Anda di halaman 1dari 8

TEKNIK RESUSITASI JANTUNG PARU

Oleh :
dr.Fredy Rodeardo Maringga
  
Prinsip dasar dari teknik resusitasi jantung paru adalah untuk melakukan sesegera
mungkin dengan interupsi seminimal mungkin, dan pada penolong tidak terlatih,
lakukan kompresi saja tanpa pemberian napas buatan.

Persiapan Pasien
Resusitasi jantung pasien dilakukan secara segera dan tidak membutuhkan persiapan
khusus. Obat anestesi tidak dibutuhkan untuk melakukan resusitasi jantung paru. Hal
yang penting saat persiapan adalah untuk memastikan bahwa lingkungan aman untuk
melakukan resusitasi jantung paru, tidak hanya untuk pasien tapi juga bagi penolong.
Setelah lingkungan dipastikan aman, penolong harus memastikan henti jantung
pasien dengan memeriksa kesadaran, frekuensi dan pola pernapasan, dan nadi dalam
10 detik menggunakan metode AVPU (Alert-Voice responsive- Pain responsive-
Unresponsive).
Memeriksa frekuensi dan pola pernapasan dapat dilakukan dengan metode look-
listen-feel, yaitu melihat gerakan dada pasien sambil mendengarkan. Memeriksa nadi
dengan cepat dapat dilakukan dengan meraba denyut arteri karotis ataupun arteri
radialis. Jika penolong hanya seorang diri dan menemukan tanda henti jantung yaitu
pasien tidak berespons, tidak bernafas ataupun pola pernapasan yang abnormal, dan
denyut nadi tidak teraba segera panggil terlebih dulu bantuan atau aktifkan sistem
penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT).[1]
Peralatan
RJP dapat dilakukan tanpa peralatan khusus. Jika ada, peralatan yang diperlukan
adalah alat pelindung diri, misalnya sarung tangan dan masker. Ketidakadaan alat
pelindung diri tidak seharusnya menjadi alasan tidak melakukan/penundaan
resusitasi jantung paru karena belum ditemukan hubungan signifikan antara menjadi
pelaku resusitasi jantung paru dengan tertular penyakit melalui resusitasi jantung
paru. Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa alat kompresi dada mekanik lebih
superior dibandingkan dengan kompresi dada secara manual dalam mencapai
kembalinya sirkulasi spontan. Perlengkapan tambahan yang dapat digunakan adalah
alat untuk memonitor resusitasi jantung paru secara elektronik yang dapat
memberikan umpan balik terkait kompresi yang sedang dilakukan. Alat lain yang
juga diperlukan adalah defibrilator kardiak yang dapat memberikan kejut listrik ke
jantung pasien yang diharapkan dapat mengembalikan irama jantung yang normal.[1]
Posisi Pasien
Posisi terbaik pasien yang akan menerima resusitasi jantung paru adalah posisi
telentang pada permukaan yang keras. Hal ini memungkinkan kompresi yang efektif
ke area sternum. Sementara itu, petugas kesehatan yang melakukan kompresi dada
harus berada dalam posisi yang cukup tinggi untuk mencapai regangan lengan yang
cukup sehingga dapat menggunakan berat badannya secara adekuat untuk
mengkompresi dada. Dalam situasi di rumah sakit, posisi yang sesuai dapat diperoleh
dengan menurunkan posisi tempat tidur pasien ataupun petugas kesehatan
menggunakan tangga kecil. Dalam situasi di luar rumah sakit, pasien diposisikan di
lantai dengan pemberi layanan resusitasi jantung paru berlutut di samping pasien.[1]

Prosedur
Berdasarkan guideline American Heart Association (AHA) tahun 2015, prosedur
standar resusitasi jantung paru terdiri atas 3 komponen:
1. Kompresi dada

2. Jalan napas

3. Pernapasan

Saat ini, pemberian napas buatan pada pasien dewasa sudah tidak dianjurkan pada
penolong yang bukan petugas kesehatan sehingga tim penyelamat cukup melakukan
kompresi dada saja. Akan tetapi, petugas kesehatan harus mengerjakan 3 komponen
resusitasi jantung paru tersebut. Selain itu, terdapat perubahan dari guideline AHA
sebelumnya mengenai urutan komponen dari sebelumnya jalan napas-pernapasan-
kompresi dada menjadi kompresi dada-jalan napas-pernapasan.

