Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN ANALISA JURNAL MANAGING ANXIETY DURING

PANDEMIC COVID-19 DIDESA BANTUR

OLEH :

KELOMPOK 4

Lisye A. Miru (200714901301)

Anastasius Renda (200714901287)

Florentina Narus (200714901297)

Marzella I.C.Milla (200714901306)

Merisa Aprilia (200714901308)

Gregorius Y. Bani (200714901319)

Sarina A. Baga (200714901314)

Noviana R. Hammu (190614901263)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

STIKES WIDYAGAMA HUSADA

MALANG

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga dapat terselesaikan Proposal Seminar Jurnal dengan judul
“MANAGING ANXIETY DURING PANDEMIC COVID-19” di Desa Bantur”
sebagai salah satu persyaratan akademis dalam rangka menyelesaikan Profesi
Ners di Program Studi Pendidikan Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Widyagama Husada.

Dalam menyusun Proposal ini banyak kekurangan ataupun kesulitan yang


Kelompok hadapi karena keterbatasan kemampuan kelompok, oleh karena itu
kelompok mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga
kepada :

1. Bapak Kepala Puskesmas yang telah bersedia menerima kami mahasiswa


praktek Departemen Jiwa profesi Ners Stikes Widyagama
2. Bapak Soebagijono S.Kep.,Ners.,M.Kes selaku pembimbing lahan yang telah
memberikan bimbingan petunjuk, koreksi, serta saran sehingga dapat
terwujudnya proposal ini
3. Ibu Miftakhul Ulfa S.Kep.,Ners.,M.Kep. selaku pembimbing instiitusi yang telah
memberikan bimbingan petunjuk, koreksi, serta saran sehingga dapat
terwujudnya proposal ini
4. Aparat Desa Bantur yang telah bersedia menerima kami mahasiswa praktek
untuk melaksanakan praktek di desa Bantur
5. Kader dan Perawat Desa yang telah bersedia menerima kami mahasiswa
praktek untuk melaksanakan praktek di desa Bantur
6. Teman-teman seangkatan terima kasih atas doa dan perhatian, dukungan,
motivasi dan kasih sayang yang tak pernah putus untuk keberhasilan praktek
dan selesai proposal ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan berkat atas


segala amal baik yang telah diberikan. Semoga proposal ini dapat berguna
bagi kita semua.

Bantur, 26 April 2021

2
DAFTAR ISI

Cover....................................................................................................i
Kata Pengantar....................................................................................2
Daftar Isi ..............................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................4
A. LATAR BELAKANG..................................................................4
B. RUMUSAB MASALAH.............................................................12
C. TUJUAN PENELITIAN.............................................................12
D. MANFAAT................................................................................12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................13
A. Kecemasan..............................................................................13
a. Definisi.................................................................................13
b. Tahapan Kecemasan...........................................................13
c. Etiologi Kecemasan.............................................................14
B. Covid-19...................................................................................18
a. Definisi................................................................................18
b. Etiologi................................................................................19
c. Karakteristik Epidemiologi..................................................20
d. Mekanisme Penularan........................................................20
e. Karakteristik Klinis...............................................................21
f. Pencegahan Penularan COVID-19………………………….22

C. Kecemasan dalam Menghadapi Pandemi Covid-19…………..23


BAB III PEMBAHASAN……………………………………………………26
BAB IV PENUTUP………………………………………………………….29
A. Kesimpulan……………………………………………………..29
B. Saran…………………………………………………………….29
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..31

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejak ditetapkan sebagai terjadi penularan wabah antar manusia

di Wuhan, China pada 31 Desember 2019, infeksi coronavirus-2019

(COVID-19) yang menyebabkan penyakit Severe Acute Respiratory

Syndrome – Coronavirus 2 (SARS-Cov-2) menjadi pandemi global.

Penularan virus ini ditengarai terkait dengan penjualan daging yang

berasal dari binatang liar atau penangkaran hewan di pasar makanan laut

(Cui, dkk., 2019). Gejala umum yang didapati oleh pasien adalah demam,

batuk dan mialgia atau kelelahan. Gejala yang spesifik yaitu batuk

berdahak, sakit kepala, hemoptisis (batuk yang mengandung darah) dan

diare. Komplikasi termasuk sindrom gangguan pernapasan akut, cedera

jantung akut dan infeksi bakteri sekunder (Huang, dkk., 2020). Sampai

saat ini, jumlah informasi tentang virus ini meningkat setiap hari dan

semakin banyak data tentang penularan dan rutenya, reservoir, masa

inkubasi, gejala dan hasil klinis, termasuk tingkat kelangsungan hidup

yang dikumpulkan di seluruh dunia (Corman, dkk., 2020).

Fokus penanganan pandemi COVID-19 di seluruh dunia

mengalihkan perhatian masyarakat dari faktor psikososial yang akan

ditanggung individu sebagai konsekuensi terjadinya pandemi. Masalah

kesehatan mental yang muncul akibat pandemi COVID-19 dapat

berkembang menjadi masalah kesehatan yang dapat berlangsung lama

dan berpotensi menimbulkan beban sosial yang berat. Status darurat

kesehatan masyarakat yang ditetapkan oleh otoritas kesehatan dunia dan

dilanjutkan dengan pemberlakuan pembatasan sosial dan isolasi mandiri


4
atau karantina serta membatasi mobilitas masyarakat, berpotensi

menimbulkan dampak jangka panjang pada kesehatan mental

masyarakat (Gao, dkk., 2020; Pfefferbaum & North, 2020; Spoorthy, dkk.,

2020).

Coronavirus disease 2019 atau disebut juga COVID-19 saat ini

menjadi pandemi hampir di seluruh negara di dunia. Wabah pandemi ini

memiliki dampak negatif pada kesehatan fisik dan psikologis individu dan

masyarakat (Banerjee, 2020; Brooke dkk., 2020; Zhang dkk., 2020).

Menurut Brooks dkk. (2020), dampak psikologis selama pandemi

diantaranya gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress

disorder), kebingungan, kegelisahan, frustrasi, ketakutan akan infeksi,

insomnia dan merasa tidak berdaya. Bahkan beberapa psikiatris dan

psikolog mencatat hampir semua jenis gangguan mental ringan hingga

berat dapat terjadi dalam kondisi pandemik ini. Bahkan kasus xenofobia1

dan kasus bunuh diri karena ketakutan terinfeksi virus sudah mulai

bermunculan.

Di Indonesia sampai dengan tanggal 11 Nopember 2020

dilaporkan total kasus terkonfirmasi positif COVID 19 sebanyak 448.118

dengan 14.836 kematian yang dilaporkan (CFR 3,3%). Besarnya tingkat

kematian tidak hanya menimbulkan gejala dan penyakit fisik saja akan

tetapi berpengaruh besar terhadap kesejahteraan yang didalamnya

mencakup kesehatan mental kemudian ditambah dengan kebijakan

pemerintah berupa pshysical distancing dan Pembatasan Sosial Berskala

Besar (PSBB) untuk menanggulangi COVID 19 ini bagi sebagian orang

menimbulkan dampak negatif seperti cemas, tertekan hingga mengalami

stres. Tekanan selama pandemik global telah menyebabkan beberapa

gangguan seperti ketakutan dan kecemasan, perubahan pola tidur dan

pola makan, rasa tertekan dan sulit berkonsentrasi, bosan, stres karena
5
terus menerus berada dirumah serta munculnya gangguan psikomatis

(Ilpaj & Nurwati, 2020).

Mengutip salah satu hasil kaji cepat Survei Ketahanan Keluarga di

masa pandemi yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB), dari

sebanyak 66 persen responden perempuan yang sudah menikah

menunjukkan bahwa gangguan psikologis yang paling banyak dialami

adalah mudah cemas dan gelisah (50,6 persen), mudah sedih (46,9

persen), dan sulit berkonsentrasi (35,5 persen) (Sunarti, 2020). Kondisi ini

perlu menjadi perhatian mengingat perempuan memegang peran yang

sangat penting dalam mengelola rumah tangga. Anak-anak dan remaja

pun tidak luput dari dampak kebijakan pembatasan penyebaran virus

melalui sistem pembalajaran jarak jauh. Ruang gerak yang terbatas dan

minimnya interaksi dengan teman sebaya selama masa pandemi dapat

berpengaruh terhadap kesehatan jiwa mereka.

Survei mengenai kesehatan mental melalui swaperiksa yang

dihimpun oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia

(PDSKJI) yang dilakukan secara daring menjelaskan bahwa sebanyak 63

persen responden mengalami cemas dan 66 persen responden

mengalami depresi akibat pandemi COVID-19. Gejala cemas utama

adalah merasa khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir

berlebihan, mudah marah, dan sulit rileks. Sementara gejala depresi

utama yang muncul adalah gangguan tidur, kurang percaya diri, lelah,

tidak bertenaga, dan kehilangan minat. Lebih lanjut, sebanyak 80 persen

responden memiliki gejala stres pasca trauma psikologis karena

mengalami atau menyaksikan peristiwa tidak menyenangkan terkait

COVID-19.

Gejala stres pasca trauma psikologis berat dialami 46 persen

responden, gejala stres pasca trauma psikologis sedang dialami 33


6
persen responden, gejala stres pasca trauma psikologis ringan dialami 2

persen responden, sementara 19 persen tidak ada gejala. Adapun gejala

stres pascatrauma yang menonjol yaitu merasa berjarak dan terpisah dari

orang lain serta merasa terus waspada, berhati-hati, dan berjaga-jaga

(Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia, 2020).

Setidaknya terdapat empat faktor risiko utama depresi dari 14 yang

umumnya ditemui, yang muncul akibat pandemi COVID-19, yaitu isolasi

dan social distancing, tekanan ekonomi, stres dan depresi pada tenaga

kesehatan dan stigma dan diskriminasi (Thakur & Jain, 2020)

Pada dasarnya semua gangguan kesehatan mental diawali oleh

perasaan cemas (anxiety). Menurut Sadock dkk. (2010) kecemasan

adalah respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan

merupakan hal yang normal terjadi. Kecemasan diawali dari adanya

situasi yang mengancam sebagai suatu stimulus yang berbahaya

(stressor). Pada tingkatan tertentu kecemasan dapat menjadikan

seseorang lebih waspada (aware) terhadap suatu ancaman, karena jika

ancaman tersebut dinilai tidak membahayakan, maka seseorang tidak

akan melakukan pertahanan diri (self defence). Sehubungan dengan

menghadapi pandemi Covid-19 ini, kecemasan perlu dikelola dengan baik

sehingga tetap memberikan awareness namun tidak sampai

menimbulkan kepanikan yang berlebihan atau sampai pada gangguan

kesehatan kejiwaan yang lebih buruk.

Reaksi kecemasan akan berbeda pada setiap individu. Untuk

sebagian orang reaksi kecemasan tidak selalu diiringi oleh reaksi

fisiologis. Namun pada orang-orang tertentu, kompleksitas respons dalam

kecemasan dapat melibatkan reaksi fisiologis sesaat seperti detak

jantung menjadi lebih cepat, berkeringat, sakit perut, sakit kepala, gatal-

gatal dan gejala lainnya. Setelah seseorang mulai merasakan kecemasan


7
maka sistem petahanan diri selanjutnya akan menilai kembali ancaman

diiringi dengan usaha untuk mengatasi, mengurangi atau menghilangkan

perasaan terancam tersebut. Sesesorang dapat menggunakan

pertahanan diri (defence mechanism) dengan meningkatkan aktifitas

kognisi atau motorik.

Kecemasan biasanya berasal dari persepsi terhadap peristiwa

yang tidak terkendali (uncontroled), sehingga individu akan berfokus pada

tindakan yang terkendali (Shin & Newman, 2019). Dalam konteks

pandemi ini contoh tindakan yang terkendali yang dilakukan antara lain

berolahraga, meditasi, melukis, bermain musik, berkebun, memasak,

membaca buku, menonton film, dan lain sebagainya. Berbagai aktivitas

tersebut sesuai dengan ketertarikan dan kemampuan individu sebagai

strategi yang tangguh dan protektif untuk mengatasi stres, kecemasan,

dan panik (Wood & Rünger, 2016).

Pemahaman akan mental yang sehat tidak lepas dari pemahaman

mengenai sehat dan sakit secara fisik, berbagai penelitian telah

mengungkapkan adanya hubungan antara kesehatan fisik dan mental

individu dimana pada individu dengan keluhan medis menunjukkan

adanya masalah psikis hingga taraf gangguan mental dan sebaliknya

individu dengan gangguan mental juga menunjukkan adanya gangguan

fungsi fisiknya (Dewi, 2012). Kesehatan mental merupakan kondisi

individu yang terbebas dari segala bentuk gejala hangguan mental.

Individu yang sehat secara mental akan dapat berfungsi secara normal

dalam menjalankan kehidupan dan dapat beradaptasi untuk menghadapi

masalah-masalah sepanjang kehidupan dengan menggunakan

kemampuan pengolahan stres (Putri et al., 2015).

Penyakit mental yang paling umum adalah kecemasaan dan

gangguan depresi. Paling ekstrim orang dengan gangguan depresi


8
mungkin tidak dapat bangun dari tempat tidur atau merawat dirinya

secara fisik dan orang dengan gangguan kecemasaan tertentu mungkin

tidak dapat meninggalkan rumah atau mungkin memiliki ritual kompulsif

untuk membantu meringankan ketakutan (Departemen of Health

Australia, 2017).

Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang

menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga terpaksa

mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menaggulangi stresor

(tekanan mental) yang timbul. Namun tidak semua orang mampu

melakukan adaptasi dan mengatasinya sehingga menimbulkan gangguan

jiwa. Jenis stresor psikososial, yaitu perkawinan misalnya pertengkaran,

perpisahan, perceraian, ketidaksetiaan, kematian salah satu pasangan

kemudian problem oang tua meliputi tidak punya anak, kebanyakan anak,

kenakalan anak dan anak sakita.

Hubungan Interpersonal dimana gangguan ini dapat berupa

konflik dengan rekan kerja, konflik dengan atasan dan bawahan

kemudian masalah lingkungan hidup meliputi pindah tempat tinggal dan

penggusuran. Pekerjaan meliputi kehilangan pekerjaan, pensiun,

pekerjaan terlalu banyak kemudian keuangan, perkembangan, penyakit

fisik atau cidera, faktor keluarga dan lain-lain (Kemenkes RI, 2019).

Menurut WHO (2020) munculnya pandemi menimbulkan stres

pada berbagai lapisan masyarakat. Meskipun sejauh ini belum terdapat

ulasan sistematis tentang dampak COVID 19 terhadap kesehatan mental,

namum sejumlah penelitian terkait pandemi menunjukkan adanya

dampak negatif terhadap kesehatan mental penderitanya (Kemenkes RI,

2020). Tahapan terakhir dalam menghadapi kecemasan yaitu

menemukan solusi (coping) dengan bentuk pertahanan diri seperti

rasionalisasi. Rasionalisasi tidak dimaksudkan agar tindakan yang tidak


9
masuk akal dijadikan masuk akal, akan tetapi merasionalkan.

Rasionalisasi tidak dimaksudkan untuk ‘membujuk’ atau memanipulasi

orang lain, melainkan ‘membujuk’ dirinya sendiri agar dapat menerima

keterbatasan diri sendiri.

Dari hasil wawancara lisan beberapa masyarakat didesa bantur

mengatakan takut tertular virus corona, namun terpaksa bekerja agar bisa

memenuhi kebutuhahan sehari-hari. Tenaga kesehatan dipuskesmas

Bantur mengatakan dimasa pandemi ini tingkat gangguan kesehatan

mental meningkat.

Berdasarkan fenomena masalah kesehatan mental kami

kelompok 4 ingin membahas jurnal terkait dengan “MANAGING ANXIETY

DURING PANDEMIC COVID-19”

10
B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana Pengaruh MANAGING ANXIETY DURING

PANDEMIC COVID-19 didesa Bantur?”

C. TUJUAN PENELITIAN

1. TUJUAN UMUM

Menganalisis pengaruh managing anxiety during pandemic covid

19 desa bantur yang memiliki tingkat kecemasaan

2. TUJUAN KHUSUS

1) Mengidentifikasi tanda dan gejala pada kelompok intervensi yang

memiliki tingkat kecemasaan masyarakat di desa bantur.

2) Mengidentifikasi tanda dan gejala pada kelompok kontrol yang

memiliki tingkat kecemasaan masyarakat di desa bantur

3) Menganalisis pengaruh managing anxiety during pandemic covid

19 terhadap masyarakat di desa bantur .

D. MANFAAT

1. Teoritis

Dari hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi

semua disiplin ilmu kesehatan untuk di jadikan pedoman intervensi

untuk menangani masalah managing anxiety during pandemic covid

19 di desa bantur

2. Peneliti

Dapat memberikan pemahaman tentang pengaruh managing

anxiety during pandemic covid 19 terhadap tanda gejala masyarakat

di desa bantur.

3. Responden

Penelitian ini di harapkan dapat menambah wawasan atau

pengetahuan tentang managing anxiety during pandemic covid 19


11
pada masyarakat di desa bantur.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan
a. Definisi
Kecemasan merupakan emosi subjektif yang membuat individu tidak
nyaman, ketakutan yang tidak jelas dan gelisah, dan disertai respon otonom.
Kecemasan juga merupakan kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar
berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Stuart, 2017).
Sedangkan menurut Hawari (2016) kecemasan adalah gangguan alam sadar
(effective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kehawatiran yang
mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas
(Reality Testing Ability / RTA), masih baik, kepribadian masih tetap utuh (tidak
mengalami keretakan kepribadian/ splitting of personality), perilaku dapat
terganggu tapi masih dalam batas-batas normal.
Ada pula yang berpendapat bahwa kecemasan (Ansietas) adalah
manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur dan terjadi ketika
mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (Hawari, 2016).
Selain itu kecemasan adalah situasi yang mengancam, dan merupakan hal yang
normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang
belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup
(Fitri, 2015).
b. Tahapan Kecemasan
Kecemasan diidentifikasikan menjadi 4 tingkat yaitu ringan, sedang, berat dan
panik (Stuart dan Laraia, 2015). Semakin tinggi tingkat kecemasan individu maka
akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikis. Kecemasan berbeda dengan rasa
takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap bahaya. Kecemasan
merupakan masalah psikiatri yang paling sering terjadi, tahapan tingkat
kecemasan akan dijelaskan sebagai berikut (Stuart, 2017) :
1) Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan
sehari-hari; cemas menyebabkan individu menjadi waspada, menajamkan
indera dan meningkatkan lapang persepsinya.
2) Kecemasan sedang memungkinkan individu untuk berfokus pada suatu hal
dan mempersempit lapang persepsi individu. Individu menjadi tidak perhatian
yang selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area.
3) Kecemasan berat, mengurangi lapang persepsi individu. Individu berfokus
pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir tentang hal lain.

13
Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan, individu perlu
banyak arahan untuk berfokus pada area lain.
4) Tingkat panik (sangat berat) dari kecemasan berhubungan dengan
terperangah, ketakutan, dan teror. Hal yang rinci terpecah dari proporsi,
karena mengalami kehilangan kendali. Individu yang mencapai tingkat ini
tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup
disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik,
menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi
yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional.
c. Etiologi Kecemasan
Menurut Doengoes (2015), kecemasan disebabkan faktor patofisiologis
maupun faktor situasional. Penyebab kecemasan tidak spesifik bahkan tidak
diketahui oleh individu. Perasaan cemas diekspresikan secara langsung melalui
perubahan fisiologis dan perilaku, dapat juga diekspresikan secara tidak
langsung melalui timbulnya gejala dan mekanisme koping sebagai upaya
melawan kecemasan.
Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan faktorfaktor yang
mempengaruhi kecemasan menurut Stuart (2017), antara lain:
1) Faktor predisposisi
a) Teori psikoanalisis
Pandangan teori psikoanalisis memaparkan bahwa cemas merupakan
konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan
superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan
superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh norma
budaya. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang
bertentangan tersebut dan fungsi kecemasan untuk mengingatkan ego
bahwa ada bahaya.
b) Teori interpersonal
Teori interpersonal menyatakan bahwa cemas timbul dari perasaan takut
terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Cemas juga
berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan
kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan
harga diri rendah rentan mengalami kecemasan yang berat.
c) Teori perilaku
Teori perilaku menyatakan bahwa cemas merupakan produk frustasi.
Frustasi merupakan segala sesuatu yang menggangu kemampuan
individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan dikarakteristikkan
14
sebagai suatu dorongan yang dipelajari untuk menghindari kepedihan.
Teori pembelajaran meyakini individu yang terbiasa sejak kecil
dihadapkan pada ketakutan yang berlebihan lebih sering menunjukkan
kecemasan pada kehidupan selanjutnya. Teori konflik memandang
cemas sebagai pertentangan antara dua kepentingan yang berlawanan.
Kecemasan terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara konflik
dan kecemasan konflik menimbulkan kecemasan, dan cemas
menimbulkan perasaan tak berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan
konflik yang dirasakan.
d) Teori kajian keluarga
Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan cemas terjadi didalam
keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara gangguan
kecemasan dan depresi.
e) Teori biologis
Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus
untuk benzodiazepine, obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator
inhibisi asam gamma aminobutyricacid (GABA). GABA berperan penting
dalam mekanisme biologi yang berhubungan dengan cemas.
Kesehatan umum individu dan riwayat kecemasan di keluarga
memiliki efek nyata sebagai predisposisi kecemasan. Cemas disertai dengan
gangguan fisik yang menurunkan kemampuan individu mengatasi stresor.
Kecemasan diperantarai oleh sistem kompleks yang melibatkan system
limbik, pada organ amigdala dan hipokampus, talamus, korteks frontal
secara anatomis dan norepinefrin (lokus seruleus), serotonin (nukleus rafe
dorsal) dan GABA (reseptor GABAA berpasangan dengan reseptor
benzodiazepin) pada system neurokimia. Hingga saat ini belum diketahui
secara jelas bagaimana kerja dari masing-masing bagian tersebut dalam
menimbulkan kecemasan (Tomb, 2015).
Setiap perubahan dalam kehidupan yang dapat menimbulkan
keadaan stres disebut stresor. Stres yang dialami seseorang dapat
menimbulkan kecemasan (Ibrahim, 2016). Faktor predisposisi yang dapat
menimbulkan kecemasan antara lain faktor genetik, faktor organik dan faktor
psikologi. Faktor predisposisi kecemasan pada pasien pre operasi yang
paling berpengaruh merupakan faktor psikologis, terutama ketidakpastian
tentang prosedur dan operasi yang akan dijalani (Gant dan Cunningham,
2015).
2) Faktor presipitasi
15
Pengalaman cemas setiap individu bervariasi bergantung pada situasi
dan hubungan interpersonal. Ada dua faktor presipitasi yang mempengaruhi
kecemasan menurut Stuart (2017), yaitu :
a) Faktor eksternal
(1) Ancaman integritas diri
Meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan terhadap
kebutuhan dasar (penyakit, trauma fisik, pembedahan yang akan
dilakukan).
(2) Ancaman sistem dir
Antara lain: ancaman terhadap identitas diri, harga diri, hubungan
interpersonal, kehilangan, dan perubahan status dan peran.
(3) Faktor internal
(a) Potensial stressor
Stresor psikososial merupakan keadaan yang menyebabkan
perubahan dalam kehidupan sehingga individu dituntut untuk
beradaptasi.
(b) Maturitas
Kematangan kepribadian inidividu akan mempengaruhi
kecemasan yang dihadapinya. Kepribadian individu yang lebih
matur maka lebih sukar mengalami gangguan akibat kecemasan,
karena individu mempunyai daya adaptasi yang lebih besar
terhadap kecemasan.
(c) Pendidikan
Tingkat pendidikan individu berpengaruh terhadap kemampuan
berpikir. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka individu semakin
mudah berpikir rasional dan menangkap informasi baru.
Kemampuan analisis akan mempermudah individu dalam
menguraikan masalah baru.
(d) Respon koping
Mekanisme koping digunakan seseorang saat mengalami
kecemasan. Ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara
konstruktif merupakan penyebab terjadinya perilaku patologis.
(e) Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi yang rendah pada seseorang akan
menyebabkan individu mudah mengalami kecemasan.
(f) Keadaan fisik

