FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI
Disusun Oleh:
apt. FX. Sulistyanto, M.Si.
apt. Novi Elisa, M.Farm
apt. Ika Puspitaningrum, M.Sc.
apt. A.A. Hesti W.S., M.Si. Med.
apt. Arik Dian Eka P., M.Si.
apt. Yustisia Advistasari, M.Sc.
apt. Dhimas Adhityasmara, M.Farm
apt. Ebta Narasukma, M.Sc
apt. Wahyu Setyaningrum, S.Farm
Venty Olivia, A.Md.
.
(Gambar : Pemberian obat secara intravena)
Volume penyuntikan untuk mencit yang umum adalah : 1 ml/100 gram bobot
badan. Kepekaan larutan obat yang disuntikkan disesuaikan dengan volume yang
dapat disuntikkan tersebut.
Anestesi
Senyawa-senyawa yang dapat digunakan adalah:
1.2.3 Kelinci
Kelinci jarang sekali bersuara, hanya dalam keadaan nyeri luar biasa ia
bersuara. Kelinci pada umumnya cenderung untuk berontak apabila merasa
keadaannya terganggu. Suhu rectal pada kelinci sehat adalah antara 38,5o-40oC,
pada umumnya 13,5oC. Suhu rektal ini berubah apabila hewan tersebut tereksitasi,
ataupun karena gangguan lingkungan. Laju respirasi kelinci dewasa normal adalah
38-65 per menit, pada umumnya 50 (pada kelinci muda laju ini dipercepat, dan
pada kelinci bayi bias mencapai 100 per menit).
Cara Memperlakukan Kelinci
Kelinci harus diperlakukan dengan halus namun sigap, karena ia cenderung untuk
berontak. Menangkap atau membalikkan kelinci jangan dengan mengangkat pada
telinganya. Untuk menangkapnya, kulit pada leher kelinci dipegang dengan
tangan kiri, pantatnya diangkat dengan tangan kanan . Kemudian didekap ke
tubuh.
Mengorbankan Kelinci
Ada beberapa cara yang dapat digunakan:
a. Dengan menggunakan karbon dioksida.
b. Dengan injeksi pentobarbital natrium 300 mg secara intravena.
c. Dengan cara dislokasi leher:
- Pegang kaki belakang kelinci dengan tangan kiri sehingga badan dan
kepalanya tergantung ke bawah, menghadap ke kiri. Dengan jari-jari
tangan kanan dikeraskan, pukulkanlah sisi telapak tangan kanan dengan
keras pada tengkuk kelinci Selain tangan dapat juga digunakan alat, seperti
tongkat.
- Tempatkan kelinci di sebuah meja. Dengan tangan kiri angkat badannya
pada telinga sedemikian sehingga kaki depannya tepat tergantung di atas
1.2.4 Marmot
Karakteristika Utama Marmot
Marmot amat jinak, tidak akan menimbulkan kesukaran pada waktu dipegang, dan
jarang menggigit. Marmot yang sehat selalu bersikap awas, kulitnya halus dan
berkilat, tidak dikotori oleh feces maupun urin. Bila dipegang, bulunya tebal, kuat,
tapi tidak kasar, marmot berdaging tebal. Tidak ada cairan yang keluar dari hidung
ataupun telinga, juga tidak meneteskan air liur ataupun diare. Pernafasannya
teratur dan tidak tersembunyi. Sikap dan cara berjalannya normal. Dalam satu
spesies, variasi bobot badan dan ukuran badan antara tiap marmot yang berumur
sama, tidak besar. Laju denyut jantung marmot normal adalah 150-160 per menit,
laju respirasi 110-150 per menit, dan suhu rectal antara 29o dan 40oC.
Anestesi
Dua obat yang biasanya digunakan adalah eter dan pentobarbital natrium. Eter
digunaka untuk anestesi singkat, setelah marmot dipuasakan 12 jam.
Pentobarbital natrium diberikan dengan dosis 28 mg/kg bobot badan.
Mengorbankan marmot
Dapat dilakukan secara kimiawi dengan karbon dioksida tapi cara yang paling
umum, cepat dan berperikemanusiaan adalah dengan mematahkan lehernya.
Caranya : - Dengan pukulan keras pada tengkuk
- Dengan memukulkan belakang kepalanya kepada permukaan
horizontal yang keras. Bila ada kesukaran dalam memperoleh peralatan seperti
disebut di atas, maka leher dapat juga didislokasi dengan menggunakan tangan
saja.
Pentobarbital Natrium
28 mg/kg i.p
(seperti pada tikus)
Kera Eter Inhalasi
21,3𝑔
Jika dianggap BB mencit terbesar 1,3 g, maka dosis = 1000𝑔 𝑥7,28𝑚𝑔 =
0,1551𝑚𝑔
Volume pemberian maksimal pada mencit secra per oral = 1,0 ml (lihat pada
tabel 1.1)
0,1551
Sehingga konsentrasi larutan stok = 1⁄ = 0,3102 𝑚𝑔/𝑚𝑙
2𝑥1𝑚𝑙
A. Tujuan
Mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan cara-cara pemberian obat
terhadap kecepatan absorbsinya, menggunakan data farmakologi sebagai tolok ukur.
B. Pendahuluan
Untuk mencapai efek farmakologi seperti yang diinginkan, obat diberikan
dengan berbagai macam cara. Cara pemberian obat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya bentuk sediaan. Bentuk sediaan ini juga disebut sebagai salah satu faktor
karena dengan bentuk sediaan obat tersebut akan menentukan bagaimana cara
pemberian obat, apakah melalui oral, intravena, intramuscular, maupun
intraperitoneal.
Cara pemberian obat meliputi:
a. Oral
Paling cocok untuk pemberian sendiri. Obat oral harus tahan terhadap
lingkungan asam dalam lambung dan harus menembus lapisan usus sebelum
memasuki aliran darah.
b. Sublingual
Absorbsinya baik melalui jaringan kapiler di bawah lidah. Obat-obat ini
mudah diberikan sendiri. Karena tidak melalui lambung, sifat kelabilan dalam asam
dan permeabilitas usus tidak perlu dipikirkan.
c. Rectal
Berguna bagi pasien yang tidak sadar/muntah-muntah atau bahkan anak kecil.
Ada juga teknik pemberian secara parenteral (sekitar saluran pencernaan).
Teknik ini menggunakan tusukan pada kulit. Tapi pemberian dengan cara ini
menimbulkan resiko adanya infeksi, nyeri, dan iritasi local.
Cara pemberian parenteral ada beberapa cara, yakni:
a. Intravena
Onset kerjanya obat cepat karena obat disuntikkan langsung ke dalam aliran
darah. Berguna untuk situasi darurat dan pada pasien yang tidak sadar. Obat yang
tidak larut tidak dapat diberikan secara intravena.
b. Intramuscular
C. Cara Percobaan
a. Alat dan Bahan
1. Spuit unjeksi dan jarum (1-2 ml)
2. Jarum berujung tumpul (untuk per oral)
3. Sarung tangan
4. Stop watch
5. Injeksi Luminal
b. Hewan uji: mencit atau tikus
c. Cara kerja
1. Tiap kelas dibagi menjadi 5 kelompok.
2. Masing-masing kelompok mendapat 3 mencit.
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 26
3. Berturut-turut kelompok I, II, III, IV, dan V mengerjakan percobaan oral,
sub kutan, intramuscular, intraperitoneal,oral.
4. Mencit ditimbang dan diperhitungkan volume luminal yang akan diberikan
dengan dosis 80 mg/kg BB.
5. Luminal diberikan pada hewan uji dengan cara pemberian sesuai dengan
masing-masing kelompok.
a. Oral, melalui mulut dengan jarum ujung tumpul.
b. Subkutan, masukkan sampai bawah kulit pada tengkuk hewan uji
dengan jarum injeksi.
c. Intramuscular, suntikan ke dalam otot pada daerah otot gluteus
maximus.
d. Intraperitoneal, suntikkan ke dalam otot rongga perut. Hati-hati jangan
sampai masuk ke dalam usus.
D. Pengumpulan Data
Setelah hewan uji mendapat perlakuan, amati dengan cermat dan catat waktu
hilangnya reflek balik badan ditandai dengan hilangnya kemampuan hewan uji untuk
membalikkan badan dari keadaan terlentang. Hitung onset dan durasi waktu tidur
Luminal dari masing-masing kelompok percobaan, dan bandingkan hasilnya
menggunakan uji statistic “analisa varian pola searah” dengan taraf kepercayaan 95%.
E. Pertanyaan
1. Jelaskan secara spesifik dengan contoh-contoh, mengenai karakteristik
lingkungan fisiologis, anatomis dan biokimiawi yang berada pada daerah
kontak mula antara obat dengan tubuh beserta akibat yang ditimbulkannya!
F. Daftar Pustaka
Anief, Moh. 2003. Cetakan IV. Apa Yang Perlu Diketahui Dengan Obat. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Syarif, Amir, dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: FKUI Press.
A. Tujuan
Mempelajari pengaruh beberapa senyawa kimia terhadap enzim pemetabolisme
obat dengan mengukur efek farmakologinya.
B. Pendahuluan
Metabolisme obat sering juga disebut biotransformasi. Walaupun antara keduanya
juga sering dibedakan. sebagai ahli mengatakan bahwa istilah metabolisme hanya
diperuntukan bagi perubahan-perubahan biokimia/kimiawi yang dilakukan oleh tubuh
terhadap senyawa endogen sedang biotransformasi peristiwa yang sama bagi senyawa
eksogen (xenobiotika).
Pengetahuan tentang metabolisme obat menempati posisi penting dalam evaluasi
keamanan dan kemanfaatan suatu obat. Selain untuk mengetahui bagaimana obat
dimetabolisir dan dideaktivasi, juga untuk mengenal jalur dan kecepatan distribusi
dan eliminasi obat serta metabolitnya.
Reaksi-reaksi yang terjadi selama proses metabolism dapat dibagi menjadi dua,
yakni reaksi fase I meliputi reaksi-reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis; dan fase II
atau reaksi konjugasi. Reaksi-reaksi enzimatik yang berperan dalam proses tersebut
sebagian besar terjadi di dalam sel-sel hepar, dan sisanya terjadi di organ-organ lain
seperti saluran cerna, paru, ginjal, dan darah. Mikroflora gastrointestinal lebih
berperan dalam reduksi daripada oksidasi, dan hidrolisis daripada konjugasi.
Tempat terjadinya reaksi-reaksi oksidasi sebagian besar di dalam reticulum
endoplasmic sel. Namun proses tersebut juga bisa dikatalisir oleh enzim-enzim yang
berbeda di dalam sitosol ataupun mitokondria. Sedangkan reaksi fase II (konjugasi)
umumnya terjadi di dalam sitosol, kecuali reaksi glukoronidasi.
