaneous squamous cell carcinoma and a proposed alternative tumor
staging system. JAMA Dermatol 2013;149:402–10.
43. Jank S, Robatscher P, Emshoff R, Strobl H, Gojer G, Norer B. The diagnostic value
of ultrasonography to detect occult lymph node involvement at different levels in
patients with squamous cell carcinoma in the maxillofacial region. Int J Oral
Maxillofac Surg 2003;32:39–42.
44. J.-C. Martinez and C. C. Otley, “The management of melanoma and nonmelanoma
skin cancer: a review for the primary care physician,” Mayo Clinic Proceedings.
2001;76(12):1253– 1265.
45. I. Ahmed, J. Berth-Jones, S. Charles-Holmes, C. J. O’Callaghan, and A. Ilchyshyn,
“Comparison of cryotherapy with curettage in the treatment of Bowen’s disease: a
prospective study,” British Journal of Dermatology. 2000;143(4):759–766.
46. D. G. Brodland and J. A. Zitelli, “Surgical margins for excision of primary cutaneous
squamous cell carcinoma,” Journal of the American Academy of Dermatology.
1992;27(2):241– 248.
47. H. Breuninger, T. Eigentler, and F. Bootz, “Brief guidelines— cutaneous squamous
cell carcinoma,” Journal of the German Society of Dermatology.2012. hal.10.
48. J. A. Neville, E. Welch, and D. J. Leffell, “Management of non- melanoma skin
cancer in 2007,” Nature Clinical Practice Oncology. 2007;4(8): 462–469.
49. M. R. T. M. Thissen, M. H. A. Neumann, and L. J. Schouten, “A systematic review of
treatment modalities for primary basal cell carcinomas,” JAMA Dermatology.
1999;135(10):1177–118.
50. T. H. Nguyen and D. Q.-D. Ho, “Nonmelanoma skin cancer,” Current Treatment
Options in Oncology. 2002;3(3):193-203.
51. National Comprehensive Cancer Network, “Clinical practice guidelines in oncology.
Basal cell and squamous cellskin can- cers,
http://www.nccn.org/professionals/physician gls/f guide- lines.asp.
52. Non melanoma skin cancer: guidelines for treatment and management in Australia.
Clinical practice Guidelines, National Healt medical research Council, Camberra,
Australia, 2002, https://www.nhmrc.gov.au/guidelines-publications/re- scinded-
guidelines.
53. R. Motley, P. Kersey, and C. Lawrence, “Multiprofessional guide- lines for the
management of the patient with primary cutaneous squamous cell carcinoma,” British
Journal of Dermatology. 2002;146(1):18–25.
54. H. W. Randle, “Basal cell carcinoma: Identification and treat- ment of the high-risk
patient,” Dermatologic Surgery. 1996;22(3):255–261.
55. J. J. Bonerandi, C. Beauvillain, L. Caquant et al., “Guidelines for the diagnosis and
treatment of cutaneous squamous cell carcinoma and precursor lesions,” Journal of
the European Academy of Dermatology and Venereology. 2011;25(5):1– 51.
56. R. Pampena, T. Palmieri, A. Kyrgidis et al., “Orthovoltage radio- therapy for
nonmelanoma skin cancer (NMSC): comparison between 2 different schedules,”
Journal of the American Acad- emy of Dermatology. 2016;74(2):341–347.
57. Basal cell and squamous cell skin cancers. NCCN clinical practice guidelines in
oncology (NCCN Guidelines) Version. [diakses pada 14 Agustus 2020]. Diambil dari:
http://www.nccn.org/professionals/physician gls/f guide- lines.asp.
58. L. Lansbury, F. Bath-Hextall, W. Perkins, W. Stanton, and J. Leonardi-Bee,
“Interventions for non-metastatic squamous cell carcinoma of the skin: systematic
review and pooled analysis of observational studies,” BMJ. 2013:347(article f6153).
59. M. J. Veness, “The important role of radiotherapy in patients with non-melanoma skin
cancer and other cutaneous entities,” Journal of Medical Imaging and Radiation
Oncology.2008;52(3):278–286.
60. E. Rio, E. Bardet, C. Ferron et al., “Interstitial brachytherapy of periorificial skin
carcinomas of the face: a retrospective study of 97 cases,” International Journal of
Radiation Oncology Biology Physics.2005;63(3):753–757.
61. N. Voss and C. Kim-Sing, “Radiotherapy in the treatment of dermatologic
malignancies,” Dermatologic Clinics. 1998;16(2):313–320.
62. M. K. Silverman, A. W. Kopf, A. H. Gladstein, R. S. Bart, C. M. Grin, and M. J.
Levenstein, “Recurrence rates of treated basal cell carcinomas: part 4: X-ray therapy,”
The Journal of Dermato- logic Surgery and Oncology. 1992;18(7):549–554.
63. K. P. An and D. Ratner, “Surgical management of cutaneous malignancies,” Clinics
in Dermatology. 2001;19(3):305– 320.
64. S. C. R. Oliveira, C. M. V. Moniz, R. Riechelmann et al., “Phase II study of
capecitabine in substitution of 5-FU in the chemora- diotherapy regimen for patients
with localized squamous cell carcinoma of the anal canal,” Journal of Gastrointestinal
Cancer. 2016(47)1:75–81.
65. B. Endrizzi, R. L. Ahmed, T. Ray, A. Dudek, and P. Lee, “Capecitabine to reduce
nonmelanoma skin carcinoma burden in solid organ transplant recipients,”
Dermatologic Surgery.2013;39(4):634–645.
66. K. G. Lewis, M. D. Lewis, L. Robinson-Bostom, and T. D. Pan, “Inflammation of
actinic keratoses during capecitabine therapy,” JAMA Dermatology.
2004;140(3):367-368.
67. A. D. Colevas, S. Adak, P. C. Amrein, J. J. Barton, R. Costello, and M. R. Posner, “A
phase II trial of palliative docetaxel plus 5-fluorouracil for squamous-cell cancer of
the head and neck,” Annals of Oncology. 2000;11(5):535–539.
68. P. M. Hoff, R. Ansari, G. Batist et al., “Comparison of oral capecitabine versus
intravenous fluorouracil plus leucovorin as first-line treatment in 605 patients with
metastatic colorectal cancer: results of a randomized phase III study,” Journal of
Clinical Oncology. 2001;19(8):2282–2292.
69. E. W. Rudnick, S. Thareja, and B. Cherpelis, “Oral therapy for nonmelanoma skin
cancer in patients with advanced disease and large tumor burden: a review of the
literature with focus on a new generation of targeted therapies,” International Journal
of Dermatology. 2016;55(3):249–258.
70. Kim DJ, Lee MH, Liu K, et al. Herbacetin suppresses cutaneous squamous cell
carcinoma and melanoma cell growth by targeting AKT and ODC. Carcinogenesis.
2017;38(11):1136-1146.
71. Rahmawati, D., dan Griyanitasari, G. Produksi Hidrolisat Keratin dari Bulu Domba
Limbah Industri Penyamakan Kulit Menggunakan Kombinasi Basa dan Enzim.
IPTEK Journal of Proceedings Series. 2019;4:32.
72. Naritasari F., Susanto H., Supriatno. Pengaruh konsentrasi ekstrak etanol bonggol
nanas (ananas comosus (l.) merr) terhadap apoptosis karsinoma sel skuamosa lidah
manusia. Majalah Obat Tradisional. 2010;15(1):16–25.