Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Banyak istilah yang dipakai dalam menyatakan suatu trauma atau cedera pada
kepala di Indonesia. Beberapa Rumah Sakit ada yang memakai istilah cedera
kepala dan cedera otak sebagai suatu diagnosis medis untuk suatu trauma
pada kepala, walaupun secara harfiah ke dua istilah tersebut sama karena
memakai gradasi responds Glaso Coma Scale (GCS) sebagai tingkat
gangguan yang terjadi akibat suatu cedera di kepala. Dalam melaksanakan
asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan akibat trauma yang
mencederai kepala, maka perawat perlu mengenal neuruanatomi,
neurofisiologi, neuropatofisiologi dengan baik agar kelainan dari masalah
yang dikeluhkan atau kelainan dari pengkajian fisik yang didapat bias
sekomprehensif mungkin ditanggapi perawat yang melakukan asuhan pada
klien dengan cedera kepala.

Cedera kepala meliputi trauma kepala, tengkorak, dan otak. Secara anatomis
otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan
tentorium atau helem yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak
akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu,
sekali neuron rusak tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Efek-efek ini harus
dihindaridan ditemukan secepatnya oleh perawat untuk menghindari
rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik, bahkan
kematian. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologis yang paling
serius diantara penyakit neurologis, dan merupakan proporsi epidemic
sebagai hasil kecelakaan jalan raya.

Diperkirakan 2/3 korban dari kasus ini berusia dibawah 30 tahun dengan
jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua

1
klien cedera kepala berat mempunyai signifikan cedera terhadap bagian tubuh
lainnya. Adanya syok hipovolemik pada klien cedera kepala biasanya karena
cedera pada bagian tubuh lainnya. Resiko utama klien yang mengalami
cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan
otak sebagai responds terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan
tekanan intracranial.

1.2 TUJUAN PENULISAN


1.2.1 Tujuan Umum
Setelah membahas tentang  “Asuhan Keperawatan Pada Klien  Cedera
Kepala” mahasiswa mampu memahami “Asuhan Keperawatan Pada
Klien Cedera Kepala”.
1.2.2 Tujuan Khusus
Setelah membahas tentang “Asuhan Keperawatan Cedera Kepala”
mahasiswa mampu :
1.2.2.1 Memahami dan menjelaskan Konsep Penyakit Cedera Kepala.
1.2.2.2 Memahami dan menjelaskan Asuhan Keperawatan Cedera
Kepala.
1.2.2.3 Memahami dan menjelaskan Asuhan Keperawatan Sesuai
Kasus.

1.3 METODE PENULISAN


Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode deskriptif, yang
diperoleh dari literature dari berbagai media baik buku maupun internet yang
disajikan dalam bentuk makalah.

1.4 SISTEMATIKA PENULISAN


Sistematika dalam penulisan makalah ini adalah :
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Tujuan, Metode, dan
Sistematika Penulisan.

2
BAB II : Terdiri dari Konsep Penyakit Cedera Kepala, Asuhan Keperawatan
Cedera Kepala, Kasus Cedera Kepala.
BAB III : Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.

3
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 KONSEP DASAR CEDERA KEPALA


2.1.1 Definisi
Cedera kepala merupakan proses diman terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan
otak, (Grace. P.A & Borley. N.R, 2006). Trauma atau cedera kepala
adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi normal otak
karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan
pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar
jaringan otak, (Fransisca. B, 2008). Cedera kepala atau cedera otak
merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai
atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak tanpa di
ikuti terputusnya kontinuitas otak, (Muttaqin. A, 2008).
Berdasarkan Glassgow Coma Scale (GCS) cedera kepala atau otak
dapat di bagi menjadi 3 gradasi :
2.1.1.1 Cedera kepala ringan (CKR) = GCS 13-15
2.1.1.2 Cedera kepala sedang (CKS) = GCS 9-12
2.1.1.3 Cedera kepala berat (CKB) = GCS ≤ 8

2.1.2 Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala
meliputi trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan
otak, efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan efek
percepatan dan perlambatan (ekselerasi-deselarasi) pada otak. Macam-
macam Pendarahan pada Otak
2.1.2.1 Intraserebral hematoma (ICH)
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada
jaringan otak biasanya akibat sobekan pembuluh darah yang

4
ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya
penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi,
pemeriksaan CT scan didapatkan adanya daerah hiperdens
yang diindikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih
dari 3 cm, perifer, adanya pergerakan garis tengah, dan secara
klinis hematoma tersebut dapat menyebabkan ganguan
neurologis /lateralisasi. Operasi yang dilakukan biaSanya
adalah evakuasi hematoma disertai dekompresi dari tulang
kepala.
2.1.2.2 Subdural hematoma (SDH)
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara dura
mater dan jaringan otak, dapat terjadi akut kronis. Terjadi
akibat pecahan pembuluh darah vena/jematan vena yang
biasanya terdapat diantara dura mater, perdarahan lambat dan
sedikit. Pengertian lain dari subdural hematoma adalah
hematoma yang terletak dibawah lapisan dura mater dengan
sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling
sering), A/V cortical, sinus venosus duralis.
Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural
hematoma dibagi menjadi tiga meliputi subdural hematoma
akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, subdural
hematoma subakut terjadi antara 3 hari-3 minggu, dan subdural
hematoma kronis jika peardarahan terjadi lebih dari 3 minggu.
Secara klinis subdural hematoma akut ditandai dengan adanya
penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yanag paling
sering berupa hemiparere/hemiplegia dan pemeriksaan CT
scan didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit
(cresent). 
Indikasi operasi, menurut Europe Brain Injury Commition
(EBIC), pada perdarahan subdural adalah jika perdarahan lebih
dari 1 cm. Jika terdapat pergesaran garis tengah labih dari 5

5
mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma,
menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebi
biasanya tulang tidak dikemalikan (dekompresi) dan disimpan
sugalea. Prognosis dari klien SDH ditentukan dari GCS awal
saat operasi, lamanya klien datang sampai dilakukan operasi,
lesi penyerta dijaringan otak, serta usia klien pada klien dengan
GCS kurang dari 8 prognosisnya 50%, semakin rendah GCS
maka semakin jelek prognosisnya. Semakin tua klien maka
semakin jelek prognosisnya. Adanya lesi lain akan
memperjelek prognosisnya. Gejala dari subdural hematoma
meliputi keluhan nyeri kepala, bingung,mengantuk, menarik
diri, perubahan proses pikir (berpikir lambat), kejang, dan
edema pupil.
2.1.2.3 Epidural hematoma (EDH)
Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara
duramater dan tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah
sobeknya arteri meningica media(paling sering), vena diploica
(oleh karena adanya fraktur kalvaria), vena emmisaria, sinus
venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan penurunan
kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara
tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yanag dapat
berupa hemiparese/hemiplegia, pupil anisokor, adanya refleks
patologis satu sisi, adanya lateralisasi dan jejas pada kepala
menunjukan lokasi dari EDH. Pupil anisokor /dilatasi dan jejas
pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan
hemiparese/hemiplegia letaknya kontralateral dengan lokasi
EDH. Lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya
EDH karena dapat terjadi pada perdarahan intrakranial yang
lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari
prognosisnya. Semakin panjang lucid interval maka semakin
baik prognosisnya klien EDH (karena otak mempunyai

6
kesempatan untuk melakukan kompensasi). Nyeri kepala yang
hebat dan menetap tidak hilang pemberian analgetik. 
Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran area
hiperdens dengan bentuk bikonveks di antara 2 sutura,
gambaran adanya perdarahan volumenya lebih dari 20 cc atau
lebih dari 1 cm atau dengan pergeseran garis tengah (midline
shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi
hematoma, menghentikan sumber perdarahan sedangkan
tulang kepala dapat dikemangkan. Jika saat operasi tidak
didapatkan adanaya edema serebri sebaliknya tulang tidak
dikembangkan jika saat operasi didapatkan dura mater yang
tegang dan dapat disimpan subgalea. 

2.1.3 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa ganguan kesadaran,
konfusi, abnormalitas pupil, serangan (onset) tiba-tiba berupa deposit
neorologis, perubahan tanda vital, ganguan penglihatan, disfungsi
sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo(pusing), ganguan
pergerakan, kejang, dan syok akibat cidera multi system. 

2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer
dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya
fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan
bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun
kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada
kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan
tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas
akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama
kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan

7
pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang
menderita cedera kepala traumatik berat.
2.1.4.1 Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera
primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas
akson difus). Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang
diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat
kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi
kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak
kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak,
perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabut saraf
dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
2.1.4.2 Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma
menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab
sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik,
hipoksia (kekurangan O2 dlm jaringan) dan hipotensi
merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi
menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan
terjadinya iskemi (defisiensi darah suatu bagian) dan infark
otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan
berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan
aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal,
pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas.
Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan
gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian
belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan
pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya
baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan
lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada

8
sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan
timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera
kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus.
Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi
hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema
paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan
klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya
disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah
belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan
melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga
keseimbangannya menjadi negatif.
Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan
keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat didalam batang otak. Batang otak
dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau
sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks
medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena
penekanan oleh herniasi unkus. Gejala-gejala yang dapat
timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal
dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi
pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan
tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku
dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak
dengan korteks serebri terputus.

9
2.1.5 Pathway

Gangguan pola nafas

10
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera
kepala meliputi:
2.1.6.1 CT scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan,
ventrikuler, dan perubahan jaringan otak
2.1.6.2 MRI 
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio
aktif
2.1.6.3 Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan
jaringan otak skundre menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
2.1.6.4 Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
2.1.6.5 Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan/edema) fragmen tulang
2.1.6.6 BAER
Mengeroksi batas fungsi korteks dan otak kecil 
2.1.6.7 PET
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
2.1.6.8 CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid
2.1.6.9 Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan intracranial 
2.1.6.10 Screen toxicology

11
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan
penurunan kesadaran 
2.1.6.11 Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area
pleural.
2.1.6.12 Toraksentesis menyatakan darah/cairan
2.1.6.13 Analisa Gas Darah (AGD/astrup)
Analisa gas darah (AGD/astrup) adalah salah satu tes
diaknostik untuk menentukan status status respirasi. Status
respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini
adalah status oksigenisasi dan status asam basa

2.1.7 Komplikasi
Komplikasi akibat cedera kepala yaitu tumor otak

2.1.8 Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi  ABC (airway, breathing, circulation) dan
menilai status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus
diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia  serebri yang terjadi.
Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa
sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan
oksigen dan glukosa yang lebih rendah. Selain itu perlu dikontrol
kemungkinan intrakranial yang meninggi disebabkan oleh edema
serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi
usaha untuk menurunkan tekanan intracranial, ini dapat dilakukan
dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang
mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolism
intraserebral.
Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakni dengan intubasi
endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat  intermitten, iatrogenic

12
paradisis. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien-klien yang
koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC
dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan
kraanial. Penatalaksanaan konservatif meliputi:
2.1.8.1 Bedrest total
2.1.8.2 Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
2.1.8.3 Pemberian obat-obatan 
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya traughma 
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), berat untuk
mengurangi vasodilatasi.
c. Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu
manitol 20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%. 
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (panisillin)
atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
2.1.8.4 Makanan atau cairan
Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan
apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%, aminofusin, aminopel
(18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.
2.1.8.5 Pada trauma berat
Karena hari-hari pertama didapat klien mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit
maka hari-hari pertama(2-3 hari) tidak perlu banyak cairan.
Dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrose 8 jam kedua, dan
dextrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadran
rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube
(25000-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai
urenitrogennya. 

2.2 ASUHAN KEPERAWATAN PADA CEDERA KEPALA

13
2.2.1 Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada cedera
kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya
komplikasi pada organ vital lainnya.
2.2.1.1 Anamnesis
Keluhan utama yang sering  menjadi alasan klien untuk
meminta pertolongan kesehatan tergantung seberapa jauh
dampak trauma kepala yang di sertai dengan penurunan
tinngkat kesadaran.
2.2.1.2 Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat KLL,
jatuh dari dari ketinggian dan trauma langsung kekepala.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadarn di
hubungkan dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan
perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan
penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif dan koma.
2.2.1.3 Riwayat penyakit terdahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, DM, penyakit
jantung anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol yang
berlebihan.
2.2.1.4 Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita
hipertensi dan DM.
2.2.1.5 Pengkajian Psiko-Sosio-Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk
menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan perubahan peran klien dalam keluarga serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari.
2.2.1.6 Pola fungsi kesehatan (11 pola Gordon)

14
a. Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan
Bila mengalami sakit biasanya klien berobat ke Puskesmas
atau bidan. Bila sakit ringan seperti masuk angin kadang –
kadang klien membuat jamu sendiri. Klien tidak pernah
berobat ke dukun atau pengobatan alternatif lainnya. Klien
mengatakan kesehatan adalah hal yang penting dan ingin
cepat sembuh agar bisa bekerja lagi.
b. Pola Nutrisi/metabolic
Sebelum MRS klien biasa makan 3 kali sehari, minum 6-8
gelas sehari.Sejak MRS klien mengatakan tidak bisa makan
dan minum karena mual-mual dan muntah. Sejak kecelakaan
sampai sekarang, klien sudah muntah 4 kali berisi sisa
makanan, darah (-). Siang ini klien sempat makan bubur 3
sendok tetapi berhenti karena mual muntah. Minum dari tadi
pagi ± 100 cc air putih.
c. Pola eliminasi
Sebelum MRS klien biasa BAB 1 kali sehari, BAK 7 – 8
kali sehari ( ± 1200-1500 cc). Sejak MRS di Ruang Ratna
klien sudah BAK 2 kali dengan jumlah ± 200 cc setiap kali
BAK menggunakan pispot di atas tempat tidur. Sejak MRS
klien belum BAB.
d. Pola aktivitas dan latihan
Kemampuan perawatan diri    0    1    2    3    4
Makan/minum        
Mandi     
Toileting
Berpakaian
Mobilisasi di tempat tidur 
Berpindah
Ambulasi ROM

15
Nilai. 0: mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3:
dibantu orang lain dan alat, 4: tergantung total.
e. Pola tidur dan istirahat
Sebelum MRS klien biasa tidur 6-7 jam sehari dan tidak
biasa tidur siang. Setelah MRS klien mengatakan sering
terbangun karena mual dan sakit kepala serta situasi rumah
sakit yang ramai.
f. Pola kognitif-perseptual
Klien mampu berkomunikasi dengan suara yang pelan tetapi
jelas. Klien mengatakan penglihatan cukup jelas tetapi tidak
bisa membuka mata lama-lama karena masih mengeluh
pusingdan mual. Klien mengeluh telinga kiri terasa penuh
berisi cairan sehingga pendengaran agak terganggu. Tampak
otore keluar dari telinga kiri. Klien juga mengeluh sakit
kepala seperti berdenyut-denyut terutama di bagian kanan
dan kadang-kadang disertai pusing-pusing. Klien tampak
meringis terutama saat bergerak. Skala nyeri 4-5 (sedang).
g. Pola persepsi diri/konsep diri
Klien mampu menyebutkan identitas diri dan orang di
sebelahnya.
h. Pola seksual dan reproduksi
Klien sudah tiga tahun menikah tetapi belum dikaruniai
anak. Menstruasi teratur setiap 28 -30 hari sekali. Klien
tidak memakai alat kontrasepsi.
i. Pola peran-hubungan
Saat ini klien ditunggu oleh suaminya dan hubungan mereka
terlihat baik. Keluarga besar klien ada di Jawa. Di Bali klien
punya beberapa famili dan teman-teman yang sudah datang
menjenguk klien tadi pagi.
j. Pola manajemen koping stress

16
Bila mempunyai masalah klien mengatakan biasa bercerita
dan minta pendapat dari suami dan teman-teman. Suami
mengatakan klien cukup terbuka terhadap masalah yang
dialaminya.
k. Pola keyakinan-nilai
Klien dan suami beragama Islam dan biasa sholat setiap
hari. Setelah MRS klien hanya berdoa dari tempat tidur.
2.2.1.7 Pemeriksaan fisik
Setelah melkukan anamnesis yang mengarah pada keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data
dari pengkajian anamnesis. 
2.2.1.8 Keadaan umum
Pada pasien yang mengalami cedera kepala umumnya
mengalami penurunan kesadaran CKR atau COR dengan GCS
13-15, CKS dengan GCS 9-12, CKB dengan GCS ≤ 8.

2.2.2 Diagnosa dan Intervensi


2.2.2.4 Gangguan perfusi jaringan cerebral b.d peningkatan
intracranial ditandai dengan:
a. Data Subjektif:
Mengatakan kejang
b. Data Objektif:
1) Perubahan tingkat kesadaran
2) Gangguan atau kehilangan memori
3) Defisit sensori
4) Perubahan tanda vital
5) Perubahan pola istirahat
6) Retensi urine
7) Gangguan berkemih
8) Nyeri akut atau kronis
9) Demam

17
10) Mual , muntah
c. Intervensi 
1) Ubah posisi klien secara bertahap 
Rasional    : Klien dengan paraplegia beresiko menglami
luka tekan (dekubitus). Perubahan posisi setiap 2 jam
atau sesuai respons klien mencegah terjadinya luka
tekan akibat tekanan yang lama karena jaringan tersebut
akan kekurangan nutrisi dan oksigen dibawa oleh darah.
2) Jaga suasana tenang
Rasional    : Suasana tenang akan memberikan rasa
nyama pda klien dan mencegah ketegangan
3) Kurangi cahaya ruangan
Rasional    : Cahaya merupakan salah satu rangsangan
yang beresiko terhadap peningkatan TIK
2.2.2.5 Resiko tinggi peningkatan tekanan intracranial b.d desak ruang
sekunder dari kompresi korteks cerebri ditandai dengan
a. Data Subjektif :
b. Data Objektif :
1) GCS 12 (blackout, post trepanasi)
2) TD : 67/42 mmHg
3) N : 76x / menit
4) Pupil anisocor
c. Intervensi
1) Kaji faktor penyebab dari situasi kemungkinan
penyebab peningkatan TIK
Rasional: deteksi dini untuk memprioritaskan
intervensi, mengkaji status neurologis untuk
menentukan perawatan kegawatan atau tindakan
pembedahan.
2) Memonitor TTV tiap 4 jam

18
Rasional : suatu keadaan normal bila sirkulasi cerebral
terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan
tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator 
kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi local
vaskularisasi darah cerebral.
3) Pertahankan kepala atau leher pada posisi yang netral,
usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan
bantal yang tinggi pada kepala.
Rasional: perubahan kepala pada satu sisi dapat
menimbulkan penekanan pada vena jigularis dan
menghambat aliran darah otak (menghambat drainase
pada vena cerebral) untuk itu dapat meningkatkan
tekanan intracranial.
2.2.2.6 Gangguan pola pernapasan b.d depresi pusat pernapasan
ditandai dengan
a. DS:
Kien mengatakan sulit bernapas dan sesak napas
b. DO : 
1) Gangguan visual
2) Penurunan karbondioksida
3) Takikardia
4) Tidak dapat istirhat
5) Somnolen
6) Irritabilitas
7) Hipoksia
8) Bingung
9) Dispnea
10) Perubahan warna kulit (pucat , sianosis)
11) Hipoksemia
c. Intervensi :

19
1) Berikan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian
kepala tempat tidur. Balik ke posisi yang sakit. Dorong
klien untuk duduk sebanyak mungkin.
Rasional: Meningkatkan inspirasi maksimal,
meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi
yang tidak sakit
2) Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi
pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.
Rasional: Distress pernapasan dan perubahan pada
tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi
dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok
sehubungan dengan hipoksia.
3)  Jelaskan pada klien tentang etiologi/ faktor pencetus
adanya sesak atau kolaps paru
Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana terapeutik
2.2.2.7 Kekurangan volume cairan yang b.d penurunan kesadaran dan
disfungsi hormonal ditandai dengan
a. DS :
b. DO: 
1) Perubahan turgor kulit
2) Perubahan tanda vital
3) Akral dingin
4) Penurunan BB mendadak 
5) Perubahan nilai metabolisme
c. Intervensi
1) Pantau keseimbangan cairan 
Rasioanal: Kerusakan otak dapat menghasilkan disfungsi
hormonal dan metabolic

20
2) Pemeriksaan serial elektrolit darah atau urine dan
osmolarital
Rasional: Hal ini dapat dihubungkan dengan gangguan
regulasi natrium. Retensi natrium dapat terjadi beberapa
hari, diikuti dengan dieresis natrium. Peningkatan
letargi, konfusi, dan kejang akibat ketidakseimbangan
elektrolit.
3) Evaluasi elektrolit
Rasional : Fungsi elektrolit dievaluasi dengan memantau
elektrolit, glukosa serum, serta intake dan output.
2.2.2.8 Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan
neurovascular yang di tandai dengan
a. DS :
b. DO :
1) Kelemahan
2) Parestesia
3) Paralisis
4) Ketidakmampuan
5) Kerusakan koordinasi
6) Keterbatasan rentang gerak
7) Penurunan kekuatan otot
c. Intervensi
1) Kaji fungsi motorik dan sensorik dengan mengobservasi
setiap ekstermitas
2) Rasional: Lobus frontal dan oxipital berisi saraf-saraf
yang mengatur fungsi motorik dan sensorik dan dapat
dipengaruhi oleh iskemia atau peningkatan tekanan
3) Ubah posisi klien tiap 2 jam
Rasional : Mencegah terjadinya luka tekan akibat tidur
terlalu lama pada satu posisi sehingga jaringan yang

21
tertekan akan kehilangan nutrisi yang dibawa darah
melalui oksigen.
4) Lakukan latihan secara teratur dan letakan telapak kaki
klien dilantai saat duduk dikursi atau papan penyangga
saat di tempat tidur.
Rasional: Mencegah deformitas dan komplikasi seperti
footdrop

2.3 KASUS CEDERA KEPALA


Tn.M berusia 17 tahun, beralamat di Jl.A.Yani, Martapura. Masuk RS tanggal
12 Juni 2013 pk. 17.30 WiTa akibat kecelakaan lalu lintas dengan keluhan
nyeri kepala setelah kecelakaan lalu lintas, pingsan, serta muntah. Keluhan
saat pengkajian: pusing dan mual muntah serta tampak terdapat luka pada
kepala sebelah kanan. Tanda-tanda vital : Nadi: 92 x/mnt, Temp: 36,80C,  RR:
20 x/mnt, TD: 100/70 mmHg. GCS = E: 4 V: 5 M: 4, (GCS=13)
2.3.1 PENGKAJIAN
2.3.1.1 Identitas Pasien
a. Nama                : Tn.M
b. Umur                : 17 tahun
c. Jenis kelamin            : Perempuan
d. Pendidikan            : SMA
e. Pekerjaan            : Pelajar
f. Status perkawinan  : Belum Kawin
g. Agama                : Islam
h. Suku                : Jawa
i. Alamat                : Jln A.Yani, Martapura
j. Tanggal masuk        : 12 Juni 2013 pk. 17.30 Wita
k. Tanggal pengkajian : 13 Juni 2013 pk  08.30 Wita

22
l. Penanggung jawab : Tn.M.N
2.3.1.2 Status Kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan utama
Saat MRS: nyeri kepala setelah kecelakaan lalu lintas
Saat pengkajian : pusing dan mual muntah
2) Alasan masuk Rumah Sakit dan perjalanan Penyakit saat
ini
Pasien datang ke IRD RSUD Ulin Banjarmasin dalam
keadaan sadar dengan keluhan nyeri kepala setelah
kecelakaan lalu lintas. Pasien sedang berjalan kaki
kemudian ditabrak motor dari samping, pasien jatuh
membentur aspal.
Riwayat pingsan (+), riwayat muntah (+), luka pada kepala
bagian kanan (+). Setelah dilakukan pemeriksaan, klien
dirawat di IGD RSUD Ulin Banjarmasin untuk observasi
selanjutnya.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya: Pasien
langsung dibawa ke IRD RSUD Ulin banjarmasin
b. Status Kesehatan Masa Lalu
1) Penyakit yang pernah dialami
Klien tidak pernah mengalami penyakit yang berat , hanya
flu dan demam biasa. Riwayat MRS (-). Riwayat DM (-),
sakit jantung (-), asma (-), hipertensi (-)
2) Alergi
Riwayat alergi terhadap makanan, obat dan benda lain (-)
3) Kebiasaan meroko/kopi/ alkohol/lain-lain yang merugikan
kesehatan)
Kebiasaan merokok (-), minum kopi (-), minum alkohol(-)
c. Pemeriksaan Fisik

23
1) TTV: Nadi : 92 x/mnt, Temp: 36,80C, RR: 20
x/mnt, TD:100/70 mmHg.
2) Tingkat Kesadaran: Composmentis, GCS : E ; 4, M ; 5, V:
4 = 13 (CKR)
3) Head To Toe
a) Kepala dan leher
(1) Inspeksi : luka robek yang sudah dihecting pada
regio parietal dextra (+) sepanjang 5 cm tanpa
perdarahan aktif dan lebar 0.5 cm, brill hematome
(-), battle sign (-), rhinore (-), tampak otore warna
kuning bercampur sedikit darah keluar dari telinga
kiri, jejas di daerah wajah dan leher (-), pupil
isokor dengan refleks +/+, anemis (-), deviasi
trakea (-)
(2) Palpasi  : cephal hematome pada regio parietal
dextra (+) dengan nyeri tekan (+), krepitasi (-)
b) Dada
(1) Inspeksi: gerak dada simetris, retraksi otot bantu
nafas (-), jejas (-)
(2) Palpasi : bentuk simetris, benjolan (-), krepitasi (-),
nyeri tekan (-)
(3) Perkusi   : Suara sonor, kanan kiri sama
(4) Auskultasi : Paru-paru :suara nafas vesikuler,
ronchi-/-, wheezing -/-, Jantung : S1 S2 tunggal
reguler, murmur (-). Payudara dan ketiak
Bentuk simetris, jejas (-), massa/benjolan (-)
c) Abdomen
Distensi (-), jejas (-), hepar tak teraba, bising usus kuat ,
peristaltik 8-10 x/mnt.
d) Genetalia
Bentuk normal, jejas (-), hematome (-)

24
e) Integumen
Warna kulit sawo matang, kebersihan cukup, kelainan
pada kulit (-).
f) Ekremitas
(1) Atas
Pada daerah siku dan lengan bawah nampak luka
lecet sepanjang ± 3 cm tanpa perdarahan aktif,
ROM bebas/normal, krepitasi (-), sianosis (-) ,akral
hangat, kekuatan motorik   555 │ 555 555 │ 555
(2) Bawah
Jejas(-), ROM bebas/normal, krepitasi (-), sianosis
(-) ,akral hangat, kekuatan motorik   555 │ 555 555
│ 555
g) Pemeriksaan neurologis
(1) Status mental dan emosi
Klien terlihat cukup tenang walaupun merasa
masih trauma dengan kecelakaan yang dialami.
(2) Pengkajian saraf kranial
Pemeriksaan saraf kranial I s/d XII masih dalam
batas normal.
(3) Pemeriksaan Refleks
Refleks fisiologis (+), refleks patologis (-).
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat DM (-), hipertensi (-), asma (-), sakit jantung (-).
e. Diagnosa Medis dan therapy
Diagnosa medis : CKR + Susp. Fraktur Basis Cranii
Therapy: IVFD Na CL 0,9 % 28 tts/mnt, Inj. Tyason 3 x 1 gr
IV, Inj. Remopain 3x 1 gr IV, Inj. Bralin 3x 1 amp IV
2.3.1.3 Pola Fungsi Kesehatan (11 Pola Fungsional Gordon)
a.  Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan

25
Bila mengalami sakit biasanya klien berobat ke Puskesmas
atau bidan. Bila sakit ringan seperti masuk angin kadang –
kadang klien membuat jamu sendiri. Klien tidak pernah
berobat ke dukun atau pengobatan alternatif lainnya. Klien
mengatakan kesehatan adalah hal yang penting dan ingin
cepat sembuh agar bisa bekerja lagi.
b. Pola Nutrisi/metabolic
Sebelum MRS klien biasa makan 3 kali sehari, minum 6-8
gelas sehari. Sejak MRS klien mengatakan tidak bisa makan
dan minum karena mual-mual dan muntah serta tidak ada
nafsu makan. Sejak kecelakaan sampai sekarang, klien sudah
muntah 2 kali berisi sisa makanan, darah (-). Pagi ini klien
sempat makan bubur 3 sendok tetapi berhenti karena mual
muntah. Minum dari tadi pagi ± 100 cc air putih.
c. Pola eliminasi
Sebelum MRS klien biasa BAB 1 kali sehari, BAK 7 – 8 kali
sehari ( ± 1200-1500 cc). Sejak MRS di Ruang IRD klien
sudah BAK 2 kali dengan jumlah ± 200 cc setiap kali BAK
menggunakan pispot di atas tempat tidur. Sejak MRS klien
belum BAB.
d. Pola aktivitas dan latihan
Kemampuan perawatan diri    0    1    2    3    4
Makan/minum             x       
Mandi              x        
Toileting              x        
Berpakaian              x        
Mobilisasi di tempat tidur  x        
Berpindah              x        
Ambulasi ROM     x        
0: mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu
orang lain dan alat, 4:     tergantung total.

26
Okigenasi: Klien bernafas spontan tanpa memakai oksigen.
Keluhan sesak (-)
e. Pola tidur dan istirahat
Sebelum MRS klien biasa tidur 6-7 jam sehari dan tidak biasa
tidur siang. Setelah MRS klien mengatakan sering terbangun
karena mual dan sakit kepala serta situasi rumah sakit yang
ramai.
f. Pola kognitif-perseptual
Klien mampu berkomunikasi dengan suara yang pelan tetapi
jelas. Klien mengatakan penglihatan cukup jelas tetapi tidak
bisa membuka mata lama-lama karena masih mengeluh
pusing dan mual. Klien juga mengeluh sakit kepala seperti
berdenyut-denyut terutama di bagian kanan dan kadang-
kadang disertai pusing-pusing. Klien tampak meringis
terutama saat bergerak. Skala nyeri 4-5 (sedang).
g. Pola persepsi diri/konsep diri
Klien mampu menyebutkan identitas diri dan orang di
sebelahnya.
h. Pola seksual dan reproduksi
Klien belum menikah
i. Pola peran-hubungan
Saat ini klien ditunggu oleh orang tua kliae (bapak-Ibu) dan
hubungan mereka terlihat baik. Keluarga besar klien ada di
Banjarmasin.
j. Pola manajemen koping stress
Bila mempunyai masalah klien mengatakan biasa bercerita
dan minta pendapat dari keluarga dan teman-teman. Keluarga
mengatakan klien cukup terbuka terhadap masalah yang
dialaminya.
k. Pola keyakinan-nilai

27
Klien beragama Islam dan biasa sholat setiap hari. Setelah
MRS klien hanya berdoa dari tempat tidur.

2.3.1 Analisa data


No Data Etiology Masalah
1 DS: Peningkatan TIK Gangguan perfusi
Klien mengatakan pusing, jaringan cerebral
nyeri kepala, mual dan
muntah
DO:
- Terdapat luka robek
pada kepala sebelah
kanan
- TTV N: 92 x/mnt, S:
36,80C, RR: 20 x/mnt
TD: 100/70 mmHg.
- GCS : E ; 4, M ; 4, V ; 5
= 13

2 DS: Trauma jaringan dan Nyeri akut


Klien mengatakan bahwa peningkatan TIK
kepalanya terasa nyeri dan
pusing

DO:
- Tampak luka robek pada

28
kepala sebelah kanan
sepanjang 5 cm tanpa
perdarahan aktif dan
lebar 0.5 cm
- Ekspresi wajah klien
tampak meringis
menahan nyeri
- Skala nyeri 4-5 (rentang
skala 1-10)
- TTV: N: 92 x/mnt, S:
36,80C, RR: 20 x/mnt
TD: 100/70 mmHg.
- GCS : E ; 4, M ; 4, V ; 5
= 13
3 DS: Resiko gangguan Peningkatan sekresi
- Klien mengatakan tidak kebutuhan nutrisi asam lambung
bisa makan dan minum
karena mual-mual dan
muntah serta tidak ada
nafsu makan
- Klien mengatakan Cuma
bisa menghabiskan 3
sendok bubur pagi ini
DO:
- Klien tampak lemah
- Tampak makanan yang
diberikan tidak bisa
dihabiskan semuanya

2.3.2 Diagnosa keperawatan dan prioritas masalah


2.3.2.1 Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan
peningkatan TIK
2.3.2.2 Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan
peningkatan TIK

29
2.3.2.3 Resiko gangguan nutrisi berhubungan dengan peningkatan
sekresi asam lambung

30

Anda mungkin juga menyukai