Jalur metabolisme obat oleh enzim hepar
1. Reaksi Fase I
a. Oksidasi : hidrolisis, dealkilasi, pembentukan oksida, desulfurasi,
dehalogenasi, dan deaminasi
b. Reduksi : aldehida, azo, dan nitro
c. Hidrolisis : deesterifikasi
2. Reaksi Fase II
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 29
a. Konjugasi glukoronida
b. asilasi (termasuk asetilasi)
c. Metilasi
d. Pembentukan asam merkapturat
e. konjugasi sulfat
Enzim-enzim mikrosom hepar, mukosa usus dan jaringan lain, berperan dalam
oksigenasi xenobiotika dan senyawa-senyawa endogen (asam-asam lemak, kolesterol,
dan hormone-hormon steroid). Dalam hidroksilasi, suatu atom O akan berikatan
dengan atom-atom C, N, dan S dari molekul obat. Reaksi ini dikatalisis oleh
sekelompok enzim reticulum endoplasmic hepar (mixed function oxidases sistem =
MFO) yang melibatkan sitokrom P-450 dan reduktase NADPH-sitokrom-C.
Induksi dan Penghambatan Enzim
Banyak obat mampu menaikkan kapasitas metabolismenya sendiri dengan induksi
enzim (menaikkan kecepatan sintesis enzim), seperti fenobarbital, etanol,
fenilbutason. Kenaikkan aktivitas enzim metabolisme ini menyebabkan lebih
cepatnya metabolisme dan yang pada umumnya merupakan proses deaktivasi obat
sehingga mengurangi kadarnya di dalam plasma dan memperpendek waktu paro obat.
Karena itu intensitas dan durasi efek farmakologinya berkurang.
Sekobarbital, pentobarbital, alobarbital, dan fenobarbital menaikkan kadar
sitokrom P-450, serta meningkatakan beberapa kecepatan beberapa reaksi
metabolisme seperti deetilasi fenasetin, demetilasi aminopirin, 4-hidroksilasi bifenil
dan hidroksilasi heksobarbital.
Ada juga beberapa obat yang mampu menghambat metabolisme suatu obat,
seperti simetidin. Penghambatan metabolisme suatu obat atau xenobiotika dapat
berlangsung dalam beberapa cara, termasuk destruksi dari enzim-enzim yang sudah
ada sebelumnya, penghambatan sintesis enzim atau dengan pembentukan kompleks,
sehingga membuat tidak aktifnya enzim pemetabolisme obat.
Pengaruh induksi dan penghambat enzim terhadap efek farmakologik dan
toksisitas cukup besar, sehingga perlu diperhatikan oleh para praktisi. Sebagai contoh
pemberian Phenobarbital bersama-sama dengan warfarin akan mengurangi efek
antikoagulansianya. Demikian pula pemberian simetidin suatu antagonis reseptor H-2,
akan menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam memetabolisis obat-obat lain.
E. Analisa Data
Setelah hewan uji mendapat perlakuan, amati dengan cermat dan catat waktu
hilangnya reflek balik badan ditandai dengan hilangnya kemampuan hewan uji untuk
membalikan badan dari keadaan terlentang. Hitung durasi waktu tidur Phenobarbital
dari masing-masing kelompok percobaan, dan bandingkan hasilnya menggunakan uji
statistic “analisa varian pola searah” dengan taraf kepercayaan 95%.
F. Pertanyaan
1. Apa yang dimaksud dengan inductor dan hibitor beserta contoh peristiwanya
masing-masing 3?
2. Jelaskan apa yang dapat terjadi bila suatu obat diberikan bersamaan dengan
inductor atau inhibitor!
G. Daftar Pustaka
Gibson, Gardon, G.1991. Pengantar Metabolisme Obat. Jakarta: Universitas
Indonesia Press
Sjamsudin, Udin. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Yogyakarta:
universitas Gadjah Mada Press
A. Tujuan
1. Mengenal satu cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek
antipiretik suatu obat.
2. Mampu membedakan potensi antipiretik dari beberapa golongan kimia
obat-obatan antipiretik.
3. Mampu merumuskan beberapa kriteria antipiretik untuk senyawa-senyawa
yang diduga potensial untuk maksud ini.
4. Menyadari pendekatan sebaik-baiknya untuk mengatasi panas.
B. Pendahuluan
Suhu tubuh normal manusia terdapat sekitar 370C (36,50C-36,90C), meskipun
berbagai faktor dalam keadaan sehat, seperti kerja otot, variasi diurnal dapat
mengakibatkan variasi dalam suhu tubuh.
Manusia memiliki mekanisme yang sangat efisien dan fleksibel di hipotalamus
untuk menjaga suhu tubuh dalam batas-batas variasi suhu yang optimum melalui
penyeimbangan produksi panas dan pengeluaran panas yang berlebih dengan
menggunakan mekanisme perifer seperti dilatasi pembuluh-pembuluh darah
perifer dan peningkatan aktivitas kelenjar keringat.
Pada keadaan panas dan demam, mekanisme sentral di hipotalamus untuk
mengatur suhu tubuh yang sering diumpamakan seperti suatu termostat, seolah-
olah disetel pada suhu yang lebih tinggi. Keseimbangan antara produksi panas dan
pengeluaran panas tetap terpelihara, hanya kini untuk menjaga suhu tubuh tetap
pada yang lebih tinggi, atau mungkin juga produksi panas meningkat tanpa ada
peningkatan dalam pengeluaran panas.
Panas demam diimbas oleh berbagai stimulus yang merugikan tubuh, seperti
sengatan panas, toxin mikroorganisme kalau ada infeksi senyawa-senyawa kimia
yang bersifat pirogenik, senyawa-senyawa kimia yang meningkatkan metabolisme
tubuh. Semuanya mengeksitasi secara langsung atau tidak langsung di pusat
pengatur suhu di hipotalamus.
Dengan sendirinya, tindakan primer yang terbaik untuk mengatasi panas
demam, mestinya usaha untuk meniadakan stimulus yang merugikan tubuh ini,
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 33
umpamanya memberikan obat yang manjur untuk memberantas mikroorganisme
penyebab infeksi, karena panas demam yang menandakan pula peningkatan
metabolisme dalam tubuh merupakan usaha tubuh untuk meniadakan stimulus
yang merugikannya.
Obat-obat yang tergolong antipiretik primer tidak menghilangkan stimulus
yang merugikan ini, tetapi bekerja sentral pada hipotalamus untuk mensetel
“thermostat” tubuh pada suhu yang lebih rendah melalui peningkatan pengeluaran
panas karena vasodilatasi pembuluh primer, meskipun dalam keadaan suhu
normal, obat-obat ini dapat menyebabkan nyeri.
Suatu penggunaan klinis utama yang lain dari obat-obat ini adalah sebagai
analgesik, karena kemampuannya untuk menekan proses-proses patologis seperti
peradangan yang menyebabkan nyeri.
Prinsip pengujian efek antipiretik obat ini adalah dengan mengukur
kemampuannya untuk menurunkan panas yang diciptakan secara eksperimental
pada hewan percobaan.
C. Cara Percobaan
1. Bahan dan Alat
a. Penginduksi panas:Vaksin DPT Hb
b. Zat pensuspensi (CMC Na)
c. Bahan obat: Ibuprofen, Na diklofenak, Asam mefenamat, Metilprednisolon
& Deksamethasone.
d. Jarum suntik oral (ujung tumpul)
e. Termometer rektal
2. Hewan uji : tikus putih jantan
3. Cara Kerja
a. Suhu rektal normal dari masing-masing tikus dicatat sebelum pemberian
obat.
b. Tiap kelompok masing-masing mendapat 4 ekor tikus.
c. Tiga dari empat tikus disuntik dengan Vaksin DPT Hb, tikus keempat
berfungsi sepenuhnya sebagai kontrol.
d. Suhu rektal tiap tikus dicatat tiap selang setengah jam.
e. Pada saat tercapai puncak demam oleh Vaksin DPT Hb, lazimnya empat
jam setelah pemberiannya diberi perlakuan sebagai berikut:
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 34
Kelompok G (Ibuprofen) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Ibuprofen dosis 200 mg/50 kg BB manusia , 1 hewan uji (kontrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok H (Na diklofenak) : 3 hewan uji diberikan suspensi Na
diklofenak dosis 50 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (konrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok I (Metilprednisolon) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Metilprednisolon dosis 8 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol)
diberi CMC Na 0,5%.
Kelompok J (Asam Mefenamat) : 3 hewan uji diberikan suspensi Asam
Mefenamat dosis 500 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok K (Paracetamol) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Paracetamol dosis 500 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok L (Deksamethasone) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Deksamethasone dosis 1 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol)
diberi CMC Na 0,5%.
f. Suhu tubuh keempat ekor tikus dicatat selang 20,40, 60,90, 120,150, dan
180 menit.
D. Pengamatan
1. Tabelkan hasil-hasil pengamatan suhu tubuh sebelum dan sesudah pemberian
antipiretik dikaitkan dengan waktu setelah pemberian obat.
2. Buatkan kurva suhu tubuh tikus dari hasil pengamatan saudara sehingga jalan
dapat diikutipengaruh antipiretik dikaitkan pula dengan waktu sejak
pemberian obat.
A. Tujuan
Setelah menyelesaikan eksperimen ini mahasiswa:
1. Mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek analgesic
suatu obat.
2. Memahami dasar-dasar perbedaan dalam daya analgesic berbagai analgetika.
3. Mampu memberikan pandangan yang kritis mengenai kesesuaian khasiat yang
dianjurkan untuk sediaan –sediaan farmasi analgetika.
B. Pendahuluan
Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi
rasa sakit atau nyeri. Analgetika yang diberikan kepada penderita untuk mengurangi
rasa nyeri yang dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia dan fisis.
Rasa nyeri tersebut terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri
(misalnya bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian
merangsang reseptor nyeri di ujung syaraf perifer ataupun di tempat lain. Dari tempat-
tempat ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh
syaraf sensoris melalui sunsum tulang belakang dan thalamus.
Berdasarkan atas rangsang nyeri yang dipergunakan, maka terdapat berbagai
metode penetapan daya analgetika suatu obat. Salah satu diantaranya menggunakan
rangsang kimia sebagai penimbul rasa nyeri, seperti yang akan dipraktekkan di sini.
Berdasar proses terjadinya rasa nyeri tersebut, maka rasa nyeri dapat dilawan
dengan beberapa cara:
a. Merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor nyeri perifer (analgetika
perifer, anestesi lokal).
b. Merintangi penyaluran rasa nyeri dalam syaraf-syaraf sensoris (anestesi lokal).
c. Memblokade atau menghambat rasa nyeri di pusat nyeri dalam susunan syaraf
pusat (analgetika narkotika, anestesi umum).
Secara umum, analgetika dibagi ke dalam dua golongan, yakni
a. Analgetika non narkotika atau integumental analgetics (misalnya asetosal,
parasetamol). Obat-obat ini dinamakan anlgetika perifer karena tidak
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 37
mempengaruhi susunan syaraf sentral, tidak menurunkan kesadaran dan tidak
mengakibatkan ketagihan.
b. Analgetika narkotika atau visceral analgetics (misalnya morfin). Analgetika ini
memiliki daya penghalang rasa nyeri yang sangat kuat sekali, mengurangi
kesadaran (mengantuk) dan memberikan perasaan nyaman (euphorbia). Obat ini
dapat juga menyebabkan toleransi, kebiasaan (habituasi), ketergantungan fisik
dan psikis (adiksi) dan gejala-gejala abstinensia bila diputuskan pengobatan.
C. Cara Percobaan
a. Metode: Jentik Ekor
Rangsang nyeri yang digunakan dalam metode ini berupa air panas (50°C),
dimana ekor tikus dimasukkan ke dalam air panas akan merasakan nyeri panas
dan ekor dijentikkan keluar air panas.
b. Bahan
1. Larutan CMC Na 0,5%
2. Bahan obat: Ibuprofen, Na diklofenak, Asam mefenamat, Metilprednisolon
& Deksamethasone.
c. Hewan uji: tikus putih jantan
d. Alat
1. Spuit injeksi (0,1-1ml)
2. Jarum oral (ujung tumpul)
3. Bekker glass
4. Stop watch
5. Penangas air
6. Holder tikus
7. Neraca ohauss
e. Cara Kerja
1. Sebelum pemberian obat catat dengan mempergunakan stopwatch waktu
yang diperlukan tikus untuk menjentikkan ekornya keluar dari penangas
air. Tiap rangkaian pengamatan dilakukan tiga kali, selang dua menit.
Pengamatan pertama diabaikan, hasil dari dua pengamatan terakhir
diratakan dan dicatat sebagai respon normal masing-masing tikus terhadap
stimulus nyeri. Jika perlu, stimulus disesuaikan untuk mencapai respon
normal terhadap stimulus nyeri, sekitar tiga sampai lima detik.
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 38
2. Tiap kelompok mendapat 4 ekor hewan uji, 1 ekor hewan uji sebagai
kontrol.
3. Kelompok G (Ibuprofen) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Ibuprofen dosis 200 mg/50 kg BB manusia , 1 hewan uji (konrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok H (Na diklofenak) : 3 hewan uji diberikan suspensi Na
diklofenak dosis 50 mg/50 kg BB, manusia 1 hewan uji (kontrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok I (Metilprednisolon) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Metilprednisolon dosis 8 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol)
diberi CMC Na 0,5%.
Kelompok J (Asam Mefenamat) : 3 hewan uji diberikan suspensi Asam
Mefenamat dosis 500 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok K (Paracetamol) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Paracetamol dosis 500 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok L (Deksamethasone) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Deksamethasone dosis 1 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol)
diberi CMC Na 0,5%.
E. Daftar Pustaka
Anonim. 2002. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru
Tjay, Tanhoan, Kirana Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: Gramedia
A. Tujuan
Setelah menyelesaikan eksperimen, mahasiswa diharapkan:
1. Dapat memahami azas eksperimen dan memperoleh petunjuk-petunjuk yang
praktis.
2. Dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dan batasan yang merupakan sifat
teknik percobaan.
B. Pendahuluan
Meskipun kejadiannya merupakan gabungan proses yang kompleks inflamasi
mempunyai tanda-tanda dan gejala yang bersifat umum yaitu bengkak kemerahan,
nyeri dan panas, tidak peduli sebabnya karena bahan kimia atau mekanis.
Obat-obat anti radang dibagi menjadi dua golongan utama, golongan
kortikosteroid dan nonsteroid. Argumen yang dewasa ini diterima mengenai
mekanisme kerja obat-obat tersebut ialah bahwa aksi obat-obat anti radang berkaitan
dengan penghambatan metabolisme asam arakhidonat (Higgs dan Whittle, 1980).
Seperti diketahui asam arakhidonat adalah substrat untuk enzim-enzim
siklooksigenase dan lipooksigenase. Siklooksigenase mensintesa siklik endoperoksida
(prostaglandin G-2 dan H-2) yang kemudian akan diubah menjadi prostaglandin
stabil, tromboksan, atau prostasiklin. Ketiga produk ini berasal dari leukosit, dan
senyawa-senyawa itu dijumpai pada keadaan radang. Di dalam leukosit, asam
arakhidonat oleh lipooksigenase akan diubah menjadi asam-asam mono dan di-
hidroksi (HETE) yang merupakan prekursor dari leukotrien (senyawa yang dijumpai
pada keadaan anafilaksis). Dengan adanya rangsang mekanis atau kimia, produksi
enzim lipooksigenase akan dipacu sehingga meningkatkan produksi leukotrien dari
asam arakhidonat.
Obat-obat yang dikenal menghambat siklooksigenase secara spesifik
(indometasin dan salisilat) mampu mencegah produksi mediator inflamasi: PGE-2 dan
prostasiklin. Karena prostaglandin bersifat sinergik dengan mediator inflamasi lainnya
(yakni bradikinin dan histamin) maka pencegahan pembentukan prostaglandin akan
mengurangi efektivitas bradikinin dan histamin. Ibuprofen dan aspirin mampu
berikatan dengan siklooksigenase, dan bersifat kompetitif terhadap arakhidonat.
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 41
Secara in vivo kortikosteroid mampu menghambat pengeluaran prostaglandin
pada tikus, kelinci, dan marmot. Penghambatan pengeluaran asam arakhidonat dari
fosfolipida juga akan mengurangi produk-produk siklooksigenase dan lipooksigenase
sehingga mengurangi mediator peradangan. Kedua enzim tersebut dapat dihambat
oleh benoksaprofen.
C. Cara Percobaan
a. Bahan
1. Karagenin 1%
2. Ibuprofen
3. Na Diklofenak
4. Deksametason
5. Metilprednisolon
6. Paracetamol
7. Binatang percobaan (Tikus jantan 200-300gr/Wistar).
b. Alat
1. Pletismograf.
2. Alat suntik (jarum tupul)
3. Spuit 1 ml
c. Cara Kerja
1. Tikus ditimbang dan kaki kanan belakang diberi tanda sebatas mata kaki.
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 42
2. masing-masing kelompok mendapat 4 ekor tikus.
3. Masing-masing kelompok diukur volume normal kaki kanan belakang
(Vn) dengan mencelupkannya ke dalam cairan raksa sampai batas tanda
pada alat plestimograf.
