Laporan Pendahuluan Hipertensi
Laporan Pendahuluan Hipertensi
4. Klasifikikasi Hipertensi
a. Klasifikasi berdasarkan Etiologi
Menurut Aspiani (2016), Suddarth, (2016) penyakit darah tinggi atau
hipertensi dikenal dengan 2 klasifikasi, diantaranya hipertensi primer dan
sekunder:
1) Hipertensi esensial (primer)
Merupakan 90% dari kasus penderita hipertensi. Dimana sampai
saat ini belum diketahui penyebab pasti. Beberapa faktor yang
berpengaruh dalam terjadinya hipertensi essensial, seperti: faktor
genetik, stress dan psikologis, serta faktor lingkungan dan diet
(peningkatan penggunaan garam dan berkurangnya asupan kalium dan
kalsium)
2) Hipertensi sekunder
Pada hipertensi sekunder, penyebab dari patofisiologi dapat
diketahui dengan jelas sehingga lebih mudah untuk dikendalikan
dengan obat-obatan. Penyebab hipertensi sekunder diantaranya berupa
kelainan ginjal seperti tumor, diabetes, kelainan adrenal, kelainan
aorta, kelainan endokrin lainya seperti obesitas, resistensi insulin,
hipertiroidisme, dan pemakaian obat-obatan seperti kontrasepsi oral
dan kortikosteroid.
b. Klasifikasi berdasarkan derajat hipertensi
Menurut Ignatavicius (2009) hipertensi dapat diklasifikasikan dalam
beberapa kategori berdasarkan pada JNC VII (The Seventh Joint National
Commitee on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High
Pressure) yaitu:
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi
No Kategori Sistolik(mmHg) Diastolik(mmHg)
1. Optimal <120 <80
2. Normal 120-129 80-84
3. High Normal 130-139 85-89
4. Hipertensi
Grade 1 (ringan) 140-159 90-99
Grade 2 (sedang) 160-179 100-109
Grade 3 (berat) 180-209 100-119
Grade 4 (sangat berat) >210 >120
5. Patofisiologi
Menurut Putri (2013) mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla di otak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda
spinalis, dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang
bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpati. Pada titik
ini, neuron preganglion melepaskan asetikolin, yang akan merangsang serabut
saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskanya
noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor
seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokonrtiksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitiv
terhadap enorepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokontriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid
lainya, yang dapat memperkuat respon vasokontrikstor pembuluh darah.
Vasokontriksi mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan
pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada giliranya
merangsa sekresi aldosterone dan oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya
elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relasasi otot polos pembuluh darah
yang pada giliranya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluhdarah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuanya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
(volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan
tahanan perifer (Price, 2006).
WOC
Hipertensi
oedema
Intoleransi Gangguan rasa
aktivitas nyaman nyeri
Gangguan
keseimbangan
cairan
8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Aspiani (2016) pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dilakukan
adalah :
a. Riwayat dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh
b. Pemeriksaan retina
c. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kerusakan organ seperti
ginjal dan jantung
d. EKG untuk mengetahui hipertropi ventrikel kiri
e. Urinalisa untuk mengetahui protein dalam urin, darah, glukosa
f. Pemeriksaan : renjogram, pielogram intravena anterior renal,
pemeriksaan fungsi ginjal terpisah dan penentuan kadar urin
g. Foto dada dan CT scan
9. Komplikasi
Menurut Williams (2007), Aspiani (2016) komplikasi hipertensi yaitu :
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Proteinuria dan gangguan fungsi ginjal
c. Aterosklerosi pembuluh darah
d. Retinopati
e. Stroke atau Transient ischemic attack (TIA)
f. Infark miokard
g. Angina pectoris
h. Gagal jantung
Tekanan kerusakan darah tinggi pembuluh kecil dari jantung, otak,
ginjal, dan retina. Hasilnya adalah gangguan fungsional progresif dari organ-
organ ini, dikenal sebagai penyakit sasaran-organ.
10. Penatalaksanaan
Menurut Williams (2007), Aspiani (2016) tujuan deteksi dan
penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan menurunkan resiko
penyakit kardiovaskuler dan mortalitas serta morbiditas yang berkaitan.
Tujuan terapi adalah mencapai dan mempertahankan tekanan sistolik
dibawah 140 mmHg dan diastolik dibawah 90 mmHg dan mengontrol
faktor resiko. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain :
a. Penatalaksanaan Nonfarmakologi :
Penatalaksanaan nonfarmakologis dengan memodifikasi dengan
memodifikasi gaya hidup sangat penting dalam mencegah tekanan
darah tinggi Penatalaksanaan hipertensi dengan nonfarmakologis
terdiri dari berbagai macam cara memodifikasi gaya hidup untuk
menurunkan tekanan darah yaitu:
1. Mempertahankan berat badan ideal
Mempertahankan berat badan ideal sesuai Body Mass Index
(BMI) dengan rentang 18,5-24,9 kg/m2). BMI dapat diketahui
dengan membagi berat badan anda dengan tinggi badan anda yang
telah dikuadratkan dalam satuan meter. Mengatasi obesitas
(kegemukan) juga dapat dilakukan dengan melakukan diet rendah
kolesterol namun dengan kaya serat dan protein, dan jika berhasil
menurunkan badan 2,5-5kg maka tekanan darah diastolic dapat
diturunkan sebanyak 5 mmHg
2. Kurangi asupan natrium (sodium)
Mengurangi asupan natrium dapat dilakukan dengan cara diet
rendah garam yaitu tidak lebih dari 100mmol/hari (kira-kira 6 gr
NaCl atau 2,4 gr garam/hari). Jumlah yang lain dengan
mengurangi asupan garam sampai kurang dari 2300 mg (1 sendok
teh) setiap hari. Pengurangan konsumsi garam menjadi ½ sendok
teh/hari, dapat menurunkan sistolik sebanyak 5 mmHg dan
diastolik sekitar 2,5 mmHg.
