Anda di halaman 1dari 4

NAMA : Mala Sisliana

NIM : 1814201213

Tugas Narasi : " Gizi Anak-anak Asmat "

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Saya Mala Sisliana, Lahir di Mekong, Kec. Tebing Tinggi Barat, Kab. Meranti, Riau. Menyelesaikan pendidikan SD - SMA di Meranti. Kuliah
di Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai Bangkinang, Riau. Saat ini sedang menjalani studi semester 6 Jurusan Ilmu Keperawatan.

"Berbicara soal Gizi, pasti yang muncul di pikiran kita tentang gizi buruk bukan ?. Yeah, benar sekali. Beberapa daerah di Indonesia ada yang
sangat memprihatinkan untuk masalah gizi buruk yang terjadi pada anak-anak. Disini saya membuat narasi singkat tentang gizi buruk pada
anak di Asmat, NTT".

Awal Januari 2018 silam, Asmat menjadi pusat perhatian karena Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk. Data dari tim
penanggulangan KLB memperlihatkan bahwa lebih dari tujuh puluh anak meninggal karena campak dan gizi buruk. Sementara ratusan anak
lainnya mendapatkan perawatan intensif karena kasus tersebut.

Secara umum gizi berkaitan dengan pola makan. Tubuh manusia membutuhkan asupan gizi seimbang. Apa lagi ibu hamil dan anak-anak balita
membutuhkan gizi yang memadai untuk pertumbuhannya. Apabila gizi tidak terpenuhi, maka anak-anak mengalami kekurangan gizi yang
berdampak pada terjadinya gizi buruk.

Berbicara tentang gizi dalam konteks Asmat selalu menarik perhatian untuk masuk ke dalam hidup orang Asmat. "Cem a...!" Kita bisa
terjemahkan secara bebas, "Mari, masuk ke dalam rumah." Jangan hanya berdiri di luar dan berbicara tentang orang Asmat. Kita harus masuk ke
dalam hidup orang Asmat. Di sanalah kita akan mengetahui cara hidup orang Asmat.

Orang-orang di luar Asmat selalu mengajukan pertanyaan. Misalnya, "Mengapa Asmat kaya akan ikan, kepiting, udang, sagu dan sayur-sayuran
yang tumbuh di hutan, tetapi anak-anak mengalami gizi buruk? Apakah orangtua tidak memperhatikan anak-anak punya makan dan minum?"
Seringkali kita hanya melihat di permukaan yaitu anak-anak Asmat kekurangan gizi. Indikator sederhana yang menjadi patokan, lingkar lengan
tidak sesuai usia, kulit bungkus tulang, perut besar, dan lain-lain. Kita menggunakan ilmu kesehatan semata untuk melihat permasalahan gizi
anak-anak di Asmat.

Permasalahan gizi anak-anak di Asmat merupakan permasalahan kemanusiaan yang serius. Anak-anak Asmat seharusnya mendapatkan asupan
gizi memadai sehingga mereka dapat bertumbuh sehat, tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa sebagian anak-anak Asmat terkapar tidak
berdaya karena kekurangan gizi. Apa saja faktor yang berpengaruh pada permasalahan gizi anak-anak di Asmat?

1. Budaya

Dalam konteks Asmat, ilmu kesehatan formal menjadi nomor kesekian dalam memahami orang Asmat. Ketika orang Asmat sakit, mereka tidak
lekas pergi ke Pustu, Puskesmas atau Rumah Sakit. Mereka akan mengambil obat-obat alam (berbagai jenis tanaman yang dipercaya bisa
menyembuhkan penyakit yang diderita). Pada saat bersamaan, mereka akan mencari penyebabnya, apakah ada relasi dengan roh-roh leluhur dan
sesama kurang baik ?.

Pada saat tim Bappenas dan Kedutaan Australia mengunjungi RSUD Agats, pada 23 September 2018. Setelah bertemu dengan PLH Direktur
RSUD Agats, Waluyo, tim pergi ke ruang perawatan anak. Di sana, ada satu anak menderita gizi buruk. Kondisi anak tersebut sangat
memprihatinkan.

"Anak ini dia sakit begini karena ada gangguan dari roh," tutur ibu anak itu. Padahal, si anak menderita gizi buruk karena minim asupan gizi.
Anak tersebut harus berhenti menyusu dari ibunya, karena si ibu sudah hamil lagi. Kisah tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa aspek
budaya masih memegang peran penting dalam seluruh hidup orang Asmat.

2. Jarak Kelahiran Anak

Selain faktor budaya, jarak kelahiran yang sangat dekat (sebelum anak berumur satu tahun, ibu sudah hamil lagi) turut menyumbang terjadinya
gizi buruk pada anak-anak Asmat. Di kampung-kampung di Asmat, NTT kita menyaksikan ibu-ibu muda, yang anaknya belum berusia satu
tahun sudah hamil lagi. Akibatnya, anak yang belum genap berusia satu tahun, yang seharusnya masih minum susu, terpaksa harus berhenti
minum susu karena ibunya sudah hamil lagi.
Anak-anak sudah berhenti minum susu sebelum waktunya tiba. Selain itu, anak-anak tersebut juga di usia belia tidak mendapatkan asupan gizi
memadai. Bahkan ada anak-anak yang harus mengalami kelaparan karena kurang mendapatkan perhatian dari ibunya yang sedang hamil lagi.
Akibatnya, anak-anak mengalami kelaparan dan menderita gizi buruk.

3. Lingkungan Tempat Tinggal

Orang Asmat tinggal di rumah-rumah sederhana. Mereka membangun rumah dari kayu bulat. Atap daun sagu. Rumah tersebut berdiri dia atas
tanah berlumpur (rawa). Pada saat mereka mencari makan di dusun, di sana mereka mendirikan bevak (rumah tinggal sementara selama mencari
makan).

Bevak biasa dibangun di tepi sungai, daerah mereka mencari makan. Bevak mirip dengan pondok berteduh. Kayu bulat ditancap di atas tanah
lumpur. Atap dan dinding dari daun sagu. Sedangkan lantai dibuat dari kayu bulat. Di atas kayu bulat itu, mereka alas dengan tikar daun pandan
(tapin). Di tempat itulah mereka tinggal selama mencari makanan di dusun. Tempat tinggal, baik di kampung maupun di bevak rentan terhadap
berbagai penyakit. Misalnya, diare, malaria, atau penyakit kulit lainnya. Apa lagi masyarakat tidak terbiasa menggunakan kelambu pada waktu
tidur sehingga mudah terserang malaria.

Mereka juga sewaktu-waktu bisa terserang diare karena minum air bersih. Apa lagi di dusun, mereka hanya mengandalkan air kali dan rawa.
Sebagian kecil menadah air hujan pakai ember-ember kecil yang dibawa dari kampung. Umumnya, masyarakat tidak memiliki jamban atau WC.
Mereka buang air di hutan atau di pinggir kali. Bahkan ada pula yang buang air di sekitar rumah.

Kondisi rumah sederhana, tanpa faslitas air bersih dan jamban turut menyumbang rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Mereka sangat
rentan terserang diare dan malaria. Kelompok paling rentan adalah anak-anak Balita.

4. Pola makan

Pola makan sangat menentukan kondisi gizi seseorang. Demikian halnya, saat ini anak-anak Asmat masih banyak mengalami gizi buruk karena
minimnya kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi makanan sehat dan bergizi. Ibu-ibu dan anak-anak Asmat suka makan pinang. Mereka
makan pinang kering dan kapur. Bahkan ibu-ibu yang sedang hamil atau yang sedang menyusui pun makan pinang. Akibatnya, nafsu makan
menurun sehingga Mama-mama tampak kurus.
Pola makan orang Asmat berubah seiring perjumpaan mereka dengan dunia luar yang menawarkan berbagai makanan instan dan terasa enak di
mulut. Orang selalu bertanya, "Mengapa ibu-ibu jual ikan dan beli ikan kaleng dan supermi?" Kita tahu jawabannya. "Ikan kaleng masak
campur dengan supermi terasa sedap di mulut." Orang lebih suka mengejar kenikmatan di mulut, makanan enak sesaat tetapi tidak ada unsur
gizi apa pun ketimbang mengonsumsi makanan bergizi. Karena itu, di masa depan perlu ada gerakan mengonsumsi makanan lokal yang sehat
dan bergizi.

5. Tingkat Pendidikan

Rata-rata orang Asmat di kampung-kampung pernah mengikuti pendidikan Sekolah Dasar (SD) tetapi tidak tamat. Ada sebagian tidak pernah
sekolah. Sebagiannya lagi mengenyam pendidikan sampai SMP dan SMA. Dan sebagian kecil menempuh pendidikan hingga Sarjana. Kondisi
demikian tidak akan terjadi kalau mereka memiliki pendidikan memadai. Apabila mereka memiliki pendidikan, pengetahuan dan keterampilan
hidup, mereka akan mengelola hidup keluarga mereka berdasarkan konsep kesehatan formal.

Mereka juga akan mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat. Minimnya tingkat pendidikan pada masyarkat kampung telah
menyumbang hampir seluruh permasalahan kesehatan yang dialami masyarakat, termasuk gizi buruk pada anak Balita di Asmat.

Dari hal tersebut, Apakah di tempat lain di Asmat, Pastor atau Pendeta hadir pada saat pemberian makan kepada ibu hamil dan anak-anak
Balita? Di manakah tua-tua adat? Mengapa mereka belum hadir dan memberikan dukungan? Sejauh mana Puskesmas berkoordinasi dengan
tua-tua adat untuk mengawal proses pemberian makan kepada ibu hamil dan anak-anak?

Di masa depan, para pihak yang hendak melakukan intervensi perbaikan gizi ibu hamil dan anak-anak Asmat harus membangun komunikasi
dan koordinasi dengan tua-tua adat, Pastor dan Pendeta sehingga program yang dilaksanakan menjadi tanggung jawab bersama.

Program perbaikan gizi ibu hamil dan anak-anak Asmat tidak lagi menjadi proyek dari pihak luar, melainkan menjadi bagian dari tanggung
jawab masyarakat kampung, tua-tua adat, Pastor dan Pendeta untuk generasi masa depan Asmat

SEKIAN

Anda mungkin juga menyukai