TINJAUAN PUSTAKA
c. Kuat Tekan
Tabel 1. Klasifikasi kekuatan bata (SNI 15-2094-2000)
2.3 Sejarah Pantangan Menggunakan Batu Bata Sebagai Material Pembangunan Rumah di
Desa Adat Kapal
Masyarakat Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung, sampai saat ini masih memegang
teguh keyakinan untuk tidak menggunakan batu bata merah dalam hal pembangunan.
Masyarakat setempat meyakini, jika seseorang berani melanggar, warga desa tidak akan
pernah menemukan kebahagian dalam hidup. Seperti yang dijelaskan oleh Bendesa Adat
Kapal, I Ketut Sudarsana. Menurut beliau, pantangan tersebut dilatar belakangi adanya
bhisama (seruan) Patih Raja Bali Ki Kebo Iwa dari Blahbatuh yang datang ke Desa Kapal
dengan maksud melakukan pemugaran Pura Puru Sada.
Sudarsana menambahkan, berbagai sumber yang menyebutkan peristiwa renovasi
Pura Puru Sada oleh Patih Ki Kebo Iwa termuat dalam Lontar Bali kuno Dalem Bedahulu.
“Itu juga termuat dalam Lontar Babad Celuk”, ucapnya.
Diceritakan sekitar tahun isaka 1260 atau 1338 masehi, pada saat itu Bali masih
dikuasai Raja Bali Sri Astasura Ratna Bhumi Banten, beliau juga disebut Dalem Bedahulu,
sangat memperhatikan tempat suci yang ada di Bali. Pura Puru Sada adalah salah satu pura
yang mendapat perhatian kala itu. “ Ketika melihat kondisi pura pada saat itu, Dalem
Bedahulu lalu memerintahkan Patih Ki Kebo Iwa di Blahbatuh untuk memulihkan kembali
Pura Puru Sada di Kapal. Ki Kebo Iwa datang bersama lima kelompok warga trah pasek dan
merencanakan tahapan renovasi,” ungkap Sudarsana yang juga seorang praktisi Sastra Bali
Kuno.
Ki Kebo Iwa melakukan tapa yoga sebelum memulai renovasi di Pura Puru Sada.
Dalam tapa yoganya, beliau mendengar sabda, agar mengerjakan Bale Agung Taro terlebih
dahulu. Bisikan itu terngiang di telinga Beliau. Bale Agung tersebut dikerjakan pada Sukra
Umanis Ukir, Sasih Kasa tahun isaka 1260 atau 1338 masehi. “ Karena dianggap penting
membangun Bale Agung terlebih dahulu, tempat bertemunya para dewa dan bhatara,” jelas
pria asal Banjar Basang Tamiang, Kapal itu. Pembangunan Bale Agung berjalan seiring
dengan dimulainya renovasi pura pada Rabu Umanis, Wuku Prangbakat, di tahun yang sama.
Ternyata, dalam proses pembangunan Ki Kebo Iwa kekurangan batu bata merah. Oleh sebab
itu, proses pencarian bata merah dilakukan hingga ke Desa Nyanyi, Kediri, Tabanan. “Sanan
(pemikul) atau alat pengangkut batu bata itu menggunakan kayu jati itu dibawa dan diikatkan
di keranjang sampai tiba di jaba pura (Pura Puru Sada),” ungkap Sudarsana.
Namun, ketika waktu renovasi semakin dekat, bahan bangunan tersebut hilang.
Setelah ditelusuri, ternyata masyarakat setempat mencuri bata merah yang dibawa Ki Kebo
Iwa. Kayu jati yang digunakan sebagai pemikul juga patah dan terpelanting. Patih yang
memiliki nama lain Kebo Taruna itu murka, hingga mengeluarkan bhisama. Beliau
menyebutkan “Moga Kena Gering Tumpur Satuwuk”. Ki Kebo Iwa mengutuk, jika ada yang
menggunakan bata merah, dalam hidupnya mereka tidak akan memperoleh kebahagiaan
selamanya. “Dari perstiwa itu, sampai sekarang tidak ada yang berani menggunakan bata
merah untuk material pembangunan. Jika ada yang melanggar, keluarganya akan sering
cekcok dan tidak menemukan kebahagiaan,” tutur Sudarsana.
Berdasarkan penuturan warga lokal yang ditemui, memang ada saja warga yang
mencoba menggunakan bata merah ketika membangun rumah ataupun balai di tempat suci.
“Pernah kejadian dulu orang yang melanggar sering bertengkar, tak pernah akur. Ketika
ditempuh secara niskala, keluarga tersebut harus membongkar rumahnya dan membangun
rumah baru dengan bahan lain,” tuturnya. Menurut Sudarsana, pantangan membangun rumah
dengan material bata merah, dipercaya secara turun temurun. Percaya atau tidak, sering
cekcok dalam keluarga memang terjadi bagi mereka yang melanggar bhisama.