Anda di halaman 1dari 70

PETUNJUK PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI

Disusun Oleh:
apt. FX. Sulistyanto, M.Si.
apt. Novi Elisa, M.Farm
apt. Ika Puspitaningrum, M.Sc.
apt. A.A. Hesti W.S., M.Si. Med.
apt. Arik Dian Eka P., M.Si.
apt. Yustisia Advistasari, M.Sc.
apt. Dhimas Adhityasmara, M.Farm
apt. Ebta Narasukma, M.Sc
apt. Wahyu Setyaningrum, S.Farm
Venty Olivia, A.Md.

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


STIFAR “YAYASAN PHARMASI SEMARANG”
2021

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 1


JADWAL PRAKTIKUM FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI
PRODI S1 FARMASI SEMESTER IV
TAHUN 2021/2022

No Hari/Tanggal Kelompok Materi


1. Senin, 15 Februari 2021 H
Selasa, 16 Februari 2021 G
Pengarahan, Pembagian Kelompok &
Rabu, 17 Februari 2021 K Penilaian Cara Pegang
Kamis, 18 Februari 2021 L
Jumat, 19 Februari 2021 I&J
2. Senin, 22 Februari 2021 H
Selasa, 23 Februari 2021 G
P1.Pengaruh Cara Pemberian terhadap
Rabu, 24 Februari 2021 K Absorbsi Obat dan
Kamis, 25 Februari 2021 L P2. Pengaruh Indikator dan Inhibitor
Jumat, 26 Februari 2021 I&J terhadap Efek Farmakologi
3. Senin, 1 Maret 2021 H
Selasa, 2 Maret 2021 G
Rabu, 3 Maret 2021 K Diskusi P1-P2
Kamis, 4 Maret 2021 L
Jumat, 5 Maret 2021 I&J
4. Senin, 8 Maret 2021 H
Selasa, 9 Maret 2021 G
P3.Anti Piretik
Rabu, 10 Maret 2021 K
P4. Analgesik
Kamis, 11 Maret 2021 L P5. Anti Inflamasi
Jumat, 12 Maret 2021 I&J
5. Senin, 15 Maret 2021 H
Selasa, 16 Maret 2021 G
Rabu, 17 Maret 2021 K DISKUSI P3-P5
Kamis, 18 Maret 2021 L
Jumat, 19 Maret 2021 I&J
6. Senin, 22 Maret 2021 H
Selasa, 23 Maret 2021 G
Rabu, 24 Maret 2021 K
Kamis, 25 Maret 2021 L P6. Antihiperglikemia
Jumat, 26 Maret 2021 I&J (Aloksan dan Pembebanan Glukosa)
7. Senin, 29 Maret 2021 H
Selasa, 30 Maret 2021 G
Rabu, 31 Maret 2021 K DISKUSI P6
Kamis, 1 April 2021 L
Jumat, 2 April 2021 I&J
UTS (Metode OSCE)
G, H, I, J, K, L
8. Senin, 19 April 2021 H
Selasa, 20 April 2021 G P7. Anti Dotum
Rabu, 21 April 2021 K

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 2


Kamis, 22 April 2021 L
Jumat, 23 April 2021 I&J
9. Senin, 26 April 2021 H
Selasa, 27 April 2021 G
Rabu, 28 April 2021 K Diskusi P7
Kamis, 29 April 2021 L
Jumat, 30 April 2021 I&J
10. Senin, 3 Mei 2021 H
Selasa, 4 Mei 2021 G
Rabu, 5 Mei 2021 K P8 Ketoksikan akut
Kamis, 6 Mei 2021 L
Jumat, 7 Mei 2021 I&J
11. Senin, 10 Mei 2021 H
Selasa, 11 Mei 2021 G
Rabu, 12 Mei 2021 K P9 ketoksikan Kronis & Subkronis
Kamis, 13 Mei 2021 L
Jumat, 14 Mei 2021 I&J
Senin, 17 Mei 2021 H
Selasa, 18 Mei 2021 G
Diskusi P8 & P9
12. Rabu, 19 Mei 2021 K
Kamis, 20 Mei 2021 L
Jumat, 21 Mei 2021 I&J
Senin, 24 Mei 2021 H
Selasa, 25 Mei 2021 G
13. Rabu, 26 Mei 2021 K P 10 Uji Anti Diare
Kamis, 27 Mei 2021 L
Jumat, 28 Mei 2021 I&J
Senin, 31 Mei 2021 H
Selasa, 1 Juni 2021 G
14. Rabu, 2 Juni 2021 K Diskusi P 10
Kamis, 3 Juni 2021 L
Jumat, 4 Juni 2021 I&J
16. G,H,I,J,K,L UAS (Metode OSCE)

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 3


TATA TERTIB LABORATORIUM FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI
SELAMA DARING

Tiga hal yang perlu diperhatikan selama praktikum daring Farmakologi


a. Metode praktikum
Selama daring, perlu diperhatikan dalam praktikum meliputi:
Beberapa hal yang perlu di perhatikan pada masa pandemi
 Praktikum tetap berlangsung dan dilakukan secara online
 Praktikum dapat melalui media aplikasi (Video call Whatsapp, Zoom, Google
Meet, Google Classroom, dan media lain yang termudah digunakan).
b. Ketepatan
 Pengamatan video
 Ketepatan yang diperhatikan adalah ketepatan dalam perhitungan dosis, Cstok,
volume pemberian, konversi dosis dengan cara melihat teknis praktikum yang
ada pada video.
c. Pengamatan
Percobaan akan memberikan hasil yang baik jika pengamatan dilakukan dengan
benar dan teliti. Setiap perubahan yang terjadi harus segera dilakukan pencatatan.
Tata tertib yang harus ditaati selama praktikum daring:
1. Diharapkan mahasiswa/i dapat bergabung 5 menit sebelum praktikum dimulai
dengan toleransi keterlambatan 10 menit baik saat praktikum maupun saat
diskusi dan tidak diperkenankan pindah di kelompok lain.
2. Selama praktikum berlangsung tidak boleh meninggalkan praktikum daring,
terkecuali jika mendapat izin dari staf pengajar atau asisten yang bertugas.
3. Jika mahasiswa ditemukan tidak aktif selama praktikum atau diketahui
meninggalkan praktikum daring selama 1 jam di anggap mahasiswa/i tidak
mengikuti praktikum/tidak hadir.
4. Mengikuti pretes di awal praktikum dan diskusi praktikum. Tidak diadakan
praktikum ulang (inhal). Prosentase kehadiran praktikan harus 100%, sehingga
apabila 1 kali tidak mengikuti maka dinyatakan gugur dan dipersilakan
mengikuti praktikum tahun berikutnya.
5. Laporan praktikum terdiri atas 2 bagian, yaitu :
 Laporan Sementara ditulis tangan, dikumpul melalui via online dalam
bentuk pdf maksimal 1 hari sebelum praktikum tidak boleh sama antara
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 4
mahasiswa. Jika sama maka di anggap tidak mengumpulkan laporan
sementara. Tiap mahasiswa membuat laporan sementara. Laporan meliputi
tujuan, dasar teori, alat dan bahan, skema kerja, data pengamatan.
 Laporan Resmi, diserahkan sebelum melakukan percobaan berikutnya
dikumpulkan melalui via online dalam bentuk pdf, tiap individu membuat
laporan resmi tidak boleh sama antara mahasiswa. Jika sama maka di anggap
tidak mengumpulkan laporan resmi. Laporan Resmi (diketik) pada kertas
ukuran A4 dengan spasi 1,5, huruf times new roman ukuran 12, dikumpulkan
maksimal 1 hari sebelum praktikum dimulai.
 Laporan meliputi:
a. Tujuan (5) f. Perhitungan (20)
b. Dasar Teori (15) g. Pembahasan (30)
c. Alat & Bahan (5) h. Kesimpulan (10)
d. Skema Kerja (5) i. Daftar Pustaka (5)
e. Data Pengamatan (5) TOTAL 100
6. Nilai Akhir diperoleh dari:
Pretest +Aktivitas Harian + Laporan Resmi + Ujian
Keterangan:
 Rentang jumlah nilai aktivitas harian (aktivitas kerja + ketrampilan kerja):
65, 70, 80, 95.
 Laporan meliputi: laporan sementara dan resmi (dibuat Individu)
7. Nilai Akhir diperoleh dari:
a. UTS 30%
b. UAS 30%
c. Keaktifan 15%
d. Pretest 15%
e. Laporan sementara 5%
f. Laporan resmi 5%
 Laporan meliputi: laporan sementara dan resmi.
8. Ujian meliputi UTS dan UAS (menggunakan metode CBT)

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 5


TATA TERTIB LABORATORIUM FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI
SELAMA TATAP MUKA

Tiga hal yang perlu diperhatikan selama bekerja di laboratorium farmakologi


a. Kebersihan
Selama bekerja, praktikan perlu menjaga kebersihan diri dan lingkungan meliputi:
 Praktikan mengenakan jas praktikum yang bersih dilengkapi dengan name text
berisi Nama Lengkap dan NIM.
 Alat-alat yang dipakai untuk praktikum harus dipastikan dalam kondisi yang
bersih.
 Setelah selesai percobaan alat-alat maupun wadah yang digunakan dicuci
bersih.
 Kertas atau benda-benda lain (sisa atau kotoran) yang tidak dipakai dibuang ke
dalam keranjang sampah, kecuali untuk sampah biologis seperti sisa jaringan,
sampel darah, atau hewan mati harus di bungkus plastik untuk selanjutnya di
insenerasi (diabukan).
b. Ketepatan
Ketepatan yang diperhatikan adalah ketepatan dalam hal menimbang, pengukuran
volume, menentukan dosis, dan cara pemberian.
c. Pengamatan
Percobaan akan memberikan hasil yang baik jika pengamatan dilakukan dengan
benar dan teliti. Setiap perubahan yang terjadi harus segera dilakukan pencatatan.
Tata tertib yang harus ditaati selama praktikum di laboratorium Farmakologi-
Toksikologi
9. Datang tepat pada waktunya (waktu keterlambatan max 10 menit).
10. Selama praktikum berlangsung tidak boleh meninggalkan laboratorium kecuali
mendapat izin dari staf pengajar atau asisten yang bertugas.
11. Selama praktikum harus mengenakan jas laboratorium.
12. Praktikan Tidak diperbolehkan makan-minum dan merokok di laboratorium.
13. Bekerja dengan tertib dan mengerjakan sendiri walaupun dalam kelompok.
14. Mengikuti pretes di awal praktikum dan diskusi di akhir praktikum. Tidak
diadakan praktikum ulang (inhal). Prosentase kehadiran praktikan harus 100%,

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 6


sehingga apabila 1 kali tidak mengikuti maka dinyatakan gugur dan dipersilahkan
mengikuti praktikum tahun berikutnya.
15. Meminjam alat praktikum per kelompok.
16. Laporan praktikum terdiri atas 2 bagian, yaitu :
 Laporan Sementara, disiapkan sebelum praktikum dilaksanakan (ditulis
tangan), tiap mahasiswa membuat laporan sementara. Laporan meliputi tujuan,
dasar teori, alat dan bahan, skema kerja, data pengamatan.
 Laporan Resmi, diserahkan sebelum melakukan percobaan berikutnya, tiap
Individu membuat laporan resmi. Laporan Resmi diketik pada kertas ukuran
A4 dengan spasi 1,5, huruf times new roman ukuran 12 dan tidak perlu dijilid.
Laporan meliputi:
a. Tujuan (5) f. Perhitungan (20)
b. Dasar Teori (15) g. Pembahasan (30)
c. Alat & Bahan (5) h. Kesimpulan (10)
d. Skema Kerja (5) i. Daftar Pustaka (5)
e. Data Pengamatan (5) TOTAL 100
17. Nilai Akhir diperoleh dari:
Pretest +Aktivitas Harian + Laporan Resmi + Ujian
Keterangan:
 Rentang jumlah nilai aktivitas harian (aktivitas kerja + ketrampilan kerja) : 60,
70, 80, 90, 100.
 Laporan meliputi: laporan sementara dan resmi (dibuat Individu)
18. Ujian meliputi UTS dan UAS.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 7


INFORMASI DASAR UNTUK LABORATORIUM
FARMAKOLOGI-TOKSIKOLOGI

1.1 Tujuan Umum Laboratorium Farmakologi


Setelah menyelesaikan praktikum di Laboratorium Farmakologi-Toksikologi,
mahasiswa diharapkan:
1. Terampil bekerja dengan beberapa hewan percobaan, yaitu: mencit; tikus;
marmot; dan kelinci.
2. Menghayati secara lebih baik berbagai prinsip farmakologi yang diperoleh secara
teoritis.
3. Menghargai hewan percobaan karena peranannya dalam mengungkapkan
fenomena-fenomena kehidupan.
4. Menyadari pengaruh faktor-faktor lingkungan dan hasil eksperimen farmakologi
dan menginsyafi sampai batas-batas tertentu analoginya dengan pengaruh faktor-
faktor sama pada manusia.
5. Mampu menerapkan, mengadaptasi dan memodifikasi metode-metode
farmakologi untuk penilaian efek obat.
6. Dapat memberikan penilaian terhadap hasil-hasil eksperimen yang telah
diperoleh.
7. Dapat memberikan tafsiran mengenai implikasi praktis dari hasil-hasil
eksperimen.
8. Menyadari kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi dirinya untuk
mengembangkan karir dalam bidang farmakologi dan farmasi.

1.2 Hewan Percobaan yang Digunakan dalam Laboratorium Farmakologi


Hewan percobaan tak ternilai jasanya dalam merintis jalan untuk memperbaiki
kesehatan manusia. Sampai saat ini, mereka merupakan kunci untuk kemajuan yang
dicatat dalam dunia kesehatan.
Dalam praktikum farmakologi ini, percobaan dilakukan terhadap hewan hidup
sehingga harus digarap dengan penuh kemanusiaan. Perlakuan yang tidak wajar
terhadap hewan percobaan dapat menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dalam
hasil pengamatan.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 8


1.2.1 Mencit
Karakteristika Utama Mencit
Dalam laboratorium, mencit mudah ditangani. Ia bersifat penakut,
fotofobik, cenderung berkumpul sesamanya, mempunyai kecenderungan untuk
bersembunyi dan lebih aktif pada malam hari daripada siang hari. Kehadiran
manusia akan menghambat aktivitas mencit. Suhu tubuh normal 37,4oC. Laju
respirasi normal 163 tiap menit.
Cara Memperlakukan Mencit
1. Mencit diangkat dengan memegang pada ujung ekornya dengan tangan kanan
dan dibiarkan menjangkau kawat kandang dengan kaki depannya.
2. Dengan tangan kiri, kulit tengkuknya dijepit di antara telunjuk dan ibu jari.
3. Kemudian ekornya dipindahkan dari tangan kanan ke antara jari manis dan jari
kelingking tangan kiri, hingga mencit cukup erat dipegang.

Pemberian obat kini dapat dimulai.


Cara-cara Pemberian Obat
a. Oral : Diberikan dengan alat suntik dilengkapi dengan jarum oral. Kannula
ini dimasukkan ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan diluncurkan melalui
tepi langit-langit ke belakang sampai esophagus.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 9


(Gambar : Pemberian Obat Secara Oral)
b. Subkutan : Diberikan di bawah kulit pada daerah tengkuk.