Jika penolong hanya seorang diri dan menemukan tanda henti jantung yaitu pasien
tidak berespons, tidak bernafas ataupun pola pernapasan yang abnormal, dan denyut
nadi tidak teraba segera panggil terlebih dulu bantuan ataupun aktifkan sistem
penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT). Kemudian, segera lakukan
resusitasi jantung paru selama 2 menit. Angka survival berkurang 10-15% setiap
menitnya setelah henti jantung terjadi jika tidak segera ditolong dengan resusitasi
jantung paru.[1,8-9]
Kompresi Dada

Tumit salah satu tangan diletakkan di atas sternum pasien, sementara tangan lainnya
diletakkan di atas tangan pertama dengan jari-jari yang bertautan. Siku diekstensikan
dan badan seperti “dijatuhkan” ke pasien. Kompresi dada yang baik minimal sedalam
5 cm, tetapi tidak lebih dalam dari 6 cm. Setelah melakukan kompresi, pastikan
dada recoil sempurna.  Kompresi diulang sebanyak 30 kali dengan kecepatan 100-
120 kali kompresi per menit. Kunci dari kompresi dada adalah melakukannya cepat
dan kuat. Setelah kompresi sebanyak 30 kali, ventilasi diberikan sebanyak 2 kali.
Pada pasien yang terintubasi, ventilasi diberikan secara kontinyu dengan kecepatan 1
kali setiap 6 detik (10 kali per menit) selama kompresi dada dilakukan. Untuk
mencegah menurunnya kualitas kompresi dada karena petugas kesehatan yang
kelelahan, sebaiknya disiapkan penggantinya. Pada resusitasi jantung paru tanpa alat
bantu napas yang invasif, diizinkan menghentikan kompresi sementara (<10 detik)
untuk pemberian 2 kali ventilasi. Fase jeda kompresi dada sebelum dan sesudah
dilakukan shock harus seminimal mungkin. Pada resusitasi jantung paru yang
dilakukan tanpa ventilasi (hanya kompresi dada), kompresi dilakukan terus-menerus
sampai petugas kesehatan profesional datang.  Penggunaan alat kompresi dada
mekanik hanya dianjurkan jika tidak ada petugas kesehatan yang bisa melakukan
kompresi dada dengan baik.[1,10]
Ventilasi

Sebelum memberikan ventilasi, amankan terlebih dahulu jalan napas dengan


melakukan manuver head-tilt dan chin-lift. Selain itu, pastikan tidak ada sumbatan
jalan napas dengan melihat apakah terdapat benda asing yang menyumbat jalan
napas pasien. Hal ini penting karena sumbatan akan membuat ventilasi tidak efektif.
Penggunaaan oropharyngeal airway dapat membantu mengamankan jalan napas.
Pemberian ventilasi dari mulut ke mulut tidak dianjurkan untuk dilakukan di layanan
kesehatan. Pemberian ventilasi di layanan kesehatan sebaiknya dilakukan
menggunakan bag-valve-mask (BVM) dengan bantuan oropharyngeal airway. Saat
melakukan ventilasi menggunakan BVM, petugas kesehatan harus memastikan tidak
ada celah antara masker dengan wajah pasien. Bag diremas dengan satu tangan
selama kira-kira 1 detik untuk memasukkan sekitar 500 ml udara ke paru-paru
pasien. Pastikan pasien tidak mengalami hiperventilasi dengan memastikan ventilasi
yang dilakukan tidak melebihi 8-10 napas per menit.[1,10]
Pada pasien anak-anak dengan henti jantung dan hanya terdapat satu orang penolong,
rasio kompresi:ventilasi sama dengan orang dewasa yaitu 30:2. Sementara jika
terdapat dua atau lebih penolong, rasionya turun menjadi 15:2. Kompresi dada pada
anak dilakukan dengan menggunakan dua tangan atau satu tangan pada anak yang
bertubuh kecil di setengah bagian bawah tulang sternum. Sementara pada bayi
berusia kurang dari 1 tahun, jika hanya terdapat satu penolong, kompresi dilakukan
dengan dua jari pada bagian tengah dada, persis di bawah garis areola. Jika terdapat
dua atau lebih penolong, kompresi dilakukan dengan dua ibu jari dengan posisi
tangan yang melingkari tubuh pasien. Pada anak, laju ventilasi yang diberikan adalah
sebesar 12-20 napas per menit.[1,10]
Guideline American Heart Association Terbaru mengenai Resusitasi Jantung Paru

Penolong yang tidak terlatih harus melakukan kompresi dada saja sebagai bentuk
usaha RJP yang ia lakukan dengan atau tanpa panduan operator untuk orang dewasa
yang mengalami henti jantung sampai automatic external defibrillator (AED) atau
penolong lain yang terlatih datang. Hal ini disebabkan melakukan kompresi dada saja
lebih mudah untuk dilakukan oleh penolong yang tidak terlatih dan dapat secara
lebih efektif dipandu oleh operator melalui telepon.  Sementara itu petugas kesehatan
diharapkan melakukan kompresi dada dan ventilasi pada pasien henti jantung sambil
mengaktifkan SPGDT.
Kecepatan kompresi dada yang dianjurkan adalah 100-120 kali per menit. Pada
banyak studi, jumlah kompresi yang lebih banyak berhubungan dengan angka
survival yang lebih tinggi dan jumlah kompresi yang lebih sedikit berhubungan
dengan angka survival yang lebih rendah. Sebuah studi menunjukkan bahwa
kompresi yang terlalu cepat (>140 x/menit) berhubungan dengan kedalaman
kompresi yang inadekuat.

Kedalaman kompresi yang dianjurkan adalah minimal 5 cm dan maksimal 6 cm.


Kompresi menghasilkan aliran darah dengan meningkatkan tekanan intratorakal dan
secara langsung menekan jantung, yang kemudian menghasilkan aliran darah yang
penting dan distribusi oksigen ke jantung dan otak. Sebuah studi menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara kompresi yang terlalu dalam dengan cedera yang
tidak mengancam nyawa. Pada anak, kedalaman kompresi dianjurkan minimal 1/3
diameter anteroposterior dada, yaitu sekitar 5 cm pada usia 1 tahun sampai pubertas
dan sekitar 4 cm pada anak di bawah 1 tahun kecuali neonatus.

Penolong sebaiknya tidak bertumpu di atas dada pasien di antara kompresi supaya
rekoil dada tetap penuh. Bertumpu di atas dinding dada di antara kompresi akan
menghalangi terjadinya rekoil penuh dan meningkatkan tekanan intratorakal
sehingga aliran darah balik vena, tekanan perfusi koroner, dan aliran darah
miokardium akan berkurang.[10]

Resusitasi Jantung Paru pada Advanced Cardiac Life Support (ACLS)

Pada advanced cardiac life support (ACLS), resusitasi jantung paru dilakukan


menggunakan bantuan obat. Jika ditemukan pasien tidak sadar dengan nadi yang
tidak teraba, segera lakukan hal di bawah ini.[11]
Sumber: dr Fredy Maringga, Alomedika
Diagram Alur ACLS (diadaptasi dari Guideline AHA 2015)[11]
Prinsip ACLS pada anak-anak sama dengan orang dewasa. Beberapa hal yang
membedakan, yaitu dosis epinephrine pada anak adalah 0,01 mg/kg (0,1 ml/kg
dengan konsentrasi 1:10000) dan dosis amiodaron 5 mg/kg bolus yang dapat diulangi
sebanyak 2 kali untuk ventrikel fibrilasi atau pulseless ventricular tachycardia yang
refrakter. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemberian lidokain pada anak
meningkatkan angka kembalinya sirkulasi spontan(61). Dosis
awal lidocaine diberikan sebanyak 1 mg/kg kemudian dilanjutkan dosis pemeliharaan
sebesar 20-50 µg/kg per menit melalui infus. Hal lain yang membedakan adalah
besar energi yang diberikan pada saat melakukan defibrilasi. Defibrilasi pada anak
diawali dengan pemberian energi sebesar 2J/kg dilanjutkan 4J/kg pada defibrilasi
kedua, shock berikutnya diberikan dengan dosis ≥4J/kg dengan dosis maksimal 10
J/kg ataupun dosis dewasa.[11]
Guideline Advanced Cardiac Life Support Terbaru dari American Heart Association

Kombinasi vasopressin dengan epinephrine sebagai pengganti dosis standar


epinephrine tidak memiliki manfaat lebih pada penatalaksanaan henti jantung. Studi
menunjukkan efikasi kedua obat tersebut sama dan tidak ada keuntungan yang
ditunjukkan oleh kombinasi epinephrine dan vasopressin dibandingkan terapi
tunggal epinephrine. Untuk tujuan penyederhanaan, vasopressin dihilangkan dari
algoritma ACLS.
Pemberian epinephrine dianjurkan dilakukan segera setelah kejadian henti jantung
dengan nonshockable rhythm. Sebuah studi menunjukkan bahwa angka kembalinya
sirkulasi spontan, survival to hospital discharge, dan neurology intact survival yang
lebiih baik pada pasien henti jantung yang mendapat terapi epinephrine pada 1-3
menit pertama.[11]
Extracorporeal Cardiopulmonary Resuscitation (ECPR)
Saat ini, terdapat metode ECPR menggunakan alat Extracorporeal Membrane
Oxygenation (ECMO). Pada prosedur ini, darah dari vena dikeluarkan dan diberikan
oksigenasi melalui alat ECMO lalu dikembalikan kembali ke dalam tubuh.
Penggunaan ECMO sudah direkomendasikan baik oleh AHA maupun ESC untuk
henti jantung yang disebabkan oleh penyebab reversibel. ECMO sudah mulai
digunakan di beberapa fasilitas kesehatan di luar negeri, baik untuk
prosedur resusitasi di luar rumah sakit maupun dalam rumah sakit. Penelitian-
penelitian awal mengenai ECMO untuk resusitasi ini juga menunjukkan hasil yang
menjanjikan.
Follow Up
Pasien yang sirkulasi spontannya kembali perlu mendapat perawatan khusus agar
tidak kembali mengalami henti jantung. Terlepas dari apapun penyebab henti jantung
yang terjadi, kondisi hipoksemi, iskemi, dan reperfusi yang terjadi selama henti
jantung dan resusitasi dapat menyebabkan kerusakan pada banyak system organ.
Penanganan pasca henti jantung mencakup identifikasi dan tata laksana penyebab
henti jantung dikombinasikan dengan penilaian kerusakan dan mengurangi dampak
buruk akibat cedera iskemi-reperfusi yang terjadi pada sistem organ.[12]

Pasien yang berhasil melewati fase henti jantung harus segera mendapat ventilasi dan
oksigenasi yang cukup dengan saturasi oksigen dipertahankan ≥94%. Pemberian
ventilasi dapat dimulai dengan kecepatan 10-12 kali per menit dan dititrasi sampai
mencapai target PET CO2 35-40 mmHg. Hiperventilasi atau “overbagging” harus
dihindari karena dapat meningkatkan tekanan intratorakal yang kemudian dapat
menurunkan curah jantung. Setelah itu, hipotensi yang ada harus diatasi. Penanganan
hipotensi dapat dimulai dengan memberikan cairan normal salin ataupun ringer laktat
sebanyak 1-2 liter. Jika tekanan darah tidak naik, dapat digunakan obat-obatan
vasopresor, seperti epinephrine, dopamin, dan norepinephrine. Epinephrine dapat
diberikan secara infus intravena dengan dosis 0,1-0,5 µg/kgBB/menit. Dopamin
diberikan dengan dosis 5-10 µg/kgBB/menit. Norepinephrine diberikan dengan dosis
0,1-0,5 µg/kgBB/menit. Perlu diperhatikan bahwa pemberian vasopresor harus
diberikan melalui jalur IV yang besar (misalnya fossa cubiti), tidak boleh diberikan
melalui jalur kecil seperti pada punggung tangan, dan diberikan selama 4-6 jam
sampai akses vena sentral terpasang.[12]
Selain memberikan terapi cairan ataupun obat vasopresor, dokter harus mencari
penyebab yang bisa ditangani, salah satu caranya dengan memeriksa EKG 12 lead.
Penyebab yang bisa ditangani, antara lain hipovolemi, hipoksia, asidosis,
hipo/hiperkalemi, hipotermi, tension pneumothorax, tamponade jantung, keracunan,
trombosis paru, dan trombosis koroner. Jika berdasarkan hasil EKG dan pemeriksaan
lain, pasien dicurigai mengalami infark miokard, protokol lokal untuk tata laksana
infark miokard harus dijalankan. Kerusakan otak dan instabilitas kardiovaskular
adalah faktor utama penentu survival setelah henti jantung. Hipotermi terapeutik
adalah satu-satunya intervensi yang terbukti dapat membantu pemulihan fungsi
neurologis.
Targeted Temperature Management

Studi oleh Bernard, et al. menunjukkan bahwa induced hypothermia pada suhu 32-34


derajat Celsius atau targeted temperature management (TTM)
meningkatkan survival dan membantu memullhkan fungsi seseorang yang
mengalami henti jantung di luar rumah sakit dengan irama jantung ventrikel fibrilasi
atau ventrikel takikardi tanpa denyut nadi. Tidak ada studi yang cukup baik untuk
menilai manfaat TTM pada pasien henti jantung di rumah sakit. Pada beberapa studi
yang dilakukan, efek samping yang muncul dianggap sangat minimal sehingga
intervensi TTM dengan target suhu 32-36 derajat Celsius ini perlu dipertimbangkan
untuk dilakukan untuk pasien yang tidak dapat mengikuti instruksi verbal (koma)
setelah sirkulasi spontannya kembali. Intervensi ini minimal dilakukan selama 24
jam.[12,13]

Referensi
1. Bon CA. Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). [Internet]. [diperbarui 6 Februari
2017]. Tersedia di: https://emedicine.medscape.com/article/1344081-overview#a1

8. Travers AH, et al. Part 4: CPR overview: 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Circulation. 2010; 122 (suppl 3): S676-84

9. Thim T, Krarup NHV, Grove EL, Rohde CV, Lofgren B. Initial assessment and
treatment with the airway, breathing, circulation, disability, exposure (ABCDE)
approach. International Journal of General Medicine. 2012; 5: 117-21

10. Kleinman ME, et al. Part 5: adult basic life support and cardiopulmonary
resuscitation quality: 2015 American Heart Association Guidelines Update for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation.
2015; 132 (suppl 2): S414-35

11. Link MS, et al. Part 7: adult advanced cardiovascular life support: 2015
American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2015; 132 (suppl 2): S444-64

12. Callaway CW. Part 8: post-cardiac arrest care: 2015 American Heart Association
Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation. 2015; 132 (suppl 2): S465-82

13. Bernard SA, et al. Treatment of comatose survivors of out-of-hospital cardiac


arrest with induced hypothermia. N Engl J Med. 2002; 346 (8): 557-63

Anda mungkin juga menyukai