3. Batasi konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol harus dibatasi karena konsumsi alkohol
berlebihan dapat meningkatkan tekanan darah. Para peminum
berat mmpunyai resiko mengalami hipertensi empat kali lebih
besar dari pada mereka yang tidak minum minuman beralkohol.
4. Makan K dan Ca yang cukup dari diet
Pertahankan asupan diet potassium (>90 mmol (3500
mg)/hari) dengan cara mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak
total. Kalium dapat menurunkan tekanan darah dengan
meningkatkan jumlah natrium yang terbuang bersama air kencing
dengan setidaknya menggonsumsi buah-buahan sebanyak 3-5 kali
dalam sehari, seseorang bisa mencapai asupan potassium yang
cukup.
5. Menghindari merokok
Merokok memang tidak berhubungan secara langsung dengan
timbulnya hipertensi, tetapi merokok dapat meningkatkan resiko
komplikasi pada pasien hipertensi seperti penyakit jantung dan
stroke, maka perlu dihindari mengonsumsi tembakau (rokok)
karena dapat memperberat hipertensi Nikotin dalam tembakau
membuat jantung bekerja lebih keras karena menyempitkan
pembuluh darah dan meningkatkan frekuensi denyut jantung serta
tekanan darah, maka pada penderita hipertensi dianjurkan nuntuk
menghentikan kebiasaan merokok.
6. Meningkatkan aktifitas fisik
Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi.
Cara untuk meningkatkan aktivitas fisik seperti melakukan
olahraga aerobik seperti: bersepeda, berenang, berlari dan berjalan
cepat secara teratur setidaknya 30 menit sehari selama ≥ 3 kali
seminggu.
7. Penurunan stress
Stress memang tidak menyebabkan hipertensi yang menetap
namun jika episode stress sering terjadi dapat menyebabkan
kenaikan sementara yang sangat tinggi. Menghindari stress
dengan menciptakan suasana yang menyenangkan bagi penderita
hipertensi dan memperkenalkan berbagai metode relaksasi seperti
yoga atau meditasi yang dapat mengontrol system saraf yang
akhirnya dapat menurunkan tekanan darah
8. Terapi masase (pijat)
Prinsipnya pijat yang dilakukan pada penderita hipertensi
adalah untuk memperlancar aliran energi dalam tubuh sehingga
gangguan hipertensi dan komplikasinya dapat diminimalisir,
ketika semua jalur energy terbuka dan aliran energy tidak lagi
terhalang oleh ketegangan otot dan hambatan lain maka resiko
hipertensi dapat dihentikan.
b. Pengobatan Farmakologi
Menurut Aspiani (2016) tujuan pengobatan hipertensi tidak
hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga mengurangi dan
mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita dapat
bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan
seumur hidup penderita. Pengobatan standar yang dianjurkan oleh
komite dokter ahli hipertensi (Joint National Committee on
detection, evaluation and treatment of high blood preasure, USA,
2003) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta,
antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat digunkan sebagai
obat tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan penderita
dan penyakit lain yang ada pada penderita.
Pengobatan meliputi:
1) Diuretik (Hidroklorotiazid)
Mengeluarkan cairan tubuh sehingga volume cairan di tubuh
berkurang yang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi
lebih ringan.
2) Penghambat simpatetik (metildopa, klonidin dan reserpine)
menghambat aktivitas saraf simpatis
3) Beta blocker (metoprolol, propranolol dan atenolol)
a) Menurunkan daya pompa jantung
b) Tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui
mengidap gangguan pernapasan seperti asma bronkial.
c) Pada penderita diabetes militus: dapat menutupi gejala
hipoglikemia
4) Vasodilator (prasosin, hidralasin)
Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot
polos pembuluh darah.
5) ACE inhibitor (Captopril)
a) Menghambat pembentukan zat angiotensin II
b) Efek samping batuk kering , pusing, sakit kepala dan lemas.
6) Penghambat reseptor angiotensin II pada reseptor sehingga
memperingan daya pompa jantung.
7) Antagonis kalsium (diltiazem dan verapamil)
N Intervensi Keperawatan
o Diagnosa Rasional
Keperawatan
Tujuan dan kriteria Intervensi
hasil
Nurarif Amin Huda dan Kusuma Hardi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Cetakan 1. Jogja :
Mediaction Publishing.
Price, Sylvia & Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC