Pertahanan fisik/mekanik
Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik yang terdiri dari kulit, selaput lendir, silia
saluran napas, batuk dan bersin merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi.
Kulit yang rusak akibat luka bakar dan selaput lendir saluran napas yang rusak oleh asap
rokok akan meningkatkan risiko infeksi. Tekanan oksigen yang tinggi di paru bagian atas
membantu hidup kuman obligat aerob seperti tuberculosis.
Kulit
Tebal kulit dengan lapisan stratum korneum dapat menghambat masuknya kuman dan
sekresi kelenjar keringat dan kelenjar sbaseum yang mengandung asam laktat dan asam
lemak akan menurunkan PH kulit sehingga bersifat bakteriostatik atau basterisid.
Selaput Lendir
Selaput lendir saluran pernapasan yang tetutup silia merupakan penghalang bagi kuman
dan benda asing lainnya. Pergerakan silia ke satu arah dan reflex batuk mengusahakan
keluarnya kuman dari saluran pernapasan.
Selaput lendir saluran pencernaan dilindungi oleh beberapa sekret seperti air ludah
yang mengandung lisozim, cairan lambung yang mengandung asam lambung dan
kelenjar empedu yang mengeluarkan zat empedu yang dapat melisiskan kuman
pneumokokus. Sekresi lendir atau mukus dapat menahan masuknya virus ke dalam sel
karena mampu berkompetisi dengan reseptor pada sel untuk neuraminidase pada virus.
Pertahanan biokimia
Kebanyakan mikroba tidak dapat menembus kulit yang sehat, namun beberapa dapat
masuk tubuh melalui kelenjar sebaseus dan folikel rambut. PH asam keringat dan sekresi
sebaseus, berbagai asam lemak yang dilepas kulit mempunyai efek denaturasi terhadap
protein membrane sel sehingga dapat mencegah infeksi yang dapat terjadi melalui kulit.
Lisozim dalam keringat, ludah, air mata, dan air susu ibu, melindungi tubuh terhadap
berbagai kuman gram positif oleh karena dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan
dinding bakteri. Air susu ibu juga mengandung laktooksidase dan asam neuraminik yang
mempunyai sifat antibacterial terhadap E. koli dan staphilokokus. Saliva mengandung
enzim seperti laktooksidase yang merusak dinding sel mikroba dan menimbulkan
kebocoran sitoplasma dan juga mengandung antibody serta komplemen yang dapat
berfungsi sebagai opsinin untuk lisis sel mikroba.
Asam hidroklorida dalam lambung, enzim proteolitik, antibody dan empedu dalam usus
halus membantu menciptakan lingkungan yang dapat mencegah infeksi banyak mikroba.
PH yang rendah dalam vagina, spermin dalam semen dan jaringan lain dapat mencegah
tumbuhnya bakteri gram positif. Pembilasan oleh urin dapat menyingkirkan kuman
patogen. Laktoferin dalam serum mengikat besi yang merupakan metabolit asensial untuk
hidup beberapa jenis mikroba seperti pseudomonas.
Bahan yang disekresi mukosa saluran napas(enzim dan antibody) dan telinga berperan
dalam pertahanan tubuh secara biokimiawi. Mukus yang kental melindungi sel epitel
mukosa dapat menangkap bakteri dan bahan lainnya yang selanjutnya dikeluarkan oleh
gerakan silia. Polusi, asap rokok, alkohol dapat merusak mekanisme tersebut sehingga
memudahkan terjadinya infeksi oportunistik.
Udara yang kita hirup, kulit dan saluran cerna, mengandung banyak mikroba, biasanya
berupa bakteri dan virus, kadang jamur atau parasit. Sekresi kulit yang bakterisidal, asam
lambung, mukus dan silia di saluran napas membantu menurunkan jumlah mikroba yang
masuk tubuh, sedangkan epitel yang sehat biasanya dapat mencegah mikroba masuk ke
dalam tubuh.
Dalam darah dan sekresi tubuh, enzim lisosom memusnahkan banyak bakteri dengan
merusak dinding selnya. IgA juga merupakan pertahanan permukaan mukosa,
memusnahkan banyak bakteri dengan merusak dinding selnya. Flora normal(biologis)
terbentuk bila bakteri non patogenik menempati permukaan epitel. Flora tersebut dapat
melindungi tubuh melalui kompetisi dengan patogen untuk makanan dan tempat
menempel pada epitel serta produksi bahan antimikrobial. Penggunaan antibiotika dapat
mematikan flora normal sehingga bakteri patogenik dapat menimbulkan penyakit.
Pertahanan humoral
Sistem imun nonspefisik menggunakan berbagai molekul larut. Molekul larut tertentu
diproduksi di tempat infeksi atau cedera dan berfungsi lokal. Molekul tersebut antara lain
adalah peptide antimikroba seperti devensin, katelisidin dan IFN (interferon) dengan efek
antiviral. Faktor larut lainnya diproduksi di tempat yang lebih jauh dan dikerahkan ke
jaringan sasaran melalui sirkulasi seperti komplemen dan PFA (protein fase akut).
Komplemen
Berbagai bahan dalam sirkulasi seperti lektin, interferon, CRP (C reactive protein) dan
komplemen berperan dalam pertahanan humoral. Serum normal dapat memusnahkan
dan menghancurkan beberapa bakteri gram negatif atas kerjasama antara antibody dan
komplemen yang ditemukan dalam serum normal. Komplemen rusak pada pemanasan
560C selama 30 menit.
Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila diaktifkan akan memberikan
proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respons inflamasi. Komplemen dengan
spektrum aktivitas yang luas diproduksi oleh hepatosit dan monosit dapat diaktifkan
secara langsung oleh mikroba atau produknya (jalur alternative, klasik dan lektin).
Komplemen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai faktor
kemotaktik dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan parasit.
Protein fase akut
Selama fase akut infeksi, terjadi perubahan pada kadar beberapa protein dalam serum
yang disebut APP (acute phase protein), dimana pada akhirnya bahan antimicrobial
dalam serum meningkat dengan cepat setelah sistem imun nonspesifik diaktifkan.
Protein yang meningkat atau menurun selama fase akut disebut juga APRP ((acute
phase response protein) yang berperan dalam pertahanan diri.
APRP diinduksi oleh sinyal yang berasal dari tempat cedera atau infeksi melalui darah.
Hati merupakan tempat sintesis APRP. Sitokin TNF-α (TNF=tumor necrosis factor),
IL-1, IL-6 (IL=Iinter leukin) merupakan sitokini proinflamasi dan berperan dalam
induksi APRP.
Mediator asal fosfolipid
Metabolisme fosfolipid diperlukan untuk produksi PG (postaglandin) dan LTR
(leukotrin). Keduanya meningkatkan respons inflamasi melalui peningkatan
permeabilitas vaskular dan vasodilatasi.
Sitokin IL-1, IL-6, TNF-α
Selama terjadi infeksi, produk bakteri seperti LPS (lipopolisakarida) mengaktifkan
makrofag dan sel lain untuk lepas berbagai sitokin seperti IL-1 yang merupakan
pirogen endogen, TNF-a dan IL-6. Pirogen adalah bahan yang menginduksi demam
yang dipacu baik oleh faktor eksogen (endotoksin asal bakteri gram negatif) atau
endogen seperti IL-1 yang diproduksi makrofag dan monosit. Ketiga sitokin tersebut
disebut sitokin proinflamasi, merangsang hati untuk mensintesis dan melepas sejumlah
protein plasma seperti protein fase akut antara lain CRP (C reactive protein) yang dapat
meningkat 1000 kali, MBL(mannan binding lectin) dan SAP (serum amyloid protein).
Pertahanan selular
Fagosit, sel NK (natural killer), sel mast dan eosinofil berperan dalam sistem imun
nonspesifik selular. Sel-sel sistem imun tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau
jaringan. Contoh sel yang dapat ditemukan dalam sirkulasi adalah neutrofil, eosinofil,
basofil, monosit, sel T, sel B, sel NK, sel darah merah dan tombosit. Sel-sel tersebut dapat
mengenal produk mikroba esensial yang diperlukan untuk hidupnya. Contoh sel-sel dalam
jaringan adalah eosinofil, sel mast, makrofag, sel T, sel plasma dan sel NK.
b. Sistem imun didapat atau spesifik/adaptif/acquired
Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk
mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan
dengan tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan
sensitasi, sehingga antigen yang sama dan masuk tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih
cepat dan kemudian akan dihancurkan. Oleh karena itu, sistem tersebut disebut spesifik.
Untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh, sistem imun spesifik dapat
bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Namun pada umumnya terjalin kerja sama
yang baik antara sistem imun nonspesifik dan spesifik seperti antara komplemen fagosit-
antibodi dan antara makrofag-sel T. Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan
sistem selular. Pada imunitas humoral, se B melepas antibody untuk menyingkirkan mikroba
ekstraselular, sel T mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk menghancurkan mikroba
atau mengaktifkan sel CTC/Tc (cytotoxic T cell) sebagai efektor yang menghancurkan sel
terinfeksi.
Sistem imun didapat atau spesifik/adaptif/acquired terdiri dari;
Sistem imun spesifik humoral
Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Humoral
berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel asal multipoten disum-sum tulang. Pada unggas,
sel yang disebut Bursal cell atau sel B yang matang dalam alat yang disebut Bursa Fabriius
yang terletak dekat kloaka. Pada manusia diferensiasi tersebut terjadi dalam sumsum
tulang.
Sel B yang dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi dan
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibody. Antibodi yang dilepas dapat
ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibody ialah pertahanan terhadap infeksi
ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralkan toksinnya.
Sistem imun spesifik selular
Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sel tersebut juga berasal
dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada orang dewasa, sel T dibentuk di sumsum tulang,
tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi didalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai
faktor asal timus. 90-95% dari semua sel T dalam timus tersebut mati dan hanya 5-10%
menjadi matang dan selanjutnya meninggalkan timus untuk masuk kedalam sirkulasi.
Faktor timus yang disebut timosin dapat ditemukan dalam peredaraan darah sebagai
hormone asli dan dapat mempengaruhi diferensiasi sel T diperifer. Berbeda dengan sel B,
sel T terdiri atas beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu sel CD 4+ (Thl,
Th2), CD8+ atau CTL (cytotoxic T lympocyte) atau Tc (T cytotoxic) dan Ts (T supresor)
atau sel Tr (Tregulator) atau Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik selular ialah
pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraselular, virus, jamur, parasit dan keganasan.
Sel CD8+ memusnahkan sel terinfeksi.
B. PRINSIP DASAR VAKSINASI
1. Sejarah Vaksinasi
a. Perjuangan Melawan Penyakit Cacar Air
Kita dapat membayangkan bagaimana kehidupan masyarakat pada zaman dimana cacar atau
variola atau smallpox(harap dibedakan dengan varisela atau cacar air yang masih sering
menyerang masyarakat hingga saat ini) merajalela. Hidup dihantui dengan kecemasan. Cacar
telah dikenal sejak sebelum masehi. Diduga Raja Mesir Ramses V yang meninggal pada tahun
1.156 Sebelum Masehi, berdasarkan gambaran di wajahnya diduga pernah terkena cacar.
Fatalitas atau angka kematian cacar antara 20%-60% , bahkan saat cacar menyerang anak-anak
di London saat itu, 80% anak yang terkena meninggal. Kalau toh tidak meninggal, cacar akan
meninggalkan bekas goresan yang menyeramkan di wajah.
Karena cacar inilah vaksinasi ditemukan. Para pengobat tradisional Afrika, India, dan Cina,
sebelum abad ke -18 telah berusaha melakukan pencegahan terhadap cacar air melalui metode
variolation atau inoculation. Para pengobat atau dokter pada zaman itu menggoreskan cairan
penderita cacar dengan menggunakan pisau kecil atau lancet digoreskan pada seorang yang
belum terkena penyakit cacar. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman mereka, orang-orang
yang diinokulasi dengan cairan tersebut mengalami serangan cacar lebih ringan atau tidak
terkena cacar sama sakali. Cara inokulasi saat itu ternyata juga mengundang kontroversi.
Sebagian pengobat waktu itu tidak setuju inokulasi digunakan sebagai cara untuk mencegah
serangan cacar, karena menurut pengamatan mereka inokulasi berarti mempercepat penularan
penyakit cacar.
Barulah pada tahun 1.721, dr. Boyliston dan Mather melakukan penelitian dengan
menggunakan metode statistik untuk membandingkan angka kematian kelompok yang
menderita cacar karena tertular secara alami dan yang terkena cacar akibat dilakukan
inokulasi. Pada saat itu wabah cacar sedang terjadi. Sebanyak 12.000 orang mendapatkan
inokulasi untuk mencegah infeksi cacar. Pada akhir penelitian, Boyliston dan Mather
menyimpulkan bahwa kelompok yang tertular cacar secara alami meninggal dunia sebanyak
14% dibandingkan kelompok yang memperoleh inokulasi hanya 2%. Artinya, pemberian
inokulasi atau yang kini dikenal dengan vaksinasi atau imunisasi memberikan perlindungan
lebih baik dibandingkan dengan tanpa inokulasi.
Tonggak sejarah vaksinasi dicanangkan oleh Edward Jenner. Jenner memang bukan penggagas
orisinal vaksinasi. Tetapi dialah orang yang pertama kali memberikan istilah vaksinasi dan
melakukan pengkajian secara ilmiah.
Vaksinasi menurut asal katanya, berasal dari bahasa latin – vacca (sapi) dan vaccinia (cacar
sapi). Apa yang dilakukan Jenner saat itu didasari oleh pemikiran bahwa memberikan cairan
atau materi dari cacar sapi kepada seseorang yang sehat akan memberikan efek perlindungan
terhadap orang tersebut dari serangan cacar.
Upaya dalam pencegahan terhadap penyakit cacar saat itu, yaitu melalui inokulasi atau
vaksinasi, memang belum memberikan efek perlindungan yang optimal. Barulah pada abad ke
-19 diketahui bahwa pemberian inokulasi atau vaksinasi tidaklah cukup hanya sekali.
Pemberian vaksin harus diulang karena sistem kekebalan yang dibentuk dengan hanya
memberikan satu kali vaksinasi belumlah mencukupi. Metode vaksinasi terus diperbaiki.
Memberikan inokulasi begitu saja tanpa mengolah antigen virus terlebih dahulu, yang berasal
dari pasien yang menderita cacar dan diberikan kepada orang lain yang sehat merupakan
tindakan yang tidak bijaksana. Dengan semakin majunya ilmu dan teknologi kedokteran, kini
telah ditemukan bagaimana cara pembuatan vaksin yang aman. Virus atau kuman tersebut
mampu meningkatkan antibody atau sistem kekebalan tubuh tanpa harus membahayakan orang
yang menerima vaksinasi. Berkat vaksinasi, cacar telah hilang dari peredaran bumi. Sebelum
cacar tereradikasi, penyakit ini menewaskan 15 juta orang setiap tahunnya. Kasus terakhir
cacar dilaporkan di Somalia pada tahun 1977.
2. Seluk-Beluk Vaksin
a. Vaksin dan Sistem Kekebalan
Sebelum kita membahas bagaimana pemberian vaksin dapat memberikan perlindungan
terhadap seseorang, terlebih dahulu perlu diketahui sistem kekebalan tubuh kita bekerja
melawan kuman atau mikroorganisme (virus, bakteri, parasit, dsb).
Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena telah dilengkapi
dengan 2 sistem kekebalan tubuh, yaitu sistem kekebalan non-spesifik dan kekebalan spesifik.
Disebut sebagai sistem imun non-spesifik karena sistem kekebalan tubuh kita tidak ditujuhkan
terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu.
Contoh bentuk kekebalan non-spsifik:
Pertahanan fisik dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung – yang berfungsi untuk
menyaring kotoran yang akan masuk kesaluran napas bawah.
Pertahanan biokimiawi-air susu ibu yang mengandung laktoferin – berperan sebagai
antibakteri.
Interferon – pada saat tubuh kita kemasukan virus, maka sel darah putih akan
memproduksi interferon untuk melawan virus tersebut.
Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan non-spesifik yang
diperankan oleh pertahanan selular (misalnya monosit dan makrofag ) akan menangkap,
mencerna, dan membunuh mikroorganisme tersebut.
Apabilah sistem kekebalan non-spsifik tidak mampu menghentikan serangan mikroorganisme,
maka sistem kekebalan spesifik akan diaktifkan. Dikatakan sebagai sistem kekebalan spsifik
karena cara bekerja sistem kekebalan kita secara khusus ditujukan untuk menangkal
mikroorganisme tertentu. Contoh, bilah virus hepatitis B menyerang tubuh kita, maka sistem
kekebalan kita akan memproduksi antibody khusus yang diarahkan pada virus tersebut, yang
dikenal sebagai anti HBs. Bila virus campak menyerang tubuh kita, maka antibody yang
diproduksi juga antibody yang khusus untuk menangkal virus campak tersebut.
Sistem kekebalan spesifik dimainkan oleh dua komponen utama, yaitu sel Tdan sel B. Sistem
kekebalan spesifik tidak mengenali seluruh struktur utuh mikroorganisme, melainkan sebagian
protein saja yang akan merangsang sistem kekebalan kita. Bagian dari struktur protein
mikroorganisme yang dapat merangsang sistem kekebalan spesifik ini disebut sebagai antigen.
Adanya antigen akan merangsang diaktifkanya sel T atau sistem kekebalan selular.
Selanjutnya, sel T ini akan memacu sel B atau sel humoral untuk mengubah bentuk dan fungsi
menjadi sel plasma yang selanjutnya akan memproduksi antibody. Kelebihan dari sistem
kekebalan spesifik adalah dilengkapi dengan sel memori. Semakin sering tubuh kita kontak
dengan antigen dari luar, maka semakin tinggi pula peningkatan kadar antibody tubuh karena
sel-sel memori telah mengenali antigen tersebut.
Hampir 90%-95% seseorang yang menerima vaksinasi dosis tunggal yang berasal dari vaksin
yang dilemahkan (misalnya: vaksin campak, rubella, dan yellow fever ) dalam kurun dua
minggu sudah memperoleh daya lindung terhadap penyakit-penyakit tersebut. Untuk vaksin
varisela dan gondok (mumps ) daya lindung berkisar 80%-85% setelah pemberian satu dosis
vaksinasi. Mengingat kegagalan vaksinasi MMR dan varisela mencapai 5% -15%, maka
vaksinasi diberikan sebanyak dua dosis. Pemberian vaksinasi 1 dosis hanya akan
meningkatkan sedikit kadar antibody (respon imun). Apabilah diikuti dengan pemberian dosis
kedua dan ketiga, maka kadar antibody yang dibentuk tubuh semakin tinggi.
b. Macam vaksin
Sebagaimana sudah disebutkan diatas bahwa yang membangkitkan sistem kekebalan spesifik
kita adalah antigen yang merupakan bagian dari mikroorganisme (virus atau bakteri). Antigen
ini selanjutnya akan ditanggapi oleh sistem kekebalan tubuh dengan memproduksi antibody.
Sifat kekebalan pasif tidak berlangsung lama, umumnya tidak kurang dari enam bulan.
Sementara, kekebalan aktif berlangsung bertahun-tahun, karena tubuh telah memiliki sel
memori terhadap antigen tertentu. Kekebalan aktif atau yang umum disebut imunisasi
diperoleh melalui pemberian vaksinasi.
Dalam rangka memacu sistem kekebalan spesifik tubuh kita, maka vaksin dapat dibuat dari;
Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan)
adalah vaksin yang dibuat dari virus atau bakteri hidup yang dilemahkan melalui proses
laboratorium. Karena vaksin berasal dari virus atau bakteri hidup yang dilemahkan, maka
kuman tersebut masih dapat menimbulkan penyakit, namun gejala yang muncul relative
jauh lebih ringan dibandingkan dengan penyakit yang diperoleh secara alami. Contoh
vaksin yang dilemahkan yang berasal dari virus adalah vaksin campak, gondongan, rubella,
polio, rotavirus dan demam kuning. Sedangkan vaksin yang dilemahkan berasal dari
bakteri adalah vaksin BCG dan demam tifoid.
Inactivated(kuman atau virus atau komponen yang dibuat tidak aktif)
Inactivated vaccine-kuman, virus, atau komponen yang dibuat tidak aktif-dihasilkan
dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media pembiakan, kemudian
mikroorganisme tersebut dibuat tidak aktif dengan pemberian bahan kimia (misalnya
formalin). Inactivated vaccine dapat terdiri atas seluruh tubuh virus atau bakteri, atau
hanya diambil komponen dari mikroorganisme tersebut. Beberapa inactivated vaccine
dalam bentuk utuh seperti: vaksin influenza, rabies, hepatitis A (berasal dari virus), dan
vaksin pertusis, tifoid, kolera dan lepra (berasal dari bakteri) dan bentuk komponen seperti:
vaksin pneumokokus, meningokokus dan Haemophillus influenza tipe B.
Vaksin rekombinan
Virus rekombinan.berupa vaksin yang diperoleh melalui proses rekayasa genetik, misalnya
vaksin hepatitis B, vaksin tifoid dan rotavirus. Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara
memasukan suatu segmen gen virus hepatitis B ke dalam gen sel ragi. Sel ragi yang telah
diubah ini kemudian menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni.
Virus-like particle vaccine.
Virus – like particle vaccine atau vaksin yang dibuat dari partikel yang mirip dengan virus,
contohnya adalah vaksin Human papillomavirus (HPV) tipe 16 untuk mencegah kanker
leher rahim. Antigen diperoleh melalui protein virus HPV yang diolah sedemikian rupa
sehingga menghasilkan struktur yang mirip dengan seluruh struktur HPV (atau dikenal
sebagai pseudo-particles of HPV tipe16).
c. Vaksin Wajib dan Vaksin yang Dianjurkan
Tidak semua negara menerapkan kebijakan vaksinasi yang sama pada masyarakatnya, namun
bisanya rekomendasi vaksinasi lebih diprioritaskan bagi bayi dan anak-anak, karena kelompok
usia ini dianggap belum mempunyai sistem kekebalan tubuh yang sempurna. Pemerintah
Indonesia mengambil kebijakan dalam pemberian vaksinasi menjadi dua, yaitu: vaksin
wajib(sebagai program imunisasi nasional), khususnya ditujukan bagi bayi dan anak serta
vaksin yang dianjurkan (bukan program imunisasi nasional) diperuntukkan bagi kelompok
dewasa. Vaksinasi wajib diberikan pada anak secara gratis karena menjadi program nasional,
sedangkan vaksin yang dianjurkan belum menjadi vaksin wajib mengingat pendanaan yang
harus dikeluarkan pemerintah sangat besar.
Tabel :
Jenis vaksin wajib dan vaksin yang dianjurkan
(Satgas Imunisasi – Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008)
Berdasarkan waktu kecepatan timbulnya reaksi, maka reaksi hipersensitivitas terdiri dari :
1. Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitugan detik, menghilang dua jam. Ikatan silang antara allergen dan
IgE pada permukaan sel mast menginduksi penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi
cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.
2. Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang 24 jam. Reaksi ini melibatkan
pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau
sel NK/ADCC (antibody dependent cell cytotoxic). Manifestasi reaksi intermediet dapat berupa ;
Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hermolitik autoimun
Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis,
glomerulonefritis, artritis rheumatoid dan LES (lupus eritematosus sistemik).
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh sel
neutrofil atau sel NK.
3. Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi
oleh aktivasi sel Th. Pada DTH (delayed type hypersensitivity), sitokin yang dilepas sel T
mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat
adalah dermatitis kontak, reaksi M. tuberculosis dan reaksi penolakan tandur.
Robert Coombs dan Phlip HH Gell(1963) membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 tipe, yaitu ;
reaksi tipe I, reaksi tipe II, reaksi tipe III dan reaksi tipe IV. Pembagian Gell dan Coombs tersebut
dibuat sebelum analisis yang mendetail mengenai subset dan fungsi sel T diketahui.
3. Bentuk reaksi
Reaksi Tipe III mempunyai dua bentuk reaksi, lokal dan sistemik.
a. Reaksi lokal atau Fenomena Arthus
Arthus yang menyuntikan serum kuda ke dalam kelinci intradermal berulang kali ditempat
yang sama menemukan reaksi yang makin menghebat di tempat suntikan. Mula-mula
hanya terjadi eritem ringan dan edem dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut
menghilang keesokan harinya. Suntikan kemudian menimbulkan edem yang lebih besar
dan suntikan yang ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit sembuh. Hal
tersebut disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun
antibody yang ditemukan adalah jenis presipitin.
Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel vaskular dan
bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul berupa
kerusakan jaringan lokal dan vaskular akibat akumulasi cairan (edem) dan SDM (eritema)
sampai nekrosis. Reaksi Tipe Arthus dapat terjadi intrapulmoner yang diinduksi kuman,
spora jamur atau protein fekal kering yang dapat menimbulkan pneumonitis atau alveolitis
atau Farmer’s lung.
C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi komplemen, meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edem. C3a dan C5a berfungsi juga
sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai dikerahkan ditempat reaksi dan
menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah. Sasaran anafilatoksin adalah
pembuluh darah kecil, sel mast, otot polos dan leukosit perifer yang menimbulkan
kontraksi otot polos, degranulasi sel mast, peningkatan permeabilitas vaskular dan respon
tripel terhadap kulit. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama
dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase
dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.
Dengan pemeriksaan imunofluoresen, antigen, antibody dan berbagai komponnen
komplomen dapat ditemukan tempat kerusakan pada dinding pembuluh darah. Bila kadar
komplemen atau jumlah granulosit menurun(pada hewan, kadar komplemen dapat
diturunkan dengan bisa kobra), maka kerusakan khas dari Arthus tidak terjadi. Reaksi
Arthus dapat berupa vaskulitis.