Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang


Ikterus merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali
dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh kondisi ini. Keadaan
ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15 Z bilirubin IX alpha) yang
berwaran ikterus pada sclera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasa dari degradasi
heme yang merupakan komponen hemoglobin mamalia. (Kosim, 2012)
Pada masa transisi setelah lahir,hepar belum berfungsi optimal. Keadaan
ini akan menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Pada
kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan
fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi
peningkatan bilirubin berlebih sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan
dapat menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada
jangka panjang akan menimbulkan sekuele nerologis. Dengan demikian, setiap
bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi
merupakan keadaan fisiologis atau patologis.(Kosim, 2012)
Pada makalah ini penulis akan menguraikan hal – hal yang terjadi pada
kejadian tersebut untuk lebih memahami konsep ikterus neonatorum dan
bagaimana melakukan penanganan secara dini.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi dengan
ikterus neonatorum dengan menerapkan pola pikir melalui pendekatan
manajemen kebidanan dan pendokumentasian menggunakan SOAP.

1.2.2 Tujuan Khusus


Mahasiswa mampu:
1) Menjelaskan konsep dasar ikterus neonatorum.
2) Menjelaskan konsep dasar asuhan kebidanan pada bayi dengan ikterus
neonatorum dengan menerapkan pola pikir melalui pendekatan
manajemen kebidanan.
3) Melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi dengan ikterus neonatorum.
4) Mendokumentasikan asuhan kebidanan pada bayi dengan ikterus
neonatorum dalam bentuk dokumentasi SOAP.
5) Melakukan pembahasan antara teori dan kasus.

1.3 Waktu Pelaksanaan


Pada praktik klinik 29 Desember 2012 s/d 11 Januari 2013 di Poli Anak
RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

1.4    Sistematika Penulisan


Makalah ini disusun secara sistematika terdiri dari :
BAB I : PENDAHULUAN : terdiri dari latar belakanag tujuan metode
penulisan dan sistematika penulisan
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA : terdiri dari konsep medis dan asuhan
kebidanan
BAB III : TINJAUAN KASUS : meliputi pendokumentasian dengan
menggunakan SOAP
BAB IV : PEMBAHASAN : terdiri dari penokajian, interpretasi data, identitikasi
diagnosa dan masalah potensial, identifikasi kebutuhan akar: tindakan segera /
kolaborasi, rencana manajemen, pelaksanaan dan evaluasi
BAB V : PENUTUP : terdiri dari kesimpulan dan saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Konsep Dasar


2.1.1       Pengertian
Ikterus neonatorum adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan
mukosa oleh karena adanya bilirubin pada jaringan tersebut akibat
peningkatan kadar bilirubin dalam darah.
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sclera akibat akumulasi bilirubin tak
terkonjugasi ( Kosim, 2012). IKterus secara klinis akan mulai tampak pada
bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7mg/dL/

2.1.2        Macam Ikterus


Ikterus terbagi menjadi :
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis ialah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari
ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadar bilirubin indirek
sesudah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg/dL pada neonatus cukup bulan
dan 10 mg/dL pada neonatus kurang bulan, kecepatan peningkatan kadar
bilirubin tidak melebihi 5 mg/dL per hari, kadar bilirubin direk tidak
melebihi 1 mg/dL. Ikterus ini biasanya menghilang pada akhir minggu
pertama atau selambatnya- lambatnya 10 hari pertama (Wiknjosastro,
2002).
2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis ialah ikterus yang mempunyai dasar patologis
Dasar patologis ini misalnya jenis bilirubin, saat timbul dan menghilangnya
ikterus, dan penyebabnya. Peningkatan kadar bilirubin 5 mg/dL atau lebih
dalam 24 jam. Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mgdL pada bayi
kurang bulan (BBLR) dan 12,5 mg/dL pada bayi cukup bulan disertai
proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-PD dan
sepsis). Bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl/jam atau lebih 5 mg/dl/hari.
Ikterus menetap sesudah bayi umur 10 hari (bayi cukup bulan) dan lebih
dari 14 hari pada BBLR (Wiknjosastro, 2002).

2.1.3        Etiologi
Etiologi Hiperbilirubin (Rusepno, 2005) antara lain :
1. Peningkatan produksi
a. Hemolisis, misalnya pada inkompatibilitas yang trejadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada pengolongan rhesus
dan ABO.
b. Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran. Ikatan bilirubin
terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi
hipoksia atau asidosis.
c. Defisisensi G6PD (Glukosa 6 phospat Dehidrogenase),
d. Breas milk jaundice yang disebabkan oleh kekuranangannya pregnan 3
(alfa), 20 (beta), diol (steroid)
e. Kekurangan enzime glukoronil transferse, sehinga kadar bilirubin
indirek meningkat misalnya pada BBLR.
f. Kelainan konginetal
2. Gangguan transfortasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatan tertentu misalnya
sulfadiazin. Defisiensi albumin menyebabkan lebih bnyak terdapat
bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat pada sawar
otak.
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti
infeksi tokoplasmasiss, syphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra hepatic. Gangguan ini
dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar kelainan dari luar hepar
biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain
5. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif.

2.1.4      Patofisiologi Hiperbilirubinnemia
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini
dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin
dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang
atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh amnion lain, misalnya
pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi
yang menderita gangguan ekskresi, misalnya menderita hepatitis neonatal
atau sumbatan saluran empedu intra/ekstrahepatik. Pada derajat tertentu,
bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini
terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air
tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek
patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah
otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau
ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan
saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek
lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak
ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi
tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah
melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas,
berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan
saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.

(Markum, 1997)
Gambar 2.1 Metabolisme Bilirubin
2.1.5 Maifestasi Klinis
Ikterus dapat terjadi pada saat lahir atau dapat muncul pada setiap saat
lahir atau dapat muncul pada setiap saat selama masa neonatus, bergantung
pada keadaan yang menyebabkannya. Ikterus biasanya mulai pada muka, dan
ketika kadar serum bertambah turun ke abdomen dan kemudian kaki.
Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit apalagi dalam cahaya buatan.
Paling baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari dan dengan
menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena
pengaruh sirkulasi darah. Sebaiknya penilaian ikterus dilakukan secara
laboratoris, apabila fasilitas tidak memungkinkan dapat dilakukan secara
klinis.
Tabel 1 Rumus Kremer (Saifudin, 2000)
Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin (mg
%)
1 Kepala dan leher 5
2 Daerah 1 + Badan bagian atas 9
3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah 11
sampai lutut
4 Daerah 1,2,3 + Lengan dan kaki 12
dibawah lutut sampai tungkai
5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16

Tekanan kulit dapat menunjukkan kemajuan anatomi ikterus, akan


tetapi hal ini tidak dapat dijadikan tumpuan untuk memperkirakan kadarnya di
dalam darah.
Kern-icterus (enselopati biliaris) ialah suatu kerusakan otak yang terjadi akibat
perlengketan bilirubin indirek pada otak (Saifuddin, 2001:381).
Pada kern-icterus, gejala klinik pada permulaan tidak jelas, antara lain dapat
disebutkan yaitu bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar, gerakan tidak menentu
(involuntary movements), kejang, tonus otot meninggi, leher kaku, dan akhirnya
opistotonus. Jika keadaan telah parah maka akan terjadi kelumpuhan serebral,tuli dan
kelainan mata,keterbelakangan mental hingga kematian. (Saifuddin, 2005:383).

2.1.6 Penatalaksanaan
Prinsip pengelolaan hiperbilirubinemia neonatal yaitu segera
menurunkan kadar bilirubin indirek umtuk mencegah jangan sampai timbul
penyulit kern ikterus (Sukadi et al 2000). Untuk bayi sehat dan cukup bulan,
kadar bilirubin tidak diperiksa secara rutin kecuali jika ikterus timbul dalam 2
hari pertama kehidupan. Umumnya bayi sehat dipulangkan dari rumah sakit
pada usia 24-48 jam, oleh karena itu orang tua harus diberitahukan mengenai
iketrus sebelum dipulangkan.
Follow up rutin dan hanya pemberian makan jika :
- Keadaan klinis baik
- Masa gestasi > 37 minggu
- Bayi tidak mempunyai kecenderungan terjadi inkompatibilitas
ABO
- Pada riwayat keluarga tidak ada yang mengalami anemia hemolitik
dan ikterus yang berat
- Ikterus menghilang pada usia > 2 minggu
Jika secara klinis tampak ikterus yang signifikan, pemeriksaan kadar
bilirubin dan penanganan yang lebih lanjut diperlukan.

1. Fototerapi
Ikterus klinis dan hiperbilirubinemia indirek berkurang dengan
pajanan cahaya berintensitas tinggi pada spektrum yang dapat dilihat.
Bilirubin menyerap cahaya secara maksimal pada kisaran biru (dari 420-470
nm). Meskipun demikian, cahaya putih berspektrum luas dan biru, biru
(super) berspektrum sempit khusus, dan hijau efektif menurunkan kadar
bilirubin. Walaupun cahaya biru memberikan panjang gelombang yang cocok
yang tepat untuk fotoaktivasi bilirubin bebas, cahaya hijau dapat
mempengaruhi fotoreaksi bilirubin yang terikat albumin. Bilirubin dalam kulit
menyerap energi cahaya, yang dengan fotoisomerisasi mengubah bilirubin
-4Z, -15Z tak terkonjugasi alamiah yang bersifat toksik menjadi isomer
konfigurasi terkonjugasi yaitu bilirubin -4Z, -15E. Yang terakhir ini adalah
produk reaksi reversibel dan diekskresi ke dalam empedu tanpa perlu
konjugasi. Fototerapi juga mengubah bilirubin alamiah, melalui suatu reaksi
yang irreversibel pada isomer lumirubin struktural, yang diekskresi oleh ginjal
pada keadaan tak terkonjugasi.
Bayi normal yang mendapat fototerapi selama 1-3 hari mempunyai
kadar puncak bilirubin serum sekitar setengah dari bayi yang tidak diobati.
Bayi prematur yang tanpa hemolisis berarti biasanya bilirubin serumnya turun
1-3 mg/dL sesudah 12-24 jam menjalani fototerapi konvensional, dan kadar
puncak yang dapat diturunkan 3-6 mg/dL. Pengaruh teurapetik tergantung
pada energi cahaya yang dipancarkan pada kisaran panjang gelombang yang
efektif, jarak antara cahaya dan bayi, dan jumlah kulit yang terpajan.
Fototerapi intensif maksimum harus digunakan jika kadar bilirubin
indirek semakin meninggi (>15 mg/dL). Terapi ini menggunakan tabung
fluorosens ”biru spesial” dengan jarak lampu 15-20 cm dari bayi, dan
menggunakan selimut fototerapi serabut optik yang ditempatkan dibawah
punggung bayi, dengan demikian memperluan daerah yang terpajan cahaya.
Fototerapi konvensional dapat dipakai secara terus menerus, dan bayi
sering dibolak balik untuk mendapatkan pemajanan kulit yang optimal kurang
lebih 3 kali dalam 24 jam. Jarak lampu 45-50 cm dari bayi. Suhu tubuh bayi
diukur setiap 2 jam (pertahankan suhu tuhuh bayi 36,5-37,5 0C). Segera
setelah kadar bilirubun indirek turun pada kadar yang dianggap aman
berdasarkan umur dan keadaan bayi, pemajanan harus dihentikan. Kadar
bilirubin serum dan hematokrit harus dipantau setiap 4-8 jam pada bayi
dengan penyakit hemolitik atau pada bayi yang kadar bilirubinna mendekati
kisaran yang dianggap toksik untuk setiap bayi. Untuk bayi yang lebih tua,
dapat dipantau pada interval 12-24 jam. Pemantauan harus dilanjutkan
sekurang-kurangnya sampai 24 jam setelah penghentian fototerapi pada
penderita dengan penyakit hemolitik karena kadang terjadi kenaikan bilirubin
serum yang tidak diharapkan dan memerlukan pengobatan lebih lanjut. Warna
kulit tidak dapat dipercaya fototerapi, karena kulit bayi yang terpajan cahaya
dapat terlihat hampir tanpa ikterus walaupun ada hiperbilirubinemia berat.
Mata bayi harus ditutup untuk mencegah pemajanan terhadap cahaya
(tekanan yang berlebihan pada mata dapat menimbulkan jejas pada mata yang
tertutup, atau kornea dapat tergores jika bayi dapat membuka matanya di
bawah balutan). Suhu tubuh harus dipantau , dan bayi harus dilindungi dari
pecahan bola lampu. Bayi harus minum sekurang-kurangnya setiap 3 jam.
Komplikasi fototerapi pada bayi meliputi tinja lembek, ruam makular
eritematosa, kepanasan, dehidrasi, diare, menggigil karena pemajanan dan
sindrom bayi perunggu (perubahan warna kulit yang coklat keabu-abuan dan
gelap).

2. Transfusi ganti/tukar
Munculnya tanda-tanda kern ikterus merupakan indikasi dilakukannya
transfusi ganti pada kadar bilirubin serum berapapun. Transfusi dilakukan
melalui vena umbilikasis atau vena safegna magna. Darah yang digunakan
harus darah segar (<24 jam). Pemilihan donor darah disesuaikan dengan
penyebab ikterus. Darah yang digunakan mengandung darah citrat atau heparin.
Transfusi ganti biasanya diberikan 2 x volume darah bayi (80 ml/kg BB) yaitu
160 ml/kg BB (diharapkan dapat menggantikan darah bayi 87%).
Transfusi ganti harus dihentikan jika terjadi emboli, trombosis,
hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia, gangguan
pembekuan karena pemakaian heparin, perforasi pembuluh darah.
Komplikasi dari transfusi ganti berupa gangguan vaskuler seperti
emboli, kelainan jantung seperti aritmia, overload, henti jantung, gangguan
elektrolit seperti hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis, gangguan
koagulasi seperti trombositopenia, heparinisasi berlebih.

2.2    Konsep Asuhan Keperawatan


Pengkajian di Rumah Sakit
Tanggal pengkajian ……………… pukul ……………. Oleh ……………..
Subjektif
. Pengkajian
a. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia,
Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
b.Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui
yang lemah, iritabilitas.
c. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa
bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
d. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal
keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari
Hiperbilirubinemia .
Analisa Data :
Data Subyektif Data Obyektif
1.Ibu mengatakan anak rewel, daya hisap lemah .
2. Ibu mengatakan merasa khawatir dan takut karena tidak bisa terus bersama- sama
dengan bayinya. 1. Kulit dan sklera terlihat kuning
2. Bayi iritabel, letargi
3. Kadar bilirubin indirek lebih dari 12,5 mg% pada bayi cukup bulan dan pada bayi
BBLR lebih dari 10 mg%
4. Kulit tampak kemerahan.
5. Frekuensi bab meningkat.

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


a. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan,
serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder fototherapi.
b. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek
fototerapi.
c. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
d. Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan perpisahan
dan penghalangan untuk gabung.
e. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
f. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
g. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi)
berhubungan dengan tranfusi tukar.
h. PK : Kern Ikterus

3. Rencana Asuhan Keperawatan .


a. Dx Keperawatan :
Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta peningkatan
IWL dan defikasi sekunder fototherapi
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
deficit volume cairan dengan kriteria :
1) Jumlah intake dan output seimbang
2) Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
3) Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi & Rasional :
1) Kaji reflek hisap bayi ( Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi )
2) Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat (R: menjamin
keadekuatan intake )
3) Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces( R : mengetahui
kecukupan intake )
4) Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam (R : turgor
menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda dehidrasi )
5) Timbang BB setiap hari (R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).

b. Dx Perawatan :
Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0 C.
Intervensi dan rasionalisasi :
1) Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam (R : suhu terpantau secara rutin )
2) Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres dingin
serta ekstra minum ( R : mengurangi pajanan sinar sementara )
3) Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi ( R : Memberi terapi lebih dini
atau mencari penyebab lain dari hipertermi ).
c. Diagnosa Keperawatan :
Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek
fototerapi
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
gangguan integritas kulit dengan kriteria :
1) tidak terjadi decubitus
2) Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
1) Kaji warna kulit tiap 8 jam (R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
2) Ubah posisi setiap 2 jam (R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu
dalam waktu lama ).
3) Masase daerah yang menonjol (R : melancarkan peredaran darah sehingga
mencegah luka tekan di daerah tersebut ).
4) Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab ( R :
mencegah lecet )
5) Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun menjadi
7,5 mg% fototerafi dihentikan (R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu
lama)

d. Diagnosa Keperawatan :
Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan perpisahan
dan penghalangan untuk gabung.
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan orang tua dan bayi
menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan ketidak
mengertian proses Bounding.
Intervensi :
1) Bawa bayi ke ibu untuk disusui ( R : mempererat kontak sosial ibu dan bayi )
2) Buka tutup mata saat disusui (R: untuk stimulasi sosial dengan ibu )
3) Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya (R: mempererat kontak dan
stimulasi sosial ).
4) Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan ( R: meningkatkan peran
orangtua untuk merawat bayi ).
5) Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya (R: mengurangi beban psikis
orangtua)

e. Diagnosa Keperawatan :
Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
Tujuan :
Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua menyatakan
mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam perawatan.
Intervensi :
1) Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien ( R : mengetahui tingkat
pemahaman keluarga tentang penyakit )
2) Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya (
R : Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )
3) Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah (R :
meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam erawat bayi)

f.Diagnosa Keperawatan :
Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi injury
akibat fototerapi ( misal ; konjungtivitis, kerusakan jaringan kornea )
Intervensi :
1) Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya ( R : mencegah
iritasi yang berlebihan).
2) Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan daerah genetal
serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya usahakan agar
penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir (R : mencegah paparan sinar pada
daerah yang sensitif 0
3) Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8
jam (R: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata )
4) Buka penutup mata setiap akan disusukan. ( R : memberi kesempatan pada bayi
untuk kontak mata dengan ibu ).
5) Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan ( R : memberi rasa
aman pada bayi ).

g.Diagnosa Keperawatan :
Risiko tinggi terhadap komplikasi berhubungan dengan tranfusi tukar
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 1x24 jam diharapkan tranfusi tukar
dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi :
1) Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan (R : menjamin
keadekuatan akses vaskuler )
2) Basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan ( R :
mencegah trauma pada vena umbilical ).
3) Puasakan neonatus 4 jam sebelum tindakan (R: mencegah aspirasi )
4) Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur ( R : mencegah
hipotermi
5) Catat jenis darah ibu dan Rhesus memastikan darah yang akan ditranfusikan adalah
darah segar ( R : mencegah tertukarnya darah dan reaksi tranfusi yang berlebihan 0
6) Pantau tanda-tanda vital, adanya perdarahan, gangguan cairan dan elektrolit,
kejang
selama dan sesudah tranfusi (R : Meningkatkan kewaspadaan terhadap komplikasi
dan dapat melakukan tindakan lebih dini )
7) Jamin ketersediaan alat-alat resusitatif (R : dapat melakukan tindakan segera bila
terjadi kegawatan )

h. Dx perawatan :
PK Kern Ikterus
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tanda-tanda awal
kern ikterus bisa dipantau
Intervensi :
1) Observasi tanda-tanda awal Kern Ikterus ( mata berputar, letargi , epistotonus, dll )
2) Kolaborasi dengan dokter bila ada tanda-tanda kern ikterus.

4. Aplikasi Discharge Planing.


Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi dengan
hiperbilirubin (seperti rangsangan, latihan, dan kontak sosial) selalu menjadi
tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan
gambaran yang diberikan selama perawatan di Rumah Sakit dan perawatan lanjutan
dirumah.
Faktor yang harus disampaikan agar ibu dapat melakukan tindakan yang terbaik
dalam perawatan bayi hiperbilirubinemia (Waley &Wong, 1994):
1. Anjurkan ibu mengungkapkan/melaporkan bila bayi mengalami gangguan-
gangguan kesadaran seperti : kejang-kejang, gelisah, apatis, nafsu menyusui
menurun.
2. Anjurkan ibu untuk menggunakan alat pompa susu selama beberapa hari untuk
mempertahankan kelancaran air susu.
3. Memberikan penjelasan tentang prosedur fototherapi pengganti untuk menurunkan
kadar bilirubin bayi.
4. Menasehatkan pada ibu untuk mempertimbangkan pemberhentian ASI dalam hal
mencegah peningkatan bilirubin.
5. Mengajarkan tentang perawatan kulit :
• Memandikan dengan sabun yang lembut dan air hangat.
• Siapkan alat untuk membersihkan mata, mulut, daerah perineal dan daerah sekitar
kulit yang rusak.
• Gunakan pelembab kulit setelah dibersihkan untuk mempertahankan kelembaban
kulit.
• Hindari pakaian bayi yang menggunakan perekat di kulit.
• Hindari penggunaan bedak pada lipatan paha dan tubuh karena dapat
mengakibatkan lecet karena gesekan
• Melihat faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti penekanan
yang lama, garukan .
• Bebaskan kulit dari alat tenun yang basah seperti: popok yang basah karena bab dan
bak.
• Melakukan pengkajian yang ketat tentang status gizi bayi seperti : turgor kulit,
capilari reffil.
BAB 3
TINJAUAN KASUS

Pengkajian Tanggal : 7 Januari 2013 jam 10.30 WIB


Tempat : Poli Anak RSUD Dr. Soetomo
Nama Pengkaji : Tesalonika Restuaji

SUBYEKTIF
Identitas
Nama Bayi : By. Ny. W
Lahir : 5 April 2010 Jam 05.30
Jenis kelamin : laki-laki
BB/PJ lahir : 3000 gr / 49 cm
No. Registrasi : 12186382

Identitas Orang Tua


Nama : Ny. W Tn BM
Umur : 35 tahun 45 tahun
Agama : Islam Katolik
Pendidikan : SMP SMA
Pekerjaan : IRT PNS
Alamat : Manyar Sebrangan 7, Surabaya

