Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana

Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, dapat disamakan dengan

pengertian pertanggungjawaban pidana dimana di dalamnya terkandung

makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Tentang kesalahan ini

Bambang Poernomo menyebutkan bahwa “Kesalahan itu mengandung segi

psikologis dan segi yuridis. Segi psikologis merupakan dasar untuk

mengadakan pencelaan yang harus ada terlebih, baru kemudian segi yang

kedua untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dasar kesalahan

yang harus dicari dalam psikis orang yang melakukan perbuatan itu sendiri

dengan menyelidiki bagaimana hubungan batinnya itu dengan apa yang telah

diperbuat”.1

Berdasarkan pendapat Bambang Poernomo tersebut dapat diketahui

untuk adanya suatu kesalahan harus ada keadaan psikis atau batin tertentu, dan

harus ada hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan

perbuatan yang dilakukan sehingga menimbulkan suatu celaan, yang pada

nantinya akan menentukan dapat atau tidaknya seseorang

dipertanggungjawabkan secara pidana.

1
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, 1985, hal 145.
Menurut Moeljatno, syarat-syarat kesalahan yaitu :2

1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);

2. Diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab;

3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau

kealpaan;

4. Tidak ada alasan pemaaf

Kesalahan sebagai faktor penentu dalam menentukan dapat tidaknya

seseorang di pertanggungjawabkan secara pidana dapat dibedakan dalam dua

bentuk, yaitu kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) dan

kesalahan dalam bentuk kealpaan (culpa).

Kesalahan seseorang erat kaitannya dengan pertanggungjawaban

pidana. Menurut Roeslan Saleh, pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan

yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si

pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih

dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, ini berarti harus dipastikan

terlebih dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana. 3

Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan

secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau

tindak pidana.4

Pelaku tindak pidana dapat dipidana apabila memenuhi syarat bahwa

tindak pidana yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan

2
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993,hal 54.
3
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru,
Jakarta, 1999, hal 80.
4
Ibid, hal 75.
dalam Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang,

seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut,

apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau

peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya.

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya

seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan

atas perbuatanya. Dalam hal di pidananya seseorang yang melakukan

perbuatan seperti melawan hukum tergantung apakah dalam melakukan

perbuatan ia mempunyai kesalahan dan apabila orang yang melakukan

perbuatan itu memang melawan hukum, maka ia akan dipidana.

Andi Hamzah mengemukakan bahwa pembuat (dader) harus ada unsur

kesalahan dan bersalah yang harus memenuhi unsur, yaitu :5

1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan

oleh si pembuat.

2. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya

sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (culpa). Yang mana pelaku

mempunyai kesadaran yang mana pelaku seharusnya dapat mengetahui

akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya.

3. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya

dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.

Asas legalitas hukum pidana Indonesia yang diatur dalam Pasal 1 ayat

(1) KUHP menyatakan bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan

5
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal 130.
perbuatan pidana apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan

dalam undang-undang hukum pidana. Meskipun orang tersebut belum tentu

dapat dijatuhi hukum pidana, karena masih harus dibuktikan kesalahannya

apakah dapat dipertanggungjawabkan pertanggungjawaban tersebut. Agar

seseorang dapat dijatuhi pidana, harus memenuhi unsur-unsur perbuatan

pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Seorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana dalam

menentukan adanya pertanggungjawaban harus ada sifat melawan hukum dari

tindak pidana yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana.

Sifat melawan hukum dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat

terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa kesengajaan (opzet)

atau karena kelalaian (culpa).

Menurut pandangan para ahli hukum pidana ada 3 (tiga) bentuk

kesengajaan (opzet), yakni:6

1. Kesengajaan Sebagai Maksud

Kesengajaan ini bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan

dan apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si

pelaku pantas dikenakan hukuman

2. Kesengajaan Dengan Keinsafan

Pasti Kesengajaan ini ada apabila si pelaku (doer or dader) dengan

perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi

6
Leden Mapaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafrika, Jakarta, 2005,
hal 15.
dasar dari delik dan mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain

akibat dimaksud akan terjadi suatu akibat lain.

3. Kesengajaan dengan Keinsafan Kemungkinan (Dolus Eventualis)

Kesengajaan ini juga dsebut kesengajaan dengan kesadaran

kemungkinan, bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan

untuk menimbulkan suatu akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku

menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang

dan diancam oleh UndangUndang

Pada umumnya, kelalaian (culpa) dibedakan menjadi 2, yaitu:7

1. Kelalaian dengan kesadaran (bewuste schuld) Dalam hal ini, si pelaku

telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi

walaupun ia berusaha untuk mencegah tetap timbul tersebut.

2. Kelalaian tanpa kesadaran (onbewuste schuld) Dalam hal ini, si pelaku

tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang

dilarang dan diancam hukuman oleh UndangUndang. Sedangkan ia

seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat

Suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum, dan dapat

dikenakan sanksi pidana maka harus dipenuhi 2 (dua) unsur yakni adanya unsur

perbuatan pidana (actrus reus) dan keadaan sifat batin pembuat

(means rea). Kesalahan (schuld) merupakan unsur pembuat delik, jadi

termasuk unsur pertanggungjawaban pidana yang mana terkandung makna

dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Dalam hal kesalahan tidak

7
Ibid, hal 26
terbukti, berarti bahwa perbuatan pidana (actus reus) sebenarnya tidak terbukti,

karena tidak mungkin hakim akan membuktikan adanya kesalahan jika ia telah

mengetahui lebih dahulu bahwa perbuatan pidana tidak ada atau tidak terbukti

diwujudkan oleh terdakwa.8

Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab apabila memenuhi 3

(tiga) syarat, yaitu:9

1. Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya.

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut

dalam pergaulan masyarakat.

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan

perbuatan.

Ada beberapa alasan seseorang tidak dapat bertanggung jawab atas

tindak pidana yang dilakukan, yaitu :10

1. Jiwa si pelaku cacat.

2. Tekanan jiwa yang tidak dapat ditahan.

3. Gangguan penyakit jiwa

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan

yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat

membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan

untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya

perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu

8
Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni, Bandung,
1987, hal 72.
9
Roeslan Saleh. Op.Cit, hal 80.
10
Leden Mapaung. Ibid, hal 72.
dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang

diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi

maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut

keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan

kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat

dipertanggungjawabkan.11

Berdasarkan KUHP masalah kemampuan bertanggungjawab terdapat

dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa:

Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam

pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.

Apabila seseorang tidak dapat bertanggungjawab disebabkan hal lain

seperti jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka pasal 44 ayat

(1) tersebut tidak dapat dikenakan.

Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan

bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan. Setiap orang

bertanggungjawab atas segala perbuatannya, hanya kelakuannya yang

menyebabkan hakim menjatuhkan hukuman yang dipertanggungjawabkan

pada pelakunya. Dalam menjatuhkan pidana disyaratkan bahwa seseorang

harus melakukan perbuatan yang aktif atau pasif seperti yang ditentukan oleh

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), sifat melawan hukum dan

11
Saifudien. Pertanggungjawaban Pidana. Diakses pada tanggal 19 Juni 2018, Pukul
10.00 WIT Http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html
tidak adanya alasan pembenar serta adanya kesalahan dalam arti luas yang

meliputi kemampuan bertanggungjawab, sengaja dan kelalaian dan tidak

adanya alasan pemaaf.

Tanggungjawab pidana dapat diartikan sebagai akibat lebih lanjut yang

harus ditanggung oleh siapa saja yang telah bersikap tindak, baik yang selaras

dengan hukum atau yang bertentangan dengan hukum.

Tanggungjawab pidana adalah akibat lebih lanjut yang harus diterima, dibayar

atau ditanggung seseorang yang melakukan tindak pidana secara langsung dan

tidak langsung.

