Anda di halaman 1dari 20

PENYAKIT TROPIS

* Dasar – Dasar Imunologi


* Prinsip Dasar Vaksin
* Reaksi Hipersensitivitas

A. DASAR – DASAR IMUNOLOGI


1. Sejarah
Pengetahuan yang kita peroleh melalui sejarah perkembangan imunologi, menjadikan kita mampu
mengerti konsep-konsep imunologi. Disiplin imunologi berkembang dari observasi bahwa mereka
yang sembuh dari penyakit infeksi tertentu menjadi pelindung terhadap penyakit tersebut.
Imonos(latin) berarti dikecualikan dan immunity(Ingris) berarti pelindung dari infeksi.
Mungkin referens tertulis mengenai fenomena imunitas, dapat ditelusuri kembali ke Thucidides
sebagai ahli sejarah perang Peloponnesia pada tahun 430 SM menggambarkan bahwa wabah di
Atena mirip dengan campak, typhoid dan cacar. Pada saat itu tercatat adanya wabah yang melanda
Yunani dan mereka yang terjangkit wabah dan sembuh, tidak menderita wabah kedua kalinya.
Sejarah imunologi baru dimulai lebih dari 100 tahun oleh Louis Pasteur yang dianggap sebagai the
Father of Immunology. Studi vaksinasi dini telah membuka jalan untuk imunologi imunisasi yang
sampai dewasa ini merupakan kemajuan yang tidak ternilai.
Bila kita berpikir tentang imunologi selular, sejarah sebenarnya baru mulai pada tahun 1950.
Cacar pertama tercatat di Cina kemudian menyebar ke Turki, Asia Tengah melalui perdagangan
tradisional dan akhirnya keseluruh dunia. Pada tahun 1000 SM ahli-ahli Cina telah mempraktekan
sejenis imunisasi dengan menghirup puyer yang dibuat dari krusta lesi cacar. Kemudian puyer
krusta diaplikasikan melalui jarum atau packing device ke kulit yang disebut variolasi. Selanjutnya
cara itu dipraktekkan secara umum dan berkembang di Turki dan Asia Tengah.
Lady Mary Wortly Montagu, seorang bangsawan Inggris terjangkit cacar yang sembuh namun
menyisakan pock dikulit dan alopesia di kepala. Saat suaminya ditunjuk sebagai duta besar
Inggris di Turki, Lady Montagu mempelajari teknik inokulasi yang pada waktu itu (1700) sudah
dipraktekkan oleh dokter-dokter Turki. Ia mencoba pada anak laki-lakinya yang ternyata tetap
sehat meskipun sering terpajan dengan wabah cacar. Setelah kembali ke Inggris, tindakan Lady
Montagu pada anaknya telah menimbulkan perhatian para ahli dan raja Inggris. Pada tahun 1721
inokulasi nanah penderita cacar diberikan kepada 6 orang tawanan penjahat yang akan dihukum
mati dan ternyata semuanya sehat tidak terjangkit wabah. Eksperimen selanjutnya dilakukan pada
keluarga raja dengan hasil baik.
Edwar Jenner (1796) mengumpulkan nanah asal luka pock sapi dari tangan pemerah susu yang
bernama Sarah Nelmes, nanah tersebut diinokulasikannya ke seorang anak yang bernama Jhames
Philip usia 4 tahun. Hal itu hanya menimbulkan panas tetapi tidak menjadikan anak tersebut sakit.
Selanjutnya Philip mendapat inokulasi nanah dari cacar aktif yang ternyata tidak menimbulkan
reaksi yang bearti. Setelah itu vaksinasi dengan nanah pock sapi diterima sebagai cara pencegahan
(vacca berarti sapi) dan Jenner diangkat sebagai pendiri imunologi.
Louis Pasteur (Perancis) merupakan orang pertama yang menunjukan peran mikroorganisme
dalam proses fermentasi yang berhasil mengisolasi dan memurnimanaskan(pasteurisasi).
Selanjutnya Pasteur juga menemukan mikroorganisme dalam ulat sutera yang pada waktu itu
sedang menimbulkan krisis sutera di Perancis.
Robert Koch (Jerman) merupakan orang pertama yang mengisolasi kuman antraks, tetapi yang
membuktikan kemampuan antraks menimbulkan penyakit adalah Pasteur. Koch juga merupakan
orang pertama yang mengisolasi kuman tuberculosis (1882). Pasteur meneliti imunisasi antraks,
kolera ayam dan rabies. Robert Koch meneliti imunitas terhadap agen infeksi lainnya. Bidang
imunologi mendapat banyak dasar-dasar kedokteran modern, dapat dikatakan dilahirkan dari dua
orang tersebut pada tahun 1880.
Emil von Behring(Jerman), Paul Erlich(Jerman) serta Shibasaburo Kitasato(Jepang)
mengembangkan anti-toksin asal serum kuda terhadap difteri yang digunakan sekarang dan
dikenal sebagai imunisasi pasif.
Setelah struktur imunologlobin dijelaskan oleh Rodney Robert Porter dan Gerald Endelman pada
akhir tahun 1950 dan 1960, imunologi modern mulai bergerak sebagai pionir dalam riset medis.
Jean Baptiste Dausset menggambarkan antigen histokompatibilitas pada manusia dan imunologi
transplantasi dikembangkan menjadi ilmu utama. Transplantasi sumsum tulang menjadi terapi
efektif untuk Severe Combined Immunodeficiency dan penyakit sejenis.
Tahun1960 ditandai dengan Renaissance imunologi selular dan sejak itu ilmunologi memasuki era
modern. Sekarang sudah dikenal berbagai cabang ilmu imunologi antara lain imunologi molecular
(imunokimia, imunobiologi, imunogenetik), imunopotologi, imunologi tumor, imunologi
transplantasi, imunologi perbandingan, imunotoksikologi, imunofarmakologi dan lainnya. Jelaslah
bahwa imunologi hanya merupakan akhir dari awal dan menunjukan prospek yang cerah untuk
masa mendatang.
Pada tahun 1948, Astrid Elsa Fagreous menemukan peran sel plasma dalam pembentukan
antibody. Teknik imunofluorensi yang dikembangkan Albert Coons merupakan hal yang berharga
untuk identifikasi antingen dalam jaringan dan sintesis antibody dalam sel individual.