16
Individu yang mengalami gangguan fisik akan mudah kelelahan
fisik. Kelelahan fisik yang dialami akan mempermudah individu
mengalami kecemasan.
(g) Tipe kepribadian
Individu dengan tipe kepribadian A lebih mudah mengalami
gangguan akibat kecemasan daripada orang dengan tipe
kepribadian B. Individu dengan tipe kepribadian A memiliki ciri-ciri
individu yang tidak sabar, kompetitif, ambisius, ingin serba
sempurna, merasa diburuburu waktu, mudah gelisah, tidak dapat
tenang, mudah tersinggung dan mengakibatkan otototot mudah
tegang. Individu dengan tipe kepribadian B memiliki ciri-ciri yang
berlawanan dengan tipe kepribadian A. Tipe kepribadian B
merupakan individu yang penyabar, tenang, teliti dan rutinitas
(h) Lingkungan dan situasi
Seseorang yang berada di lingkungan asing lebih mudah
mengalami kecemasan dibandingkan di lingkungan yang sudah
dikenalnya.
(i) Dukungan social
Dukungan sosial dan lingkungan merupakan sumber koping
individu. Dukungan sosial dari kehadiran orang lain membantu
seseorang mengurangi kecemasan sedangkan lingkungan
mempengaruhi area berfikir individu
(j) Usia
Usia muda lebih mudah cemas dibandingkan individu dengan usia
yang lebih tua.
(k) Jenis kelamin
Gangguan kecemasan tingkat panik lebih sering dialami wanita
daripada pria.

Adanya dampak negatif dari kecemasan merupakan rasa khawatir


yang berlebihan tentang masalah yang nyata maupun potensial. Keadaan
cemas akan membuat individu menghabiskan tenaganya, menimbulkan rasa
gelisah, dan menghambat individu melakukan fungsinya dengan adekuat
dalam situasi interpersonal maupun hubungan sosial.

