Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Rasulullah SAW memerintahkan agar bahagian faraidh / penentuan warisan itu diberikan
kepada setiap ahli waris yang berhak dan jika terdapat sisa dari pembagian tersebut maka
diserahkan kepada laki-laki yang paling dekat dengan si mayit.
Salah satu penyebab seseorang itu saling mewarisi kepada keturunan dan keluarganya dalam
Islam adalah karena pernikahan yang sah sesuai syari’at Islam, kemudian bagaimana halnya jika
keturunan tersebut diperoleh diluar akad yang sah menurut syar’at Islam.anak zina.

Anak dalam kandungan termasuk ahli waris seperti ahli waris lainnya dengan syarat:
-    Sudah berwujud di dalam rahim ibunya pada saat pewaris (orang yang mewariskan) meninggal
-        Dilahirkan dalam keadaan hidup
Karena anak dalam kandungan belum bisa langsung ditentukan jenis kelaminnya, maka besar
bagian warisan yang akan diberikan kepadanya ada dua kemungkinan, yaitu berdasarkan
anggapan apakah jenis kelaminnya nanti pada saat dilahirkan laki-laki atau perempuan. Menurut
pendapat jumhur ulama, bagian untuk anak dalam kandungan yang harus ditahan/disimpan dari
harta warisan (untuk kemudian diberikan kepadanya setelah mampu memegang harta) adalah
bagian yang terbesar di antara dua perkiraan laki-laki dan perempuan.
Dalam kajian fikih Islam, penentuan status orang hilang atau mafqud, apakah yang bersangkutan
masih hidup atau sudah wafat, kian penting karena menyangkut banyak aspek, salah satunya
adalah dalam hukum kewarisan. Sebagai ahli waris, mafqud berhak mendapatkan bagian sesuai
statusnya, apakah ia sebagai dzawil furud atau sebagai dzawil asobah.
Imam An Nawawi dalam Al Muhadzab menjelaskan bahwa Khuntsa itu ada 2 (dua)

macam, yaitu orang yang baginya (2) dua alat kelamin (kelamin lelaki dan kelamin perempuan)

dan orang yang tidak mempunyai alat seperti diatas tetapi baginya lubang (serupa vagina/farji)

yang dari lubang itulah keluar sesuatu yang keluar seperti air kencing, sperma, darah haid dan

lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.      ANAK ZINA
Anak zina adalah Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari
hubungan nikah yang sah secara syar'i atau dengan kata lain, buah dari hubungan haram antara
laki-laki dan wanita. Hasanay Muhammad Makluf membuat terminology anak zina sebagai anak
yang dilahirkan sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah.Hubungan suami isteri yang
tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang
yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah
ditentukan.Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut dapat terjadi atas dasar suka
sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah
ataupun belum menikah. Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah yang populer dan
melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah
tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus didalamnya.

Hal tersebut bertujuan agar “anak” sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan sasaran
hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar
(berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus untuk
menunjukan identitas islam tidak mengenal adanya dosa warisan. Untuk lebih mendekatkan
makna yang demikian , Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 hanya bilamana ia dapat
membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat dari perbuatan zina
tersebut.

Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina” sebagaimana
defenisi yang dikemukakan oleh Hasanayn diatas, adalah “anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah” sebagaimana yang terdapat pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang
menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya”

Semakna dengan ketentuan tersebut, Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :

“anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya
dan keluarga dari pihak ibunya”
Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan
dengan “anak zina” dalam pembahasan ini adalah anak yang janin/pembuahannya merupakan
akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan diluar perkawinan, sebagai akibat dari
perbuatan zina.

Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”berbeda
dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam Hukum Perdata umum, sebab dalam perdata
umum, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan
perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah seorang atau keduanya terikat tali perkawinan
dengan orang lain. Karena itu anak diluar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata umum
adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan dan istilah lain yang tidak
diartikan sebagai anak zina.

Perbedaan anak zina dengan anak luar kawin menurut Hukum Perdata adalah :

1. Apabila orang tua anak tersebut salah satu atau keduanya masih terikat dengan
perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak,
maka anak tersebut adalah anak zina.
2. Apabila orang tua anak tersebut tidak terikat perkawinan lain (jejaka,perawan,duda,janda)
mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut adalah
anak luar kawin.

Dengan demikian sejalan dengan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang rumusannya
sama dengan Pasal 100 KHI, adalah : “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”

Yang termasuk anak yang lahir di luar perkawinan adalah :

1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah
dengan pria yang menghamilinya.
2. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat korban perkosaan oleh satu
orang pria atau lebih.
3. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang di li’an (diingkari) oleh suaminya.
4. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka)
disangka suaminya ternyata bukan.
5. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang
diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau sepersusuan.

Angka 4 dan 5 diatas dalam hukum Islam disebut anak Subhat yang apabila diakui oleh bapak
subhatnya, nasabnya dapat dihubungkan kepadanya.

 Hak – Hak Waris Anak zina

Sebagai akibat lanjut dari hubungan nasab seperti yang dikemukakan, maka anak tersebut hanya
mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, sebagaimana
yang ditegaskan pada Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam : “ anak yang lahir diluar perkawinan
hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarganya dari pihak ibunya”.
Dengan demikian, maka anak tersebut secara hukum tidak mempunyai hubungan hukum saling
mewarisi dengan ayah/bapak alami (genetiknya). Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika seorang
anak yang lahir karena perbuatan zina wafat meninggalkan istri, anak perempuan dan saudara
seibu, maka istri mendapatkan 1/8 yang menjadi bagian tetapnya (fardh), anak perempuan
mendapatkan 1/2 sebagai bagian tetap, dan saudara seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah

2.      BAYI DALAM KANDUNGAN


Islam mempunyai hukum yang sangat adil, yang tentunya adalah hukum dari Allah SWT.
Anak yang masih dalam kandungan ibunya juga menjadi pertimbangan para ulama mengenai
bagian warisan bagi anak yang masih dalam kandungan tersebut
Syarat-syarat anak dalam kandungan yang mendapatkan warisan, antara lain:
a.    Anak yang dalam kandungan itu lahir dalam keadaan hidup.
Kalau anak yang dalam kandungan lahir dalam keaadan mati maka tidak akan mendapat warisan.
Tanda-tanda hidup itu seperti menangis. Sabda Rasulullah SAW:

‫اذااستهل المولودورث‬
Apabiala anak yang lahir itu menjerit(menangis), diberikan sebagai harta peninggalan. (H.R.
Abu Daud dari Jibril).
Penentuan hidup bayi tersebut ditentukan oleh hakim. Kalau hakim tidak dapat menentukannya
maka minta bantuan seoarang dokter untuk memberi keterangan apakah bayi itu lahir dalam
keaadan selamat atau mati.
b.      Anak itu telah wujud dalam kandungan ibunya, ketia oarng itu meninggalkan harta
peninggalannya itu meninggal dunia. Wujud anak dalam kandungan sangat erat kaitannya
dengan adanya nasab antara anak tersebut dengan orang yang meninggal dunia.
Cara Memberikan Bagian Anak Yang Masih Dalam Kandungan
B. Warisan Anak dalam Kandungan
Arti Kandungan (hamlu) adalah anak yang dikandung di perut ibunya. Kandungan itu
adakalanya sudah lahir dari perut ibu, dan adakalanya masih dalam perut ibunya saat ada anggota
keluarganya yang meninggal dunia. Dalam kaitannya dengan perolehan hak waris, masing-
masing dari dua keadaan ini mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda-beda.

1. Kandungan Yang Dilahirkan

 Apabila dia lahir dalam keadaan hidup, maka dia mewarisi dari dan diwarisi oleh orang
lain; karena adanya riwayat dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:  "Apabila
anak yang dilahirkan itu menangis, maka dia diberi warisan." Istihlaal artinya jeritan
tangis bayi; maksudnya ialah bila nyata kehidupan anak yang lahir itu, maka dia diberi
warisan. Tandanya hidup ialah suara, nafas, bersin atau serupa itu. Ini adalah pendapat
Ats-Tsauri, Al-Auza'i, Asy-Syafi'i dan sahabat-sahabat  Abu hanifah. 
 Apabila kandungan itu lahir dalam keadaan mati bukan karena tindak pidana

terhadap ibunya, menurut kesepakatan dia tidak mewarisi dan tidak pula diwarisi.

