Anda di halaman 1dari 12

GAMBARAN PENGGUNAAN OBAT DISPEPSIA

PADA PASIEN DISPEPSIA DI PUSKESMAS MRANGGEN III


PADA BULAN MEI 2018

Artikel

Humanika Pancasilais
1031831017

PROGRAM STUDI D-3 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI YAYASAN PHARMASI SEMARANG
2019

1
Artikel

GAMBARAN PENGGUNAAN OBAT DISPEPSIA


PADA PASIEN DISPEPSIA DI PUSKESMAS MRANGGEN III
PADA BULAN MEI 2018

Humanika Pancasilais
1031831017

Telah disetujui oleh :

Pembimbing

apt. Ika Puspitaningrum, M.Sc Tanggal Juli 2020


GAMBARAN PENGGUNAAN OBAT DISPEPSIA
PADA PASIEN DISPEPSIA DI PUSKESMAS MRANGGEN III
PADA BULAN MEI 2018

OVERVIEW OF THE DRUG USE INPATIENTS WITH DYSPEPSIA


AT MRANGGEN III PUBLIC HEALTH CENTER
DURING MEI 2018

Humanika Pancasilais
Program Studi D3 Farmasi
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Yayasan Pharmasi Semarang

ABSTRAK
Dispepsia merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan di
masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pasien
berdasarkan jenis kelamin, umur dan penyakit penyerta. Selain itu, penelitian ini juga
bertujuan untuk mengetahui gambaran pola penggunaan obat dispepsia meliputi
golongan, jenis, kombinasi obat, dosis dan frekuensi pemberian di Puskesmas Mranggen
III periode Mei 2018. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan
pengambilan datanya secara retrospektif. Hasil penelitian ini menunjukkan karakteristik
pasien dispepsia berdasarkan umur yaitu sebanyak 23 orang (25,27%) berumur 46-55
tahun, jenis kelamin perempuan sebanyak 68 pasien (74, 73%), dan penyakit penyerta
yaitu Infeksi Saluran Nafas Atas sebanyak 9 pasien (9,38%). Pola penggunaan obat
dispepsia berdasarkan golongan obat yaitu dispepsia tunggal terbanyak menggunakan
golongan Antagonis reseptor H2 yaitu ranitidin sebanyak 60 pasien (38,71%) , Sediaan
obat terbanyak mendapatkan sediaan tablet sebanyak (79,35%), kombinasi obat dispepsia
terbanyak menggunakan golongan antasida dan Antagonis reseptor H2 sebanyak 19
pasien (19,79%). Sedangkan pola penggunaan obat berdasarkan dosis dan frekuensi
pemberian menunjukkan penggunaan terbanyak Ranitidin dosis 150 mg dengan
frekuensi pemberian dua kali sehari sebanyak 60 pasien (38,71%)

Kata kunci : Dispepsia, Obat Dispepsia, Puskesmas Mranggen III

ABSTRACT
Tuberculosis is an easily spread disease that caused by Mycobacterium
tuberculosis. This research’s aim is to know about how anti tuberculosis drugs
are used for outpatient of Poliklinik Paru dan DOTS RSUD Dr. Loekmono Hadi
in period of September 2018-Februari 2019. It used observational method with
purposive sampling. As the result, there found 49 patient, which where 26 male
patient (53,06%) and 23 female patient (46,94%). Most types of patient is new
case was 43 patient (87,76%). There counted 152 prescribing over 49 outpatient
which most consist intensive phase of Anti Tuberculosis Category 1 FDC was 53
package (34,89%) and continoum phase was 18 package (11,84%).

Keywords : dyspepsia, dyspepsia drugs, Mranggen III Public Health Center


2

PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan atau gejala klinis yang terdiri dari
rasa tidak enak atau sakit perut pada saluran cerna bagian atas. Gangguan masalah
pencernaan merupakan salah satu gangguan yang sangat sering dikeluhkan oleh
masyarakat dan telah menjadi masalah kesehatan. Diantara sekian banyak
gangguan pencernaan yang sering diderita masyarakat, keluhan yang paling
banyak ditemukan adalah keluhan dyspepsia yang sering diasumsikan orang
awam sebagai penyakit maag (Djojoningrat,2009). Jumlah kasus Dispepsia di
Puskesmas Mranggen III cukup banyak. Data selama bulan April sampai Agustus
2018 yaitu bulan April sejumlah 98 kasus, bulan Mei sejumlah 112 kasus, bulan
Juni 112 kasus, bulan Juli 105 kasus, bulan Agustus tercatat 110 kejadian
dispepsia.
Seiring dengan kemajuan pembangunan di bidang kesehatan, jenis obat
saluran pencernaan yang tersedia di puskesmas wilayah kabupaten Demak
semakin beragam. Obat untuk dispepsia yang tersedia di gudang farmasi dan
diberikan pada pasien rawat jalan puskesmas Mranggen III adalah antasida,
ranitidin, omeprazol, metoklopramid, dan domperidon. Pemilihan obat yang tepat
perlu dilakukan guna mencapai efek pengobatan yang diinginkan.
Berdasarkan uraian data diatas yang diperoleh dari Laporan Bulanan Data
Kesakitan Puskesmas Mranggen III, maka perlu dipelajari gambaran penggunaan
obat dispepsia pada pasien Dispepsia di Puskesmas Mranggen III pada bulan Mei
2018.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif .
Obyek penelitian ini adalah pasien dispepsia yang berobat di Puskesmas
Mranggen III pada bulan Mei 2018.. Instrumen dalam penelitian ini berupa
lembar resep yang berisi informasi meliputi: nomor resep, usia, jenis kelamin,
alamat, terapi obat yang diberikan, dosis penggunaan obat.
3

Teknik pengambilan sampel dengan metode purposive sampling. Jumlah


populasi pada bulan Mei 2018 adalah sebesar 112 orang. Sedangkan yang
memenuhi kriteria inklusi sebanyak 91 orang. Kriteria inklusi pada penelitian ini
adalah: Pasien yang didiagnosis menderita dispepsia , mempunyai kelengkapan
data identitas pasien pada periode bulan Mei 2018 serta pasien dyspepsia yang
mendapatkan terapi obat dispepsia. Kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah
Pasien dengan data resep tidak lengkap.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Di Puskesmas Mranggen III Periode Mei 2018

Karakteristik L %L P %P
N Persentase
Pasien
Umur
0-5 Tahun 0 0 1 100 1 1,10
6-11 Tahun 1 25,00 3 75,00 4 4,40
12-16 Tahun 0 0 1 100 1 1.10
17-25 Tahun 3 3,33 6 99,67 9 9.90
26-35 Tahun 4 30,76 9 69,24 13 14,29
36-45 Tahun 3 21,42 11 78,58 14 15,38
46-55 Tahun 5 21,73 18 78,27 23 25,27
56-65 Tahun 3 20,00 12 80,00 15 16,48
>65 Tahun 4 36,36 7 63,64 11 12,08
Total 23 25,27 68 74,73 91 100,0

Karakteristik pasien dispepsia di Puskesmas Mranggen III periode Mei 2018


berdasarkan usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 3. Dari 91 data pasien
tersebut, sebagian besar pasien berumur 46-55 tahun sebanyak 23 pasien
(25,27%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian dari Wijayanti dan Saputro
(2012) diketahui bahwa pasien penderita dispepsia paling banyak pada rentang
usia 46-55 tahun (25,22%). Umur merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi percernaaan manusia. Menurut Depkes 2009, masa Lansia awal
adalah usia 45-56 tahun. Pada lansia sistem pencernaan mulai terganggu, gigi
mulai tanggal, kemampuan mencerna makanan serta penyerapannya menjadi
lamban dan kurang efisien (Afriansyah dan Widodo, 2019). Dispepsia
berhubungan erat dengan penurunan fungsi gastro intestinal pada orang dengan
umur lanjut. Dispepsia berhubungan dengan kebiasaan menelan udara pada saat
4

makan atau makan tanpa menguyah yang disebabkan karena kehilangan gigi pada
umur lanjut sehingga perut menjadi penuh dan bersendawa (Setyono dkk. 2006))
Jumlah pasien dispepsia perempuan lebih banyak dari jumlah pasien laki
laki yaitu sejumlah 68 orang. Jumlah ini adalah 74,73 % dari jumlah total pasien.
Kesesuaian hasil penelitian juga diperoleh dengan dibandingkan pada penelitian
yang berjudul pola peresepan obat dispepsia dan kombinasinya pada pasien
dewasa rawat inap di Rumah Sakit Islam Yogyakarta Persaudaraan Djamaah Haji
Indonesia (PDHI) oleh Wijayanti dan Saputro (2012) yang menunjukkan jumlah
penderita dispepsia perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Pasien
perempuan sebanyak 86 orang dengan prosentase 74,78 %, sedangkan pasien laki-
laki sebanyak 29 orang dengan prosentase 25,22 %. Perempuan umumnya
dicitrakan atau mencitrakan dirinya sebagai makhluk yang emosional, mudah
menyerah, pasif, subjektif, mudah terpengaruh, lemah fisik, dan dorongan seksnya
rendah (Nurhayati, 2012). Adanya stres dapat mempengaruhi fungsi
gastrointestinal dan mencetuskan keluhan dispepsia. Hal ini disebabkan karena
asam lambung yang berlebihan. Adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Selain itu, stres
mengubah sekresi asam lambung dan motilitas (Rahmaika, 2014).
Jenis kelamin mempengaruhi sistem hormonal tubuh. Sistem hormonal
wanita lebih reaktif dibanding pria. Sekresi asam lambung diatur oleh mekanisme
hormon gastrointestinal, maka dari itu wanita lebih cenderung terkena dyspepsia.
Hormon yang mempengaruhi sekresi lambung adalah hormon gastrin yang
bekerja pada kelenjar gastrik menyebabkan aliran tambahan asam lambung
sehingga kondisi lambung menjadi lebih asam (Dewi, 2017).

Tabel 4. Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta Di Puskesmas


Mranggen III Periode Mei 2018

Riwayat Penyakit No Pasien N Persentase


Dispepsia (K30) 3,4,5,6,7,8,9,10, 45 46,88
11,12,13,15,16,17
18,19,20,21,22,23
,24,25,26,27,28
29,30,31,32,33
,34,35,36,37,38,39
5

40,41,42,43,44,45
46,47,46B
Dispepsia + Head ache (R51) 62,70,75,84,66B 5 5,21
Dispepsia + Bellpalsy (G51.1) 78 1 1,04
Dispepsia + Diabetes Melitus (E14) 53,87,88 3 3,13
Dispepsia + DM (E14) + ISPA Non spesifik (J068) 77 1 1,04
Dispepsia + Disorder lipid (E78) 14 1 1,04
Dispepsia + Gatal (L28) 54 1 1,04
Dispepsia + Hay Fever (J30.1) 71,86 2 2,08
Dispepsia + Hiperlipid (E78) + Migrain (G43) 90,91 2 2,08
Dispepsia + Hipertensi (I10) 73,37B,52C 3 3,13
Dispepsia + Hipertensi (I10)+ ISK (N39) 67 1 1,04
Dispepsia + Hipertensi (I10) + DM (E14) 50 1 1,04
Dispepsia + Hipertensi + Headache (R51) 85 1 1,04
Dispepsia + Hipertensi (I10)+ Common Cold (J00) 51,74,52B 3 3,13
Dispepsia + Common Cold (J00) 1,72 2 2,08
Dispepsia + CC (J00)+Myalgia (M79.1) 49 1 1,04
Dispepsia + Faringitis (J02) 80 1 1,04
Dispepsia + ISPA Non spesifik (J068) 58,64,69,76 4 4,17
Dispepsia + ISPA (J069) 55,57,59,60,61 9 9,38
79,81,83,89
Dispepsia + Myalgia (M79.1) 2,48,52,68,82 5 5,21
Dispepsia + Migrain 66 1 1,04
Dispepsia + IHD (I24) 63 1 1,04
Dispepsia + ISK (N39) 56,65 2 2,08
Total 96 100,0
*Kata dalam kurung : kode ICD (International Statistical Classification of Diseases and
Related Health Problems) penyakit yang tercantum pada lembar resep.

Berdasarkan tabel 4 dapat dijelaskan bahwa sebagian besar pasien adalah


pasien dengan riwayat penyakit penyerta sebanyak 51 orang (53,12%). Sedangkan
pasien yang tidak mempunyai riwayat penyakit penyerta hanya 45 orang (46,88
%).
Penyakit penyerta pada pasien dyspepsia antara lain Headache, Bellpasy,
Diabetes Melitus, Infeksi Saluran Pernafasan Atas, Infeksi Saluran Pernafasan
Atas Non spesifik, Disorder lipid, Gatal, Hay Fever, Hiperlipid, Migrain,
Hipertensi, Infeksi saluran Kemih, Common Cold, Ischemic Heart Disease.
Beberapa penyakit tersebut akan menunjukkan sindrom dyspepsia seperti mual,
muntah, sakit kepala, sakit perut, pusing, rasa tidak enak diperut. Menurut Barawa
(2017), penggunaan obat-obatan berupa antibiotik, berbagai penyakit sistemik
seperti diabetes mellitus maupun penyakit jantung dapat mengakibatkan sindrom
dispepsia
Penyakit penyerta pada dispepsia tertinggi adalah Infeksi saluran Pernafasan
Atas sebanyak 9 pasien (9,38%) dari jumlah total semua pasien dyspepsia.
6

Gambaran klinis Infeksi Saluran Pernafasan Atas dapat berupa antara lain rasa
mual dan nyeri pada abdomen (Saputro, 2013).
Tabel 5. Gambaran Penggunaan Obat Dispepsia Berdasarkan Golongan dan Jenis Di
Puskesmas Mranggen III Periode Mei 2018

Golongan Obat No. Pasien Jenis Obat


N Persentase
Dispepsia Dispepsia
Antasida 3,4,5,6,9,13,17,19,20, Antasida DOEN 34 21,93
21,24,25,26,28,29,30
32,33,36,38,41,47,54
71,74,81,82,83,84,86
37B,66B,42,45
Antagonis Reseptor H2 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,13 Ranitidin 60 38,71
16,17,19,22,23,24,25,
26,27,28,29,31,32,33
34,36,38,41,43,44,49,
50,51,5253,54,61,68,
69,70,71,72,73,75,76
77,78,79,80,81,82,83
84,85,86,87,91,37B,66B
Penghambat Pompa proton 11,12,14,5,18,35,37,39 Omeprazol 29 18,71
40,46,48,55,57,58,59
60,62,63,64,65,66,67,
88,89,90,46B,52B,52C
Prokinetik 1,6,7,8,11,12,15,16,22,24 Domperidon 32 20,65
27,31,32,33,35,36,37,39,
40,43,44,47,48,57,64,74,
77,78,81,86,37B
Total 155 100,00

Berdasar tabel 5 diketahui jumlah golongan obat yang terbanyak diberikan


kepada pasien adalah golongan antagonis H2 (38,71%). Pada dispepsia belum
diinvestigasi, obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam
lambung berupa Proton Pump Inhibitor misalnya omeprazole, rabeprazole dan
lansoprazole dan/atau H2Receptor Antagonist (H2RA) serta prokinetik. Pilihan
obat tersebut ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan
pasien (Abubakar, 2018).
Hasil dari penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Wijayanti dan
Saputro (2012) pada pasien RSI Yogyakarta PDHI, dimana pola penggunaan
golongan obat dyspepsia yang terbanyak adalah golongan antagonis H2 yaitu
Ranitidin sebanyak 97,39 %. H2 antagonis mengurangi sekresi asam lambung
yang dirangsang oleh histamin serta oleh agen gastrin dan cholinomimetic.
7

Stimulasi langsung sel parietal oleh gastrin atau asetilkolin mengakibatkan


berkurangnya sekresi asam karena adanya blokade reseptor-H2. Dalam dosis
pemberian yang sesuai agen tersebut, mampu menghambat 60-70% dari total
sekresi asam 24 jam (Katzung dkk. 2012).
Tabel 6. Bentuk Sediaan Obat yang digunakan Pada Pasien Dispepsia
Di Puskesmas Mranggen III Periode Mei 2018

Bentuk Pasien Nomor (Jumlah Sediaan Obat Dispepsia) Jml


Persentase
Sediaan R/
Sirup - 0 0
Suspensi 42 (2), 45(1) 3 1,94
Tablet 1(1),2(1),3(2),4(2),5(2),6(3),7(2),8(2),9(2),10(3),11(1),12 123 79,35
(1),13(2),15(1),16(2),17(2),19(2),20(1),21(1),22(2),23(1)
,24(3),25(2),26(2),27(2),28(2),29(2),30(1),31(2),32(3),33
(3),34(1),35(1),36(3),37(1),38(2),39(1),40(1),41(2),43(2)
,44(2),47(2),48(1),49(1),50(1),51(1),52(1),53(1),54(2),
57(1),61(1),64(1),68(1),69(1),70(1),71(2),72(1),73(1),74(
2),75(1),76(1),77(2),78(2),79(1),80(1),81(3),82(2),83(2),
84(2),85(1),86(3),87(1),91(1),37B(3),66B(2)
Kapsul 11(1),12(1),14(1),15(1),18(1),35(1),37(1),39(1),40(1), 29 18,71
46(1),48(1),55(1),56(1),57(1),58(1),59(1),60(1),62(1)
,63(1),64(1),65(1),66(1),67(1),88(1),89(1),90(1).46B,
52B,52C
Total 155 100,00

Dari Tabel 6 diketahui bahwa pemberian obat dalam bentuk sediaan tablet
adalah sediaan yang terbanyak (79,35%) diberikan pada pasien. Penelitian ini
dilakukan pada pasien rawat jalan sehingga semua obat dispepsia diberikan dalam
rute oral, tidak ada pemberian dalam bentuk injeksi. Sediaan tablet yang tersedia
berupa antasida DOEN, Ranitidin, Domperidon.
Pada Puskesmas Mranggen III pemberian obat pada pasien dalam bentuk
sediaan obat, dilakukan dengan menelaah resep dan persetujuan dari penulis
resep, dengan berbagai pertimbangan berupa usia pasien yang berkaitan erat
dengan kemampuan pasien dalam mengkonsumsi obat, serta ketersediaan obat di
gudang obat. Data ketersediaan obat bisa diketahui setiap bulan, melalui sistem
informasi obat yang dibuat oleh pengelola obat puskesmas. Persetujuan mengganti
bentuk sediaan obat yang akan diberikan pada pasien, dilakukan dengan
koordinasi antara pengelola obat dan penulis resep.
Tabel 7. Gambaran Penggunaan Kombinasi obat Dispepsia pada pasien
Di Puskesmas Mranggen III Periode Mei 2018
8

Kombinasi Obat N Persentase


Ranitidin + Domperidon 11 11,46
Ranitidin 22 22,92
Antasida 4 4,17
Omeprazol 19 19,79
Antasida + Ranitidin 19 19,79
Antasida + Ranitidin + Domperidon 8 8,33
Omeprazol + Domperidon 10 10,41
Antasida + Domperidon 3 3,13
Total 96 100,0

Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa kombinasi obat dispepsia yang paling


banyak digunakan adalah Ranitidin dan antasida dimana diberikan kepada 19
pasien sejumlah (19,79%) dari total jumlah pasien. Penggunaan obat antagonis H2
ini berfungsi untuk mengurangi sekresi asam. Antasida untuk menetralkan
produksi asam lambung. Ranitidine mampu menghambat 60-70% dari total
sekresi asam selama 24 jam. H2 antagonis sangat efektif dalam menghambat
sekresi asam nokturnal (yang sangat bergantung pada histamin), tetapi berdampak
kecil pada sekresi asam yang terstimulasi oleh makanan (yang dirangsang oleh
gastrin dan asetilkolin serta histamin) (Katzung dkk. 2012).
Kombinasi obat digunakan karena hasil yang diperoleh dari terapi tunggal
kurang memuaskan untuk tujuan pengobatan yang diinginkan. Perkembangan
terapi kombinasi ini sangat mendukung kepatuhan pasien, karena selain efektifitas
yang tinggi kemungkinan efek samping menjadi lebih kecil (Nasif dkk. 2009).
Tabel 8. Gambaran Frekuensi dan Dosis Penggunaan Obat Dispepsia
Di Puskesmas Mranggen III Periode Mei 2018

Frekuensi Jumlah Keterangan


Jenis Obat Dispepsia
dan Dosis pasien No Pasien (Usia)
3(51), 4(19), 5(49), 6(30), 9(47), 13(40),
17(34), 19(39), 20(51), 24(24), 25(39),
26(65), 28(19), 29(53), 30(62), 32(46),
Tablet Antasida 3x500 mg/hari 30
33(51), 36(74), 38(55), 41(31), 54(10),
DOEN
71(12), 74(49), 81(56), 82(70), 83(23),
84(60), 86(40),37B (68),66B(60)
3x250 mg/hari 2 21(6), 47(7)
Suspensi Antasida 3x 5ml/hari 1 42(7)
DOEN 3x 2,5ml/hari 1 45(4)
9

1(48), 2(52), 3(51), 4(19), 5(49), 6(30), 7


(45), 8(51), 9(47), 10(59), 13(40),
16(46), 17(34), 19(39), 22(20), 23(27),
24(24), 25(39), 26(65), 27(28), 28(19),
29(53), 31(45), 32(46), 33(51), 34(79),
36(74), 38(55), 41(31), 43(40), 44(28),
Tablet Ranitidin 2x150mg/hari 60
49(45), 50(63), 51(50), 52(64), 53(56),
54(10), 61(32), 68(62), 69(23), 70(39),
71(12), 72(46), 73(41), 75(60), 76(25),
77(35), 78(48), 79(28), 80(47), 81(56),
82(70), 83(23), 84(60), 85(49), 86(40),
87(49), 91(65),37B(68),66B(60)
11(45), 12(52), 14(52), 15(31), 18(70),
35(28), 37(68), 39(68), 40(37), 46(68),
48(69), 55(97), 56(42), 57(66), 58(26),
Kapsul Omeprazol 2x20mg/hari 28
59(21), 60(65), 62(69), 63(56), 64(20),
65(43), 66(60), 67(48), 88(57), 89(33),
90(52),52B(64),46B(68),52C(64)
1(48), 6(36), 7(45), 8(51), 11(45),
12(52), 15(31), 16(46), 22(20), 24(24),
27(28), 31(45), 32(46), 33(51), 35(28),
Tablet Domperidon 3x10mg/hari 30
36(74), 37(68), 79(68), 40(37), 43(40),
44(28), 48(69), 57(66), 64(20), 74(49),
77(35), 78(48), 81(56), 86(40),37B(68)
Tablet Domperidon 3x5 mg/hari 1 47 (7)
Susoensi Domperidon 3x1cth/hari 1 42 (7)

Dari data penelitian ini diketahui bahwa penggunaan jenis obat obat dyspepsia
berupa antasida DOEN, Ranitidin, Omeprazol, Domperidon pada pasien sudah
banyak yang sesuai dengan referensi yaitu Panduan praktek klinis, Informatorium
Obat Nasional Indonesia, serta Drug Information Handbook.
Berdasarkan tabel 8, golongan antagonis reseptor H2 berupa ranitidine adalah
jenis obat yang paling banyak diresepkan 60 pasien dengan presentase (38,71%).
Frekuensi dan dosis pemberian untuk dewasa yang sesuai dengan panduan praktek
klinis yaitu 2x150mg/hari. Menurut Katzung dkk. (2012), dosis yang
direkomendasikan ini akan mempertahankan lebih dari 50% penghambatan asam
selama 10 jam. Oleh karena itu, obat ini biasanya diberikan dua kali sehari.
KESIMPULAN
1. Karakteristik pasien dispepsia berdasarkan umur 46-55 Tahun sebanyak 23
pasien (25,27%), jenis kelamin perempuan sebanyak 68 pasien (74,73%), dan
penyakit penyerta yaitu Infeksi Saluran Nafas Atas sebanyak 9
pasien(9,38%).
10

2. Gambaran penggunaan obat dispepsia berdasarkan golongan obat dyspepsia


terbanyak menggunakan golongan Antagonis reseptor H2 yaitu ranitidin
sebanyak 60 pasien (38,71%), sediaan obat terbanyak mendapatkan sediaan
tablet sebanyak (79,35%), kombinasi obat dispepsia terbanyak menggunakan
golongan antasida dan Antagonis reseptor H2 sebanyak 19 pasien (19,79%),
sedangkan gambaran penggunaan obat berdasarkan dosis dan frekuensi
pemberian menunjukkan banyak penggunaan obat sudah sesuai dengan
referensi, penggunaan obat terbanyak Ranitidin dosis 150 mg dengan
frekuensi pemberian dua kali sehari sebanyak 60 pasien (38,71%)

SARAN
Pada penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan data rekam medis
sebagai data pendukung untuk bahan pertimbangan, dalam menelaah lebih jauh
penggunaan obat pada pasien dispepsia, sehingga akan diperoleh gambaran yang
lebih detail tentang penggunaan obat pada pasien dispepsia.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2009. Modul Pelatihan Penanggulangan Tuberkulosis bagi Tim


DOTS Rumah Sakit. Modul A – F.
Kemenkes RI. 2014. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Kemenkes RI.2016. Permenkes RI No. 67 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Manalu, H.S.2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kejadian TB Paru dan
Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 9 No. 4.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).2011. Pedoman Penatalaksanaan
TB(Konsensus TB).
Radji, M.2015. Mekanisme Aksi Molekuler Antibiotik dan Kemoterapi. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai