Anda di halaman 1dari 67

BAB VII

TEORI PRODUKSI ISLAMI

Parameter kepuasan Islam bukan hanya terbatas pada aspek material lahiriyah
atau harta benda konkrit keduniawan tapi juga tergantung pada sesuatu yang bersifat
abstrak, jiwa dan spiritual, seperti iman, dan amal shaleh yang dilakukan manusia . Atau
dengan kata lain, bahwa kepuasan dapat timbul dan dirasakan oleh seorang manusia
muslim ketika harapan mendapat pahala dari Allah SWT atau mendapat ridha Allah Swt,
Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh Hasan Al Banna.
Beliau mengutip firman Allah yangmengatakan:“Tidakkah kamu perhatikan
sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan
apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS.
Lukman:20). Semua sumberdaya yang terdapat di lagit dan dibumi disediakan Allah
untuk kebutuhan manusia, agar manusia dapat menikmatinya secara sempurna, lahir dan
batin, material dan spiritual.

Apa yang diungkapkan oleh Hasan Al Banna ini semakin menegaskan bahwa
ruang lingkup keilmuan ekonomi Islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi
konvensional. Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang
bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat
abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah
SWT. Berbicara mengenai nilai dan norma maka erat kaitannya dengan pembahasan
mengenai etika. Menelusuri asal usul etika tak lepas dari asli kata ethos dalam bahasa
Yunani yang berarti kebiasaan (custom) atau karakter (character).

Dalam pengertian yang lebih luas, etika diartikan sebagai The systematic study of
the nature of value concepts, good, bad, ought, right, wrong, etc. and of the general
principles which justifyus in applying them to anything; also called moral philosophy.
Artinya bahwa etika merupakan studi sistematis tentang tabiat, konsep nilai, baik, buruk,
harus, benar, salah, atau lain sebagainya dengan prinsip-prinsip umum yang kita untuk
mengaplikasikannya atas apa saja.

1
Etika juga merupakan bagian dari filsafat yang mencari jawaban atas pertanyaan
‘mengapa seseorang harus tunduk pada norma, peraturan dan hukum?’.Sehingga etika
dapat membuat seseorang menyadari bahwa apa yang tidak diperbolehkan sesungguhnya
tidak baik. Tidak sekedar patuh, tetapi dengan mempelajari etika, manusia akan faham
mengapa sesuatu itu dilarang dan mengapa itu tidak.Oleh karena itu tidak heran bila salah
seorang mujadid Mesir yakni Imam Syahid Hasan Al-Banna, menempatkan al fahmu
(pemahaman) sebagai salah satu pilar penting dalam menyokong amal. Karena dengan
pemahaman yang mendalam terhadap sesuatu, akan membuat kita  lebih bersemangat
untuk mengerjakannya. Al-Qur’an juga telah memberikan tuntunan visi bisnis yang jelas
yaitu visi  bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan sesaat tetapi
“merugikan”, melainkan mencari keuntungan yang secara hakikat baik dan berakibat baik
pula bagi kesudahannya (pengaruhnya). Salah satu aktifitas bisnis dalam hidup ini adalah
adanya aktifitas produksi.

Pengertian Produksi

Para ahli ekonomi mendefinisikan produksi sebagai “menghasilkan kekayaan


melalui eksploitasi manusia terhadap sumber-sumber kekayaan lingkungan” Atau bila
kita artikan secara konvensional, produksi adalah proses menghasilkan atau menambah
nilai guna suatu barang atau jasa dengan menggunakan sumber daya yang ada. Produksi
tidak berarti menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak seorang pun
yang dapat menciptakan benda. Oleh karenanya dalam pengertian ahli ekonomi, yang
dapat dikerjakan manusia hanyalah membuat barang-barang menjadi berguna,disebut
“dihasilkan”.

Produksi bisa dilihat dari dua aspek; kajian positif terhadap hukum-hukum benda
dan hukum-hukum ekonomi yang menentukan fungsi produksi, dan kajian normatif yang
membahas dorongan-dorongan dan tujuan produksi.  Pembahasan mengenai nilai, norma,
dan etika dalam produksi termasuk kedalam aspek normative yang banyak dikaji oleh
para ahli teori social. Mannan menyatakan bahwa system produksi dalam Islam harus
dikendaikan oleh kriteria objektif maupun subjektif; kriteria yang objektif akan tercermin
dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi uang, dan kriteria subjektif dalam

2
bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas
perintah-perintah kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah. Jadi dalam Islam, keberhasilan
sebuah system ekonomi tidak hanya disandarkan pada segala sesuatu yang bersifat materi
saja, tapi bagaimana agar setiap aktifitas ekonomi termasuk produksi, bisa menerapkan
nilai-nilai, norma, etika, atau dengan kata lain adalah akhlak yang baik dalam
berproduksi. Sehingga tujuan kemaslahatan umum bisa tercapai dengan aktifitas produksi
yang sempurna. Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi”
dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu
sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi
istikhdami muzayyajin min ‘anashir al-intaj dhamina itharu zamanin muhaddadin
(pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur
produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas).  Pandangan Rawwas di atas
mewakili beberapa definisi yang ditawarkan oleh pemikir ekonomi lainnya.
Hal senada juga diutarakan oleh Dr. Abdurrahman Yusro Ahmad dalam bukunya
Muqaddimah fi ‘Ilm al-Iqtishad al-Islamiy. Abdurrahman lebih jauh menjelaskan bahwa
dalam melakukan proses produksi yang dijadikan ukuran utamanya adalah nilai manfaat
(utility) yang diambil dari hasil produksi tersebut.  Produksi dalam pandangannya harus
mengacu pada nilai utility dan masih dalam bingkai nilai ‘halal’ serta tidak
membahayakan bagi diri seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Dalam hal ini,
Abdurrahman merefleksi pemikirannya dengan mengacu pada QS. Al-Baqarah [2]: 219
yang menjelaskan tentang pertanyaan dari manfaat memakai (memproduksi) khamr. Lain
halnya dengan Taqiyuddin an-Nabhani, dalam mengantarkan pemahaman tentang
‘produksi’, ia lebih suka memakai kata  istishna’ untuk mengartikan ‘produksi’ dalam
bahasa Arab. An-Nabhani dalam bukunya an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam me-mahami
produksi itu sebagai sesuatu yang mubah dan jelas berdasarkan as-Sunnah.  Sebab,
Rasulullah Saw pernah membuat cincin. Diriwayatkan dari Anas yang mengatakan “Nabi
Saw telah membuat cincin.” (HR. Imam Bukhari). Dari Ibnu Mas’ud: “Bahwa Nabi Saw.
telah membuat cincin yang terbuat dari emas”. (HR. Imam Bukhari). Beliau juga pernah
membuat mimbar. Dari Sahal berkata: “Rasulullah Saw telah mengutus kepada seorang
wanita, (kata beliau): Perintahkan anakmu si tukang kayu itu untuk membuatkan
sandaran tempat dudukku, sehingga aku bisa duduk di atasnya”. (HR. Imam Bukhari).

3
Pada masa Rasulullah, orang-orang biasa memproduksi barang, dan beliau pun
mendiamkan aktifitas mereka. Sehingga diamnya beliau menunjukkan adanya pengakuan
(taqrir) beliau terhadap aktifitas berproduksi mereka. Status (taqrir) dan perbuatan Rasul
itu sama dengan sabda beliau, artinya sama merupakan dalil syara’.

Adapun aspek produksi yang berorientasi pada jangka panjang adalah sebuah
paradigma berfikir yang didasarkan pada ajaran Islam yang melihat bahwa proses
produksi dapat menjangkau makna yang lebih luas, tidak hanya pencapaian aspek yang
bersifat materi-keduniaan tetapi sampai menembus batas cakrawala yang bersifat ruhani-
keakheratan.

Etika dalam Islam

Jika kita berbicara tentang nilai dan akhlak dalam ekonomi dan mu’amalah Islam,
maka tampak secara jelas di hadapan kita empat nilai utama,yaitu: Rabbaniyah
(Ketuhanan), Akhlak, Kemanusiaan dan Pertengahan.  Nilai-nilai ini menggambarkan
kekhasan (keunikan) yang utama bagi ekonomi Islam, bahkan dalam kenyataannya
merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh yang tampak jelas pada segala sesuatu
yang berlandaskan ajaran Islam. Makna dan nilai-nilai pokok yang empat ini memiliki
cabang, buah, dan dampak bagi seluruh segi ekonomi dan muamalah Islamiah di bidang
harta berupa produksi, konsumsi, sirkulasi, dan distribusi. Raafik Isaa Beekun dalam
bukunya yang berjudul Islamic Bussines Ethics menyebutkan paling tidak ada sejumlah
parameter kunci sistem etika Islam yang dapat dirangkum sbb:

 Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat individu yang
melakukannya. Allah Maha Kuasa an mengetahui apapun niat kita sepenuhnya secara
sempurna.
 Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah. Niat yang
halal tidak dapat mengubah tindakan yang haram menjadi halal.

 Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindak


berdasarkan apapun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggungjawab keadilan.

4
 PercayakepadaAllah SWT memberi individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun
atau siapapun kecuali Allah.

 Keputusan yang menguntungkan kelompok mamyoritas ataupun minoritas secara


langsung bersifat etis dalam dirinya.etis bukanlah permainan mengenai jumlah.

 Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai sistem yang
tertutup, dan berorientasi diri sendiri. Egoisme tidak mendapat tempat dalam ajaran
Islam.

 Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara Al-
Qur’an danalam semesta.

 Tidak seperti system etika yang diyakini banyak agama lain, Islam mendorong umat
manusia untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini.
Dengan berprilaku secara etis di tengah godaan ujian dunia, kaum Muslim harus
mampu membuktikan ketaatannya kepada Allah SWT.

Nilai-nilai dan Norma dalam berproduksi sejak dari kegiatan mengorganisisr


faktor produksi, proses produksi hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen
semuanya harus mengikuti moralitas Islam. Metwally (1992) mengatakan “perbedaan
dari perusahaan-perusahaan non Islami tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada
kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya”. Produksi barang dan jasa yang
dapat merusak moralitas dan menjauhkan manusia dari nilai-nilai relijius tidak akan
diperbolehkan. Terdapat lima jenis kebutuhan yang dipandang bermanfaat untuk
mencapai falah, yaitu :

1. kehidupan,
2. harta,

3. kebenaran,

4. ilmu pengetahuan dan

5
5. kelangsungan keturunan.

Selain itu Islam juga mengajarkan adanya skala prioritas (dharuriyah, hajjiyah
dan tahsiniyah) dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi serta melarang sikap berlebihan,
larangan ini juga berlaku bagi segala mata rantai dalam produksinya Yusuf Qardhawi
paling tidak membagi pembahasan terkait dengan norma menjadi beberapa pembahasan
yakni:

A. Peringatan Allah akan kekayaan Alam Allah telah menciptakan kekayaan alam
untuk manusia dengan berbagai macam jenis.

1. Lapisan bumi dengan unsur yang berbeda-beda, berupa lapisan udara atau berbagai
jenis gas.

2. Lapisan kering, yang terdiri dari debu, bebatuan, dan barang tambang.

3. Lapisan air.

4. Lapisan tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam yang terdiri dari ilalang dan hutan
belukar. Juga kekayaan laut, baik yang terdapat ditepi pantai atau dilautan luas.

Jika kita renungkan didalam Al-Qur’an, maka kita akan mendapatkan bahwa ia
menganjurkan kepada kita untuk menggunakan sumber-sumber kekayaan alam. Al-
Qur’an merangsang akal kita mengarahkan pandangan kita kepada dunia yang
dikelilingi oleh air, udara lautan, sungai, tumbuh-tumbuhan, hewan dan benda mati;
matahari dan bulannya, malam dan siangnya. Semua itu diciptakan untuk diambil
manfaatnya oleh umat manusia.

a. Hewan

Al-Qur’an mengingatkan manusia tentang kekayaan alam dalam berbagai ayat


dan surat. Dalam surat an-Nahl, misalanya Al-Qur’an mengiatkan kita tentang kekayaan
alam dari jenis hewan dan apa-apa yang diperoleh dari hewan itu, seperti daging, susu,
dan kulit. Firman Allah:”dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu,

6
padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebagiannya
kamu makan.” (an- Nahl :5).

b. Tumbuh-tumbuhan
Dalam surat yang sam Al-Qur’an memberikan tentang kekayaan alam dari
jenis tumbuhan dengan firman Allah:” Dialah yang telah menurunkan air hujan dari
langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya menyuburkan
tumbuh-tumbuhan yang tempat tumbuhnya kamu menggembalakan ternakmu. Dia
menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanm-tanaman zaitun, kurma, anggur,
dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
ada tanda-tanda kekuasaaan Allah bagi kamu yang memikirkan”.

Manusia biasa membuat dari tumbuh-tumbuhan minuman yang memabukkan.


Al-Qur’an menerangkan :” dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang
memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda kebesaran Allah bagi oaring yang memikirkan”.

c. Kekayaan Laut

Masih dalam surat yang sama, Al-qur’an mengarahkan perhatian kita pada
kekayaan laut dan menganjurkan kita untuk mendayagunakannya dengan cara
memancing ikan, melalui ayat:” Dan Dialah Allah yang menundukkan lautan untukmu,
agar kamu dapat, memakan dari padanya daging yang segar (ikan), dan kamu
mengeluarkan dari lutan itu perhiasan yang kamu pakai dan kamu melihat bahtera
layar padanya dan supaya kamu mencari keuntungan dari karnianya, dan supaya
kamu bersyukur.

d. Kekayaan Tambang

Diantara tanda yang paling jelas dianjurkan Al-Qur’an untuk diperhatikan 


ialah kekayaan tambang. Allah berfirman : ” dan kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekutan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.”
Dalam ayat ini terdapat indikasi yang jelas tentang pentingnya bahan tambang di

7
antaranya besi bagi kehidupan manusia baik sipil ataupun militer. Surat ini dinamakan
Allah dengan surat al- Hadid (besi).

Al- Quran juga menceritakan tentang tembaga:” berilah aku potongan-potongan


besi hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua puncak gunung itu, berkatalah
Zulkarnain” Tiuplah api itu sudah menjadi merah (merah seperti api), dipun berkata,
berilah aku tembaga yang mendidih agar aku tuangkan keatas besi panas itu, maka
mereka tidak bias mandakina dan mereka tidak bias pula melubanginya”.

e. Matahari dan Bulan

Selanjutnya, dalam Al-qur’an dijelaskan bahwa Allah menundukkan matahari dan


bulan bagi manusia. Hal ini memperpanjang harapan mereka dan memenuhi ambisinya
dalam menaklukkan ruang angkasa, mendayagunakan energi matahari,serta mencapai
bulan, bahkan suatu saat mendarat dimatahari. Allah Berfirman: ”Dan Dia telah
menundukkan pula bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar dalam
orbitnya.” Dan Dia menundukkan malam dan siang , matahari dan bulan untukmu, dan
bintang-bintang ditundukkan untukmu dengan perintahnya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allahbagi kamu yang
memahaminya”.

B. Memanfaatkan Kekayaan Alam Tergantung Pada Ilmu dan Amal

a.   Ilmu atau Sains.

Al-qur’an menjelaskan bahwa memanfaatkan itu semua terfokus dalam dua hal.
Pertama, ilmu atau sains yang berdiri diatas fondasi rasio dan akal budi. Melalui akal
budi ini, Allah membedakan manusia dari hewan. Yang dimaksud dengan sains disini
adalah spesialisasi dalam berbagai disiplin ilmu.

Buktinya adalah firman Allah: “Tidaklah kamu melihat bahwasanya Allah


menurunkan hujan dari langit”. “Ayat ini menunjukkan ilmu astronomi serta hubungan
antara langit dan bumi. Lalu kami hasilkan dengn hujan itu dengan buah-buahan yang

8
beraneka ragam jenisnya”. Ayat ini menunjukkan ilmu tumbuhan. Kemudian ayat: “dan
diantara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam
warnanya dan ada pula garis hitam pekat,” yang menunjukkan ilmu geologi dan bumi.
Dan banyak lagi ayat lainnya yaitu ayat yang menunjukkan ilmu biologi dan lainnya,
sebagai tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah bagi hambanya yang berfikir.

b. Kerja

Ilmu tidak bermanfaat kalau tidak dipraktekkan dengan bekerja. Bekerja


dibutuhkan bukan hanya sekali waktu, tetapi terus-menerus. Bekerja dibutuhkan untuk
menghasilkan sesuatu yang terbaik dan untuk mencapai karunia Allah.”Apabila telah
menunaikan shalat maka bertebaranlah dimuka bumi dan carilah karunia Allah.” Bekerja
dalam Islam adalah suatu kewajiban bagi mereka yang mampu. Tidak dibenarkan bagi
seorang muslim berpangku tangan dengan alasan mengkhususkan waktu untuk beribadah
kepada Allah atau bertawkkal. Dan Islam sangat mengagungkan bekerja, dan
memasukkannya sebagai bagian daripada ibadah. Disisi lain, pekerjaan dikategorikan
sebagai jihadjika diniatkan dengan ikhlas dan diiringi dengan ketekunan dan ihsan.

C.    Bekerja Sendi Utama Produksi

Para ahli ekonomi menetapakan bahwa produksi terjadi lewat peranan tiga atau
empat unsur yang saling berkaitan yaitu alam, modal, dan bekerja. Sebagian ahli lain
menambahkan unsur disiplin. Para ekonom muslim berbeda pendapat tentang apa yang
ditetapkan islam dari unsur-unsur ini. Sebagian dari mereka menghapuskan salah satu
dari empat unsur itu berdasrkan teori, pertimbangan, dan hasil penelitian mereka.
Menurut penulis, jauh dari pembagian yang dilakukan oleh para ekonom kapitalis
pembagian diatas berperan dalam proses produksi tetapi unsur yang terutama adalah alam
dan bekerja.

Produktivitas timbul dari gabungan kerja antara manusia dan kekayaan bumi.
Bumi adalah tempat membanting tulang dan manussia bekerja diatasnya.
Adapun unsur lain seperti disiplin tidak lebih dari pada strategi dan pengawasan,
sementara modal tidak lebih daripada aset, baik berbentuk alat ataupun bangunan yang

9
semuanya merupakan hasil kerja manusia. Dalam hal ini, produksi dapat dilihat dari dua
segi yaitu, segi teknis ekonomi dan segi normative. Pandangan islam tentang produksi
adalah menyangkut aspek normatif. Dalam Islam, sebagaimana terlihat dalam Al-qur’an
terdapat ajaran tentang dorongan dan tujuan produksi, yaitu mendorong umat manusia
khususnya umat Islam untuk bekerja dan memproduksi segala hal keperluan hidup
mereka agar dapat hidup makmur dan sejahtera Produksi Dikenal Sejak Nabi Adam turun
ke Bumi Produksi dalam arti yang sederhana bukanlah sesuatu yang dicetuskan oleh
kapitalis.

Produksi telah terjadi sejak manusia ada dibumi karena ia merupakan suatu hal
yang primer dalam kehidupan. Adam bapak manusia, adalah manusia pertama dalam
berproduksi. Adam dan anak cucunya didunia ini bersusah payah dan membanting tulang
memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan didalam surga Adam hanya memperoleh
semua itu tanpa perasaan penat dan letih. Sejak bumi ini diciptakan oleh Allah, Dia telah
mempersiapkannya sebagai tempat kediaman manusia.” Sesungguhnya kami telah
menempatkan kamu sekalian dimuka bumi dan kami adakan bagimu dimuka bumi itu
sumber penghidupan…”.

1. Antara Jaminan Rezeki dan Kewajiban Bekerja Allah menjamin rezeki seluruh
makhluk hidup yang merangkak diatas bumi dengan firmanNya: ”Dan tidak suatu
binatang melata pun dimuka bumi ini melainkan Allahlah yang telah memberikan
rezekinya, dan Dia mengetahui tempat bediam binatang itu dan tempat
penyimpanannya”. Sudah menjadi sunnatullah bahwa jaminan rezeki itu tidak akan
mungkin didapat kecuali dengan berusaha dan bekerja. Allah meletakkan makanan
dari rezeki Allah setelah manusia berjalan dimuka bumi. Siapa yang berjalan dan
berusaha maka dialah orang yang berhak memakan rezeki Tuhan. Yang bediam diri
dan malas tidak akan mendapat walaupun hanya sesuap nasi.
2. Bekerja dan Kegiatan Ekonomi adalah Ibadah dan Jihad Oleh sebab itu islam
menganjurkan umatnya untuk memproduksi dan berperan dalam berbagai bentuk
aktivitas ekonomi, pertanian, perkebunan, perikanan, perindustrian dan perdagangan.
Islam memberkati pekerjaan dunia ini dan menjadikan nya bagian dari pada ibadah
dan jihad. Bekerja adalah bagian dari ibadah dan jihad jika sang pekerja bersikap

10
konsisten terhadap peraturan Allah, suci niatnya, dan tidak melupakanNya. Dengan
bekerja, masyarakat bisa melaksanakan tuigas kekhalifahannya, menjaga diri dari
maksiat, dan meraih tujuan yang lebih besar. Demikian pula, dengan bekerja seorang
individu mampu memenuhi kebutuhannya, mencukupi kebutuhan keluarganya, dan
berbuat baik terhadap tetangganya.. semua bentuk yang diberikan semua hal tersebut
tidak akan terwujud tanpa harta yang dapat diperolah dengan bekerja. Maka tidak
aneh jika kita menemukan nash-nash Islam yang mengajak umatnya untuk bekerja
dan menjadikannya bagian dari ibadah dan jihad.

3. Tujuan Diwajibkannya Bekerja

a. Untuk Mencukupi Kebutuhan Hidup

Berdasarkan tuntutan syariat, seorang muslim diminta bekerja untuk mencapai


beberapa tujuan yaitu, untuk memenuhi kebutuhan pribadi dengan harta yang halal.
Dampak diwajibkannya bekerja bagi individu oleh islam adalah dilarangnya minta-
minta, mengemis, dan mengharapkan belas kasihan orang. Mengemis tidak
dibenarkan kecuali dalam tiga hal yaitu, menderita kemiskinan yang melilit,
memiliki utang yang menjerat, dan diyah murhiqah.

b. Untuk Kemaslahatan Keluarga

Bekerja diwajibkan demi terwujudnya keluarga sejahtera. Islam mensyariatkan


seluruh manusia untuk bekerja, baik lelaki maupun wanita sesuai dengan profesi nya
masing-masing. “lelaki adalah penjaga bagi keluarganya dan bertanggung jawab atas
asuhannya.; cukuplah dosa seseorang karena menelamtarkan orang yang menjadi
tanggungannya.”

c. Untuk Kemaslahatan Masyarakat

Walaupum seseorang tidak memerlukan pekerjaan karena seluruh kebutuhan


hidupnya telah tersedia, baik untuk dirinya meupun untuk keluarganya, ia tetap wajib
bekerja untuk masyarakat sekitarnya. Karena masyarakat sekitarnya telah

11
mmeberikan sumbangsih yang tidak sedikit padanya, maka seyogyanya masyarakat
menganbil darinya sebanyak apa yang diberikan kepadanya. Alangkah indahnya
tindakan ulam ayang menjadikan pekerjaan duniawi sebagai perbuatan wajib
menurut syariat, ditinjau dari kemalsahtan masyarakat.

d. Hidup Untuk Kehidupan dan Untuk Semua yang Hidup

Lebih dari itu seorang muslim tidak hanya bekerja demi mencapai manfaat
komunitas manusia, tetapi wajib bekerja untuk kemnfaatan seluruh makhluk hidup,
termasuk hewan. Nabi berkata:” Siapakah dari kaum muslimin yang menanam
tanaman atau tumbuhan lalu dimakan oleh burung, manusia atau hewan, kecuali
baginya sedekah.”

4. Bekerja untuk Memakmurkan Bumi

Memakmurkan bumi adalah tujuan dari maqashidus syairah yang ditanam oleh
Islam, disimggung oleh Al-qur’an serta diperhatikan oleh para ulama. Diantara
mereka adlah Al-Imam Arraghib Al-Asfahani yang menerangkan bahwa manusia
diciptakan Allah hanya untuk tiga kepentingan, yaitu:

i. Memakmurkan bumi, sebagaiman atertera dalam dalam Al-Qur’an:” Dia telah


menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.”
Maksudnya, manusia dijadikan pennghuni dunia untuk menguasai dan
memaakmurkan dunia.
ii. Menyembah Allah, sesuai dengan firmannya: “Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.

iii. Khalifah Allah, sesuai dengan firmannya: “Dan menjadikan kamu khalifah
dibumiNya, maka Allah akan melihat bagaimana perbuatan kamu”.

5. Bekerja untuk Kerja

12
Menurut Islam pada hakikatnya setiap muslim diminta untuk bekerja meskipun hasil
pekerjaannya belum dapat dimanfaatkan olehnya, keluarganya atau oleh masyarakat, juga
meskipunm tidak satupun dari makhluk Allah, termasuk hewan dapat memanfaatkannya.
Ia tetap wajib bekerja karena bekerja merupakan hak Allah dan salah satu cara
mendekatkan dii kepadaNya.

 Tekun Bekerja adalah kewajiban Keagamaan Norma penting dalam berproduksi


setelah bekerja adalah ketekunan dalam bekerja. Islam tidak meminta kepada
penganutnya sekedar bekerja tetapi juga meminta agar mereka bekerja dengan
tekundan baik. Dengan pengertian lain bekerja dengan tekun dan menyelesaikannya
dengan sempurna. Menurut islam tekun dalam bekerja merupakan suatu kewajiban
dan perintah yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Barang siapa kurang
memperhatikan ketekunan dalam bekerja, niscaya ia juga akan lalai dalam
melaksanakan perintah agama. Nabi berkata, “sesungguhnya Allah menyukai seorang
dari kamu yang apabila bekerja ia menekuni pekerjaan itu.

 Pemamahamn yang Salah Perlu Diluruskan Mayoritas pemeluk agama memahami


sebagian norma agama yang berkaitan dengan ekonomi dengan pemahaman yang
salah, misalnya norma iman, taqwa, saleh, dan istiqamah. Sesungguhnya disamping
menciptakan manusia untuk menyembah Nya Allah menciptakan manusia juga untuk
menjadi khalifah dibumi dan memakmurkannya lewat ilmu dan amal. Sesungguhnya
iman, taqwa, saleh dan istiqomah mewajibkan kita untuk fleksibel, berjalan diantara
kepentinganagam dan dunia. Norma-norma itu mewajibkan kita menyembah Allah
dengan menjaga hukum kausalitas. Ia juga memerintahkan kita untuk mempersiapkan
kekuatan melawan musuh. Norma norma itu juga mensyariatkan kita untuk bercocok
tanam, mendirikan industri, dan aktivitas apa saja yang dibutuhkan oleh bangsa,
agama, dan dunia. Pencapaian ini semua merupakan fardhu kifayah yang merupakan
konstitusi para fuqaha. Taqwa yang dikejar  bukanlah tasbih para Darwis, sorban para
syekh bukan para sufi. Taqwa yang perlu dicapai ialah ilmu amal, agama, dunia,
material, dan spiritual, rencana dan peraturan, investasi dan produksi, ketekunan dan
ihsan.

13
 Tekun, Ciri Muslim yang Taqwa Ada satu tujuan mulia yang dikejar setiap muslim
yang dikejar dalam bekerja, yaitu “keridhaan Allah”. Menurut syariat keridhaan Allah
tidak akan dapat jika kita tidak melaksanakan tugas  secara tekun sungguh-sungguh
dan sempurna. Hal ini diperkuat dengan ajaran Nabi “sesungguhnya Allah suka jika
searang dari kamu bekerja lalu menekuni pekerjaannya (dengan sungguh-sungguh)”.
Terdapat dua fondasi untuk mencapai ketekunan dalam bekerja yaitu amanat dan
ikhlas. Misalnya, ambisi pekerja mukmin dipabrikbukanlah mencapai keuntungan
materi sebesar-besarnya atau sekedar membahagiakan majikan agar ia mendapatkan
upah yang tinggi. Ambisinya yang teutama adlah mendapatkan keridhaan Allah. Dari
ambisi yang mulia ii timbullah sikap jujur, giat dan tekun.

 Pengaruh Ketenangan Jiwa dalam Berproduksi Seorang mukmin akan menikmati


kehidupan ini dengan ketenangan jiwa, kedamaian batin, dan kelapangan dada. Tidak
diragukan, ketenangan jiwa seperti ini mempunyai dampak positif bagi produktivitas.
Sesungguhnya manusia yang bingung, dengki, dan iri kpada sesame manusia jarang
manghasilkan produk yang memuaskan.

 Pengaruh Istiqamah dalam Berproduksi Seorang muslim yang beriman selalu


memperhatikan batasan-batasan Allah dan menjauhi segala macam larangaNya. Ia
menolak melakukan dosa dan tidak mau tenggelam dalam segala yang diharamkan.
Iman didalam hati seorang mukin akan menjauhkannya dari tindakan menghabiskan
energi dan stamina secara sia-sia seperti bergadang semalaman atau bersuka ria dalam
hal yang diharamkan. Hatinya menolak mengikuti aktivitas yang dipenuhi botol bir
atau dilaksanakan dimeja judi. Ia selalu menjaga pola hidup, energi tubuh , kekuatan
syaraf, daya tanggap otak dan rangsangan jiwanya. Ia tidak menggunakan kehidupan
ini kecuali untuk melaksanakan pekerjanan yang bermanfaat atau menikmati hiburan
halal.ini sekaligus keuntungan dan sekaligus modal bagi diri pribadi, istri, anak dan
masyarakat sekitarnya.

 Nilai Waktu Bagi seorang Muslaim Mukmin adalah manusia yang paling menghargai
nilai waktu. Seoarng muslim takut apabila hari-hari berlalu tanpa melakukan
pekerjaan dan aktivitas yang berarti. Ia tidak ingin pekerjaan pada hari ini diundur

14
esok hari karena baginya diesok hari ada pekerjaan baru yang tidak bias diusik.
Seorang muslim mengharapkan hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan esok lebih
baik dari hari ini.

D. Berproduksi Dalam Lingkaran Yang Halal

Prinsip etika dalam produksi yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim baik
individu maupun komunitas adalah berpegang pada semua yang dihalalkan Allah dan
tidak melampaui batas.

Pada dasarnya produsen dalam tatanan ekonomi konvensional tidak mengenal


istilah halal dan haram. Yang menjadi prioritas kerja mereka adalah memenuhi keinginan
pribadi dengan mengumpulkan laba, harta dan uang. Ia tidak memikirkan apakah yang
diproduksinya berbahaya atau tidak, bermanfaat atau tidak, baik atau buruk, etis atau
tidak etis.

Adapun sikap seorang muslim sangat bertolak belakang. Ia tidak boleh menanam
apa-apa yang diharamkan seperti poppy yang diperoleh dari buah opinium, demikian pula
cannabis atau heroin. Seorang muslim tidak boleh menanam segala jenis tumbuhan yang
menurut WHO, sains, dan hasil riset berbahaya bagi manusia. Adapun jika hasil produksi
dapat digunakan untuk berbuat baik dan buruk secara bersamaan, seperti pakaian you can
see yang hlal dikenakan wanita dirumah untuk menghibur suami tetapi haram dikenakan
diluar rumah maka hal itu tidak diharamkan, walaupun kaum sufi menganjurkan untuk
menjauhinya.

Dilihat dari hukum Islam aturan tentang produksi makanan atuapun lainnya yang
halal dan pemberlakuan hak khiyar merupakan salah satu amar ma’ruf nahi munkar.
Namun keduanya mempunyai aturan masing-masing mengenai perlindungan konsumen.
Salah satunya adalah memberikan ganti rugi konsumen bila ia merasa bersalah atas
produk yang dijualnya.

E. Perlindungan Kekayaan Alam Etika

15
Yang terpenting adalah menjaga sumber daya alam karena ia merupakan nikmat
dari Allah kepada hambaNya. Setiap hamba wajib mensyukurinya dan slah satu cara
mensyukuri nikmat adalah dengan menjaga sumber daya alam dari polusi, kehancuran,
atau kerusakan. “Dan janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi, sesudah Allah
memperbaikinya”.

Kerusakan dibumi terdiri dari dua bentuk yaitu kerusakan materi dan kerusakan
spiritual. Yang berbentuk materi misalmnya; sakitnya manusoia, tecemarnya alam,
binsanya makhluk hidup dll. Sedangkan yang berbentuk spiritual adalah tersebarnya
kezaliman, meluasnya kebatilan, kuatnya kejahatan, dll. Oleh sebab itu berulang-ulang
Al-qur’an menyatakan bahwa “Allah tidak menyuklai orang-orang yang berbuat
kerusakan, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”

1. Larangan Menelantarkan Ladang Pertanian dan Hewan dari Perbuatan syirik


Al-qur’an melakukan ekspedisi terhadap satu jenis kerusakan yang tersebar pada
masyarakat Arab yaitu menelantarkan hewan dan sebagian sumber pertanian.
Disebabkan pada takhyul dan legenda politeisme atau syirik. Q.S Yunus ayat 59 yang
artinya” katakanlah, ternagkanlah kepada ku tentang rezeki yng dturunkan kepadamu
dan lalu kami jadikan sebagiannya haram dan sebaguan lagi halal, katakanlah apakah
Allah telah memberikan izin kepadamu tentang ini ataukah kamu mengada-adakn saja
terhadap Allah?”
2. Ancaman Bagi Orang Yang Iseng Membunuh Burung Dengan cara yang bervariasi
hadits nabi menekankan pentingnya upaya menjaga sumber daya alam dari ancaman
bahaya. Diantaranya Nabi bersabda yang artinya:” Barang siapa yang membunuh
burung dengan percuma maka pada hari kiamat burung-burung itu akan berteriak dan
berkata, Ya Tuhanku sesungguhnya fulan telah membunuh ku dengan percuma dan
tidak memanfaatkan aku untuk apapun.”(HR. An-Nasai).

3. Penebang Hutan Secara Liar Masuk Neraka Pelarangan ini diperkuat dengan hadits
Nabi yang artinya: ”barang siapa yang menebangi hutang secra liar Allah akan
menjerumuskan kepalanya kedalam api neraka”. Yang dimaksud ialah membabat
hutan secara liar hingga merusak lingkngan dan kemaslahatan manusia dan hewan.

16
4. Melindungi Binatang Dari Penyakit Menular Dalam salah satu hadits, Nabi
mamberikan pangarahan “jangan disatukan ternak yang sakit dengan ternak yang
sehat”. Aturan preventif ini menggariskan agar para peternak tidak menyatukan
tempat makan dan minum hewan yang sakit dengan hewan yang sehat karena
dikhawatirkan penyakit tersebut menular ke hwan sehqt yang lainny. Dianjurkan agar
hewan yang sakirt di akrantina dan diobati karena pada satu sisi ia termasuk makhluk
hidup, dan pada sisi lain ia adlah asset yang bias dikembangkan.

5. Hati-hati Terhadap Binatang Perah Sungguh indah ajaran Islam dalam menjaga
sumber daya alam. Misalnya perkataan Nabi ketika mengunjungi orang anshar  yang
ingin menghormati tamunya dengan memotong kambing perahnya. Kepada orang
anshar  itu Nabi berkata: ”jangan kamu sembelih kambing perahmu”. Hadits ini
menunjukkan bahwa nabi melarang orang yang kedatangan tamu untuk menyembelih
kambing perahnya untuk dihidangkan kepada tamunya, karena binatang perah itu bias
dimanfaatkan air susunya dan bias berfungs9i sebagai penjaga rumah. Sebaliknya,
jika kamu mau menghormati tamu, potonglah binatang yang bukan hewan perahan.

6. Memanfaatkan Kulit Bangkai Binatang Berkata nabi kepada para sahabatnya ketika
beliau melihat bangkai kambing. “Siapakah pemilik kambing ini? “sahabat berkata,
Maimunah, Ummul Mukminin. ”Selanjutnya Nabi berkata: ”tidakkah kamu
memanfaatkan kulitnya?” Mereka menjawab,” kambing itu bangkai”. Nabi berkata
lagi, ”yang diharamkan terhadap bangkai itu memakannya.”Dan Nabi mengingatkan
kepada mereka jika ingin memanfaatkannya dengan cara disamak terlebiih dahulu.

7. Jangan Meninggalkan Sesuap makananpun Untuk Syaithan Nabi bersabda dalam


hadits, yang artinya:” apabila jatuh sesuap makanan darimu ambillah dan bersihkan
dari kotoran, lalu makanlan, janganlah kamu meninggalakannya untuk syaithan”.
Makanan yang jatuh tetap bias dimanfaatkan dengan mudah. Caranya adalah dengan
cara membersihkannya dari debu kotoran. Inilah pendidikan ekonomi yang tinggi
yang sesuai dengan etika dan prinsip ekonomi.

17
8. Menghidupkan Tanah Tak Bertuan Diantara pekerjaan yang dianjurkan Islam dan
menjanjikan pahala yang besar adalah menghidupkan tanah tak bertuan. Sebab,
perluasan sector pertanian dans perkebunan ini menmbah pendapatan pekapita bangsa
dan Negara. Menghidupkan tanah tak bertuan ini dlam fiqih disebut ihyaul mawat.

F. Perlindungan Kekayaan Alam

Ekonomi islam sangat menganjurkan silaksanakan aktivitas produksi dan


mengembankanya, baik segi kualitas maupun quantitas. Ekonomi islam tidak rela jika
tenaga manusia atau komoditi terlantar begitu saja. Islam menghendaki semua tenaga
dikerahkan untuk meningkatkan produktivitas lewat itqan (ketekunan) yang diridhai oleh
Allah atas segala sesuatunya.

a. Mewujudkan Swadaya Individu Kehidupan manusia di dalam lapangan ekonomi


mempunyai empat standar yang satu dengan yang lain sangat berbeda.
i. Standar primer.
ii. Standar cukup (kafaf: rezeki yang sekedar mencukupi).
iii. Standar swasembada atau mapan
iv. Satandar mewah
b. Mewujudkan Swasembada Umat

Tujuan lain dari produksi ialah memenuhi target swasembada masyarakat.


Dengan kata lain masyarakat harus memiliki kemampuan pengalaman, serta metode
untuk memenuhi kebutuhannya, baik material ataupun spiritual, sipil atau militer.
Tanpa adanya swadaya ini, kita tidaj dapat mewujudkan kemerdekaan  dan membentuk
umat pilihan  yang kuat sebagaimana dikatakan oleh Allah dalam kitab Suci-Nya,
“padahal kekuatan itu hanya bagi Allah, bagi Rasulnya dan bagi orang-orang mukmin”.

18
KESIMPULAN

Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan
produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para
konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula
sebaliknya. Untuk menghasilkan barang dan jasa kegiatan produksi melibatkan banyak
faktor produksi. Dalam Islam, seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran nilai moral
dan teknikal yang Islami. Nilai-nilai moral itulah yang kemudian membuat system
ekonomika Islam lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakan secara umum. Seperti
yang dikatakan Mannan bahwa produksi dalam Islam haruslah memenuhi criteria objektif
yang dinilai uang, juga criteria subjektif yang dinilai dengan adanya etika dalam
berproduksi.

Nilai-nilai dan norma dalam berproduksi mengingatkan kita akan pentingnya


memperhatikan; peringatan Allah akan kekayaan alam, bahwa bekerja sendi utama
produksi, berproduksi dalam lingkaran yang halal, perlindungan kekayaan alam,
perlindungan kekayaan alam. Semuanya terangkum dalamsatu pemahaman bahwa dalam
Islam segalaaktifitas hiduptermasuk dalam ekonomi, hendaknya bermuara dan berujung

19
pada upaya untuk mencari Keridhoan Allah. Begitu pula dalam melaksanakan aktifitas
produksi, tidak hanya berdasarkan pada aktifitas menghasilkan daya guna suatu barang
belaka, melainkan sebagai upaya menjalankan tugas manusia sebagai khalifah di muka
bumi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abdurrahman Yusro,  Muqaddimah fi ‘Ilm al-Iqtishad al-Islamiy, Iskandariyah:


1988.

Al-Banna, Hasan, Risalah Pergerakan Jilid I,Gema Insani Press, Jakarta:2002.

An-Nabhani, Taqyuddin an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, Darul Ummah, Beirut: 1990,


yang dalam edisi bahasa Indonesia diberi judul Membangun Sistem Ekonomi Alternatif
Perspektif Islam Cet ke-2, Risalah Gusti, Surabaya: 1996.

Badroen,Faisal,dkk,Etika Bisnis dalam Islam, UIN Jakarta Press, Jakarta: 2005.

Mannan, M.Abdul, Teori & Praktek Ekonomi Islam, PT. Dhana Bhakti Wakaf,
Yogyakarta: 1995.

Monzer Kahf, Monzer,Ph.d, Ekonomi Islam; telaah kritik terhadap fungsi sisteme konomi
Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 1995.

20
Muhammad,M.Ag, Lukman Farouni, Visi Al-Qur’an  tentang etika dan bisnis, Penerbit
Salemba Diniyah, Jakarta: 2002.

Qalahji, Muhammad Rawwas, Mabahis fi al-Iqtishad al-Islamiy min Ushulihi al-


Fiqhiyyah cet ke 4, Dar an Nafes, Beirut: 2000.

Qardhawi,Yusuf, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Meneguhkan


Kembali Konsep Produksi Dalam Ekonomi Islam.

BAB VIII
Teori Penawaran Islami
 
 
 Pendahuluan
 
Berbicara tentang teori penawaran dalam kerangka ekonomi Islam sebenarnya
merupakan kelanjutan dari pembahasan tentang teori permintaan dalam ekonomi Islam.
Sama halnya dalam ilmu ekonomi konvensional, dalam ilmu ekonomi Islam pembahasan
persoalan ini menyangkut faktor-faktor atau variabel-variabel yang berpengaruh terhadap
kedudukan penawaran suatu barang atau jasa tertentu. Sebagian penjelasan tentang aspek
penawaran dalam ekonomi Islam telah diungkapkan dalam penjelasan tentang
permintaan. Oleh karena itu dalam artikel singkat ini hanya akan disinggung hal-hal yang
dirasa penting dikaitkan dengan perbedaan utama dari teori penawaran konvensional.  
 
Penawaran dalam ilmu ekonomi konvensional

21
            Dijelaskan bahwa penawaran berkorelasi positif terhadap harga (P). Ini berarti
bahwa semakin tinggi suatu harga produk, semakin memberikan insentif kepada
produsen untuk meningkatkan produksinya dan kemudian menawarkannya kepada
konsumen yang membutuhkan. Sebaliknya, semakin rendah suatu harga produk, semakin
berkurang insentif bagi produsen untuk memproduksi dan menawarkannya. Hal ini
disebabkan karena makin rendah suatu harga, makin kecil suatu keuntungan atau malah
timbul kerugian. Sebagai suatu agen ekonomi yang rasional, produsen akan memutuskan
produksinya. Dengan demikian dapatlah digambarkan dalam sebuah diagram di mana
sumbu vertikal adalah harga dan sumbu horizontal adalah jumlah produk yang
ditawarkan kepada masyarakat bahwa kurva penawaran sebagai kurva yang naik ke
kanan. Kedudukan kurva ini bisa berpindah atau bergeser bergantung kepada faktor-
faktor yang mempengaruhinya.  
            Di samping itu, ongkos produksi juga merupakan faktor penting dalam
menentukan penawaran suatu produk. Ongkos produksi pada gilirannya ditentukan oleh
harga dari faktor in put. Perubahan dalam harga-harga faktor input umumnya dikarenakan
adanya perubahan dalam laju pajak dan subsidi. Sekalipun diasumsikan bahwa tidak
terjadi perubahan dalam kebijakan fiskal pemerintah berkaitan dengan perpajakan atau
subsidi, masih ada faktor lain yang sangat berperan dalam menentukan kedudukan
penawaran dalam perekonomian konvensional. Kemajuan teknologi berperan sangat
penting dalam mengurangi ongkos produksi karena perubahan dalam teknologi yang
lebih maju memungkinkan dipakainya cara-cara produksi yang jauh lebih efisien dan
tentu saja lebih murah dari pada sebelumnya.
            Dengan demikian dapatlah diringkaskan bahwa aspek penawaran (Qs) dalam
ekonomi konvensional ditentukan oleh beberapa variabel antara lain harga (P), ongkos
produksi (C ), teknologi (T) dan faktor input (Pf), ceteris paribus. Secara matematis dapat
diungkapkan dalam sebuah fungsi umum Qs = f (P, C, T, Pf). Sekalipun banyak faktor
yang mempengaruhi tingkatan penawaran, dalam analisis ilmu ekonomi hanya
menggunakan harga sebagai ukuran utama dalam membuat diagram penawaran.    
  
Penawaran dalam ekonomi Islam

22
            Secara umum tidak banyak perbedaan antara teori permintaan konvensional
dengan Islami sejauh hal itu dikaitkan dengan variabel atau faktor yang turut berpengaruh
terhadap posisi penawaran. Bahkan bentuk kurva secara umum pada hakekatnya sama.
Satu aspek penting yang memberikan suatu perbedaan dalam pespektyif ini kemungkinan
besara berasal dari landasan filosofi dan moralitas yang didasarkan pada premis nilai-
nilai Islam. Yang pertama adalah bahwa Islam memandang manusia secara umum,
apakah sebagai konsumen atau produsen, sebagai suatu objek yang terkait dengan nilai-
nilai. Nilai-nilai yang paling pokok yang didorong oleh Islam dalam kehidupan
perekonomian adalah kesederhanaan, tidak silau dengan gemerlapnya kenikmatan
duniawi (zuhud) dan ekonomis (iqtishad). Inilah nilai-nilai yang seharusnya menjadi
trend gaya hidup Islamic man. Yang kedua adalah norma-norma Islam yang selalu
menemani kehidupan manusia yaitu halal dan haram. Produk-produk dan transaksi
pertukaran barang dan jasa tunduk kepada norma ini. Hal-hal yang diharamkan atas
manusia itu pada hakekatnya adalah barang-narang atau transaksi-transaksi yang
berbahaya bagi diri mereka dan kemaslahatannya. Namun demikian, bahaya yang
ditimbulkan itu tidak selalu dapat diketahui dan dideteksi oleh kemampuan indrawi atau
akal manusia dalam jangka pendek. Sikap yang benar dalam menghadapi persoalan ini
adalah kepatuhan kepada diktum disertai pencarian hikmah di balik itu.
Dengan kedua batasan ini maka lingkup produksi dan pada gilirannya adalah
lingkup penawaran itu sendiri dalam ekonomi Islam menjadi lebih sempit dari pada yang
dimiliki oleh ekonomi konvensional. Dengan demikian terdapat dua penyaringan
(filtering) yang membuat wilayah penawaran (domain) dalam ekonomi Islam menyempit
yaitu filosofi kehidupan Islam dan norma moral Islam.
 
Asumsi-Asumsi
            Sekalipun jarang diungkapkan atau bahkan sengaja disembunyikan oleh buku-
buku teks ekonomi konvensional, pada hakekatnya asumsi-asumsi tertentu telah
berfungsi sebagai landasan bagi  teori-teori mereka. Ketidakterusterangan dalam
persoalan ini bisa saja dipicu oleh kepercayaan Barat bahwa apa yang menjadi nilai bagi
mereka sebenarnya berlaku juga bagi masyarakat lain. Tokoh ekonom Barat yang paling
egaliter semacam Gunnar Myrdal sekalipun masih menyimpan sikap etnosentris yang

23
menganggap bahwa nilai-nilai yang menjadi pondasi kemajuan ekonomi Barat
sebenarnya sangat asing bagi masyarakat Asia. Karena itulah perlu kiranya kita
menjelaskan di sini bebarapa asumsi yang memiliki implikasi dalam aspek penawaran.
 
Pertama, homo economicus. Dalam ekonomi konvensional, para pelaku dan
pemain ekonomi (economic agent) dipandang sebagai suatu makhluk ekonomi yang
berusaha untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun. Nafsu ingin memenuhi
segala keinginannya dan cara yang dipakai untuk memenuhinya seringkali atau pada
umumnya tidak dihubungkan secara langsung atau tidak langsung dengan norma moral,
baik yang diambil dari ajaran agama maupun dari filsafat (etiket). Hal ini menimbulkan
dorongan tanpa batas untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber-
sumber daya yang tersedia di alam bagi pemenuhi keinginan manusia. Selama usaha
manusia dipertaruhkan untuk memenuhi keinginannya, mengejar keuntungan dalam teori
penawaran, selama itu pula ia dianggap sebagau sebuah usaha yang baik. Hal ini
menimbulkan pengurasan sumber daya alam yang tersedia sehingga berakibat pada
terancamnya keseimbangan ekologi terutama bagi generasi mendatang.
Semua kreasi dan inovasi dipacu dan terus digenjot atas nama ekonomi. Padahal
tidak semua barang atau jasa yang diproduksi tersebut penting untuk diciptakan bagi
kepentingan manusia. Sebagian dari barang yang diproduksi itu pada hakekatnya suatu
bentuk kemubaziran karena sebenarnya tidak perlu diproduksi atau sebenarnya ada
barang lain yang menempati ranking lebih penting harus terlebih dahulu diproduksi. Hal
ini mengakibatkan sistem perekonomian menjadi tidak dapat dikendalikan
(unmanageable).
Dalam perspektif ekonomi Islam, manusia diinjeksi dengan norma moral Islam
sehingga nafsu untuk memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi. Demikian juga cara
untuk memenuhi keinginan tersebut senantiasa dikaitkan dengan norma moral Islam yang
sellau menemaninya ke mana saja dan di mana saja. Karena itu, semua barang dan jasa
yang diproduksi dan ditawarkan ke pasar mencerminkan kebutuhan riil dan sesuai dengan
tujuan syariah itu sendiri (maqoshidu syariah). Dalam perspektif ini tidak dimungkinkan
produksi barang yang tidak berguna secara syar’i.  

24
Kedua, rasionalitas. Asumsi kedua ini merupakan turunan dari asumsi yang
pertama. Jika ilmu ekonomi konvensional melihat bahwa manusia adalah economic man
yang selalu didorong untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun, maka
asumsi rasionalitas merupakan ruhnya yang mengilhami seluruh usahanya dalam rangka
memenuhi keinginannya tersebut. Selama manusia menguras tenaga dan pikirannya
untuk memenuhi keinginannya dengan cara apapun, ia adalah makhluk rasional. Ketika
produsen berusaha memaksimalkan keuntungan an sich, dengan mengabaikan tanggung
jawab sosial, ia adalah makhluk rasional dan tidak perlu dikhawatirkan. Begitu juga
dengan konsumen yang ingin memaksimalkan nilai guna (utility) ketika membeli suatu
produk, maka ia berjalan pada jalur rasionalitas dan hal itu secara ekonomi adalah baik.
Dalam perspektif ekonomi Islam, asumsi ini tetap menjadi acuan tetapi dengan
beberapa catatan dan tambahan. Adanya injeksi norma moral Islam akan menjadi pelita
bagi tiap-tiap agen ekonomi untuk bertindak rasional tetapi dalam kerangka nilai-nilai
Islam. Gaya hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam memproduksi dan
mengkonsumsi serta selalu memperhatikan batas halal dan haram merupakan rambu-
rambu yang akan memberikan teguran kepada Islamic man. 
Ketiga, netral terhadap nilai (value neutral). Asumsi ini merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari disiplin ilmu ekonomi konvensional yang dipandang sebagai disiplin
positif. Tugas dari suatu disiplin yang positif adalah menggambarkan realitas atau suatu
fenomena secara objektif tanpa ada unsur campur tangan dari pengamat. Di awal-awal
perkembangan ilmu ekonomi menjadi suatu disiplin ilmiah, banyak pakarnya yang
cenderung menjadikannya sebagai suatu ilmu positif dan eksak layaknya fisika atau
kimia. 
Sekalipun hingga sekarang terbukti bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak
selalu positif, tetapi buku-buku teks masih selalu alergi jika dikaitkan dengan moral
terutama yang berasal dari nilai-nilai keagamaan. Gejala ini disebabkan karena
sekulerisme dalam ilmu pengetahun telah mencapai akar-akarnya sehingga buah yang
muncul dari ilmu pengetahun itu sudah terkena racun sekulerisme. Namun perlu dicatat
bahwa asumsi netral terhadap nilai ini tidak selalu dapat dipertahankan. Umumnya dalam
bidang ilmu mikro ekonomi akar netralitas ini begitu kuat dan menghujam, tetapi dalam
makro ekonomi tidak demikian. Malahan kita dapat melihat bahwa semua tujuan-tujuan

25
pokok dalam bidang makroekonomi pada hakekatnya adalah bermuatan nilai (value
laden) misalnya tentang kesempatan kerja penuh (full employment), stabilitas nilai tukar
dan harga dan lain-lain. Bahkan kebijakan pemerintah di hampir semua bidang tidak
pernah terlepas dari nilai-nilai.
Adanya keterikatan kepada nilai dalam penawaran tidak menjadikan kinerja
produksi dan penawaran dalam perspektif Islam kekurangan insentif. Dengan injeksi
moral Islam justru membuka dan mempeluas horizon dan berfungsi mendorong agen
ekonomi untuk berusaha dengan lebih baik dan efisien.  Bagi mereka yang memahami
Islam secara parsial dan tidak komprehensif merasa bahwa semua nilai-nilai ini hanya
berfungsi sebagai hambatan dalam ekonomi dan pembangunan. Kesimpulan ini amat naif
dan terkesan tergesa-gesa serta dilatarbelakangi oleh kebodohan.

BAB IX
MEKAMISME PASAR

MEKANISME PASAR ISLAMI DAN PENGENDALIAN HARGA

A. Pendahuluan

Islam adalah agama yang selain bersifat syumuliyah (sempurna) juga harakiyah
(dinamis). Disebut sempurna karena Islam merupakan agama penyempurna dari agama-
agama sebelumnya dan syari’atnya mengatur seluruh aspek kehidupan, baik yang bersifat
aqidah maupun muamalah. Dalam kaidah tentang muamalah, Islam mengatur segala
bentuk perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya di dunia. Termasuk di dalamnya adalah kaidah Islam yang mengatur
tentang pasar dan mekanismenya.

26
Pasar adalah tempat dimana antara penjual dan pembeli bertemu dan melakukan
transaksi jual beli barang dan atau jasa. Pentingnya pasar dalam Islam tidak terlepas dari
fungsi pasar sebagai wadah bagi berlangsungnya kegiatan jual beli. Jual beli sendiri
memiliki fungsi penting mengingat, jual beli merupakan salah satu aktifitas
perekonomian yang “terakreditasi” dalam Islam. Attensi Islam terhadap jual beli sebagai
salah satu sendi perekonomian dapat dilihat dalam surat Al Baqarah 275 bahwa Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Pentingnya pasar sebagai wadah aktifitas tempat jual beli tidak hanya dilihat dari
fungsinya secara fisik, namun aturan, norma dan yang terkait dengan masalah pasar.
Dengan fungsi di atas, pasar jadi rentan dengan sejumlah kecurangan dan juga perbuatan
ketidakadilan yang menzalimi pihak lain. Karena peran pasar penting dan juga rentan
dengan hal-hal yang dzalim, maka pasar tidak terlepas dengan sejumlah aturan syariat,
yang antara lain terkait dengan pembentukan harga dan terjadinya transaksi di pasar.

Dalam istilah lain dapat disebut sebagai mekanisme pasar menurut Islam dan
intervensi pemerintah dalam pengendalian harga.

Melihat pentingnya pasar dalam Islam bahkan menjadi kegiatan yang terakreditasi serta
berbagai problem yang terjadi seputar berjalannya mekanisme pasar dan pengendalian
harga, maka pembahasan tentang tema ini menjadi sangat menarik dan urgen.

B. Islam dan sistem pasar

Dewasa ini, secara umum dapat disampaikan bahwa kemunculan pesan moral
Islam dan pencerahan teori pasar, dapat dikaitkan sebagai bagian dari reaksi penolakan
atas sistem sosialisme dan sekularisme. Meskipun tidak secara keseluruhan dari kedua
sistem itu bertentangan dengan Islam. Namun Islam hendak menempatkan segala sesuatu
sesuai pada porsinya, tidak ada yang dirugikan, dan dapat mencerminkan sebagai bagian
dari the holistic live kehidupan duniawi dan ukhrowi manusia.

Oleh sebab itu, sangat utama bagi umat Islam untuk secara kumulatif
mencurahkan semua dukungannya kepada ide keberdayaan, kemajuan dan kecerahan

27
peradaban bisnis dan perdagangan. Islam secara ketat memacu umatnya untuk bergiat
dalam aktivitas keuangan dan usaha-usaha yang dapat meningkatkan kesejahteraan
social.

Berdagang adalah aktivitas yang paling umum dilakukan di pasar. Untuk itu teks-
teks Al Qur’an selain memberikan stimulasi imperative untuk berdagang, dilain pihak
juga mencerahkan aktivitas tersebut dengan sejumlah rambu atau aturan main yang bisa
diterapkan di pasar dalam upaya menegakkan kepentingan semua pihak, baik individu
maupun kelompok.

Konsep Islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri di atas prinsip persaingan
bebas (perfect competition). Namun demikian bukan berarti kebebasan tersebut berlaku
mutlak, akan tetapi kebebasan yang dibungkus oleh frame syari’ah. Dalam Islam,
Transaksi terjadi secara sukarela (antaradim minkum/mutual goodwill, Sebagaimana
disebutkn dalam Qur’an surat An Nisa’ ayat 29. Didukung pula oleh hadits riwayat Abu
dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majjah dan as Syaukani sebagai berikut:

َ xَ‫س ق‬
‫ال‬x ٍ َ‫ ٌد ع َْن أَن‬x ‫ك َوقَتَا َدةُ َو ُح َم ْي‬ ِ ‫ت ع َْن أَن‬
ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬ ٌ ِ‫َح َّدثَنَا ع ُْث َمانُ بْنُ أَبِي َش ْيبَةَ َح َّدثَنَا َعفَّانُ َح َّدثَنَا َح َّما ُد بْنُ َسلَ َمةَ أَ ْخبَ َرنَا ثَاب‬
‫ق‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َّن هَّللا َ هُ َو ْال ُم َس ِّع ُر ْالقَابِضُ ْالبَا ِسطُ الر‬
ُ ‫َّاز‬ َ ِ ‫النَّاسُ يَا َرسُو َل هَّللا ِ غَاَل ال ِّس ْع ُر فَ َسعِّرْ لَنَا فَقَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
ْ ‫ْس أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم يُطَالِبُنِي بِ َم‬
ٍ ‫ظلَ َم ٍة فِي د ٍَم َواَل َم‬
‫ال‬ َ ‫َوإِنِّي أَل َرْ جُو أَ ْن أَ ْلقَى هَّللا َ َولَي‬

”Orang-orang berkata: “Wahai Rasulullah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk
kami!” Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang
menyempitkan dan yang melapangkan rizki, dan aku sungguh berharap untuk bertemu
Allah dalam kondisi tidak seorangpun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu
kezhaliman-pun dalam darah dan harta”. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan
asy-Syaukani).

Selanjutnya pasar yang adil akan melahirkan harga yang wajar dan juga tingkat
laba yang tidak berlebihan, sehingga tidak termasuk riba yang diharamkan oleh Allah
SWT. sebagaimana ayat berikut; Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka

28
Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka
baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS Al Baqarah: 275)

Dalam pada itu, transaksi yang dilakukan secara benar dan tidak masuk dalam
riba dalam mencari keutamaan Allah bahkan mendapat dukungan yang kuat dalam agama

“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia dan berbuat
baiklah … (QS. Al Qoshos: 77)

Prinsip-prinsip

Konsep mekanisme pasar dalam Islam dibangun atas prinsip-prinsip sebagai


berikut:

Pertama, ArRidha, yakni segala transaksi yang dilakukan haruslah atas dasar kerelaan
antara masing-masing pihak (freedom contract). Hal ini sesuai dengan Qur’an Surat an
Nisa’ ayat 29:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.”(Qs: Annisa’ 29)

Kedua, berdasarkan persaingan sehat (fair competition). Mekanisme pasar akan


terhambat bekerja jika terjadi penimbunan (ihtikar) atau monopoli. Monopoli dapat

29
diartikan, setiap barang yang penahanannya akan membahayakan konsumen atau orang
banyak.

Ketiga, kejujuran (honesty), kejujuran merupakan pilar yang sangat penting dalam Islam,
sebab kejujuran adalah nama lain dari kebenaran itu sendiri. Islam melarang tegas
melakukan kebohongan dan penipuan dalam bentuk apapun. Sebab, nilai kebenaran ini
akan berdampak langsung kepada para pihak yang melakukan transaksi dalam
perdagangan dan masyarakat secara luas.

Keempat, keterbukaan (transparancy) serta keadilan (justice). Pelaksanaan prinsip ini


adalah transaksi yang dilakukan dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan
kehendak dan keadaan yang sesungguhnya

C. Harga dan persaingan sempurna pada pasar Islami

Konsep Islam memahami bahwa pasar dapat berperan aktif dalam kehidupan
ekonomi apabila prinsip persaingan bebas dapat berlaku secara efektif. Pasar tidak
mengharapkan adanya intervensi dari pihak manapun termasuk Negara dalam hal
intervensi harga atau private sector dengan kegiatan monopolistic dan lainya. Karena
pada dasarnya pasar tidak membutuhkan kekuasaan yang besar untuk menentukan apa
yang harus dikonsumsi dan diproduksi. Sebaliknya, biarkan tiap individu dibebaskan
untuk memilih sendiri apa yang dibutuhkan dan bagaimana memenuhinya. Pasar yang
efisien akan tercapai apabila termasuk investor (jika dalam pasar modal) dan seluruh
pelaku pasar lainnya memperoleh akses dan kecepatan yang sama atas keseluruhan
informasi yang tersedia. Dengan kata lain, tidak ada insider information.

Inilah pola normal dari pasar yang dalam istilah Al Ghozali berkait dengan
ilustrasi dari evolusi pasar. Selanjutnya C. Adam Smith menyatakan serahkan saja pada
Invisible hand dan dunia akan teratur dengan sendirinya. Prinsip invisible hand yaitu,
dimana pasar cenderung akan mengarahkan setiap individu untuk mengejar dan

30
mengerjakan yang terbaik untuk kepentingannya sendiri, yang pada akhirnya juga akan
menghasilkan yang terbaik untuk seluruh individu.

Dari pemahaman itu, harga dari sebuah komoditas baik barang maupun jasa
ditentukan oleh kualitas dan kuantitas penawaran dan permintaan. Hal ini sesuai dengan
hadith yang diriwayatkan dari Anas Bahwasannya suatu hari terjadi kenaikan harga yang
luar biasa di masa Rosulullah SAW, maka sahabat meminta nabi untuk menentukan
harga pada saat itu, lalu nabi bersabda: Artinya, “Bahwa Allah adalah Dzat yang mencbut
dan memberi sesuatu, Dzat yang memberi rezeki dan penentu harga”. (HR. Abu Daud).

Dari hadist itu, dapat disimpulkan bahwa pada waktu terjadi kenaikan harga,
Rosulullah SAW meyakini adanya penyebab tertentu yang sifatnya darurat. Oleh karena
itu, sesuatu yang bersifat darurat akan hilang seiring dengan hilangnya penyebab dari
keadaan itu. Di lain pihak, Rosulullah juga meyakini bahwa harga akan kembali normal
dalam waktu yang tidak terlalu lama. Penetapan harga menurut Rosul merupakan suatu
tindakan yang menzalimi kepentingan para pedagang, karena para pedagang di pasar
akan merasa terpaksa untuk menjual barangnya sesuai dengan harga patokan, yang
tentunya tidak sesuai dengan keridloannya.

Dengan demikian, pemerintah tidak mewakili wewenang untuk melakukan


intervensi terhadap harga pasar dalam kondisi normal. Ibnu Taimiyah mengatakan, jika
masyarakat melakukan transaksi jual beli dalam kondisi normal tanpa ada distorsi atau
penganiayaan apapun dan terjadi perubahan harga karena sedikitnya penawaran atau
banyaknya permintaan, maka ini merupakan kehendak Allah.

Harus diyakini bahwa intervensi terhadap pasar hanya dapat dilakukan dalam
keadaan yang darurat. Keadaan darurat disini dapat diartikan jika pasar tidak terjadi
dalam keadaan sempurna, yaitu terdapat kondisi-kondisi yang menghalangi kompetisi
secara fair (market failure). Beberapa contoh klasik dari kondisi market failure antara
lain: informasi yang tidak simetris, biaya transaksi, kepastian institusional, masalah
eksternalitas (termasuk pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan) serta masalah

31
dalam distribusi. Jika kondisi demikian ini terjadi, maka akan terjadi pasar tidak
sempurna atau disebut dengan istilah Market Imperfection.

Market Imperfection

Efisiensi pasar dapat tidak tercapai jika pasar adalah tidak sempurna (market
imperfection) yang disebabkan oleh:

1. Kekuatan pasar; yang memiliki kekuatan pasar dapat menentukan harga dan kuantitas
keseimbangan.
2. Eksternalitas; aktivitas konsumsi/produksi yang mempengaruhi pihak lain, tidak
tercermin di pasar.
3. Barang publik; non-exclusive and non-rival good in consumption.
4. Informasi tidak sempurna; menyebabkan inefisiensi dalam permintaan dan
penawaran.

Dalam Islam, ketidaksempurnaan diatas diakui dan ditambahkan dengan beberapa


faktor lain penyebab distorsi pasar atau disebut dengan Islamic Market Imperfection.

Islamic Market Imperfection

Islamic Market Imperfection terdiri dari beberapa perbuatan sebagaimana berikut:

1. Rekayasa Supply dan Demand

a. Ba’i Najasy; produsen menyuruh pihak lain memuji produk-nya atau menawar
dengan harga tinggi, sehingga orang akan terpengaruh.
b. Ikhtikar; mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menahan
barang untuk tidak beredar di pasar supaya harga-nya naik.

2. Tadlis (Penipuan)

a. Tadlis kuantitas,

32
b. Tadlis kualitas,
c. Tadlis harga

3. Ghaban faa-hisy : menjual diatas harga pasar.

a. Talaqqi rukban : pedagang membeli barang penjual sebelum mereka masuk ke


kota.

b. Tadlis waktu penyerahan


c. Taghrir (Ketidakpastian) :
 Taghrir kuantitas,
 Taghrir kualitas,

 Tahgrir harga,

 Taghrir waktu penyerahan


d. Predatory pricing, yaitu menjual dengan harga dibawah harga pasar.

Dalam hal terjadinya pasar tidak sempurna dan atau terjadinya kondisi yang tidak
normal, maka intervensi pasar oleh pemerintah menjadi diperbolehkan.

Intervensi Pasar

Menurut Islam negara memiliki hak untuk melakukan intervensi dalam kegiatan
ekonomi baik itu dalam bentuk pengawasan, pengaturan maupun pelaksanaan kegiatan
ekonomi yang tidak mampu dilaksanakan oleh masyarakat. Intervensi harga oleh
pemerintah bisa karena faktor alamiah maupun non alamiah. Pada umumnya intervensi
pemerintah berupa intervensi kebijakan dalam regulasi yang berhubungan dengan
permintaan dan penawaran dan intervensi dalam menentukan harga. Intervensi dengan
cara membuat kebijakan yang dapat mempengaruhi dari sisi permintaan maupun dari sisi
penawaran (market intervention) biasanya dikarenakan distorsi pasar karena faktor

33
alamiah. Bila distorsi pasar terjadi karena faktor non almiah, maka kebijakan yang
ditempuh salah satunya dengan dengan intervensi harga di pasar.

Menurut Ibnu Taimiyah, keabsahan pemerintah dalam menetapkan kebijakan


intervensi dapat terjadi pada situasi dan kondisi sebagai berikut :

1. Produsen tidak mau menjual produk-nya kecuali pada harga yang lebih tinggi
daripada harga umum pasar, padahal konsumen membutuhkan produk tersebut.
2. Terjadi kasus monopoli (penimbunan), para fuqoha’ untuk memberlakukan hak hajar
(ketetapan yang membatasi hak guna dan hak pakai atas kepemilikan barang) oleh
pemerintah.
3. Terjadi keadaan al hasr (pemboikotan), dimana distribusi barang hanya terkonsentrasi
pada satu penjual atau pihak tertentu. Penetapan harga disini untuk menghindari
penjualan barang tersebut dengan harga yang ditetapkan sepihak dan semena-mena
oleh pihak penjual tersebut.
4. Terjadi koalisi dan kolusi antar penjual (kartel) dimana sejumlah pedagang sepakat
untuk melakukan transaksi diantara mereka, dengan harga diatas ataupun dibawah
harga normal.
5. Produsen menawarkan produk-nya pada harga yang terlalu tinggi menurut konsumen,
sedangkan konsumen meminta pada harga yang terlalu rendah menurut produsen.
6. Pemilik jasa, misal tenaga kerja, menolak untuk bekerja kecuali pada harga yang
lebih tinggi dari pada harga pasar yang berlaku, padahal masyarakat membutuhkan
jasa tersebut.

Sementara itu tujuan adanya intervensi pasar yang dilakukan oleh pemerintah
menurut Ibnu Qudamah al Maqdisi 1374 M adalah sebagai berikut:

1. Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat


2. Untuk mencegah ikhtikar dan ghaban faa-hisy.
3. Untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Bagi Mannan, Regulasi harga (bagian dari intervensi Pemerintah) memiliki 3 fungsi:

34
1. Fungsi ekonomi: berhubungan dengan peningkatan produktivitas dan peningkatan
pendapatan masyarakat miskin melalui alokasi dan relokasi sumber daya ekonomi.
2. Fungsi sosial: mempersempit kesenjangan antara masyarakat kaya dan masyarakat
miskin.
3. Fungsi moral : Upaya menegakkan nilai-nilai Islami dalam aktivitas perekonomian

D. Hisbah dan Pengawasan pasar

Ajaran Islam tidak hanya mengatur tentang mekanisme pasar, transaksi dan
perdagangan, namun Islam juga menyediakan mekanisme pengawasan (pengawasan
pasar) agar tercipta law enforcement terhadap aturan-aturan tersebut.lembaga yang
bertugas dalam mengawasi pasar adalah Hisbah. Hisbah menurut Imam Mawardi dan
Abu Ya’la Merupakan sistem untuk memerintahkan yang baik dan adil jika kebaikan dan
keadilan secara nyata dilanggar atau tidak dihormati, selain itu lembaga ini juga melarang
kemungkaran dan ketidakadilan ketika hal tersebut secara nyata sedang dilakukan.
Hisbah mulai dilembagakan secara resmi pada masa pemerintahan Ummar bin Khattab
dengan cara “menunjuk seorang perempuan untuk mengawasi pasar dari tindakan-
tindakan penipuan”.

Para intelektual muslim membagi pengawasan pasar ini dalam dua jenjang, yaitu
internal yang berpusat dari pemahaman personal terhadap syari’at terkait dengan
transaksi, perdagangan dan segala hal berkenaan dengan mekanisme pasar yang
bersumber dari Al Qur’an, al Hadith dan pendapat para ulama. Sementara pengawasan
secara eksternal dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga lainnya di luar diri para
pelaku pasar.

Islam mengatur dan mengawasi pasar secara ketat. Salah satu lembaga yang
semestinya dibentuk untuk mengawasi pasar menurut Islam adalah Hisbah. Meskipun
demikian sebenarnya pengawasan dapat dilakukan oleh semua orang sebagaimana sabda
Rosulullah SAW tentang perintah untuk menindak kemungkaran. Terkait dengan
mencegah terjadinya kemungkaran ini salah satu wewenang lembaga hisbah adalah
pencegahan penipuan di pasar, seperti masalah kecurangan dalam timbangan, ukuran

35
maupun pencegahan penjualan barang yang rusak serta tindakan-tindakan yang merusak
moral Landasan Hisbah sebagaimana diterapkan oleh Rosulullah adalah hadith yang
menceritakan ketika Rosulullah melakukan inspeksi pasar dan menemukan pelanggaran
di pasar karena meletakkan kurma yang basah di bawah di atas tumpukan kurma kering,
sehingga dapat menutupi informasi bagi pembeli tentang kualitas kurma. Dari itu
kemudian Rosulullah menegaskan bahwa praktek yang demikian adalah dilarang dalam
Islam. Sementara dalam Al Qur’an dapat kita lihat pada Surat Ali Imran ayat 104;
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang
yang beruntung”

E. Mekanisme pasar dalam sejarah Islam

1. Masa Rasulullah

Dalam ekonomi Islam, hal-hal yang tetap dalam harga yang sama ditentukan oleh
operasi bebas kekuatan pasar. Nabi Muhammad SAW tidak menganjurkan campur
tangan apa pun dalam proses penetuan harga oleh negara atau individual. Di samping
menolak untuk mengambil aksi langsung apa pun, beliau melarang praktek-praktek bisnis
yang dapat membawa kepada kekurangan pasar. Dengan demikian, Nabi Muhammad
SAW menghapuskan pengaruh kekuatan ekonomi atas mekanisme harga.

Dalam hal penentuan harga, pada masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW
ditentukan melalui mekanisme pasar. Diriwayatkan dari Anas bahwa ia mengatakan
harga pernah mendadak naik pada masa Rasulullah SAW. Para sahabat mengatakan:
“Wahai Rasulullah, tentukanlah harga (ta’sir) untuk kita. Beliau menjawab: “Allah SWT
itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan dan pencurah serta pemberi rizki. Aku
mengharap dapat menemui Tuhanku dimana salah satu diantara kalian tidak menuntutku
karena kezaliman dalam hal darah dan harta.”

Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW melarang adanya intervensi


harga dari siapapun juga. Praktek-praktek dalam mengintervensi harga adalah perbuatan
yang terlarang.

36
Selain melarang adanya intervensi harga, ada beberapa larangan yang
diberlakukan Rasulullah SAW untuk menjaga agar seseorang tidak dapat melambungkan
harga seenaknya seperti larangan menukar kualitas mutu barang dengan kualitas rendah
dengan harga yang sama serta mengurangi timbangan barang dagangan. Beberapa
larangan lainnya adalah:

a. Larangan Najsy

Najsy adalah sebuah praktek dagang dimana seorang penjual menyuruh orang lain
untuk memuji barang dagangannya atau menawar dengan harga yang tinggi calon
pembeli yang lain tertarik untuk membeli barang dagangannya. Najsy dilarang karena
dapat menaikkan harga barang-barang yang dibutuhkan oleh para pembeli. Rasulullah
SAW bersabda: “Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran terhadap barang tanpa
bermaksud untuk membeli (H.R. Tirmidzi).

b. Larangan Bay‘ Ba’dh ‘Ala Ba’dh

Praktek bisnis ini adalah dengan melakukan lompatan atau penurunan harga oleh
seorang dimana kedua belah pihak yang terlibat tawar menawar masih dalam tahap
negosiasi atau baru akan menyelesaikan penetapan harga. Rasulullah melarang praktek
semacam ini karena hanya akan menimbulkan kenaikan harga yang tidak diinginkan.

c. Larangan Tallaqi Al-Rukban

Praktek ini adalah dengan cara mencegat orang-orang yang membawa barang dari
desa dan membeli barang tersebut sebelum tiba di pasar. Rasulullah melarang praktek
semacam ini dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kenaikan harga. Beliau
memerintahkan agar barang-barang langsung dibawa ke pasar, sehingga penyuplai barang
dan para konsumen bisa mengambil manfaat dari harga yang sesuai dan alami.

37
d. Larangan Ihtinaz dan Ihtikar

Ihtinaz adalah praktek penimbunan harta seperti emas, perak dan lain sebagainya.
Sedangkan ihtikar adalah penimbunan barang-barang seprti makanan dan kebutuhan
sehari-hari. Penimbunan barang dan pencegahan peredarannya sangat dilarang dan dicela
dalam Islam seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 34-35
yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan dari pendeta-pendeta


memakan harta manusia dengan cara yang bathil dan mereka menghalangi dari jalan
Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya
pada jalan Allah maka beritahukan kepada mereka akan azab yang pedih. Pada hari itu
dipanaskan dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi, rusuk dan punggung
mereka dan dikatakan (kepada mereka). Inilah harta benda yang kamu simpan untuk
dirimu sendiri, maka rasakanlah (balasan) dari apa yang kamu simpan dahulu itu.”
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa praktek penimbunan baik yang berbentuk uang tunai
maupun barang sangatlah bertentangan dengan ajaran Islam. Bahaya dari praktek ihtikar
dapat menyebabkan kelangkaan barang di pasar sehingga harga barang menjadi naik.

2. Masa Khulafaurrasyidin

Khalifah pertama yang ditunjuk untuk memegang tampuk pemerintahan setelah


Rasulullah SAW wafat adalah Abu bakar As-Siddiq. Tidak banyak diketahui kebijakan-
kebijakan baru mengenai harga yang dibuat oleh Abu Bakar. Namun demikian sebagai
seorang fukaha yang berprofesi sebagai seorang pedagang, Abu Bakar menjalankan
praktek perdagangan secara syariah termasuk masalah kebijakan tentang harga yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh Rasulullah SAW.

Setelah Abu Bakar wafat, tampuk pemerintahan dipegang oleh Umar bin Khattab.
Selama sepuluh tahun pemerintahannya, Umar bin Khattab benar-benar menerapkan
ekonomi syariah yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini dapat dilihat dari
peringatan keras Umar bin Khattab terhadap segala praktek penimbunan barang-barang
yang menjadi kebutuhan masyarakat. Beliau tidak memperbolehkan seorang pun dari

38
kaum muslimin untuk membeli barang sebanyak-banyaknya dengan niatan untuk
ditimbun.

Umar bin Khattab mengadakan dan menjalankan hisbah yang telah dirintis sejak
zaman Rasulullah SAW. Selain itu, beliau juga mengambil inisiatif untuk melakukan
operasi pasar pada saat terjadi kelaparan yang dasyat di Medinah.

Khalifah ketiga adalah Ustman bin Affan. Sebagai seorang fukaha, beliau
mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap penegakan hukum termasuk hukum tentang
ekonomi yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW dan khalifah-khalifah sebelumnya.
Dalam hal kebijakan harga, beliau tidak menyerahkan penentuan harga ke tangan
pengusaha. Utsman bin Affan selalu berusaha untuk tetap mendapatkan informasi tentang
situasi harga bahkan harga barang yang sulit dijangkau. Jika beliau mengetahui ada
pedagang-pedagang yang ingin menimbun makanan atau menjualnya dengan harga yang
mahal, maka beliau akan mengirimkan kafilah-kafilah untuk mengambil bahan makanan
tersebut dengan tujuan untuk merusak praktek penimbunan dan permainan harga yang
akan dilakukan oleh para pedagang tersebut. Hal-hal yang dilakukan oleh khalifah
merupakan suatu upaya preventif yang dilakukan untuk mengontrol harga agar tidak
menjadi beban bagi masyarakat dan menghindari adanya distorsi harga.

Setelah kepemimpinan Utsman bin Affan, tampuk kekhalifahan diduduki oleh Ali
bin Abi Thalib. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, kaum muslimin secara resmi
mencetak uang sendiri dengan menggunakan nama pemerintahan Islam. Ketika mata
uang masih diimpor, kaum muslimin hanya mengontrol kualitas uang impor. Namun
setelah mencetak uang sendiri, kaum muslimin secara langsung mengawasi penawaran
yang ada.

3. Masa Umayyah

Mulai pada masa pemerintahan Daulah Umayyah ditemukan banyak buku-buku


yang ditulis para fukaha (jurist), sufis dan philosophers yang menunjukkan
berkembangnya peradaban Islam. Buku-buku yang mereka tulis sebenarnya bersifat
komprehensif dan tidak secara khusus membahas tentang sitem ekonomi. Walaupun

39
demikian, beberapa orang diantara para fukaha tersebut memberikan kontribusi bagi
sistem ekonomi Islam dan Abu Yusuf merupakan salah satu diantaranya.

Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M) hidup semasa pemerintahan khalifah Bani


Umayyah mulai dari Khalifah Hisyam (105 H/742 M). Beliau merupakan fukaha pertama
yang secara eksklusif menekuni masalah tentang kebijaksanaan ekonomi. Salah satu
diantaranya adalah beliau memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam
kaitannya dengan perubahan harga.

Pemahaman masyarakat pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga
dan kuantitas hanya memperhatikan kurva permintaan saja dimana pada saat barang yang
tersedia sedikit maka harga barang tersebut akan menjadi mahal dan sebaliknya, bila
barang yang tersedia banyak maka harga barang tersebut akan menjadi turun atau murah.
Pemahaman masyarakat itu kemudian dibantah oleh Abu Yusuf dan menyatakan sebagai
berikut, karena pada kenyatannya terkadang pada saat persediaan barang hanya sedikit
tidak membuat harga barang tersebut menjadi naik/mahal. Sebaliknya, pada saat
persediaan barang melimpah, harga barang tersebut belum tentu menjadi murah. Dari
pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa Abu Yusuf menyangkal pendapat umum
mengenai hubungan terbalik antara persedian barang (supply) dan harga. Karena pada
kenyataannya harga tidak bergantung kepada permintaan saja tetapi juga bergantung pada
kekuatan penawaran. Oleh karena itu, peningkatan-penurunan harga tidak selalu
berhubungan dengan peningkatan-penurunan permintaan ataupun penurunan-peningkatan
dalam produksi.

Abu Yusuf mengatakan bahwa tidak ada batasan tertentu tentang murah ataupun
mahal. Harga barang/makanan murah bukan dikarenakan melimpahnya jumlah barang
atau makanan. Begitu pula, mahalnya harga barang atau makanan tidak disebabkan
karena kelangkaan jumlah barang atau makanan. Murah dan mahal harga suatu barang
merupakan ketentuan Allah.

Abu Yusuf menegaskan bahwa ada beberapa variabel lain yang mempengaruhi
naik turunnya harga barang atau makanan, tetapi dia tidak menjelaskan lebih rinci

40
variabel tersebut. Namun demikian, pernyataan Abu Yusuf tersebut tidak menyangkal
pengaruh permintaan dan penawaran dalam penentuan suatu harga.

4. Dinasti Abasiyyah I

a. Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M)

Imam Hambali adalah imam dari mazhab ke-4 yang terbesar. Beberapa hal yang
dibahas secara rinci oleh beliau adalah mengenai mashlahah, tujuan syariah dan
kebebasan menerima cara-cara untuk mencapai tujuan syariah tersebut.

Salah satu pandangan Imam Hambali adalah pendekatan Islami untuk memelihara
persaingan yang adil di pasar. Imam Hambali mencela pembelian dari seorang penjual
yang menurunkan harga barang untuk mencegah orang membeli barang yang sama dari
saingannya. Alasan beliau adalah jika penurunan harga barang seperti ini dibiarkan, maka
akan menempatkan penjual yang menurunkan harga tersebut pada posisi monopoli yang
akhirnya dapat mendikte harga semaunya. Imam Hambali menghendaki campur tangan
dalam kasus seperti ini untuk mencegah terjadinya monopoli.

b. Imam Al-Ghazali (451-505 H / 1055-1111 M)

Al-Gahzali hidup semasa khalifah Al-Qa’im (422 H/1031 M) sampai khalifah Al-
Mustazhhir (487 H/1094 M). Al-Ghazali mengutuk penimbunan uang dengan alasan
bahwa uang dirancang untuk memudahkan pertukaran dan praktek penimbunan uang
dapat menghalangi proses pertukaran tersebut.

Sumbangan Al-Ghazali terhadap ilmu ekonomi adalah beliau telah berhasil


menyajikan penjabaran yang rinci tentang peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya
pasar yang harganya bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran. Bagi
Al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci ia juga
menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar, yaitu:

apat saja petani hidup ditempat alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya,
pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun secara

41
alamiah,mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing -masing.dapat pula terjadi
tukang kayu membutuhkan makanan.tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut
atau sebaliknya.keadaan ini menimbulkan masalah.oleh karena itu,secara alami pula
orang akan akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat disatu pihak
dan tempat penyimpanan hasil pertanian diphak lain. Tempat inilah yang kemudian
didatangi oleh pembeli sesuai kebutuhannya masing masing sehingga terbentuklah
pasar.petani,tukang kayu,dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan
barter,juga terdorong pergi kepasar ini.bila dipasar juga tidak ditemukan orang yang mau
melakukan barter,ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relative murah
untuk kemudian disimpan sebagai persedian.pedagang kemudian menjualnya dengan
suatu tingkat keuantung.hal ini berlaku untuk setiap jenis barang.

Al-Gahazali tidak menolak kenyataan bahwa labalah yang menjadi motif


perdagangan. Pada saat lain, ia menjabarkan pentingnya peran pemerintah dalam
menjamin keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan
ekononomi.

Walaupun Al-Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam


terminologi modern, beberapa paragraf dalam tulisannya jelas menunjukkan bentuk kurva
penawaran dan permintaan. Kurva penawaran yang “naik dari kiri bawah ke kanan atas”
dinyatakannya sebagai “jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya maka ia
akan menjualnya pada harga yang lebih murah.

5. Dinasti Abasiyyah II

a. Ibnu Taimiyyah (661-728 H / 1263-1328 M)

Ibnu Taimiyyah hidup semasa Daulah abbasiyah II yang berkedudukan di Kairo


mulai dari Khalifah Al-Hakim I (660 H / 1262 M) sampai khalifah Al-Mustakfi I (701 H /
1302 M). ibnu Taimiyyah mendiskusikan norma-norma Islami untuk perilaku ekonomi
individual dan lebih banyak memberikan perhatian kepada masalah-masalah
kemasyarakatan seperti perjanjian dan upaya mentaatinya, harga-harga, pengawasan
pasar dan lain sebagainya.

42
Masyarakat pada masa Ibnu Taimiyyah beranggapan bahwa peningkatan harga
merupakan akibat dari ketidakadilan dan tindakan melanggar hukum dari pihak penjual
atau mungkin sebagai akibat manipulasi pasar. Anggapan ini dibantah oleh Ibnu
Taimiyyah.dengan tegas. Beliau cenderung mendukung ilmu ekonomi positif dimana
harga ditentukan berdasarkan permintaan dan penawaran.

Ibnu taimiyyah menyatakan bahwa naik dan turunnya harga tidak selalu
disebabkan oleh tindakan tidak adil dari sebagian orang yang terlibat transaksi, tapi bisa
jadi penyebabnya adalah supply yang menurun akibat produksi yang tidak efisien,
penurunan jumlah impor barang-barang yang diminta atau juga tekanan pasar. Karena itu,
jika permintaan terhadap barang meningkat, sedangkan penawaran menurun maka harga
barang tersebut akan naik. Begitu pula sebaliknya, kelangkaan dan melimpahnya barang
mungkin disebabkan oleh tindakan yang adil atau mungkin tindakan yang tidak adil.

Penawaran bisa datang dari produksi domestik dan impor. Perubahan dalam
penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah barang yang
ditawarkan, sedangkan permintaan sangat ditentukan oleh selera dan pendapatan. Besar
kecilnya kenaikan harga bergantung pada besarnya perubahan penawaran dan atau
permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, maka kenaikan harga yang terjadi
merupakan kehendak Allah SWT.

Dibedakan pula dua faktor penyebab pergeseran kurva penawaran dan


permintaan,yaitu tekanan pasar yang otomatis dan perbuatan melanggar hukum dari
penjual, misalnya penimbunan. Faktor lain yang mempengaruhi permintaan dan
penawaran antara lain adalah intensitas dan besarnya permintaan, kelangkaan ataupun
melimpahnya barang, kondisi kepercayaan, serta diskonto dari pembayaran tunai.

Permintaan terhadap barang acapkali berubah. Perubahan tersebut bergantung


pada jumlah penawaran, jumlah orang yang menginginkannya, kuat-lemahnya dan besar-
kecilnya kebutuhan seseorang terhadap barang tersebut. Bila penafsiran ini benar, Ibnu
Taimiyyah telah mengasosiasikan harga tinggi dengan intensitas kebutuhan sebagaimana

43
kepentingan relatif barang terhadap total kebutuhan pembeli. Bila kebutuhan kuat dan
besar, harga akan naik.demikian pula sebaliknya.

Menarik untuk dicatat bahwa tampaknya Ibnu Taimiyyah mendukung kebebasan


untuk keluar-masuk pasar. Beliau juga mengkritik adanya kolusi antara pemebli dan
penjual, menyokong homogenitas dan standarisasi produk dan melarang pemalsuan
produk serta penipuan pengemasan produk yang dijual.

Selain itu, Ibnu Taimiyyah menentang peraturan yang berlebihan ketika kekuatan
pasar secara bebas bekerja untuk menentukan harga yang kompetitif. Dengan tetap
meperhatikan pasar yang tidak sempurna, ia merekomendasikan bahwa bila penjual
melakukan penimbunan dan menjual pada harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan
harga normal padahal orang-orang membutuhkan barang-barang ini, maka para penjual
diharuskan menjualnya pada tingkat harga ekuivalen dan secara kebetulan konsep ini
bersamaan artinya dengan apa yang disebut sebagai harga yang adil. Selanjutnya, bila ada
elemen-elemen monopoli (khususnya dalam pasar bahan makanan dan kebutuhan pokok
lainnya), pemerintah harus turun tangan melarang kekuatan monopoli.

b. Ibnu Khaldun (732-808 h / 1332-1404 M)

Ibnu Khaldun hidup pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mustakfi sampai


Khalifah Al-Musta’in. Pemikirannya dituangkan dalam kitabnya yang berjudul
Muqaddimah. Dalam bukunya tersebut, Ibnu Khaldun menjelaskan mekanisme
permintaan dan penawaran dalam menentukan harga keseimbangan. Secara lebih rinci ia
menjabarkan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan barang pada
sisi permintaan. Selanjutnya ia menjelaskan pula pengaruh meningkatnya biaya produksi
karena pajak dan pungutan-pungutan lain pada sisi penawaran tersebut. Ia mengatakan
bahwa bea cukai biasa dan bea cukai lainnya dipungut atas bahan makanan di pasar-pasar
dan di pintu-pintu kota demi raja, dan para pengumpul pajak menarik keuntungan dari
transaksi bisnis untuk kepentingan mereka sendiri. Karenanya, harga dikota lebih tinggi
daripada di padang pasir.

44
Pada bagian lain bukunya, Ibnu Khaldun menjelaskan pengaruh naik dan
turunnya penawaran terhadap harga. Ia mengatakan bahwa ketika barang-barang yang
tersedia sedikit, maka harga-harga dari barang tersebut akan naik. Namun, bila jarak antar
kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, maka akan banyak barang yang
diimpor sehingga ketersediaan barang akan berlimpah sehingga harga-harga pun akan
turun.

Ketika menyinggung masalah laba, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa keuntungan


yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan. Sebaliknya, keuntungan yang
sangat rendah akan membuat lesu perdagangan dikarenakan pedagang kehilangan
motivasi. Demikian pula dengan sebab yang berbeda, keuntungan yang sangat tinggi
akan melesukan perdagangan karena permintaan konsumen akan melemah.

F. Penutup

Dari uraian diatas yang menjadi titik pentingnya adalah bahwa regulasi pasar
dalam islam adalah dimaksudkan agar terjaganya hak dari semua pihak, baik pembeli
maupun penjual. Untuk itu perlu ditekankan disini bahwa aspek utama dalam ekonomi
islam termasuk dalam system pasar adalah aspek moralitas. Beberapa aspek itu
menyangkut persoalan integritas, akuntabilitas, dan profesionalitas bila diterapkan dalam
pelaksanaan system moder saat ini.

Yang tak kalah penting dari persoalan regulasi adalah komitmen islam dalam
menegakkan aturan-aturan itu dengan memberlakukan institusi hisbah, yang memiliki
tanggungjawab dan wewenang dalam pengawasan pasar, bahkan lembaga hisbah atau
wilayatul hisbah dapat berlaku pada persoalan-persoalan lain yang lebih universal, seperti
kesejahteraan, terpenuhinya fasilitas umum dan terjaganya hukum.

Demikian pemaparan makalah ini semoga dapat menjadi tambahan khazanah


pengetahuan kita dan modal pengembangan ekonomi islam terutama dan masalah pasar
baik yang bersifat tradisional, modern maupun dalam implementasinya di dalam wilayah
pasar modal.

45
Daftar Pustaka

A. Fachruddin, et al. “Makalah Diskusi Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam pada masa
Rasulullah SAW.

Ahmad, Mustaq, Etika Bisnis dalam Islam, Terjemahan Zainal Arifin, Gema Insani Press,
Cet 1, Jakrta, 1997.

Akram Khan, Muhammad, Ajaran Nabi Muhammad SAW Tentang Ekonomi (Kumpulan
Hadits-Hadits Pilihan Tentang Ekonomi), PT Bank Muamalat Indonesia.

Al Mishry, Rofiq Yunus, Ushul Al Iqtishod Al Islamy, ad Dar as Sahiy, Berut, tt, Al
Qur’an al Karim, Departemen Agama RI.

Nasution, Mustofa Edwin, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta cet II, 2007.

Husnul K, et.al. “Makalah Diskusi Sejarah Pemikiran EkonomiIslam pada masa Daulah
Abbasiyah II”.

Islahi, Abdul Azim, Economic Concepts Of Ibnu taimiyah, The Islamic Foundation,
United Kingdom, 1996.

Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islam, The International Institute of Islamic


Thought Indonesia, 2002.

…………………., Sejarah Pemikiran ekonomi Islam Edisi kedua, raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006.

…; Concept of Islamic Economy, International Institute of Islamic Economic, Islamabad,


Pakistan, 1989.

Mujahidin, Akhmad, Ekonomi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

46
Perwataatmadja, H. Karnaen A, “Perkembangan Pemikiran Sistem Ekonomi Selam
Daulah Umayyah (41-132 H/661-750 M)”.

…………….., H. Karnaen A, “Perkembangan Pemikiran Sistem Ekonomi Selama


Daulah Abbasiyah II.

BAB X
MEKANISME PASAR & REGULASI HARGA DALAM
PRESPEKTIF EKONOMI ISLAM

A. PENDAHULUAN

Islam adalah cara hidup yang imbang dan koheren, dirancang untuk kebahagiaan
manusia dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral dan material
manusia dan aktualisasi keadilan sosio-ekonomi serta persaudaraan antar umat manusia.
Islam sebagai agama akhir jaman juga membawa penuntun lengkap bagi pemeluknya.
Berbagai aspek kehidupan dalam kesehariannya termaktub dalam syari’ah dan
mu’amalah, mengikutinya merupakan perjalanan yang harus ditempuh untuk menjadi

47
Muslim sejati. Dualisme antara kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat yang menjadi
pertanyaan beberapa agama bukan masalah lagi. Permasalah itu telah terjawab oleh hadits
Nabi Muhammad SAW yang menyatakan, “Berusahalah untuk duniamu seakan engkau
hidup untuk selamanya, tapi persiapkanlah akhiratmu seeakan engkau akan mati besok”.
Sebagai agama yang komprehensif tentunya aktivitas ekonomi sebagai kegiatan vital
kemanusiaan tidak luput dari perhatian. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-
Baqarah ayat 275, Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah:275), Artinya:
Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) karena Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS Al-Qashash : 77).
Ayat-ayat tersebut merupakan sebagian dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang
merujuk pada aktivitas ekonomi.
Sesuai dengan kaidah ushul fiqih, dalam masalah ibadah, hokum asal sesuatu
adalah terlarang, kecuali ada dalil yang membolehkannya. Sedangkan dalam masalah
muamalat, hokum asal sesuatu adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarangkannya.
Dengan demikian berdasarkan syariah Islam, pada prinsipnya segala bentuk perikatan
adalah diperbolehkan kecuali ada nash yang melarangnya. Perikatan-perikatan yang
berkaitan dengan kerjasama usaha, jual-beli, investai, utang-piutang, pinjam-meminjam,
dan sebagainya, boleh dilaksanakan oleh seorang muslim dengan anggota masyarakat
yang lainnya, sepanjang dalam perikatan tersebut tidak terapat hl-hal yang dilarang.
Menurut Imam Yahya bin Umar , aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak

48
terpisahkan dari ketaqwaan seorang muslim kepada Allah SWT. Hal ini merupakan asas
dalam perekonomian Islam, sekaligus factor utama yang membedakan ekonomi Islam
dengan ekonomi konvensional. Pembahasan mengenai struktur pasar menjadi penting
dalam ekonomi Islam, karena dalam konsep ekonomi Islam, penentuan harga didasarkan
atas kekuatan-kekuatan pasar yaitu kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran.
Sebagaimana Rasulullah SAW sangat menghargai harga yang dibentuk oleh pasar
sebagai harga yang adil, sehingga beliau menolak adanya suatu intervensi pasar apabila
perubahan harga yang terjadi karena mekanisme harga yang wajar. Dengan demikian,
Islam menjamin pasar bebas di mana produsen dan konsumen bersaing satu sama lain
dengan arus informasi yang berjalan lancar dalam kerangka keadilan, yakni tidak ada
(baik individu maupun kelompok produsen, konsumen, dan pemerintah) yang zalim atau
dizalim.
Pasar adalah jantung perekonomian bangsa. Maju mundurnya perekonomian
sangat bergantung kepada kondisi pasar. Ia mempertemukan pihak penjual dan pembeli,
untuk melakukan transaksi atas barang dan jasa (supply dan demand). Al-Ghozali dalam
kitab ihya’ menjelaskan tentang sebab timbulnya pasar “Dapat saja petani hidup dimana
alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana
lahan pertanian tidak ada. Namun, secara alami mereka akan saling memenuhi kebutuhan
maisng-masing. Dapat saja terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani
tidak membutuhkan alat-alat tersebut. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena
itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat enyimpanan alat-
alat di satu pihak, dan penyimpanan hasil pertanian di pihak lain. Tempat inilah yang
kemudian didaatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah
pasar.

B. Mekanisme Pasar dan Regulasi Harga Dalam Ekonomi Konvensional


1. Penentuan Harga

49
Harga sesuatu barang dan jumlah barang yang diperjualbelikan ditentukan oleh
permintaan dan penawaran barang tersebut. Oleh karena itu, untuk menganalisis
mekanisme penentuan harga dan jumlah barang yang diperjualbelikan, secara serentak
perlulah dianalisis permintaan dan penawaran terhadap suatu barang tertentu yang wujud
di pasar. Keadaan di suatu pasar dikatakan dalam keseimbanga atau ekuilibrium apabila
jumlah yang ditawarkan para penjual pada suatau barang tertentu adalah sama dengan
jumlah yang diminta para pembeli pada harga tersebut. Dengan demikian harga suatu
barang dan jumlah barang yang diperjualbelikan dapat ditentukan dengan melihat
keadaan keseimbangan dalam suatu pasar.
2. Harga dan Permintaan
Dalam hukum permintaan dijelaskan sifat hubungan antara permintaan suatu
barang dengan tingkat harganya. Hukum permintaan pada hakikatnya menyatakan: makin
rendah harga suatu barang maka makin banyak permintaan terhadap barang tersebut.
Sebaliknya, makin tinggi harga suatu barang maka makin sedikit permintaan terhadap
barang tersebut, sesuai dengan kurva di bawah ini.
Mengapa bisa seperti itu?Alasan pertama, karena kenaikan harga menyebabkan
para pembeli mencari barang lain yang dapat digunakan sebagai pengganti barang yang
mengalami kenaikan harga tersebut. Sebaliknya, apabila harga turun maka orang
mengurangi pembelian terhadap barang lain yang sama jenisnya dan menambah
pembelian terhadap barang yang mengalami penurunan harga. Alasan kedua, kenaikan
harga menyebabkan pendapatan riil para pembeli berkurang. Pendapatan yang merosot
tersebut memaksa para pembeli untuk mengurangi pembeliannya terhadap berbagai jenis
barang dan terutama barang yang mengalami kenaikan harga.
1. Harga dan Penawaran
Dalam hukum penawaran dinyatakan bahwa makin tinggi harga suatu barang,
semakin banyak jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh para penjual. Sebaliknya,
makin rendah harga suatu barang semakin sedikit jumlah barang tersebut yang
ditawarkan, sesuai dengan kurva di bawah ini.
2. Mekanisme Pasar
Dalam kondisi keseimbangan, kedua kurva diatas (permintaan dan penawaran)
akan berpotongan pada suatu titik tertentu. Pada gambar kurva diatas terlihat bahwa pada

50
harga P2, jumlah barang yang ditawarkan sama dengan jumlah barang yang diminta
yakni sebesar Q1. Mekanisme pasar adalah kecenderungan dalam pasar dimana harga
barang terus berubah sampai tercapai posisi keseimbangan (jumlah barang yang diminta
= jumlah barang yang ditawarkan). Pada titik keseimbangan tersebut (titik E), tidak
terjadi kelebihan maupun kekurangan dalam jumlah barang sehingga tidak ada tekanan
pada harga untuk berubah lagi.

C. Mekanisme Pasar dan Regulasi Harga Dalam Ekonomi Islam


e. Definisi Pasar dan Pembentukannya
Pasar atau Market adalah tempat dimana pembeli dan penjual barang tertentu
berhubungan satu sama lain dan dimana terjadi hubungan tukar-menukar.
Al-Ghozali dalam kitab ihya’ menjelaskan tentang sebab timbulnya pasar “Dapat saja
petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang
kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun, secara alami mereka akan saling
memenuhi kebutuhan maisng-masing. Dapat saja terjadi tukang kayu membutuhkan
makanan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut. Keadaan ini menimbulkan
masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan
tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak, dan penyimpanan hasil pertanian di pihak
lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-
masing sehingga terbentuklah pasar
f. Mekanisme Pasar Dalam Pandangan Ulama Islam
Abu Yusuf dalam kitab al-Kharraj, menyatakan bahwa “tidak ada batasan tentang
murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya
tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal
tidak disebabkan oleh kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan
Allah. Terkadang makanan berlimpah tetapi tetap mahal, dan terkadang makan sangat
sdikit tetapi murah”.
Dari pernyataan tersebut, Abu Yusuf tampaknya menyangkal pendapat umum
mengenai hubungan terbalik antara penawaran dan harga. Pada kenyataannya, harga tidak
bergantung pada penawaran saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan permintaan.

51
Karena itu, peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan
penurunan atau peningkatan dalam produksi.
Abu Yusuf menegaskan bahwa ada beberapa variable lain yang mempengaruhi
harga, tetapi dia tidak menjelaskan secara lebih rinci. Bisa jadi, variable itu adalah
pergesaran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar disuatu Negara, atau
penimbunan dan penahanan barang.
Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah “naik dan turunnya harga tak selalu berkait
dengan kezaliman (zulm) yang dilakukan seseorang. Sesekali, alasannya adalah adanya
kekurangan dalam produksi atau penurunan impor dari barang-barang yang iminta. Jadi,
jika membutuhkan peningkatan jumlah barang, sementara kemampuannya menurun,
harga dengan sendirinya akan naik. Di sisi lain, jika kemampuan penyediaan barang
menigkat dan permintaannya menurun, harga akan turun. Kelangkaan dan kelimpahan tak
mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa saja berkaitan dengan sebab yang tak
melibatkan ketidakadilan. Atau, sesekali, bisa juga disebabkan ketidak adilan. Maha
Besar Allah, yang menciptakaan kemauan pada hati manusia.
Ungkapan ini menunjukkan bahwa ada kebiasaan yang berlaku di zaman ibnu
Taimiyah bahwa kenaikan harga seringkali diakibatkan oleh ketidakadilan para pelaku
pasar. Pandangan ini ditolak oleh ibnu Taimiyah dengan mengungkapkan bahwa
kenaikan harga tidak selamanya disebabkan zulm (ketidakadilan). Ada faktor lain yang
mempengaruhinya yakni kekuatan pasar antara supply dan demand.
Dalam kitab Fatawa. Ibnu taimiyah menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan: (ekonomi Islam) dan konsekuensinya terhadap harga:
a. Ar-Raghabah (keinginan) atas barang-barang berbeda dan seringkali berubah. Hal ini
turut dipengaruhi oleh berlimpah atau langkanya suatu barang. Semakin langka
semakin ia diminati oleh masyarakat.
b. Jumlah orang yang meminta. Semakin banyak orang yang meminta dalam satu jenis
barang dagangan, maka semakin mahal harga barang.
c. Kuat atau lemahnya permintaan. Kebutuhan tinggi dan kuat, harga akan naik lebih
tinggi ketimbang jika peningkatan kebutuhan itu kecil atau lemah.
d. Kualitas pembeli (al-mu’awid). Harga juga berubah-rubah, sesuai dengan siapa saja
transaksi tersebut dilakukah. Pembeli yang memiliki kredibilitas yang buruk, sering

52
bankrut, mengulur-ulur pembayaran akan mendaoatkan harga yang lebih tinggi dari
pembeli yang memiliki predikat baik.
e. Jenis uang yang digunakan. Harga juga dipengaruhi oleh bentuk alat pembayaran
(uang) yang digunakan dalam jual beli. Jika yang digunakan adalah naqd raji, harga
akan lebih rendah ketimbang membayar dengan uang yang jarang ada di peredaran.
f. Hal diatas dapat terjadi karena tujuan dari suatu transaki harus menguntungkan
penjual dan pembeli. Jika pembeli memiliki kemampuan untuk membayar dan dapat
memenuhi janjinya, maka transaksi akan lebih mudah/lancar.
g. Aplikasi yang sama berlaku bagi sesorang yang meminjam atau menyewa. Adanya
biaya tambahan akan mengakibatkan perubahan harga. Menyewa tanah dalam kondisi
banyaknya perampok atau hewan liar akan menambah beban bagi penyewa, sehingga
harga sewa lebih rendah dibanding tanah yang tidak membutuhkan biaya tambahan.

3. Regulasi Harga
Penetapan (regulasi) harga dikenal dalam dunia fiqih dengan istilah tas’ir yang
berarti, menetapkan harga tertentu pada barang-barang yang dperjualbelikan dimana tidak
mendzalimi pemilik barang dan pembelinya.
Dalam konsep ekonomi Islam penentuan harga dilakukan oleh kekuatan-kekuatan
pasar yaitu kekuatan permintaan dan penawaran. Dalam konsep Islam, pertemuan
permintaan dengan penawaran tersebut haruslah terjadi secara rela sama rela, dalam
artian tidak ada pihak yang terpaksa untuk melakukan transaksi pada tingkat harga
tertentu. Keadaan rela sama rela merupakan kebalikan dari keadaan aniaya yaitu keadaan
dimana salah satu pihak senang diatas kesedihan pihak lainnya. Dalam hal harga, para
ahli fiqih merumuskannya sebagai the price of the equivalent (Tsamanul Mitsly), sesuai
dengan teks arab: Artinya: Pada dasarnya praktek perekonomian dalam Islam tidak ada
tas’ir (penetapan harga). Para ulama membahas tentang masalah ini dan mereka saling
bersandar hokum terhadap sesuatu karena adanya perbedaan diantara mereka ada yang
membolehkan tas’ir dan sebagian lagi ada yang membolehkan tetapi tidak mutlak.
Perbedaan pandangan tentang regulasi harga bersumber pada perbedaan penafsiran
terhadap hadits nabi yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Dia berkata:
Artinya: Dari Annas bin Malik ra, beliau berkata: Harga-harga barang pernah mahal pada

53
masa Rasulullah SAW.lalu orang-orang berkata: Ya Rasulullah harga-harga menjadi
mahal, tetapkanlah patokan harga untuk kami. Lalu Rasulullah SAW.bersabda:
Sesungguhnya Allah lah yang menetapkan harga, yang menahan, dan membagikan
rezeki. Dan sesungguhnya saya mengharapkan agar saya dapat berjumpa dengan Allah
SWT.dalam keadaan tidak seorangpun diantara kamu sekalian yang menuntut saya
karena kedzaliman dalam penumpahan darah (pembunuhan) dan harta. Diriwayatkan oleh
perawi yang lima(selain An Nasa’I (Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah) serta
dinilai shahih oleh Ibnu Hiban).
Para ulama yang berbeda pandangan tentang regulasi harga:

a. Ibnu Qudamah.
“Didalamnya menunjukkan penentuan harga adalah mudzlim. Dan jika zhalim
maka haram.” (aunul ma’bud), Ibnu Qudamah: memberikan dua alasan tidak
diperkenankannya tas’ir.
4. Rasulullah tidak pernah menetapkan harga, meskipun penduduk menginginkan hal
itu.
4. Regulasi harga Adalah sebuah ketidakadilan yang tidak dilarang. Ini melibatkan hak
milik seseorang, didalamnya setiap orang memiliki hak untuk menjual pada harga
berapapun, asal ia bersepakat dengan pembelinya, sesuai dengan Firman Allah SWT,
dalam surat an-nisa aya 29: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (Q.S.
An-Nisa:29).
b. Asy-Syaukani, berkata
Dan Sesungguhnya manusia berkuasa atas harga mereka, maka tas’ir adalah
pembatasan bagi mereka. Imam dituntut untuk menjaga maslahat muslimin.
Memperhatikan maslahat pembeli dengan menentukan harga rendah tidaklah lebih utama
dari memperhatikan maslahat penjual dengan harga tinggi. Dan jika kedua perkara ini
bertemu haruslah diserahkan kepada ijtihad mereka masing-masing. Adapun mewajibkan
pemilik barang untuk menjual pada harga yang tidak ia ridhoi adalah bertentangan

54
dengan firman Allah surat Annisa 29: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (Q.S. An-
Nisa:29).
Ayat diatas menekankan harus adanya kerelaan kedua belah pihak dalam
melakukan perniagaan atau diistilahkannya dengan ‘an taradhin minkum. Walaupun
kerelaan adalah sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indicator dan tanda-
tandanya dapat dilihat. Ijab Kabul atau apa yang yang dikenal dalam adat kebiasaan
sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk yang digunkan hokum untuk menentukan
kerelaan.
Dalam kondisi normal, semua ulama sepakat akan haramnya melakukan tas’ir,
namun dalam kondisi ketidakadilan terdapat perbedaan pandangan ulama. Imam Malik
dan sebagian syafiiyah memperbolehkan tas’ir dalam keadaan ghola’. Kontroversi antar
para ulama berkisar dua poin: pertama. Jika terjadi harga yang tinggi di pasaran dan
seseorang berusaha menetapkan harga yang lebih tinggi ketimbang harga sebenarnya,
menurut madzhab maliki harus dihentikan. Tetapi, bila para penjual mau menjual di
bawah harga pasar (ceiling price), dua macam pendapat: menurut syafi’I atau penganut
Ahmad bin Hanbal mereka tetap menentang berbagai campur tangan pemerintah.
Ibnu Taimiyah menguji pendapat-pendapat dari keempat mazhab itu, juga pendapat
beberapa ahli fiqih , sebelum memberikan pendapatnya tentang masalah itu. Menurutnya
“kontroversi antar para ulama berkisar dua poin:
Pertama, jika terjadi harga yang tinggi di pasaran dan seseorang berusaha
menetapkan harga yang lebih tinggi dari pada harga sebenarnya, perbuatan mereka itu
menurut mazhab Maliki harus dihentikan. Tetapi, bila para penjual mau menjual di
bawah harga semestinya, dua macam pendapat dilaporkan dari dua pihak. Menurut
Syafi’i dan penganut Ahmad bin Hanbal, seperti Abu Hafzal-Akbari, Qadi Abu ya’la dan
lainnya, mereka tetap menentang berbagai campur tangan terhadap keadaan itu.
Kedua, dari perbedaan pendapat antar para ulama adalah penetapan harga
maksimum bagi para penyalur barang dagangan (dalam kondisi normal), ketika mereka
telah memenuhi kewajibannya. Inilah pendapat yang bertentangan dengan mayoritas para

55
ulama, bahkan oleh Maliki sendiri. Tetapi beberapa ahli, seperti Sa’id bin Musayyib,
Rabiah bin Abdul Rahman dan yahya bin sa’id, menyetujuinya. Para pengikut Abu
Hanifah berkata bahwa otoritas harus menetapkan harga, hanya bila masyarakat
menderita akibat peningkatan harga itu, di mana hak penduduk harus dilindungi dari
kerugian yang diakibatkan olehnya.
Ibnu Taimiyah menafsirkan sabda Rasulullah SAW yang menolak penetapan
harga, meskipun pengikutnya memintanya, “Itu adalah sebuah kasus khusus dan bukan
aturan umum. Itu bukan merupakan merupakan laporan bahwa seseorang tidak boleh
menjual atau melakukan sesuatu yang wajib dilakukan atau menetapkan harga melebihi
konpensasi yang ekuivalen.
Ia membuktikan bahwa Rasulullah SAW sendiri menetapkan harga yang adil, jika
terjadi perselisihan antara dua orang. Kondisi pertama, ketika dalam kasus pembebasan
budaknya sendiri, Ia mendekritkan bahwa harga yang adil (qimah al-adl) dari budak itu
harus di pertimbangkan tanpa ada tambahan atau pengurangan (lawakasa wa la shatata)
dan setiap orang harus diberi bagian dan budak itu harus dibebaskan.
Kondisi kedua, dilaporkan ketika terjadi perselisihan antara dua orang, satu pihak
memiliki pohon, yang sebagian tumbuh di tanah orang lain, pemilik tanah menemukan
adanya bagian pohon yang tumbuh di atas tanahnya, yang dirasa mengganggunya. Ia
mengajukan masalah itu kepada Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan pemilik pohon
untuk menjual pohon itu kepada pemilik tanah dan menerima konpensasi atau ganti rugi
yang adil kepadanya. Orang itu ternyata tak melakukan apa-apa. Kemudian Rasulullah
SAW membolehkan pemilik tanah untuk menebang pohon tersebut dan ia memberikan
konpensasi harganya kepada pemilik pohon. Ibnu Taimiyah menjelasklan bahwa “jika
harga itu bisa ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan satu orang saja, pastilah akan lebih
logis kalau hal itu ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan publik atas produk makanan,
pakaian dan perumahan, karena kebutuhan umum itu jauh lebih penting dari pada
kebutuhan seorang individu.
Salah satu alasan lagi mengapa Rasulullah SAW menolak menetapkan harga
adalah “pada waktu itu, di Madinah, tak ada kelompok yang secara khusus hanya
menyadi pedagang. Para penjual dan pedagang merupakan orang yang sama, satu sama
lain (min jins wahid). Tak seorang pun bisa dipaksa untuk menjual sesuatu. Karena

56
penjualnya tak bisa diidentifikasi secara khusus. Kepada siapa penetapan itu akan
dipaksakan??(Taimiyah, 1983: 51). Itu sebabnya penetapan harga hanya mungkin
dilakukan jika diketahui secara persis ada kelompok yang melakukan perdagangan dan
bisnis melakukan manipulasi sehingga berakibat menaikkan harga. Ketiadaan kondisi ini,
tak ada alasan yang bisa digunakan untuk menetapkan harga. Sebab, itu tak bisa
dikatakan pada seseorang yang tak berfungsi sebagai suplaier, sebab tak akan berarti apa-
apa atau tak akan adil. Argumentasi terakhir ini tampaknya lebih realistis untuk dipahami.
Menurut Ibnu Taimiyah, barang barang yang dijual di Madinah sebagian besar berasal
dari impor. Kondisi apapun yang dilakukan terhadap barang itu, akan bisa menyebabkan
timbulnya kekurangan suplai dan memperburuk situasi. Jadi, Rasulullah SAW
menghargai kegiatan impor tadi, dengan mengatakan, “Seseorang yang mambawa barang
yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari, siapapun yang menghalanginya sangat
dilarang.?Faktanya saat itu penduduk madinah tidak memerlukan penetapan harga
Dari keterangan di atas, tampak sekali bahwa penetapan harga hanya dianjurkan bila para
pemegang stok barang atau para perantara di kawasan itu berusaha menaikkan harga. Jika
seluruh kebutuhan menggantungkan dari suplai impor, dikhawatirkan penetapan harga
akan menghentikan kegiatan impor itu. Karena itu, lebih baik tidak menetapkan harga,
tetapi membiarkan penduduk meningkatkan suplai dari barang-barang dagangan yang
dibutuhkan, sehingga menguntungkan kedua belah pihak.Tak membatasi impor, dapat
diharapkan bisa meningkatkan suplai dan menurunkan harga.

4. Pentingnya Regulasi Harga


Ibnu Taimiyah membedakan dua tipe penetapan harga: tak adil dan tak sah, serta
adil dan sah. Penetapan harga yang “tak adil dan tak sah?berlaku atas naiknya harga
akibat kompetisi kekuatan pasar yang bebas, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan
suplai atau menaikkan permintaan. Ibnu Taimiyah sering menyebut beberapa syarat dari
kompetisi yang sempurna. Misalnya, ia menyatakan, “Memaksa penduduk menjual
barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban untuk menjual, merupakan tindakan
yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang.?Ini berarti, penduduk memiliki kebebasan
sepenuhnya untuk memasuki atau keluar dari pasar. Ibnu Taimiyah mendukung
pengesampingan elemen monopolistik dari pasar dan karena itu ia menentang kolusi

57
apapun antara orang-orang profesional atau kelompok para penjual dan pembeli. Ia
menekankan pengetahuan tentang pasar dan barang dagangan serta transaksi penjualan
dan pembelian berdasar persetujuan bersama dan persetujuan itu memerlukan
pengetahuan dan saling pengertian.
Dalam penetapan harga, pembedaan harus dibuat antara pedagang lokal yang
memiliki stok barang dengan pemasok luar yang memasukkan barang itu. Tidak boleh
ada penetapan harga atas barang dagangan milik pemasok luar. Tetapi, mereka bisa
diminta untuk menjual, seperti rekanan importir mereka menjual. Pengawasan atas harga
akan berakibat merugikan terhadap pasokan barang-barang impor, di mana sebenarnya
secara lokal tak membutuhkan kontrol atas harga barang karena akan merugikan para
pembeli. Dalam kasus harga barang di masa darurat (bahaya kelaparan, perang, dan
sebagainya), bahkan ahli ekonomi modern pun menerima kebijakan regulasi harga akan
berhasil efektif dan sukses dalam kondisi seperti itu.

5. Musyawarah untuk Regulasi Harga


Dalam hubungannya dengan masalah ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah
metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu Habib, menurutnya, Imam (kepala
pemerintahan), harus menjalankan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dari pasar
(wujuh ahl al-suq), sesuai dengan qaidah fiqih:
Kebijakan seorang imam terhadap kepimpinannya adalah semata-mata untuk
kemaslahatan umat. Pihak lain juga diterima hadir dalam musyawarah ini, karena mereka
harus juga dimintai keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan
tentang pelaksanaan jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan
harga yang didukung oleh peserta musyawarah, juga seluruh penduduk. Jadi,
keseluruhannya harus bersepakat tentang hal itu, harga itu tak boleh ditetapkan tanpa
persetujuan dan izin mereka.
Ibnu Taimiyah menegaskan secara jelas kerugian dan bahaya dari penetapan
harga yang sewenang-wenang, tak akan memperoleh dukungan secara populer. Misalnya,
akan muncul pasar gelap atau pasar abu-abu atau manipulasi kualitas barang yang dijual
pada tingkat harga yang ditetapkan itu. Ketakutan seperti itu dinyatakan juga oleh Ibnu
Qudamah. Bahaya yang sama, juga banyak dibahas oleh ahli-ahli ekonomi modern,

58
karena itu disangsikan lagi, bahaya ini harus ditekan, kalau bisa dihilangkan sama sekali.
Harga itu perlu ditetapkan melalui musyawarah bersama dan diciptakan oleh rasa
kewajiban moral serta pengabdian untuk kepentingan umum.

D. Peraturan Perundang-undangan tentang Pasar


4. Peraturan Persiden No.112 tahun 2007
Tanggal 27 Desember 2007, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No 112
Tahun 2007 mengenai penataan dan pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan,
dan Toko Modern. Setelah ditunda berkali-kali dan konon terjadi tarik ulur antara
berbagai pihak yang berkepentingan dengan peraturan ini, akhirnya peraturan ini terbit
juga.
2. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1962 tanggal 3 Agustus 1962 tentang Pengendalian
Harga

KESIMPULAN

Dalam rangka melindungi hak pembeli dan penjual, Islam membolehkan bahkan
mewajibkan melakukan intervensi harga. Ada beberapa faktor yang membolehkan
intervensi harga antara lain:
c. Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat yaitu melindungi penjual
dalam hal profit margin sekaligus pembeli dalam hal purchasing power.
d. Jika harga tidak ditetapkan ketikapenjual menjual dengan harga tinggi sehingga
merugikan pembeli. Intervensi harga mencegah terjadinya ikhtikar atau ghaban faa-
hisy.
e. Intervensi harga melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas karena pembeli
biasanya mewakili masyarakat yang lebih luas, sedangkan penjual mewakili
kelompok yang lebih kecil. Suatu intervensi harga dianggap zalim apabila harga
maksimum (ceiling price) ditetapkan di bawah harga keseimbangan yang terjadi

59
melalui makanisme pasar yaitu atas dasar rela sama rela. Tak seorang pun
diperbolehkan menetapkan harga lebih tinggi atau lebih rendah ketimbang harga yang
ada. Penetapan harga yang lebih tinggi akan menghasilkan eksploitasi atas kebutuhan
penduduk dan penetapan harga yang lebih rendah akan merugikan penjual. Secara
paralel dapat dikatakan bahwa harga minimum yang ditetapkan di atas harga
keseimbangan kompetitif adalah zalim.

DAFTAR PUSTAKA

As Shan’ani, Subulus Salam III, Penterjemah Drs. Abu Bakar Muhammad, Surabaya, Al-
Ikhlas,1995.
Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, dari Masa Klasik hingga Kontemporer,
Granada Press, Jakarta, 2007.
Asmuni Mth, Penetapan Harga dalam Islam: Prespektif Piqih dan Ekonomi, Yogyakrta,
MSI-UII Net, 2005.
Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islam, III T Indonesia, Jakarta, 2003.
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Temporer, Gema Insani, Jakarta, 2001.
Shihab, M. Quraisy, Tafsir al-Misbah, Pesan dan Keserasian al-Quran, Lentera Hati,
Jakarta, 2002.
Winardi, Kamus Ekonomi (Inggris – Indonesia), Jakarta, Alumni, 1996.
Diposkan oleh Daus's di 23:43

60
BAB XI
STRUKTUR PASAR
PASAR PERSAINGAN SEMPURNA

I. Definisi
Pasar persaingan sempurna adalah struktur pasar atau industri di mana terdapat
banyak penjual dan pembeli, dan setiap penjual ataupun pembeli tidak dapat
mempengaruhi keadaan pasar

II. Ciri Pasar Persaingan Sempurna


1. Perusahaan adalah pengambil harga
2. Setiap perusahaan mudah ke luar atau masuk pasar
3. Menghasilkan barang serupa
4. Terdapat banyak perusahaan di pasar

61
5. Pembeli mempunyai pengetahuan sempurna mengenai pasar

III. Perusahaan adalah price taker


1. Perusahaan tidak dapat menentukan atau mengubah harga pasar
2. Tindakan perusahaan tidak akan menimbulkan perubahan pasar
3. Harga ditentukan oleh interaksi produsen dan pembeli
4. Jumlah produksi yang dihasilkan oleh produsen merupakan sebagian kecil saja dari
keseluruhan

IV. Setiap Perusahaan Mudah Ke Luar Atau Masuk Pasar


Sama sekali tidak terdapat hambatan baik secara legal atau dalam bentuk lain
secara keuangan atau secara kemampuan teknologi.

V. Efisiensi Dalam Persaingan Sempurna


1. Efisiensi produktif : dalam setiap produksi biaya yang dikeluarkan adalah biaya yang
paling minimum, industri secara keseluruhan memproduksi barang pada biaya rata-
rata yang paling rendah (saat kurva AC minimum)
2. Efisiensi alokatif: Harga setiap barang sama dengan biaya marjinal (P=MC)

VI. Menghasilkan Barang Serupa


1. Barang tidak mudah untuk dibedakan (identical/homogeneus)
2. Barang yang dihasilkan seorang produsen merupakan pengganti sempurna barang
yang dihasilkan produsen lainnya
3. Iklan dan promosi sebagai nonprice competition tidak ada gunanya

VII. Terdapat banyak perusahaan di pasar


1. Jumlah perusahaan sangat banyak dan masing-masing perusahaan adalah relatif kecil
jika dibandingkan dengan keseluruhan jumlah perusahaan di dalam pasar.

62
2. Produksi setiap perusahaan sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah produksi
dalam industri tersebut

VIII. Pembeli Mempunyai Pengetahuan Sempurna Mengenai Pasar


1. Pembeli mempunyai pengetahuan yang sempurna megenai keadaan pasar
2. Pembeli mengetahui tingkat harga yang berlaku dan perubahannya

IX. Beberapa kritik


1. Tidak mendorong inovasi, dalam jangka panjang perusahaan hanya mendapatkan
keuntungan normal
2. Adakalanya menimbulkan biaya sosial
3. Membatasi pilihan konsumen
4. Biaya produksi mungkin lebih tinggi
5. Distribusi pendapatan tidak selalu merata

X. Monopoli
Suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu perusahaan saja dan menghasilkan
barang yang tidak mempunyai barang pengganti yang sangat dekat.

XI. Ciri Pasar Monopoli


1. Merupakan industri satu perusahaan
2. Tidak mempunyai barang pengganti yang mirip
3. Tidak terdapat kemungkinan untuk masuk ke dalam industri
4. Dapat mempengaruhi penentuan harga
5. Promosi iklan kurang diperlukan

XII. Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Monopoli


1. Mempunyai sumber daya tertentu yang unik
2. Dapat menikmati skala ekonomi (dapat menimbulkan monopoli alamiah/natural
monopoly)

63
3. Kekuasaan monopoli yang diperoleh melalui peraturan pemerintah (Hak paten, hak
usaha ekslusif)

XIII. Kebijakan Diskriminasi Harga


1. Barang tidak dapat dipindahkan dari satu pasar ke pasar lain
2. Sifat barang atau jasa itu memungkinkan dilakukan diskriminasi harga
3. Sifat permintaan dan elastisitas permintaan di masing-masing pasar harus sangat
berbeda
4. Tidak memerlukan biaya
5. Produsen dapat mengeksploitir beberapa sikap irrasional konsumen

XIV. Contoh Kebijakan Diskriminasi Harga


1. diskriminasi oleh perusahaan pemerintah (tarif PLN)
2. diskriminasi oleh Jasa-jasa profesional
3. Diskriminasi harga pasar internasional
XV. Monopoli Alamiah
1. Perusahaan yang terus menerus menikmati skala ekonomi hingga pada tingkat
produksi yang sangat banyak jumlahnya
2. AC terus menerus turun hingga ke tingkat produksi yang sangat tinggi.
3. Tingkat produksi telah meliputi sebagian besar dari kebutuhan masyarakat

XVI. Pertanyaannya
1. Sampai di manakah efisiensi monopoli di dalam menggunakan sumber-sumber daya
di dalam menghasilkan barang, dan dalam meminimumkan biaya perunit
2. Sampai di manakah monopoli memberikan stimulus untuk melakukan inovasi dan
perkembangan teknologi?
3. Apakah implikasi dari adanya monopoli terhadap distribusi pendapatan
4. Bagaimana Islam memandang hal ini?

XVII. Persaingan Monopolistis

64
1. Pasar yang berada diantara dua jenis pasar yang ekstrim yaitu persaingan sempurna
dan monopoli
2. Mengandung sifat kedua unsur pasar tersebut

XVIII. Terdapat banyak penjual


1. Barang berbeda corak, barang satu perusahaan bukan sebagai pengganti sempurna
barang perusahaan lainnya (perfect substitute) mereka hanya barang pengganti yang
dekat
2. Perusahaan mempunyai sedikit kekuasaan mempengaruhi harga
3. Masuk ke dalam industri relatif mudah
4. Persaingan promosi penjualan sangat aktif

XIX. Penilaian Persaingan Monopolistis


1. Efisiensi dalam menggunakan sumber daya, biaya produksi lebih tinggi, harga
barang lebih tinggi, jumlah produksi lebih rendah sehingga kapasitas produksi di
bawah kapasitas optimal
2. Efisiensi dan diferensiasi produk
3. Perkembangan teknologi dan inovasi
4. Distribusi pendapatan

XX. Persaingan Bukan Harga


1. Diferensiasi produk (corak, mutu, desain, mode dan merk)
2. Iklan dan berbagai bentuk promosi penjualan untuk:
a. Memberikan informasi mengenai produk
b. Menekankan kualitas suatu produk secara persuasif
c. Memelihara hubungan baik dengan konsumen

65
XXI. Pandangan Yang Mendukung Pengiklanan
1. Membantu konsumen untuk mengambil keputusan yang lebih baik
2. Menggalakan kegiatan memperbaiki mutu suatu barang
3. Membiayai perusahaan komunikasi masa
4. Menaikan kesempatan kerja
5. Penghamburan
6. Tidak selalu memberikan informasi yang benar
7. Bukan suatu cara yang efektif untuk menambah jumlah pekerjaan dalam
perekonomian
8. Dapat menjadi penghambat untuk perusahaan-perusahaan baru untuk masuk ke
dalam industri

XXII. Pasar Oligopoli


1. Adalah pasar yang terdiri dari hanya beberapa produsen saja
2. Biasanya terdapat beberapa perusahaan raksasa yang menguasai 70-80% produksi di
samping terdapat beberapa perusahaan kecil

XXIII. Ciri Pasar Oligopoli


1. Menghasilkan barang standar maupun berbeda corak
2. Kekuasaan menentukan harga adakalanya lemah dan ada kalanya sangat tangguh
3. Pada umumnya perusahaan perlu melakukan promosi dengan iklan

XXIV. Hambatan Masuk Pasar Oligopoli


1. Skala Ekonomi
2. Perbedaan biaya produksi

66
3. Sifat-sifat produksi yang mempunyai keistimewaan (sangat terkenal, sangat rumit,
memproduksi berbagai macam barang sejenis)

XXV. Penilaian Atas Pasar Oligopoli


1. Efisiensi dalam menggunakan sumber daya
2. Perkembangan teknologi dan inovasi
3. Tingkat keuntungan perusahaan

67

Anda mungkin juga menyukai