 Apabila dia lahir dalam keadaan mati disebabkan tindak pidana terhadap ibunya, maka
dia tetap mewarisi dan diwarisi (Pendapat orang-orang Hanafi).
 Dalam keadaan demikian, dia tidak mewarisi sedikitpun, akan tetapi dia mendapatkan
gnti rugi saja karena darurat. Ganti rugi itu diwarisi oleh setiap orang yang berhak
mendapat warisan darinya. (Pendapat aliran Syafi'i, Hambali dan malik).
2. Kandungan Yang Masih Dalam Perut

1.      kandungan yang masih berada dalam perut ibu itu tidak bisa menahan sebagian harta
peninggalan, bila dia bukan perawis atau terhalang oleh orang lain dalam segala keadaan.

2.      Semua harta peninggalan ditahan sampai kandungan dilahirkan, bila dia pewaris dan ada
seorang perwaris tetapi terhalang olehnya, Demikian kesepakatan para fuqaha (para ahli
fikih). Demikian pula semua harta peninggalan ditahan bila bersamanya terdapat ahli
waris yang tidak terhalang, akan tetapi mereka semua merelakan baik secara terang-
terangan ataupun tersembunyi, untuk tidak membagi warisan secara segera, misalnya
mereka diam saja atau tidak menuntutnya.

3.      Setiap ahli waris yang mempunyai fardh (bagian) tidak berubah dengan berubahnya
kandungan, maka dia mendapatkan bagiannya secara sempurna, dan sisanya ditahan.

4.      Pewaris yang gugur dengan salah satu dari dua keadaan kandungan dan tidak gugur
dengan keadaan lain, tidak diberi bagian sedikitpun karena hak kewarisannya itu
meragukan. Maka barang siapa yang mati sedang dia meninggalkan seorang isteri yang
hamil dan seorang saudara laki-laki, maka saudara laki-laki itu tidak mendapatkan
sesuatu, sebab mungkin kandungan yang akan lahir itu laki-laki (kalau bayi lahir laki-
laki, saudara laki-laki terhalang mendapatkan waris-Pen). Inilah madzhab jumhur
(mayoritas).

5.      Ashhabul furudh (ahli waris yang mempunyai bagian tertentu) yang bagiannya berubah
karena kandungan yang akan dilahirkan itu laki-laki atau perempuan, disiapkan bagian
yang minimal dan  maksimal dari kedua kemungkinan di atas kemudian ditahan sampai
dia lahir. Bila kandungan yang dilahirkan hidup, maka diberikan bagian sesuai dengan
kedudukannya dalam ilmu fara'idh, tetapi apabila kandungan yang dilahirkan itu mati,
maka dia (si bayi) tidak berhak sedikitpun; dan semua harta peninggalan dibagikan
kepada ahli waris tanpa memperhatikan kandungan itu.

Batas Waktu Maksimal dan Minimal Bagi Kandungan


1. Batas waktu minimal terbentuknya janin dan dilahirkan dalam keadaan hidup adalah 6
(enam) bulan, karena Allah berfirman : Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga
puluh bulan... (Q.S. Al-Ahqaaf: 15). Dan firman-Nya Artinya : ...Dan menyapihnya
dalam dua tahun ... (Q.S. Luqman: 14).  Apabila menyapihnya dua tahun, maka tidak ada
sisa lagi selain enam bulan untuk mengandung. Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur
fuqaha (mayoritas ahli fiqih).
2. Batas waktu minimal dari kandungan itu sembilan bulan (Pendapat sebagian orang-orang
Hambali).
3. Undang-undang warisan Mesir bertentangan dengan pendapat jumhur ulama dan
mengambil pendapat dari sebagian orang -orang Hambali dan pendapat para dokter
resmi, yaitu bahwa batas minimal dari kandungan ialah sembilan bulan Qamariyah yakni
270 hari, karena yang demikian itu sesuai dengan apa yang banyak sekali terjadi.
Wallahu a'lam.

.
3. ORANG MAFQUD (ORANG HILANG)
Mafqud adalah orang yang tidak diketahui kabar beritanya, karena telah meninggalkan
tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui apakah masih hidup
atau sudah meninggal dunia.1[3] Konteknya dengan kejadian, tragedi atau musibah yang
menimpa bangsa Indonesia mengakibatkan seseorang menjadi hilang. Contohnya:
seorang nelayan yang berlayar untuk mencari ikan. Rekan-rekannya tidak mengetahui
lagi keberadaannya, karena dia menghilang telah cukup lama.
Batas Waktu Menentukan Seseorang Itu sudah Hilang
Para fuqaha telah menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang
hilang, diantaranya adalah

1.                   Diriwayatkan dari Malik bahwa dia berkata: "Empat tahun." karena Umar r.a.
berkata: " Setiap isteri yang ditinggalkan pergi oleh suaminya, sedang dia tidak
mengetahui di mana suaminya, maka dia menunggu empat tahun, kemudian dia ber'iddah
selama empat bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia." (H.R.Bukhari dan Asy-Syafi'i).

1
2.                   Riwayat yang masyhur dari Abu Hanifah, Asy-Syafi'i dan Malik ialah tidak
adanya ketentuan batas waktu; akan tetapi hal itu diserahkan kepada ijtihad hakim di
setiap masa. 
3.                   Imam Ahmad berpendapat bahwa apabila dia pergi ke tempat yang
memungkinkan untuk mati (seperti orang yan hilang di medan perang atau sesudah
serangan, atau orang yang hilang di antara keluarganya, misalnya pergi untuk shalat 'Isya
akan tetapi dia tidak kembali, atau pergi untuk urusan yang dekat akan tetapi  dia tidak
kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi) di situ, maka sesudah diselidiki dengan
teliti ditetapkan kematiannya dengan berlalunya waktu empat tahun, karena galibnya dia
sudah mati. Yang demikian itu serupa dengan berlalunya masa yang tidak mungkin dia
hidup dalam masa seperti itu. Tetapi apabila kepergiannya ke tempat yang
memungkinkan  dia selamat (Misalnya orang yang bepergian untuk haji atau menuntut
ilmu atau berniaga ) maka urusannya diserahkan kepada hakim untuk menetapkan
kematiannya sesudah batas waktu yang ditetapkannya dan sesudah penyelidikan
mengenai dirinya dengan segala media yang memungkinkan mengabarkan keadaan
dirinya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Urusan Pembagian Warisannya
                      Dalam keadaan orang yang mewariskan, maka hartanya tetap menjadi miliknya
dan tidak dibagikan diantara ahli warisnya sampai nyata kematiannya atau hakim
menetapkan kematiannya. Apabila ternyata dia masih hidup, maka dia mengambil
hartanya. Dan bila dia sudah mati, atau hakim menetapkan kematiannya, maka dia
diwarisi oleh orang yang menjadi pewarisnya pada waktu dia mati atau waktu hakim
menetapkan kematiannya.
                      Dalam keadaan dia menjadi pewaris dari orang lain, maka bagiannya dari harta
peninggalan orang yang mewariskan itu ditahan. Dan sesudah ditetapkan kematiannya,
harta yang diwakafkan itu dikembalikan kepada perawis dari orang yang mewariskan
lainnya

4.      BANCI (KHUNTSA)


Khuntsa menurut kamus Al Munawir berasal dari kata ً ‫ خنٍث – خنثا‬yang berarti lemah, lunak, atau

bertingkah laku seperti perempuan.


Khuntsa  menurut istilah Khuntsa ialah : "Orang yang baginya alat kelamin lelaki

(dzaakar/penis) dan alat kelamin wanita (farji/vagina) atau tidak ada sama sekali (sesuatupun)

dari keduanya”

Kelaki-lakian dan kewanitannya itu diketahui dengan adanya tanda-tanda lelaki atau perempuan,
sbb.:
1.                   Sebelum dia dewasa dapat diketahui dengan cara bagaimana dia kencing. Bila ia
kencing dengan anggota yang khusus bagi laki-laki, maka dia adalah laki-laki; dan bila dia
kencing dengan anggota yang khusus bagi perempuan, maka dia adalah perempuan. 

2.                   Bila dia kencing dengan kedua anggotanya, maka ditetapkan dengan anggota yang mana
dia kencing lebih dulu. 

3.                   Dan setelah dia dewasa, bila dia tumbuh jenggotnya atau menggauli perempuan atau
bermimpi seperti halnya seorang laki-laki bermimpi, maka dia adalah laki-laki. Dan bila muncul
baginya  buah dada seperti halnya buah dada perempuan, maka dia adalah perempuan. 

4.                   Apabila tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, karena tidak munculnya
tanda-tanda atau muncul akan tetapi bertentangan, maka dia dinamakan khuntsa yang musykil
(Khuntsa musykil).

Bagian Waris Khuntsa Musykil

Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum warisan bagi khuntsa musykil ini.
                      Dia diberi bagian sebagaimana laki-laki, kemudian diberi bagian sebagaimana dia
perempuan. Oleh sebab itu, maka dia harus diperlakukan dengan cara yang terbaik dari dua
keadaan itu, sehingga seandainya dia mewarisi menurut satu keadaan dan tidak mewarisi
menurut keadaan lain, maka dia tidak diberi sesuatu. Seandainya dia mewarisi menurut dua
keadaan dan bagiannya berbeda, maka dia diberi yang minimal dari kedua bagian itu (Ini
pendapat Abu Hanifah)

                      Dia mengambil pertengahan antara bagian laki-laki dan bagian perempuan. (Pendapat
Malik, Abu Yusuf dan Syi'ah Imamiyah). 

                      Masing-masing dari ahli waris dan khuntsa diberi yang minimal dari dua keadaan, sebab
dia mengecilkan bagian masing-masing. (Pendapat Asy-Syafi'i). 
                      Bila kejelasan keadaan si khuntsa ditunggu, maka masing-masing dari si khuntsa dan
ahli waris mendapatkan bagian terkecil, dan sisanya ditahan dulu. Dan bila kejelasan urusan si
khuntsa tidak ditunggu lagi, maka dia mengambil pertengahan antara bagian laki-laki dan bagian
perempuan. (Pendapat Ahmad). Inilah pendapat yang terbaik dan terkuat. Wallahu a'lam
Sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, bahwa dalam Islam dikenal ada 2 jenis khuntsa, yaitu
Khuntsa Al-Musykil dan Khuntsa Ghairu Musykil.

Untuk pembagian waris Khuntsa Ghairu Musykil tidak perlu dipusingkan karena Khuntsa
Ghairu Musykil sudah dengan mudah diketahui unsur laki-laki atau perempuan di dalam dirinya.
Lalu yang menjadi masalah adalah mengenai pembagian waris untuk Khuntsa Al-
Musykil yaitu khuntsa yang tidak dapat diketahui mana yang lebih kuat antara unsur laki-laki
atau perempuannya. Atau bahkan khuntsa yang tidak mempunyai jenis kelamin sama sekali. Hal
ini tentu akan sangat membingungkan. Sehingga dalam hal ini, perlu adanya aturan mengenai
pewarisan untuk mereka.
Terdapat ketentuan untuk Khuntsa Al-Musyki dalam Hadist: “Untuk mengetahui mana
unsur yang lebih kuat antara laki-laki dan perempuan, dapat dilihat dari jalan mana seorang
Khuntsa tersebut buang air kecil.”
Kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan
mencari tahu dari mana ia membuang air kecil. Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis
sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia
mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai
kaum wanita.
Namun, bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara
berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai Khuntsa Al-Munsykil. Dan ia akan tetap
musykil hingga datang masa akil baligh. Sehingga dalam Islam dikenal ketentuan ulama-ulama
untuk menentukan pembagian waris khuntsa sebagai berikut:
a) Mahzab Fuqaha Hanafi dan Syafi’i
Ahli waris Khuntsa Al-Munsykil memperoleh bagian yang lebih sedikit dari dua bagian
dengan diperkirakan laki-laki atau diperkirakan perempuan. Kebanyakan sahabat
Rasulullah SAW juga berpendapat demikian.
b)        Mahzab Maliki
Ahli waris Khuntsa memperoleh bagian rata-rata dari dua macam bagiannya sebagai waris laki-
laki atau perempuan. Maka diadakan pembagian dua kali. Pertama diperkirakan laki-laki dan
kedua diperkirakan perempuan. Kemudian hasilnya dijumlah dan dibagi dua. Hasil pembagian
itulah yang menjadi hak waris khuntsa.

Menurut Ibnu Mundzir, bahwa penetapan kewarisan orang banci menurut cara / jalan

kencingnya adalah telah menjadi kesepakatan atau ijmak para fuqaha dan juga faradliyun. Hal ini

sebagaimana pendapat Ali R.A yang dikutip oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Muhadzzab:

‫ يورث الخنثى من حيث يبول‬: ‫عن علي كرم هللا وجهه أنه قال‬

"Diriwayatkan dari Ali bahwa ia berkata: kewarisan Khuntsa berdasarkan bagaimana ia

kencing
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan Anak Zina
Dari pemaparan singkat di atas, kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan, yakni mengenai
nasab dari anak hasil perbuatan zina tersebut yang ia dinasabkan langsung kepada ibunya jika si
wanita yang melakukan zina tersebut tidak memiliki suami atau dalam masa ‘iddah, sedangkan
jika wanita tersebut memiliki suami atau dalam masa ‘iddah maka secara otomatis anak tersebut
menjadi nasab dari suami ibunya.
Kesimpulan Bayi Dalam Kandungan
Anak dalam kandungan termasuk ahli waris seperti ahli waris lainnya dengan syarat:
-          Sudah berwujud di dalam rahim ibunya pada saat pewaris (orang yang mewariskan) meninggal
-          Dilahirkan dalam keadaan hidup dan bisa menetek atau bisa dipastikan dia hidup sempurna.
Orang Mafqud (Orang Hilang)
Mafqud adalah orang yang hilang dan telah terputus informasi tentang dirinya dan tidak
diketahui lagi tempat tinggalnya secara pasti sehingga tidak dapat dipastikan apakah ia masih
hidup atau sudah wafat. Orang yang hilang dari negerinya dalam waktu yang cukup lama dan
tidak diketahui lagi keberadaannya apakah ia masih hidup atau sudah`wafat.
Banci (Khuntsa)
Khuntsa menurut kamus Al Munawir berasal dari kata ً ‫ خنٍث – خنثا‬yang berarti lemah, lunak, atau

bertingkah laku seperti perempuan.

Khuntsa  menurut istilah Khuntsa ialah : "Orang yang baginya alat kelamin lelaki
(dzaakar/penis) dan alat kelamin wanita (farji/vagina) atau tidak ada sama sekali (sesuatupun)
dari keduanya” Bahwa dalam Islam dikenal ada 2 jenis khuntsa, yaitu Khuntsa Al-Musykil dan
Khuntsa Ghairu Musykil.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Penerbit Kencana,


Jakarta, 2008, hlm. 80

Karani, Pasnelyza. 2010. Tesis dengan judul “Status Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI)”. Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan di Universitas Diponegoro.Semarang : Undip Press.

Ash-Shabuni, Ali, Muhammad. 2009. Hak Waris Orang Yang Hilang, Tenggelam, Dan
Tertimbun .Http:// www. wikipedia.com. Diakses tanggal 1 Maret 2009.

Manaf, Abdul. 2009. Yurisdiksi Peradilan Agama dalam Kewarisan Mafqud. Http:// www.
wikipedia.com. Diakses tanggal 1 Maret 2009.

Imam Nawawi, Al Muhadzzab, juz 2 hal 414 (Maktabah Syamilah)

Anda mungkin juga menyukai