Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN KASUS

STASE KEPERAWATAN DASAR PROFESI NERS GANGGUAN


KETIDAKNYAMANAN NYERI PADA Ny.R DENGAN SNNT
( Struma Nodusa Non Toksik) DIRUANG NUSA INDAH
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

DISUSUN OLEH

IVA NOVIYANTI
24.20.1437

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2021
1. Definisi Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Smeltzer & Bare,
2002). Menurut Potter dan Perry (2006) nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih
dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri sangat
bersifat subjektif dan sangat bersifat individual. Berdasarkan beberapa pengertian
di atas dapat disimpulkan bahwa nyeri merupakan kondisi yang tidak
menyenangkan yang dialami oleh seseorang sebagai akibat dari kerusakan
jaringan aktual maupun potensial, yang bersifat subjektif dan individual. Rasa
nyeri merupakan mekanisme perlindungan. Rasa nyeri timbul bila ada kerusakan
jaringan, dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara
memindahkan stimulus nyeri (Guyton & Hall, 2007).

2. Jenis-jenis Nyeri
a. Nyeri Akut
Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan
cidera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cidera
telah terjadi. Nyeri akut umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan
biasanya kurang dari satu bulan. Cidera atau penyakit yang menyebabkan
nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau dapat memerlukan pengobatan
(Smeltzer & Bare, 2002).
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung diluar waktu
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan
penyebab atau cidera spesifik. Nyeri kronis tidak mempunyai awitan yang
dapat ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya
nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya. Nyeri kronis sering didefinisikan sebagai nyeri yang
berlangsung selama enam bulan atau lebih (Smeltzer & Bare, 2002). Nyeri
kronis yang terjadi setelah suatu cidera atau proses penyakit diduga terjadi
karena ujung-ujung saraf yang normalnya hanya mentransmisikan stimulus
yang sangat nyeri, mentransmisikan stimulus yang sebelumnya tidak nyeri
sebagai stimulus yang sangat nyeri.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respons Nyeri


a. Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri
Seseorang yang mempunyai pengalaman multipel dan berkepanjangan
dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri
dibanding orang yang hanya mengalami sedikit nyeri.
b. Ansietas dan Nyeri
Ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat
meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri.
c. Budaya dan Nyeri
Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang
berespons terhadap nyeri. Namun budaya dan etnik tidak mempengaruhi
persepsi nyeri. Sebagai contoh anak –anak yang sejak kecil diajarkan bahwa
cidera akibat olahraga tidak terlalu menyakitkan dibandingkan dengan cidera
akibat kecelakaan bermotor. Maka mereka memiliki persepsi bahwa cidera
bermotor akan lebih menyakitkan daripada cidera olahraga.
d. Usia dan Nyeri
Lansia memiliki cara berespon yang berbeda terhadap nyeri dibandingkan
dengan orang yang berusia lebih muda. Nyeri pada lansia mungkin dialihkan
jauh dari tempat cidera atau penyakit. Persepsi nyeri pada lansia mungkin
berkurang sebagai akibat dari perubahan patologis berkaitan dengan beberapa
penyakit (misalnya diabetes), tetapi pada individu lansia yang sehat, persepsi
nyeri mungkin tidak berubah. Karena individu lansia mempunyai metabolisme
yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap massa otot lebih besar
disbanding individu berusia lebih muda, sehingga analgesik dosis kecil
mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri.
e. Efek Plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespons terhadap pengobatan atau
tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan tersebut
akan memberikan hasil bukan karena tindakan tersebut benar-benar bekerja,
namun karena menerima pengobatan atau tindakan saja sudah memberikan
efek positif bagi mereka.

4. Fisiologi Nyeri
a. Masuknya aktivitas saraf aferen dimodulasi oleh mekanisme pembukaan /
penutupan gerbang (gating mechanism) di dalam tanduk dorsal korda spinalis
dan batang otak. Gerbang ini merupakan inhibitor atau fasilitator bagi
aktivitas sel Transmisi (T) yang membawa aktivitas lebih jauh sepanjang jalur
saraf.
b. Gerbang dipengaruhi oleh derajat relatif dari aktivitas serabut beta A dengan
diameter besar, serabut delta A diameter kecil serta serabut C. Serabut beta A
diameter besar diaktifkan oleh stimuli tidak berbahaya dan pada aktifitas
serabut aferen besar cenderung menutup gerbang sedangkan aktifitas serabut
kecil cenderung membukanya.
c. Mekanisme kontrol serabut saraf desendens dari tingkatan yang lebih tinggi di
susunan saraf pusat dipengaruhi oleh proses kognitif, motivasional dan afektif
Derajat mekanisme yang lebih tinggi ini juga memodulasi gerbang. Aktivitas di
dalam serabut aferen besar tidak hanya cenderung menutup gerbang secara
langsung tetapi juga mengaktifkan mekanisme kontrol pusat yang menutup
gerbang.
d. Saat gerbang terbuka dan aktivitas di dalam aferen yang baru masuk cukup
untuk mengaktifkan sistem transmisi, dua jalur asendens utama diaktifkan.
Yang pertama adalah jalur sensoris-diskriminatif, yang bersambung dengan
korteks somatosensoris serebri melalui thalamus ventroposterior. Jalur ini
memungkinkan penentuan tempat nyeri. Kedua, jalur asendens yang
melibatkan informasi retikuler melalui sistem thalamus dan limbus medial.
Jalur ini berurusan dengan rasa tidak enak, penolakan (aversif) dan aspek
emosional dari nyeri. Jalur desendens, selain berpengaruh pada gerbang
tanduk dorsal, dapat juga berinteraksi dengan kedua sistem asendens ini.

5. Penilaian Nyeri
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi
nyeri paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan
pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini
mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri
yang dirasakan. Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang:
a. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai
dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada
pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien
yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal
setempat.

b. Verbal Rating Scale (VRS)


Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala
lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.
c. Numerical Rating Scale (NRS)
Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana
pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan
angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan
angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

d. Visual Analogue Scale (VAS)


Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang
merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda
tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta
untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang
dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah
dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan
VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan
secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga
penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata
sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga
melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan
bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan
data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat
nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia.
Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa
tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesik penyelamat (rescue
analgetic).

6. Penatalaksanaan Nyeri
a. Terapi non-Farmakologis
Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk
membantu penanganan nyeri paska pembedahan, seperti menggunakan terapi
fisik (dingin, panas) yang dapat mengurangi spasme otot, akupunktur untuk
nyeri kronik (gangguan muskuloskletal, nyeri kepala), terapi psikologis
(musik, hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah laku) dan rangsangan elektrik
pada sistem saraf (TENS, Spinal Cord Stimulation, Intracerebral Stimulation)
b. Terapi Farmakologis
Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik
oral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan
opioid intraspinal. Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga
hal yaitu pasien, prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari
obat-obatan analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri paska
pembedahan.
Obat farmakologis untuk penanganan nyeri
7. Asuhan Keperawatan

No Data Masalah Etiologi Diagnosa Keperawatan

1. DO Nyeri Agen cidera Nyeri berhubungan dengan


1. Ekspresi wajah biologi agen cidera biologi ditandai
tampak menahan dengan ekspresi wajah
nyeri tampak menahan nyeri, klien
DS mengatakan nyeri diarea
1. Klien mengatakan punggungdan klien mengeluh
nyeri diarea sakit perut sebelah kiridan
punggung menjalar kebelakang
2. Klien mengeluh
sakit perut sebelah
kiridan menjalar
kebelakang

NOC: Pain Control


Setelah diberikan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan pasien
dapat:
(1) Mengenal gejala nyeri (4)
(2) Melaporkan nyeri yang dirasakan (5)
(3) Mengenali faktor penyebab nyeri (4)
(4) Menggunakan terapi non-analgesik untuk mengurangi nyeri (4)
NIC: Pain Management

(1) Observasi ketidaknyamanan pasien secara nonverbal, khususnya komunikasi


yang tidak efektif
(2) Eksplorasi pasien faktor-faktor yang dapat memperberat dan meringankan
nyeri
(3) Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
(4) Sediakan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri
akan berakhir dan tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
ketidaknyamanan
(5) Kolaborasi pemberian analgesik dengan dokter
DAFTAR PUSTAKA

Dochterman, J.M.C., & Bulechek, G.M. (2004). Nursing intervention classification


(4th ed.). Missouri: Mosby.

Guyton, A.C., & Hall, J.E. (2007). Buku ajar fisiologi kedokteran (11th ed.). Jakarta:
EGC.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24986/3/Chapter%20II.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31992/4/Chapter%20II.pdf

Johnson, M., Maas, M., & Moorhead, S. (2004). Nursing outcomes classification
(2nd ed.). Missouri: Mosby.

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.I., & Setiowulan, W. (Eds.).
(2009). Kapita selekta kedokteran (3rd ed. 1st vol). Jakarta: Media Aesculapius.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2006). Buku ajar fundamental keperawatan konsep,
proses, dan praktik. (4th ed. 2nd vol). Jakarta: EGC

Santosa, B. (2005). Panduan diagnosa keperawatan NANDA. Jakarta: Prima Medika.

Smeltzer, S., & Bare, B. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner &
suddarth (8th ed. 2nd vol). Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai