Disusun oleh:
Nada Salsabila Zulti 031 19 015
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................2
i
BAB I
PENDAHULUAN
Seperti gejala klinis lainnya, nyeri dievaluasi dan diukur berdasarkan skala,
yang paling populer adalah VAS (Visual Analog Scale). Dalam penelitian Patricia E,
et al. didapatkan 30-70% pasien yang menjalani operasi mengalami nyeri sedang (4-
6) sampai nyeri berat (7-10) dalam waktu tertentu. Nyeri pada tingkat ini
1
berhubungan dengan morbiditas yang meningkat, biaya yang tinggi dan gangguan
kesehatan yang lainnya. Analgetik yang berhasil dapat terwujud dengan memilih tipe
pembedahan yang tepat, pendekatan yang efektif dan pengenalan faktor resiko yang
(6)
akan beruhubungan dengan timbulnya nyeri. Manajemen nyeri diketahui sebagai
indikator standar yang penting dalam kualitas kesehatan. Oleh karena itu, kita tidak
bisa menolak betapa pentingnya kualitas manajemen perawatan post operatif.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
mengikuti rehabilitasi pasca operasi & kembali ke fungsi normal, dan nyeri
saat menelan yang meningkatkan resiko dehidrasi setelah operasi
(1)
tonsilektomi. Pemilihan waktu asesmen juga penting untuk mengetahui
achieve peak effects, yaitu 15-30 menit setelah terapi parentral atau 1-2 jam
setelah minum analgetik oral. Bila dengan intervensi nonfarmakologis
langsung dapat terlihat segera setelah terapi selesai. Frekuensi yang optimal
untuk melakukan reasesmen bergantung pada tipe prosedur pembedahan,
pereda nyeri inisial yang adekuat, efek samping yang terlihat, comorbid yang
ada serta perubahan status klinik. Reasesmen mungkin sudah tidak dilakukan
secara sering bila nyeri sudah stabil (misalnya pada pasien yang mempunyai
kontrol nyeri yang baik tanpa efek samping setelah stabil dalam 24 jam terapi)
(1)
4
2.2. Klasifikasi Nyeri
Menurut onset dan stimulus penyebabnya, terdapat nyeri akut yang
disebabkan oleh kerusakan jaringan dan ini menghilang seiring dengan
penyembuhan jaringan. Nyeri akut hilang setelah beberapa jam hingga
beberapa hari (7 hari). Contohnya adalah nyeri karena pembedahan. Lalu
nyeri kronik yang menetap selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-
tahun, walaupun kerusakan jaringan telah sembuh. Menurut mekanisme
terjadinya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nosiseptif dan nyeri non
nosiseptif. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang ditimbulkan oleh rangsangan
disebabkan kerusakan jaringan dan reaksi inflamasi. Tergantung lokasinya
nyeri dapat digolongkan nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri non nosiseptif
(nyeri neuropatik) yaitu nyeri yang disebabkan kerusakan jaringan saraf
sentral maupun perifer. Kerusakan saraf dapat disebabkan oleh infeksi
/inflamasi, proses metabolic (diabetes mellitus), trauma pembedahan maupun
infiltrasi atau tekanan tumor. Nyeri pada kerusakan saraf sentral yaitu
kerusakan pada tingkat corda spinalis atau thalamus misalnya differentiation
pain atau central pain. Nyeri pada kerusakan saraf perifer / regional misalnya
nyeri pada polineuropati dan causalgia (sympathetic dystrophy pain). Menurut
berat ringannya nyeri dikategorikan sebagai nyeri ringan, sedang, berat.
Tingkatan ini ditetapkan berdasarkan beberapa parameter yang dijelaskan
pada penilaian skala nyeri.(12)
5
ini dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi
yang logis untuk mengatasi nyeri. Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri
akut, yang pertama kali diberikan adalah Obat Anti- Inflamasi non steroid,
Aspirin, atau Paracetamol yang merupakan obat-obatan yang bekerja di
perifer. Apabila dengan obat-obatan ini, nyeri tidak dapat teratasi, maka
diberikan obat-obatan golongan opioid lemah seperti kodein dan
dextropropoxyphene. Apabila regimen ini tidak juga dapat mencapai kontrol
nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan opioid kuat,
misalnya morfin(14)
6
Gambar 3. WFSA Analgesic Ladder (15)
7
Intensitas nyeri yang Intensitas nyeri sedang Intensitas nyeri yang berat
ringan Contoh: Contoh:
Hip replacement Torakotomy
Contoh: Histeroktomy Operasi abdominal bagian
Hernia inguinal Operasi rahang atas
Varises Operai aorta
laparoskopy Knee replacement
(i) Paracetamol dan
infiltrasi luka
dengan anestesi
lokal
(ii) NSAID (kecuali
kalau
kontraindikasi) dan
(iii) Anestesi local
epidural atau saraf
perifer utama atau
blok plexus atau
injeksi opioid
(i) Paracetamol dan infiltrasi luka dengan anestesi
lokal
(ii) NSAID (kecuali kalau kontraindikasi) dan
(iii) Blok saraf perifer (pemberian langsung atau
melalui infuse)
(i) Paracetamol dan infiltrasi luka dengan anestesi local
(ii) NSAID (kecuali kalau kontraindikasi) dan
(iii) Anestesi blok regional
Ditambahkan opioid lemah atau analgesia penyelamatan dengan pemberian
bertahap opioid kuat melalui intravena jika diperlukan.
8
2.3.1.1 Analgetik Non Opioid (15)
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan
diseluruh dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang
merupakan obat-obatan utama untuk nyeri ringan sampai sedang.(15)
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di
seluruh dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena
segera dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat
analgesik dan, mungkin, anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam
salisilat memiliki waktu paruh hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh
dosis, sehingga dosis tinggi akan mengakibatkan obat diekskresi lebih
lambat. Durasi kerja aspirin dapat berkurang apabila diberika bersama-
sama dengan antasida. Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral,
setiap 4 jam hingga maksimum 4 g, per oral per hari. Aspirin memiliki
efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan,
menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat
efek antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan
aspirin untuk pain relief pascaoperasi harus dihindari apabila masih
tersedia obat-obatan alternatif lainnya.(15)
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek,
analgesik dan antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh
inhibisi sintesis prostaglandin oleh enzim cyclo-oxygenase yang
mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang
merupakan mediator utama peradangan. Semua OAINS bekerja dengan
cara yang sama dan karenanya tidak ada gunanya memberi lebih dari
satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada umumnya, lebih berguna
bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal, dan
permukaan sendi tulang.(15)
9
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan
lamanya tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama
jangka waktu yang panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang
panjang dan efek klinis yang lama. Namun, obat-obatan kelompok ini
memiliki insiden tinggi untuk efek samping penggunaan jangka panjang
dan harus digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS mempunyai
aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu
perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat sintesis prostaglandin
dalam mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan
pendarahan lambung sebagai efek samping.
10
Drug name Forms available Daily dose Half life (h)
range
Ibuprofen Tablet, syrup 600- 1200mg 1-2
Diclofenac Tablet, suppository, injection, cream 75- 150mg 1-2
Naproxen Tablet, suspension, suppository 500- 1000mg 14
Piroxicam Capsule, suppository, cream, 10- 30mg 35+
injection
Ketorolac Tablet, injection 10- 30mg 4
Indomethacin Capsule, suspension, suppository 50- 200mg 4
Mefenamic Tablet, capsule 1500mg 4
acid
Kodein
11
sakit yang berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan
digunakan: Parasetamol 500 mg / codeine 8 mg tablet, 2 tablet setiap 4 jam
sampai maksimum 8 tablet perhari. Apabila analgesia tidak mencukupi -
Parasetamol 1g secara oral dengan Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per
jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan(15)
Tramadol(15)
Tramadol (tramal) adalah analgesik sentral dengan afinitas
rendah pada reseptor mu dan kelemahan analgesiknya 10-20 % dari morfin.
Tramal dapat diberikan secara oral dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan
dosis maksimal 400 mg per hari.(15)
12
tidak segera diperbaiki, akan ada kompensasi hemodinamik yang bertambah
memburuk dan akhirnya menyebabkan kematian.(4)
Morfinl(15)
Morfin paling larut dalamair dibandingkan golongan opioid lainnya dan
kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Morfin memiliki dua sifat
yang mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) yaitu depresi (analgesi, sedasi,
13
perubahan emosi dan hipoventilasi alveolar) dan stimulasi (stimulasi
parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif refleks spinal, konvulsi dan
sekresi hormon anti diuretik / ADH). Morfin juga menyebabkan hipotensi
ortostatik. Kontra indikasi pemakaian morfin pada kasus asma dan bronkitis
kronis karena efek bronko kontriksinya. Efek sampingnya juga menyebabkan
pruritus, konstipasi dan retensio urin. Morfin dapat diberikan secara sub
kutan, intra muskular, intra vena, epidural dan intra tekal. Dosis anjuran untuk
mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/kgBB secara sub kutan, intra
muskular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dewasa dapat
diberikan 1-2 mg intra vena dan diulang sesuai kebutuhan. Untuk megurangi
nyeri dewasa paska bedah dan nyeri persalinan digunakan dosis 2-4 mg
epidural atau 0,05-0,2 mg intra tekal, dan ini dapat diulang antara 6-12 jam(15)
Petidin(15)
Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya
sangat berbeda dengan morfin, tetapi memiliki efek klinik dan efek samping
yang mendekati asma. Perbedaan dengan morfin adalah sebagai berikut:
Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang
lebih larut dalam air.
Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin,
asam meperidinat dan asam normeperidinat.
Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut,
kekaburan pandangan, dan takikardi.
Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap
sfingter Oddi lebih ringan.
Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah yang
tidak ada hubungan dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada
dewasa. Sedangkan morfin tidak.
14
Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin(15)
Fentanyl(15)
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 kali
morfin, lebih larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Efek depresi nafas lebih lama dibandingkan dengan efek analgesiknya. Dosis
1-3 µg/kgBB analgesiknya berlangsung kira-kira 30 menit, karena itu hanya
digunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah(15)
nyeri yang teratasi dengan baik. Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang
efektif.
15
Agent % Duration Max. % Comments
solution (hours) single solution
for dose for
analgesic mg/kg. infusion
blocks (Total mg
in adults*
see
footnote)
Lignocaine
Infiltration 0.5-1 1-2 7 - Rapid onset.
Epidural 1-2 1-2 (500) 0.3-0.7 Dense motor block.
Plexus or 0.75-1.5 1-3 0.5-1.0
nerve
Mepivacaine
Infiltration 0.5-1 1.5-3 7 - Rapid onset.
Epidural 1-2 1.5-3 (500) 0.3-0.7 Dense motor block.
Plexus or 0.75-1.5 2-4 0.5-1.0 Longer action than
nerve lignocaine.
Prilocaine
Infiltration 0.5-1 1-2 8.5 - Rapid onset.
Epidural 2-3 1-3 (600) 0.5-1 Dense motor block.
Plexus or 1.5-2 1.5-3 0.75- Least toxic amide
nerve 1.25 agent. Methaema-
globinaemia >600mg
Bupivacaine
Infiltration 0.125- 1.5-6 3.5 - Avoid 0.75% in
0.25 obstetrics. Mainly
Epidural 0.25-0.75 1.5-5 (225) 0.0625- sensory block at low
0.125 concen- trations.
Plexus or 0.25-0.5 8-24+ 0.125- Cardiotoxic after rapid
nerve 0.25 IV injection.
Chloroprocaine
Infiltration 1 0.5-1 14 - Lowest systemic
toxicity of all agents.
Motor / sensory deficits
may follow intrathecal
injection.
16
2.3.1 Manajemen Non Farmakologis
Contoh metode non farmakologi pada penanganan nyeri
Dingin Air es digunakan pada operasi ortepedi setelah
17
Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan untuk
mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan
menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat memblok
transmisi nyeri ke otak.
4. Plasebo
Plasebo dalam bahasa latin berarti menyenangkan merupakan zat tanpa
kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai “obat”
seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya.
18
klien untuk mengkonsentrasikan fikiran pada kakinya yang terasa ringan
dan hangat.
Ulangi langkah 4 dan konsentrasikan fikiran pada lengan, perut,
punggung dan kelompok otot-otot lain
Setelah klien merasa relaks, klien dianjurkan bernafas secara perlahan.
Bila nyeri menjadi hebat klien dapat bernafas secara dangkal dan cepat.
2) Umpan balik biologis
Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi
tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap
respon tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan migren,
dengan cara memasang elektroda pada pelipis.
3) Hipnotis
Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.
4) Distraksi
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai
sedang. Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio
(mendengar musik), distraksi sentuhan (massase, memegang mainan), distraksi
intelektual (merangkai puzzle, main catur), nafas lambat, berirama.
5) Guided Imagination (Imajinasi terbimbing)
Meminta pasien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan,
tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi dari
pasien. Apabila pasien mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan.
Tindakan ini dilakukan pada saat pasien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri
akut.
19
BAB III
KESIMPULAN
Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi :
menurut onset dan stimulus penyebabnya yakni akut, kronik, dan menurut mekanisme
terjadinya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nosiseptif dan nyeri non nosiseptif.
Ada beberapa skala yang digunakan untuk menilai nyeri pada pasien yaitu : Wong-
Baker Faces Pain Rating Scale, Verbal Rating Scale, Numerical Rating Scale, dan
Visual Analogue Scale. Manajemen nyeri pada pasien dengan pasca operasi terdiri
atas terapi farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologi yang dapat
diberikan adalah obat analgesik yang dapat dibagi menjadi 3 kelompok : analgetik
nonopioid, opioid dan adjuvant. Terapi non farmakologis yang dapat diberikan yaitu
penanganan fisik dan intervensi perilaku kognitif.
20
DAFTAR PUSTAKA
21
10. Gunningberg L, Idvall E. The quality of postoperative pain management from the
perspectives of patients, nurses and patient records. J Nurs Manag
2007;15(7):756–766
11. Von Baeyer CL, Spagrud L. Systematic review of observational (behavioral)
measures of pain in children and adolescents aged 3 to 18 years. Pain
2007;127:140-50
12. Eliot Cole B, et al. Pain management : Classifying, understanding, and treating
pain. National Pharmaceutical Council 2001:1-12
22