4. Diberi perlakuan secara peroral dengan menggunakan sonde, yaitu:
Kelompok G (Ibuprofen) : 3 hewan uji diberikan suspensi Ibuprofen dosis
200 mg/50 kg BB manusia , 1 hewan uji (konrol) diberi CMC Na 0,5%.
Kelompok H (Na diklofenak) : 3 hewan uji diberikan suspensi Na
diklofenak dosis 50 mg/50 kg BB, manusia 1 hewan uji (konrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok I (Metilprednisolon) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Metilprednisolon dosis 8 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol)
diberi CMC Na 0,5%.
Kelompok J (Asam Mefenamat) : 3 hewan uji diberikan suspensi Asam
Mefenamat dosis 500 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok K (Paracetamol) : 3 hewan uji diberikan suspensi Paracetamol
dosis 500 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol) diberi CMC Na
0,5%.
Kelompok L (Deksametahsone) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Deksamethasone dosis 1 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol)
diberi CMC Na 0,5%.
Setengah jam setelah perlakuan diberikan , diinjeksikan dengan larutan
karagenin 1% sebanyak 0,05 ml secara subplantar pada kaki kanan
belakang yang diukur volumenya tadi.
5. Selanjutnya tiap 1/2 jam, diukur volume kaki kanan belakang dengan cara
mencelupkannya ke dalam cairan raksa sampai batas tanda pada alat
plestimograf. Pengukuran dilakukan selama 3 jam. Volume kaki dibaca
pada pipet ukur 1 ml dengan 1 skala pada pipet ukur sebesar 0,1 ml.
6. Volume udema pada setiap jam diketahui dari selisih volume telapak kaki
pada jam-jam tertentu (Vt0, Vt1, Vt2, Vt3, Vt4, Vt5) dengan volume
telapak kaki normal (Vn).
E. Pertanyaan
1. Jelaskan mekanisme terbentuknya radang!
2. Sebutkan obat-obat anti-inflamasi dan apakah ada diantara obat-obat tersebut
yang juga kerjanya menghilangkan rasa nyeri!
3. Jelaskan mekanisme kerja obat-obat antiinflamasi!
F. Daftar Pustaka
Anonim. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia
Anonim. 1994. Farmakologi. Jilid II. Jakarta: DEPKES RI
Djamuri, Agus. 1995. Sinopsis Farmakologi. Jakarta: Hipokrates
A. Tujuan
Setelah menyelesaikan percobaan ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1. Melakukan induksi hiperglikemi terhadap hewan coba
2. Membandingkan potensi antihiperglikemi bahan sintesis dan bahan alam
B. Pendahuluan
Pada era globalisasi manusia membutuhkan sesuatu yang serba cepat, ringkas
dan mudah. Salah satu dampak dari peningkatan kemakmuran, mengakibatkan
pergeseran pola hidup yang akan berubah menjadi pola hidup beresiko. Pergeseran
pola hidup yang beresiko salah satunya adalah konsumsi makanan tinggi lemak tetapi
sedikit serat. Pola hidup seperti ini yang menyebabkan tingginya kekerapan penyakit
Diabetes Mellitus (Suyono, 1986:572).
Tipe Diabetes Mellitus yang kini dipakai telah disepakati secara luas seluruh
dunia terbagi dalam dua kategori yaitu Diabetes Mellitus Tergantung Insulin (tipe I)
dan Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin (tipe II) (Greenspan dan Baxter,
2000:754)
Ketika insulin memasuki sirkulasi , maka insulin diikat oleh reseptor khusus yang
terdapat pada membran sebagian besar jaringan. Respons insulin biologis yang yang
dipicu oleh terjadinya kompleks reseptor insulin tersebut, hanya dapat diidentifikasi
pada beberapa jaringan target saja, misalnya, hati, otot, dan jaringan lemak (Katzung,
2002:676). Glukosa yang bersifat diuretik osmotik, menyebabkan diuresis sangat
meningkat disertai hilangnya berbagai elektrolit (hiperosmolaritas), maka akan
bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum (polidipsia) ( Handoko, 1997:471).
Dehidrasi didalam tubuh menyebabkan tubuh berusaha mengatasinya dengan banyak
minum (polidipsi), maka badan akan kehilangan 4 kalori untuk setiap gram glukosa
yang diekskresikan. Polifagia timbul karena perangsangan pusat nafsu makan di
C. CARA PERCOBAAN
a. Bahan
1. Aloksan
2. Glukosa
3. Glibenklamid
4. Simplisia
5. Hewan uji : tikus putih jantan
b. Alat
1. Alat tes gula darah
2. Stik tes gula darah
3. Scalpel
4. Spuit 1 ml
c. Cara Kerja
1. Dua puluh lima hewan uji dibagi menjadi 2 kelompok besar.
2. Kelompok I terdiri dari 12 ekor tikus diinduksi dengan aloksan dosis 150
mg/kgBB secara intraperitoneal.
3. Kelompok II terdiri dari 12 ekor tikus diinduksi dengan pembebanan
glukosa dosis 2,14 g/kgBB.
4. Masing-masing kelompok dibagi menjadi 3 kelompok kecil dimana
kelompok 1 diberi glibenklamid dosis 1,89 mg/kgBB, kelompok 2 diberi
ekstrak simplisia dosis (seusuai junral yg didapat), kelompok 3 diberi
simplisia dosis (seusuai junral yg didapat).
5. Pengambilan darah dilakukan 3 kali, yaitu sebelum induksi, setelah
induksi dan setelah pemberian obat. Kadar glukosa darah dihitung
menggunakan stik tes gula darah.
Tujuan
Mampu memahami tujuan, sasaran dan strategi terapi antidot, berdasarkan
contoh kemampuan natrium nitrit dan natrium tiosulfat menawarkan racun sianida.
Pendahuluan
Terapi antidot adalah suatu cara yang khusus ditujukan untuk membatasi
intensitas efek toksik zat kimia atau untuk menyembuhkan efek toksik yang
ditimbulkannya, sehingga bermanfaat mencegah bahaya selanjutnya. Dapat dilihat
bahwa sasaran terapi antidot adalah penurunan atau penghilangan efek toksik.
Intensitas efek toksik suatu senyawa tergantung pada besarnya kadar dan lama
tinggal seyawa terkait di tempat aksi. Hal ini ditentukan oleh keefektifan absorbsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi senyawa terkait. Strategi terapi antidot dapat
menggunakan simulasi dari proses-proses tersebut yang disebut dengan metode yang
tidak khas.
Metode tersebut dapat digunakan untuk menawarkan efek toksik semua obat
namun keefektifannya tidak sama antara senyawa obat yang satu dengan yang lain,
tergantung toksikannya. Contoh metode yang tidak khas antara lain : penghambatan
absorbsi dan distribusi, peningkatan ambang ketoksikan (KTM) dan peningkatan
eliminasi racun (metabolisme dan ekskresi).
Selain terdapat metode yang tidak khas, masih ada metode terapi antidot yang
khas, yaitu digunakan zat tertentu untuk menawarkan racun tertentu pula, sehingga
penawar racun ini hanya dapat digunakan oleh satu atau dua senyawa racun saja,
sementara tidak dapat menawar racunkan senyawa toksik lain. Contoh metode yang
khas adalah natrium nitrit atau natrium tiosulfat untuk terapi keracunan sianida.
Kelompok I : disuntik s.c larutan sianida 0,5 % dosis 15 mg/kg BB. Dicatat saat
mulai timbul gejala sianosis, hilang kesadaran, kejang, gagal nafas dan kematian.
Kelompok II : disuntik i.p larutan natrium nitrit 1 % dosis 20 mg/kg BB. Dicatat
juga saat timbulnya gejala seperti kelompok I.
Kelompok III : disuntik larutan kalium sianida 0,5 % seperti kelompok I, pada saat
terjadi sianosis di suntik dengan larutan natrium nitrit seperti kelompok II. Dicatat
gejala seperti kelompok lainnya.
Kelompok IV : diberi perlakuan sama dengan kelompok III, pada saat terjadi kejang
baru disuntik larutan natrium nitrit, dan dicatat saat gejala timbul.
Kelompok V : hewan uji disuntik lartutan natrium tiosulfat secara i.p konsentrasi 25
% dosis 1125 mg/kg BB. Dicatat timbulnya gejala seperti kelompok I.
Kelompok VI : disuntik larutan kalium sianida seperti kelompok I, baru pada saat
timbul sianosis disuntik larutan natrium tiosulfat seperti kelompok V. Dicatat
timbulnya gejala seperti kelompok lainnya.
Kelompok VII : diberi perlakuan sama dengan kelompok VI, baru saat gejala
kejang disuntik larutan natrium tiosulfat. Dicatat pula terjadinya gejala yang timbul.
PUSTAKA
Donatus, I.A. 1990 Toksikologi Pangan, edisi I, PAU Pangan dan Gizi. UGM :
Yogyakarta.
Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar, diterjemahkan oleh Imuno Argo Donatus,
edisi III. IKIP Press : Semarang.
Hasil toksisitas akut dievaluasi berdasarkan kriteria bahaya dari GHS (Globally
Harmonised Classification System for Chemical Substances and Mixtures) yang
tercantum dalam Thirteenth Addendum to The OECD Guidelines for The Testing of
Chemicals (2001), seperti Tabel 3ini. Kriteria penggolongaN menurut OECD (2001)
digunakan untuk penentuan kategori toksisitas akut bahan kimia seperti pestisida serta
untuk pelabelannya.
2.b.2.7. Pengamatan
Hewan uji diobservasi secara individual sekurang-kurangnya pada 30 menit pertama
setelah pemberian sediaan uji, dan secara periodik setiap 4 jam selama 24 jam
pertama dan sehari sekali setelah itu selama 14 hari.
Namun durasi pengamatan dapat bervariasi dan diperpanjang tergantung dari reaksi
toksik dan waktu onset serta lama waktu kesembuhan. Waktu timbul dan hilangnya
gejala toksisitas (khususnya jika ada kecenderungan tanda-tanda toksik yang tertunda)
harus dicatat secara sistematis dalam catatan individual yang dilakukan untuk setiap
hewan.
Pengamatan tambahan perlu dilakukan jika hewan menunjukkan gejala toksisitas
secara terus-menerus. Pengamatan yang dilakukan termasuk pada: kulit, bulu, mata,
membran mukosa dan juga sistem pernafasan,sistem syaraf otonom, sistem syaraf
pusat, aktivitas somatomotor serta tingkah laku. Selain itu, perlu juga pengamatan
pada kondisi: gemetar, kejang, salivasi, diare, lemas, tidur dan koma. Hewan dalam
kondisi sekarat dan hewan yang menunjukkan gejala nyeri yang berat atau tampak
menderita harus dikorbankan. Hewan uji yang dikorbankan atau ditemukan mati,
waktu kematiannya harus dicatat. Hal- hal yang harus diamati dalam periode
observasi adalah:
a. Tingkah laku hewan seperti jalan mundur, jalan menggunakan perut
b. Berat Badan
Berat badan masing-masing hewan harus dimonitor pada saat sebelum diberikan
sediaan uji dan sekurang-kurangnya seminggu setelahnya.
