Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN 

PERILAKU KEKERASAN

A.    PENGERTIAN
  Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain, maupun lingkungan (fitria, 2009).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya
tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun
orang lain (Yoseph, 2007). Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi
mengakibatkan seseorang stress berat, membuat orang marah bahkan kehilangan
kontrol kesadaran diri, misalkan: memaki-maki orang disekitarnya, membanting-
banting barang, menciderai diri dan orang lain, bahkan membakar rumah.
Jadi, perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan baik bagi dirinya sendiri, orang lain maupun
lingkungan.

B.   PENYEBAB
1.    Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan seperti
biologik, psikologi, dan sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996
dalam Purba dkk, 2008) adalah:
a. Biologik
Biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
1)   Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:
sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga
mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls

1
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan
memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan
atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada
lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan
pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari
sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
2)   Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau
flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap
stress.
3)   Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku
agresif dengan genetik karyotype XYY.
4)   Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif
dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem
limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan
serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus
temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
b.  Psikologik
1)   Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan

2
memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan  perilaku
kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2)   Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya
orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal
tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun,
dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola
perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih
kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka
dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah
dewasa.
c.   Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial
terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima
perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat
juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari
bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif.
Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk
perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan
dalam hidup individu.

2.   Faktor Presipitasi


Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan (Yosep, 2009):
a.    Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal
dan sebagainya.
b.   Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.

3
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d.   Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e.    Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
f.     Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap.

C.    RENTANG RESPONS MARAH


Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal
adaptif. Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut : (Keliat,
1997).

Respon kemarahan dapat berfluktusi dalam rentang adaptif-maladaptif.

Respon adaftif Respon maladaptif

Asertif Frustasi pasif Agresif Amuk

1. Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan


orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
2.   Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
3. Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang dialami.

4
4. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak
orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk
mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama
dari orang lain
5. Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain.

D.    TANDA DAN GEJALA


Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku
kekerasan adalah sebagai berikut:
1.      Fisik
a.  Muka merah dan tegang
b.  Mata melotot/ pandangan tajam
c.  Tangan mengepal
d.  Rahang mengatup
e.  Postur tubuh kaku
f.  Jalan mondar-mandir
2.      Verbal
a.   Bicara kasar
b.   Suara tinggi, membentak atau berteriak
c.   Mengancam secara verbal atau fisik
d.   Mengumpat dengan kata-kata kotor
e.   Suara keras
f.    Ketus
3.      Perilaku
a.   Melempar atau memukul benda/orang lain
b.   Menyerang orang lain
c.    Melukai diri sendiri/orang lain
d.    Merusak lingkungan

5
e.     Amuk/agresif
4.   Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
5.   Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6.    Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7.    Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8.   Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

E.     AKIBAT DARI PERILAKU KEKERASAN


Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan
suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang
lain dan lingkungan.

F.     PROSES MARAH


Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang
harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan
yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan
dapat menimbulkan kemarahan. Berikut ini digambarkan proses kemarahan :
(Beck, Rawlins, Williams, 1986, dalam Keliat, 1996)

 Melihat gambar di atas bahwa respon terhadap marah dapat diungkapkan


melalui 3 cara yaitu : Mengungkapkan secara verbal, menekan, dan

6
menantang. Dari ketiga cara ini cara yang pertama adalah konstruktif
sedang dua cara yang lain adalah destruktif.
 Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa
bermusuhan, dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan
dapat diekspresikan pada diri sendiri dan lingkungan dan akan tampak
sebagai depresi dan psikomatik atau agresif dan ngamuk.

G.    PERILAKU
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :

a) Menyerang atau menghindar (fight of flight)

Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom
beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah
meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat,
peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat,
konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti
rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang
cepat.

b) Menyatakan secara asertif (assertiveness)

Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan


kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif
adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat
mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik
maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk
pengembangan diri klien.
c) Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out”
untuk menarik perhatian orang lain.

7
H.    MEKANISME KOPING
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri. (Stuart dan
Sundeen, 1998).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena
adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah
untuk melindungi diri antara lain : (Maramis, 1998).

 Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata


masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan
kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi
ketegangan akibat rasa marah.
 Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya.

 Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk


ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang
tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan
yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal
yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.

 Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan,


dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan

8
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.

 Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan,


pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena
ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di
dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.

   KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1.      Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data, klasifikasi data,
analisa data, dan perumusan masalah atau kebutuhan klien atau diagnosa
keperawatan.
Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
a. Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi
terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi,
muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang
sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot
seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini
disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
b. Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel,
frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan
sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
c. Aspek intelektual

9
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses
intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu
pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi
penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan
diintegrasikan.
d. Aspek social
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan.
Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali
menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga
orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang
berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu
sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
e. Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa
tidak berdosa.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji
individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual, sosial
dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut :
1. Aspek fisik terdiri dari : muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan
cepat, berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat.
2. Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel.
3. Aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
4. Aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.

Klasifiaksi data
Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2 macam
yaitu data subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah data yang
disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga. Data ini didapatkan melalui

10
wawancara perawat dengan klien dan keluarga. Sedangkan data obyektif yang
ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui obsevasi atau pemeriksaan
langsung oleh perawat.
Analisa data
Dengan melihat data subyektif dan data objektif dapat menentukan permasalahan
yang dihadapi klien dan dengan memperhatikan pohon masalah dapat diketahui
penyebab sampai pada efek dari masalah tersebut. Dari hasil analisa data inilah
dapat ditentukan diagnosa keperawatan.
Pohon masalah

2.      Diagnosa Keperawatan


“Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual
dan potensial dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan
sebagai proses kehidupan” (Carpenito, 2000). Adapun kemungkinan diagnosa
keperawatan pada klien marah dengan masalah utama perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut :
a. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan
perilaku kekerasan.
b. Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
c. Gangguan konsep diri: haga diri rendah

11
12
DAFTAR PUSTAKA

Dadang Hawari, 2001, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Schizofrenia, FKUI;
Jakarta.
Depkes RI, 1996, Direktorat Jendral Pelayanan Medik Direktorat Pelayanan Keperawatan,
2000, Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan, Jakarta.
Depkes RI, 1996, Proses Keperawatan Jiwa, jilid I.
Keliat Budi Anna, dkk, 1998, Pusat Keperawatan Kesehatan Jiwa, penerbit buku kedokteran
EGC : Jakarta.
Keliat Budi Anna, 1996, Marah Akibat Penyakit yang Diderita, penerbit buku kedokteran
EGC ; Jakarta.
Keliat Budi Anna, 2002, Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan, FIK, UI : Jakarta.
Rasmun, 2001, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga,
Edisi 1, CV. Agung Seto; Jakarta.
Stuart, GW dan Sundeen, S.J, 1998, Buku Saku Keperawatan Jiwa, edisi 3, Penerbit : Buku
Kedokteran EGC ; Jakarta.
Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC ; Jakarta.
WF Maramis, 1998, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, penerbit : Buku Kedokteran EGC ;
Jakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai