Anda di halaman 1dari 6

TUGAS MATA KULIAH BFK

Aplikasi Biofarmasetika dalam Desain Produk Obat

Disusun oleh :
Kelompok T4 - 7
1. Fordiana Eka Puspitasari (24185595A)
2. Fauzia Rahmani (24185597A)
3. Melaningsih (24185600A)
4. Astatin Ardhiasari (24185602A)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika adalah
suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi
tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian obat secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen
secara in vivo, suatu obat harus memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi
(Bethlehem, 2011).
Tujuan dari BCS adalah (Reddy dkk., 2011) :
1. Untuk meningkatkan efisiensi pengembangan obat dan proses peninjauan dengan
merekomendasikan strategi untuk mengidentifikasi uji bioekivalensi.
2. Untuk merekomendasikan kelas pelepasan cepat dari bentuk sediaan padat oral yang
secara bioekivalensi dapat dinilai berdasarkan uji disolusi in vitro.
3. Untuk merekomendasikan suatu metode untuk klasifikasi yang sesuai dengan disolusi
bentuk sediaan dengan karakteristik kelarutan dan permeabilitas produk obat.
BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika
diklasifikasikan menjadi empat kelas, diantaranya adalah :
a) Kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi) Misalnya Metoprolol, Diltiazem,
Verapamil, Propranolol. Obat kelas I menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi
yang tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan
sebagai produk dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya melebihi pengosongan
lambung.
b) Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah) Misalnya Fenitoin, Danazol,
Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat kelas II memiliki daya serap yang tinggi
tetapi laju disolusi rendah. Dalam disolusi obat secara in vivo maka tingkat penyerapan
terbatas kecuali dalam jumlah dosis yang sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II
biasanya lebih lambat daripada kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang lama.
Korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat kelas I dan kelas II.
c) Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi) Misalnya Simetidin, Acyclovir,
Neomycin B, Captopril. Permeabilitas obat berpengaruh pada tingkat penyerapan obat,
namun obat ini mempunyai laju disolusi sangat cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang
tinggi dalam tingkat penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi ini
disebabkan perubahan permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk sediaan
tersebut. Jika formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu durasi pencernaan,
maka kriteria kelas I dapat diterapkan (Reddy dkk., 2011).
d) Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah) Misalnya taxol, hydroclorthiaziade,
furosemid. Senyawa ini memiliki bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak
diserap dengan baik dalam mukosa usus. Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi
tetapi sekali didisolusi, sering menunjukkan permeabilitas yang terbatas di mukosa GI.
Obat ini cenderung sangat sulit untuk diformulasikan (Wagh dkk., 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi BCS diantaranya adalah :
1. Laju disolusi
Dalam pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak kurang dari
85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit, menurut US
Pharmacopeia (USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50 rpm)
dalam volume 900 ml atau kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau cairan lambung
buatan tanpa enzim, larutan buffer pH 4,5, larutan buffer pH 6,8 atau cairan usus buatan
tanpa enzim (Wagh dkk., 2010).
2. Kelarutan
Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan kelarutan suatu
obat dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap pH suatu obat uji harus
ditentukan pada 37 ± 1oC dalam media air dengan rentang pH 1-7,5. Kondisi pH untuk
penentuan kelarutan dapat didasarkan pada karakteristik ionisasi obat uji. Misalnya,
ketika pKa obat berada di kisaran 3-5, kelarutan harus ditentukan pada pH = pKa, pH =
pKa +1, pH = pKa-1, dan pada pH = 1 dan 7,5. Minimal dilakukan tiga kali percobaan.
Larutan buffer standar yang dijelaskan dalam USP dapat digunakan dalam studi
kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok untuk alasan fisik atau kimia, larutan penyangga
lainnya dapat digunakan. PH larutan harus diverifikasi setelah penambahan obat untuk
buffer (Wagh dkk., 2010).
3. Permeabilitas
Permeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat pada manusia
atau tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa melintasi membran usus
manusia. Suatu obat dikatakan sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia
adalah 90% atau lebih dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa
atau dibandingkan dengan dosis pembanding intravena (Reddy dkk., 2011).
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN

BAB III
PEMBAHASAN

BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Bethlehem. (2011). Biopharmaceutical Classification System and Formulation Development.


Technical Brief 2011 Volume 9.
Sutriyo., Rachmat, Hasan., & Rosalina, Mita. (2007). Pengembangan Sediaan dengan Pelepasan
Dimodifikasi Mengandung Furosemid sebagai Model zat aktif Menggunakan Sistem
Mukoadhesif. Majalah Ilmu Kefarmasian, 5(1), 1-8.
Reddy, Kumar., & Karunakar. (2011). Biopharmaceutics Classification System: A Regulatory
Approach. Dissolution Technologies, 31-37.
Wagh P., Millind., & Patel, Jatis. (2010). Biopharmaceutical Classification System: Scientific
Basis for Biowaiver Extensions. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical sciences,
2(1), 12-19.
Dash, Vikash., & Kesari, Asha. (2011). Role of Biopharmaceutical Classification System In
Drug Development Program. Journal of Current Pharmaceutical, 5 (1), 28-31.

Anda mungkin juga menyukai