Anda di halaman 1dari 76

BAB I

METODE NUMERIK

1.1 Mengapa Menggunakan Metode Numerik


Tidak semua permasalahan matematis atau perhitungan dapat
diselesaikan dengan mudah atau dapat diselesaikan dengan
menggunakan perhitungan biasa. Contohnya dalam persoalan
yang melibatkan model matematika yang sering muncul dalam
berbagai disiplin ilmu pengetahuan, bidang fisika, kimia, ekonomi,
atau pada persoalan rekayasa. Seringkali model matematika
tersebut muncul dalam bentuk yang tidak idealis atau rumit. Model
matematika yang rumit ini adakalanya tidak dapat diselesaikan
dengan metode analitik yang sudah umum untuk mendapatkan
solusinya. Sebagai contoh, perhatikan sekumpulan persoalan
matematik berikut dan bagaimana cara menyelesaikannya?
a. Tentukan akar – akar persamaan polinom
23.4 x 7  1.25x 6  120 x 4  15x 3  120 x 2  x  100  0
b. Tentukan harga x yang memenuhi persamaan
1 (120 x 2  2 x )
27.8e 5 x   cos 1
x 17 x  65
c. Hitung integral
1
sin x

0
x
dx
Contoh – contoh diatas memperlihatkan bahwa kebanyakan
persoalanmatematik tidak dapat diselesaikan dengan metode
analitik. Metode analitik disebut juga metode sejati karena memberi
solusi sejati atau solusi yang sesungguhnya, yaitu solusi yang
memiliki galat ( error ) sama dengan nol. Metode analitik seringkali
hanya unggul untuk sejumlah persoalan yang memiliki tafsiran
geometri sederhana, padahal persoalan yang mincul dalam dunia
nyata sering melibatkan bentuk dan proses yang rumit. Akibatnya
nilai praktis penyelesaian metode analitik menjadi terbatas.
Bila metode analitik tidak dapat lagi diterapkan, maka solusi
persoalan sebenarnya dapat dicari dengan metode numerik.
Metode numerik adalah teknik yang digunakan untuk
memformulasikan persoalan matematik sehingga dapat dipecahkan
dengan operasi perhitungan / aritmatik biasa ( tambah, kurang, kali
dan bagi ). Secara harafiah metode numerik memiliki arti sebagai
cara berhitung dengan menggunakan angka – angka. Metode
numerik yang berangkat dari pemakaian alat bantu hitung
merupakan alternatif yang baik dalam menyelesaikan persoalan –
persoalan perhitungan yang rumit, saat inipun telah banyak yang
menawarkan program – program numerik sebagai alat bantu
perhitungan.
Dalam penerapan matematis untuk menyelesaikan persoalan
– persoalan perhitungan dan analisis, terdapat beberapa keadaan
dan metode yang baik :
 Bila persoalan merupakan persoalan yang sederhana atau
terdapat theorem analisa matematika yang dapat digunakan
untuk menyelesaiakan persoalan tersebut, maka
penyelesaian matematis ( metode analitik ) yang digunakan
adalah ppenyelesaian excat yang harus digunakan.
Penyelesaian ini menjadi acuan bagi pemakaian metode
pendekatan.
 Bila persoalan sudah sangat sullit atau tidak mungkin
diselesaiakan secara matematis ( analitik ) karena tidak
ada theorema analisa matematika yang dapat digunakan ,
maka dapat digunakan metode numerik.
 Bila persoalan sudah merupakan persoalan yang
mempunyai kompleksitas tinggi, sehingga metode
numerikpun tidak dapat menyajikan penyelesaian dengan
baik, maka dapat digunkana metode-metode simulasi.
1.2 Prinsip – prinsip Metode numerik
Metode numerik berangkat dari pemikiran bahwa
permasalahan dapat diselesaikan menggunakan pendekatan –
pendekatan yang dapat dipertanggungjawabkan secara analitik.
Metode numerik ini disajikan dalam bentuk algoritma - algoritma
yang dapat dihitung secara cepat dan mudah.
Pendekatan yang digunakan dalam metode numrik merupakan
pendekatan analisis matematis. Sehingga dasar pemikirannya tidak
keluar dari dasar pemikiran analitis, hanya saja pemakaian grafis
dan teknik perhitungan yang mudah merupakan pertimbangan
dalam pemakaian metode numerik. Mengingat algoritma yang
dikembangkan dalam metode numrik merupakan algoritma
pendekatan, maka dalam algoritma tersebut akan muncul istilah
iterasi yaitu pengulangan proses perhitungan. Dengan kata lain,
perhitungan dalam metode numerik adalah perhitungan yang
dilakukan berulang-ulang untuk terus – menerus memperoleh hasil
yang mendekati nilai penyelesaian exact.
Dengan menggunakan metode pendekatan semacam ini ,
tentukan bahwa setiap nilai hasil perhitungan akan mempunyai nilai
error ( nilai kesalahan ). Dalam analisa metode numerik, kesalahan
ini menjadi penting artinya. Karena kesalahn dalam pemakaian
algoritma pendekatan akan menyebabkan nilai kesalahan yang
besar , dimana tentunya kesalahan ini tidak diharapkan. Sehingga
pendekatan metode analitik selalu membahas tingkat kesalahan
dan tingkat kecepatan proses yang akan terjadi.
Perbedaan utama antara metode numerik dan metode analitik
Metode Numerik Metode Analitik
1. Solusi selalu berbentuk 1. Solusi biasanya dalam
angka bentuk fungsi matematik
yang selanjutnya dapat
dievaluasi untuk
menghasilkan nilai dalam
bentuk angka
2. Diperoleh solusi yang 2. Diperoleh solusi sejati
menghampiri solusi sejati
sehingga solusi numerik
dinamakan juga solusi
hampiran/ solusi
pendekatan
Persoalan – persoalan yang biasa diangkat dalam metode
numerik adalah:
 Menyelesaiakan persamaan non linier
 Menyelesaiakan persamaan simultan dan multi
variabel
 Menyelesaiakan diferensial dan integral
 Masalah multi variabel untuk menentukan nilai optimal
yang tidak bersyarat

1.3 Tahap – tahap memecahkan persoalan secara Numerik


Ada enam tahap yang dilakukan dalam pemecahan persoalan
dunia nyata dengan metode numerik
1. Pemodelan 4. Pemrograman
2. Penyederhanaan model 5. Operasional
3. Formulasi numerik 6. Evaluasi

BAB II
MODEL MATEMATIKA
Model matematika secara luas dapat didefinisikan sebagai
perumusan atau persamaan yang mengekspresikan feature pokok
dari sistem atau proses fisis dalam istilah matematis. Dalam
penalaran yang sangat umum , model matematis dapat dinyatakan
sebagai suatu hubungan fungsional yang berbentuk
Peubah tak bebas = f ( peubah bebas, parameter, fungsi pemaksa )
..................................( 2. 1 )
 peubah tak bebas : suatu karakteristik yang biasanya
mencerminkan keadaan atau perilaku sistem
 peubah bebas : dimensi, seperti waktu dan ruang,
sepanjang mana perilaku sistem sedang ditentukan
 parameter : pencerminan sifat – sifat atau komposisi sistem
 fungsi pemaksa : pengaruh eksternal yang bekerja
padanya
Ekspresi matematis yang sebenarnya dari persamaan 2. 1 dapat
berkisar dari suatu hubungan aljabar sederhana sampai himpunan
persamaan diferensial besar yang rumit. Sebagai contohnya
perhatikan model matematis dari hukum kedua Newton dalam
persamaan
F = m.a
............................................................................................................
......................(2.2 )
Persamaan 2.2 mempunyai sejumlah ciri yang khas dari model
matematis di dunia fisik
1. persamaan tersebut menggambarkan suatu proses atau
sistem biasa dalam istilah – istilah matematis.
2. Persamaan tersebut menyatakan suatu idealisasi dan
penyedderhanaan dari keadaan yang sebenarnya. Yakni
rincian yang sederhana dari proses almiah diabaikan dan
perhatian dipusatkan pada manifestasi yang penting.
3. Persamaan tersebut memberikan hasil yang dapat
direproduksi, sehingga dapat dipakai untuk tujuan
peramalan.
Contoh 2.1
Pernyataan masalah : seorang penerjun payung dengan massa
68.100 gram melompat keluar dari pesawat. Gunakan persamaan

v(t ) 
gm
c
 
1  e  ( c / m ) t untuk menghitung kecepatan ( velocity )

sebelum parasutnya terbuka. Koefisien hambat c kira – kira sama


dengan 12.500 gram/det
Penyelesaian : Pemasukan parameter – parameter ke dalam
t1 det v1 cm/det
persamaan v(t ) 
gm
c

1  e ( c / m )t  0 0,00

Menghasilkan : 2 1640,00
4 2777,00
6 3564,00
10 4487,00
 5339,00
980(68.100)
v(t )  [1  e (12.500 / 68.100) t ]
12.500
= v (t )  5339,0[1  e 0,18355t ]

Menurut model tersebut, penerjun itu melaju dengan cepat.


Kecepatan sebesar 4487,00 cm / det dicapai setelah 10 detik.
Setelah waktu yang cukup lama, dicapai kecepatan konstanta
( dinamakan kecepatan akhir )sebesar 5339,00 cm / det.

Persamaan v(t ) 
gm
c

1  e ( c / m )t  disebut penyelesaian

analitis atau eksak.


Sayang sekali terdapat banyak model matematika yang
tidak dapat diselesaikan secara eksak. Dalam kebanyakan kasus –
kasus seperti itulah alternatifnya adalah mengembangkan suatu
penyelesaian numerik yang menghampiri ( mengakprosimasi )
penyelesaian yang eksak.
Penyelesaian Numerik
Pernyataan masalah : lakukan komputasi yang sama seperti contoh

di atas namun gunakan persamaan v(t ) 


gm
c

1  e ( c / m )t 
untuk menghitung kecepatan dengan pertambahan waktu sama
dengan 2 detik.
Penyelesaian : pada saat memulai perhitungan ( t1  0 ),
kecepatan penerjun payung sama dengan nol. Dengan memakai
informasi ini dan nilai – nilai parameter dari contoh maka

persamaan v(t ) 
gm
c

1  e ( c / m )t  dapat digunakan untuk

menaksir kecepatan pada t i 1  2 detik


12,5
v  0  [9,8  (0)]2  19,60 m/det
68,1

Untuk selang (interval) berikutnya dari (t=2 sampai 4 detik ),


komputasi diulang dengan hasil
12,5
v  19,6  [9,8  (19,60)]2  32,00 m/det
68,1

Komputasi dilanjutkan dengan cara sama untuk memperoleh nilai –


nilai tambahan
t1 det v1 m/det
0 0,00
2 19,60
4 32,00
6 39,85
10 47,97
 53,39
GAMBAR 2.1
Hasil- hasilnya dilukiskan dalam Gambar 2.1 bersamaan
dengan penyelesaian eksak. Dapat dilihat bahwa secara cermat
metode numerik mencakup segi – segi utama dari penyelesaian
eksak. Tetapi karena digunakan ruas – ruas garis lururs untuk
mengaproksimasi suatu fungsi melengkung yang kontinu maka
terdapat ketidakcocokan antara kedua hasil tersebut. Satu cara
untuk meminimumkan ketidakcocokan yang demikian adalah
dengan menggunakan selang komputasi yang lebih kecil. Misalnya
dengan menerapkan pada masalah penerjun payung diatas dengan
selang 1 detik akan menghasilkan galat yang lebih kecil, karena
lintasan ruas-ruas garis lurus lebih dekat ke penyelesaian
sebenarnya.

BAB III
APROKSIMASI DAN GALAT
3.1 Kekeliruan , Kesalahan perumusan dan Ketidakpastian
Data
Walau sumber kesalahan di bawah ini secara langsung
tak dihubungkan dalam metode numerik, dampak dari
kesalahan ini cukup besar.
Kekeliruan.
Kesalahan bruto/kekeliruan.
Tahun awal penggunaan komputer, komputer sering kali gagal
pakai (malfunction).
Sekarang kekeliruan ini dihubungkan dengan
ketidaksempurnaan manusianya.
Kekeliruan dapat terjadi pada sembarang
langkah proses pemodelan matematika dan dapat
mengambil bagian terhadap semua komponen kesalahan
lainnya. Ia hanya dapat dicegah oleh pengetahuan yang baik
tentang prinsip dasar dan berhati-hatilah dalam melakukan
pendekatan dan mendesain solusi untuk masalah anda.
Biasanya tak dianggap dalam pembahasan metode numerik.
Ini terjadi, karena kesalahan bruto sampai taraf tertentu tak
dapat dihindari. Tapi tentu saja pasti ada cara untuk
memperbaiki keadaan ini.
Misalnya: kebiasaan pemrograman yang baik, seperti yang
dibahas dalam bab 2, sangat berguna untuk mengurangi
kekeliruan pemrograman. Sebagai tambahan, terdapat juga
cara-cara sederhana untuk memeriksa apakah suatu
metode numerik tertentu bekerja secara sempurna.
Kesalahan Perumusan.
Kesalahan perumusan model dihubungkan dengan
penyimpangan yang dapat dianggap berasal dari model
matematika yang tak sempurna.
Contoh: fakta bahwa hukum Newton kedua tak menghitung
efek relativistik. Ini tak mengurangi
kelayakan solusi pada contoh sebelumnya, karena
kesalahan-kesalahan ini adalah minimal pada skala waktu dan
ruang dari seorang penerjun payung.
Anggap bahwa tahanan udara bukan proporsi linier
terhadap kecepatan jatuh seperti dalam persamaan tetapi
merupakan sebuah fungsi kuadrat kecepatan. Kalau hal ini
benar, baik
kedua solusi analitis maupun numerik yang diperoleh
dalam bab 1 hasilnya menjadi salah
karena kesalahan perumusan.
Ketidakpastian Data.
Kesalahan-kesalahan seringkali masuk ke dalam suatu
analisis karena ketidakpastian data fisika yang mendasari suatu
model.
Misalnya kita ingin menguji model penerjun payung dengan
loncatan-loncatan berulang yang dibuatnya, mengukur
kecepatan orang tersebut setelah interval waktu tertentu.
Ketidakpastian yang menyertai pengukuran-pengukuran
ini tak diragukan, karena penerjun akan jatuh lebih cepat
selama beberapa loncatan daripada loncatan lainnya.
Kesalahan-
kesalahan ini dapat memunculkan ketidak akuratan dan ketidak
presisian.
Jika instrumen kita menaksir terlalu rendah atau terlalu
tinggi terhadap kecepatan, kita menghadapi suatu alat yang
tak akurat atau menyimpang.
Pada keadaan lainnya, jika pengukuran tinggi dan rendah
secara acak, kita akan berhadapan dengan sebuah pertanyaan
mengenai kepresisian.
Kesalahan-kesalahan pengukuran dapat dikuantifikasikan
dengan meringkaskan data dengan satu atau lebih statistik
yang dipilih yang membawa sebanyak mungkin informasi
mengenai sifat-sifat data tertentu.
Statistik yang deskriptif ini kebanyakan sering dipilih untuk
menyatakan (1) letak pusat distribusi data, dan (2) tingkat
penyebaran data. Hal demikian memberikan suatu ukuran
penyimpangan dan ketidakpresisian.

3.2 Analisis Galat


Menganalisis galat sangat penting di dalam perhitungan yang
menggunakan metode numerik. Galat berasosiasi dengan
seberapa dekat solusi hampiran terhadap solusi sejatinya. Semakin
kecil galatnya, semakin teliti solusi numerik yang didapatkan.
Nilai sejati ( true value ) = Hampiran (aproksimasi) + Galat

Misalkan a adalah nilai hampiran terhadap nilai sejatinya a , maka
selisih

  aa
 disebut Galat. Jika tanda Galat ( positif atau negatif ) tidak
dipertimbangkan , maka Galat mutlak

  aa

Ukuran galat  kurang bermakna karena tidak menceritakan


seberapa besar galat itu dibandingkan dengan nilai sejatinya. Untuk
mengatasi interpretasi nilai galat tersebut , maka galat harus
dinormalkan terhadap nilai sejatinya. Gagasan ini melahirkan apa
yang dinamakan galat relatif.
Galat Relatif didefinisikan sebagai

R 
a
Atau dalam persentase

R  x100%
a
Karena galat dinormalkan terhadap nilai sejati, maka galat
relatif tersebut dinamakan juga relatif sejati. Dalam praktek ketika
kita tidak mengetahui nilai sejati a, karena itu galat  sering
dinormalkan terhadap solusi hampirannya, sehingga galat relatifnya
dinamakan galat relatif hampiran

 RA  
a
Salah satu tantangan metode numerik adalah menentukan
taksiran galat tanpa mengetahui nilai sejatinya. Misalnya, metode
numerik tertentu memakai pendekatan secara iterasi untuk
menhitung jawaban. Dalam pendekatan yang demikian, suatu
aproksimasi sekarang dibuat berdasarkan aproksimasi
sebelumnya. Proses ini dilakukan secara berulang , atau secara
iterasi dengan maksud secara beruntun menghitung aproksimasi
yang lebih dan lebih baik. Jadi, persen galat relatif :
aproksimasi sekarang - aproksimasi sebelumnya
a   100%
aproksimasi sekarang

Komputasi diulang sampai  a  s


Nilai  s menentukan ketelitian solusi numerik. Semakin kecil nilai
 s semakin teliti solusinya.

Soal
1. Misalkan nilai sejati = 10/3 dan nilai hampiran = 3.333.
hitunglah galat, galat mutlak, dan galat relatif hampiran.
2. Prosedur iterasi sebagai berikut x r 1  ( x r3  3) / 6 r = 0,
1, 2, 3, ...
x0  0.5 dan  s = 0.00001

Sumber Utama Galat Numerik


Secara umum terdapat dua sumber utama penyebab galat dalam
perhitungan numerik
1. Galat pembulatan ( round-off error )
2. Galat Pemotongan ( truncation error )
Selain kedua galat ini, terdapat sumber galat lain :
1. Galat eksperimental , galat yang timbul dari data yang
diberikan, misalnya karena kesalahan pengukuran,
ketidaktelitian alat ukur dan sebagainya.
2. Galat pemrograman. Galat yang terdapat di dalam program
sering dinamakan dengan bug. Dan proses penghilangan
galat dinamakan debugging.
3.3 Algoritma
Algoritma merupakan rentetan langkag – langkah logika yang
diperlukan untuk melakukan suatu tugas tertentu seperti
pemecahan masalah.
Ciri – ciri suatu algoritma yang baik
1. Aksi yang dilaksanakan harus dirinci secara jelas untuk tiap
kasus. Hasil akhir tidak boleh tergantung kepada yang
mengalami algoritma
2. Proses algoritma harus selalu berakhir setelah sejumlah
berhingga langkah tidak boleh berakhir terbuka ( oppen –
ended )
3. Algoritma harus cukup umum untuk menangani keperluan
yang lebih banyak.
Cara pembuatan algoritma
1. Flow chart ( diagram alir )
2. Kode psudo ( menggunakan kalimat – kalimat yang kata-
katanya sudah punya aturan – aturan tertentu )
3.4 Hitungan Langsung dan Tak Langsung
a. Hitungan langsung
Hitungan melalui serangkaian operasi hitung untuk
memperoleh hasil
b. Hitungan Tak langsung ( hitungan iterasi )
Solusi diperoleh dengan melakukan pengulangan pada
suatu perhitungan langsung dimulai dengan suatu tebakan
awal untuk memperoleh suatu nilai hampiran sebagai
perbaikan atas nilai tebakan awal sampai diperoleh nilai
hampiran yang diinginkan.
Soal 3.2 : Gunakan tebakan awal x 0  1 untuk

( x1  2 / xi )
menghitung xi  1  untuk i  0,1,2,...
2

Salah satu masalah yang sering terjadi pada bidang ilmiah adalah
masalah untuk mencari akar-akar persamaan berbentuk f(x) = 0
………………….(1)

Fungsi f di sini adalah fungsi atau persamaan tak linear. Nilai x = x 0


yang memenuhi (1) disebut akar persamaan fungsi tersebut.
Sehingga x0 di sini menggambarkan fungsi tersebut memotong
sumbu-x di x = x0.
Persamaan atau fungsi f dapat berbentuk sebagai berikut:
Persamaan aljabar atau polinomial
f(x) = pn(x) = anxn + an-1xn-1 + … + a1x + a0
……………………………….(2)
Persamaan transenden
Yaitu persamaan yang mengandung fungsi antara lain trigonometri,
logaritma, atau eksponen
Contoh: (i) ex + cos(x) = 0 (ii) ln(x) + log(x2) = 0
Persamaan campuran
Contoh: (i) x3 sin(x) + x = 0 (ii) x2 + log(x) = 0
Untuk polinomial derajat dua, persamaan dapat
diselesaikan dengan rumus akar persamaan kuadrat. Misalkan
bentuk persamaan kuadrat adalah: ax2 + bx + c = 0
dapat dicari akar-akarnya secara analitis dengan rumus berikut.
 b  b 2  4ac
X 1, 2 
2a
Untuk polinomial derajat tiga atau empat, rumus-rumus
yang ada sangat kompleks dan jarang digunakan. Sedangkan
untuk menyelesaikan polinomial dengan derajat yang lebih tinggi
atau persamaan tak linear selain polinomial, tidak ada rumus yang
dapat digunakan untuk menyelesaikannya. Metode Numerik
memberikan cara-cara untuk menyelesaikan bentuk tersebut, yaitu
metode hampiran.
Penyelesaian numerik dilakukan dengan hampiran yang
berurutan (metode iterasi), sedemikian sehingga setiap hasil adalah
lebih teliti dari perkiraan sebelumnya. Dengan melakukan sejumlah
prosedur iterasi yang dianggap cukup, akhirnya didapat hasil
perkiraan yang mendekati hasil eksak (hasil yang benar) dengan
toleransi kesalahan yang diijinkan. Metode iterasi mempunyai
keuntungan bahwa umumnya tidak sangat terpengaruh oleh
merambatnya error pembulatan.

4.1 LOKALISASI AKAR


Lokasi akar persamaan tak linear diselidiki untuk memperoleh
tebakan awal, yaitu:

Metode Grafik.
Untuk memperoleh taksiran akar persamaan f(x) = 0 ialah
dengan membuat grafik fungsi itu dan mengamati dimana ia
memotong sumbu x. Titik ini, yang menyatakan harga x untuk
f(x) = 0, memberikan suatu pendekatan kasar dari akar
tersebut.

Contoh 4.1. Pendekatan Grafik.


Gunakan pendekatan grafik untuk memperoleh suatu akar
persamaan dari f(x) = e-x – x.
Solusinya adalah sebagai berikut:

X f(x)
0,0 1,000
0,619
0,4 0,270
0,6 -0,051

Gambar 4.1
Gambar 4.1. Ilustrasi pendekatan grafik untuk memecahkan
persamaan aljabar dan transendental. Grafik f(x) = e -x – x terhadap
x. Akar sesuai dengan harga x dimana
f(x) = 0, yaitu titik dimana fungsi memotong sumbu x. Pemeriksaan
secara visual mengenai plot memberikan taksiran kasar 0,57.
Harga sebenarnya adalah 0,56714329…
Teknik grafik praktis digunakan, dan dapat memberikan
taksiran akar secara kasar, tapi tidak presisi.
Ia dapat digunakan sebagai tebakan awal dalam metode numerik.
interpretasi grafik penting untuk memahami sifat-sifat
fungsi dan dapat memperkirakan jebakan pada metode numerik,
seperti terlihat pada gambar 4.2 di bawah ini.
Gambar 4.2 memperlihatkan sejumlah cara dimana
akar bisa berada dalam interval yang dijelaskan oleh suatu
batas bawah a dan batas atas b.
Gambar 4.2b memperlihatkan kasus dmana sebuah
akar tunggal dikurung oleh harga-harga positif dan negatif dari
f(x).
Gambar 4.2

Gambar 4.2. Ilustrasi sejumlah cara yang umum bahwa


sebuah akar bisa terjadi dalam sebuah interval yang dijelaskan oleh
batas bawah a dan batas atas b. Bagian (a) dan (c) menunjukkan
bahwa bila f(a) dan f(b) mempunyai tanda yang sama, tidak akan
ada akar-akar atau akar dalam jumlah genap pada interval. Bagian
(b) dan (d) menunjukkan bahwa bila fungsi mempunyai tanda yang
berbeda pada kedua titik ujung, akan terdapat akar dalam jumlah
ganjil pada interval. Tetapi gambar 4.2d, dimana f(a) dan f(b)
berlawanan tanda terhadap sumbu x, memperlihatkan 3 akar
yang berada di dalam interval. Umumnya jika f(a) dan f(b)
mempunyai tanda yang berbeda akan terdapat akar yang
jumlahnya ganjil dalam interval.
Seperti ditunjukkan oleh gambar 4.2 a dan c, jika f(a) dan
f(b) mempunyai tanda yang sama, tidak terdapat akar-akar atau
akar yang jumlahnya genap berada diantara harga-harga itu.
Meskipun generalisasi ini biasanya benar, namun terdapat
kasus-kasus dimana hal itu tak dapat dipegang. Misalnya akar
ganda. Yakni fungsi yang menyinggung sumbu x (gambar
4.3a) dan fungsi- fungsi diskontinu (gambar 4.3b) bisa menyalahi
prinsip ini.
Gambar 4.3. Ilustrasi beberapa perkecualian terhadap
kasus-kasus umum yang ditunjukkan dalam gambar 4.2. (a) Akar
ganda yang terjadi sewaktu fungsi menyinggung sumbu x. Dalam
hal ini, walaupun titik-titik ujungnya berlawanan tanda, terdapat
akar-akar dalam jumlah genap untuk interval tersebut. (b) Fungsi
diskontinu dimana titik-titik ujung tanda yang berlawanan juga
mengurung akar-akar dalam jumlah genap.

Strategi khusus dibutuhkan untuk penentuan akar-akar


dalam kasus ini. Sebagai contoh fungsi yang mempunyai akar
ganda adalah persamaan kubik
f(x) = (x – 2) (x– 2) (x – 4). Perhatikan bahwa x = 2 membuat kedua
suku polinomial itu sama dengan 0. Jadi x = 2 disebut sebuah akar
ganda.
Cara Tabulasi
Nilai-nilai fungsi pada interval yang diminati dihitung
dengan membagi interval tersebut menjadi sub interval – sub
interval, dan nilai-nilai tersebut ditulis dalam bentuk tabulasi. Jika
pada suatu interval nilai fungsi berubah tanda, maka pada interval
tersebut ada akar.
Lokasi Akar Untuk Persamaan Polinomial
Persamaan polinomial mempunyai bentuk umum sbb.
f(x) = pn(x) = anxn + an-1xn-1 + … + a1x + a0 …………………….(3)
Jika pn(x) = 0, maka persamaan tersebut mempunyai tepat
n akar, antara lain akar bilangan real dan juga termasuk akar
bilangan kompleks. Akar bilangan kompleks selalu muncul
berpasangan. Yang disebut bilangan kompleks adalah:
a + b i . dimana a, b bilangan real, i = 1

Untuk melokasikan akar-akar real, digunakan beberapa


aturan:
(a) aturan tanda koefisien
(i) akar real positif
u = banyaknya pergantian tanda pada
koefisien ai dari pn(x)
np = banyaknya akar real positif
maka berlaku: np < u (4)
u – np = 0, 2, 4, 6, …
(ii) akar real negatif
v = banyaknya pergantian tanda pada koefisien
ai dari pn(-x)
ng = banyaknya akar real negative, maka berlaku:
ng < v
..........................................................................(5)
v – ng = 0, 2, 4, 6, …
(b) batas interval akar
ak
r  1  maks
1 k  n an

maka semua akar real pn(x) terletak pada interval [-r,


r].

Sebuah fungsi berdasarkan jenisnya akan berubah tanda di sekitar


suatu harga akar.
Teknik ini dinamakan metode akoladi (bracketing method),
karena dibutuhkan 2 tebakan awal untuk akar.
Sesuai namanya, tebakan tersebut harus “dalam
kurung” atau berada pada kedua sisi nilai akar.
4.2. Metode Bagidua (Biseksi).
Pada teknik grafik sebelumnya, terlihat bahwa f(x)
berganti tanda pada kedua sisi yang berlawanan dari
kedudukan akar. Pada umumnya, kalau f(x) nyata (real) dan
kontinu dalam interval dari xl hingga xu, serta f(xl) dan f(xu)
berlainan tanda, yakni:
f(xl) f(xu) < 0
Maka terdapat sekurang-kurangnya 1 akar nyata diantara xl dan
xu.
dengan penempatan sebuah interval dimana fungsi tersebut
bertukar tanda.
Lalu penempatan perubahan tanda (tentunya harga
akar) ditandai lebih teliti dengan cara membagi interval
tersebut menjadi sejumlah subinterval. Setiap subinterval itu
dicari untuk menempatkan perubahan tanda. Proses tersebut
diulangi dan perkiraan akar diperhalus dengan membagi
subinterval menjadi lebih halus lagi.
Metode Bagidua (biseksi), disebut juga pemotongan
biner (binary chopping), pembagian 2 (interval halving) atau
metode Bolzano.
Letak akarnya kemudian ditentukan ada di tengah-tengah
subinterval dimana perubahan tanda terjadi. Proses ini diulangi
untuk memperoleh taksiran yang diperhalus.

Step 1: Pilih taksiran terendah xl dan tertinggi xu


untuk akar agar fungsi berubah tanda sepanjang interval. Ini
dapat diperiksa dengan: f(xl) f(xu) < 0.
Step 2 : Taksiran pertama akar xr ditentukan oleh:

xl  xu
xr 
2
Step 3 : Buat evaluasi yang berikut untuk menentukan
subinterval, di dalam mana akar terletak:
a. Jika f(xl) f(xr) < 0, akar terletak pada
subinterval pertama, maka xu = xr, dan
lanjutkan ke step 2.
b. Jika f(xl) f(xr) > 0, akar terletak pada
subinterval kedua, maka xl = xr, dan lanjutkan
ke step 2.
c. f(xl) f(xr) = 0, akar = xr, komputasi selesai.
Contoh Metode Bagidua.
Gunakan Bagidua untuk menentukan akar dari f(x) = e-x - x.
Dari gra fik fungsi tersebut (gambar 4.1) terlihat bahwa
harga akar terletak diantara 0 dan 1.
Karenanya interval awal dapat dipilih dari xl = 0 hingga
xu = 1. Dengan sendirinya, taksiran awal akar terletak di tengah
interval tersebut:
0 1
xr   0,5
2

Taksiran ini menunjukkan kesalahan dari (harga sebenarnya


adalah
0,56714329…): Et = 0,5 = 0,06714329
atau dalam bentuk relatif

0,56714329
t  x100%  11,8%
0,06714329
dimana indeks t menunjukkan bahwa kesalahan diacu terhadap
harga sebenarnya. Lalu:
f(0) f(0,5) = (1) (0,10653) = 0,10653
yang lebih besar dari nol, dengan sendirinya tak ada
perubahan tanda terjadi antara xl dan xr.
Karena itu, akar terletak pada interval antara x = 0,5 dan
1,0. Batas bawah didefinisikan lagi

0,5  1
xr   0,75
2

Taksiran ini menunjukkan kesalahan dari (harga


sebenarnya adalah 0,56714329…):
Et = 0,5 = 0,06714329
atau dalam bentuk relatif:

f(0,5) f(0,75) = -0,030 < 0


Karenanya akar terletak diantara 0,5 dan 0,75:
xu = 0,75
Dan iterasi seterusnya

4.3. Metode Regula Falsi (False Position).


Disebut juga metode interpolasi linier
f ( x u )( x u  x1 )
x r  xu 
f ( x u )  f ( x1 )
Penjelasan grafik dari metode Regula Falsi. Segitiga serupa yang
digunakan untuk menurunkan rumus buat metode tersebut adalah
yang diarsir.
Contoh Metode Regula Falsi.
Gunakan Regula Falsi untuk menentukan akar dari

f(x) = e-x - x. Akar sesungguhnya 0,56714329.


xl = 0 dan xu = 1.
Iterasi pertama:
xl = 0 f(xl) = 1
xu = 1 f(xu) = -0,63212

(0,63212)(1  0)
xr  1   0,6127
 0,63212  1
0,56714329  0,6127
t  x100%  8%
0,56714329

Iiterasi ke-2
f(xl) f(xr) = -0,0708
akar pada subinterval I. xr di batas atas berikutnya
xl = 0 f(xl) = 1
xu = 0,6127 f(xu) = -0,0708
(0,0708)(0,6127  0)
x r  0,6127   0,572179
 0,63212  1

0,572179  0,6127
t  x100%  7,8%
0,572179
33
Kesalahan untuk Regula Falsi berkurang lebih cepat
daripada Bagidua disebabkan rancangan yang lebih efisien untuk
penempatan akar dalam Regula Falsi.

Perbandingan t pada metode Bagidua dan Regula Falsi untuk


f(x) = e-x – x
Pada Bagidua, interval antara xl dan xu muncul semakin
kecil selama komputasi. Interval, x/2 = |xu – xl| / 2, merupakan
ukuran error untuk pendekatan ini.
Pada Bagidua, hal di atas tak terjadi, karena salah satu

34
tebakan awal kondisinya tetap selama komputasi, sedangkan
tebakan lainnya konvergen terhadap akar.
Pada contoh metode regulasi falsi di atas, xl tetap pada
0, sedangkan xu konvergen terhadap akar. Didapat,
interval tak mengkerut, tapi agak mendekati suatu harga
konstan.

4.3.1. Jebakan pada Metode Regula Falsi.


Contoh 4.5. Bagidua lebih baik dari Regula Falsi.
Gunakan Bagidua dan Regula Falsi untuk menempatkan
akar di antara x = 0 dan 1,3 untuk:

f(x) = x10 – 1.
Dengan Bagidua, didapat:
Iterasi xl Xu Xr | t|% | a|%
1 0 1,3 0,65 35
2 0,65 1,3 0,975 2,5 33,3
3 0,975 1,3 1,1375 13,8 14,3
4 0,975 1,1375 1,05625 5,6 7,7
5 0,975 1,05625 1,015625 1,6 4,0
Setelah 5 iterasi, t < 2%.
Kemudian dengan Regula Falsi, didapat:
Iteras Xl Xu Xr | t|% | a|%
i
35
1 0 1,3 0,09430 90,6
2 0,09430 1,3 0,18176 81,8 48,1
3 0,18176 1,3 0,26287 73,7 30,9
4 0,26287 1,3 0,33811 66,2 22,3
5 0,33811 1,3 0,40788 59,2 17,1
Setelah 5 iterasi, t < 60%.
Juga | a| < | t|
Ternyata dengan Regula Falsi, a ternyata meleset. Lebih
jelas terlihat dalam grafik:

36
Grafik dari f(x) = x10 – 1, menunjukkan konvergensi metode
Regula Falsi yang lambat
Terlihat, kurva menyalahi perjanjian yang mendasar Regula
Falsi, yakni jika f(xl) lebih mendekati 0 dibanding f(xu),
sehingga akan lebih dekat ke xl daripada ke xu
Karena bentuk fungsi yang sekarang, kebalikannya tentu
juga benar. Yang harus dilakukan adalah memasukkan taksiran
akar ke dalam persamaan semula dan ditentukan apakah hasil
itu mendekati nol. Pengecekan semacam ini juga harus dilakukan
pada program komputer untuk penempatan akar.

4.4. Metode Newton-Raphson.

37
Gmbar 5.2

Metode Newton Rapson adalah metode pendekatan yang


menggunakan satu titik awal, dan mendekatinya dengan
memperhatikan kemiringan pada titik tersebut. Secara geometri
metode ini menggunakan garis lurus sebagai hampiran fungsi pada
suatu selang, dengan menggunakan suatu nilai xi sebagai tebakan
awal yang diperoleh dengan melokalisasi akar-akar dari f(x) terlebih
dahulu, metode ini paling banyak digunakan untuk menarik akar-
akar dari persamaan f(x) = 0 dengan asumsi f(x), f’(x), f’’(x) kontinu
dekat satu akar p. akar dari persamaan adalah titik potong garis
singgung pada titik (xi, f(xi))

f  xi 
xi 1  xi 
f '  xi 

Dimana i = 0,1,2,3, …
Syarat f’(xi) ≠ 0
f’(xi) = 0 maka garis singgung sejajar sumbu x
Algoritma Metode Newton Rapson
Masukan: f(x), f’(x), x0 (tebakan awal),  (criteria penghentian), M

38
(maksimum iterasi
Keluaran : akar
Langkah-langkah
Iterasi
Jika f’(x0) = 0, proses gagal, stop
f  x0 
1. xbaru  x0 
f '  x0 

xbaru  x 0
2. jika   , maka stopdan x(akar)  x baru
xbaru

3. x0 = xbaru
4. Iterasi: I = i + 1
5. Jika iterasi I ≤ M kembali ke langkah 2
6. Prosesnya konvegen atau divergen
4.4.1 Iterasi N-R untuk menentukan

n
A
Ambil N = 2
 A  0, N ge nap

 A  0 l
A  R, N ga nji

andaikan bahwa A>0 suatu bil real dan misal x 0 > 0


adalah tebakan awal untuk A

barisan  x k  k 0

didefenisikan dengan rumus rekursif sebagai berikut:


A
p x 1 
xk 1
xk 
39 2
akar barisan  x k  k 0 konvergen ke

A

lim x
x 
k
yaitu : A =
Bukti : A>0
Missal x = A

X2 = A
X2 – A = 0, f(x) = 0 maka f(x) = x2 - A
F(x) = x2-A
f  x
g  x  x 
F’(x) = 2x f '  x
Defenisi fungsi iterasi Newton Rapson
g  x  x 
x  A
2

Atau xk 1  g  xk  2x

g  x  x 
 2 x 2  x 2  A
4.5. MetodepSecant.A
k 1  pk 1 2x
pk  , K  1,2,3,... x A
2 g  x  x  
2 2x
x A
g  x  
2 2x
1 A
g  x   x  
2 x
x x A
g ( x) 
2

40
Masalah yang didapat dalam metode Newton-Raphson adalah
terkadang sulit mendapatkan turunan pertama, yakni f’(x).
Sehingga dengan jalan pendekatan

f  xn   f  xn 1 
f '  x 
xn  xn 1

Menjadi
f ( xi )  f ( xi  xi 1 )
xi  1  xi  yi
f ( xi )  f ( xi 1 )

Persamaan di atas memang memerlukan 2 taksiran


awal x, tetapi karena f(x) tidak membutuhkan perubahan
tanda diantara taksiran maka Secant bukan metode Alokade.

41
Gambar 5.3

Teknik ini serupa dengan teknik Newton-Raphson dalam


arti bahwa suatu taksiran akar diramalkan oleh ekstrapolasi sebuah
garis singgung dari fungsi terhadap sumbu x. Tetapi metode Secant
lebih menggunakan diferensi daripada turunan untuk
memperkirakankemiringan/slop

42
4.5.1 Perbedaan Metode Secant dan Regula Falsi.
Persamaan di metode Secant maupun Regula Falsi identik
suku demi suku.
Keduanya menggunakan 2 taksiran awal untuk menghitung
aproksimasi slope fungsi yang digunakan untuk berproyek
terhadap sumbu x untuk taksiran baru akar.
Perbedaannya pada harga awal yang digantikan oleh
taksiran baru.
Dalam Regula Falsi, taksiran terakhir akar menggantikan
harga asli mana saja yang mengandung suatu harga fungsi
dengan tanda yang sama seperti f(xr). Sehingga 2 taksiran
senantiasa mengurung akar.
Secant mengganti harga-harga dalam deretan yang
ketat, dengan harga baru xi+1 menggantikan xi, dan xi
menggantikan xi-1. Sehingga 2 harga terkadang dapat terletak
pada ruas akar yang sama. Pada kasus tertentu ini bisa divergen.

Pada gambar grafik di bawah ini disajikan penggunaan


metode Regula Falsi dan Secant untuk
menaksir akar f(x) = ln x, dimulai dari harga x1 = xi-1 = 0,5
dan
xu = xi = 5,0:
Gambar 5.3.1

Perbandingan metode Regula Falsi dan Secant. Iterasi


pertama (a) dan (b) untuk iterasi kedua metode adalah identik.
Tetapi pada iterasi kedua (c) dan (d), titik yang dipakai berbeda.

44
Gambar 5.3.2

4.6. Akar Ganda.


Satu akar ganda berhubungan dengan suatu titik dimana
sebuah fungsi menyinggung sumbu x.
Misal akar dobel dihasilkan dari:
f(x) = (x - 3)(x - 1)(x - 1)
atau dengan pengalian suku-suku:

f(x) = x3 - 5x2 + 7x - 3

Persamaan diatas memiliki akar dobel, karena 1 akar x

45
membuat kedua suku dalam persamaan itu sama dengan nol.
Secara grafik, ini sesuai dengan kurva yang menyentuh sumbu x
secara tangensial pada akar dobel. Ini dapat dilihat pada gambar
5.4a di bawah ini pada
x = 1.

Gambar 5.4
Gambar 5.4 Contoh akar ganda yang menyinggung sumbu
x. Perhatikan bahwa fungsi tak memotong sumbu pada kedua sisi
akar ganda genap (a) dan (c), sedangkan ia memotong sumbu

46
untuk kasus ganjil (b) ([CHA1998] hal. 159).
Akar tripel untuk kasus dimana satu harga x membuat 3
suku dalam suatu persamaan menjadi nol, misal:
f(x) = (x – 3)(x – 1)(x – 1)(x – 1)
atau dengan pengalian suku-suku:

f(x) = x4 – 6x3 + 12x2 – 10x + 3


Kesulitan yang ditimbulkan oleh akar ganda:
Hasil dari metode Akolade berkurang kepercayaannya
dengan adanya kenyataan bahwa fungsi tak berubah tanda pada
akar ganda genap. Pada metode Terbuka, ini bisa
menyebabkan divergensi.
Tak hanya f(x) tapi juga f’(x) menuju nol pada akar.
Pada metode Newton-Raphson dan Secant, dimana keduanya
mengandung turunan (atau taksiran) di bagian penyebut pada
rumusnya, terjadi pembagian dengan nol jika solusi konvergen
sangat mendekati akar.
Menurut Ralston dan Rabinowitz [RAL1978], f(x) selalu
mencapai nol sebelum f’(x). Sehingga kalau pemeriksaan nol
untuk f(x) disertakan dalam program, maka komputasi berhenti
sebelum f’(x) mencapai nol.
Metode Newton-Raphson dan Secant konvergen secara
linier (bukan kuadratik), konvergen untuk akar-akar ganda.

47
BAB IV
SISTEM PERSAMAAN LINIER

Bentuk Umum :
a11 x1  a12 x 2  ...  a1n x n  b1
a 21 x1  a 22 x 2  ...  a 2 n x n  b2
.
.
a m1 x1  a m 2 x 2  ...  a mn x n  bm

Bentuk Matriks

 a11 a12 . a1n   x1   b1 


a a 22 . a 2 n   x  b 
 21  2 = 2 
 . . . .   .   . 
     
a m1 . . a mn   x m  bm 

Metode – metode untuk mendapatkan Solusi SPL :


1.Eliminasi Gauss
2.Eliminasi Gauss – Jordan
3.Dekomposisi LU
4.Jacobi
5.Gauss Seidel

48
A. Dekomposis LU
Jika terdapat matriks A non singular maka dapat
difaktorkan / diuraikan / dikomposisikan menjadi matriks Segitiga
Bawah L ( Lower ) dan matriks Segitiga atas U ( Upper ).
A = LU
 a11 a12 . a1n   1 0 . 0 u11 u12 . u1n 
a a 22 . a 2 n   l 21 1 . 0
0 u 22 . u 2 n 
 21 = 
 . . . .   . . . .  . . . . 
     
a m1 . . a mn  l m1 . . 1 0 . . u mn 

Penyelesaian SPL Ax = b dengan metode LU


Ax  b  A  LU
LUx  b misalnya y  Ux
Ly  b

Untuk mendapatkan nilai y1 , y 2 , y 3 ,........ y n ( penyulihan

maju )
Ly  b

1 0 . 0  y1   b1 
l 1 . 0
 y  b 
 21  2 = 2 
 . . . .  .   . 
     
l m1 . . 1  y m  bm 

Untuk mendapatkan nilai x1 , x 2 , x3 ,........x n ( penyulihan


mundur )

49
Ux  y

u11 u12 . u1n   x1   y1 


0 u 22 . u 2 n  x   y 
  2 = 2 
 . . . .   .   . 
     
0 . . u mn   xm   ym 

Dua Metode untuk menyatakan A dalam L dan U :


1.Metode LU Gauss
Langkah – langkah Pembentukan L dan U dari Matriks A
a.Nyatakan A = IA
 a11 a12 . a1n  1 0 . 0
a . a 2 n  0
 21 a 22 1 . 0
=
 . . . .  . . . .
   
a m1 . . a mn  0 . . 1

 a11 a12 . a1n 


a a 22 . a 2 n 
 21
 . . . . 
 
a m1 . . a mn 

a. Eliminasikan matriks A di ruas kanan menjadi matriks


segitiga atas U
b.Setelah proses Eliminasi gauss selesai pada matriks A
( elemen-elemen dibawah diagonal utama adalah nol ).
Matriks I menjadi matriks l dan matriks A menjadi matriks U

50
Soal .
Tentukan solusi dari :
4 x1  3 x 2  x3  2
 2 x1  4 x 2  5 x3  20
x1  2 x 2  6 x3  7

2.Metode Reduksi Crout


Karena LU = A maka hasil perkalian LU dapat ditulis
 u11 u12 u13   a11 a12 a13 
l u l 21u12  u 22 l 21u13  u 23   a a 22 a 23 
 21 11   21
l31u13 l31u12  l32 u 22 l31u13  l 32 u 23  u 33  a31 a32 a33 

Tinjau untuk Matriks 3x3


Dari kesamaan diatas diperoleh
u11  a11 u12  a12 u13  a13

a 21
l 21u11  a 21  l 21 
u11

Dst.......

B. Iterasi Jacobi dan Seidel


a11 x1  a12 x 2  ...  a1n x n  b1
a 21 x1  a 22 x 2  ...  a 2 n x n  b2
.
.
a m1 x1  a m 2 x 2  ...  a mn x n  bm

51
Iterasi Jacobi
(k ) (k )
k 1 b1  a12 x 2  ...  a1n x n
x1 
a11
(k ) (k )
k 1 b2  a 21 x1  ...  a 2 n x n
x2 
a 22
(k ) (k )
k 1 bm  a m1 x1  ...  a mn 1 x n 1
xn 
a mn
Iterasi Seidel
(k ) (k )
k 1 b1  a12 x 2  ...  a1n x n
x1 
a11
( k 1) (k )
k 1 b2  a 21 x1  ...  a1n x n
x2 
a 22
( k 1) (k )
k 1 bm  a m1 x1  ...  a mn 1 x n 1
xn 
a mn
Dengan k = 0, 1, 2, ....
Untuk menghitung kekonvergenan atau berhentinya iterasi
digunakan galat relative
( k 1) (k )
xi  xi
( k 1)
 i= 1, 2, 3, ....n
xi
Syarat cukup iterasi konvergen : Dominan secara diagonal.

52
a ij  a
j 1, j  i
ij i= 1, 2, 3, ... n

Agar iterasi konvergen , cukup dipenuhi syarat ini. Jika dipenuhi


pasti konvergen. Kekonvergenan juga ditentukan oleh
pemilihan tebakan awal.
 4 1 3
 4 8 1
Contoh :  

 2 1 5

4  1  3

8  4  1

5  2 1

Kekonvergenan iterasi Seidel lebih cepat karena langsung


menggunakan nilai baru.

BAB V
INTERPOLASI DAN EKSTRAPOLASI

53
5.1 Interpolasi
Interpolasi dapat digunakan untuk menghitung prakiraan nilai
yang terletak dalam rentangan titik-titik data, (Chapra, 1990).
Bentuk interpolasi yang paling banyak digunakan adalah interpolasi
polinom orde n.
Bentuk umum persamaan polinom orde n adalah sebagai berikut:
f ( x )  a 0  a1 x  a 2 x 2  a3 x 3  .....  a n x n , a n  0 .......................

...........(1)
Untuk n+1 titik data hanya terdapat satu polinom orde n atau
kurang yang melalui sebuah titik. Misal polinom orde (1) terdapat 2
titik data dengan grafik garis lurus, dan polinom orde 2 terdapat 3
titik data dengan grafik berbentuk parabol. Di dalam operasi
interpolasi ditentukan suatu persamaan polinom orde n yang
melalui n+1 titik data yang kemudian digunakan untuk menentukan
suatu nilai di antara titik-titik data tersebut.
a.Interpolasi Linier
Interpolasi linier merupakan bentuk interpolasi yang paling
sederhana, yang hanya membutuhkan dua titik data.

f(x1) E

54
f(x) C
f(x0)
AX XB X D
0 1

Karena segitiga ABC sebangun dengan segitiga ADE maka


BC DE

AB AD

sehingga
f 1 ( x)  f ( x 0 ) f ( x1 )  f ( x0 )

x  x0 x1  x 0
f ( x1 )  f ( x 0 )
f1 ( x)  f ( x0 )   x  x0 
x1  x0
f ( x1 )  f ( x 0 )
f1 ( x)  f ( x0 )   x  x0 ..........................
x1  x0

rumus umum interpolasi linier polinom orde I


f ( x1 )  f ( x0 )
yaitu gradien garis melalui 2 titik.
x1  x0
Semakin kecil interval atau titik data maka hasil perkiraan
semakin baik.
b.Interpolasi kuadrat
Interpolasi kuadrat membutuhkan 3 titik data, dan
persamaan polinomnya ditulis sebagai berikut:

55
f 2 ( x)  b0  b1 ( x  x 0 )  b2 ( x  x0 )( x  x1 ) ................

.........................(13)
f 2 ( x) merupakan polinom orde dua sehingga
fungsinya merupakan fungsi kuadrat.
dari titik data yang diketahui
( x 0 , f ( x 0 )), ( x1 , f ( x1 )), ( x 2 , f ( x 2 )), digunakan

untuk mencari b0 , b1 , dan b2 . dengan cara

perhitungan sebagai berikut:


o Hitung b0
Dari persamaan (13) dengan mensubtitusi x  x 0
maka
f ( x 0 )  b0  b1 ( x 0  x 0 )  b2 ( x0  x 0 )( x 0  x1 )

f ( x 0 )  b0 .................................................................

.................... (14)
b0  f ( x0 )

o Hitung b1
Dengan mensubtitusi persamaan (14) ke persamaan
(13) dan subtitusi x  x1 ke persamaan (13)
diperoleh

56
f ( x1 )  f ( x 0 )  b1 ( x1  x 0 )  b2 ( x1  x 0 )( x1  x1 )
f ( x1 )  f ( x 0 )  b1 ( x1  x 0 )  0
b1 ( x1  x 0 )  f ( x1 )  f ( x 0 )

f ( x1 )  f ( x0 )
b1   f  x1, x 0 .......... .......... .......... ....
x1  x 0

o Hitung b2

57
Substitusi persamaan 14 ke persamaan 15 dan juga
subtitusi x=x2 ke persamaan

58
f ( x1 )  f ( x0 )
f ( x2 )  f ( x0 )   x 2  x 0   b2 ( x 2 
x1  x 0
f ( x1 )  f (
b2 ( x 2  x 0 )( x 2  x1 )  f ( x 2 )  f ( x 0 ) 
x1  x 0
f ( x1 )  f ( x 0 )
 f ( x 2 )  f ( x0 )    x 2  x1  
x1  x 0
f ( x1 )  f ( x 0 )
 f ( x2 )  f ( x0 )   x 2  x1  
x1  x 0
f ( x1 )  f ( x 0 )
 f ( x 2 )  f ( x1 )   x 2  x1 
x1  x 0
f ( x1 )  f ( x 0 )
f ( x 2 )  f ( x1 )   x 2  x1 
x1  x 0
b2 
( x 2  x 0 )( x 2  x1 )
f ( x 2 )  f ( x1 ) f ( x1 )  f ( x0 )
( x 2  x1 )  x1  x0

x2  x 0
f  x 2, x1   f  x1 , x 0 
b2  .......... .......... .......... ........
x 2  x0

59
60
atau b2  f  x2 , x1 , x0  maka
f 2 ( x)  f ( x0 )  f  x1 , x0  ( x  x0 )  f  x2 , x1 , x0 ( x  x0 )( x  x1 )
 b0  b1 ( x  x0 )  b2 ( x  x0 )( x  x1 )
f ( x1 )  f ( x0 )
f  x1 , x0  
x1  x0
f  x 2, x1   f  x1 , x0 
f  x 2 , x 1 , x0  
x 2  x0
f ( x2 )  f ( x1 ) f ( x1 )  f ( x0 )
 ( x2  x1 )   x1  x0

( x 2  x0 )
f  x3 , x 2 , x1   f  x2 , x1 , x0 
f  x 3, x 2 , x 1 , x 0  
x3  x 0
f  x3, x2   f  x 2 , x1   f  x 2 , x1 , x0 

x3  x 0

c. Interpolasi Polinomial
Untuk polinomial orde n digunakan n  1 titik data. Bentuk
umum Polinom orde n adalah
f n ( x)  b0  b1 ( x  x0 )  b2 ( x  x0 )( x  x1 )
....bn ( x  x 0 )( x  x1 )...( x  x n 1 )...............................

Koefisien b0 , b1 ,......... .., bn di evaluasi dengan


menggunakan:
b0  f ( x ) ...................................................................................18

b1  f [ x1 , x 0 ] ....................................................

........................19

61
b2  f [ x 2 , x1 , x 0 ] ...............................................

.........................20
bn  f [ x n , x n 1 .....x1 , x 0 ] ..............................

...............................21
Dengan  [] adalah pembagian beda hingga
n  3 maka
f 3 ( x )  b0  b1 ( x  x 0 )( x  x1 )  b3 ( x  x 0 )( x  x1 )( x  x 2 )........

Dengan b0  f ( x0 )
f ( x1 )  f ( x0 )
b1  f [ x1 , x 0 ] 
x1  x 0

f [ x 2 , x1 ]  f [ x1 , x0 ]
b2  f [ x 2 , x1 , x 0 ] 
x2  x0

b3  f [ x3 , x 2 , x1 , x 0 ] 

f [ x3 , x 2 , x1 ]  f [ x 2 , x1 , x 0 ]
x3  x0

( f [ x3 , x 2  f [ x 2 , x0 ])  f [ x 2 , x1 , x 0 ]
=
x3  x 0

Misal pembagian beda hingga pertama


f [ xi ]  f [ x j ]
f [ xi , x j ]  ...................................................2
xi  x j

62
Pembagian beda hingga kedua
f [ xi , x j ]  f [ x j , x k ]
f [ xi , x j , x k ]  .................................24
xi  x k

Pembagian beda hingga ketiga


f [ xi , x j , x k ]  f [ x j , x k , xl ]
f [ xi , x j , x k , xl ]  .................2
xi  x l

5
Pembagian beda hingga ke-n
f [ x n , x n 1, ... x1 , x 0 ]

f [ x n , x n 1 ,....x1 ]  f [ x n 1 ,....x1 , x 0 ]
................................
xn  x0

...26
Bentuk pembagian beda hingga digunakan untuk menghitung
koefisien b0, b1,...,bn kemudian disubstitusikan ke dalam
persamaan (17). untuk mendapatkan interpolasi polinomial
ordo n.
fn(x ) =

f ( x0 )  f [ x1 , x 0 ]( x  x 0 )  f [ x 2 , x1 , x0 ]( x  x 0 )( x  x1 )  f [ x3 ,

persamaan 23-25  Konstanta


artinya PBH yang lebih tinggi terdiri dari PBH yang lebih rendah
PBH

63
i xi f ( xi ) Pertama Kedua Ketiga
0 x0 f ( x0 ) f [ x1 , x 0 ] f [ x 2 , x1 , x 0 ] f [ x3 , x 2 , x1 , x 0 ]
1 x1 f ( x1 ) f [ x 2 , x1 ] f [ x3 , x 2 , x1 ] f [ x 4 , x3 , x 2 , x1 ]
f
2 x2 f ( x 2 ) f [ x3 , x 2 ] f [ x 4 , x3 , x 2 ]
3 x3 f ( x3 ) f [ x 4 , x3 ]
4 x4 f ( x4 )

c. Interpolasi Polinomial Lagrange (IPL)


Hampir sama dengan polinomial Newton, tetapi tidak
menggunakan bentuk PBH.
IPL dapat diturunkan dari persamaan Newton
IPL orde 1
f1 ( x)  f ( x 0 )  f [ x1 , x0 ]( x  x 0 ) .................................

..........................27
f ( x1 )  f ( x 0 )
f 1 [ x1 , x0 ] 
x1  x 0

 f ( x1 ) f ( x0 ) 
Atau f  x1 , x0     
 x1  x0 x0  x1 
................................................................28
Substitusi 27 ke 28
x  x0 x  x0
f 1 ( x)  f ( x 0 )  f ( x1 )  f ( x0 )
x1  x0 x0  x1

64
 x  x1 x  x0  x  x0
f1 ( x0 )   0   f ( x0 )  f ( x1 )
 x0  x1 x0  x1  x1  x0

 x  x1   x  x0 
=   f ( x 0 )    f ( x1 )
x x x x
 0 1   1 0 

.......................................................29
Dengan prosedur yang sama diperoleh IPL orde-orde sebagai
berikut
( x  x1 )( x  x 2 )  x  x0  x  x2 
f 2 ( x)  f ( x0 )  f (x ) 
( x0  x1 )( x0  x 2 )  x1  x0  x1  x2  1
( x  x0 )( x  x1 )
f ( x 2 ) ...........................................
( x 2  x0 )( x 2  x1 )

..........................30
( x  x1 )( x  x 2 )( x  x3 ) ( x  x 0 )( x  x 2 )( x 
f 3 ( x)  f ( x0 ) 
( x0  x1 )( x0  x 2 )( x 0  x3 ) ( x1  x0 )( x1  x 2 )( x1 

( x  x 0 )( x  x1 )( x  x 3 ) ( x  x 0 )( x  x1 )( x
f ( x1 )  f (x2 ) 
( x 2  x 0 )( x 2  x1 )( x 2  x 3 ) ( x3  x 0 )( x3  x1 )( x

Bentuk umum IPL orde n


n
f n ( x)   Li ( x) f ( xi ) ..............................................
i 0

...........................31

65
n x  xj
Li ( x)  
j 0 xi  x j
atau
n n
x  xi
f n ( x)   f ( xi )
i 0 j 0 xi  x j
ji

2.5.1. Ekstrapolasi
Ekstrapolasi adalah penaksiran nilai f(x) untuk x yang terletak di
x0  1971  f ( x 0 )  2295279
luar selang
x 1 titik data,
 1990  fdan analisis
(x )  3268644kecendrungan dari masalah
1

x  1980  f 1( x )  ........... ?
ekstrapolasi diarahkan dengan menggunakan polinomial
f ( x1 )  f ( x 0 )
f ( x)
interpolasi.
1  f ( x0 ) 
x1  x 0
 x  x0 
3268644  2295279
 2295279  (1980  1971)
1.1.1 Interpolasi Polinomial Newton
1990  1971
 2756346,63
4.2.1.1selisih
Manual 2756,347
2756346,63  2737166

REInterpolasi dan2737166 x100
ekstrapolasi polinomial orde I
 0,7%
x0  1971  f 1971  2295279
x1  2000  f  2000   3808477
x  1990  f 1  x   ........... ?
3808477  2295279
f 1 ( x )  2295279  (1990  1971)
2000  1971
 3286684,59
selisih  18040,59
3286684,59 - 3268644
RE  x100
3268644
 0,5%
x0  1980  f 1980   2737166
x1  2000  f  2000   3808477
x  1990  f 1  x   ........... ?
3808477  2737166
f1 ( x)  2737166  (1990  1980)
2000  1980
 3272821,5
selisih  4177,5
3272821,5 - 3268644
RE  x100
3268644
 0,3%

66
Model pertumbuhan penduduk NTT berdasarkan Teknik
Ekstrapolasi yang diarahkan dengan polinom interpolasi
x0  1980  f 1980  2737166
x1  1990  f 1990  3268644
3268644  2737166
b1 
10
 53147.8

Model pertumbuhan penduduk NTT didapatkan dengan


mensubtitusikan nilai b1 ke bentuk umum polinom Newton
Yaitu sebagai berikut:
f1(x) = 2737166 +53147,8(x-x0),
sehingga model pertumbuhan penduduk NTT berdasarkan
teknik interpolasi polinom Newton orde I, dengan menggunakan
tahun 1980 sebagai x0 adalah sebagai berikut:
f1(x) = 2737166 +53147,8(x-x0),
maka jumlah penduduk NTT pada tahun 2000

67
f1  x   2737166  53147.8(20)
 3800122

Selisih = - 8355
Gallat =0,2%

68
 Interpolasi dan ekstrapolasi polinomial orde 2
Ekstrapolasi kuadrat diarahkan dengan menggunakan
polinomial interpolasi orde 2

x0  1971  f 1971  2295279


x1  1980  f 1980  2737166
x 2  1990  f (1990)  3268644
x  2000  f (2000)  ................?
b0  f  x0   2295279
f ( x1 )  f ( x0 )
b1  f  x1, x0  
x1  x0
2737166  2295279

1980  1971
 49098,5
f ( x2 )  f ( x1 )
f  x2 , x1  
x2  x1
3268644  2737166

1990  1980
 53147,8
f ( x3 )  f ( x2 )
f  x3 , x2  
x3  x2
3808477  3268644

2000  1990
 53983,3

69
f  x 2 , x1   f  x1 , x 0 
b2  f  x 2 , x1 , x 0  
x2  x0

53147,8  49098,5

1990  1971
4049,3

19
 213,12

Model pertumbuhan penduduk NTT berdasarkan teknik


interpolasi polinomial Newton orde ke II, didapatkan dengan
mensubtitusikan nilai b0, b1, b2 ke rumus umum polinomial Newton
maka sebagai berikut:
F2(x) = 2295279 + 49098,5 (x-x0) + 213,12 (x-x0)(x-x1)
F2(x) = 2295279 + (x-x0) (49098,5 + 213,12 (x-x1))
Dengan menggunakan model di atas, maka jumlah
penduduk NTT pada Tahun 2000 adalah sebagai berikut:
Maka f2(x) = 2295279 + 49098,5 (29) + 213,12 (29)
(20)
= 3842745.745,1
Selisih = 34268,1
RE = 0,8%

 Interpolasi Polinomial Orde 3

70
Prediksi jumlah penduduk pada tahun 2004
i xi Pertama
f ( xi ) Kedua Ketiga
0 197 2295279 49098,5 213,12 -5.908
1
1 198 2737166 53147,8 41,775f
0
2 199 326864 53983,3
0 4
3 200 380847
0 7
f ( x1 )  f ( x0 )
b1  f  x1, x0  
x1  x0
2737166  2295279

1980  1971
 49098,5
f ( x2 )  f ( x1 )
f  x2 , x1  
x2  x1
3268644  2737166

1990  1980
 53147,8

f  x3 , x2   f  x2 , x1 
f  x3 , x2 , x1  
x3  x1
53983,3  53147,8

2000  1980
 41,775

71
f  x3 , x2 , x1    x2 , x1 , x0 
b3  f  x3 , x2 , x1 , x0  
x3  x0
41,775  213,12

2000  1971
 5,908

Sehingga model pertumbuhan penduduk NTT dengan


menggunakan tehnik interpolasi polinom Newtonl orde 3
F3(x) = 2295279 + 49098,5 (x-x0) + 213,12 (x-x0)(x-x1)+
(-5,908)(x-x0)
(x-x1)(x-x2)
F3(x) = 2295279 + (x-x0) (49098,5 + 213,12 (x-x1)+(-
5,908)(x-x1)(x-x2))
Berdasarkan model di atas, maka jumlah penduduk NTT
pada tahun 2004
F3(x) = 2295279 + 49098,5 (33) + 213,12 (33)(24)+(-
5,908)(33)(24)(14)
= 4018717,59
4018812,6  4188774
RE 
4188774
Maka prediksi
 4%terhadap jumlah penduduk NTT tahun 2004
dengan menggunakan teknik polinomial Newton orde ke- 3 adalah
 4018718
72
1.1.2 Interpolasi Polinomial Langrange
4.2.1.2 Manual

Model pertumbuhan penduduk NTT berdasarkan interpolasi


polinom langrange

x0  1971  f 1971  2295279


x1  1980  f 1980   2737166
x 2  1990  f (1990)  3268644
x3  2000  f (2000)  3808477

Sehingga model pertumbuhan penduduk NTT berdasarkan


polinom Langrange orde ke II

( x  x1 )( x  x2 )  x  x0  x  x2 
f 2 ( x)  2295279  2737166 
( x0  x1 )( x0  x 2 )  x1  x0  x1  x2 
( x  x 0 )( x  x1 )
3268644 .....................................
( x 2  x 0 )( x 2  x1 )

................................30

73
Sedangkan model pertumbuhan penduduk NTT
berdasarkan polinom Langrange orde ke III

( x  x1 )( x  x 2 )( x  x3 ) ( x  x 0 )( x  x 2 )( x  x3 )
f 3 ( x)  2295279 
( x0  x1 )( x0  x 2 )( x0  x3 ) ( x1  x 0 )( x1  x 2 )( x1  x3 )

( x  x 0 )( x  x1 )( x  x3 ) ( x  x 0 )( x  x1 )( x  x 2 )
2737166  3268644 
( x 2  x 0 )( x 2  x1 )( x 2  x 3 ) ( x3  x 0 )( x 3  x1 )( x3  x 2 )

Sehingga jumlah penduduk tahun 2004 berdasarkan model ini


adalah

74
 2004  1980 2004  1990 2004  2000 
p3  x   2295279
1971  19801971  19901971  2000
2737166
 2004  19871 2004  1990 2004  2000 
1980  19711980  19901980  2000
3268644
 2004  1971 2004  1980 2004  2000 
1990  19711990  19801990  2000
3808477
 2004  1971 2004  1980 2004  1990
 2000  1971 2000  1980 2000  1990
 2295279
 2414 4  2737166  3314 4 
  9  19  29  9  10  10
3268644
 33 24 4  3808477  33 2414
1910  10  29 2010
 622071.985  2810157.093  5450033.785  7280757.410
 4018808,733
 4018809

4018809  4188774
RE 
4188774
 4.5%

75
76

Anda mungkin juga menyukai