2. Gambaran Umum Sistem Imun


Manusia dan binatang multiseluler, mempunyai daya faal untuk mengenal bahan atau zat kimia
yang dianggap “diri sendiri” (self) dan membedakannya dari yang “asing” (non self).
Kemampuan ini menjadi dasar dari ilmu kekebalan, karena tubuh akan berusaha untuk
mengeluarkan atau memusnakan bahan asing yang masuk ke dalam jaringan tubuh.
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan
yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sebagai sistem imun. Reaksi yang
dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut respon imun.
Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat
ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungaan hidup.
Mikroba dapat hidup ekstraselular, melepas enzim dan menggunakan makanan yang banyak
mengandung gizi sesuai keperluannya. Mikroba lain menginfeksi sel pejamu dan berkembang biak
intraselular dengan menggunakan sumber energi sel pejamu. Baik mikroba eksraselular maupun
intraselular dapat menginfeksi subyek lain, menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak
juga yang tidak berbahaya bahkan berguna untuk pejamu.
Kekebalan atau sistem imun dapat dibagi menjadi dua, yaitu;
a. Sistem imun alamiah atau non spesifik/natural/innatelnative/non adaptif
Imunitas nospesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh, selalu ditemukan pada individu
sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkanya.
Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama
fase akut pada banyak penyakit. Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba
tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukan spesifitas
terhadap bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. Sistem
tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan
dapat memberikan respons langsung.
Manusia dan binatang terdapat perbedaan dalam hal kekebalan terhadap berbagai macam
penyakit. Faktor konstitusi atau faktor lain yang tidak diketahui dapat menimbulkan
kekebalan alamiah, berupa:
 Kekebalan ras(racial immunity)
Telah ditemukan secara stastik bahwa orang kulit berwarna ternyata lebih peka terhadap
penyakit tuberculosis dari pada orang kulit putih.
 Kekebalan Spesies(Spesies immunity)
Penyakit lepra dan gonore secara alam hanya terdapat pada manusia dan tidak ditemukan
pada binatang. Penyakit tetanus yang terdapat pada manusia dan kuda (tidak terdapat
burung). Penyakit anthrax yang ditemukan pada ternak (tidak terdapat pada anjing atau
kucing).
 Kekebalan perorangan(personal immunity)
Ditemukan perbedaan kepekaan terhadap satu jenis penyakit pada beberapa orang didalam
satu spesies atau ras.

Sistem imun alamiah atau nonspesifik/natural/innatelnative/nonadaptif terdiri dari;

 Pertahanan fisik/mekanik
Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik yang terdiri dari kulit, selaput lendir, silia
saluran napas, batuk dan bersin merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi.
Kulit yang rusak akibat luka bakar dan selaput lendir saluran napas yang rusak oleh asap
rokok akan meningkatkan risiko infeksi. Tekanan oksigen yang tinggi di paru bagian atas
membantu hidup kuman obligat aerob seperti tuberculosis.
 Kulit
Tebal kulit dengan lapisan stratum korneum dapat menghambat masuknya kuman dan
sekresi kelenjar keringat dan kelenjar sbaseum yang mengandung asam laktat dan asam
lemak akan menurunkan PH kulit sehingga bersifat bakteriostatik atau basterisid.
 Selaput Lendir
Selaput lendir saluran pernapasan yang tetutup silia merupakan penghalang bagi kuman
dan benda asing lainnya. Pergerakan silia ke satu arah dan reflex batuk mengusahakan
keluarnya kuman dari saluran pernapasan.
Selaput lendir saluran pencernaan dilindungi oleh beberapa sekret seperti air ludah
yang mengandung lisozim, cairan lambung yang mengandung asam lambung dan
kelenjar empedu yang mengeluarkan zat empedu yang dapat melisiskan kuman
pneumokokus. Sekresi lendir atau mukus dapat menahan masuknya virus ke dalam sel
karena mampu berkompetisi dengan reseptor pada sel untuk neuraminidase pada virus.
 Pertahanan biokimia
Kebanyakan mikroba tidak dapat menembus kulit yang sehat, namun beberapa dapat
masuk tubuh melalui kelenjar sebaseus dan folikel rambut. PH asam keringat dan sekresi
sebaseus, berbagai asam lemak yang dilepas kulit mempunyai efek denaturasi terhadap
protein membrane sel sehingga dapat mencegah infeksi yang dapat terjadi melalui kulit.
Lisozim dalam keringat, ludah, air mata, dan air susu ibu, melindungi tubuh terhadap
berbagai kuman gram positif oleh karena dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan
dinding bakteri. Air susu ibu juga mengandung laktooksidase dan asam neuraminik yang
mempunyai sifat antibacterial terhadap E. koli dan staphilokokus. Saliva mengandung
enzim seperti laktooksidase yang merusak dinding sel mikroba dan menimbulkan
kebocoran sitoplasma dan juga mengandung antibody serta komplemen yang dapat
berfungsi sebagai opsinin untuk lisis sel mikroba.
Asam hidroklorida dalam lambung, enzim proteolitik, antibody dan empedu dalam usus
halus membantu menciptakan lingkungan yang dapat mencegah infeksi banyak mikroba.
PH yang rendah dalam vagina, spermin dalam semen dan jaringan lain dapat mencegah
tumbuhnya bakteri gram positif. Pembilasan oleh urin dapat menyingkirkan kuman
patogen. Laktoferin dalam serum mengikat besi yang merupakan metabolit asensial untuk
hidup beberapa jenis mikroba seperti pseudomonas.
Bahan yang disekresi mukosa saluran napas(enzim dan antibody) dan telinga berperan
dalam pertahanan tubuh secara biokimiawi. Mukus yang kental melindungi sel epitel
mukosa dapat menangkap bakteri dan bahan lainnya yang selanjutnya dikeluarkan oleh
gerakan silia. Polusi, asap rokok, alkohol dapat merusak mekanisme tersebut sehingga
memudahkan terjadinya infeksi oportunistik.
Udara yang kita hirup, kulit dan saluran cerna, mengandung banyak mikroba, biasanya
berupa bakteri dan virus, kadang jamur atau parasit. Sekresi kulit yang bakterisidal, asam
lambung, mukus dan silia di saluran napas membantu menurunkan jumlah mikroba yang
masuk tubuh, sedangkan epitel yang sehat biasanya dapat mencegah mikroba masuk ke
dalam tubuh.
Dalam darah dan sekresi tubuh, enzim lisosom memusnahkan banyak bakteri dengan
merusak dinding selnya. IgA juga merupakan pertahanan permukaan mukosa,
memusnahkan banyak bakteri dengan merusak dinding selnya. Flora normal(biologis)
terbentuk bila bakteri non patogenik menempati permukaan epitel. Flora tersebut dapat
melindungi tubuh melalui kompetisi dengan patogen untuk makanan dan tempat
menempel pada epitel serta produksi bahan antimikrobial. Penggunaan antibiotika dapat
mematikan flora normal sehingga bakteri patogenik dapat menimbulkan penyakit.
 Pertahanan humoral
Sistem imun nonspefisik menggunakan berbagai molekul larut. Molekul larut tertentu
diproduksi di tempat infeksi atau cedera dan berfungsi lokal. Molekul tersebut antara lain
adalah peptide antimikroba seperti devensin, katelisidin dan IFN (interferon) dengan efek
antiviral. Faktor larut lainnya diproduksi di tempat yang lebih jauh dan dikerahkan ke
jaringan sasaran melalui sirkulasi seperti komplemen dan PFA (protein fase akut).
 Komplemen
Berbagai bahan dalam sirkulasi seperti lektin, interferon, CRP (C reactive protein) dan
komplemen berperan dalam pertahanan humoral. Serum normal dapat memusnahkan
dan menghancurkan beberapa bakteri gram negatif atas kerjasama antara antibody dan
komplemen yang ditemukan dalam serum normal. Komplemen rusak pada pemanasan
560C selama 30 menit.
Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila diaktifkan akan memberikan
proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respons inflamasi. Komplemen dengan
spektrum aktivitas yang luas diproduksi oleh hepatosit dan monosit dapat diaktifkan
secara langsung oleh mikroba atau produknya (jalur alternative, klasik dan lektin).
Komplemen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai faktor
kemotaktik dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan parasit.
 Protein fase akut
Selama fase akut infeksi, terjadi perubahan pada kadar beberapa protein dalam serum
yang disebut APP (acute phase protein), dimana pada akhirnya bahan antimicrobial
dalam serum meningkat dengan cepat setelah sistem imun nonspesifik diaktifkan.
Protein yang meningkat atau menurun selama fase akut disebut juga APRP ((acute
phase response protein) yang berperan dalam pertahanan diri.
APRP diinduksi oleh sinyal yang berasal dari tempat cedera atau infeksi melalui darah.
Hati merupakan tempat sintesis APRP. Sitokin TNF-α (TNF=tumor necrosis factor),
IL-1, IL-6 (IL=Iinter leukin) merupakan sitokini proinflamasi dan berperan dalam
induksi APRP.
 Mediator asal fosfolipid
Metabolisme fosfolipid diperlukan untuk produksi PG (postaglandin) dan LTR
(leukotrin). Keduanya meningkatkan respons inflamasi melalui peningkatan
permeabilitas vaskular dan vasodilatasi.
 Sitokin IL-1, IL-6, TNF-α
Selama terjadi infeksi, produk bakteri seperti LPS (lipopolisakarida) mengaktifkan
makrofag dan sel lain untuk lepas berbagai sitokin seperti IL-1 yang merupakan
pirogen endogen, TNF-a dan IL-6. Pirogen adalah bahan yang menginduksi demam
yang dipacu baik oleh faktor eksogen (endotoksin asal bakteri gram negatif) atau
endogen seperti IL-1 yang diproduksi makrofag dan monosit. Ketiga sitokin tersebut
disebut sitokin proinflamasi, merangsang hati untuk mensintesis dan melepas sejumlah
protein plasma seperti protein fase akut antara lain CRP (C reactive protein) yang dapat
meningkat 1000 kali, MBL(mannan binding lectin) dan SAP (serum amyloid protein).

 Pertahanan selular
Fagosit, sel NK (natural killer), sel mast dan eosinofil berperan dalam sistem imun
nonspesifik selular. Sel-sel sistem imun tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau
jaringan. Contoh sel yang dapat ditemukan dalam sirkulasi adalah neutrofil, eosinofil,
basofil, monosit, sel T, sel B, sel NK, sel darah merah dan tombosit. Sel-sel tersebut dapat
mengenal produk mikroba esensial yang diperlukan untuk hidupnya. Contoh sel-sel dalam
jaringan adalah eosinofil, sel mast, makrofag, sel T, sel plasma dan sel NK.
b. Sistem imun didapat atau spesifik/adaptif/acquired
Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk
mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan
dengan tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan
sensitasi, sehingga antigen yang sama dan masuk tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih
cepat dan kemudian akan dihancurkan. Oleh karena itu, sistem tersebut disebut spesifik.
Untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh, sistem imun spesifik dapat
bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Namun pada umumnya terjalin kerja sama
yang baik antara sistem imun nonspesifik dan spesifik seperti antara komplemen fagosit-
antibodi dan antara makrofag-sel T. Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan
sistem selular. Pada imunitas humoral, se B melepas antibody untuk menyingkirkan mikroba
ekstraselular, sel T mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk menghancurkan mikroba
atau mengaktifkan sel CTC/Tc (cytotoxic T cell) sebagai efektor yang menghancurkan sel
terinfeksi.
Sistem imun didapat atau spesifik/adaptif/acquired terdiri dari;
 Sistem imun spesifik humoral
Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Humoral
berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel asal multipoten disum-sum tulang. Pada unggas,
sel yang disebut Bursal cell atau sel B yang matang dalam alat yang disebut Bursa Fabriius
yang terletak dekat kloaka. Pada manusia diferensiasi tersebut terjadi dalam sumsum
tulang.
Sel B yang dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi dan
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibody. Antibodi yang dilepas dapat
ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibody ialah pertahanan terhadap infeksi
ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralkan toksinnya.
 Sistem imun spesifik selular
Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sel tersebut juga berasal
dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada orang dewasa, sel T dibentuk di sumsum tulang,
tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi didalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai
faktor asal timus. 90-95% dari semua sel T dalam timus tersebut mati dan hanya 5-10%
menjadi matang dan selanjutnya meninggalkan timus untuk masuk kedalam sirkulasi.
Faktor timus yang disebut timosin dapat ditemukan dalam peredaraan darah sebagai
hormone asli dan dapat mempengaruhi diferensiasi sel T diperifer. Berbeda dengan sel B,
sel T terdiri atas beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu sel CD 4+ (Thl,
Th2), CD8+ atau CTL (cytotoxic T lympocyte) atau Tc (T cytotoxic) dan Ts (T supresor)
atau sel Tr (Tregulator) atau Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik selular ialah
pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraselular, virus, jamur, parasit dan keganasan.
Sel CD8+ memusnahkan sel terinfeksi.
B. PRINSIP DASAR VAKSINASI
1. Sejarah Vaksinasi
a. Perjuangan Melawan Penyakit Cacar Air
Kita dapat membayangkan bagaimana kehidupan masyarakat pada zaman dimana cacar atau
variola atau smallpox(harap dibedakan dengan varisela atau cacar air yang masih sering
menyerang masyarakat hingga saat ini) merajalela. Hidup dihantui dengan kecemasan. Cacar
telah dikenal sejak sebelum masehi. Diduga Raja Mesir Ramses V yang meninggal pada tahun
1.156 Sebelum Masehi, berdasarkan gambaran di wajahnya diduga pernah terkena cacar.
Fatalitas atau angka kematian cacar antara 20%-60% , bahkan saat cacar menyerang anak-anak
di London saat itu, 80% anak yang terkena meninggal. Kalau toh tidak meninggal, cacar akan
meninggalkan bekas goresan yang menyeramkan di wajah.
Karena cacar inilah vaksinasi ditemukan. Para pengobat tradisional Afrika, India, dan Cina,
sebelum abad ke -18 telah berusaha melakukan pencegahan terhadap cacar air melalui metode
variolation atau inoculation. Para pengobat atau dokter pada zaman itu menggoreskan cairan
penderita cacar dengan menggunakan pisau kecil atau lancet digoreskan pada seorang yang
belum terkena penyakit cacar. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman mereka, orang-orang
yang diinokulasi dengan cairan tersebut mengalami serangan cacar lebih ringan atau tidak
terkena cacar sama sakali. Cara inokulasi saat itu ternyata juga mengundang kontroversi.
Sebagian pengobat waktu itu tidak setuju inokulasi digunakan sebagai cara untuk mencegah
serangan cacar, karena menurut pengamatan mereka inokulasi berarti mempercepat penularan
penyakit cacar.
Barulah pada tahun 1.721, dr. Boyliston dan Mather melakukan penelitian dengan
menggunakan metode statistik untuk membandingkan angka kematian kelompok yang
menderita cacar karena tertular secara alami dan yang terkena cacar akibat dilakukan
inokulasi. Pada saat itu wabah cacar sedang terjadi. Sebanyak 12.000 orang mendapatkan
inokulasi untuk mencegah infeksi cacar. Pada akhir penelitian, Boyliston dan Mather
menyimpulkan bahwa kelompok yang tertular cacar secara alami meninggal dunia sebanyak
14% dibandingkan kelompok yang memperoleh inokulasi hanya 2%. Artinya, pemberian
inokulasi atau yang kini dikenal dengan vaksinasi atau imunisasi memberikan perlindungan
lebih baik dibandingkan dengan tanpa inokulasi.
Tonggak sejarah vaksinasi dicanangkan oleh Edward Jenner. Jenner memang bukan penggagas
orisinal vaksinasi. Tetapi dialah orang yang pertama kali memberikan istilah vaksinasi dan
melakukan pengkajian secara ilmiah.
Vaksinasi menurut asal katanya, berasal dari bahasa latin – vacca (sapi) dan vaccinia (cacar
sapi). Apa yang dilakukan Jenner saat itu didasari oleh pemikiran bahwa memberikan cairan
atau materi dari cacar sapi kepada seseorang yang sehat akan memberikan efek perlindungan
terhadap orang tersebut dari serangan cacar.
Upaya dalam pencegahan terhadap penyakit cacar saat itu, yaitu melalui inokulasi atau
vaksinasi, memang belum memberikan efek perlindungan yang optimal. Barulah pada abad ke
-19 diketahui bahwa pemberian inokulasi atau vaksinasi tidaklah cukup hanya sekali.
Pemberian vaksin harus diulang karena sistem kekebalan yang dibentuk dengan hanya
memberikan satu kali vaksinasi belumlah mencukupi. Metode vaksinasi terus diperbaiki.
Memberikan inokulasi begitu saja tanpa mengolah antigen virus terlebih dahulu, yang berasal
dari pasien yang menderita cacar dan diberikan kepada orang lain yang sehat merupakan
tindakan yang tidak bijaksana. Dengan semakin majunya ilmu dan teknologi kedokteran, kini
telah ditemukan bagaimana cara pembuatan vaksin yang aman. Virus atau kuman tersebut
mampu meningkatkan antibody atau sistem kekebalan tubuh tanpa harus membahayakan orang
yang menerima vaksinasi. Berkat vaksinasi, cacar telah hilang dari peredaran bumi. Sebelum
cacar tereradikasi, penyakit ini menewaskan 15 juta orang setiap tahunnya. Kasus terakhir
cacar dilaporkan di Somalia pada tahun 1977.

b. Kematian Akibat Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Vaksinasi


Tidak ada perang sedahsyat perang antara kuman patogen dan sistem kekebelan tubuh
manusia. Perang dunia I dan II kalah dengan perang antara kuman patogen dan sistem
kekebalan manusia. Korban perang dunia I dan II jauh lebih sedikit dibandingkan dengan
perang melawan penyakit infeksi. Kita tidak menyadari bahwa korban perang melawan infeksi
jauh lebih banyak dibandingkan dengan perang dunia I dan II, karena korban yang jatuh tidak
terkosentrasi di satu wilayah. Korban akibat penyakit infeksi tersebar di seluruh dunia dan cara
meninggalnya satu demi satu, sehingga tidak menarik perhatian dunia. Berbeda halnya dengan
perang dunia I dan II, korbannya jelas terkosentrasi di satu tempat, entah di Hirosima dan
Nagasaki, Jepang atau Jerman, Inggris dan sebagainya. Berdasarkan laporan, korban perang
dunia I diperkirakan ada 37 juta jiwa, terdiri atas 16 juta dari personil militer dan 21 juta jiwa
penduduk sipil. Jumlah ini ternyata kalah dengan korban pendemi flu yang terjadi tahun 1918,
dimana korban yang meninggal mencapai 50 juta jiwa dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Senjata yang saat ini paling ditakuti bukan senjata nuklir, tetapi bioterorisme yang
menggunakan senjata biologi (virus atau bakteri) untuk menyerang wilayah atau negara.
Nuklir bisa ditangkal dengan senjata antinuklir, tetapi bagaimana menangkal kuman antraks
dan cacar?
Kita bersyukur bahwa saat ini teknologi kedoktoren semakin maju dan semakin banyak
mikroorganisme diunggkap. Demikian pula cara pencegahannya. Dengan mengetahui pola
penularan, perbaikan gizi, hygiene diri dan lingkungan, serta penemuan vaksin, maka angka
kejadian beberapa penyakit infeksi dapat ditekan. Berbagai jenis vaksin telah dikembangkan
untuk mencegah berbagai macam penyakit infeksi. Tidak ada cara efektif dalam menangkal
penyakit kecuali melalui vaksinasi. Harus diakui bahwa tidak semua penyakit dapat dicegah
melalui vaksinasi, namun sebagian penyakit infeksi dapat dicegah melalui vaksinasi atau
disebut vaccine-preventable disease.

Penemuan Awal Jenis Vaksin


 1798 Vaksin cacar air (smallpox)  1935 Vaksin yellow fever
 1875 Vaksin rabies  1955 Vaksin polio injeksi
 1897 Vaksin sampar  1962 Vaksin polio oral
 1923 Vaksin difteri  1964 Vaksin campak
 1926 Vaksin portusis  1967 Vaksin gondongan(mumps)
 1927 Vaksin tuberculosis  1970 Vaksin rubella
 1927 Vaksin tetanus  1981 Vaksin hepatitis B
Karya Jenner telah disempurnakan oleh Louis Pasteur. Pada tahun 1881, Pasteur melakukan
penelitian pada penyakit kolera ayam (chicken cholera). Saat itu Pasteur membuat suatu
hipotesis bahwa kuman patogen dapat dilemahkan melalui berbagai cara, misalnya dengan
cara pemanasan, oksigen, dan cara kimiawi.
Pasteur kemudian membuktikan hipotesisnya dengan melakukan kultur virus campak dan
rabies yang dilemahkan, Pasteur menemukan vaksin untuk mengatasi kedua penyakit tersebut.
Tidak lama berselang, berbagai macam vaksin berhasil ditemukan melengkapi vaksin yang
telah dikembangkan oleh Pasteur.
Bedasarkan laporan WHO tahun 2002, setiap tahun terjadi kematian sebanyak 2,5 juta anak
dibawah lima tahun (Balita), yang disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah melalui
vaksinasi. Radang paru yang disebabkan oleh Pneumokokus menduduki peringkat pertama
(716.000 kematian), diikuti penyakit campak (525.000 kematian), rotavirus (diare),
Haemophilus influenza tipe B, pertusis, dan tetanus. Dari jumlah semua kematian tersebut,
76% kematian Balita terjadi di negara-negara sedang berkembang, khususnya di Afrika dan di
Asia Tenggara (termasuk Indonesia).
Keampuhan Vaksinasi tidak perlu diragukan, Smallpox atau cacar sebagai buktinya. Penderita
polio telah menurun 99%. Jumlah penderita kanker hati menurun berkat vaksinasi hepatitis B.
Di Amerika, setelah pemerintah setempat menerapkan vaksinasi hepatitis A secara universal
pada tahun 1999, Infeksi virus hepatitis A menurun 73%. Menurut Carol Belamy, Direktur
Eksekutif UNICEF, di Afrika setiap tahun sebanyak 130.000 anak dapat diselamatkan dari
kematian akibat campak.
WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui vaksinasi akan dapat
diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai. Dalam hal ini bisa tercapai bilah lebih dari
90% populasi telah mendapatkan vaksinasi terhadap penyakit tersebut. Sayang, sasaran
tersebut belum sepenuhnya tercapai. Sebagai contoh, vaksinasi global pada tahun 1980 baru
mencapai 20% dan pada tahun 2006 baru 78%. Pemberian vaksinasi mendekati 100% berarti
akan menciptakan pagar kuat yang tidak dapat ditembus oleh kuman. Seandainya kuman atau
virus menginfeksi seseorang, namun kuman atau virus tersebut tidak akan menyebar kepada
orang lain karena mereka telah memiliki proteksi yang diperoleh melalui vaksinasi. Pada
akhirnya kuman dan virus akan frustrasi karena tempat hidupnya (manusia) telah dijaga oleh
“tentara” atau antibody, dan mereka akan hilang dari bumi menyusul virus smallpox.

