Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI

Disusun oleh:
Nada Salsabila Zulti 031 19 015

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3


2.1. Asesmen Nyeri.....................................................................................3
2.2. Klasifikasi Nyeri..................................................................................5
2.3. Manajemen Nyeri Pasca Operasi.........................................................5
2.3.1 .Manajemen farmakologis...........................................................5
2.3.1 1 Analgetik Non Opioid..............................................................9
2.3.1 2 Opioid Lemah........................................................................11
2.3.1 3 Opioid Kuat............................................................................13
2.3.1 4 Anestesi Lokal........................................................................15
2.3.2 .Manajemen non farmakologis..................................................17

BAB III KESIMPULAN.........................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................2

i
BAB I
PENDAHULUAN

Pasien yang mempunyai riwayat operasi pembedahan kemungkinan besar akan


mengalami nyeri akut pasca operasi. Terdapat berbagai intervensi preoperatif,
intraoperatif, operatif dan postoperatif yang dilakukan untuk meminimalisir
(1)
terjadinya nyeri pasca operasi. Kualitas nyeri pasca operasi berhubungan dengan
kerusakan jaringan dan lokasi pembedahan. Operasi pada thoraks, abdomen atas dan
penggantian sendi lebih menimbulkan nyeri hebat dibandingkan operasi pada
(2)
ekstremitas. Nyeri pasca operasi dapat mempengaruhi tidur, physical functioning
dan berdampak negatif terhadap kesejahteraan pasien dalam berbagai aspek. (3)

Manajemen nyeri pasca operasi bertujuan untuk meminimalisir


ketidaknyamanan pasien, memfasilitasi mobilisasi awal dan perbaikan fungsional
serta mencegah nyeri akut menjadi nyeri kronik dengan efek samping yang minimum.
Bila pengobatan nyeri tidak adekuat ia akan memperpanjang periode rehabilitasi dan
menghambat perbaikan secara fungsional. Pengobatan nyeri yang tepat dapat
(4,5)
menigkatkan kepuasan pasien dan mempersingkat waktu rawat di rumah sakit.
Pengendalian nyeri yang baik merupakan hal yang penting untuk mencegah outcome
seperti hipertensi, iskemi miokard, gangguan pernapasan, aritmia, ileus dan
penyembuhan luka yang tidak adekuat. Kegagalan dalam manajemen nyeri pasca
operasi besifat multifaktor; ketakutan akan efek samping obat analgetik dan asesmen
nyeri yang tidak tepat dapat menyebabkan pengobatan tidak efektif. (5)

Seperti gejala klinis lainnya, nyeri dievaluasi dan diukur berdasarkan skala,
yang paling populer adalah VAS (Visual Analog Scale). Dalam penelitian Patricia E,
et al. didapatkan 30-70% pasien yang menjalani operasi mengalami nyeri sedang (4-
6) sampai nyeri berat (7-10) dalam waktu tertentu. Nyeri pada tingkat ini

1
berhubungan dengan morbiditas yang meningkat, biaya yang tinggi dan gangguan
kesehatan yang lainnya. Analgetik yang berhasil dapat terwujud dengan memilih tipe
pembedahan yang tepat, pendekatan yang efektif dan pengenalan faktor resiko yang
(6)
akan beruhubungan dengan timbulnya nyeri. Manajemen nyeri diketahui sebagai
indikator standar yang penting dalam kualitas kesehatan. Oleh karena itu, kita tidak
bisa menolak betapa pentingnya kualitas manajemen perawatan post operatif.

American Pain Society (APS) merekomendasikan untuk meningkatkan kualitas


manajemen nyeri, harus fokus pada tingkat keparahan, efek nyeri & outcome pasien.
(7)
. Dalam penelitian Gordon et al, terdapat enam indikator yang dapat meningkatkan
kualitas manajemen nyeri; riwayat tinngkat keparahan dengan skala numerik atau
dekskripsi verbal dalam interval terrtentu, manajemen nyeri yang tidak melalui
injeksi intramuskular, manajemen secara reguler, pereda nyeri, manajemen yang
memfasilitasi kualitas hidup dan aktivitas sehari-hari & memberi informasi kepada
pasien terkait prosedur manajemen yang dilakukan. (8)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Asesmen Nyeri


Evaluasi dan perencanaan pasien pasca operasi merupakan hal yang
penting dalam manajemen nyeri. Evaluasi yang direkomendasikan termasuk
(9)
riwayat nyeri dan pemeriksaan fisik yang terarah serta rencana control plan.
Beberapa variabel seperti usia, tingkat kecemasan dan depresi mungkin
mempunyai efek dalam tingkatan nyeri pascaoperasi. Tingkat nyeri yang
tinggi juga dapat berhubungan dengan kualitas perawatan yang rendah.(8)
Asesmen nyeri dapat menentukan apakah manajemen yang dilakukan
adekuat, apakah perlu mengubah dosis, dan apakah perlu tindakan intervensi.
(1)
Asesmen mandiri yang dilakukan secara rutin setelah pembedahan juga
merupakan gold standart untuk mengukur efesiensi dari manjemen nyeri.

Terdapat beberapa alat skoring yang tersedia, yang paling dikenal


adalah asesmen 10 poin dimana skor 1 artinya tidak nyeri sama sekali dan
skor 10 artinya nyeri yag tidak dapat dibayangkan. Kunci dari pengendalian
nyeri yang adekuat adalah untuk reasses pasien dan menentukan apakah
mereka puas dengan hasil yang didapat. Managemen analgetik dengan
(5)
komunikasi pasien yang baik merupakan kunci kesuksesan program. Pada
anak-anak, direkomendasikan menilai Face, Legs, Arms, Cry, Consolability
dan Parents untuk asesmen nyeri akut.(11) Direkomendasikan assesmen pasien
ketika sedang istirahat dan saat beraktifitas. Nyeri yang muncul ketika
beraktifitas mempunyai impikasi penting untuk menggunakan intervensi
tambahan dan perubahan rencana. Misalnya nyeri yang terkontrol saat
istirahat namun saat beraktifitas mempunyai efek yang berat sehingga sulit

3
mengikuti rehabilitasi pasca operasi & kembali ke fungsi normal, dan nyeri
saat menelan yang meningkatkan resiko dehidrasi setelah operasi
(1)
tonsilektomi. Pemilihan waktu asesmen juga penting untuk mengetahui
achieve peak effects, yaitu 15-30 menit setelah terapi parentral atau 1-2 jam
setelah minum analgetik oral. Bila dengan intervensi nonfarmakologis
langsung dapat terlihat segera setelah terapi selesai. Frekuensi yang optimal
untuk melakukan reasesmen bergantung pada tipe prosedur pembedahan,
pereda nyeri inisial yang adekuat, efek samping yang terlihat, comorbid yang
ada serta perubahan status klinik. Reasesmen mungkin sudah tidak dilakukan
secara sering bila nyeri sudah stabil (misalnya pada pasien yang mempunyai
kontrol nyeri yang baik tanpa efek samping setelah stabil dalam 24 jam terapi)
(1)

Gambar 1. Alur penilaian beserta skala asesmen nyeri (13)

4
2.2. Klasifikasi Nyeri
Menurut onset dan stimulus penyebabnya, terdapat nyeri akut yang
disebabkan oleh kerusakan jaringan dan ini menghilang seiring dengan
penyembuhan jaringan. Nyeri akut hilang setelah beberapa jam hingga
beberapa hari (7 hari). Contohnya adalah nyeri karena pembedahan. Lalu
nyeri kronik yang menetap selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-
tahun, walaupun kerusakan jaringan telah sembuh. Menurut mekanisme
terjadinya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nosiseptif dan nyeri non
nosiseptif. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang ditimbulkan oleh rangsangan
disebabkan kerusakan jaringan dan reaksi inflamasi. Tergantung lokasinya
nyeri dapat digolongkan nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri non nosiseptif
(nyeri neuropatik) yaitu nyeri yang disebabkan kerusakan jaringan saraf
sentral maupun perifer. Kerusakan saraf dapat disebabkan oleh infeksi
/inflamasi, proses metabolic (diabetes mellitus), trauma pembedahan maupun
infiltrasi atau tekanan tumor. Nyeri pada kerusakan saraf sentral yaitu
kerusakan pada tingkat corda spinalis atau thalamus misalnya differentiation
pain atau central pain. Nyeri pada kerusakan saraf perifer / regional misalnya
nyeri pada polineuropati dan causalgia (sympathetic dystrophy pain). Menurut
berat ringannya nyeri dikategorikan sebagai nyeri ringan, sedang, berat.
Tingkatan ini ditetapkan berdasarkan beberapa parameter yang dijelaskan
pada penilaian skala nyeri.(12)

2.3. Manajemen Nyeri Pasca Operasi

2.3.1 Manajemen Farmakologis

World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk


meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula

5
ini dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi
yang logis untuk mengatasi nyeri. Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri
akut, yang pertama kali diberikan adalah Obat Anti- Inflamasi non steroid,
Aspirin, atau Paracetamol yang merupakan obat-obatan yang bekerja di
perifer. Apabila dengan obat-obatan ini, nyeri tidak dapat teratasi, maka
diberikan obat-obatan golongan opioid lemah seperti kodein dan
dextropropoxyphene. Apabila regimen ini tidak juga dapat mencapai kontrol
nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan opioid kuat,
misalnya morfin(14)

Gambar 2. WHO Analgesic Ladder (15)

Baru-baru ini dikembangkan World Federation of Societies of


Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk
mengobati nyeri akut. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap sebagai keadaan
yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat.
Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang seiring berjalannya waktu dan
kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Anak
tangga kedua adalah pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan
analgesia. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai
dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja
di perifer dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat
dikontrol hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.(15)

6
Gambar 3. WFSA Analgesic Ladder (15)

Adapun pemilihan obat-obatan untuk manajemen nyeri adalah:


Pilihan farmakologi pada manajemen nyeri
Analgetik non Paracetamol, NSAID, termasuk penghambat COX-2,
opioid Gabapentin, Pregabalin.
Opioid lemah Codein, Tramadol, Paracetamol dikombinasi dengan Codein
atau tramadol
Opioid kuat Morfin, Diamorfin, Petidin, Pintramide, Oxycodon
Adjuvant Ketamin, Clonidine

Tabel 1. Pilihan farmakologi untuk nyerir (13)

7
Intensitas nyeri yang Intensitas nyeri sedang Intensitas nyeri yang berat
ringan Contoh: Contoh:
Hip replacement Torakotomy
Contoh: Histeroktomy Operasi abdominal bagian
Hernia inguinal Operasi rahang atas
Varises Operai aorta
laparoskopy Knee replacement
(i) Paracetamol dan
infiltrasi luka
dengan anestesi
lokal
(ii) NSAID (kecuali
kalau
kontraindikasi) dan
(iii) Anestesi local
epidural atau saraf
perifer utama atau
blok plexus atau
injeksi opioid
(i) Paracetamol dan infiltrasi luka dengan anestesi
lokal
(ii) NSAID (kecuali kalau kontraindikasi) dan
(iii) Blok saraf perifer (pemberian langsung atau
melalui infuse)
(i) Paracetamol dan infiltrasi luka dengan anestesi local
(ii) NSAID (kecuali kalau kontraindikasi) dan
(iii) Anestesi blok regional
Ditambahkan opioid lemah atau analgesia penyelamatan dengan pemberian
bertahap opioid kuat melalui intravena jika diperlukan.

Tabel 2. Pilihan pengobatan dalam hubungannya dengan besarnya ekspektasi nye ri


pasca operasi dengan macam-macam operasinya (13)

8
2.3.1.1 Analgetik Non Opioid (15)
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan
diseluruh dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang
merupakan obat-obatan utama untuk nyeri ringan sampai sedang.(15)
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di
seluruh dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena
segera dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat
analgesik dan, mungkin, anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam
salisilat memiliki waktu paruh hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh
dosis, sehingga dosis tinggi akan mengakibatkan obat diekskresi lebih
lambat. Durasi kerja aspirin dapat berkurang apabila diberika bersama-
sama dengan antasida. Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral,
setiap 4 jam hingga maksimum 4 g, per oral per hari. Aspirin memiliki
efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan,
menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat
efek antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan
aspirin untuk pain relief pascaoperasi harus dihindari apabila masih
tersedia obat-obatan alternatif lainnya.(15)
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek,
analgesik dan antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh
inhibisi sintesis prostaglandin oleh enzim cyclo-oxygenase yang
mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang
merupakan mediator utama peradangan. Semua OAINS bekerja dengan
cara yang sama dan karenanya tidak ada gunanya memberi lebih dari
satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada umumnya, lebih berguna
bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal, dan
permukaan sendi tulang.(15)

9
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan
lamanya tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama
jangka waktu yang panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang
panjang dan efek klinis yang lama. Namun, obat-obatan kelompok ini
memiliki insiden tinggi untuk efek samping penggunaan jangka panjang
dan harus digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS mempunyai
aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu
perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat sintesis prostaglandin
dalam mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan
pendarahan lambung sebagai efek samping.

Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah :


setiap riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang
berhubungan dengan kehilangan darah yang banyak, asma, gangguan
ginjal sedang hingga berat , dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif
untuk OAINS atau aspirin. Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute
oral tersedia. Obat ini secara klinis efektif, murah dan memiliki profil
efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan OAINS dan asam
mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan dengan
rute lain seperti supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian
besar OAINS tersedia sebagai supositoria dan diserap dengan baik.(15)

10
Drug name Forms available Daily dose Half life (h)
range
Ibuprofen Tablet, syrup 600- 1200mg 1-2
Diclofenac Tablet, suppository, injection, cream 75- 150mg 1-2
Naproxen Tablet, suspension, suppository 500- 1000mg 14
Piroxicam Capsule, suppository, cream, 10- 30mg 35+
injection
Ketorolac Tablet, injection 10- 30mg 4
Indomethacin Capsule, suspension, suppository 50- 200mg 4
Mefenamic Tablet, capsule 1500mg 4
acid

Tabel 3. Pilihan NSAID (15)

2.3.1.2 Opioid Lemah (15)

Kodein

Merupakan opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti


morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memi liki efek yang dapat
diprediksi bila diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan
hingga sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan parasetamol tetapi
harus berhati-hati untuk tidak melampaui maksimum dosis yang
dianjurkan bila menggunakan kombinasi parasetamol tablet. Dosis berkisar
antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300 mg setiap hari.
Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon tetapi
memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering dipasarkan
dalam kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan yang sama seperti
Codeine harus diawasi. Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam kombinasi
dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg
setiap hari. Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di
perifer sangat berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa

11
sakit yang berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan
digunakan: Parasetamol 500 mg / codeine 8 mg tablet, 2 tablet setiap 4 jam
sampai maksimum 8 tablet perhari. Apabila analgesia tidak mencukupi -
Parasetamol 1g secara oral dengan Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per
jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan(15)

Tramadol(15)
Tramadol (tramal) adalah analgesik sentral dengan afinitas
rendah pada reseptor mu dan kelemahan analgesiknya 10-20 % dari morfin.
Tramal dapat diberikan secara oral dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan
dosis maksimal 400 mg per hari.(15)

mengkompensasi kehilangan cairan ini dengan meningkatkan tonus


simpatis sehingga mengakibatkan peningkatan denyut jantung, peningkatan
kontraktilitas jantung, dan vasokonstriksi perifer. Perubahan pertama pada
tanda-tanda vital yang terlihat pada syok hipovolemik meliputi peningkatan
tekanan darah diastolik dengan tekanan nadi (MAP) yang menyempit.
Ketika volume cairan terus-terusan berkurang, tekanan darah sistolik
kemudian akan ikut turun. Akibatnya, pengiriman oksigen ke organ vital tidak
dapat memenuhi kebutuhan oksigen. Sel-sel selanjutnya akan mengubah jalur
metabolisme aerob ke metabolisme anaerob, yang memiliki hasil akhir asam
laktat dan dapat menyebabkan asidosis laktat.
Jika aktivasi simpatis terus meningkat, maka aliran darah akan mulai
dialihkan dan dipusatkan dari organ lain untuk menjaga aliran darah dan
perfusi ke organ ginjal, jantung, dan otak. Hal ini yang kemudian akan
semakin meluaskan iskemia jaringan dan memperburuk asidosis laktat. Jika

12
tidak segera diperbaiki, akan ada kompensasi hemodinamik yang bertambah
memburuk dan akhirnya menyebabkan kematian.(4)

2.3.1.3 Opioid Kuat (15)


Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral
membutuhkan opioid kuat sebagai analgesianya. Rute oral mungkin tersedia
pada pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat
seperti morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per oral. Bila
pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara pemberian lain
harus dilakukan.(15)

Drug name Route of Dose Length of


delivery (mg) Action (h)
Morphine Intramuscular/ 10-15 2-4
subcutaneous
Methadone Intramuscular 7.5-10 4-6
Pethidine/Meperidine Intramuscular 100-150 1-2
Buprenorphine Sublingual 0.2-0.4 6-8

Tabel 4. Opioid Kuat (15)

Morfinl(15)
Morfin paling larut dalamair dibandingkan golongan opioid lainnya dan
kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Morfin memiliki dua sifat
yang mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) yaitu depresi (analgesi, sedasi,

13
perubahan emosi dan hipoventilasi alveolar) dan stimulasi (stimulasi
parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif refleks spinal, konvulsi dan
sekresi hormon anti diuretik / ADH). Morfin juga menyebabkan hipotensi
ortostatik. Kontra indikasi pemakaian morfin pada kasus asma dan bronkitis
kronis karena efek bronko kontriksinya. Efek sampingnya juga menyebabkan
pruritus, konstipasi dan retensio urin. Morfin dapat diberikan secara sub
kutan, intra muskular, intra vena, epidural dan intra tekal. Dosis anjuran untuk
mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/kgBB secara sub kutan, intra
muskular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dewasa dapat
diberikan 1-2 mg intra vena dan diulang sesuai kebutuhan. Untuk megurangi
nyeri dewasa paska bedah dan nyeri persalinan digunakan dosis 2-4 mg
epidural atau 0,05-0,2 mg intra tekal, dan ini dapat diulang antara 6-12 jam(15)

Petidin(15)
Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya
sangat berbeda dengan morfin, tetapi memiliki efek klinik dan efek samping
yang mendekati asma. Perbedaan dengan morfin adalah sebagai berikut:

Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang
lebih larut dalam air.

Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin,
asam meperidinat dan asam normeperidinat.

Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut,
kekaburan pandangan, dan takikardi.

Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap
sfingter Oddi lebih ringan.

Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah yang
tidak ada hubungan dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada
dewasa. Sedangkan morfin tidak.

14

Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin(15)

Fentanyl(15)
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 kali
morfin, lebih larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Efek depresi nafas lebih lama dibandingkan dengan efek analgesiknya. Dosis
1-3 µg/kgBB analgesiknya berlangsung kira-kira 30 menit, karena itu hanya
digunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah(15)

2.3.1.4 Anestesi Lokal (15)


Respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya perdarahan dan

nyeri yang teratasi dengan baik. Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang

dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain relief yang

efektif.

Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti


Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.
Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan
menggunakan infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan
analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf
tersebut

15
Agent % Duration Max. % Comments
solution (hours) single solution
for dose for
analgesic mg/kg. infusion
blocks (Total mg
in adults*
see
footnote)
Lignocaine
Infiltration 0.5-1 1-2 7 - Rapid onset.
Epidural 1-2 1-2 (500) 0.3-0.7 Dense motor block.
Plexus or 0.75-1.5 1-3   0.5-1.0
nerve
Mepivacaine
Infiltration 0.5-1 1.5-3 7 - Rapid onset.
Epidural 1-2 1.5-3 (500) 0.3-0.7 Dense motor block.
Plexus or 0.75-1.5 2-4   0.5-1.0 Longer action than
nerve lignocaine.
Prilocaine
Infiltration 0.5-1 1-2 8.5 - Rapid onset.
Epidural 2-3 1-3 (600) 0.5-1 Dense motor block.
Plexus or 1.5-2 1.5-3   0.75- Least toxic amide
nerve 1.25 agent. Methaema-
globinaemia >600mg
Bupivacaine
Infiltration 0.125- 1.5-6 3.5 - Avoid 0.75% in
0.25 obstetrics. Mainly
Epidural 0.25-0.75 1.5-5 (225) 0.0625- sensory block at low
0.125 concen- trations.
Plexus or 0.25-0.5 8-24+ 0.125-   Cardiotoxic after rapid
nerve 0.25 IV injection.
Chloroprocaine
Infiltration 1 0.5-1 14 - Lowest systemic
toxicity of all agents.
Motor / sensory deficits
may follow intrathecal
injection.

Tabel 5. Anastesi lokal yang digunakan untuk nyeri akut (15)

16
2.3.1 Manajemen Non Farmakologis
Contoh metode non farmakologi pada penanganan nyeri
Dingin Air es digunakan pada operasi ortepedi setelah

operasi kaki. Air es dapat digunakan di rumah


sakit maupun dirumah. Ada system komersial
yang mudah digunakan. Penggunaan air es dalam
jenis lain dari operasi perlu adanya investigasi
lebih lanjut.
Akupuntur Tidak ada efek yang didokumentasikan pada
akupuntur dalam manajemen nyeri pasca operasi.
Dimana, mungkin ada efek dalam mengurnagi
mual dan muntah.
Terapi relaksasi dan gangguan, Ini mungkin memiliki efek positif pada kasus
seprti music, citra/imajinasi, atau perorangan. Ada CD musik yang tersedia untuk
hypnosis relaksasi.

Tindakan non farmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa


tindakan penanganan berdasarkan:(12)
Stimulasi Fisik(12)
1. Stimulasi kulit
Pijatan pada kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan
otot. Rangsangan pijatan otot ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter
besar, sehingga mampu mampu memblok atau menurunkan impuls nyeri
2. Stimulasi electric (TENS)
Cara kerja dari sistem iniTabel
masih belum jelas,
6. Metode salah satu pemikiran
Non Farmakologi (15)
adalah cara
ini bisa melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok stimulasi nyeri. Bisa
dilakukan dengan pijat, mandi air hangat, kompres dengan kantong es dan
stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS/ transcutaneus electrical nerve
stimulation). TENS merupakan stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus
listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar.
3. Akupuntur

17
Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan untuk
mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan
menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat memblok
transmisi nyeri ke otak.
4. Plasebo
Plasebo dalam bahasa latin berarti menyenangkan merupakan zat tanpa
kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai “obat”
seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya.

Intervensi Perilaku Kognitif(12)


1) Relaksasi
Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan memberikan beberapa
keuntungan, antara lain:
1. Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri atau
stress
2. Menurunkan nyeri otot
3. Menolong individu untuk melupakan nyeri
4. Meningkatkan periode istirahat dan tidur
5. Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain
6. Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat nyeri
Beberapa teknik relaksasi menurut Stewart sebagai berikut:
 Klien menarik nafas dalam dan menahannya di dalam paru
 Secara perlahan-lahan keluarkan udara dan rasakan tubuh menjadi
kendor dan rasakan betapa nyaman hal tersebut
 Klien bernafas dengan irama normal dalam beberapa waktu
 Klien mengambil nafas dalam kembali dan keluarkan secara perlahan-
lahan, pada saat ini biarkan telapak kaki relaks. Perawat minta kepada