17
B. Covid-19
a. Definisi
Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan
penyakit pada manusia dan hewan. Pada manusia biasanya menyebabkan
penyakit infeksi saluran pernapasan, mulai flu biasa hingga penyakit yang serius
seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Sindrom Pernapasan
Akut Berat/ Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Penyakit ini terutama
menyebar di antara orang- orang melalui tetesan pernapasan dari batuk dan
bersin. Virus ini dapat tetap bertahan hingga tiga hari dengan plastik dan
stainless steel SARS CoV-2 dapat bertahan hingga tiga hari,atau dalam aerosol
selama tiga jam4. Virus ini juga telah ditemukan di feses, tetapi hingga Maret
2020 tidak diketahui apakah penularan melalui feses mungkin, dan risikonya
diperkirakan rendah (Doremalen et al, 2020).
Corona virus jenis baru yang ditemukan pada manusia sejak kejadian luar
biasa muncul di Wuhan China, pada Desember 2019, kemudian diberi nama
Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS- COV2), dan
menyebabkan penyakit Coronavirus Disease-2019 (COVID-19). COVID-19
termasuk dalam genus dengan flor elliptic dan sering berbentuk pleomorfik, dan
berdiameter 60- 140 nm. Virus ini secara genetic sangat berbeda dari virus
SARS-CoV dan MERS-CoV. Homologi antara COVID-19 dan memiliki
karakteristik DNA coronavirus pada kelelawar-SARS yaitu dengan kemiripan
lebih dari 85%. Ketika dikultur pada vitro, COVID19 dapat ditemukan dalam sel
epitel pernapasan manusia setelah 96 jam. Sementara itu untuk mengisolasi dan
mengkultur vero E6 dan Huh-7 garis sel dibutuhkan waktu sekitar 6 hari. Paru-
paru adalah organ yang paling terpengaruh oleh COVID-19, karena virus
mengakses sel inang melalui enzim ACE2, yang paling melimpah di sel alveolar
tipe II paru-paru. Virus ini menggunakan glikoprotein permukaan khusus, yang
disebut “spike”, untuk terhubung ke ACE2 dan memasuki sel inang (Letko et al,
2020).
Kepadatan ACE2 di setiap jaringan berkorelasi dengan tingkat keparahan
penyakit di jaringan itu dan beberapa ahli berpedapat bahwa penurunan aktivitas
ACE2 mungkin bersifat protektif. Dan seiring perkembangan penyakit alveolar,
kegagalan pernapasan mungkin terjadi dan kematian mungkin terjadi (Xu et al,
2020).
Sub-family virus corona dikategorikan ke dalam empat genus; α, β, γ, d
an δ. Selain virus baru ini (COVID 19), ada tujuh virus corona yang telah
diketahui menginfeksi manusia. Kebanyakan virus corona menyebabkan infeksi
18
saluran pernapasan atas (ISPA), tetapi Middle East Respiratory Syndrome
Coronavirus (MERSr CoV), severe acute respiratory syndrome associated
coronavirus (SARSr CoV) dan novel coronavirus 2019 (COVID-19) dapat
menyebabkan pneumonia ringan dan bahkan berat, serta penularan yang dapat
terjadi antar manusia. Virus corona sensitif terhadap sinar ultraviolet dan panas,
dan dapat di nonaktifkan (secara efektif dengan hampir semua disinfektan
kecuali klorheksidin). Oleh karena itu, cairan pembersih tangan yang
mengandung klorheksidin tidak direkomendasikan untuk digunakan dalam wabah
ini (Safrizal dkk, 2020).
b. Etiologi
Dalam diagnosis awal dari Rencana Perawatan Penyakit Virus Corona
2019 (yang disusun Pemerintah China), deskripsi etiologi COVID-19 didasarkan
pada pemahaman sifat fisikokimia dari penemuan virus corona sebelumnya. Dari
penelitian lanjutan, edisi kedua pedoman tersebut menambahkan “coronavirus
tidak dapat dinonaktifkan secara efektif oleh chlorhexidine”, juga kemudian
definisi baru ditambahkan dalam ed isi keempat, “nCov-19 adalah genus b,
dengan envelope, bentuk bulat dan sering berbentuk pleomorfik, dan
berdiameter 60-140 nm. Karakteristik genetiknya jelas dari SARSr- CoV dan
MERSr-CoV. Homologi antara nCoV2019 dan bat-SL-CoVZC45 lebih dari 85%.
Ketika dikultur in vitro, nCoV-2019 dapat ditemukan dalam sel epitel pernapasan
manusia setelah 96 jam, sementara itu membutuhkan sekitar 6 hari untuk
mengisolasi dan membiakkan VeroE6 dan jaringan sel Huh-7“, serta ”corona
virus sensitif terhadap sinar ultraviolet” (Safrizal dkk, 2020).
CoV adalah virus RNA positif dengan penampilan seperti mahkota di
bawah mikroskop elektron (corona adalah istilah latin untuk mahkota) karena
adanya lonjakan glikoprotein pada amplop. Subfamili Orthocoronavirinae dari
keluarga Coronaviridae (orde Nidovirales) digolongkan ke dalam empat gen CoV:
Alphacoronavirus (alphaCoV), Betacoronavirus (betaCoV), Deltacoronavirus
(deltaCoV), dan Gammacoronavirus (deltaCoV). Selanjutnya, genus betaCoV
membelah menjadi lima sub- genera atau garis keturunan10. Karakterisasi
genom telah menunjukkan bahwa mungkin kelelawar dan tikus adalah sumber
gen alphaCoVs dan betaCoVs. Sebaliknya, spesies burung tampaknya mewakili
sumber gen deltaCoVs dan gammaCoVs. Anggota keluarga besar virus ini dapat
menyebabkan penyakit pernapasan, enterik, hati, dan neurologis pada berbagai
spesies hewan, termasuk unta, sapi, kucing, dan kelelawar (Safrizal dkk, 2020).
Sampai saat ini, tujuh CoV manusia (HCV) yang mampu menginfeksi
manusia telah diidentifikasi. Beberapa HCoV diidentifikasi pada pertengahan
19
1960-an, sementara yang lain hanya terdeteksi pada milenium baru. Dalam
istilah genetik, Chan et al. telah membuktikan bahwa genom HCoV baru, yang
diisolasi dari pasien kluster dengan pneumonia atipikal. Setelah mengunjungi
Wuhan diketahui memiliki 89% identitas nukleotida dengan kelelawar
SARSseperti-CoVZXC21 dan 82% dengan gen manusia SARS- CoV11. Untuk
alasan ini, virus baru itu bernama SARS-CoV-2. Genom RNA untai tunggal-nya
mengandung 29891 nukleotida, yang mengkode 9860 asam amino. Meskipun
asalnya tidak sepenuhnya dipahami, analisis genom ini menunjukkan bahwa
SARS-CoV-2 mungkin berevolusi dari strain yang ditemukan pada kelelawar.
Namun, potensi mamalia yang memperkuat, perantara antara kelelawar dan
manusia, belum diketahui. Karena mutasi pada strain asli bisa secara langsung
memicu virulensi terhadap manusia, maka tidak dipastikan bahwa perantara ini
ada (Safrizal dkk, 2020).
c. Karakteristik Epidemiologi
Menurut Safrizal dkk, (2020) karakteristik epidemiologi meliputi:
1. Orang dalam pemantauan
Seseorang yang mengalami gejala demam (≥38°C) atau memiliki riwayat
demam atau ISPA tanpa pneumonia. Selain itu seseorang yang memiliki
riwayat perjalanan ke negara yang terjangkit pada 14 hari terakhir sebelum
timbul gejala juga dikategorikan sebagai dalam pemantauan.
2. Pasien dalam pengawasan
a) Seseorang yang mengalami memiliki riwayat perjalanan ke negara yang
terjangkit pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala-gejala COVID-19
dan seseorang yang mengalami gejala- gejala, antara lain: demam
(>38°C); batuk, pilek, dan radang tenggorokan, pneumonia ringan hingga
berat berdasarkan gejala klinis dan/atau gambaran radiologis; serta pasien
dengan gangguan sistem kekebalan tubuh (immunocompromised) karena
gejala dan tanda menjadi tidak jelas.
b) Seseorang dengan demam >38°C atau ada riwayat demam atau ISPA
ringan sampai berat dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala,
memiliki salah satu dari paparan berikut: Riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi COVID-19, bekerja atau mengunjungi fasilitas kesehatan yang
berhubungan dengan pasien konfirmasi COVID-19, memiliki riwayat
perjalanan ke wilayah endemik, memiliki sejarah kontak dengan orang
yang memiliki riwayat perjalanan pada 14 hari terakhir ke wilayah
endemik.
d. Mekanisme Penularan
20
COVID-19 paling utama ditransmisikan oleh tetesan aerosol penderita
dan melalui kontak langsung. Aerosol kemungkinan ditransmisikan ketika orang
memiliki kontak langsung dengan penderita dalam jangka waktu yang terlalu
lama. Konsentrasi aerosol di ruang yang relatif tertutup akan semakin tinggi
sehingga penularan akan semakin mudah (Safrizal dkk, 2020).
e. Karakteristik Klinis
Menurut Safrizal dkk, (2020) berdasarkan penyelidikan epidemiologi saat
ini, masa inkubasi COVID-19 berkisar antara 1 hingga 14 hari, dan umumnya
akan terjadi dalam 3 hingga 7 hari. Demam, kelelahan dan batuk kering dianggap
sebagai manifestasi klinis utama. Gejala seperti hidung tersumbat, pilek,
pharyngalgia, mialgia dan diare relative jarang terjadi pada kasus yang parah,
dispnea dan / atau hipoksemia biasanya terjadi setelah satu minggu setelah
onset penyakit, dan yang lebih buruk dapat dengan cepat berkembang menjadi
sindrom gangguan pernapasan akut, syok septik, asidosis metabolik sulit untuk
dikoreksi dan disfungsi perdarahan dan batuk serta kegagalan banyak organ, dll.
Pasien dengan penyakit parah atau kritis mungkin mengalami demam sedang
hingga rendah, atau tidak ada demam sama sekali. Kasus ringan hanya hadir
dengan sedikit demam, kelelahan ringan dan sebagainya tanpa manifestasi
pneumonia Dari kasus yang ditangani saat ini, sebagian besar pasien memiliki
prognosis yang baik. Orang tua dan orang-orang dengan penyakit kronis yang
mendasari biasanya memiliki prognosis buruk sedangkan kasus dengan gejala
yang relatif ringan sering terjadi pada anak-anak. Beberapa gejala yang mungkin
terjadi, antara lain :
1. Penyakit Sederhana (ringan)
Pasien-pasien ini biasanya hadir dengan gejala infeksi virus saluran
pernapasan bagian atas, termasuk demam ringan, batuk (kering), sakit
tenggorokan, hidung tersumbat, malaise, sakit kepala, nyeri otot, atau
malaise. Tanda dan gejala penyakit yang lebih serius, seperti dispnea, tidak
ada. Dibandingkan dengan infeksi HCoV sebelumnya, gejala non-pernapasan
seperti diare sulit ditemukan.
2. Pneumonia Sedang
Gejala pernapasan seperti batuk dan sesak napas (atau takipnea pada anak-
anak) hadir tanpa tanda-tanda pneumonia berat
3. Pneumonia Parah
Demam berhubungan dengan dispnea berat, gangguan pernapasan, takipnea
(> 30 napas / menit), dan hipoksia (SpO2
4. Sindrom Gangguan Pernapasan Akut (ARDS)
21
Diagnosis memerlukan kriteria klinis dan ventilasi. Sindrom ini menunjukkan
kegagalan pernapasan baru-awal yang serius atau memburuknya gambaran
pernapasan yang sudah diidentifikasi. Berbagai bentuk ARDS dibedakan
berdasarkan derajat hipoksia.
f. Pencegahan Penularan COVID-19
Menurut Kemenkes RI dalam Health Line (2020) pencegahan penularan
COVID-19 meliputi :
1. Sering-Sering Mencuci Tangan
Sekitar 98 persen penyebaran penyakit bersumber dari tangan. Mencuci
tangan hingga bersih menggunakan sabun dan air mengalir efektif
membunuh kuman, bakteri, dan virus, termasuk virus Corona. Pentingnya
menjaga kebersihan tangan membuat memiliki risiko rendah terjangkit
berbagai penyakit.
2. Hindari Menyentuh Area Wajah
Virus Corona dapat menyerang tubuh melalui area segitiga wajah, seperti
mata, mulut, dan hidung. Area segitiga wajah rentan tersentuh oleh tangan,
sadar atau tanpa disadari. Sangat penting menjaga kebersihan tangan
sebelum dan sesudah bersentuhan dengan benda atau bersalaman dengan
orang lain.
3. Hindari Berjabat Tangan dan Berpelukan
Menghindari kontak kulit seperti berjabat tangan mampu mencegah
penyebaran virus Corona. Untuk saat ini menghindari kontak adalah cara
terbaik. Tangan dan wajah bisa menjadi media penyebaran virus Corona.
4. Jangan Berbagi Barang Pribadi
Virus Corona mampu bertahan di permukaan hingga tiga hari. Penting untuk
tidak berbagi peralatan makan, sedotan, handphone, dan sisir. Gunakan
peralatan sendiri demi kesehatan dan mencegah terinfeksi virus Corona.
5. Etika ketika Bersin dan Batuk
Satu di antara penyebaran virus Corona bisa melalui udara. Ketika bersin
dan batuk, tutup mulut dan hidung agar orang yang ada di sekitar tidak
terpapar percikan kelenjar liur. Lebih baik gunakan tisu ketika menutup mulut
dan hidung ketika bersin atau batuk. Cuci tangan hingga bersih
menggunakan sabun agar tidak ada kuman, bakteri, dan virus yang
tertinggal di tangan.
6. Bersihkan Perabotan di Rumah
Tidak hanya menjaga kebersihan tubuh, kebersihan lingkungan tempat
tinggal juga penting. Gunakan disinfektan untuk membersih perabotan yang
22
ada di rumah. Bersihkan permukaan perabotan rumah yang rentan
tersentuh, seperti gagang pintu, meja, furnitur, laptop, handphone, apa pun,
secara teratur. Bisa membuat cairan disinfektan buatan sendiri di rumah
menggunakan cairan pemutih dan air. Bersihkan perabotan rumah cukup
dua kali sehari.
7. Jaga Jarak Sosial
Satu di antara pencegahan penyebaran virus Corona yang efektif adalah
jaga jarak sosial. Pemerintah telah melakukan kampanye jaga jarak fisik atau
physical distancing. Dengan menerapkan physical distancing ketika
beraktivitas di luar ruangan atau tempat umum, sudah melakukan satu
langkah mencegah terinfeksi virus Corona. Jaga jarak dengan orang lain
sekitar satu meter. Jaga jarak fisik tidak hanya berlaku di tempat umum, di
rumah pun juga bisa diterapkan
8. Hindari Berkumpul dalam Jumlah Banyak
Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia
telah membuat peraturan untuk tidak melakukan aktivitas keramaian selama
pandemik virus Corona. Tidak hanya tempat umum, seperti tempat makan,
gedung olah raga, tetapi tempat ibadah saat ini harus mengalami dampak
tersebut. Tindakan tersebut adalah upaya untuk mencegah penyebaran virus
Corona. Virus Corona dapat ditularkan melalui makanan, peralatan, hingga
udara. Untuk saat ini, dianjurkan lebih baik melakukan aktivitas di rumah
agar pandemik virus Corona cepat berlalu.
9. Mencuci Bahan Makanan
Selain mencuci tangan, mencuci bahan makanan juga penting dilakukan.
Rendam bahan makanan, seperti buah-buah dan sayursayuran
menggunakan larutan hidrogen peroksida atau cuka putih yang aman untuk
makanan. Simpan di kulkas atau lemari es agar bahan makanan tetap segar
ketika ingin dikonsumsi. Selain untuk membersihkan, larutan yang digunakan
sebagai mencuci memiliki sifat antibakteri yang mampu mengatasi bakteri
yang ada di bahan makanan.
C. Proses Terjadinya Kecemasan dalam Menghadapi Pandemi Covid-19
Pada dasarnya semua gangguan kesehatan mental diawali oleh
perasaan cemas (anxiety). Menurut Sadock dkk. (2010) kecemasan adalah
respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang
normal terjadi. Kecemasan diawali dari adanya situasi yang mengancam sebagai
suatu stimulus yang berbahaya (stressor). Pada tingkatan tertentu kecemasan
dapat menjadikan seseorang lebih waspada (aware) terhadap suatu ancaman,
23
karena jika ancaman tersebut dinilai tidak membahayakan, maka seseorang
tidak akan melakukan pertahanan diri (self defence). Sehubungan dengan
menghadapi pandemi Covid-19 ini, kecemasan perlu dikelola dengan baik
sehingga tetap memberikan awareness namun tidak sampai menimbulkan
kepanikan yang berlebihan atau sampai pada gangguan kesehatan kejiwaan
yang lebih buruk.
Dalam prosesnya (Gambar 1), seseorang melakukan evaluative situation
yaitu menilai ancaman virus Covid19 berdasarkan sikap, pengetahuan,
kemampuan, dan pengalaman masa lalu yang dimiliki Jika stressor dinilai
berbahaya maka reaksi kecemasan akan timbul. Reaksi kecemasan ini ada yang
bersifat sesaat (state anxiety) dan ada yang bersifat permanen (trait anxiety)
(Lazarus, 1991).
Reaksi kecemasan akan berbeda pada setiap individu. Untuk sebagian
orang reaksi kecemasan tidak selalu diiringi oleh reaksi fisiologis. Namun pada
orang-orang tertentu, kompleksitas respons dalam kecemasan dapat melibatkan
reaksi fisiologis sesaat seperti detak jantung menjadi lebih cepat, berkeringat,
sakit perut, sakit kepala, gatal-gatal dan gejala lainnya. Setelah seseorang mulai
merasakan kecemasan maka sistem petahanan diri selanjutnya akan menilai
kembali ancaman diiringi dengan usaha untuk mengatasi, mengurangi atau
menghilangkan perasaan terancam tersebut. Sesesorang dapat menggunakan
pertahanan diri (defence mechanism) dengan meningkatkan aktifitas kognisi atau
motorik.
Kecemasan biasanya berasal dari persepsi terhadap peristiwa yang tidak
terkendali (uncontroled), sehingga individu akan berfokus pada tindakan yang
terkendali (Shin & Newman, 2019). Dalam konteks pandemi ini contoh tindakan
yang terkendali yang dilakukan antara lain berolahraga, meditasi, melukis,
bermain musik, berkebun, memasak, membaca buku, menonton film, dan lain
sebagainya. Berbagai aktivitas tersebut sesuai dengan ketertarikan dan
kemampuan individu sebagai strategi yang tangguh dan protektif untuk
mengatasi stres, kecemasan, dan panik (Wood & Rünger, 2016).
Tahapan terakhir dalam menghadapi kecemasan yaitu menemukan solusi
(coping) dengan bentuk pertahanan diri seperti rasionalisasi. Rasionalisasi tidak
dimaksudkan agar tindakan yang tidak masuk akal dijadikan masuk akal, akan
tetapi merasionalkan. Rasionalisasi tidak dimaksudkan untuk ‘membujuk’ atau
memanipulasi orang lain, melainkan ‘membujuk’ dirinya sendiri agar dapat
menerima keterbatasan diri sendiri. Sebagai contoh, seorang pegawai yang pada
masa pandemi ini melakukan kerja dari rumah (work from home) akan
24
melakukan rasionalisasi bahwa memiliki kinerja yang kurang optimal. Bekerja di
rumah di masa pandemi bukan sekedar pindah ruang kerja. Rasionalisasi ini
bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri, sebagai upaya menjaga
kesehatan mental diri sehingga tidak menimbulkan frustasi, rasa bersalah, dan
perasaan tidak berdaya.
Proses Seorang Individu Mengatasi Kecemasan terhadap Ancaman Virus COVID-
19.