Perubahan berat badan harus dianalisis. Pada akhir penelitian, hewan yang masih
bertahan hidup ditimbang dan kemudian dikorbankan.
c. Pemeriksaan Patologi
Wallum, E., 1998. Acute Oral Toxicity, Environmental Health Perspectives, 106,
2:497–503.
Tujuan percobaan
Tujuan uji ketoksikan subkronis senyawa (PGV-0) terutama untuk mengungkap
spektrum efek toksis, jenis organ yang terkena dan kekerabatan antara dosis dan
spektrum efek toksik senyawa – senyawa tersebut pada hewan uji (contoh : tikus atau
kelinci).
1. Pengamatan umum
Termasuk pengamatan umum meliputi gejala-gejala toksik, perkembangan bobot
badan, serta masukan makanan dan minuman.
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 63
Untuk mendapatkan data gejala-gejala toksik, dilakukan pengamatan fisik baku
terhadap adanya gangguan susunan saraf pusat dan somatomotor (perilaku,
gerakan, kereaktifan, reflek serebral dan spinal) sistem saraf otonom (ukuran
pupil, sekresi), pernafasan (laju), kardiovaskuler (palpitasi), saluran cerna
(gangguan perut, konsistensi tinja), genitourinaria(vulva, kelenjar mamae, penis,
daerah mulut), mata dan tempat masuk obat. Pengamatan ini dilakukan sehari
sekali atau sesering mungkin dalam kurun waktu pengujian.
Data perkembangan bobot badan tikus diperoleh dengan cara menimbang
masing-masing tikus pada hari ke nol dan seterusnya setiap 7 hari sekali sampai
hari ke 90.
Data masukan makanan dan minuman yang dihabiskan tikus diperoleh dengan
cara menimbang sisa makanan atau mengukur sisa minuman yang dihabiskan
(dikurangkan terhadap bobot atau volume yang diberikan) oleh masing-masing
tikus setiap 7 hari.
2. Patologi klinik
Termasuk pengamatan patologi klinik meliputi pemeriksaan hematologi, analisis
kimia darah, dan urin.
Pemeriksaan hematologi dilakukan dengan cara mengambil cuplikan darah
melalui vena optalmikus masing-masing tikus pada hari ke 0, 30, 60 dan 90
setelah perlakuan bahan uji (minimal pada awal dan akhir masa uji). Terhadap
masing-masing cuplikan darah kemudian dilakukan pengukuran jumlah sel darah
merah (RBC), sel darah putih (WBC), kadar hemoglobin (Hb), volume
korpuskuli (PCV), kadar protein plasma total (TPP) dan lekosit deferensial.
Analisis kimia darah yang dilakukan meliputi : protein total dan direk, albumin,
alkalin fosfatase, SGOT, SGPT, bilirubin total dan direk, glukosa dan kreatinin,
kadar sodium, potassium, klorida, kalsium karbondioksida.
Analisis urin dilakukan dengan menampung urin tikus sehari dalam sangkar
metabolik pada hari ke 0, 30, 60, dan 90 setelah perlakuan bahan uji. Selanjutnya
masing-masing urin tampung diukur volume urin, pH, bobot jenis, protein total,
glukosa, sedimen, keton, bersih kreatinin dan bilirubin, minimal pada awal dan
akhir masa uji.
3. Pemeriksaan histopatologi
PUSTAKA
Anonim, 1992, Fitofarmaka dan Pedoman Fitofarmaka, Direktorat Pengawasan
Obat Tradisional, Jakarta.
Bergmeyer, H.V., 1974, Methods of Enzymatic Analysis, Vol.III, Academic Press,
Inc, Newyork.
Donatus, I.A., 1996, Petunjuk Praktikum Toksikologi, Ed.VI, Lab. Farmakologi
dan Toksikologi, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.
Tujuan Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini, mahasiswa diharakan mmengetahui sejauh mana
aktivitas anti diare dapat menghambat diare yang disebabkan oleh oleum ricini pada
hewan percobaan.
Teori
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat
berupa air saja dengan frekuensi lebih sering dari biasanya (tiga kali atau lebih) dalam
satu hari. Diare ditandai dengan frekwensi defekasi yang jauh melebihi frekwensi
normal, serta konsstensi feses yang encer. Diare dapat bersifat akut atau kronis.
Penyebab diarepun bermacam-macam.
Diare akut dapat disebabkan oleh infeksi bakteri seperti E. Coli. Shigella, Salmonella,
dan V. Cholera, virus dan amuba seperti E. Histolytica dan Giardia lambia. Selain itu
dapat pula diare disebabkan oleh toksin bakteri seperti Staphylococcus aureus¸dan
Clostridium welchii, yang menari makanan.
Diare kronis mungkin berkaitan dengan berbagai gangguan gastroinstestinal,
ada pula diare yang berlatar belakang kelainan psikosomatik, alergi oleh makanan
atau obat-obat tertentu, di samping itu, diare kronis ini dapat disebabkan oleh kelainan
pada sistem endokrin dan metabolisme, kekurangan vitamin dan sebagai akibat
radiasi.
Diare yang berkepanjangan sangat melemahkan penederitanya karena tubuh
kehilangan banyak energi cairan eletrolit tubuh, sehingga memerlukan terapi
pengganti dengan cairan dan elektrolrit serta kalori, obat anti bakteri atau anti amuba,
bergantung pada penyebab diare tersebut ataupun obat-obat lain yang bekerja
memperlambat peristatik usus, menghilangkan spasme dan nyeri, dan menenangkan.
Metode pengujian aktivitas anti diare disini, ditujukan terbatas pada aktivitas
obat dapat memperlambat peristaltik usus, sehingga mengurangi fekuensi defekasi
dan memperbaiki konsistensi feses, yaitu metode proteksi terhadap diare oleh oleum
ricini.