18
klien untuk mengkonsentrasikan fikiran pada kakinya yang terasa ringan
dan hangat.
 Ulangi langkah 4 dan konsentrasikan fikiran pada lengan, perut,
punggung dan kelompok otot-otot lain
 Setelah klien merasa relaks, klien dianjurkan bernafas secara perlahan.
Bila nyeri menjadi hebat klien dapat bernafas secara dangkal dan cepat.
2) Umpan balik biologis
Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi
tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap
respon tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan migren,
dengan cara memasang elektroda pada pelipis.
3) Hipnotis
Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.
4) Distraksi
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai
sedang. Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio
(mendengar musik), distraksi sentuhan (massase, memegang mainan), distraksi
intelektual (merangkai puzzle, main catur), nafas lambat, berirama.
5) Guided Imagination (Imajinasi terbimbing)
Meminta pasien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan,
tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi dari
pasien. Apabila pasien mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan.
Tindakan ini dilakukan pada saat pasien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri
akut.

19
BAB III
KESIMPULAN

Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi :
menurut onset dan stimulus penyebabnya yakni akut, kronik, dan menurut mekanisme
terjadinya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nosiseptif dan nyeri non nosiseptif.
Ada beberapa skala yang digunakan untuk menilai nyeri pada pasien yaitu : Wong-
Baker Faces Pain Rating Scale, Verbal Rating Scale, Numerical Rating Scale, dan
Visual Analogue Scale. Manajemen nyeri pada pasien dengan pasca operasi terdiri
atas terapi farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologi yang dapat
diberikan adalah obat analgesik yang dapat dibagi menjadi 3 kelompok : analgetik
nonopioid, opioid dan adjuvant. Terapi non farmakologis yang dapat diberikan yaitu
penanganan fisik dan intervensi perilaku kognitif.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Chou R, et al. Management of Postoperative Pain: A Clinical Practice Guideline


From the American Pain Society, the American Society of Regional Anesthesia
and Pain Medicine, and American Society of Anesthesiologists’ Committee on
Regional Anesthesia, Executive Committee, and Administrative Council. The
Journal of Pain 2016;17(2):131-57
2. Ekstein MP, Weinbroum AA. Immediate postoperative pain in orthopedic
patients is more intense and requires more analgesia than in post-laparotomy
patients. Pain Med 2011;12:308-13.
3. Sinatra R. Causes and consequences of inadequate management of acute pain.
Pain Med 2010;11:1859-71.
4. Corke P. Postoperative pain management. Aust Prescr 2013;36:202-5
5. Garimella V, Cellini C. Postoperative pain control. Clin Colon Rectal Surg
2013;26:191-6
6. Patricia E. et, al. Postoperative pain: frewuency and managemt characterization.
Rev Colomb Anestesiol 2018;46(2):93-7
7. American Pain Society. Quality improvement guidelines for the treatment of
acute pain and cancer pain. Journal of the American Medical Association, 274;
(23):1874–80
8. Gordon D, et al. Research gaps in practice guidelines for acute postoperative pain
management in adults: Findings from a review of the evidence for an American
Pain Society Clinical Practice Guideline. Journal of Pain, 17(2), 158–66
9. American Society of Anesthesiologists Task Force on Acute Pain Management.
Practice guidelines for acute pain management in the perioperative setting: an
updated report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on
Acute Pain Management. Anesthesiology 2012;116(2):248–73

21
10. Gunningberg L, Idvall E. The quality of postoperative pain management from the
perspectives of patients, nurses and patient records. J Nurs Manag
2007;15(7):756–766
11. Von Baeyer CL, Spagrud L. Systematic review of observational (behavioral)
measures of pain in children and adolescents aged 3 to 18 years. Pain
2007;127:140-50
12. Eliot Cole B, et al. Pain management : Classifying, understanding, and treating
pain. National Pharmaceutical Council 2001:1-12

22

Anda mungkin juga menyukai