Anda di halaman 1dari 16

BAB II

KONSEP AGAMA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA

A. Hakikat Agama
Agama pada hakikatnya adalah keyakinan akan adanya Tuhan yang tidak bisa dipisahkan
dari kehidupan manusia. Secara bahasa, agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang erat
hubungannya dengan agama Hindu dan Budha yang berarti tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi
turun temurun.
Adapun kata din dalam Islam mengandung arti menguasai, menundukkan, kepatuhan,
balasan atau kebiasaan. Din juga membawa peraturan berupa hukum yang harus dipatuhi, baik
dalam bentuk perintah yang wajib dilaksanakan maupun larangan yang harus ditinggalkan.
Unsur yang ada dalam sebuah agama adalah adanya keyakinan pada yang ghaib, adanya
kitab suci sebagai pedoman, adanya Rasul pembawanya, adanya ajaran yang bisa dipatuhi, dan
adanya upacara ibadah yang standar.
Ditinjau dari sumbernya agama dibagi dua, yaitu agama wahyu dan agama bukan wahyu.
Agama wahyu adalah agama yang diterima oleh manusia dari Allah Sang Pencipta melalui
Malaikat Jibril dan disampaikan serta disebarkan oleh Rasul-Nya kepada umat manusia. Wahyu
dilestarikan melalui al-Kitab, Suhuf (lembaran-lembaran) atau ajaran lisan. Agama wahyu
menghendaki iman kepada Tuhan Pemberi wahyu, para rasul penerima wahyu dan kitab-kitab
kumpulan wahyu serta pesannya disebarkan kepada seluruh umat manusia.
Agama bukan wahyu (agama budaya) bersandar semata kepada ajaran seorang manusia
yang dianggap memiliki pengetahuan tentang kehidupan dalam berbagai aspeknya secara
mendalam.
Ciri agama wahyu (langit) adalah (1) secara pasti dapat ditentukan lahirnya, dan bukan
tumbuh dari masyarakat, melainkan diturunkan kepada masyarakat; (2) disampaikan oleh
manusia yang dipilih Allah sebagai utusan-Nya; (3) memiliki kitab suci yang bersih dari campur
tangan manusia; (4) ajarannya serba tetap, walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai kecerdasan
dan kepekaan manusia; (5) konsep ketuhanannya adalah monotheisme mutlak (tauhid); dan (6)
kebenarannya adalah universal yaitu berlaku bagi setiap manusia, masa dan keadaan.
Adapun ciri agama budaya (ardhi) adalah (1) tumbuh secara komulatif dalam masyarakat
penganutnya; (2) tidak disampaikan oleh utusan Tuhan; (3) umumnya tidak memiliki kitab suci,
walaupun ada akan mengalami perubahan dalam perjalanan sejarahnya; (4) ajarannya dapat
berubah-ubah sesuai perubahan akal pikiran penganutnya; (5) konsep ketuhanannya dinamisme,
animisme, politheisme, dan paling tinggi adalah monotheisme nisbi; dan (6) kebenaran ajarannya
tidak universal, yaitu tidak berlaku bagi setiap manusia, masa dan keadaan.

B. Komponen dalam Beragama (Perintah dan Larangan)


Yang diperintahkan Allah, antara lain: 1. Beriman kepada yang ghaib (QS 2: 3, 177,
186, 277; QS 4: 150-152, 162). Maksudnya iman kepada yang ghaib ialah sebagai basic dari
keimanan, karena apa yang kita yakini adalah sesuatu yang tak dapat ditangkap pancaindra.
Karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya Allah, Malaikat-malaikat, hari akhirat dan
sebagainya); termasuk di dalamnya beriman kepada Allah (QS 2 :136, 177; QS 4:136).
2. Mendirikan shalat (QS 2: 3, 110, 177, 238, 277; QS 4: 101-104, 162; QS 6 :72; QS 8:
3; QS .9: 71, 112; QS 13: 22; QS 14: 31; QS 17: 78; QS 23: 9; QS 27: 3; QS 29: 45; QS 31: 4,
17; QS 35: 29; QS 42 :38; QS 108: 2); menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa (QS 2: 21; QS
4: 36; QS 7: 59, 65, 73, 85; QS 10: 104; QS 13: 36; QS 40: 14; QS 41: 37; QS 98: 5) dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya (QS 7: 29; QS 39: 2); palingkan wajahmu ke arah Masjidil
Haram (QS 2: 149, 150); shalat subuh itu disaksikan Malaikat (QS 17: 78); bersegera shalat
Jum’at ketika mendengar seruannya (QS 62: 9); shalat Tahajud sebagai ibadah tambahan (QS 17:
79; QS 25: 64; QS 73: 2-3; QS 76: 26); khusyuk dalam shalat (QS 23: 2).
3. Menafkahkan sebahagian rezeki (QS 2: 3, 177; QS 13: 22; QS 14: 31; QS 17: 26; QS
30: 38; QS 35: 29); tunaikanlah zakat (QS 2: 110, 177, 277, 162; QS 9: 71, 103; QS 23: 4; QS
27: 3; QS 31: 4; QS 41: 7; QS 98: 5); menafkahkan hartaa di jalan Allah, misalnya dalam ongkos
berperang (zaman dahulu), berinfak, bersedekah (QS 2: 245, 261-274; QS 3: 134; QS 8: 3; QS
33: 35; QS 57: 18; QS 63: 10); yang berhak menerima zakat (QS 9: 60); jangan memberi dengan
maksud memperoleh balasan yang lebih banyak (QS 74: 6); berkurban (QS 108: 2).
4. Mengimani Alquran dan Kitab-Kitab yang diturunkan sebelumnya (QS 2: 4, 121, 177;
QS 3: 3-4; QS 4 :47, 136; QS 7:2); membaca Alquran (QS 29: 45; QS 35: 29; QS 73: 4).
5. Meyakini adanya (kehidupan) akhirat (QS 2: 4; QS 27: 3-5; QS 31: 4; QS 41: 7). 6.
Ingat kepada Allah, bersyukur kepada-Nya, dan tidak mengingkari nikmat-Nya (QS 2: 152, 172;
QS 3: 190-195; QS 9: 112; QS 31: 12; QS 33: 9); hanya mengingat kepada Allah hati menjadi
tenteram (QS 13: 28; QS 63: 9).
7. Minta pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat (QS 2: 153); perintah untuk
bersabar dalam menghadapi cobaan (QS 2: 155, 177; QS 3: 125, 146, 186, 200; QS 13: 22; QS
16: 96, 127; QS 20: 130; QS 29: 58-59; QS 31: 17; QS 33: 35; QS 41: 34-35; QS 52: 48); berdoa
kepada Allah dengan berendah diri dan suara yang lembut, dengan rasa takut dan harapan, tidak
melampaui batas (tentang yang diminta dan cara meminta, Allah Maha Tau apa yang terbaik
untuk hamba-Nya) (QS 7: 55, 56, 205; QS 40: 60).
8. Makan yang halal dan baik (QS 2: 168; QS 16: 114); makan di antara rezeki yang baik-
baik (QS 2: 172; QS 5: 88); sempurnakan takaran/timbangan dengan neraca yang benar, tidak
curang (QS 17: 35; QS 83: 1-6).
9. Menepati janji (QS 2: 177), memelihara amanat dan janji (QS 23: 8); memenuhi janji
Allah dan tidak merusak perjanjian (menjalankan perintah dan seruan-Nya; menunaikan ketika
bernazar/bersumpah) (QS 13: 20; QS 16: 91; QS 76: 7).
10. Menjalankan hukum Allah (QS 24: 1), diwajibkan qishaash (mengambil pembalasan
yang sama) berkenaan dengan orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Namun, bila mendapat suatu pemaafan hendaknya
yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan yang diberi maaf membayar ganti
rugi/diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula (QS 2: 178; QS 5: 49-50; QS 9:
112; QS 16: 126; QS 42: 39-43); jika kamu bersabar (tidak membalas siksaan yang ditimpakan
kepadamu) itulah yang lebih baik bagi orang yang bersabar (QS 16: 126).
11. Bila kedatangan tanda-tanda maut, diwajibkan untuk berwasiat secara makruf/ adil
dan baik (QS 2: 180, 240); berwasiat dengan persaksian (QS 5: 106-108).
12. Diwajibkan berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu yaitu
dalam beberapa hari tertentu, bagi yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajib
baginya mengganti puasanya sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain, dan bagi
orang yang berat menjalankan puasa maka wajib baginya membayar fidyah/memberi makan
seorang miskin (QS 2: 183, 184, 185; QS 33: 35).
13. Perangi di jalan Allah orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas
(QS 2: 190). 14. Berhaji (QS 2: 196-203; QS 22: 27). 15. Masuk ke dalam Islam secara
keseluruhan, jangan menyimpang dari jalan Allah (murtad, sesat/musyrik) (QS 2: 208-209).
16. Menjauhkan diri dari wanita/isteri di waktu haid (jangan menyetubuhi wanita di
waktu haid, sebelum mereka suci) (QS 2: 222). 17. Memberikan mut’ah/pemberian hadiah (uang
selain nafkah) sebagai penghibur menurut yang makruf kepada wanita-wanita yang diceraikan
(QS 2: 241).
18. Taatilah Allah dan Rasul agar kamu diberi rahmat (QS 3: 132; QS 4: 59, 69; QS 5:92;
QS 7: 3; QS 8: 20, 24; QS 9: 71; QS 24: 54; QS 33: 36; QS 39: 55,-59; QS 64: 12); tidak
menentang Rasul (QS 4: 115); tidak mengkhianati Allah dan Rasul, dan amanah-amanah yang
dipercayakan kepada kamu (QS 8: 27).
19. Menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang (QS 3: 134; QS 7: 199). 20.
Memelihara hubungan silaturahmi (QS 4: 1; QS 13: 21). 21. Memberikan kepada anak yatim
yang sudah baligh harta mereka yang menjadi haknya, jangan menukar hartamu yang buruk
dengan harta mereka yang baik dan jangan memakan harta mereka (anak yatim) bersama
hartamu (QS 4: 2, 6; QS 6: 152; QS 17: 34); gunakan harta mereka anak yatim yang dalam
kekuasaanmu untuk kebutuhan hidup dan keperluan mereka, dan ucapkan pada mereka perkataan
yang baik (QS 4: ).
22. Memberikan mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan (persetujuan dua pihak) (QS 4: 4, 24). 23. Melaksanakan pokok-pokok hukum
waris dengan bagian-bagian yang sudah ditentukan (QS 4: 7-14).
24. Berbuat baik kepada kedua ibu-bapak dengan sebaik-baiknya (jangan membentak
mereka, dan katakanlah perkataan yang mulia) (QS 6: 151; QS 17: 23; QS 31: 14; QS 46: 15),
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun jauh, teman
sejawat, ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan yang bukan maksiat kemudian kehabisan bekal,
termasuk anak yang tidak diketahui ibu bapaknya), dan hamba sahayamu (QS 4: 36);
mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar (QS 7: 199; QS 9: 71, 112; QS 31: 17);
berbuat kebajikan (QS 16: 90).
25. Menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya (QS 8: 27); dan bila
menetapkan hukum/bersikap diantara manusia supaya menetapkan dengan adil (QS 4: 58, 105,
135; QS 5: 8; QS 6: 152; QS 7:29, 85; QS 16: 90; QS 49: 9). 26. Mentaati ulil amri diantara
kamu, jika berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikan ia kepada Allah (Alquran) dan
Rasul (Sunnahnya) (QS 4: 59).
27. Bila hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuh kakimu sampai dengan kedua mata kaki
(berwudhu), dan jika kamu junub (hadas besar) maka mandilah, dan jika sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari kakus atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka tayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)-sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah itu-. (QS 5: 6).
28. Perintah untuk bertaubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran
kejahilan, sesudah itu dan memperbaiki dirinya (QS 4: 16-18; QS 5:34, 39; QS 9: 104, 112; QS
11:3; QS 16:119; QS 25: 70, 71; QS 40: 3; QS 66: 8); memohon ampun kepada Allah (QS 41: 6;
QS 57: 21).
29. Memberi peringatan dengan kitab itu (Alquran), dan menjadikannya pelajaran bagi
orang-orang beriman (QS 7: 2); Serulah manusia kepada jalan Tuhan dengan hikmah dan
pelajaran yang baik (QS 16: 125; QS 46: 31); berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
terdekat (QS 26: 214); nasihat-menasihati mengerjakan amal saleh, mentaati kebenaran, dan
menetapi kesabaran (QS 103: 3).
30. Menutupi aurat (QS 7: 26); bagi wanita agar jangan menampakan perhiasannya
(keindahan tubuhnya) kecuali yang biasa nampak. Hendaknya menutupkan kain kudung ke
dadanya, kecuali terhadap yang muhrimnya (QS 24: 31; QS 33: 59).
31. Bekerja (QS 9: 105; QS 28: 73); bekerja dalam arti luas (bertakwa, berbuat amal
saleh) (QS 39: 39, 40). 32. Janganlah menghambur-hamburkan hartamu secara boros (QS 17: 26,
28); Membelanjakan harta dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah yang
ditengah-tengah yang demikian (QS 25: 67).
33. Katakan Insya Allah ketika berjanji akan mengerjakan sesuatu esok/nanti (QS 18: 23-
24; QS 68: 18). 34. Bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari (subuh) dan
sebelum terbenamnya (menjelang maghrib), dan waktu malam juga siang supaya kamu merasa
senang (QS 20: 130; QS 24: 36; QS 33: 42; QS 52: 48-49; QS 68: 28; QS 76: 26); banyak
menyebut nama Allah (QS 33: 35); berzikirlah dengan menyebut nama Allah dengan sebanyak-
banyaknya (QS 33: 41); bershalawat untuk Nabi “Allahumma shalli’ala Muhammad”, salam
penghormatan kepada Nabi “Assalamu’alaika ayyuhan Nabi” (QS 33: 56).
35. Menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isterinya (QS 23: 5-6); menahan
pandangannya dan menjaga kemaluannya terhadap wanita yang bukan muhrimnya (QS 24: 30,
31); menjaga kesucian diri (QS 24: 33); memelihara kehormatannya (QS 33: 35).
36. Anjuran untuk menikah bagi yang telah dewasa dan belum menikah (QS 24: 32);
membolehkan menikah dengan bekas isteri anak angkatnya (QS 33: 37). 37. Tidak memberikan
persaksian palsu (QS 25: 72); katakanlah perkataan yang benar (QS 33: 70). 38. Bila bertemu
dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan tidak berfaedah, lalui saja dengan tetap
menjaga kehormatan diri (QS 25: 72).
39. Sederhanalah kamu dalam berjalan (sederhana dalam arti kata sesungguhnya maupun
sederhana dalam berjalan/tidak terlalu cepat atau lambat) dan lunakkanlah suaramu (QS 31: 19).
40. Memanggil anak-anak angkatmu dengan memakai nama bapaknya (kandung), jika tidak
mengetahui bapaknya maka panggillah sebagai saudaramu seagama dan maula-maulamu (QS 33:
5). 41. Bertawakal dan berserah diri hanya kepada Allah (QS 39: 38; QS 39: 54; QS 42: 10). 42.
Menolak kejahatan dengan cara yang lebih baik (QS 41: 34). 43. Memutuskan masalah/urusan
keduniaan dengan musyawarah antara mereka (QS 42: 38).
44. (Hubungan antara orang Islam dan orang kafir yang tidak memusuhi Islam tidak
dilarang) Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang
kamu musuhi di antara mereka. Allah tidak melarang untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap mereka yang tidak memerangimu dan tiada mengusir kamu dari negerimu. Allah hanya
melarang menjadikan orang yang memerangi dan mengusirmu dari negerimu sebagai kawan (QS
60: 1, 7-9).
45. Mengerjakan apa yang kamu katakan (seruan yang baik/amal saleh) (QS 61: 2-3). 46.
Membaca (dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan sebagai kunci ilmu
pengetahuan) (QS 96: 1).
Adapun yang dilarang Allah, antara lain: 1. Menjadi golongan orang yang munafik,
mengaku beriman tapi sesungguhnya tidak beriman (QS 2: 8-20; QS 4: 138, 142, 143, 145; QS
8: 20, 21; QS 9: 79-80; QS 63: 1-8); menyembah Allah dengan berada di tepi (tidak penuh
keyakinan), jika diberi kebaikan dia beriman, jika diuji dengan bencana kembali kafir (QS 22:
11; QS 30 :33; QS 39: 49); lemah imannya karena menghadapi cobaan (QS 29: 10).
2. Menyekutukan Allah (syirik) (QS 2: 22, 163; QS 3: 18, 64; QS 4: 36; QS 6: 151; QS
10: 106; QS 11: 2; QS 13: 36; QS 17: 23; QS 22: 12, 13; QS 25: 68; QS 28: 88; QS 31: 13; QS
39: 64-66; QS 41: 6; QS 41: 14; QS 46: 5); kafir/tidak beriman pada rukun iman (QS 3: 10-17,
131; QS 4: 38, 56; QS 5: 10; QS 14: 2; QS 33: 64, 65; QS 40: 6; QS 57: 19; QS 67: 6); Allah
tidak mengampuni dosa syirik, Dia mengampuni dosa selain syirik (QS 4: 48, 116); beriman
kemudian kafir-kemudian beriman-kemudian kafir lagi-kemudian bertambah kekafirannya
(murtad) (QS 4: 137); menyeru menyembah tuhan yang lain disamping Allah (QS 26: 213);
mempersekutukan Tuhan sekalipun yang menyuruhnya ibu-bapak (QS 29: 8; QS 31: 15).
3. Menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya (beribadah), dan
berusaha merobohkannya (QS 2: 114); Menghalang-halangi manusia dari jalan Allah, atau
membuat menjadi bengkok (QS 7: 45, 86; QS 8: 47; QS 14: 3; QS 16: 94; QS 47: 32).
4. Mengikuti agama orang Yahudi dan Nasrani (QS 2: 120); mengikuti orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Allah, orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela,
yang kian kemari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas
lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya, mempunya
banyak harta dan anak namun memiliki sifat jelek tersebut di atas, yang menganggap ayat-ayat
Allah sebagai dongengan (QS 68: 8-16).
5. Mengingkari Alquran (QS 2: 121; QS 7: 36, 37, 103; QS 25: 36; QS 41: 41; QS 46: 7-
8); tidak mendengarkan Alquran dengan sungguh-sungguh dan justru membuat hiruk-pikuk
terhadapnya, supaya dapat mengalahkan/membingungkan mereka (QS 41: 26). 6.
Menyembunyikan ayat-ayat Allah atau keterangan-keterangan yang sudah jelas dan petunjuk
dalam Al Kitab (QS 2: 159).
7. Memakan makanan yang diharamkan Allah, yaitu Allah hanya mengharamkan
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah,
yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali
yang sempat kamu menyembelihnya sebelum mati, hewan yang disembelih untuk berhala. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedang ia tidak menginginkannya, dan tidak
pula melampaui batas’ maka tidak ada dosa baginya (QS 2: 173; QS 5: 3; QS 6: 121; QS 16:
115).
8. Mengubah isi wasiat setelah ia mendengarnya (QS 2: 181). 9. Memakan harta
sebahagian orang lain dengan cara yang batil, kemudian membawa urusan harta itu/perselisihan
kepada hakim agar kamu dapat memakan harta orang lain itu dengan curang (QS 2: 188; QS 4:
29). 10. Memfitnah (QS 2: 191); menuduh wanita baik-baik berbuat zina (QS 24: 23).
11. Meminum khamar/minuman yang memabukkan dan berjudi terdapat dosa yang lebih
besar dibandingkan dengan manfaatnya (QS 2: 219; QS 5: 90). 12. Menikahi wanita-wanita
musyrik sebelum mereka beriman, dan jangan pula menikahkan orang-orang musyrik dengan
wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman (QS 2: 221).
13. Bersumpah atas nama Allah sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, sumpah
tersebut harus dibatalkan dan baginya membayar kafaraat (QS 2: 224, QS 24: 22); dan
melanggar sumpah yang memang dimaksudkan/sengaja yang bukan penghalang berbuat
kebajikan (QS 5: 89; QS 16: 91).
14. Riba (QS 2: 275-276, 278-279; QS 3: 130; QS 30: 39). 15. Mengambil orang-orang
kafir menjadi wali/auliyaa (teman akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong)
dengan meninggalkan orang-orang mukmin (QS 3: 28; QS 4: 138-139, 144). 16. Berbuat bakhil
atas harta yang dikaruniai Allah (QS 3: 180; QS 100: 8).
17. Melakukan perbuatan keji (berbuat zina termasuk terhadap sesama jenis) (QS 4: 15-
16; QS 6: 151; QS 7: 33; QS 16: 90; QS 24: 2; QS 25: 68); jangan mendekati zina (QS 17: 33).
Jangan mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya itu menyuruh mengerjakan
perbuatan keji dan yang munkar (QS 24: 21).
18. Mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (QS 4:22); mengawini
ibumu, anakmu yang perempuan, kakak perempuan, saudara bapakmu yang perempuan, saudara
ibumu yang perempuan, anak perempuan dari saudara kandung kita, ibu yang menyusui kita/ibu
pengganti, saudara perempuan sepersusuan, ibu istri (mertua), anak tiri dari istri yang telah kau
campuri, istri anak kandung (menantu), menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang
bersaudara (QS 4: 23).
19. Mengawini wanita yang bersuami (QS 4: 24). 20. Mencari isteri-isteri dengan
hartamu untuk berzina (kawin kontrak) (QS 4: 24). 21. Iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain (terkait pada bagian waris
laki-laki yang lebih besar daripada wanita) (QS 4: 32).
22. Sombong, angkuh dan membangga-banggakan diri (QS 8: 47; QS 17: 37; QS 31: 18),
kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir, menyembunyikan karunia Allah yang telah
diberikan-Nya (kufur nikmat) (QS 4: 37; QS 17: 29; QS 104: 2-4; QS 107: 3); kisah Karun yang
sombong akan hartanya (QS 28: 76-82). 23. Menafkahkan harta dengan maksud riya kepada
manusia (QS 4: 38); riya (QS 8: 47; QS 107: 6).
24. Shalat dalam keadaan mabuk (QS 4: 43). 25. Hampiri masjid sedang kamu dalam
keadaan junub, kecuali hanya lewat, hingga kamu mandi (QS 4: 43). 26. Seorang mukmin
membunuh seorang mukmin yang lain, kecuali karena tidak sengaja, maka bagi yang tidak
sengaja hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
untuk diserahkan kepada keluarga yang terbunuh, kecuali jika mereka keluarga yang terbunuh
membebaskan diat. Barangsiapa tidak memperoleh hamba sahaya maka hendaklah ia berpuasa
dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah (QS 4: 92).
27. Membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya ialah Jahannam (QS 4: 93;
QS 6: 151; QS 25: 68); membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan (QS 6: 151; QS 17:
31). 28. Duduk beserta mereka orang-orang kafir yang sedang memperolok dan mengingkari
ayat-ayat Allah, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain (QS 4: 140);
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah, dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan (QS 31: 6).
29. Allah tidak menyukai ucapan buruk (mencela orang, memaki, menerangkan
keburukan org lain, menyinggung perasaan org, dsb) yang diucapkan dengan terus terang kecuali
oleh orang yang dianiaya (orang teraniaya boleh mengemukakan keburukan orang yang
menganiaya di hadapan hakim/penguasa) (QS 4: 148); perbuatan dan perkataan yang tiada
berguna (QS 23: 3); memperolok-olok kaum yang lain (QS 49: 11); membicarakan yang bathil
bersama orang-orang yang membicarakannya (QS 74: 45); mengumpat dan mencela (QS 104: 1).
30. Mengundi nasib dengan anak panah (atau semacamnya) (berbuat fasik), berkorban
untuk berhala (QS 5: 3, 90); memperuntukan bagi Allah saji-sajian, dan pula saji-sajian untuk
berhala (QS 61: 36). 31. Mencuri (QS 5: 38). 32. Memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan membuat
kerusakan di muka bumi (QS 5: 33; QS 13: 25); menentang Allah dan Rasul-Nya (QS 58: 5). 33.
Mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagimu, dan janganlah melampaui
batas (QS 5: 87; QS 7: 33; QS 78: 22); dalam hal makanan (QS 6: 119; QS 16: 116).
34. Membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata “telah diwahyukan kepada
saya”, padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya. Dan orang yang berkata “saya akan
menurunkan apa seperti yang diturunkan Allah” (mengaku dirinya Rasul atau mengaku dirinya
sebagai Tuhan) (QS 6: 93; QS 39: 32). 35. Memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. (QS 6: 108). 36. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar (QS 7: 33). 37.
Menjadikan agama sebagai main-main dan sendagurau, dan tertipu dengan kehidupan dunia (QS
7: 51).
38. Mengerjakan perbuatan faahisyah (homoseksual) (QS 7: 80, 81). 39. Memintakan
ampun untuk orang-orang musyrik (QS 9: 113). 40. Lebih menyukai kehidupan dunia dari pada
kehidupan akhirat (terlena dengan kehidupan dunia) (QS 14: 3). 41. Berbuat kemungkaran dan
permusuhan (QS 16: 90). 42. Mempercayai Tuhan mempunyai anak/mengambil seorang anak
(QS 18: 2-5; QS 19: 88-92).
43. Memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam
kepada penghuninya (QS 24: 27, 28). 44. Berpaling dengan menyombongkan diri bila dibacakan
kepadanya ayat-ayat Kami (Alquran) (QS 31: 7; QS 45: 8-9); memperdebatkan ayat-ayat Allah
tanpa alasan (ilmu yang benar) karena kesombongan semata/ingin mencapai kebesaran (QS 40:
56).
45. Menyakiti orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat (QS
33: 58). 46. Berputus asa dari rahmat Allah, karena Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.
Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS 39: 53). 47. Beriman
di waktu azab telah datang tidak berguna lagi (QS 40: 84-85).
48. Prasangka (buruk), mencari-cari kesalahan orang lain, bergunjing (QS 49: 12). 49.
Mengada-adakan rahbaniyyah (tidak beristeri/bersuami dan mengurung diri dalam biara) (QS 57:
27). 50. Menzhihar isteri mereka, maka barang siapa yang menzhihar isterinya kemudian hendak
menarik kembali ucapannya, wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum keduanya
bercampur, bila tidak dapat budak, maka wajib baginya puasa dua bulan berturut-turut, bila tidak
kuasa puasa, wajib baginya memberi makan 60 orang miskin (QS 58: 3-4).
60. Lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri
(QS 59: 19). 61. Bermegah-megahan lagi melalaikan dari ketaatan (QS 102: 1-8). 62.
Menghardik anak yatim (QS 107: 2).

C. Nilai Agama dalam Kehidupan Profesi Keperawatan dan Sosial Masyarakat


Keperawatan telah berkembang baik sebagai ilmu maupun profesi sehingga ia telah
menjadi bidang studi yang mandiri. Hal ini ditandai dengan adanya dorongan bagi seorang ibu
untuk membagi dirinya kepada bayinya melalui proses penyusuan.
Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pekerjaan
keperawatan tidak hanya berkembang sebatas kegiatan alamiah namun tumbuh dalam bentuk
penalaran sehingga melahirkan berbagai kegiatan seperti observasi, eksperimen, empiris yang
digali akarnya dari pemikiran kefilsafatan maupun budaya.
Akan tetapi penggalian pengetahuan tentang keperawatan mendorong untuk terus
mencari akar yang lebih dalam lagi yaitu tidak sekedar bersumber dari keberadaan manusia
dengan alam semesta akan tetapi dari hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Allah SWT.

Keperawatan Dalam Islam


Islam adalah agama yang memiliki akar kata s-l-m yang berarti selamat, damai,
penyerahan dan tangga. Karena itu, seluruh bangunan ajaran Islam adalah membawa ajaran yang
menyelamatkan kehidupan umat manusia di dunia dan di akhirat.
Secara terminologi, Islam adalah tunduk dan patuh secara sempurna terhadap seluruh
ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Setiap umat Islam dituntut untuk menjadikan
seluruh rangkaian kehidupannya menjadi ibadah kepada Allah SWT karena hanya dengan cara
seperti itulah hidup menjadi bermakna.
Tugas seorang muslim untuk menyebarkan keselamatan bagi setiap makhluk termasuk
manusia tanpa membeda seorang pasien berdasar pada agamanya. Tugas penyebaran untuk
berbuat baik adalah inti dari ajaran dakwah yaitu mendorong manusia kepada kebaikan dan
petunjuk, menyuruh perbuatan makruf dan mencegah perbuatan mungkar, agar mereka
memperoleh kehidupan yang beruntung di dunia dan di akhirat.
Berikut beberapa prinsip keperawatan dalam Islam.
1. Aspek Teologis
Setiap hamba telah dibekali dua potensi yaitu kehendak (masyiah) dan kemampuan
(istithaah). Atas dasar kehendak seorang muslim memiliki cita-cita untuk melakukan
berbagai rekayasa dan inovasi dalam kehidupannya yang dibaktikan karena Allah.
Dengan adanya kehendak dan kemampuan seorang manusia melakukan upaya sungguh-
sungguh dan setelah itu menyerahkan hasilnya menanti ketentuan Allah.
2. Aspek Fungsi Kemanusiaan yaitu Khilafah dan Ibadah.
Tugas khilafah adalah mengelola seluruh alam semesta untuk kepentingan umat manusia.
Selanjutnya pelaksanaan tugas khilafah yang benar pastilah akan menghasilkan ibadah
yang benar pula. Atas dasar itu, seorang muslim hendaknya menggali seluruh informasi
ilmu pengetahuan tentang alam semesta termasuk tugas perawatan sekalipun ilmu itu ada
pada umat lain.
3. Aspek Akhlak yaitu Ihsan.
Setiap orang yang beriman hendaklah menyadari bahwa dirinya selalu dalam pengawasan
Allah sesuai dengan hadis Nabi bahwa engkau menyembah Allah seakan engkau melihat-
Nya dan andaikata engkau tidak mampu melihat-Nya maka yakinlah Ia melihatmu.

Tujuan Penetapan Hukum Syariat


Hukum Islam disebut dengan syariat dengan pengertian dasarnya adalah bermakna jalan
yaitu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hukum syariat diturunkan adalah semata-mata
untuk kemaslahatan hamba-Nya. Karena itu, tidak ada dalam ajaran Islam yang membuat hidup
manusia susah. Justru, syariat bertujuan membuat hidup manusia lebih mudah dan tenteram.
Tujuan penetapan hukum syariat (maqashid al-syari’at) disusun ke dalam lima prinsip
pemeliharaan.
1. Hifz al-Din.
Yaitu syariat bertujuan untuk memelihara agama agar hidup manusia selamat di dunia dan
akhirat. Agama (din) adalah yang utama sebagai dasar kehidupan manusia, karena tanpa
agama hidup manusia tidak memiliki arah dan tujuan.
2. Hifz al-Nafs.
Yaitu syariat bertujuan untuk memelihara kelangsungan hidup manusia, karena manusia
adalah hamba Allah dalam format tubuh yang sempurna. Oleh karena itu, tidak selayaknya
kehidupan manusia menjadi susah akibat pengamalan ajaran agama.
3. Hifz al-Nasl.
Yaitu syariat menegaskan bahwa perlunya kelangsungan keturunan manusia sehingga
semakin banyak orang yang menyembah Allah. Oleh karena itu, tindakan keperawatan yang
memutuskan kelangsungan keturunan tanpa alasan yang sah maka tindakan itu terlarang
dalam ajaran Islam.
4. Hifz al-Aql.
Yaitu syariat bertujuan untuk menjaga keberadaan akal manusia sehingga akal menjadi salah
satu patokan seseorang dibebani hukum syari’at (taklif).
5. Hifz al-Mal.
Yaitu syariat bertujuan untuk memelihara aturan tentang kepemilikan dan penyalurannya
kepada yang berhak.
Jadi, kedatangan syariat adalah untuk menegaskan keberadaan manusia sebagai hamba
Allah yang berkewajiban beribadah kepada-Nya dan melaksanakan tugasnya mengelola segala
sesuatu ciptaan Allah di alam semesta.
Maka, tugas keperawatan hendaklah disusun sejalan dengan tujuan hukum syariat. Bentuk
perumusannya adalah peluang kepada manusia untuk mengerahkan segala kemampuannya untuk
melakukan berbagai eksperimen dan empiris, namun harus tetap harus meyakini bahwa penentu
yang terakhir adalah Allah. Peran manusia hanya sebatas ikhtiar.

Tingkat Kebutuhan Terhadap Keperawatan


Setiap tindakan dalam tugas keperawatan dibagi dalam tiga klasifikasi sesuai dengan
tingkat kepentingannya.
Pertama, adalah tingkatan dharuriyat yaitu suatu kondisi darurat yang sedang dihadapi
oleh orang yang sakit. Apabila derajat kesakitan seorang klien telah mencapai kondisi darurat
sesuai dengan pertimbangan medis, maka dapat dilakukan tindakan darurat yaitu diperkenankan
untuk menyimpang dari hukum konvensional syari’at, dengan ukuran sekedar mengatasi suasana
yang darurat. Demikian pula, petugas kesehatan dapat menunda untuk sementara waktu
kepentingan Allah untuk menyelamatkan situasi darurat yang sedang dihadapi oleh hamba-Nya,
misalnya menunda sementara melaksanakan shalat karena membantu pasien yang sedang kritis.
Kedua, adalah tingkatan hajiyat yaitu kondisi manusia yang sangat membutuhkan untuk
menopang terwujudnya hifz al-nafs. Sebagian ulama mempersamakan antara dharuriyat dengan
hajiyat namun dengan derajat yang bisa berbeda. Oleh karena itu, apabila dalam dharuriyat,
seorang petugas keperawatan dapat menunda pelaksanaan ibadah atau melakukan tindakan
pemotongan bagian tubuh manusia, maka dalam hajiyat tidak sampai kepada derajat itu.
Ketiga, yaitu tahsiniyat yang bersifat aksesori kehidupan. Dalam hal ini hukumnya tidak
wajib dan tidak haram yaitu berada pada posisi mubah. Kadang, derajat kepentingan tahsiniyat
dapat berubah menjadi haram apabila motivasi yang melandasintya bersifat cenderung mubazir
atau bertentangan dengan tujuan syariat.
Karena itu, seorang petugas keperawatan dituntut kearifan guna menentukan pilihan di
antara tiga alternatif kondisi yang dihadapi oleh orang yang sakit. Hal ini disebabkan karena
kesalahan dalam penetapan alternatif yang justru akan berakibat fatal yaitu pelanggaran terhadap
syariat.
Pilihan Hukum dalam Perawatan
Berikut sejumlah prinsip tentang berbagai pegangan penetapan hukum terhadap setiap
yang bersifat medis. Syaikh Ahmad ibn muhammad al-Zarqa dalam kitabnya Syarh Qawa’id al-
Fiqhiyyah di samping juga Abd al-Hamid Hakim dalam Mabadi Awwalyah yang dikutip oleh
Nurcholis Madjid.
1. Al-Umur bi maqashidiha yaitu segala pekerjaan ditentukan oleh maksudnya. Hal ini
dimaksudkan dalam penetapan perbuatan sebagai ibadah.
2. Al-Yaqin la yuzalu bi al-syakk¸sesuatu yang sudah diyakini tidak bisa dibatalkan oleh
keraguan. Dengan demikian seorang perawat yang sudah menetapkan sebuah keputusan
berdasar keyakinan maka hal itu tidak dapat dianulir oleh suatu keraguan. Prinsip
keyakinan ini diperlukan sebagai bentuk perwujudan tanggung jawab dan tanggung
gugat.
3. Al-Ashl baraat al-dzimmah yaitu prinsipnya manusia bebas dari tanggungan. Seorang
perawat hanya diminta pertanggungjawaban atas tindakan medis yang dilakukannya
bukan oleh tindakan orang lain.
4. Al-ijtihad la yunqadl bi al-ijtihad yaitu sebuah ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad
yang lain. Seorang perawat yang telah menetapkan sebuah ketetapan medis berdasar pada
prinsip teori keilmuan maka keputusannya tidak bisa dibatalkan oleh pemikiran yang lain.
5. Al-Masyaqqat tajlib al-taisir yaitu kesulitan akibat beratnya tanggungan mengundang
kemudahan. Seorang perawat yang menghadapi kesulitan, maka pada saat yang sama
hukum syariat kembali menjadi mudah.
6. Idza dlaqa al-amr ittasa’a, yaitu apabila situasi sedang sempit maka hukum berubah
menjadi luas dan juga sebaliknya apabila situasi sudah lapang maka hukum kembali
menjadi sempit.
7. La dlarara wa la dlirara, yaitu tidak boleh merugikan atau dirugikan orang lain. Hal ini
berpatokan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama. Oleh karena itu, tidak
selayaknya seorang tenaga perawat menciptakan kesusahan bagi orang yang sakit.
8. Al-Dlarar yuzalu, yaitu bahaya harus selalu diusahakan untuk menghilangkannya. Hal ini
didasarkan bahwa tujuan syariat adalah untuk menghilangkan kesusahan bagi manusia.
9. Al-Dlarurat tubih al-mahzurat, yaitu keadaan darurat berakibat memboleh sesuatu yang
terlarang alasannya tentunya adalah untuk sekedar menjaga kelangsungan kehidupan
manusia. Maka dalam hal ini, perawat dapat mengambil tindakan darurat yang semula
tidak dibolehkan hukum guna menjaga agar seseorang klien tetap hidup. Namun
kebolehan terhadap yang terlarang hanya sebatas tidak mengakibatkan kematian.
10. Al-Dlarurat tuqaddari bi-qadariha, yaitu darurat harus ditentukan batasnya dan sebatas
itulah dibolehkan tindakan yang semula terlarang.
11. Ma jaza li ‘udzrin batlala bi-zawalihi, yaitu sesuatu yang dibolehkan karena adanya uzur
syar’i maka hal itu dibatalkan juga karena ketidak adanya uzur syar’i.
12. Idza zala al mani’ ‘ada al mamnu’ yaitu apabila yang melarang itu telah hilang maka
boleh yang terlarang. Seorang perawat yang yakin bahwa ia telah membersihkan diri dari
najis dari klien, maka pada saat itu ia boleh kembali melaksanakan shalat.
13. Al-dlararu la yuzalu bi mitslih, artinya kemudaratan tidak bisa dihilangkan dengan
datangnya darurat yang lain. Setiap keadaan darurat mempunyai ketentuan sendiri.
14. Yutahammalu al-dlarar al-khas li daf’i al dlarar al ‘am, yaitu bahaya khusus harus
ditanggung untuk menolak bahaya yang umum. Hal ini dimaksudkan untuk lebih
menghasilkan kemanfaatan yang lebih besar dibanding kepentingan perseorangan.
15. Al-Dlarar al-asyadd yuzalu bi aldarar al-akhhaff, yaitu kemudaratan yang lebih keras
dihilangkan dengan menempuh bahaya yang lebih ringan.
16. Idza ta’aradla mafsadatanio ru’iya a’zamuhuma dlararan [birtikab akhaffihima], yaitu
apabila bertemu dua bahaya maka yang harus dihindarkan yang lebih besar bahayanya
dengan menempuh yang lebih ringan.
17. Yukhtaru ahwan al-syarrain, yaitu dipilih yang lebih ringan dari dua keburukan.
18. Mala yudraku kulluh la yutraku kulluh, yaitu sesuatu yang tidak dapat diperoleh
semuanya maka tidak boleh ditinggalkan semuanya.
19. Dar’u al-mafasid aula mion jalab al-mashalih, yaitu menghindari bahaya lebih utama
daripada meraih manfaat. Karena menolak kerusakan lebih mendesak untuk memelihara
keberadaan manusia.
20. Al-Dlarar yudfa’u bi qadar al-imkan, yaitu bahaya harus dihindarkan sedapat mungkin.
21. Al-Hajat tanzil manzilat al-dlarurat, yaitu kebutuhan menempati kedudukan darurat, oleh
karena itu sesuatu kebutuhan maka hukumnya dipersamakan dengan darurat.
22. Al-‘Adat muhakkamah, yaitu adat itu menjadi hukum yang diakui sebagai sumber hukum.
23. La yunkar taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azman, yaitu tidak dapat diingkari bahwa
perubahan hukum akibat karena terjadinya perubahan waktu.
24. Al-Baqa’ ashal min al-ibtida’, yaitu bertahan lebih mudah daripada memulai.
25. Al-Tasharruf ‘ala al ra’yat manuthun bi al-mashlahah, yaitu aplikasi hukum kepada
rakyat tergantung kepada maslahat yang akan diperoleh. Oleh karena itu, hukum tidak
boleh melahirkan kesulitan bagi manusia.
26. Idza ta’azzarat al-haqiqah yusharu ila al-majaz, artinya apabila kesulitan menerima
makna hakikat maka dibawa ke makna kiasan.
27. Idza ta’azzara i’mal al-kalam yuhmal, yaitu jika pelaksanaan bunyi lafaz mengalami
kesulitan maka boleh diabaikan.
28. La hujjat ma’a al-ihtimal, yaitu tidak bisa dijadikan hujjah berdasarkan hukum
kemungkinan. Oleh karena itu, seorang perawat yang akan menetapkan kondisi sebuah
pekerjaan perawatan hendaklah berdasar kepada keyakinan bukan peradugaan.
29. La ‘ibrat li al-tawahhum, yaitu tidak boleh ada pertimbangan berdasarkan dugaan.
30. Al-Ashl fi asyya’ al-ibahat, yaitu pada asalnya segala perkara itu adalah dibolehkan
kecuali ada petunjuk yang lain.
31. Al-Hukm yaduru ma’a al ‘illat, yaitu hukum itu berjalan bersama alasannya. Hilangnya
illat maka hukumnya akan berubah.
32. Ma la yatim al-wajib illa bihi fahua wajib, yaitu sesuatu yang diperlukan untuk
sempurnanya hal yang wajib maka ia juga wajib.
Demikianlah prinsip-prinsip yang menjadi bekal seorang petugas keperawatan atau siapa
saja yang berkeinginan untuk mengimplementasikan nilai syariat terhadap segala perbuatan
manusia.

Anda mungkin juga menyukai