25
BAB III
PEMBAHASAN

Penyakit virus corona 2019 (corona virus disease/COVID 19) merupakan sebuah
nama baru yang diberikan oleh World Health Organization (WHO) bagi pasien dengan
infeksi virus Novel Corona 2019 yang pertama kali dilaporkan dari Kota Wuhan, Cina
pada Akhir 2019 dimana penyebaran terjadi secara cepat dan membuat ancaman
pandemi baru (Handayani et al., 2019). Coronavirus Disease 2019 (COVID 19)
merupakan jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus
penyebab COVID 19 ini dinamakan Sars-CoV-2 yang mana hewan yang menjadi
sumber penularan COVID 19 ini masih belum diketahui.
Di Indonesia sampai dengan tanggal 11 Nopember 2020 dilaporkan total kasus
terkonfirmasi positif COVID 19 sebanyak 448.118 dengan 14.836 kematian yang
dilaporkan (CFR 3,3%). Besarnya tingkat kematian tidak hanya menimbulkan gejala dan
penyakit fisik saja akan tetapi berpengaruh besar terhadap kesejahteraan yang
didalamnya mencakup kesehatan mental kemudian ditambah dengan kebijakan
pemerintah berupa pshysical distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
untuk menanggulangi COVID 19 ini bagi sebagian orang menimbulkan dampak negatif
seperti cemas, tertekan hingga mengalami stres. Tekanan selama pandemik global telah
menyebabkan beberapa gangguan seperti ketakutan dan kecemasan, perubahan pola
tidur dan pola makan, rasa tertekan dan sulit berkonsentrasi, bosan, stres karena terus
menerus berada dirumah serta munculnya gangguan psikomatis (Ilpaj & Nurwati, 2020).
Ketakutan, kekhawatiran dan stress adalah respons normal terhadap ancaman yang
dirasakan atau nyata dan pada saat dihadapkan pada ketidakpastian atau yang tidak
diketahui (WHO, 2020c). Pandemi COVID 19 merupakan bencanan non alam yang
dapat memberikan dampak pada kondisi kesehatan jiwa dan psikososial (Kemenkes RI,
2020a).
Pada masa pandemi COVID 19 respon umum dari masyarakat yang terdampak
baik secara langsung atau tidak langsung adalah takut sakit dan meninggal, tidak mau
datang ke fasilitas layanan kesehatan karena takut tertular saat dirawat, takut
kehilangan mata pencaharian karena tidak dapat bekerja selama isolasi dan dikeluarkan
dari pekerjaan, takut diasingkan masyarakat/dikarantina karena dikaitkaitkan dengan
penyakit, merasa tidak berdaya untuk melindungi keluarga dan takut kehilangan karena
virus yang menyebar, takut terpisah dengan keluarga karena aturan karantina, menolak
26
untuk mengurusi anak kecil yang sendirian atau terpisah, penyadang disabilitas atau
orang berusia lanjut karena takut infeksi, merasa tidak berdaya, bosan, kesepian dan
depresi (Committee, 2020).
Reaksi kecemasan akan berbeda pada setiap individu. Untuk sebagian orang reaksi
kecemasan tidak selalu diiringi oleh reaksi fisiologis. Namun pada orang-orang tertentu,
kompleksitas respons dalam kecemasan dapat melibatkan reaksi fisiologis sesaat
seperti detak jantung menjadi lebih cepat, berkeringat, sakit perut, sakit kepala, gatal-
gatal dan gejala lainnya. Setelah seseorang mulai merasakan kecemasan maka sistem
petahanan diri selanjutnya akan menilai kembali ancaman diiringi dengan usaha untuk
mengatasi, mengurangi atau menghilangkan perasaan terancam tersebut. Sesesorang
dapat menggunakan pertahanan diri (defence mechanism) dengan meningkatkan
aktifitas kognisi atau motorik. Pada dasarnya mengelola kecemasan agar tetap pada
tingkatan yang proporsional, merupakan hasil dari proses penilaian (perception of
situation) yang terjadi berulang kali. Proses penilaian dapat berubah seiring seseorang
terpapar oleh informasi.
WHO dan public health authorities membuat rangkaian pesan yang dapat
digunakan dalam komunikasi untuk mendukung mental dan kesejahteraan psikososial
selama pandemo COVID 19.
1. Pesan untuk masyarakat umum, meliputi
a. saat merujuk pada orang dengan COVID 19 jangan melekatkan penyakit
tersebut pada etnis tertentu atau kebangsaan, berempati kepada semua
orang yang terpengaruh karena mereka berhak mendapatkan dukungan,
kasih sayang dan kebaikan,
b. Jangan menyebut orang dengan penyakit sebagai kasus COVID 19, korban,
keluarga COVID 19 atau yang sakit, orang yang mengidap COVID 19, orang
yang dirawat COVID 19 dan setelah pulih dari COVID 19 penting untuk
memiahkan seseorang dari memiliki identitas COVID 19 untuk mengurangi
stigma,
c. Kurangi menonton, membaca atau mendengarkan berita tentang COVID 19
yang membuat kecemasan atau tertekan, mencari informasi hanya dari
sumber terpercaya karena fakta dapat membantu meminimalkan ketakutan,
d. Lindungi diri dan bersikap supportif kepada orang lain, bekerja sama sebagai
satu kesatuan komunitas dapat membantu menciptakan solidaritas dalam
menangani COVID 19 bersama-sama,
e. Menemukan peluang untuk memperkuat cerita positif dan penuh harapan
serta citra positif dari seseorang yang pernah mengalami COVID 19,

27
f. Hormatilah penjaga dan petugas kesehatan yang merawat pasien COVID 19
dan akui peran mereka dalam menyelamatkan nyawa (WHO, 2020d).
2. Pesan untuk petugas kesehatan, meliputi
a. Mengelola mental dan psikososial selama ini sama pentingnya dengan
mengelola fisik,
b. Gunakan strategi penaggulangan yang membantu seperti memastikan
kecukupan istirahat dan istirahat selama bekerja atau diantara shift, makan
makanan yang cukup dan sehat, terlibat dalam aktivitas fisik dan tetap
berhubungan dengan keluarga dan teman, hindari menggunakan strategi
koping yang tidak membantu seperti penggunaan tembakau, alkohol atau
obat lain yang dapat memperburuk mental dan fisik,
c. Beberapa petugas kesehatan mungkin mengalami penghindaran oleh
keluarga atau komunitas karena stigma atau ketakutan, jika memungkinkan
tetap terhubung dengan orang sekitar termasuk melalui metode digital untuk
mempertahankan kontak,
d. Gunakan cara yang dapat dimengerti untuk berbagi pesan dengan orang
yang kompeten sevara intelektual, kognitif dan orang yang mengalami
disabilitas psikososial,
e. Mengetahui bagaimana memberikan dukungan kepada orang yang terkena
COVID 19 dengan sumber daya yang tersedia dan ini sangat penting bagi
mereka yang membutuhkan kesehatan mental dan dukungan psikososial.
Stigma yang terkait dengan masalah kesehatan mental dapat menyebabkan
keenganan untuk melakukan atau mencari dukungan untuk COVID 19 dan
kondisi kesehatan mental (WHO, 2020d).
3. Jika kecemasan berubah menjadi ketakutan, perasaan tidak berdaya, panik
maka kendalikan kecemasan dengan cara:
a. Jangan coba menangkal perasaan cemas; menangkal perasaan cemas tidak
akan membantu mengelola stres, semakin tidak menerima kecemasan maka
semakin banyak kecemasan,
b. Jangan hanya fokus pada informasi negatif; pikiran cemas cenderung berasal
dari informasi negatif,
c. Batasi koneksi dengan media sosial; bergantung pada media sosial sebagai
sumber informasi tentang COVID 19 akan meningkatkan kecemasan
sebaiknya masyarakat menerima informasi dari kementerian masyarakat,
WHO atau ahli epidemiologi kesehatan masyarakat yang terpercaya,

28
d. Tetap aktif bergerak; berolahraga atau bermeditasi dapat melawan beberapa
gejala fisiologis dari kecemasan,
e. Makan makanan seimbang dan tidur tepat waktu; berusaha menjaga pola
tidur akan benar-benar meningkatkan kemampuan tubuh untuk mengatasi
stress.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Coronavirus disease 2019 atau disebut juga COVID-19 saat ini menjadi
pandemi hampir di seluruh negara di dunia. Wabah pandemi ini memiliki
dampak negatif pada kesehatan fisik dan psikologis individu dan masyarakat
(Banerjee, 2020; Brooke dkk., 2020; Zhang dkk., 2020). Menurut Brooks dkk.
(2020), dampak psikologis selama pandemi diantaranya gangguan stres
pascatrauma (post-traumatic stress disorder), kebingungan, kegelisahan,
frustrasi, ketakutan akan infeksi, insomnia dan merasa tidak berdaya. Bahkan
beberapa psikiatris dan psikolog mencatat hampir semua jenis gangguan
mental ringan hingga berat dapat terjadi dalam kondisi pandemik ini. Bahkan
kasus xenofobia1 dan kasus bunuh diri karena ketakutan terinfeksi virus
sudah mulai bermunculan.
Tahapan terakhir dalam menghadapi kecemasan yaitu menemukan solusi
(coping) dengan bentuk pertahanan diri seperti rasionalisasi. Rasionalisasi
tidak dimaksudkan agar tindakan yang tidak masuk akal dijadikan masuk akal,
akan tetapi merasionalkan. Rasionalisasi tidak dimaksudkan untuk ‘membujuk’
atau memanipulasi orang lain, melainkan ‘membujuk’ dirinya sendiri agar
dapat menerima keterbatasan diri sendiri.

B. Saran
1. Bagi masyarakat umum
a. saat merujuk pada orang dengan COVID 19 jangan melekatkan penyakit
tersebut pada etnis tertentu atau kebangsaan, berempati kepada semua
orang yang terpengaruh karena mereka berhak mendapatkan dukungan,
kasih sayang dan kebaikan,
b. Jangan menyebut orang dengan penyakit sebagai kasus COVID 19,
korban, keluarga COVID 19 atau yang sakit, orang yang mengidap
COVID 19, orang yang dirawat COVID 19 dan setelah pulih dari COVID
19 penting untuk memiahkan seseorang dari memiliki identitas COVID 19
untuk mengurangi stigma,
29
c. Kurangi menonton, membaca atau mendengarkan berita tentang COVID
19 yang membuat kecemasan atau tertekan, mencari informasi hanya
dari sumber terpercaya karena fakta dapat membantu meminimalkan
ketakutan,
d. Lindungi diri dan bersikap supportif kepada orang lain, bekerja sama
sebagai satu kesatuan komunitas dapat membantu menciptakan
solidaritas dalam menangani COVID 19 bersama-sama,
e. Menemukan peluang untuk memperkuat cerita positif dan penuh harapan
serta citra positif dari seseorang yang pernah mengalami COVID 19,
f. Hormatilah penjaga dan petugas kesehatan yang merawat pasien COVID
19 dan akui peran mereka dalam menyelamatkan nyawa (WHO, 2020d).
2. Bagi petugas kesehatan
a. Mengelola mental dan psikososial selama ini sama pentingnya
dengan mengelola fisik,
b. Gunakan strategi penaggulangan yang membantu seperti
memastikan kecukupan istirahat dan istirahat selama bekerja atau
diantara shift, makan makanan yang cukup dan sehat, terlibat dalam
aktivitas fisik dan tetap berhubungan dengan keluarga dan teman,
hindari menggunakan strategi koping yang tidak membantu seperti
penggunaan tembakau, alkohol atau obat lain yang dapat
memperburuk mental dan fisik,
c. Beberapa petugas kesehatan mungkin mengalami penghindaran oleh
keluarga atau komunitas karena stigma atau ketakutan, jika
memungkinkan tetap terhubung dengan orang sekitar termasuk
melalui metode digital untuk mempertahankan kontak,
d. Gunakan cara yang dapat dimengerti untuk berbagi pesan dengan
orang yang kompeten sevara intelektual, kognitif dan orang yang
mengalami disabilitas psikososial,
e. Mengetahui bagaimana memberikan dukungan kepada orang yang
terkena COVID 19 dengan sumber daya yang tersedia dan ini sangat
penting bagi mereka yang membutuhkan kesehatan mental dan
dukungan psikososial. Stigma yang terkait dengan masalah
kesehatan mental dapat menyebabkan keenganan untuk melakukan
atau mencari dukungan untuk COVID 19 dan kondisi kesehatan
mental (WHO, 2020).

30
Daftar Pustaka

Committee, I. S. (2020). Catatan tentang aspek kesehatan jiwa dan psikososial wabah.
Feb, 1–20.
Handayani, D., Hadi, D. R., Isbaniyah, F., Burhan, E., & Agustin, H. (2019). Penyakit
Virus Corona 2019. 40(2),128.
Ilpaj, S. M., & Nurwati, N. (2020). Analisis Pengaruh Tingkat Kematian COVID 19
terhadap Kesehatan Mental Masyarakat di Indonesia. 3, 16–28.
Kemenkes RI. (2020a). Pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada
Pandemi COVID 19.
Kemenkes RI. (2020b). Pedoman pencegahan dan pengendalian coronavirus disease
(covid-19) revisi ke-4. Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Sub
Direktorat Penyakit Infeksi Emerging.
WHO. (2020a). Clinical Management of COVID 19 Interim Guidance 27 May 2020.
https://www.who.int/publications/i/item/clinical-management-of-covid-19
WHO. (2020b). Looking After your Physical & Mental Health during COVID-19.
https://www.who.int/campaigns/connecting-the-world-to-
combatcoronavirus/healthyathome?
gclid=Cj0KCQiAwMP9BRCzARIsAPWTJ_GbOo8FTWvIGuGUQ3v8VI3MoWiRjEdj
69yRUYnvVoXY327JTWQFEPMaAtNnEALw_wcB
WHO. (2020c). Mental health & COVID-19. https://www.who.int/teams/mentalhealth-
and-substance-use/covid-19
WHO. (2020d). Mental health and psychosocial considerations during the COVID-19
outbreak (Issue March).

31

Anda mungkin juga menyukai