(Gambar : Pemberian Obat Secara Subkutan)


c. Intravena : Penyuntikan dilakukan pada vena ekor menggunakan jarum no.24.
Mencit dimasukkan ke dalam pemegang (dari kawat/bahan lain) dengan
ekornya menjulur keluar. Ekor dimasukkan ke dalam air hangat untuk
mendilatasi vena guna memudahkan penyuntikan

.
(Gambar : Pemberian obat secara intravena)

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 10


d. Intramuskular : Menggunakan jarum no.24, disuntikkan ke dalam otot paha
posterior.

(Gambar : Pemberian obat secara intramuskular)


e. Intraperitoneal : Untuk ini hewan dipegang pada punggungnya sehingga kulit
abdomennya menjadi tegang. (Gambar 1.3). Pada saat penyuntikan, posisi
kepala mencit lebih rendah daripada posisi abdomennya. Jarum disuntikkan
dengan membentuk sudut 10o dengan abdomen, agak menepi dari garis tengah
untuk menghindari terkenanya kandung kencing. Jangan pula terlalu tinggi
agar tidak mengenai hati.

Volume penyuntikan untuk mencit yang umum adalah : 1 ml/100 gram bobot
badan. Kepekaan larutan obat yang disuntikkan disesuaikan dengan volume yang
dapat disuntikkan tersebut.

Anestesi
Senyawa-senyawa yang dapat digunakan adalah:

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 11


a. Eter dan karbon dioksida : keduanya digunakan untuk anestesi singkat caranya
adalah dengan meletakkan obat pada dasar suatu desikator, hewan kemudian
dimasukkan dan wadah ditutup. Apabila hewan sudah kehilangan
kesadarannya ia dikeluarkan dan dapat mulai dibedah. Penambahan kemudian
dengan eter dapat dilakukan dengan kapas sebagai masker.
b. Halotan, digunakan untuk anestesi yang lebih lama. Sebenarnya eter dapat
juga digunakan untuk tujuan ini, namun karena efek-efek lain yang
ditimbulkannya, obat ini tidak menjadi pilihan utama.
c. Pentobarbital natrium dan heksobarbital natrium. Dosis pentobarbital natrium
adalah 45 mg-60 mg/kg untuk cara pemberian intraperitoneal, dan 35 mg/kg
untuk cara pemberian intravena. Sedangkan dosis heksobarbital natrium
adalah 75 mg/kg untuk pemberian intraperitoneal dan 47 mg/kg untuk
pemberian intravena.
Cara Mengorbankan Hewan
Pengorbanan hewan sering diperlukan apabila terjadi rasa sakit yang hebat
atau lama akibat suatu eksperimen; ataupun rasa sakit yang merupakan bagian dari
eksperimen. Apabila hewan mengalami kecelakaan, menderita penyakit atau
jumlahnya terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan, juga dilakukan etanasi
terhadap hewan. Cara etanasi (kematian tanpa rasa sakit) ini dipilih sedemikian,
sehingga hewan mengalami penderitaan seminimal mungkin. Dalam memilih cara
mengorbankan hewan perlu juga ditinjau tujuan hewan dikorbankan. Pada
dasarnya cara fisik merupakan cara yang paling tepat dilaksanakan, mudah, dan
paling berperikemanusiaan.
a. Cara terbaik adalah dengan menggunakan karbon dioksida dalam wadah
khusus
b. Pentobarbital natrium dengan dosis 130-180 mg/kg
c. Dengan cara fisik dapat dilakukan dengan cara dislokasi leher hewan dipegang
pada ekornya, kemudian ditempatkan pada permukaan yang biasa
dijangkaunya dengan demikian ia akan meregangkan badannya, pada
tengkuknya kemudian ditempatkan suatu penahanan, misalnya sebatang pensil
yang dipegang dengan satu tangan. Tangan lainnya kemudian menarik
ekornya dengan keras sehingga lehernya akan terdislokasi, dan mencit akan
terbunuh.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 12


1.2.2 Tikus
Karakteristika Utama Tikus
Relatif resisten terhadap infeksi, dan sangat cerdas. Tikus putih pada umumnya
tenang dan mudah ditangani. Ia tidak begitu bersifat fotofobik seperti halnya
mencit dan kecenderungannya untuk berkumpul sesamanya juga tidak begitu
besar. Aktivitas tidak demikian terganggu dengan adanya manusia di sekitarnya.
Suhu tubuh normal: 37,5oC. Laju respirasi normal 210 tiap menit. Bila diperlukan
kasar (atau apabila ia mengalami defisiensi nutrisi) tikus menjadi galak dan sering
menyerang si pemegang.
Cara Memperlakukan Tikus
Tikus dapat diperlakukan sama seperti mencit, hanya harus diperhatikan bahwa
sebaiknya bagian ekor yang dipegang adalah bagian pangkal ekor. Tikus dapat
diangkat dengan memgang perutnya ataupun dengan cara sebagai berikut:
1. Tikus diangkat dari kandangnya dengan memegang tubuhnya atau ekornya
dari bejana, kemudian diletakkan di atas permukaan kasar. Tangan kiri
diluncurkan dari belakang tubuhnya menuju kepala dan ibu jari diselipkan ke
depan untuk menjepit kaki kanan depan tikus antara jari ini dengan telunjuk.
2. Untuk melakukan pemberian obat secara ip, im, tikus dipegang pada bagian
belakangnya ,hal ini hendaklah dilakukan dengan mulus dan tanpa ragu-ragu.
Tikus tidak mengelak bila dipegang dari atas, tapi bila dipojokkan ke sudut, ia
akan menjadi panic dan mengigit.

Cara-cara Pemberian Zat


Oral, subkutan, intravena, intramuscular, maupun intraperitoneal dapat diberikan
dengan cara yang sama seperti pada mencit. Penyuntikan subkutan dapat pula
dilakukan di bawah kulit abdomen. Volume penyuntikan paling baik bagi tikus
adalah 0,2-0,3 mL/100 gram bobot badan.
Anestesi
Senyawa-senyawa anestesika dan cara-cara anestetika pada tikus umumnya adalah
sama seperti pada mencit.
Cara Mengorbankan Tikus
Cara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan karbon dioksida, eter, dan
pentobarbital dengan dosis yang sesuai. Cara fisik dapat dilakukan sebagai
berikut:
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 13
Letakkan tikus di atas sehelai kain, kemudian bungkuslah badan tikus, termasuk
kedua kaki depannya. Bunuhlah dengan salah satu cara berikut:
a. Pukullah bagian belakang telinganya dengan tongkat.
b. Peganglah tikus dengan perutnya menghadap ke atas, kemudian pukulkan
bagaian belakang kepalanya kepada permukaan yang keras seperti meja atau
permukaan logam, dengan sangat keras.

1.2.3 Kelinci
Kelinci jarang sekali bersuara, hanya dalam keadaan nyeri luar biasa ia
bersuara. Kelinci pada umumnya cenderung untuk berontak apabila merasa
keadaannya terganggu. Suhu rectal pada kelinci sehat adalah antara 38,5o-40oC,
pada umumnya 13,5oC. Suhu rektal ini berubah apabila hewan tersebut tereksitasi,
ataupun karena gangguan lingkungan. Laju respirasi kelinci dewasa normal adalah
38-65 per menit, pada umumnya 50 (pada kelinci muda laju ini dipercepat, dan
pada kelinci bayi bias mencapai 100 per menit).
Cara Memperlakukan Kelinci
Kelinci harus diperlakukan dengan halus namun sigap, karena ia cenderung untuk
berontak. Menangkap atau membalikkan kelinci jangan dengan mengangkat pada
telinganya. Untuk menangkapnya, kulit pada leher kelinci dipegang dengan
tangan kiri, pantatnya diangkat dengan tangan kanan . Kemudian didekap ke
tubuh.

(Gambar : Perlakuan kelinci)


Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 14
Cara-cara Pemberian Obat
a. Oral : Pada umumnya pemberian obat dengan cara ini dihindari, tapi
bila dipakai juga maka digunakan alat penahan rahang dan pipa lambung.
b. Subkutan : Bagian yaqng baik untuk cara pemberian ini adalah kulit di
sisi sebelah pinggang atau bagian tengkuk.
Caranya : Angkat kulit dan tusukan jarum (No.15) dengan arah interior.
c. Intravena : yang dipilih adalah vena marginalis dan penyuntikan
dilakukan pada daerah dekat ujung telinga. Sebelumnya telinga dibasahi dulu
dengan air hangat atau alcohol .Pencukuran terutama diperlukan pada hewan
berwarna gelap.
d. Intramuskular : Dilakukan pada otot kaki belakang.
e. Intraperitoneal : Posisi kelinci diatur sedemikian sehingga letak kepala lebih
rendah daripada perut.
Penyuntikan dilakukan pada garis tengah di muka kandung kencing.
Anestesi
Senyawa anestetika yang paling banyak digunakan adalah pentobarbital natrium
yang disuntikkan secara perlahan-lahan. Dosis untuk anestesi umum adalah 22
mg/kg bobot badan, dan untuk anestesi singkat dapat diambil setengah dari dosis
di atas, ditambah dengan eter untuk menyempurnakan pembiusan. Dosis untuk
anestesi konduksi adalah 15-22 mg/kg bobot badan (larutan dalam air 60 mg/mL).

Mengorbankan Kelinci
Ada beberapa cara yang dapat digunakan:
a. Dengan menggunakan karbon dioksida.
b. Dengan injeksi pentobarbital natrium 300 mg secara intravena.
c. Dengan cara dislokasi leher:
- Pegang kaki belakang kelinci dengan tangan kiri sehingga badan dan
kepalanya tergantung ke bawah, menghadap ke kiri. Dengan jari-jari
tangan kanan dikeraskan, pukulkanlah sisi telapak tangan kanan dengan
keras pada tengkuk kelinci Selain tangan dapat juga digunakan alat, seperti
tongkat.
- Tempatkan kelinci di sebuah meja. Dengan tangan kiri angkat badannya
pada telinga sedemikian sehingga kaki depannya tepat tergantung di atas

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 15


meja. Pada kondisi ini pukulkan tongkat dengan keras di belakang
telinganya.

1.2.4 Marmot
Karakteristika Utama Marmot
Marmot amat jinak, tidak akan menimbulkan kesukaran pada waktu dipegang, dan
jarang menggigit. Marmot yang sehat selalu bersikap awas, kulitnya halus dan
berkilat, tidak dikotori oleh feces maupun urin. Bila dipegang, bulunya tebal, kuat,
tapi tidak kasar, marmot berdaging tebal. Tidak ada cairan yang keluar dari hidung
ataupun telinga, juga tidak meneteskan air liur ataupun diare. Pernafasannya
teratur dan tidak tersembunyi. Sikap dan cara berjalannya normal. Dalam satu
spesies, variasi bobot badan dan ukuran badan antara tiap marmot yang berumur
sama, tidak besar. Laju denyut jantung marmot normal adalah 150-160 per menit,
laju respirasi 110-150 per menit, dan suhu rectal antara 29o dan 40oC.

Cara Memperlakukan Marmot


Marmot dapat diangkat dengan cara memgang badan bagian atas dengan tangan
yang satu dan memegang badan bagian belakang dengan tangan yang lain .Obat
dapat diberikan dengan mendekap marmot ke tubuh sendiri dengan satu tangan.

Cara-cara Pemberian Obat


a. Oral : Ada tiga cara yang dapat dilakukan, yakni:
- Dengan pipa lambung, seperti pada mencit. Sebelumnya marmot diberi
anestetika lemah terlebih dahulu.
- Dengan pipet, ini berlaku untuk cairan sampai dengan volume 5 mL.
- Dengan penambahan kepada makanan; selain untuk bahan padat dapat juga
untuk pemberian cairan.
b. Intradermal : Bulu marmot pada daerah yang akan disuntikkan dicukur terlebih
dahulu, kemudian ditegakkan, jarum suntik ditusukkan kira-kira 2 cm ke
dalam kulit. Jumlah cairan yang dapat diberikan adalah sampai dengan 0,5
mL.
c. Subkutan : Angkatlah sebagian kulit dengan mencubitnya, kemudian
tusukkanlah jarum suntik ke bawah kulit, paralel dengan otot di bawahnya.
Pemilihan lokasi penyuntkan tidak dibatasi.
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 16
d. Intraperitoneal : Daerah penyuntikan adalah seluas ± 2,5 cm2. Agak ke kanan
dari garis midsagital dan 2,5 cm di atas pubis. Marmot dipegang pada
punggungnya sedemikian sehingga perutnya agak menonjol ke muka. Jarum
suntik kemudian ditusukkan seperti pada cara subkutan, tetapi sesudah masuk
ke dalam kulit, jarum agak ditegakkan sehingga menembus lapisan otot masuk
ke dalam daerah peritoneum.
e. Intramuskular : Daerah penyuntikan terbaik adalah otot paha bagian
posteriolateral. Jarum disuntikkan melalui kulit dan diarahkan kepada jaringan
otot, jangan terlalu dalam sampai jarum menyentuh tulang paha.
f. Intravena : Cara ini jarang digunakan, namun ada dua metoda yang mungkin
dilaksanakan.
- Pada vena marginalis, dengan jarum halus dan pendek, cara ini berlaku
khusus untuk marmot besar.
- Pada vena-saphena (vena pada paha), marmot dianestesi terlebih dulu,
isolasi vena saphena, baru dilakukan penyuntikan.
Keterangan : Pemberian obat-obatan secara parenteral terutama untuk marmot
harus didahului dan diakhiri dengan pemberian antiseptika pada daerah
penyuntikan.

Anestesi
Dua obat yang biasanya digunakan adalah eter dan pentobarbital natrium. Eter
digunaka untuk anestesi singkat, setelah marmot dipuasakan 12 jam.
Pentobarbital natrium diberikan dengan dosis 28 mg/kg bobot badan.

Mengorbankan marmot
Dapat dilakukan secara kimiawi dengan karbon dioksida tapi cara yang paling
umum, cepat dan berperikemanusiaan adalah dengan mematahkan lehernya.
Caranya : - Dengan pukulan keras pada tengkuk
- Dengan memukulkan belakang kepalanya kepada permukaan
horizontal yang keras. Bila ada kesukaran dalam memperoleh peralatan seperti
disebut di atas, maka leher dapat juga didislokasi dengan menggunakan tangan
saja.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 17


1.2.5 Volume administrasi obat
Volume cairan yang diberikan pada hewan percobaan harus diperhatikan tidak
melebihi jumlah tertentu.
Dalam tabel 1.1 diberikan beberapa contoh dari batas volume yang dapat
diberikan pada hewan percobaan.

Tabel 1.1 Volume Larutan Yang Biasa Diberikan Pada Binatang


No. Binatang Volume Maksimum (ml)
Cara Pemberian
i.v. i.m. i.p. s.c. p.o
1. Mencit (20-30 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0* 1,0
g)
2. Tikus (100 g) 1,0 0,1 2,0-5,0 2,0-5,0* 5,0
3. Hamster (50 g) - 0,1 1,0-5,0 2,5 2,5
4. Marmot (250 g) - 0,25 2,0-5,0 5,0 10,0
5. Merpati (300 g) 2,0 0,5 2,0 2,0 10,0
6. Kelinci (2,5 kg) 5,0-10,0 0,5 10,0- 5,0-10,0 20,0
20,0
7. Kucing (3 kg) 5,0-10,0 1,0 10,0- 5,0-10,0 50,0
20,0
8. Anjing (5 kg) 10,0- 5,0 20,0- 5,0-10,0 100,0
20,0 50,0

* Didistribusikan Ke Daerah Yang Lebih Luas


Diambil dari : M. Boucard, et al, Pharmacodinamic, Guide de Travaux Practiquea,
1981-1982
Senyawa yang tidak larut dibuat dalam bentuk suspensi dalam gom dan diberikan
dengan rute per oral.

1.2.6 Anestesi hewan percobaan


Selain anestesi yang disebutkan pada uraian di atas, tabel 1.2 memuat beberapa data
mengenai anestesi umum yang dapat diberikan pada hewan percobaan.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 18


Tabel 1.2 Data anestesi umum pada hewan percobaan
Hewan Rute
Anestetika Kepekaan larutan & Pelarut Dosis
percobaan Pemberian
Mencit & Eter Inhalasi
Tikus
Kloralose 2% dalam NaCl fisiologis 300 mg/kg i.p

10%-25% dalam NaCl


Uretan 1-1.25 g/kg i.p
fisiologis
40-60 mg/kg (kerja
i.p
singkat)
Nebutal 65 mg/ml atau
80-100 mg/kg (kerja
i.v
lama)
45-60 mg/kg i.p
Pentobarbital Na 4.5%-5% dalam NaCl fisiologis
35 mg/kg i.v
75 mg/kg i.p
7.5% dalam NaCl fisiologis
Heksobarbital Na
4.7% dalam NaCl fisiologis
47 mg/kg i.v
Kelinci Eter Inhalasi

Uretan 10% dalam NaCl fisiologis 19/kg i.p/i.v


100 mg/kg
1 % dalam NaCl fisiologis i.p
Kloralose/
1 % dalam NaCl fisiologis 100 mg/kg
(kloralose+Nembutal)
65 mg/ml i.v
10 mg/kg
22 mg/kg (kerja lama) i.v
Pentobarbital Na 5% dalam NaCl fisiologis 11 mg/kg (kerja
singkat) i.v
10-20 mg/kg (menurut
Pentotal 5% dalam aq.dest i.v
jangka waktu kerja)
Morfin 5% dalam aq.dest 100 mg/kg s.c
Marmot Eter inhalasi
Kloroform inhalasi
10-25% dalam NaCl fisiologis
Uretan 19/kg i.p
hangat

Kloralose 2% dalam NaCl fisiologis 150/kg i.p

Pentobarbital Natrium
28 mg/kg i.p
(seperti pada tikus)
Kera Eter Inhalasi

Kloralose 10% dalam NaCl fisiologis 100-200 mg/kg i.v

Pentotal 1% dalam aq.dest 20-25 mg/kg i.v

Anjing Kloralose 100-200 mg/kg i.v

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 19


1.2.7 Aplikasi Dosis Secara Kuantitatif Pada Spesies Lain
Untuk dapat memperoleh efek farmakologis yang sama dari suatu obat pada
tiap spesies hewan percobaan, diperlukan data mengenai aplikasi dosis secara
kuantitatif. Keterangan demikian akan diperlukan bila obata akan dipakai pada
manusia, dan pendekatan terbaik adalah dengan menggunakan luas perbandingan
tubuh. Beberapa spesies hewan percobaan yang sering digunakan, dipolakan
perbandingan luas permukaannya dalam tabel 1.4 secara matriks. Sebagai tambahan
ditentukan pula perbandingan terhadap luas permukaan tubuh manusia.
1.2.8 Pertanyaan
1. Sebutkan keuntungan serta kerugian pemakaian masing-masing hewan tersebut!
2. Mencit adalah hewan yang paling banyak digunakan dalam eksperimen
laboratorium. Mengapa?
3. Faktor-faktor apa yang perlu diperhatikan dalam memilih spesies hewan
percobaan untuk suatu penelitian laboratorium yang bersifat skrining ataupun
pengujian suatu efek khusus?
1.3 Faktor-Faktor Lingkungan Luar yang Dapat Mempengaruhi Hasil-Hasil
Eksperimen
Dalam laboratorium farmakologi, sebagian besar eksperimen dilakukan pada
hewan percobaan dan pada jaringan atau peragaan hewan percobaan. Sebagai
makhluk hidup ataupun struktur hidup persyaratan-persyaratan dan kebutuhan-
kebutuhan tertentu harus dipenuhi, agar respon terhadap manipulasi farmakologi yang
dialaminya dapat secara pasti dikatakan merupakan respon untuk perlakuan
farmakologi yang dialami.
Selain faktor-faktor internal pada hewan seperti: usia, kelamin, ras, sifat
genetik, status kesehatan dan status nutrisi, bobot tubuh, dan luas permukaan tubuh
yang mempengaruhi respon terhadap manipulasi farmakologi yang dialami, maka
berbagai faktor seperti : keadaan kandang, suasana asing atau baru, penempatan
hewan, pengeluaran hewan sebelum menerima obat, pengalaman hewan sebelum
menerima obat, keadaan ruangan tempat hidup (suhu, kelembaban, ventilasi, cahaya,
kebisingan) dapat memodifikasi respon yang diberikan pada hewan percobaan.
Faktor-faktor eksternal seperti : suplai oksigen, pemeliharaan lingkungan fisiologis
dan isoosmotis dan pemeliharaan strukturil ketika menyiapkan jaringan atau organ
untuk eksperimen, turut menjamin bahwa hasil eksperimen dapat dipercaya. Beberapa
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 20
faktor lingkungan yang telah dikemukaan di atas akan diuraikan lebih lanjut berikut
ini.
a. Keadaan kandang: bahan yang diletakkan pada dasar kandang sebagai tempat
tidur dapat menyebabkan perbedaan respon terhadap obat. Lamanya tidur pada
mencit-mencit putih jantan berbeda setelah diberikan heksobarbital natrium atau
pentobarbital natrium, jika untuk alas tidur digunakan pecahan-pecahan tongkol
jagung atau potongan kecil dari kayu sedap merah.
b. Suasana kandang yang baru atau asing, juga menambah variabilitas terhadap
respon obat, terutama pada uji pirogen dan efek furgatif atau dalam pengujian
efek obat terhadap keawasan, denytut jantung, ekskresi urin, and aktivitas
lokomotorik.
c. Penempatan hewan dalam kandang: penempatan hewan dalam kandang secara
sendiri atau bersama-sama juga dapat merubah respon terhadap obat. Mencit-
mencit strain tertentu yang ditempatkan bersama-sama menunjukkan peningkatan
toksisitas amfetamin sebesar sepuluh kali daripada ditempatkan sendiri-sendiri.
Bila besar kelompok dalam suatu kandang diperkecil, toksisitas amfetamin juga
berkurang.
Fenobarbital dengan dosis yang menyebabkan depresi kuat ternyata
menyebabkan respon yang berlawanan, yaitu menunjukkan efek stimulant kuat
terhadap mencit-mencit yang ditempatkan bersama-sama. Jadi untuk
mendapatkan hasi percobaan yang baik maksimum dapat ditempatkan lima ekor
hewan bersama-sama.
d. Pengalaman hewan sebelum menerima obat : Latihan-latihan melompat dalam
menghindari stimulus goncangan yang kuat, mengakibatkan bahwa hewan
percobaan menjadi lebih resisten dan tahan terhadap pengaruh obat-obatan
fenotiazin.
e. Keadaan ruangan tempat hidup hewan percobaan : suhu kamar sekitar 270 C
ternyata menaikkan toksisitas amfetamin dibandingkan dengan suhu sekitar
15.50C. Panas, mendilatasi pembuluh-pembuluh perifer dan mengintensifkan
kerja vasodilator dan diaforetik. Klorpromazina dan obat-obat sejenisnya lebih
bersifat depresan pada suhu kamar 130C sampai 180C daripada suhu 250C sampai
300C dan lebih bersifat mengeksitasi dan cepat membunuh pada suhu 330C
sampai 380C. di Negara-negara tropis, reaksi-reaksi alcohol yang berlebihan

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 21


tampak lebih merugikan dan obat-obat narkotika lebih cepat mengeksitasi dan
menyebabkan delirium.
Faktor-faktor lain yang dapat ikut memodifikasi respon hewan percobaan
terhadap obat yang diberikan ialah cuaca, ketinggian, musim, dan jenis makanan
serta saat waktu eksperimen dilakukan.
Meskipun belum semua faktor yang dapat memodifikasi respon hewan
percobaan terhadap suatu obat diketahui dan meskipun dapat dipersolakan
seberapa jauh keadaan-keadaan yang terlalu artificial harus dipatuhi ketika
melakukan eksperimen, namun untuk mempelajari efek obat serta intensitas efek
tersebut yang sesungguhnya dapat diterima bahwa faktor-faktor luar yang
memodifikasi hasil-hasil eksperimen sewajarnya dihindari.
Pertanyaan
1. Kemukakan tiga faktor lain yang dapat memodifikasi respon hewan percobaan
terhadap obat dengan memberikan contoh-contoh!
2. Bagaimanakah secara teoritis atau praktis pengaruh faktor-faktor ini turut
diperhatikan ketika memberikan obat pada seseorang?

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 22


Tabel 1.3. Perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaan untuk
konversi dosis
20 g 200 g 500 g 1,5 kg 2,0 kg 4,0 12,0 70,0 kg
mencit tikus marmot kelinci kucing kg kg manusia
kera anjing
20 g 1,0 7,0 12,29 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9
mencit
200 g 0,14 1,0 1,74 3,8 4,2 9,2 17,8 56,0
tikus
400 g 0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
marmot
1,5 kg 0,04 0,25 0,44 1,0 1,00 2,4 4,5 14,2
kelinci
2,0 kg 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0
kucing
4,0 kg 0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
kera
12,0 kg 0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
anjing
70,0 kg 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,018 0,16 0,32 1,0
manusia
Diambil dari D.R. Laurence & A. L. Bacharach, Evaluation of Drug Activities:
Pharmacomatery, 1964.

Cara mempergunakan tabel:


Bila diinginkan dosis absolut pada manusia 70 kg dari data dosis pada anjing 10
mg/kg (untuk anjing dengan bobot 12 kg) maka dihitung terlebih dahulu dosis
absolute pada anjing yaitu (10mg/kg x12 kg) = 120 mg.
Dengan mengambil faktor konversi dari table 1.3, diperoleh dosis untuk manusia
= (120 mg x 3.1) = 372 mg.
Dengan demikian dapat diramalkan efek farmakologis suatu obat yang timbul
pada manusia dengan dosis 372/70 kg BB adalah sama dengan yang timbul pada
anjing dengan dosis 120 mg/12 kg BB dari obat yang sama.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 23


Contoh perhitungan dosis :
Obat X memiliki dosis lazim pada manusia yaitu 40 mg. Akan diujikan pada mencit
secara per oral dengan berat badan 21,3 g.
a. Hitung konsentrasi larutan stok !
b. Hitung berapa mg serbuk obat X yang di timbang jika akan dibuat larutan stok
250 ml.
c. Hitung Vp pada mencit 20 g !
Jawab :
Jika tidak dinyatakan lain berat badan yang dimaksud adalah 50 kg (BB orang asia).
Maka harus dihitung terlebih dahulu dalam BB 70 kg ( sesuai yang tertera pada tabel
konversi).
70 𝑘𝑔
Dosis manusia 70 kg = 50 𝑘𝑔 𝑥 40 𝑚𝑔 = 56 𝑚𝑔

Kemudian dosis pada manusia 70 kg dikonversi ke dosis 20 g dengan mengambil


faktor konversi pada tabel 1.3 ( faktor konversi manusia ke mencit = 0,0026),
sehingga diperoleh dosis untuk mencit = 56 mg x 0,0026 = 0,1456 mg/20g mencit.
1000 𝑔
Dosis mencit per kgBB = 𝑥 0,1456 𝑚𝑔 = 7,28𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
20 𝑔
𝑑𝑜𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑖𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟
a. Konsentrasi larutan stok = 1
𝑉𝑝
2

21,3𝑔
Jika dianggap BB mencit terbesar 1,3 g, maka dosis = 1000𝑔 𝑥7,28𝑚𝑔 =

0,1551𝑚𝑔
Volume pemberian maksimal pada mencit secra per oral = 1,0 ml (lihat pada
tabel 1.1)
0,1551
Sehingga konsentrasi larutan stok = 1⁄ = 0,3102 𝑚𝑔/𝑚𝑙
2𝑥1𝑚𝑙

b. Jumlah serbuk yang ditimbang = 0,3102 mg/ml x 250 ml = 77,55 mg


c. Sebelum menghitung Vp, hitung dulu dosis mencit dengan BB yang
dinyatakan.
20𝑔
Jadi, dosis mencit 20 g = 1000𝑔 𝑥 7,28 𝑚𝑔 = 0,1456 𝑚𝑔
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑖𝑡 0,1456
Vp = 𝑘𝑜𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑡𝑜𝑘 = 0,3102 𝑚𝑔 𝑥 1𝑚𝑙 = 0.47 𝑚𝑙

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 24


PERCOBAAN I
PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT

A. Tujuan
Mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan cara-cara pemberian obat
terhadap kecepatan absorbsinya, menggunakan data farmakologi sebagai tolok ukur.
B. Pendahuluan
Untuk mencapai efek farmakologi seperti yang diinginkan, obat diberikan
dengan berbagai macam cara. Cara pemberian obat dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya bentuk sediaan. Bentuk sediaan ini juga disebut sebagai salah satu faktor
karena dengan bentuk sediaan obat tersebut akan menentukan bagaimana cara
pemberian obat, apakah melalui oral, intravena, intramuscular, maupun
intraperitoneal.
Cara pemberian obat meliputi:
a. Oral
Paling cocok untuk pemberian sendiri. Obat oral harus tahan terhadap
lingkungan asam dalam lambung dan harus menembus lapisan usus sebelum
memasuki aliran darah.
b. Sublingual
Absorbsinya baik melalui jaringan kapiler di bawah lidah. Obat-obat ini
mudah diberikan sendiri. Karena tidak melalui lambung, sifat kelabilan dalam asam
dan permeabilitas usus tidak perlu dipikirkan.
c. Rectal
Berguna bagi pasien yang tidak sadar/muntah-muntah atau bahkan anak kecil.
Ada juga teknik pemberian secara parenteral (sekitar saluran pencernaan).
Teknik ini menggunakan tusukan pada kulit. Tapi pemberian dengan cara ini
menimbulkan resiko adanya infeksi, nyeri, dan iritasi local.
Cara pemberian parenteral ada beberapa cara, yakni:
a. Intravena
Onset kerjanya obat cepat karena obat disuntikkan langsung ke dalam aliran
darah. Berguna untuk situasi darurat dan pada pasien yang tidak sadar. Obat yang
tidak larut tidak dapat diberikan secara intravena.
b. Intramuscular

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 25


Obat melalui dinding kapiler untuk memasuki aliran darah. Kecepatan
absorbsi tergantung dari formulasi obat.
c. Subkutan
Disuntikkan di bawah kulit dan menembus dinding kapiler untuk memasuki
aliran darah. Suntikan subkutan hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak
menyebabkan iritasi jaringan. Absorbsi biasanya terjadi secara lambat dan konstan
sehingga efeknya bertahan lama.
d. Intraperitoneal
Pemberian obat melalui intraperitoneal diberikan melalui perut, diharapkan
pemberian obat melalui intraperitoneal karena di sekitar rongga perut banyak terdapat
pembuluh darah sehingga obat lebih mudah diabsorbsi.
Masing-masing cara pemberian ini memiliki keuntungan dan manfaat tertentu.
Suatu senyawa atau obat mungkin efektif jika diberikan melalui cara lain. Perbedaan
ini salah satunya disebabkan oleh adanya perbedaan dalam hal kecepatan absorpsi
dari berbagai cara pemberian tersebut, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap
efek atau aktivitas farmakologisnya.
Waktu yang diperlukan suatu obat untuk mulai bekerja sampai dengan
menimbulkan efek dibagi menjadi dua, yaitu
a. Onset adalah waktu yang diperlukan mulai dari obat diberikan sampai dengan
obat menimbulkan efek.
b. Durasi adalah waktu yang diperlukan mulai dari obat menimbulkan efek sampai
dengan obat tersebut tidak berefek lagi.

C. Cara Percobaan
a. Alat dan Bahan
1. Spuit unjeksi dan jarum (1-2 ml)
2. Jarum berujung tumpul (untuk per oral)
3. Sarung tangan
4. Stop watch
5. Injeksi Luminal
b. Hewan uji: mencit atau tikus
c. Cara kerja
1. Tiap kelas dibagi menjadi 5 kelompok.
2. Masing-masing kelompok mendapat 3 mencit.
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 26
3. Berturut-turut kelompok I, II, III, IV, dan V mengerjakan percobaan oral,
sub kutan, intramuscular, intraperitoneal,oral.
4. Mencit ditimbang dan diperhitungkan volume luminal yang akan diberikan
dengan dosis 80 mg/kg BB.
5. Luminal diberikan pada hewan uji dengan cara pemberian sesuai dengan
masing-masing kelompok.
a. Oral, melalui mulut dengan jarum ujung tumpul.
b. Subkutan, masukkan sampai bawah kulit pada tengkuk hewan uji
dengan jarum injeksi.
c. Intramuscular, suntikan ke dalam otot pada daerah otot gluteus
maximus.
d. Intraperitoneal, suntikkan ke dalam otot rongga perut. Hati-hati jangan
sampai masuk ke dalam usus.

Tabel pengumpulan data.


No Cara Waktu (menit)
Hewan Pemberian Pemberian Reflek Balik Badan Onset Durasi
Hilang Kembali

D. Pengumpulan Data
Setelah hewan uji mendapat perlakuan, amati dengan cermat dan catat waktu
hilangnya reflek balik badan ditandai dengan hilangnya kemampuan hewan uji untuk
membalikkan badan dari keadaan terlentang. Hitung onset dan durasi waktu tidur
Luminal dari masing-masing kelompok percobaan, dan bandingkan hasilnya
menggunakan uji statistic “analisa varian pola searah” dengan taraf kepercayaan 95%.

E. Pertanyaan
1. Jelaskan secara spesifik dengan contoh-contoh, mengenai karakteristik
lingkungan fisiologis, anatomis dan biokimiawi yang berada pada daerah
kontak mula antara obat dengan tubuh beserta akibat yang ditimbulkannya!

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 27


2. Uraikan secara terperinci kondisi-kondisi penerimaan obat yang menentukan
rute pemberian obat yang dipilih!
3. Sebutkan 3 contoh dimana sifat obat menentukan cara pemberiannya!
4. Sebutkan implikasi-implikasi praktis dari rute pemberian obat (umpamanya
persyaratan sediaan farmasi yang diberikan dengan rute tertentu, dosis obat
jika dipilih rute pemberian tertentu dsb.)!

F. Daftar Pustaka
Anief, Moh. 2003. Cetakan IV. Apa Yang Perlu Diketahui Dengan Obat. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Syarif, Amir, dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: FKUI Press.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 28


PERCOBAAN II
PENGARUH INDUKTOR DAN INHIBITOR TERADAP EFEK
FARMAKOLOGI

A. Tujuan
Mempelajari pengaruh beberapa senyawa kimia terhadap enzim pemetabolisme
obat dengan mengukur efek farmakologinya.
B. Pendahuluan
Metabolisme obat sering juga disebut biotransformasi. Walaupun antara keduanya
juga sering dibedakan. sebagai ahli mengatakan bahwa istilah metabolisme hanya
diperuntukan bagi perubahan-perubahan biokimia/kimiawi yang dilakukan oleh tubuh
terhadap senyawa endogen sedang biotransformasi peristiwa yang sama bagi senyawa
eksogen (xenobiotika).
Pengetahuan tentang metabolisme obat menempati posisi penting dalam evaluasi
keamanan dan kemanfaatan suatu obat. Selain untuk mengetahui bagaimana obat
dimetabolisir dan dideaktivasi, juga untuk mengenal jalur dan kecepatan distribusi
dan eliminasi obat serta metabolitnya.
Reaksi-reaksi yang terjadi selama proses metabolism dapat dibagi menjadi dua,
yakni reaksi fase I meliputi reaksi-reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis; dan fase II
atau reaksi konjugasi. Reaksi-reaksi enzimatik yang berperan dalam proses tersebut
sebagian besar terjadi di dalam sel-sel hepar, dan sisanya terjadi di organ-organ lain
seperti saluran cerna, paru, ginjal, dan darah. Mikroflora gastrointestinal lebih
berperan dalam reduksi daripada oksidasi, dan hidrolisis daripada konjugasi.
Tempat terjadinya reaksi-reaksi oksidasi sebagian besar di dalam reticulum
endoplasmic sel. Namun proses tersebut juga bisa dikatalisir oleh enzim-enzim yang
berbeda di dalam sitosol ataupun mitokondria. Sedangkan reaksi fase II (konjugasi)
umumnya terjadi di dalam sitosol, kecuali reaksi glukoronidasi.
Jalur metabolisme obat oleh enzim hepar
1. Reaksi Fase I
a. Oksidasi : hidrolisis, dealkilasi, pembentukan oksida, desulfurasi,
dehalogenasi, dan deaminasi
b. Reduksi : aldehida, azo, dan nitro
c. Hidrolisis : deesterifikasi
2. Reaksi Fase II
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 29
a. Konjugasi glukoronida
b. asilasi (termasuk asetilasi)
c. Metilasi
d. Pembentukan asam merkapturat
e. konjugasi sulfat
Enzim-enzim mikrosom hepar, mukosa usus dan jaringan lain, berperan dalam
oksigenasi xenobiotika dan senyawa-senyawa endogen (asam-asam lemak, kolesterol,
dan hormone-hormon steroid). Dalam hidroksilasi, suatu atom O akan berikatan
dengan atom-atom C, N, dan S dari molekul obat. Reaksi ini dikatalisis oleh
sekelompok enzim reticulum endoplasmic hepar (mixed function oxidases sistem =
MFO) yang melibatkan sitokrom P-450 dan reduktase NADPH-sitokrom-C.
Induksi dan Penghambatan Enzim
Banyak obat mampu menaikkan kapasitas metabolismenya sendiri dengan induksi
enzim (menaikkan kecepatan sintesis enzim), seperti fenobarbital, etanol,
fenilbutason. Kenaikkan aktivitas enzim metabolisme ini menyebabkan lebih
cepatnya metabolisme dan yang pada umumnya merupakan proses deaktivasi obat
sehingga mengurangi kadarnya di dalam plasma dan memperpendek waktu paro obat.
Karena itu intensitas dan durasi efek farmakologinya berkurang.
Sekobarbital, pentobarbital, alobarbital, dan fenobarbital menaikkan kadar
sitokrom P-450, serta meningkatakan beberapa kecepatan beberapa reaksi
metabolisme seperti deetilasi fenasetin, demetilasi aminopirin, 4-hidroksilasi bifenil
dan hidroksilasi heksobarbital.
Ada juga beberapa obat yang mampu menghambat metabolisme suatu obat,
seperti simetidin. Penghambatan metabolisme suatu obat atau xenobiotika dapat
berlangsung dalam beberapa cara, termasuk destruksi dari enzim-enzim yang sudah
ada sebelumnya, penghambatan sintesis enzim atau dengan pembentukan kompleks,
sehingga membuat tidak aktifnya enzim pemetabolisme obat.
Pengaruh induksi dan penghambat enzim terhadap efek farmakologik dan
toksisitas cukup besar, sehingga perlu diperhatikan oleh para praktisi. Sebagai contoh
pemberian Phenobarbital bersama-sama dengan warfarin akan mengurangi efek
antikoagulansianya. Demikian pula pemberian simetidin suatu antagonis reseptor H-2,
akan menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam memetabolisis obat-obat lain.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 30


Induksi enzim menunjukkan variasi yang besar antara spesies, dan bahkan antar
keturunan dalam suatu spesies. Selain itu, variasi juga terjadi antar jaringan satu
dengan yang lain di dalam tubuh binatang.
Pengetahuan terhadap pengaruh inductor dan inhibitor enzim terhadap laju
metabolisme obat akan sangat membantu dalam memperkirakan perubahan-
perubahan yang terjadi pada efek farmakodinamiknya.
C. Cara Percobaan
1. Bahan dan Alat
a. inductor enzim : Phenobarbital
b. Inhibitor enzim : Ranitidin
c. Jarum suntik oral (ujung tumpul)
d. Stop watch
2. Hewan uji : mencit
3. Cara Kerja
a. Tiap kelas dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing mendapat 5 ekor
hewan uji
b. Kelompok I (kontrol) : hewan uji diberi Phenobarbital 80mg/KgBB dosis
tunggal secara intraperitonial
Kelompok II dan IV : Seperti kelompok I, dengan praperlakuan
Phenobarbital 80mg/Kg BB, i.p., selama tiga
hari, tiap 24 jam
Kelompok III dan V : Seperti kelompok I, yang diberikan bersama-
sama dengan Ranitidin, i.p, 80mg/KgBB I jam
sebelumnya.
c. Pengamatan
Lama waktu sampai terjadinya hypnosis serta lama waktu tidur karena
Phenobarbital dengan parameter righting reflex.
D. Hasil Percobaan
1. Induksi enzim (Phenobarbital 80mg/KgBB, i.p., selama dua kali 48 jam)
No Perlakuan Obat Waktu timbul efek
1 - Phenobarbital ……. Menit
2 Phenobarbital - …….. menit

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 31


2. Inhibitor enzim (Ranitidin 80mg/KgBB, i.p)
No Perlakuan Obat Waktu timbul efek
1 - Phenobarbital ……... menit
2 Ranitidin - ……... menit

E. Analisa Data
Setelah hewan uji mendapat perlakuan, amati dengan cermat dan catat waktu
hilangnya reflek balik badan ditandai dengan hilangnya kemampuan hewan uji untuk
membalikan badan dari keadaan terlentang. Hitung durasi waktu tidur Phenobarbital
dari masing-masing kelompok percobaan, dan bandingkan hasilnya menggunakan uji
statistic “analisa varian pola searah” dengan taraf kepercayaan 95%.
F. Pertanyaan
1. Apa yang dimaksud dengan inductor dan hibitor beserta contoh peristiwanya
masing-masing 3?
2. Jelaskan apa yang dapat terjadi bila suatu obat diberikan bersamaan dengan
inductor atau inhibitor!
G. Daftar Pustaka
Gibson, Gardon, G.1991. Pengantar Metabolisme Obat. Jakarta: Universitas
Indonesia Press
Sjamsudin, Udin. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Yogyakarta:
universitas Gadjah Mada Press

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 32


PERCOBAAN III
ANTIPIRETIK

A. Tujuan
1. Mengenal satu cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek
antipiretik suatu obat.
2. Mampu membedakan potensi antipiretik dari beberapa golongan kimia
obat-obatan antipiretik.
3. Mampu merumuskan beberapa kriteria antipiretik untuk senyawa-senyawa
yang diduga potensial untuk maksud ini.
4. Menyadari pendekatan sebaik-baiknya untuk mengatasi panas.

B. Pendahuluan
Suhu tubuh normal manusia terdapat sekitar 370C (36,50C-36,90C), meskipun
berbagai faktor dalam keadaan sehat, seperti kerja otot, variasi diurnal dapat
mengakibatkan variasi dalam suhu tubuh.
Manusia memiliki mekanisme yang sangat efisien dan fleksibel di hipotalamus
untuk menjaga suhu tubuh dalam batas-batas variasi suhu yang optimum melalui
penyeimbangan produksi panas dan pengeluaran panas yang berlebih dengan
menggunakan mekanisme perifer seperti dilatasi pembuluh-pembuluh darah
perifer dan peningkatan aktivitas kelenjar keringat.
Pada keadaan panas dan demam, mekanisme sentral di hipotalamus untuk
mengatur suhu tubuh yang sering diumpamakan seperti suatu termostat, seolah-
olah disetel pada suhu yang lebih tinggi. Keseimbangan antara produksi panas dan
pengeluaran panas tetap terpelihara, hanya kini untuk menjaga suhu tubuh tetap
pada yang lebih tinggi, atau mungkin juga produksi panas meningkat tanpa ada
peningkatan dalam pengeluaran panas.
Panas demam diimbas oleh berbagai stimulus yang merugikan tubuh, seperti
sengatan panas, toxin mikroorganisme kalau ada infeksi senyawa-senyawa kimia
yang bersifat pirogenik, senyawa-senyawa kimia yang meningkatkan metabolisme
tubuh. Semuanya mengeksitasi secara langsung atau tidak langsung di pusat
pengatur suhu di hipotalamus.
Dengan sendirinya, tindakan primer yang terbaik untuk mengatasi panas
demam, mestinya usaha untuk meniadakan stimulus yang merugikan tubuh ini,
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 33
umpamanya memberikan obat yang manjur untuk memberantas mikroorganisme
penyebab infeksi, karena panas demam yang menandakan pula peningkatan
metabolisme dalam tubuh merupakan usaha tubuh untuk meniadakan stimulus
yang merugikannya.
Obat-obat yang tergolong antipiretik primer tidak menghilangkan stimulus
yang merugikan ini, tetapi bekerja sentral pada hipotalamus untuk mensetel
“thermostat” tubuh pada suhu yang lebih rendah melalui peningkatan pengeluaran
panas karena vasodilatasi pembuluh primer, meskipun dalam keadaan suhu
normal, obat-obat ini dapat menyebabkan nyeri.
Suatu penggunaan klinis utama yang lain dari obat-obat ini adalah sebagai
analgesik, karena kemampuannya untuk menekan proses-proses patologis seperti
peradangan yang menyebabkan nyeri.
Prinsip pengujian efek antipiretik obat ini adalah dengan mengukur
kemampuannya untuk menurunkan panas yang diciptakan secara eksperimental
pada hewan percobaan.

C. Cara Percobaan
1. Bahan dan Alat
a. Penginduksi panas:Vaksin DPT Hb
b. Zat pensuspensi (CMC Na)
c. Bahan obat: Ibuprofen, Na diklofenak, Asam mefenamat, Metilprednisolon
& Deksamethasone.
d. Jarum suntik oral (ujung tumpul)
e. Termometer rektal
2. Hewan uji : tikus putih jantan
3. Cara Kerja
a. Suhu rektal normal dari masing-masing tikus dicatat sebelum pemberian
obat.
b. Tiap kelompok masing-masing mendapat 4 ekor tikus.
c. Tiga dari empat tikus disuntik dengan Vaksin DPT Hb, tikus keempat
berfungsi sepenuhnya sebagai kontrol.
d. Suhu rektal tiap tikus dicatat tiap selang setengah jam.
e. Pada saat tercapai puncak demam oleh Vaksin DPT Hb, lazimnya empat
jam setelah pemberiannya diberi perlakuan sebagai berikut:
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 34
Kelompok G (Ibuprofen) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Ibuprofen dosis 200 mg/50 kg BB manusia , 1 hewan uji (kontrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok H (Na diklofenak) : 3 hewan uji diberikan suspensi Na
diklofenak dosis 50 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (konrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok I (Metilprednisolon) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Metilprednisolon dosis 8 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol)
diberi CMC Na 0,5%.
Kelompok J (Asam Mefenamat) : 3 hewan uji diberikan suspensi Asam
Mefenamat dosis 500 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok K (Paracetamol) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Paracetamol dosis 500 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok L (Deksamethasone) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Deksamethasone dosis 1 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol)
diberi CMC Na 0,5%.
f. Suhu tubuh keempat ekor tikus dicatat selang 20,40, 60,90, 120,150, dan
180 menit.

D. Pengamatan
1. Tabelkan hasil-hasil pengamatan suhu tubuh sebelum dan sesudah pemberian
antipiretik dikaitkan dengan waktu setelah pemberian obat.
2. Buatkan kurva suhu tubuh tikus dari hasil pengamatan saudara sehingga jalan
dapat diikutipengaruh antipiretik dikaitkan pula dengan waktu sejak
pemberian obat.

E. Pembahasan dan Simpulan


Bahas selengkap mungkin mengenai eksperimen ini, dan kemukakan pula
kesimpulan-kesimpulan dan komentar-komentar saudara.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 35


F. Pertanyaan
1. Rumuskan dari hasil-hasil pengamatan saudara beberapa persyaratan untuk
suatu antipiretik yang baik.
2. Apakah ada implikasi-implikasi praktis yang berbeda untuk penggunaan
keempat obat yang digunakan dalam eksperimen ini dari hasil pengamatan
saudara? Jelaskan jawaban saudara!
3. Menurut pendapat saudara antipiretik termasuk kelompok yang manakah dari
ketiga kelompok obat sistem syaraf pusat yang dikemukaan pada awal bab ini?
Jelaskan jawaban saudara!

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 36


PERCOBAAN IV
ANALGESIK

A. Tujuan
Setelah menyelesaikan eksperimen ini mahasiswa:
1. Mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek analgesic
suatu obat.
2. Memahami dasar-dasar perbedaan dalam daya analgesic berbagai analgetika.
3. Mampu memberikan pandangan yang kritis mengenai kesesuaian khasiat yang
dianjurkan untuk sediaan –sediaan farmasi analgetika.

B. Pendahuluan
Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi
rasa sakit atau nyeri. Analgetika yang diberikan kepada penderita untuk mengurangi
rasa nyeri yang dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia dan fisis.
Rasa nyeri tersebut terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri
(misalnya bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian
merangsang reseptor nyeri di ujung syaraf perifer ataupun di tempat lain. Dari tempat-
tempat ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh
syaraf sensoris melalui sunsum tulang belakang dan thalamus.
Berdasarkan atas rangsang nyeri yang dipergunakan, maka terdapat berbagai
metode penetapan daya analgetika suatu obat. Salah satu diantaranya menggunakan
rangsang kimia sebagai penimbul rasa nyeri, seperti yang akan dipraktekkan di sini.
Berdasar proses terjadinya rasa nyeri tersebut, maka rasa nyeri dapat dilawan
dengan beberapa cara:
a. Merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor nyeri perifer (analgetika
perifer, anestesi lokal).
b. Merintangi penyaluran rasa nyeri dalam syaraf-syaraf sensoris (anestesi lokal).
c. Memblokade atau menghambat rasa nyeri di pusat nyeri dalam susunan syaraf
pusat (analgetika narkotika, anestesi umum).
Secara umum, analgetika dibagi ke dalam dua golongan, yakni
a. Analgetika non narkotika atau integumental analgetics (misalnya asetosal,
parasetamol). Obat-obat ini dinamakan anlgetika perifer karena tidak
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 37
mempengaruhi susunan syaraf sentral, tidak menurunkan kesadaran dan tidak
mengakibatkan ketagihan.
b. Analgetika narkotika atau visceral analgetics (misalnya morfin). Analgetika ini
memiliki daya penghalang rasa nyeri yang sangat kuat sekali, mengurangi
kesadaran (mengantuk) dan memberikan perasaan nyaman (euphorbia). Obat ini
dapat juga menyebabkan toleransi, kebiasaan (habituasi), ketergantungan fisik
dan psikis (adiksi) dan gejala-gejala abstinensia bila diputuskan pengobatan.

C. Cara Percobaan
a. Metode: Jentik Ekor
Rangsang nyeri yang digunakan dalam metode ini berupa air panas (50°C),
dimana ekor tikus dimasukkan ke dalam air panas akan merasakan nyeri panas
dan ekor dijentikkan keluar air panas.
b. Bahan
1. Larutan CMC Na 0,5%
2. Bahan obat: Ibuprofen, Na diklofenak, Asam mefenamat, Metilprednisolon
& Deksamethasone.
c. Hewan uji: tikus putih jantan
d. Alat
1. Spuit injeksi (0,1-1ml)
2. Jarum oral (ujung tumpul)
3. Bekker glass
4. Stop watch
5. Penangas air
6. Holder tikus
7. Neraca ohauss
e. Cara Kerja
1. Sebelum pemberian obat catat dengan mempergunakan stopwatch waktu
yang diperlukan tikus untuk menjentikkan ekornya keluar dari penangas
air. Tiap rangkaian pengamatan dilakukan tiga kali, selang dua menit.
Pengamatan pertama diabaikan, hasil dari dua pengamatan terakhir
diratakan dan dicatat sebagai respon normal masing-masing tikus terhadap
stimulus nyeri. Jika perlu, stimulus disesuaikan untuk mencapai respon
normal terhadap stimulus nyeri, sekitar tiga sampai lima detik.
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 38
2. Tiap kelompok mendapat 4 ekor hewan uji, 1 ekor hewan uji sebagai
kontrol.
3. Kelompok G (Ibuprofen) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Ibuprofen dosis 200 mg/50 kg BB manusia , 1 hewan uji (konrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok H (Na diklofenak) : 3 hewan uji diberikan suspensi Na
diklofenak dosis 50 mg/50 kg BB, manusia 1 hewan uji (kontrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok I (Metilprednisolon) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Metilprednisolon dosis 8 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol)
diberi CMC Na 0,5%.
Kelompok J (Asam Mefenamat) : 3 hewan uji diberikan suspensi Asam
Mefenamat dosis 500 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok K (Paracetamol) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Paracetamol dosis 500 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok L (Deksamethasone) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Deksamethasone dosis 1 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol)
diberi CMC Na 0,5%.

4. Diamkan sepuluh menit, kemudian nilai respon masing-masing tikus


terhadap stimulus nyeri seperti pada no (1). Jika tikus tidak menjentikkan
ekornya keluar air panas dalam waktu 10 detik setelah pemberian stimulus
nyeri, maka dapat dianggap bahwa ia tidak menyadari stimulus nyeri
tersebut. Jangan biarkan ekornya melampaui waktu ini dalam air panas.
5. Ulangi penilaian respon tikus tiep menit ke 20, 30, 60, 90 menit dan
seterusnya sampai efek analgesic hilang.
6. Tabelkan hasil-hasil pengamatan Saudara dengan sebaik-baiknya.
7. Gambarkan suatu kurva yang merefleksikan pengaruh obat-obat yang
diberikan terhadap respon tikus untuk stimulus nyeri.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 39


D. Pembahasan dan Simpulan
Bahas selengkap mungkin mengenai eksperimen ini dan kemukakan pula
simpulan-simpulan dan komentar Saudara.

E. Daftar Pustaka
Anonim. 2002. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru
Tjay, Tanhoan, Kirana Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: Gramedia

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 40


PERCOBAAN V
ANTIINFLAMASI

A. Tujuan
Setelah menyelesaikan eksperimen, mahasiswa diharapkan:
1. Dapat memahami azas eksperimen dan memperoleh petunjuk-petunjuk yang
praktis.
2. Dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dan batasan yang merupakan sifat
teknik percobaan.

B. Pendahuluan
Meskipun kejadiannya merupakan gabungan proses yang kompleks inflamasi
mempunyai tanda-tanda dan gejala yang bersifat umum yaitu bengkak kemerahan,
nyeri dan panas, tidak peduli sebabnya karena bahan kimia atau mekanis.
Obat-obat anti radang dibagi menjadi dua golongan utama, golongan
kortikosteroid dan nonsteroid. Argumen yang dewasa ini diterima mengenai
mekanisme kerja obat-obat tersebut ialah bahwa aksi obat-obat anti radang berkaitan
dengan penghambatan metabolisme asam arakhidonat (Higgs dan Whittle, 1980).
Seperti diketahui asam arakhidonat adalah substrat untuk enzim-enzim
siklooksigenase dan lipooksigenase. Siklooksigenase mensintesa siklik endoperoksida
(prostaglandin G-2 dan H-2) yang kemudian akan diubah menjadi prostaglandin
stabil, tromboksan, atau prostasiklin. Ketiga produk ini berasal dari leukosit, dan
senyawa-senyawa itu dijumpai pada keadaan radang. Di dalam leukosit, asam
arakhidonat oleh lipooksigenase akan diubah menjadi asam-asam mono dan di-
hidroksi (HETE) yang merupakan prekursor dari leukotrien (senyawa yang dijumpai
pada keadaan anafilaksis). Dengan adanya rangsang mekanis atau kimia, produksi
enzim lipooksigenase akan dipacu sehingga meningkatkan produksi leukotrien dari
asam arakhidonat.
Obat-obat yang dikenal menghambat siklooksigenase secara spesifik
(indometasin dan salisilat) mampu mencegah produksi mediator inflamasi: PGE-2 dan
prostasiklin. Karena prostaglandin bersifat sinergik dengan mediator inflamasi lainnya
(yakni bradikinin dan histamin) maka pencegahan pembentukan prostaglandin akan
mengurangi efektivitas bradikinin dan histamin. Ibuprofen dan aspirin mampu
berikatan dengan siklooksigenase, dan bersifat kompetitif terhadap arakhidonat.
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 41
Secara in vivo kortikosteroid mampu menghambat pengeluaran prostaglandin
pada tikus, kelinci, dan marmot. Penghambatan pengeluaran asam arakhidonat dari
fosfolipida juga akan mengurangi produk-produk siklooksigenase dan lipooksigenase
sehingga mengurangi mediator peradangan. Kedua enzim tersebut dapat dihambat
oleh benoksaprofen.

Udem dengan Karagen


Dari sekian banyak teknik percobaan anti inflamasi, yang paling sering dilakukan
adalah pembentukan udem dengan karagen, suatu polisakarida sulfat yang berasal dari
tanaman chondruserispus. Pembentukan udem oleh karagen tidak menyebabkan
kerusakan jaringan meskipun udem dapat bertahan 6 jam dan berangsur-angsur akan
berkurang dan setelah 24 jam akan menghilang tanpa meninggalkan bekas.
Prinsip
Suntikan subkutan karagen pada telapak kaki belakang tikus menyebabkan udem yang
dapat diinhibisi oleh obat anti inflamasi yang diberikan sebelumnya. Volume udem
diukur dengan alat plethysmometer dan dibandingkan terhadap udem yang tidak
diberikan obat. Aktivitas obat anti inflamasi dinilai dari presentase proteksi yang
diberikan terhadap pembentukan udem.

C. Cara Percobaan
a. Bahan
1. Karagenin 1%
2. Ibuprofen
3. Na Diklofenak
4. Deksametason
5. Metilprednisolon
6. Paracetamol
7. Binatang percobaan (Tikus jantan 200-300gr/Wistar).
b. Alat
1. Pletismograf.
2. Alat suntik (jarum tupul)
3. Spuit 1 ml
c. Cara Kerja
1. Tikus ditimbang dan kaki kanan belakang diberi tanda sebatas mata kaki.
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 42
2. masing-masing kelompok mendapat 4 ekor tikus.
3. Masing-masing kelompok diukur volume normal kaki kanan belakang
(Vn) dengan mencelupkannya ke dalam cairan raksa sampai batas tanda
pada alat plestimograf.
4. Diberi perlakuan secara peroral dengan menggunakan sonde, yaitu:
Kelompok G (Ibuprofen) : 3 hewan uji diberikan suspensi Ibuprofen dosis
200 mg/50 kg BB manusia , 1 hewan uji (konrol) diberi CMC Na 0,5%.
Kelompok H (Na diklofenak) : 3 hewan uji diberikan suspensi Na
diklofenak dosis 50 mg/50 kg BB, manusia 1 hewan uji (konrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok I (Metilprednisolon) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Metilprednisolon dosis 8 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol)
diberi CMC Na 0,5%.
Kelompok J (Asam Mefenamat) : 3 hewan uji diberikan suspensi Asam
Mefenamat dosis 500 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol) diberi
CMC Na 0,5%.
Kelompok K (Paracetamol) : 3 hewan uji diberikan suspensi Paracetamol
dosis 500 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol) diberi CMC Na
0,5%.
Kelompok L (Deksametahsone) : 3 hewan uji diberikan suspensi
Deksamethasone dosis 1 mg/50 kg BB manusia, 1 hewan uji (kontrol)
diberi CMC Na 0,5%.
Setengah jam setelah perlakuan diberikan , diinjeksikan dengan larutan
karagenin 1% sebanyak 0,05 ml secara subplantar pada kaki kanan
belakang yang diukur volumenya tadi.
5. Selanjutnya tiap 1/2 jam, diukur volume kaki kanan belakang dengan cara
mencelupkannya ke dalam cairan raksa sampai batas tanda pada alat
plestimograf. Pengukuran dilakukan selama 3 jam. Volume kaki dibaca
pada pipet ukur 1 ml dengan 1 skala pada pipet ukur sebesar 0,1 ml.
6. Volume udema pada setiap jam diketahui dari selisih volume telapak kaki
pada jam-jam tertentu (Vt0, Vt1, Vt2, Vt3, Vt4, Vt5) dengan volume
telapak kaki normal (Vn).

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 43


D. Analisa Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah volume udema yaitu selisih antara
volume tiap jam dengan volume normal. Dari volume udema dihitung persen
kenaikan volume udema (%KVU) dengan rumus
Vtn  Vn
%KVU = x 100%
Vn
Dari data persen kenaikan volume udema dibuat kurva hubungan persen kenaikan
volume udema dengan waktu. Dihitung Area Under Curve (AUC0-5) setiap subyek
uji. Nilai AUC volume udema dihitung dengan metode trapezoid tiap 1 jam dengan
rumus:
Vutn  Vutn  1
AUCtn – tn-1 = (tn – tn-1)
2
Vu tn = volume udema pada t ke n
Vu tn-1 = volume udema pada waktu t ke n-1
Data AUC0-5 dianalisa secara statistic dengan analisa varian satu jalan. Untuk
mengetahui perbedaan antar kelompok perlakuan dilakukan uji t dengan taraf
kepercayaan 95%.
Dari data AUC dihitung persen daya inflamasinya dengan rumus:
AUCk  AUCu
% daya antiinflamasi = x 100%
AUCk
Data % daya antiinflamasi juga dianalisa secara statistic dengan analisa varian
satu jalan. Untuk mengetahui perbedaan antar kelompok perlakuan dilakukan uji t
dengan taraf kepercayaan 95%.

E. Pertanyaan
1. Jelaskan mekanisme terbentuknya radang!
2. Sebutkan obat-obat anti-inflamasi dan apakah ada diantara obat-obat tersebut
yang juga kerjanya menghilangkan rasa nyeri!
3. Jelaskan mekanisme kerja obat-obat antiinflamasi!
F. Daftar Pustaka
Anonim. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia
Anonim. 1994. Farmakologi. Jilid II. Jakarta: DEPKES RI
Djamuri, Agus. 1995. Sinopsis Farmakologi. Jakarta: Hipokrates

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 44


PERCOBAAN VI
ANTIHIPERGLIKEMIA

A. Tujuan
Setelah menyelesaikan percobaan ini, diharapkan mahasiswa dapat:
1. Melakukan induksi hiperglikemi terhadap hewan coba
2. Membandingkan potensi antihiperglikemi bahan sintesis dan bahan alam

B. Pendahuluan
Pada era globalisasi manusia membutuhkan sesuatu yang serba cepat, ringkas
dan mudah. Salah satu dampak dari peningkatan kemakmuran, mengakibatkan
pergeseran pola hidup yang akan berubah menjadi pola hidup beresiko. Pergeseran
pola hidup yang beresiko salah satunya adalah konsumsi makanan tinggi lemak tetapi
sedikit serat. Pola hidup seperti ini yang menyebabkan tingginya kekerapan penyakit
Diabetes Mellitus (Suyono, 1986:572).

Tipe Diabetes Mellitus yang kini dipakai telah disepakati secara luas seluruh
dunia terbagi dalam dua kategori yaitu Diabetes Mellitus Tergantung Insulin (tipe I)
dan Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin (tipe II) (Greenspan dan Baxter,
2000:754)

Diabetes Mellitus jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan


timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti pada mata yang disebut
retinopati diabetik, ginjal (nefropati diabetik), syaraf (neuropati diabetik), jantung dan
hipertensi. Selain mengendalikan kadar glukosa darah, Diabetes Mellitus dapat
dicegah melalui berbagai cara terutama adalah pengaturan pola makan, pengobatan
secara medis yaitu dengan pemberian insulin dan antidiabetik oral. Diabetes Mellitus
membutuhkan perawatan yang lebih lama, sepanjang hidup, biaya pengobatan yang
mahal, dan harga obat kimia yang diproduksi pabrik mahal, maka masyarakat
cenderung melakukan pengobatan alternatif sebagai penanggulangan penyakit
Diabetes Mellitus.
Diabetes Mellitus merupakan suatu sindroma klinik yang ditandai oleh
hiperglikemia. Diagnosa Diabetes Mellitus berdasarkan adanya peningkatan abnormal
dari glukosa darah (Soedewo, 1986:52). Kadar glukosa darah puasa batas normalnya
adalah 80–90 mg/dL dan 110mg/dL sebagai batas atas normal (Guyton dan
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 45
Hall,1997:1236). Harga normal gula darah sesudah makan (Post Prandial Value)
adalah kurang dari 160mg/dL. Bila kadar gula darah manusia lebih dari 200mg/dL
merupakan penegakan diagnosa Diabetes Mellitus (Waspadji, 1986:593).

Hiperglikemik timbul karena penyerapan glukosa kedalam sel terhambat,


akibatnya metabolisme glukosa akan terganggu sehingga penggunaan glukosa oleh
semua jaringan tubuh terutama oleh otot, jaringan adiposa, dan hati menjadi
berkurang. Gangguan metabolisme ini berhubungan dengan suatu kekurangan insulin
absolut atau relatif.
Diabetes melitus dapat didefinisikan sebagai suatu golongan gangguan
metabolisme yang secara genetik dan klinik termasuk jenis heterogen yang akhirnya
dimanifestasikan oleh kehilangan toleransi karbohidrat. Pada diabetes yang secara
klinik sudah berkembang dengan sepenuhnya, diabetes ditandai oleh hiperglikemia
puasa (Price, 1998:303). Diabetes melitus adalah suatu gangguan kronis yang
khususnya menyangkut metabolisme hidrat arang (glukosa) (Tjay, 2002:693).
Diabetus melitus dikasifikasikan menjadi 2 yaitu: DM tipe 1 Diabetus Mellitus
Tergantung Insulin (DMTI) – Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), DM tipe
2 ; Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) – Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM) (Katzung, 2002:203). Pada keadaan normal, kadar
glukosa darah dipengaruhi oleh aktivitas hormon insulin, glukagon, adrenalin dan
somatostatin.(Murray et al, 1999;202). Insulin merupakan salah satu hormon didalam
tubuh manusia yang dihasilkan oleh sel ß pulau Langerhans yang berada didalam
kelenjar pankreas (Katzung, 2004, Muray et al, 1999:202).

Ketika insulin memasuki sirkulasi , maka insulin diikat oleh reseptor khusus yang
terdapat pada membran sebagian besar jaringan. Respons insulin biologis yang yang
dipicu oleh terjadinya kompleks reseptor insulin tersebut, hanya dapat diidentifikasi
pada beberapa jaringan target saja, misalnya, hati, otot, dan jaringan lemak (Katzung,
2002:676). Glukosa yang bersifat diuretik osmotik, menyebabkan diuresis sangat
meningkat disertai hilangnya berbagai elektrolit (hiperosmolaritas), maka akan
bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum (polidipsia) ( Handoko, 1997:471).
Dehidrasi didalam tubuh menyebabkan tubuh berusaha mengatasinya dengan banyak
minum (polidipsi), maka badan akan kehilangan 4 kalori untuk setiap gram glukosa
yang diekskresikan. Polifagia timbul karena perangsangan pusat nafsu makan di

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 46


hipotalamus oleh kurangnya pemakaian glukosa dikelenjar tersebut
(Handoko,1997:470)

C. CARA PERCOBAAN
a. Bahan
1. Aloksan
2. Glukosa
3. Glibenklamid
4. Simplisia
5. Hewan uji : tikus putih jantan
b. Alat
1. Alat tes gula darah
2. Stik tes gula darah
3. Scalpel
4. Spuit 1 ml
c. Cara Kerja
1. Dua puluh lima hewan uji dibagi menjadi 2 kelompok besar.
2. Kelompok I terdiri dari 12 ekor tikus diinduksi dengan aloksan dosis 150
mg/kgBB secara intraperitoneal.
3. Kelompok II terdiri dari 12 ekor tikus diinduksi dengan pembebanan
glukosa dosis 2,14 g/kgBB.
4. Masing-masing kelompok dibagi menjadi 3 kelompok kecil dimana
kelompok 1 diberi glibenklamid dosis 1,89 mg/kgBB, kelompok 2 diberi
ekstrak simplisia dosis (seusuai junral yg didapat), kelompok 3 diberi
simplisia dosis (seusuai junral yg didapat).
5. Pengambilan darah dilakukan 3 kali, yaitu sebelum induksi, setelah
induksi dan setelah pemberian obat. Kadar glukosa darah dihitung
menggunakan stik tes gula darah.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 47


PERCOBAAN VII
TERAPI ANTIDOT METODE KHAS
NATRIUM NITRIT DAN NATRIUM TIOSULFAT

Tujuan
Mampu memahami tujuan, sasaran dan strategi terapi antidot, berdasarkan
contoh kemampuan natrium nitrit dan natrium tiosulfat menawarkan racun sianida.

Pendahuluan
Terapi antidot adalah suatu cara yang khusus ditujukan untuk membatasi
intensitas efek toksik zat kimia atau untuk menyembuhkan efek toksik yang
ditimbulkannya, sehingga bermanfaat mencegah bahaya selanjutnya. Dapat dilihat
bahwa sasaran terapi antidot adalah penurunan atau penghilangan efek toksik.
Intensitas efek toksik suatu senyawa tergantung pada besarnya kadar dan lama
tinggal seyawa terkait di tempat aksi. Hal ini ditentukan oleh keefektifan absorbsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi senyawa terkait. Strategi terapi antidot dapat
menggunakan simulasi dari proses-proses tersebut yang disebut dengan metode yang
tidak khas.
Metode tersebut dapat digunakan untuk menawarkan efek toksik semua obat
namun keefektifannya tidak sama antara senyawa obat yang satu dengan yang lain,
tergantung toksikannya. Contoh metode yang tidak khas antara lain : penghambatan
absorbsi dan distribusi, peningkatan ambang ketoksikan (KTM) dan peningkatan
eliminasi racun (metabolisme dan ekskresi).
Selain terdapat metode yang tidak khas, masih ada metode terapi antidot yang
khas, yaitu digunakan zat tertentu untuk menawarkan racun tertentu pula, sehingga
penawar racun ini hanya dapat digunakan oleh satu atau dua senyawa racun saja,
sementara tidak dapat menawar racunkan senyawa toksik lain. Contoh metode yang
khas adalah natrium nitrit atau natrium tiosulfat untuk terapi keracunan sianida.

Tata Cara Percobaan


1. Bahan
Tikus putih, larutan natrium nitrit 2 %, larutan natrium tiosulfat 25 % dan
larutan kalium sianida 1,5 %
2. Alat
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 48
Digunakan spuit dan jarum injeksi, stopwatch, dan alat-alat gelas
3. Perlakuan hewan uji
Dua puluh satu ekor tikus putih satu jenis kelamin, satu galur, berat seragam,
umur 40-60 hari, dikelompokkan dalam 7 kelompok sama banyak.

Kelompok I : disuntik s.c larutan sianida 0,5 % dosis 15 mg/kg BB. Dicatat saat
mulai timbul gejala sianosis, hilang kesadaran, kejang, gagal nafas dan kematian.
Kelompok II : disuntik i.p larutan natrium nitrit 1 % dosis 20 mg/kg BB. Dicatat
juga saat timbulnya gejala seperti kelompok I.
Kelompok III : disuntik larutan kalium sianida 0,5 % seperti kelompok I, pada saat
terjadi sianosis di suntik dengan larutan natrium nitrit seperti kelompok II. Dicatat
gejala seperti kelompok lainnya.
Kelompok IV : diberi perlakuan sama dengan kelompok III, pada saat terjadi kejang
baru disuntik larutan natrium nitrit, dan dicatat saat gejala timbul.
Kelompok V : hewan uji disuntik lartutan natrium tiosulfat secara i.p konsentrasi 25
% dosis 1125 mg/kg BB. Dicatat timbulnya gejala seperti kelompok I.
Kelompok VI : disuntik larutan kalium sianida seperti kelompok I, baru pada saat
timbul sianosis disuntik larutan natrium tiosulfat seperti kelompok V. Dicatat
timbulnya gejala seperti kelompok lainnya.
Kelompok VII : diberi perlakuan sama dengan kelompok VI, baru saat gejala
kejang disuntik larutan natrium tiosulfat. Dicatat pula terjadinya gejala yang timbul.

Analisis dan Evaluasi Hasil


Dibuat tabel purata : purata waktu timbulnya gejala sianosis, kejang, gagal nafas
dan kematian setelah perlakuan masing-masing kelompok.
Perbedaan semua kelompok dianalisis secara statistik dengan ANOVA, bila perlu
dilanjutkan dengan uji T.

PUSTAKA
Donatus, I.A. 1990 Toksikologi Pangan, edisi I, PAU Pangan dan Gizi. UGM :
Yogyakarta.
Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar, diterjemahkan oleh Imuno Argo Donatus,
edisi III. IKIP Press : Semarang.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 49


PERCOBAAN VIII
UJI KETOKSIKAN AKUT
(Prosedur Praktikum ini diambil dari : Peraturan Kepala BPOM RI No 7 Th 2014
Tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo)

Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan percobaan diperlukan untuk


mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian suatu zat
dalam dosis tunggal atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu tidak lebih dari
24 jam; apabila pemberian dilakukan secara berulang, maka interval waktu tidak
kurang dari 3 jam.

Hasil toksisitas akut dievaluasi berdasarkan kriteria bahaya dari GHS (Globally
Harmonised Classification System for Chemical Substances and Mixtures) yang
tercantum dalam Thirteenth Addendum to The OECD Guidelines for The Testing of
Chemicals (2001), seperti Tabel 3ini. Kriteria penggolongaN menurut OECD (2001)
digunakan untuk penentuan kategori toksisitas akut bahan kimia seperti pestisida serta
untuk pelabelannya.

Sedangkan untuk obat, obat tradisional bahan lainnya (Generally Recognized As


Safe/GRAS) seperti bahan pangan, penentuan kategori toksisitas akut digunakan
penggolongan klasifikasi seperti pada Tabel 4.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 50


 PRINSIP
Prinsip toksisitas akut yaitu pemberian secara oral suatu zat dalam beberapa tingkatan
dosis kepada beberapa kelompok hewan uji. Penilaian toksisitas akut ditentukan dari
kematian hewan uji sebagai parameter akhir. Hewan yang mati selama percobaan dan
yang hidup sampai akhir percobaan diotopsi untuk dievaluasi adanya gejala-gejala
toksisitas dan selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap
organ.
 TUJUAN
Tujuan uji toksisitas akut adalah untuk mengidentifikasi bahan kimia yang toksik dan
memperoleh informasi tentang bahaya terhadap manusia bila terpajan. Uji toksisitas
akut digunakan untuk menetapkan nilai LD50 suatu zat.
 METODE UJI TOKSISITAS AKUT
Pada awalnya toksistas akut diuji menggunakan metode konvensional, namun metode
ini mempunyai kelemahan yaitu hewan uji yang dibutuhkan dalam menentukan
parameter akhir cukup banyak, dimana bertentangan dengan animal welfare. Oleh
karena itu pada tahun 1984 telah dibuat metode alternatif dimana hewan yang
digunakan jumlahnya lebih sedikit yaitu metode Up and Down Procedure, Fixed
Dose Method dan Toxic Class Method.
Metode Alternatif merupakan revisi metode OECD tahun 1984 disebabkan adanya
kesepakatan untuk mendapatkan jalan pintas dalam mengklasifikasikan senyawa
kimia. Pada metode alternatif, hanya menggunakan satu jenis kelamin hewan uji. Hal
ini disebabkan karena dari literatur tidak ada perbedaan nilai LD50 yang signifikan
akibat perbedaan jenis kelamin, tetapi pada keadaan yang berbeda nilai LD50
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 51
umumnya jenis kelamin betina lebih sensitif, maka pada uji alternatif hanya
menggunakan hewan betina. Jumlah hewan yang digunakan pada uji alternatif lebih
sedikit dibandingkan dengan metode konvensional. Dalam pedoman ini hanya dibahas
uji toksisitas akut metode konvensional dan Fixed Dose Method.
1.a. METODE KONVENSIONAL
1.a.1. PROSEDUR
1.a.1.1 Hewan Uji dan Jumlah
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague Dawley atau
Wistar) atau mencit (strain ddY atau BALB/c dan lain-lainnya). Syarat hewan uji
adalah sehat, umur 5-6 minggu untuk mencit, 8-12 minggu untuk tikus. Sekurang-
kurangnya 3 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor dengan jenis
kelamin sama (jantan atau betina). Hewan dikelompokkan secara acak sedemikian
rupa sehingga penyebaran berat badan merata untuk semua kelompok dengan variasi
berat badan tidak melebihi 20% dari rata-rata berat badan. Jika digunakan hewan uji
berkelamin betina, maka hewan uji tersebut harus nullipara dan tidak sedang bunting.
3.a.1.2. Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan 3 dosis berbeda. Dosis terendah adalah dosis tertinggi
yang sama sekali tidak menimbulkan kematian, sedangkan dosis tertinggi adalah dosis
terendah yang menimbulkan kematian 100 %.
Dengan interval dosis yang mampu menghasilkan rentang toksisitas dan angka
kematian. Dari data ini akan diperoleh suatu kurva dosis-respon yang dapat digunakan
untuk menghitung nilai LD50.