B. Delik Kekerasan Dalam KUHP

Kejahatan kekerasan di dalam KUHP, pengaturannya tidak satukan

dalam satu bab khusus, akan tetapi terpisah-pisah dalam bab tertentu. Didalam

KUHP kejahatan kekerasan dapat digolongkan sebagai berikut :12

1. Kejahatan terhadap nyawa orang lain pasal 338-350 KUHP;

2. Kejahatan penganiayaan pasal 351-358 KUHP;

3. Kejahatan seperti Pencurian, penodongan, perampokan pasal 365

KUHP;

4. Kejahatan terhadap kesusilaan, khususnya pasal 285 KUHP; dan

5. Kejahatan yang menyebabkan kematian atau luka karna kealpaan, pasal

359-367 KUHP.

12
R. Soesilo, Pokok-pokok hukum pidana umum dan delik-delik khusus, Karya
Nusantara, Bandung, 1984, hal 30.
Adapun bentuk-bentuk kejahatan kekerasan adalah sebagai berikut:

1. Kejahatan pembunuhan

2. Kejahatan penganiayaan berat

3. Kejahatan pencurian dengan kekerasan

4. Kejahatan perkosaan

5. Kejahatan kekerasan terhadap ketertiban umum

Untuk lebih jelasnya , penulis menguraikan satu persatu kejahatan kekerasan

tersebut diatas.

1. Kejahatan Pembunuhan

Kejahatan pembunuhan sebagaimana terdapat dalam KUHP pada bab

XIX yang merupakan kejahatan terhadap nyawa orang yang selanjutnya diatur

dalam KUHP pada pasal 338 sampai pasal 350 adalah merupakan suatu delik

materiil, maka menitik beratkan pada akibat yang diancam dengan pidanaa oleh

undang-undang. Cara dalam melakukan pembunuhan dapat berwujud

bermacam-macam perbuatan, dapat berupa menikam dengan pisau, memukul

dengan benda keras dan sebagainya.

2. Kejahatan Penganiayaan Berat

Berbicara tentang penganiayaan berat, hal ini tidak terlepas dari pasal

354 dan pasal 355 KUHP, pasal 354 KUHP yang berbunyi :13

13
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan Penjelasan resmi dan
Komentar, POLITEIA, Bogor, 1981, hal 213
(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai atau melukai berat orang lain,

dihukum karena menganiaya berat, dengan hukuman penjara selama-

lamanya delapan tahun

(2) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya, si tersalah dihukum

selama-lamanya sepuluh tahun.

Menanggapi rumusan diatas maka timbul pertanyaan, apakah yang

dimaksud dengan luka berat serta apa yang menjadi indikator atau tolak ukur

sehingga kejahatan itu dapat disebut sebagai penganiayaan berat? Untuk

menjawab masalah tersebut diatas, maka pasal 90 KUHP menjelaskan bahwa

yang dimaksud dengan luka berat adalah :14

1. Penyakit atau luka yang tidak boleh diharap lagi akan sembuh lagi

dengan sempurna dan dapat mendatangkan bahaya maut, jadi luka atau

sakit bagaimanapun besarnya jika dapat sembuh kembali dengan

sempurna dengan tidak mendatangkan bahaya maut, itu bukan luka

berat.

2. Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaannya.

Kalau hanya sementara tidak cakap melakukan pekerjaannya tidak

masuk luka berat. Penyanyi misalnya, rusak kerongkongannya

sehingga tidak dapat menyanyi selama-lamanya maka itu termasuk luka

berat.

3. Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu panca indera, yaitu

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa lidah dan rasa kulit. Orang

14
Ibid, hal 85
yang menjadi buta satu mata atau tuli satu telinga belum masuk

pengertian ini, karna mata dan telinga lainnya masih berfungsi.

4. Kudung (rompong) cacat sehingga jelek rupanya, karena ada suatu

anggota badan putus, misalnya hidungnya rompong, daun telinganya

teriris putus, jari tangannya atau kakinya putus dan sebagainya.

5. Lumpuh artinya tidak mampu lagi menggerakkan anggota tubuhnya.

6. Berubah pikiran lebih dari empat minggu, pikiran terganggu, kacau,

tidak dapat berpikir lagi secara normal, semua itu lamnya empat

minggu, jika kurang maka tidak termasuk pengertian luka berat.

7. Membunuh atau menggugurkan bakal anak kandungan itu.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa suatu perbuatan dapat diklasifikasikan dalam penganiayaan berat

menurut undang-undang apabila perbuatan itu dilakukan dengan sengaja

menyebabkan atau mendatangkan luka berat. Luka berat dimaksudkan disini

adalah merupakan tujuan utama, jadi niat si pembuat harus ditujukan kepada

melukai berat. Artinya luka harus dimaksudkan oleh si pembuat, apabila tidak

dimaksudkan oleh si pembuat dan luka berat itu hanya merupakan akibat saja,

maka perbuatan itu masuk penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat

(pasal 351 Ayat 2 KUHP).

3. Kejahatan Pencurian Dengan Kekerasan

Kejahatan pencurian dengan kekerasan oleh pembentuk undang-

undang diatur dalam pasal 365 KUHP yang rumusannya sebagai berikut :15

15
Ibid, hal 219.
(1) Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun,

dihukum pencurian yang didahului, serta di ikuti dengan kekerasan

atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud akan

menyiapkan atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap

tangan (terpergok) supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau

bagi kawannya yang turut melakukan kejahatan itu akan melarikan

diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap ada ditangannya.

(2) hukuman penjara selam-lamanya dua belas tahun, dijatuhkan:

a. Jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam didalam suatu

rumah atau pekarangan yang tertutup, yang ada dirumahnya atau

dijalan umum atau didalam suatu kereta api atau trem yang sedang

berjalan.

b. Jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau

lebih.

c. Si tersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan itu dengan jalan

membongkar atau memanjat, atau dengan jalan memakai kunci

palsu, atau perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu.

d. Jika perbuatan itu mengakibatkan ada orang mendapat luka berat.

(3) Hukuman selama-lamanya lima belas tahun dijatuhkan jika karna

perbuatan itu ada orang mati.

(4) Hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara

sementara selama-lamanya dua puluh tahun dijatuhkan, jika perbuatan

itu menjadikan ada orang mendapat luka berat atau mati, dilakukan oleh
dua orang bersama-sama atau lebih dan disertai pula oleh hal dalam ayat

(1) dan ayat (3).

Perlu diketahui bahwa pencurian dengan kekerasan pada dasarnya

identik dengan modus pencurian lainnya, perbedaannya terletak pada

klasifikasi kekerasan atau ancaman kekerasan yang melekat pada perbuatan

pencurian. Unsur ini merupakan unsur pokok yang penting dalam pencurian

dengan kekerasan. Kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut harus ditujukan

kepada orang dan bukan barang

4. Kejahatan Pemerkosaan

Delik pemerkosaan diatur dalam pasal 285 KUHP yang berbunyi

sebagai berikut :16

Barangsiapa dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan memaksa

perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum

karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua

belas tahun.

Melihat isi dari pasal tersebut, maka pemerkosaan memiliki beberapa unsur,

diantaranya : laki-laki yang memaksa perempuan dengan kekerasan,

perempuan itu bukan isterinya, dan paksaan itu dilakukan untuk bersetubuh.

Hal lain lagi yang harus diperhatikan dalah bahwa persetubuhan itu harus

benar-benar terjadi.

16
Ibid, hal 182.
5. Kejahatan Kekerasan Terhadap Ketertiban Umum

Kekerasan terhadap ketertiban umum aturannya dapat dilihat dalam

pasal 170 KUHP, yang bunyi’nya adalah :17

(1) Barangsiapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan

terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima

tahun enam bulan.

(2) Tersalah dihukum :

a. Dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja

merusakkan barang atau jika kekerasan yang dilakukannya

menyebabkan suatu luka;

b. Dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu

menyebabkan luka berat pada tubuh.

c. Dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu

menyebabkan matinya orang.

C. Bentuk Kesalahan Dalam Hukum Pidana

Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu Kesengajaan

atau Dolus dan Keapaan atau Culpa. Sebagian besar pasal-pasal dalam KUHP

membuat kesalahan dalam bentuk kesengajaan dengan menggunakan berbagai

rumusan, disamping beberapa tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan,

misalnya saja pada Pasal 359 dan 360 KUHP yang sering diterapkan di dalam

kasus kecelakaan lalu lintas. Beberapa bentuk kesalahan yaitu :

17
Ibid, hal 126.
1. Kesengajaan (dolus)

Dolus dalam bahasa Belanda disebut opzet dan dalam bahasa inggris

disebut (intention) yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sengaja atau

kesengajaan. Pertama-tama perlu diketahui dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan

opzet. Walaupun demikian, pengertisn opzet ini sangat penting, oleh karena

dijadikan unsur sebagian peristiwa pidana disamping peristiwa yang

mempunyai unsur culpa.18

KUHP sendiri tidak menjelaskan pengertian kesengajaan dan kealpaan

itu. Menurut Memori van Toeliching dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan

kesengajaan adalah willens en waten yang artinya adalah menghendaki

dan menginsyafi atau mengetahui atau secara lengkap seseorang yang

melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki perbuatannya

itu dan harus menginsyafi atau mengetahui akibat yang mungkin akan terjadi

karena perbuatannya. Mengenai kealpaan, hanya sekedar dijelaskan bahwa

kealpaan atau culpa adalah kebalikan dari dolus disatu pihak dan kebalikan

dari kebetulan dipihak lain. Kiranya kata kebalikan adalah kurang tepat,

karena kebalikan putih bukan selalu hitam.

Unsur kesengajaan dan kealpaan ini hanya berlaku untuk kejahatan dan

tidak untuk pelanggaran. Mengenai pengertian menghendaki tersebut,

kehendak itu dapat ditujukan kepada :19

18
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal 95-96.
19
Ibid, hal 96-97
1. Perbuatannya yang dilarang

2. Akibatnya yang dilarang

3. Keadaan yang merupakan unsur tindak pidana

Kesengajaan yang hanya ditujukan kepada perbuatannya yang dilarang

disebut kesengajaan formal, sedangkan yang ditujukan kepada akibatnya

adalah kesengajaan material.

Ada pakar-pakar hukum pidana yang mengatakan bahwa tidak mungkin

seseorang itu menghendaki akibat, karena paling banter orang hanya bias

membayangkan akibat, sebab mungkin terdapat faktor-faktor X yang berada

diluar kekuasaanya yang memengaruhi hubungan sebab akibat itu. Oleh karena

itu, terdapat teori-teori dalam hal ini, yaitu:

1. Teori Kehendak

Teori ini mengatakan bahwa inti kesengajaan adalah kehendak

untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.

Artinya bahwa pelaku kejahatan berkehendak melakukan perbuatan

yang dipidana hukum dan menginginkan akibatnya. Teori ini adalah

yang paling kuat. Dari penjelasan dan teori tersebut dapat disimpulkan

bahwa kesalahan disengaja adalah menghendaki dan

mengetahui perbuatan yang dilakukan, yang mana perbuatan itu

dipidana secara hukum, serta menghendaki akibat dari perbuatan

tersebut.

Menurut teori ini sengaja adalah kehendak untuk melakukan

suatu perbuatan atau tindakan dan kehendak untuk menimbulkan suatu


akibat karena perbuatannya itu. Dengan perkataan lain dapat dikatakan

sebagai sengaja apabila suatu perbuatan itu dikehendaki, dan akibat

perbuatan itu benar-benar menjadi maksud dari perbuatan yang

dilakukan.20

2. Teori Membayangkan

Teori ini mengatakan bahwa sengaja berarti mengetahui dan

dapat membayangkan kemungkinan akan akibat yang timbul dari

perbuatannya tanpa ada kehendak atau maksud untuk akibat tersebut.

Menurut teori ini berdasarkan alasan psikologis tidak mungkin suatu

akibat itu dapat dikehendaki. Manusia hanya biasa menginginkan,

mengharapkan atau membayangkan (voorstellen) kemungkinan akibat

yang akan terjadi. Dirumuskan bahwa sengaja adalah apabila suatu

akibat dibayangkan sebagai maksud, dan oleh karena itu perbuatan

tersebut dilakukan oleh yang bersangkutan sesuai dengan bayangan

yang telah dibuatnya lebih dahulu.

Terhadap teori-teori ini Van Hattum mengatakan bahwa pada

hakikatnya tidak ada perbedaan antara keduanya.

Perbedaanya tidak terletak di bidang yuridis melainkan di bidang

psikologis. Keduanya mengakui bahwa di dalam kesengajaan harus ada

kehendak untuk berbuat. Soedarto mengatakan didalam praktik

penggunaan keduanya sama saja, yang berbeda hanya terminologi dan

istilahnya saja.

20
Ibid, hal 97
a. Corak kesengajaan

Ditinjau dari sikap batin pelaku, terdapat tiga corak kesengajaan :

1. Kesengajaan Sebagai Maksud (dolus directus)

Corak kesengajaan ini adalah yang paling sederhana, yaitu

perbuatan pelaku memang dikehendaki dan ia juga menghendaki

(atau membayangkan) akibatnya yang dilarang. Kalau akibat

yang dikehendaki atau dibayangkan ini tidak aka nada, ia tidak

akan akan melakukan berbuat. Contoh : Dengan pistolnya X

dengan sengaja mengarahkan dan menembakkan pistol itu kepada

Y dengan kehendak matinya Y.

a) Ditinjau sebagai delik formal hal ini berarti bahwa ia sudah

melakukan perbuatan itu dengan sengaja, sedang perbuatan itu

memang dikehendaki atau dimaksud demikian.

b) Ditinjau sebagai delik materiil hal ini berarti bahwa akibat

kematian orang lain itu memang dikehendaki atau

dimaksudkan agar terjadi.

3. Kesengajaan dengan Sadar Kepastian

Corak kesengajaan dengan sadar kepastian bersandar kepada

akibatnya. Akibat itu dapat merupakan delik tersendiri ataupun

tidak. Tetapi disamping akibat tersebut ada akibat lain yang tidak

dikehendaki yang pasti akan terjadi.

4. Kesengajaan dengan Sadar Kemungkinan (dolus eventualis)


Corak kesengajaan dengan sadar kemungkinan ini kadang-kadang

disebut sebagai kesengajaan dengan syarat. Pelaku berbuat dengan

menghendaki atau membayangkan akibat tertentu sampai disini hal

itu merupakan kesengajaan sebagai maksud tetapi disamping itu

mungkin sekali terjadi akibat lain yang dilarang yang tidak

dikehendaki atau dibayangkan.

b. Rumusan Kesengajaan

Dalam bahasa Belanda istilah untuk kesengajaan atau opzet ini

tidak seragam tetapi terdapat berbagai cara merumuskan kesengajaan

antara lain :

a. Optezettelijk = dengan sengaja


b. Wetende dat = sedangkan ia mengetahui
c. Waarvan hij weet = yang diketshuimya
d. Van wie hij weet = yang diketshuimya
e. Kennis dragende van = yang diketahuimya
f. Met het oogmerk = dengan maksud
g. Waarvan hij bekend is = yang diketshuimya
h. Waarvan hij kent = yang diketshuimya

c. macam-macam dolus atau kesengajaan

Ilmu hukum mengenal beberapa jenis kesengajaan, yaitu:21

1. Dolus premeditatus yaitu dolus yang direncanakan, sehingga

dirumuskan dengan istilah dengan rencana lebih dahulu (meet

voorbedachte raad) untuk ini perlu ada waktu untuk memikirkan

21
Ibid, hal 97-106
dengan tenang, pembuktiannya disimpulkan dari keadaan yang

objektif.

2. Dolus determinatus dan dolus indeterminatus, yang pertama adalah

kesengajaan dengan tujuan yang pasti, misalnya menghendaki

matinya orang tertentu, sedang yang kedua kesengajaan yang tanpa

tujuan tertentu atau tujuan acak (rendom), misalnya menembakkan

senjata ke arah sekelompok orang, memasukkan racun ke dalam

reservoir air minum.

3. Dolus alternativus, yaitu kesengajaan menghendaki sesuatu tertentu

atau yang lainnya (alternatifnya) juga akibat yang lain.

4. Dolus indirectus, yaitu kesengajaan melakukan perbuatan yang

menimbulkan akibat yang tidak diketahui oleh pelakunya misalnya,

di dalam perkelahian seseorang memukul lawannya tanpa maksud

untuk membunuh.

5. Dolus directus, yaitu kesengajaan yang ditujukan bukan hanya

kepada perbuatannya saja, melainkan juga pada akibatnya.

6. Dolus generalis, yaitu kesengajaan di mana pelaku menghendaki

akibat tertentu, dan untuk itu ia telah melakukan beberapa tindakan,

misalnya untuk melakukan pembunuhan, mula-mula lawannya

dicekik, kemudian dilemparkan ke sungai, karena mengira lawannya

telah mati.

2. Culpa atau Kealpaan


Arti kata culpa atau kelalaian ini ialah kesalahan pada umumnya, akan

tetapi culpa pada ilmu pengetahuan hokum mempunyai arti teknis yaitu suatu

macam kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak

sengaja sesuatu terjadi. KUHP tidak menegaskan apa arti kealpaan sedang Vos

menyatakan bahwa culpa mempunyai dua unsur yaitu:22

a. Kemungkinan pendugaan terhadap akibat

b. Tidak berhati-hati mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat.

Bentuk kesalahan yang kedua adalah kealpaan atau culpa. Keterangan

resmi pembentuk KUHP mengenai persoalan mengapa culpa juga diancam

dengan pidana, walaupun dengan ringan, adalah bahwa berbeda dengan

kesengajaan atau dolus yang sifatnya menentang larangan justru dengan

melakukan perbuatan yang dilarang. Beberapa pakar memberikan pengertian

atau syarat culpa sebagai berikut:

Menurut Simons mempersyaratkan dua hal :23

1. tidak adanya kehati-hatian

2. kurangnya perhatian terhadap kaibat yang mungkin terjadi.

Menurut Van Hamel ada dua syarat yaitu :

1. tidak adanya penduga-duga yang diperlukan

2. tidak adanya kehati-hatian yang diperlukan

Bentuk-bentuk kealpaan :

22
Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal 54-55.
23
Ibid, hal 56-106
1. kealpaan yang disadari (bewuste), seseorang melakukan sesuatu

perbuatan yang sudah dapat di bayangkan akibat buruk akan terjadi, tapi

tetap melakukannya

2. kealpaan yang tidak disadari, bila pelaku tidak dapat membayangkan

sama sekali akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang

seharusnya di bayangkan

Analisis dari kesalahan dalam hukum pidana adalah yaitu pengertian

kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanaya

pencelaan pribadi yang berhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan

terwujudnya unsur delik karena perbuatan kerena kesalahan adalah

pertanggungjawaban dalam hukum. Sedangkan unsur-unsur kesalahan yaitu

Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si

pelaku dalam keadaan sehat dan normal.Adanya hubungan batin antara si

pelaku dengan perbuataanya, baik yang disengaja (dolus) maupun karna

kealpaan (culpa). Tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus

kesalahan. Bentuk kesalahan yaitu dolus yang tidak dirumuskan dalam KUHP

tetapi dijadikan unsur sebagai peristiwa pidana disamping peristiwa yang

punya unsur culpa. Culpa atau kelalaian suatu macam kesalahan sebagai akibat

kurang berhati-hati sehingga tidak disengaja sesuatu terjadi.

kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya

pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana, berhubungan antara keadaan

jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Unsur-

unsur kesalahan yaitu, kesalahan adalah pertanggung jawaban dalam hukum,


adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si

pelaku dalam keadaan sehat dan normal. adanya hubungan batin antara si

pelaku dengan perbuataanya, baik yang disengaja (dolus) maupun karna

kealpaan (culpa), tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus

kesalahan. Bentuk kesalahan yaitu dolus dan culpa.24

24
Muhamad Taufik Makaro, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta, PT Rineka Cipta, hal 121

Anda mungkin juga menyukai