2. Seluk-Beluk Vaksin
a. Vaksin dan Sistem Kekebalan
Sebelum kita membahas bagaimana pemberian vaksin dapat memberikan perlindungan
terhadap seseorang, terlebih dahulu perlu diketahui sistem kekebalan tubuh kita bekerja
melawan kuman atau mikroorganisme (virus, bakteri, parasit, dsb).
Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena telah dilengkapi
dengan 2 sistem kekebalan tubuh, yaitu sistem kekebalan non-spesifik dan kekebalan spesifik.
Disebut sebagai sistem imun non-spesifik karena sistem kekebalan tubuh kita tidak ditujuhkan
terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu.
Contoh bentuk kekebalan non-spsifik:
 Pertahanan fisik dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung – yang berfungsi untuk
menyaring kotoran yang akan masuk kesaluran napas bawah.
 Pertahanan biokimiawi-air susu ibu yang mengandung laktoferin – berperan sebagai
antibakteri.
 Interferon – pada saat tubuh kita kemasukan virus, maka sel darah putih akan
memproduksi interferon untuk melawan virus tersebut.
 Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan non-spesifik yang
diperankan oleh pertahanan selular (misalnya monosit dan makrofag ) akan menangkap,
mencerna, dan membunuh mikroorganisme tersebut.
Apabilah sistem kekebalan non-spsifik tidak mampu menghentikan serangan mikroorganisme,
maka sistem kekebalan spesifik akan diaktifkan. Dikatakan sebagai sistem kekebalan spsifik
karena cara bekerja sistem kekebalan kita secara khusus ditujukan untuk menangkal
mikroorganisme tertentu. Contoh, bilah virus hepatitis B menyerang tubuh kita, maka sistem
kekebalan kita akan memproduksi antibody khusus yang diarahkan pada virus tersebut, yang
dikenal sebagai anti HBs. Bila virus campak menyerang tubuh kita, maka antibody yang
diproduksi juga antibody yang khusus untuk menangkal virus campak tersebut.
Sistem kekebalan spesifik dimainkan oleh dua komponen utama, yaitu sel Tdan sel B. Sistem
kekebalan spesifik tidak mengenali seluruh struktur utuh mikroorganisme, melainkan sebagian
protein saja yang akan merangsang sistem kekebalan kita. Bagian dari struktur protein
mikroorganisme yang dapat merangsang sistem kekebalan spesifik ini disebut sebagai antigen.
Adanya antigen akan merangsang diaktifkanya sel T atau sistem kekebalan selular.
Selanjutnya, sel T ini akan memacu sel B atau sel humoral untuk mengubah bentuk dan fungsi
menjadi sel plasma yang selanjutnya akan memproduksi antibody. Kelebihan dari sistem
kekebalan spesifik adalah dilengkapi dengan sel memori. Semakin sering tubuh kita kontak
dengan antigen dari luar, maka semakin tinggi pula peningkatan kadar antibody tubuh karena
sel-sel memori telah mengenali antigen tersebut.

Hampir 90%-95% seseorang yang menerima vaksinasi dosis tunggal yang berasal dari vaksin
yang dilemahkan (misalnya: vaksin campak, rubella, dan yellow fever ) dalam kurun dua
minggu sudah memperoleh daya lindung terhadap penyakit-penyakit tersebut. Untuk vaksin
varisela dan gondok (mumps ) daya lindung berkisar 80%-85% setelah pemberian satu dosis
vaksinasi. Mengingat kegagalan vaksinasi MMR dan varisela mencapai 5% -15%, maka
vaksinasi diberikan sebanyak dua dosis. Pemberian vaksinasi 1 dosis hanya akan
meningkatkan sedikit kadar antibody (respon imun). Apabilah diikuti dengan pemberian dosis
kedua dan ketiga, maka kadar antibody yang dibentuk tubuh semakin tinggi.
b. Macam vaksin
Sebagaimana sudah disebutkan diatas bahwa yang membangkitkan sistem kekebalan spesifik
kita adalah antigen yang merupakan bagian dari mikroorganisme (virus atau bakteri). Antigen
ini selanjutnya akan ditanggapi oleh sistem kekebalan tubuh dengan memproduksi antibody.
Sifat kekebalan pasif tidak berlangsung lama, umumnya tidak kurang dari enam bulan.
Sementara, kekebalan aktif berlangsung bertahun-tahun, karena tubuh telah memiliki sel
memori terhadap antigen tertentu. Kekebalan aktif atau yang umum disebut imunisasi
diperoleh melalui pemberian vaksinasi.
Dalam rangka memacu sistem kekebalan spesifik tubuh kita, maka vaksin dapat dibuat dari;
 Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan)
adalah vaksin yang dibuat dari virus atau bakteri hidup yang dilemahkan melalui proses
laboratorium. Karena vaksin berasal dari virus atau bakteri hidup yang dilemahkan, maka
kuman tersebut masih dapat menimbulkan penyakit, namun gejala yang muncul relative
jauh lebih ringan dibandingkan dengan penyakit yang diperoleh secara alami. Contoh
vaksin yang dilemahkan yang berasal dari virus adalah vaksin campak, gondongan, rubella,
polio, rotavirus dan demam kuning. Sedangkan vaksin yang dilemahkan berasal dari
bakteri adalah vaksin BCG dan demam tifoid.
 Inactivated(kuman atau virus atau komponen yang dibuat tidak aktif)
Inactivated vaccine-kuman, virus, atau komponen yang dibuat tidak aktif-dihasilkan
dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media pembiakan, kemudian
mikroorganisme tersebut dibuat tidak aktif dengan pemberian bahan kimia (misalnya
formalin). Inactivated vaccine dapat terdiri atas seluruh tubuh virus atau bakteri, atau
hanya diambil komponen dari mikroorganisme tersebut. Beberapa inactivated vaccine
dalam bentuk utuh seperti: vaksin influenza, rabies, hepatitis A (berasal dari virus), dan
vaksin pertusis, tifoid, kolera dan lepra (berasal dari bakteri) dan bentuk komponen seperti:
vaksin pneumokokus, meningokokus dan Haemophillus influenza tipe B.
 Vaksin rekombinan
Virus rekombinan.berupa vaksin yang diperoleh melalui proses rekayasa genetik, misalnya
vaksin hepatitis B, vaksin tifoid dan rotavirus. Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara
memasukan suatu segmen gen virus hepatitis B ke dalam gen sel ragi. Sel ragi yang telah
diubah ini kemudian menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni.
 Virus-like particle vaccine.
Virus – like particle vaccine atau vaksin yang dibuat dari partikel yang mirip dengan virus,
contohnya adalah vaksin Human papillomavirus (HPV) tipe 16 untuk mencegah kanker
leher rahim. Antigen diperoleh melalui protein virus HPV yang diolah sedemikian rupa
sehingga menghasilkan struktur yang mirip dengan seluruh struktur HPV (atau dikenal
sebagai pseudo-particles of HPV tipe16).
c. Vaksin Wajib dan Vaksin yang Dianjurkan
Tidak semua negara menerapkan kebijakan vaksinasi yang sama pada masyarakatnya, namun
bisanya rekomendasi vaksinasi lebih diprioritaskan bagi bayi dan anak-anak, karena kelompok
usia ini dianggap belum mempunyai sistem kekebalan tubuh yang sempurna. Pemerintah
Indonesia mengambil kebijakan dalam pemberian vaksinasi menjadi dua, yaitu: vaksin
wajib(sebagai program imunisasi nasional), khususnya ditujukan bagi bayi dan anak serta
vaksin yang dianjurkan (bukan program imunisasi nasional) diperuntukkan bagi kelompok
dewasa. Vaksinasi wajib diberikan pada anak secara gratis karena menjadi program nasional,
sedangkan vaksin yang dianjurkan belum menjadi vaksin wajib mengingat pendanaan yang
harus dikeluarkan pemerintah sangat besar.

Tabel :
Jenis vaksin wajib dan vaksin yang dianjurkan
(Satgas Imunisasi – Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008)

Vaksin sesuai dengan program Vaksin bukan program imunisasi nasional


imunisasi nasional (Vaksin wajib) (Vaksin yang dianjurkan)
 Tuberculosis  MMR(campak, gondong, rubella)
 Hepatitis B  Haemophilus influenza tipe B (HiB)
 DPT (difteri, tetanus, pertusis)  Demam tifoid
 Poliomielitis  Varisela
 Campak  Hepatitis A
 Rabies
 Inflenza
 Pneumokokus
 Rotavirus
 Kolera + ETEC
 Yellow fever
 Japannese encephalitis
 Meningokokus
 Human papiloma virus (HPV)
C. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi
protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak
menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi sama dengan yang menimbulkan
reaksi hipersensitivitas.
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah
dipajankan atau dikenal sebelumnya. Van Pirquet pada tahun 1906 mengusulkan nama “alergi” yang
berarti reaksi yang berlainan. Penambahan daya tahan tubuh disebut kekebalan atau imunitas dan
penambahan kepekaan tubuh disebut hipersensitifitas. Sekarang istilah hipersensitifitas dan alergi
dianggap sebagai sinonim dan keduanya menunjukan kondisi bahan yang berubah setelah kontak
dengan antigen yang sedemikian rupa sehingga antigen itu atau antigen yang mirip dengannya dapat
menimbulkan reaksi patologis dalam badan.

Berdasarkan waktu kecepatan timbulnya reaksi, maka reaksi hipersensitivitas terdiri dari :
1. Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitugan detik, menghilang dua jam. Ikatan silang antara allergen dan
IgE pada permukaan sel mast menginduksi penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi
cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.
2. Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang 24 jam. Reaksi ini melibatkan
pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau
sel NK/ADCC (antibody dependent cell cytotoxic). Manifestasi reaksi intermediet dapat berupa ;
 Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hermolitik autoimun
 Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis,
glomerulonefritis, artritis rheumatoid dan LES (lupus eritematosus sistemik).
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh sel
neutrofil atau sel NK.
3. Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi
oleh aktivasi sel Th. Pada DTH (delayed type hypersensitivity), sitokin yang dilepas sel T
mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat
adalah dermatitis kontak, reaksi M. tuberculosis dan reaksi penolakan tandur.

Robert Coombs dan Phlip HH Gell(1963) membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 tipe, yaitu ;
reaksi tipe I, reaksi tipe II, reaksi tipe III dan reaksi tipe IV. Pembagian Gell dan Coombs tersebut
dibuat sebelum analisis yang mendetail mengenai subset dan fungsi sel T diketahui.

Berdasarkan penemuan-penemuan dalam penelitian imunologi, telah dikembangkan beberapa


modifikasi klasifikasi Gell dan Coombs yang membagi lagi Tipe 1V dalam beberapa subtype reaksi.
Meskipun reaksi Tipe I, II dan III dianggap sebagai reaksi humoral, sebetulnya reaksi-reaksi tersebut
masih memerlukan bantuan sel T atau peran selular.
 Reaksi Tipe I atau reaksi alergi
Reaksi Tipe 1 yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul
segera sesudah tubuh terpajan dengan allergen. Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von
Pirquet pada tahun 1906 yang berasal dari Alol (Yunani) yang berarti perubahan dari asalnya yang
dewasa. Ini diartikan sebagai perubahan reaktivitas organism.
Pada reaksi Tipe I, allergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun berupa
produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitas alergi, asma dan dermatitis atopi. Urutan kejadian
reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut:
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh
reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast/basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik
dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini
terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks(anafilaksis) sebagai efek mediator-
mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.

Manifestasi Reaksi Tipe I ;


Manifestasi reaksi tipe 1 dapat bervariasi dari lokal, ringan sampai berat dan keadaan yang
mengancam nyawa seperti anafilaksi dan asma berat.
a. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitivitas Tipe I lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang biasanya
melibatkan permukaan epitel tempat alergen masuk. Kecendrungan untuk menunjukan reaksi
Tipe I adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20% populasi menunjukan penyakit
yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi.
Sekitar 50-70% dari populasi membentuk IgE terhadap antigen yang masuk tubuh melalui
mukosa seperti selaput lendir hidung, paru dan konjungtiva tetapi hanya 10-20% masyarakat
yang menderita rinitis alergi dan sekitar 3-10% yang menderita asma bronkial. IgE yang
biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah
ada pada permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula
terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukan kedalam kulit/sirkulasi
orang normal. Reaksi alergi mengenai kulit, mata, hidung dan saluran napas.
b. Reaksi sistemik – anafilaksi
Anafilaksis adalah reaksi tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit saja.
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell dan coombs Tipe I atau reaksi alergi yang
cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan sel
efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai allergen seperti
makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan
jasmani dan bahan diagnostik lainnya. Pada 2/3 pasien dengan anafilaksis, pemicu spesifiknya
tidak dapat diidentifikasi.
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan
penglepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Mekanisme pseudoalergi
merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara klinis reaksi ini menyerupai reaksi tipe I
seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritus tetapi tidak berdasarkan atas reaksi
imun. Manifestasi klinisnya sering serupa, sehingga sulit satu dari lainnya. Reaksi ini tidak
memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat
menimbulkan anti mikroba, protein, kontras dengan yodium, AINS (anti inflamasi non
steroid), etilenoksid, taksol, penisilin dan pelemas otot.

 Reaksi Tipe II atau sitotoksis atau sitolitik


Reaksi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksi atau sitolitik, terjadi karena dibentuk
antibody jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali
oleh reaksi antara antibody dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel
tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat meningkat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksis.
Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang
dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi Tipe II
dapat menunjukan berbagai manifestasi klinik.
1. Reaksi transfuse
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM (sel darah merah) disandi oleh
berbagai gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat transfuse golongan B terjadi
reaksi transfusi, oleh karena anti B esohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang
menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravascular. Reaksi dapat cepat
atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO
yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma
dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah
menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam,
menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah dan hemoglobinuria.
Reaksi transfuse darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfuse
berulang dengan darah yang kompatibel ABO (golongan darah) namun inkompatibel dengan
golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfuse. Darah yang
ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran golongan darah,
tersering adalah golongan Rhesus, Kidd, Kell dan Duffy.
2. Penyakit hemolitik bayi baru lahir
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh dalam
kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah Rhesus negative dan janin dengan Rhesus
positif.
3. Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penicillin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi
nonspesifik pada protein membran SDM (sel darah merah) yang membentuk kompleks serupa
kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibody
yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan
lisis dengan dan anemia progresif.

 Reaksi Tipe III atau kompleks imun


Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa
dan disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuclear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa
bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat
dimusnahkan oleh makrrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnakan ,
karena itu dapat lebih dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah
satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada
dalam sirkulasi untuk jangka waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan
timbul bila kompleks imun tersebut dapat mengendap di jaringan.
1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang
terhirup(spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri
(penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa
adanya respon antibody yang efektif. Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat
menyingkirkan kompleks imun sehingga makrofag diransang terus menerus untuk melepas
berbagai bahan yang dapat merusak jaringan kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam
sirkulasi dan IgM atau IgG3 (dapat juga IgA) diendapkan membran basal vaskular dan
membran basal ginjal yang menimbukkan reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks yang
terjadi dapat menimbulkan agregrasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas
vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan penglepasan mediator inflamasi dan bahan
kemotaktik serta influx neutrofil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat menimbulkan
kerusakan jaringan setempat.

2. Kompleks Imun mengendap di jaringan


Hal yang memungkinkan terjadinya pengedapan kompleks imun yang di jaringan ialah ukuran
komplekks imun yang kecil dan permeailitas vaskular yang meningkat, antara lain karena
histamin yang dilepas sel mast.

3. Bentuk reaksi
Reaksi Tipe III mempunyai dua bentuk reaksi, lokal dan sistemik.
a. Reaksi lokal atau Fenomena Arthus
Arthus yang menyuntikan serum kuda ke dalam kelinci intradermal berulang kali ditempat
yang sama menemukan reaksi yang makin menghebat di tempat suntikan. Mula-mula
hanya terjadi eritem ringan dan edem dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut
menghilang keesokan harinya. Suntikan kemudian menimbulkan edem yang lebih besar
dan suntikan yang ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit sembuh. Hal
tersebut disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun
antibody yang ditemukan adalah jenis presipitin.
Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel vaskular dan
bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul berupa
kerusakan jaringan lokal dan vaskular akibat akumulasi cairan (edem) dan SDM (eritema)
sampai nekrosis. Reaksi Tipe Arthus dapat terjadi intrapulmoner yang diinduksi kuman,
spora jamur atau protein fekal kering yang dapat menimbulkan pneumonitis atau alveolitis
atau Farmer’s lung.
C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi komplemen, meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edem. C3a dan C5a berfungsi juga
sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai dikerahkan ditempat reaksi dan
menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah. Sasaran anafilatoksin adalah
pembuluh darah kecil, sel mast, otot polos dan leukosit perifer yang menimbulkan
kontraksi otot polos, degranulasi sel mast, peningkatan permeabilitas vaskular dan respon
tripel terhadap kulit. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama
dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase
dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.
Dengan pemeriksaan imunofluoresen, antigen, antibody dan berbagai komponnen
komplomen dapat ditemukan tempat kerusakan pada dinding pembuluh darah. Bila kadar
komplemen atau jumlah granulosit menurun(pada hewan, kadar komplemen dapat
diturunkan dengan bisa kobra), maka kerusakan khas dari Arthus tidak terjadi. Reaksi
Arthus dapat berupa vaskulitis.

b. Reaksi Tipe III sistemik- serum sickness


Antigen dalam jumlah besar yang masuk ke dalam sirkulasi darah dapat membentuk
kompleks imun. Bila antigen jauh berlebihan dibanding antibody, kompleks yang dibentuk
adalah lebih kecil yang tidak mudah untuk dibersikan fagosit sehingga dapat menimbulkan
kerusakan jaringan Tipe III diberbagai tempat. Dahulu reaksi Tipe III sistemik demikian
sering terlihat pada pemberian antitoksin yang mengandung serum asing seperti antitetanus
atau antidifteri asal kuda.
Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan
melepas anafilatoksin (C3a, C5a ) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin.
Mediator lainnya dan MCF (C3a, C5a, C5, C6, C7) mengerahkan polimorf yang melepas
enzim proteolitik dan protein polikationik. Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan
di tempat-tempat dengan tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya
dalam kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan korpus silier
mata. Pada LES, ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun. Pada artritis
reumotoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti-IgG (FR berupa IgM) dan
membentuk kompleks imun di sendi.

 Reaksi hipersensitifitas Tipe IV


Baik CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi Tipe IV. Sel T melepas sitokin, bersama dengan
produksi mediator sitotoksis lainnya menimbulkan respon inflamasi yang terlihat pada penyakit
kulit hipersensitifitas lambat. Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh etilendiamine,
neomisin, anestesi topikal, antihistamin topikal dan steroid topikal.
Dewasa ini reaksi hipersensitivitas Tipe IV telah dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel CD 4+
dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+.
Reaksi hipersensitifitas Tipe IV terdiri dari ;
1. Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Reaksi Tipe IV merupakan hipersensitivitas granulomatosis. Biasanya terjadi terhadap bahan
yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum dalam rongga peritoneum dan
kolagen sapi dari bawah kulit.
Ada beberapa fase pada respons Tipe IV yang dimulai dengan fase sensitasi yang
membutuhkan 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Dalam fase itu, Th diaktifkan
oleh APC (antigen presenting cell) melaui MHC-II (major histocompatibility complex). Reaksi
khas DTH (delayed type hypersensitivity) seperti respons imun lainnya mempunyai dua fase
yang dapat dibedakan yaitu fase sensitasi dan fase enfektor.
Beberapa APC seperti sel Langerhans (SD/sel dendritik di kulit) dan makrofag yang
menangakap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk dipresentasikan ke
sel T. sel T yang diaktifkan pada umumnya adalah sel CD 4+ terutama Thl, tetapi pada beberapa
hal sel CD8+ dapat juga diaktifkan.
Pajanan ulang dengan antigen menginduksi sel efektor. Pada fase efektor, sel Thl melepas
berbagai sitokin yang mengerahkan dan mengaktifkan makrofag dan sel inflamasi non spesifik
lain. Gejala biasanya baru nampak 24 jam sesudah kontak kedua dengan antigen. Makrofag
merupakan efektor utama respons DTH. Sitokin yang dilepas sel Thl menginduksi monosit
menempel ke endotel vaskular, bermigrasi dari sirkulasi darah ke jaringan sekitar.
Influksi makrofag yang diaktifkan berperan pada DTH terhadap parasit dan bakteri intraselular
yang tidak dapat ditemukan oleh antibodi. Enzim litik yang dilepas makrofag menimbulkan
destruksi nonspesifik patogen intraselular yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan
jaringan. Pada beberapa hal, antigen tidak mudah dibersikan sehingga respons DTH
memanjang dan dapat merusak jaringan pejamu dan menimbulkan reaksi granuloma.
Granuloma terbentuk bila makrofag terus-menerus diaktifkan dan menempel satu dengan yang
lainnya yang kadang berfungsi membentuk sel datia multinuklear yang disebut sel datia. Sel
datia tersebut mendorong jaringan normal dari tempatnya, membentuk nodul yang dapat diraba
dan melepas sejumlah besar enzim litik yang merusak jaringan sekitar. Pembuluh darah dapat
dirusak dan menimbulkan nekrosis jaringan.
Respons terhadap M. tuberculosis merupakan respons DTH yang bermata dua. Imunitas
terhadap M. tuberculosis menimbulkan respons DTH yang mengaktifkan makrofag untuk
memasang batasan kuman dari paru, kuman diisolasi dalam lesi granuloma yang disebut
tuberkel. Enzim litik yang sering dilepas makrofag yang diaktifkan dalam tuberkel merusak
jaringan paru sehingga terjadi kerusakan jaringan yang lebih besar dibanding keuntungan yang
diperoleh dari DTH. Granuloma terbentuk pada tuberculosis, lepra, skistosomiasis, lesmaniasis
dan sarkodiasis.
2. Sitokin yang berperan pada DTH
Diantra sitokin yang diproduksi, sel Thl berperan dalam menarik dan mengaktifkan makrofag
ke tempat infeksi. IL-3 dan GM-CSF (granulocyte monocyte colony stimulating factor)
menginduksi hematopoiesis lokal dari sel garis granulosit-monosit. IFN-γ dan TNF-β beserta
sitokin asal makrofag (TNF-α dan IL-1) memacu sel endotel untuk menginduksi sejumlah
perubahan yang memudahkan ekstravasasi sel seperti monosit dan non spesifik lain. Neutrofil
dan monosit dalam sirkulasi menempel pada molekul adhesi sel endotel dan bergerak keluar
dari vaskular menuju rongga jaringan. Neutrofil nampak dini pada reaksi, memuncak pada 6
jam. Infiltrasi monosit antara 24-48 jam setelah pajanan dengan antigen. Monosit yang masuk
jaringan menjadi makrofag yang ditarik ke tempat DTH oleh kemokin seperti MCP-I/CCL2
(MCP=monocyte chemoaltractant protein, CCL=golongan kemokin). MIF(macrophage
inhibiting factor) mencegah makrofag untuk bermigrasi keluar dari lokasi reaksi DTH.
IFN-γ dan TNF-β yang diproduksi sel CD4+ Thl mengaktifkan makrofag lebih aktif berperan
sel efektor dan sebagai APC yang melepas IL-12. Yang akhir menginduksi Thl dan lebih
efektif memproduksi IFN-γ yang menekan aktifitas sel Th2 dan mengaktifkan makrofag yang
menginduksi inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh produk makrofag yang
diaktifkan seperti idrolitik, oksigen reaktf intermediet, oksidat nitrat dan sitokin proinflamasi.
IL-12 memacu Thl untuk lebih banyak memproduksi IFN-γ. Respons yang sifatnya menetap
itu merupakan pisau bermata dua antara respons proteksi yang menguntungkan dan respons
yang merusak yang ditandai oleh kerusakan jaringan.
3. Manifestasi Klinis Reaksi Tipe –IV
a. Dematitis Kontak
Dermatitis kontak adalah penyakit CD4+ yang dapat terjadi akibat kontak dengan bahan
tidak berbahaya, merupakan contoh reaksi DTH. Kontak dengan bahan sperti formaldehid,
nikel, terpenting dan berbagai bahan aktif dalam cat rambut yang menimbulkan dermatitis
kontak terjadi melalui sel Thl.
b. Hipersensitivitas tuberculin
Hipersensitivitas tuberkulin adalah bentuk alergi bakterial spesifik terhadap produk fitrat
biakan M. tuberculosis yang bila disuntikan ke kulit, akan menimbulkan reaksi
hipersensitivitas lambat Tipe IV. Yang berperan dalam reaksi ini adalah sel limfosit CD 4+
T. Setelah suntikan intrakutan ekstrak tuberculin atau derivat protein yang dimurnikan
(PPD), daerah kemerahan dan indurasi timbul di tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada
individu yang pernah kontak dengan M. tuberculosis, kulit bengkak terjadi pada hari ke 7-
10 paska induksi. Reaksi dapat dipindahkan melalui sel T.
c. Reaksi Jones Mote
Reaksi Jones Mote adalah reaksi hipersensitivitas Tipe IV terhadap antigen protein yang
berhubungan dengan infiltrasi basofil mencolok di kulit di bawah dermis. Reaksi juga
disebut hipersensitivitas Tipe IV lainnya, reaksi ini adalah lemah dan nampak beberapa
hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah kecil. Tidak terjadi nekrosis dan reaksi
dapat diinduksi dengan suntikan dengan antigen larut seperti ovalbumin dengan ajuvan
Freund
d. T Cell Mediated Cytolysis (Penyakit CD8+)
Dalam T Cell Mediated Cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+/CTL(cytotoxic T
lymphocyte)/Tc yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan
hipersensitifitas selular cendrung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak
sistemik. Pada penyakit virus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan
ditimbulkan oleh respons CTL terhadap hepatosit yang terinfeksi.
Sel CD8+ yang spesifik untuk antibody dapat membunuh sel dengan langsung pada banyak
penyakit automin yang terjadi melalui mekanisme selular, biasanya ditemukan baik sel
CD4+ maupun CD8+ spsifik untuk selantigen dan kedua jenis sel tersebut dapat
menimbukan kerusakan.

Anda mungkin juga menyukai