1.a.1.3. Batas Uji


Bila hingga dosis 5000 mg/kg BB (pada tikus) tidak menimbulkan kematian, maka uji
tidak perlu dilanjutkan dengan menggunakan dosis bahan uji yang lebih tinggi.

1.a.1.4 Penyiapan Sediaan uji


Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai (misalnya aquadestilata,
minyak nabati) sesuai dengan dosis yang dikehendaki.
1.a.1.5. Volume Pemberian Sediaan Uji
Umumnya sediaan uji diberikan dalam volume yang tetap selama pengujian
(konsentrasi berbeda), akan tetapi jika bahan uji berupa cairan atau campuran cairan,
sebaiknya digunakan dalam bentuk tidak diencerkan (konsentrasi tetap). Jumlah
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 52
cairan maksimal yang dapat diberikan tergantung pada ukuran hewan uji. Pada
rodensia, jumlah normalnya tidak melampaui 1 mL/ 100 g berat badan, namun bila
pelarutnya air (aqueous) dapat diberikan hingga 2 mL/ 100 g berat badan. Tergantung
dari formulasi bahan uji, pemilihan cairan untuk suspensi/emulsi yang aqueous lebih
dianjurkan dari pada larutan suspensi/emulsi yang larut dalam minyak (minyak
jagung) dan apabila menggunakan pelarut non aqueous maka karakteristik toksisitas
cairan pembawa sudah harus diketahui.
1.a.1.6. Penyiapan Sediaan Uji
Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai (misalnya aquadestilata,
minyak nabati). Tergantung dari formulasi bahan uji, pemilihan cairan untuk
suspensi/emulsi yang aqueous lebih dianjurkan dari pada larutan suspensi/emulsi
yang larut dalam minyak (minyak jagung) dan apabila menggunakan pelarut non
aqueous maka karakteristik toksisitas cairan pembawa sudah harus diketahui.

1.a.1.7. Pemberian Sediaan uji


Hewan uji harus dipuasakan sebelum diberikan perlakuan (tikus dipuasakan selama
14-18 jam, mencit dipuasakan selama 3-4 jam, air minum boleh diberikan). Setelah
dipuasakan, hewan ditimbang dan diberikan sediaan uji. Sediaan uji diberikan dalam
dosis tunggal dengan menggunakan sonde. Pada keadaan yang tidak memungkinkan
untuk diberikan dosis dengan satu kali pemberian, sediaan uji dapat diberikan
beberapa kali dalam jangka waktu pemberian zat tidak boleh melampaui 24 jam.
Setelah diberikan perlakuan, pakan boleh diberikan kembali setelah 3- 4 jam untuk
tikus dan 1-2 jam untuk mencit. Bila sediaan uji diberikan beberapa kali, maka pakan
boleh diberikan setelah perlakuan tergantung pada lama periode pemberian sediaan uji
tersebut.
1.a.1.8. Pengamatan
Pengamatan dilakukan tiap hari selama sekurang-kurangnya 14 hari terhadap sistem
kardiovaskuler, pernafasan, somatomotor, kulit dan bulu, mukosa, mata dsb. Perhatian
khusus diberikan akan adanya tremor, kejang, salivasi, diare, letargi, lemah, tidur dan
koma. Pengamatan meliputi waktu timbul dan hilangnya gejala toksik serta saat
terjadinya kematian. Hewan uji yang sekarat dikorbankan dan dimasukkan dalam
perhitungan sebagai hewan yang mati. Hewan ditimbang sedikitnya 2 kali dalam 1
minggu.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 53


1.a.2. Pengumpulan dan Analisis Data
1.a.2.1. Pengumpulan Data
Data masing-masing hewan harus tersedia dan semua data harus diringkas dalam
bentuk tabel yang menunjukkan dosis uji yang digunakan; jumlah hewan yang
menunjukkan gejala toksisitas; jumlah hewan yang ditemukan mati selama uji dan
yang mati karena sekarat (keadaan moribound).

1.a.2.2. Analisis Data


Nilai LD50 dihitung dengan metode Thompson & Weil, Litchfield & Wilcoxon,
Miller & Tainter, regresi linear/probit atau metode statistik lainnya. Semua hewan
yang mati, baik yang mati dengan sendirinya atau yang mati dalam keadaan
moribound digabungkan jumlahnya untuk penghitungan nilai LD50.

2.b. FIXED DOSE METHOD


Metode ini digunakan untuk bahan uji dengan derajat toksisitas sedang dan dosis yang
dipilih adalah yang tidak menimbulkan kematian, nyeri hebat atau iritatif/ korosif.
2.b.1. PRINSIP
Sekelompok hewan uji dengan jenis kelamin yang sama diberikan dosis bertingkat
menggunakan metode fixed doses antara lain: 5, 50, 300 dan 2000 mg/kg (dosis dapat
ditambah hingga 5000 mg/kg). Dosis awal dipilih berdasarkan uji pendahuluan
sebagai dosis yang dapat menimbulkan gejala toksisitas ringan tetapi tidak
menimbulkan efek toksik yang berat atau kematian. Prosedur ini dilanjutkan hingga
mencapai dosis yang menimbulkan efek toksik atau ditemukan tidak lebih dari 1
kematian, atau tidak tampak efek toksik hingga dosis yang tertinggi atau adanya
kematian pada dosis yang lebih rendah.
2.b.2. PROSEDUR
2.b.2.1. Penyiapan Hewan Uji
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague Dawley atau
Wistar) atau mencit (strain ddY atau BALB/c dan lain-lainnya). Umumnya digunakan
tikus betina karena sedikit lebih sensitive dibandingkan tikus jantan. Namun bila
bahan uji (menurut literatur) secara toksikologi atau toksikokinetik menunjukkan
bahwa tikus jantan lebih sensitif, maka jenis kelamin jantan harus digunakan untuk
uji. Secara prinsip jika hewan jantan digunakan maka diperlukan alasan yang kuat.
Kriteria hewan uji meliputi:

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 54


a. Hewan sehat dan dewasa
b. Hewan betina harus yang belum pernah beranak dan tidak sedang bunting.
c. Pada permulaan uji, setiap hewan harus berumur 8-12 minggu dengan variasi berat
badan tidak boleh melebihi 20% dari rata-rata berat badan. Hewan diseleksi secara
acak, diberi tanda untuk identifikasi tiap-tiap hewan, dan dilakukan aklimatisasi
sekurang-kurangnya 5 hari sebelum diberi perlakuan.
2.b.2.2. Penyiapan Sediaan Uji
Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai (misalnya aquadestilata,
minyak nabati). Tergantung dari formulasi bahan uji, pemilihan cairan untuk
suspensi/emulsi yang aqueous lebih dianjurkan dari pada larutan suspensi/emulsi
yang larut dalam minyak (minyak jagung) dan apabila menggunakan pelarut non
aqueous maka karakteristik toksisitas cairan pembawa sudah harus diketahui.
2.b.2.3. Pemberian Sediaan uji dan Volume Pemberian
Hewan uji harus dipuasakan sebelum diberikan perlakuan (tikus dipuasakan selama
14-18 jam, namun air minum boleh diberikan; mencit dipuasakan selama 3-4 jam, air
minum boleh diberikan). Setelah dipuasakan, hewan ditimbang dan diberikan sediaan
uji. Sediaan uji diberikan dalam dosis tunggal dengan menggunakan sonde. Pada
keadaan yang tidak memungkinkan untuk diberikan dosis dengan satu kali pemberian,
sediaan uji dapat diberikan beberapa kali dalam jangka waktu pemberian zat tidak
boleh melampaui 24 jam. Setelah diberikan perlakuan, pakan boleh diberikan kembali
setelah 3-4 jam untuk tikus dan 1-2 jam untuk mencit. Bila sediaan uji diberikan
beberapa kali, maka pakan boleh diberikan setelah perlakuan tergantung pada lama
periode pemberian sediaan uji tersebut.
Volume cairan maksimal yang dapat diberikan tergantung pada ukuran hewan uji.
Pada rodensia, jumlah normalnya tidak melampaui 1 mL/100 g berat badan, namun
bila pelarutnya air (aqueous) dapat diberikan hingga 2 mL/100 g berat badan.
Umumnya sediaan uji diberikan dalam volume yang tetap selama pengujian
(konsentrasi berbeda), akan tetapi jika bahan uji berupa cairan atau campuran cairan,
sebaiknya digunakan dalam bentuk tidak diencerkan (konsentrasi tetap).
2.b.2.4. Uji Pendahuluan
Tujuan dari uji pendahuluan adalah mencari dosis awal yang sesuai untuk uji utama.
Dosis awal pada uji pendahuluan dapat dipilih dari tingkatan fixed dose: 5, 50, 300
dan 2000 mg/kg BB sebagai dosis yang diharapkan dapat menimbulkan efek toksik
(Lampiran 1, 2). Pemeriksaan menggunakan dosis 5000 mg/kg hanya dilakukan bila
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 55
benar-benar diperlukan. Diperlukan informasi tambahan yaitu data-data toksisitas in
vivo dan in vitro dari zat-zat yang mempunyai samaan secara kimiawi dan struktur.
Jika informasi tersebut tidak ada, maka dosis awalnya ditentukan sebesar 300 mg/kg
BB. Interval waktu pengamatan sekurang-kurangnya 24 jam pada setiap dosis dan
semua hewan harus diamati sekurangkurangnya selama 14 hari.
Bila kematian terjadi pada dosis 5 mg/kg BB, sehingga nilai cutt-off LD50 adalah 5
mg/kg BB (masuk kategori 1 GHS) maka penelitian sudah harus dihentikan tanpa
perlu melakukan uji utama. Namun, jika diperlukan penegasan nilai LD50 maka
prosedur tambahan dapat dilakukan sbb: Pada hewan uji kedua diberikan dosis 5
mg/kg. Jika hewan kedua ini mati, maka kategori 1 GHS terkonfirmasi dan percobaan
dihentikan. Jika hewan ini hidup, maka pemberian bahan uji dosis 5 mg/kg BB secara
berurutan dilanjutkan kepada 3 hewan uji lainnya. Interval waktu pemberian antara
satu hewan dengan hewan berikutnya harus cukup agar dapat dilakukan penilaian
apakah hewan tersebut akan tetap hidup atau tidak. Jika hewan ke-3 mati (jika
dihitung dari awal merupakan kematian kedua hewan uji), maka pemberian bahan uji
dihentikan dan tidak diteruskan kepada hewan ke-4 dan ke-5. Berdasarkan Lampiran
2, maka bahan uji masuk kelompok A (kematian 2 atau lebih), dan berlaku klasifikasi
pada dosis 5 mg/kgBB (Kategori 1 jika ada 2 atau lebih kematian atau Kategori 2 jika
hanya ada 1 kematian).
2.b.2.5. Uji Utama
Uji utama dilakukan dengan memperhatikan tingkat dosis dimana terjadi kematian
pada uji pendahuluan. Penentuan dosis antara setiap tingkatan didasarkan pada waktu
terjadinya gejala toksik. Pengujian tidak diteruskan pada dosis selanjutnya sampai
diketahui apakah hewan masih bertahan hidup atau mati (Lampiran 3, 4). Secara
umum terdapat 3 pilihan yang akan diambil: menghentikan uji, melanjutkan uji
dengan dosis yang lebih tinggi atau melanjutkan uji dengan dosis yang lebih rendah.
Pada umumnya, klasifikasi bahan uji sudah dapat ditentukan pada dosis awal dan uji
selanjutnya tidak diperlukan. Pada uji ini diperlukan sejumlah 5 ekor hewan uji untuk
tiap tahapan dosis uji. Kelima ekor hewan tersebut terdiri atas 1 ekor hewan dari uji
pendahuluan dan 4 ekor hewan tambahan. Interval waktu antara dosis uji ditentukan
oleh onset, lama dan beratnya toksisitas. Peralihan pemberian bahan uji pada tahap
dosis berikutnya harus ditunda sampai diperoleh petunjuk bahwa hewan uji tersebut
bertahan hidup. Umumnya diperlukan interval waktu peralihan selama 3-4 hari,
namun dapat diperpanjang bila hasilnya tampak meragukan. Sehubungan dengan
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 56
animal welfare, bila akan menggunakan dosis diatas 5000 mg/kg, dipertimbangkan
bahwa dosis tersebut sangat relevan dengan kepentingan untuk melindungi manusia,
hewan atau lingkungan.
2.b.2.6. Uji Batas
Jika pada uji pendahuluan tidak ada kematian pada tingkat dosis 2000 mg/kg dan pada
uji utama hanya 1 ekor atau tidak ada hewan yang mati pada tingkat dosis 2000
mg/kg, maka tidak perlu diberikan dosis melampaui 2000 mg/kg.

2.b.2.7. Pengamatan
Hewan uji diobservasi secara individual sekurang-kurangnya pada 30 menit pertama
setelah pemberian sediaan uji, dan secara periodik setiap 4 jam selama 24 jam
pertama dan sehari sekali setelah itu selama 14 hari.
Namun durasi pengamatan dapat bervariasi dan diperpanjang tergantung dari reaksi
toksik dan waktu onset serta lama waktu kesembuhan. Waktu timbul dan hilangnya
gejala toksisitas (khususnya jika ada kecenderungan tanda-tanda toksik yang tertunda)
harus dicatat secara sistematis dalam catatan individual yang dilakukan untuk setiap
hewan.
Pengamatan tambahan perlu dilakukan jika hewan menunjukkan gejala toksisitas
secara terus-menerus. Pengamatan yang dilakukan termasuk pada: kulit, bulu, mata,
membran mukosa dan juga sistem pernafasan,sistem syaraf otonom, sistem syaraf
pusat, aktivitas somatomotor serta tingkah laku. Selain itu, perlu juga pengamatan
pada kondisi: gemetar, kejang, salivasi, diare, lemas, tidur dan koma. Hewan dalam
kondisi sekarat dan hewan yang menunjukkan gejala nyeri yang berat atau tampak
menderita harus dikorbankan. Hewan uji yang dikorbankan atau ditemukan mati,
waktu kematiannya harus dicatat. Hal- hal yang harus diamati dalam periode
observasi adalah:
a. Tingkah laku hewan seperti jalan mundur, jalan menggunakan perut
b. Berat Badan
Berat badan masing-masing hewan harus dimonitor pada saat sebelum diberikan
sediaan uji dan sekurang-kurangnya seminggu setelahnya.
Perubahan berat badan harus dianalisis. Pada akhir penelitian, hewan yang masih
bertahan hidup ditimbang dan kemudian dikorbankan.
c. Pemeriksaan Patologi

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 57


Seluruh hewan (termasuk yang mati selama penelitian maupun yang dimatikan) harus
dinekropsi. Semua perubahan gross patologi dicatat untuk setiap hewan uji.
Pemeriksaan mikroskopik dari organ yang menunjukkan adanya perubahan secara
gross patologi pada hewan yang bertahan hidup selama 24 jam atau lebih setelah
pemberian dosis awal dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berguna.
2.b.2.8. Pengumpulan dan Analisis Data
Data masing-masing hewan harus tersedia dan semua data harus diringkas dalam
bentuk tabel yang menunjukkan dosis uji yang digunakan; jumlah hewan yang
menunjukkan gejala toksisitas; jumlah hewan yang ditemukan mati selama uji dan
yang mati karena dikorbankan; waktu kematian masing-masing hewan; gambaran
dampak toksik dan waktu dampak toksik; waktu terjadinya reaksi kesembuhan; dan
penemuan nekropsi.
2.c. Pelaporan Hasil Pengujian
Laporan pengujian berisi informasi sebagai berikut:
1. Pendahuluan
2. Metode
a. Jenis hewan, jumlah dan galur yang digunakan
b. Nama, bentuk, kemurnian dan cara pemberian sediaan uji
c. Zat pembawa: air atau zat lainnya
d. Kondisi pemeliharaan hewan: ukuran kandang, jumlah hewan perkandang, bahan
pembuat kandang (alumunium, fiber atau bahan lain)
e. Kondisi pengujian: pemilihan dosis awal, formulasi sediaan uji, dosis dan volume
sediaan uji serta waktu pemberian
3. Hasil:
a. Data pengamatan
b. Efek toksik yang terjadi untuk setiap dosis dan jenis kelamin
c. Waktu terjadinya gejala-gejala toksik, tingkah laku hewan dan kematian
d. Data berat badan
e. Penemuan hasil pemeriksaan makropatologi dan histopatologi (bila diperlukan).
f. Data LD50
4. Pembahasan
5. Kesimpulan dan saran
6. Daftar Pustaka

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 58


Daftar Pustaka :
Darelanko, Michael J., and Hollinger, Mannfred A., 1995. Handbook of Toxicology,
2nd edition, CRC Press.

Organization for Economic Cooperation and Development, 2001. OECD Guidelines


for Testing of Chemicals, 401, 407 – 408, OECD.

Redbook 2000, 2003. Toxicological Principals for The Safety of Food


Ingridients; Guidelines for Reporting The Result of oxicity Studies, U.S. FDA.

U.S.Environmental Protection Agency, 1998. Health Effects Test Guidelines OPPPTS


870.1100 Acute Oral Toxicity, EPA.

Wallum, E., 1998. Acute Oral Toxicity, Environmental Health Perspectives, 106,
2:497–503.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 59


Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 60
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 61
Tabel 1.4. Pemeriksaan fisik dalam uji ketoksikan akut pada roden
Sistem Organ Pengamatan & pemeriksaan Tanda-tanda umum
ketoksikan
Sistem saraf pusat Perilaku Perubahan sikap terhadap
dan somatomotor pengamat, vokalisai luar
biasa, gelisah
Kereaktifan terhadap aneka Kedutan, tremor, ataksia,
rangsang katatonia, paralisis,
konvulsi, keterpaksaan
Reflek serabral dan spinal gerak
Tonus otot Lemah, tidak ada kekakuan,
kelembekan
Sistem saraf otonom Ukuran pupil Miosis, midriasis
Sekresi Salivasi, lakrimasi
Pernafasan Sifat dan laju nafas Bradipsnea, dipsnea
Kardiovaskular Palpitasi daerah kardiak Bradikardi, aritmia, denyut
lebih kuat atau lemah
Saluran cerna Peristiwa perut Diare, sembelit, flatulen,
kontraksi
Konsistensi tinja Tidak terbentuk, warna
hitam
Genitourinaria Vulva, kelenjar mammae Bengkak
Penis Prolap
Daerah perineal Kotor
Kulit dan bulu Warna keutuhan Kelembekan, kemerahan,
pelepuhan, piloereksi
Membran mukosa Konjugativa, mulut Kongesti, pendarahan,
sianosis
Kekuningan
Mata Kelopak mata Ptosis
Bola mata Ebsotalmus, nistagmus
Transparasi Opositas
Lain-lain Kondisi umum Perawakan abnormal, kurus

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 62


PERCOBAAN IX
UJI KETOSIKAN KRONIK DAN SUBKRONIK

Tujuan percobaan
Tujuan uji ketoksikan subkronis senyawa (PGV-0) terutama untuk mengungkap
spektrum efek toksis, jenis organ yang terkena dan kekerabatan antara dosis dan
spektrum efek toksik senyawa – senyawa tersebut pada hewan uji (contoh : tikus atau
kelinci).

Tata cara pelaksanaan


Pada dasarnya terdapat beberapa kegiatan utama dalam pelaksanaan uji ketoksikan
subkronis, yaitu :pengelompokan hewan uji dan pemejanan dengan senyawa uji,
pengamatan dan pemeriksaan gejala-gejala toksik baik secara makroskopis,
laboratoris maupun mikroskopis, serta analisis dan evaluasi.
a. Subyek uji, pengelompokan dan pemberian sediaan uji
Tikus jantan dan betina, galur Sprague-Dawley (SD), dengan bobot awal relatif
seragam (140 – 160 gram), keadaan sehat, umur 6-8 minggu. Hewan uji
disediakan sebanyak 60 ekor yang dibagi menjadi 4 kelompok secara acak atau
tiap kelompok terdiri atas 15 ekor hewan uji (baik untuk jantan maupun betina).
Dosis sediaan uji masing-masing sediaan terdiri dari tiga peringkat dosis
(peringkat dosis rendah meliputi dosis terapinya) dan satu kelompok kontrol
negatif hanya diberi larutan pembawa. Tiga peringkat dosis tersebut adalah sama
dengan ED-50,2 kali ED-50 dan 4 kali ED-50 (contoh untuk PGV-0: I. 27,6
mg/kgBB ; II. 55,2 mg/kgBB ; III. 110,4 mg/kgBB). Sediaan uji diberikan
melalui jalur pemberian per oral, dengan kekerapan pemberian sekali sehari
selama masa uji yang ditetapkan (selama tiga bulan atau 90 hari).

b. Pemeriksaan dan pengamatan


Dalam hal ini kriteria yang diperlukan meliputi pengamatan umum, patologi
klinik dan histopatologi organ.

1. Pengamatan umum
Termasuk pengamatan umum meliputi gejala-gejala toksik, perkembangan bobot
badan, serta masukan makanan dan minuman.
Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 63
Untuk mendapatkan data gejala-gejala toksik, dilakukan pengamatan fisik baku
terhadap adanya gangguan susunan saraf pusat dan somatomotor (perilaku,
gerakan, kereaktifan, reflek serebral dan spinal) sistem saraf otonom (ukuran
pupil, sekresi), pernafasan (laju), kardiovaskuler (palpitasi), saluran cerna
(gangguan perut, konsistensi tinja), genitourinaria(vulva, kelenjar mamae, penis,
daerah mulut), mata dan tempat masuk obat. Pengamatan ini dilakukan sehari
sekali atau sesering mungkin dalam kurun waktu pengujian.
Data perkembangan bobot badan tikus diperoleh dengan cara menimbang
masing-masing tikus pada hari ke nol dan seterusnya setiap 7 hari sekali sampai
hari ke 90.
Data masukan makanan dan minuman yang dihabiskan tikus diperoleh dengan
cara menimbang sisa makanan atau mengukur sisa minuman yang dihabiskan
(dikurangkan terhadap bobot atau volume yang diberikan) oleh masing-masing
tikus setiap 7 hari.

2. Patologi klinik
Termasuk pengamatan patologi klinik meliputi pemeriksaan hematologi, analisis
kimia darah, dan urin.
Pemeriksaan hematologi dilakukan dengan cara mengambil cuplikan darah
melalui vena optalmikus masing-masing tikus pada hari ke 0, 30, 60 dan 90
setelah perlakuan bahan uji (minimal pada awal dan akhir masa uji). Terhadap
masing-masing cuplikan darah kemudian dilakukan pengukuran jumlah sel darah
merah (RBC), sel darah putih (WBC), kadar hemoglobin (Hb), volume
korpuskuli (PCV), kadar protein plasma total (TPP) dan lekosit deferensial.
Analisis kimia darah yang dilakukan meliputi : protein total dan direk, albumin,
alkalin fosfatase, SGOT, SGPT, bilirubin total dan direk, glukosa dan kreatinin,
kadar sodium, potassium, klorida, kalsium karbondioksida.
Analisis urin dilakukan dengan menampung urin tikus sehari dalam sangkar
metabolik pada hari ke 0, 30, 60, dan 90 setelah perlakuan bahan uji. Selanjutnya
masing-masing urin tampung diukur volume urin, pH, bobot jenis, protein total,
glukosa, sedimen, keton, bersih kreatinin dan bilirubin, minimal pada awal dan
akhir masa uji.
3. Pemeriksaan histopatologi

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 64


Pemeriksaan histopatologi meliputi pengamatan terhadap adanya perubahan
struktural (seluler) pada jaringan dan organ tikus. Untuk itu secara rambang 2-3
tikus pada akhir masa uji ( hari ke 91) dikorbankan dan diambil cuplikan organ-
organ pentingnya (hati, ginjal, usus, paru, limfa, jantung dan lambung)
dimasukkan formalin 10% guna pembuatan preparat histologi mengikuti
pengecatan hematoksilin-eosin.
4. Analisis dan evaluasi hasil
Data penimbangan bobot badan tikus ditabelkan kemudian dihitung purata
kenaikan bobot badan per hari (Average Daily Gain/ADG). Data ADG antar
kelompok perlakuan selanjutnya dianalisis secara statistik mengikuti tata cara
analisis pola searah (taraf kepercayaan 95%).
Data masukan makanan dan minuman yang dihabiskan tikus ditabelkan,
kemudian perbedaan purata harian antar kelompok dianalisis dengan analisis
varian pola searah (taraf kepercayaan 95%).
Data gejala-gejala toksik yang teramati dianalisis secara kualitatif.
Data pemeriksaan hematologi tikus ditabelkan, selanjutnya perbedaan antar
kelompok, perlakuan dianalisis secara kualitatif.
Temuan dari perubahan perkembangan berat badan, masukan makanan dan
minuman, serta gejala-gejala klinis, digunakan untuk mengevaluasi status
kesehatan dan perkembangan patologi hewan uji akibat perlakuan sediaan uji.
Hasil pemeriksaan hematologi, analisis darah dan urin dipakai untuk
mengevaluasi adanya perubahan fungsional siste organ sebagai perwujudan efek
toksik sediaan uji. Berikutnya perubahan morfologi sel jaringan, organ dan
kelenjar yang ditemukan dari pemeriksaan histopatologi, digunakan untuk
mengevaluasi perubahan struktur sel organ terkait, sebagai perwujudan efek
toksik dan sifat efek toksik sediaan uji.

PUSTAKA
Anonim, 1992, Fitofarmaka dan Pedoman Fitofarmaka, Direktorat Pengawasan
Obat Tradisional, Jakarta.
Bergmeyer, H.V., 1974, Methods of Enzymatic Analysis, Vol.III, Academic Press,
Inc, Newyork.
Donatus, I.A., 1996, Petunjuk Praktikum Toksikologi, Ed.VI, Lab. Farmakologi
dan Toksikologi, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 65


Agustin,A., 1982, Efek Hipoglikemik Perasan Buah Belimbing Wulu Muda
(Averoa Bilimbi, Linn) pada Marmut, Skripsi, Fakultas Farmasi UGM,
Yogyakarta.
Loomis, T.A., 1978, Essentials of Toxicology 3rd, Lea dan Febiger, Philadelpia
World Health Organization (WHO), 1978, Environmental Health Criteria 6 :
Principles And Metods for Evaluating the Toxicity of Chemical, Part I, WHO :
Geneva.
World Health Organization (WHO), 1993, Research Guidelines for Evaluating
the safety and Efficacy of Herbal Medicines, WHO: Manila.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 66


PERCOBAAN X
PENGUJIAN EFEK ANTI DIARE

Tujuan Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini, mahasiswa diharakan mmengetahui sejauh mana
aktivitas anti diare dapat menghambat diare yang disebabkan oleh oleum ricini pada
hewan percobaan.
Teori
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat
berupa air saja dengan frekuensi lebih sering dari biasanya (tiga kali atau lebih) dalam
satu hari. Diare ditandai dengan frekwensi defekasi yang jauh melebihi frekwensi
normal, serta konsstensi feses yang encer. Diare dapat bersifat akut atau kronis.
Penyebab diarepun bermacam-macam.
Diare akut dapat disebabkan oleh infeksi bakteri seperti E. Coli. Shigella, Salmonella,
dan V. Cholera, virus dan amuba seperti E. Histolytica dan Giardia lambia. Selain itu
dapat pula diare disebabkan oleh toksin bakteri seperti Staphylococcus aureus¸dan
Clostridium welchii, yang menari makanan.
Diare kronis mungkin berkaitan dengan berbagai gangguan gastroinstestinal,
ada pula diare yang berlatar belakang kelainan psikosomatik, alergi oleh makanan
atau obat-obat tertentu, di samping itu, diare kronis ini dapat disebabkan oleh kelainan
pada sistem endokrin dan metabolisme, kekurangan vitamin dan sebagai akibat
radiasi.
Diare yang berkepanjangan sangat melemahkan penederitanya karena tubuh
kehilangan banyak energi cairan eletrolit tubuh, sehingga memerlukan terapi
pengganti dengan cairan dan elektrolrit serta kalori, obat anti bakteri atau anti amuba,
bergantung pada penyebab diare tersebut ataupun obat-obat lain yang bekerja
memperlambat peristatik usus, menghilangkan spasme dan nyeri, dan menenangkan.
Metode pengujian aktivitas anti diare disini, ditujukan terbatas pada aktivitas
obat dapat memperlambat peristaltik usus, sehingga mengurangi fekuensi defekasi
dan memperbaiki konsistensi feses, yaitu metode proteksi terhadap diare oleh oleum
ricini.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 67


Oleum ricini mengandung kandungan trigliserida asam risinoleat yang
dihidrolisis di dalam usus halus oleh lipase pankreas menjadi gliserin dan asam
risinolat. Sebagai cairan dan elektrolit serta menstimulasi perilstatik usus.
Obat yang berkhaasiat anti diare dapat melindungi hewan percobaan mencit
terhadap diare yang diinduksi dengan oleum ricini.
Bahan dan Alat :
Hewan Percobaaan : Mencit putih jantan, dengan berat 20-25g. Hewan yang
digunakan untuk percobaan memiliki fase normal.
Bahan :
 Loperamid HCl (0,24 mg/ml) dan (0,48 mg/ml)
 Oleum ricini
 Kertas saring
Alat :
 Sonde oral mencit
 Stopwatch
 Timbangan mencit
 Bejana silinder
Prosedur :
1. Bobot mencit ditimbang, dikelompokan secara acak menjadi 3 kelompok,
yaitu kelompok kontrol yang hanya diberi oleum ricini, kelompok uji
loperamid dosis I dan dosis II, masing-masing kelompok terdiri atas 4-5 ekor
mencit.
2. Dua jam sebelum percobaan dimulai mencit dipuasakan.
3. Sesuai dengan perlakukan yang akan dialaminya tiap mencit diberi per oral 0,5
ml/20g sediaan uji dan kemudian ditempatkan dalam bejana individual
beralaskan ketas saring untuk pengamatan.
4. Satu jam setelah perlakukan pada butir 3, semua mencit diberi per oral 0,5 ml
oleum ricini.
5. Respon yang terjadi pada setiap mencit diamati selang 30 menit sampai 4
jam,setelah pemberian oleum ricini.
6. Parameter yang diamati yaitu waktu muncul diare, frekwensi konsistensi diare
dan jumlah/ bobot feses serta jangka waktu beralangsung diare.
7. Hasil – hasil pengamatan disajikan dalam tabel dan dibuatkan grafiknya.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 68


8. Evaluasi hasil pengamatan pada ketiga kelompok hewan untuk muncul diare,
jangka waktu berlangsung diare, bobot feses dievaluasi masing-masing secara
statistik dengan metode anava dan student T.

Praktikum Farmakologi-Toksikologi 2021/2022 | 69

Anda mungkin juga menyukai