Anamnesa Khusus
    Keluhan Utama : tidakada
Riwayat Antenatal
 Ibu mengatakan ini anak pertama
 Ibu mengatakan selam a hamil periksa ke bidan atau dokter 9 kali
 Ibu mengatakan selama hamil mendapatkan suntikan TT 1 x pada usia
kehamilan 4 bulan
Keluhan selama hamil :
 TM I : ibu mengatakan pada hamil muda sering sedikit pusing, bila
dipakai istirahat sembuh
 TM II : tidak ada
 TM III : tidak ada
Riwayat Intranatal
Umur Kehamilan : 9 bulan
 Kehamilan Tunggal / kembar : tunggal
 Lama Persalinan Kala I : tidak terkaji
 Lama Persalinan Kala II : tidak terkaji
 Air Ketuban : jernih
Cara Persalinan : SC
Indikasi Persalinan : ketuban pecah
Riwayat Neonatal :
APGAR score : tidak terkaji
BB/ PB Lahir : 2950gr/49cm
Menetek pertama kali : 24 jam setelah SC
Obat – obatan yang diberikan : tidak terkaji
Riwayat Kesehatan keluarga
Orang tua klien mengatakan bahwa dalam keluarganya tidak ada yang memiliki
penyakit yang sama dengan klien.
Pola Fungsi Kesehatan
Nutrisi : ASI dan Susu formula kurang lebih 8-12 x per hari kira2 30cc
Eliminasi: BAB : 6-8x sehari.Warna kuning.
BAK : > 12 x per hari. Warna kuning.
Istirahat : Bayi banyak tidur. Bangun hanya jika minta minum, BAB dan
BAK.
OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik Head to Toe
Penampilan umum : muka bayi tampak kuning
a. Penampilan umum
muka agak kuning
b. Tanda-tanda vital
Suhu : 370C
Nadi : 110x/menit
RR : 50 x/menit
c. Antopometri
BB : 2800 gram
PB : 49 cm
LK :35 cm
LD :32 cm
LLA : 11 cm
d. Kulit
Warna kuning, pada kepala, badan, hingga tungkai
e. Kepala
Bentuk simetris, teraba sutura-sutura, fontanel lunak dan padat.
f. Mata
Bentuk simteris,konjungtiva merah muda, sklera ikterik, iris bulat kuning, pupil
berespon cepat terhadap cahaya.
g. Telinga
Bentuk simetris, puncak vina sejajar garis horizontal kantus mata, ada meatus
akustikus berwarna seperti daging.
h. Hidung
Hidung simetris, paten, nares utuh, tidak ada cairan dan tidak berbau, mukosa
hidung merah muda, reflek bersin ada.
i. Mulut dan tenggorokan
Warna merah muda dan kuat, bibir utuh membran mulut lembab, gusi tidak
bengkok, uvula digaris tengah, palatum tidak ada celah.
j. Leher
Bentuk pendek gemuk, dan di kelilingi lipatan-lipatan, tidak ada pembesaran
tyroid dan tidak ada lesi
k. Dada dan paru
Bentuk simetris, diameter posterior-anterior sama, thoraks simetris, jenis
pernapasan abdomen.
l. Jantung
Tidak cianosis, nadi apikal dapat dipalpalsi
m. Abdomen
Bentuk rata sedikit cembung, warna kulit sedikit kuning, umbilikus hampir
kering, BU 12 X/menit, bunyi dullnes di hepar
n. Genetalia
Ada lubang uretra di puncak glens penis, testis dapat diraba dan skrotum
tertutup dan tidak ada lesi
o. Punggung dan rektum
Bentuk simetris, spina utuh tidak ada lubang, wink anal (+), lubang anal paten.
p. Ekstremitas
Bentuk simetris, jari kaki dan jari tangan lengkap, rentang gerak penuh,
q. Sistem neuromuskular
Ekstremitas fleksi ekstensi masih lemah, mampu menahan kepala dan mampu
memutar kepala.
Reflek
 Reflek morro : ada
Reflek rotting : bayi langsung dapat mencari puting susu
Reflek sucking : bayi dapat menghisap kuat

Psiko-sosio-spiritual :Bayi akrab dengan ibu (bayi tenang dan nyaman saat
ibu dekat bayi dan saat bayi menyusu pada ibu). Ibu mengatakan anaknya
banyak tidur. Bila minum harus dibangunkan tapi minum kuat. Ibu tampak
cemas bila harus anak harus terapi.
ANALISA DATA (Tanggal 7-1-2013)

No Data Etiologi Masalah


1 S: Ibu mengatakan anaknya Ikterus Risiko defisit
banyak tidur , bila minum harus volume cairan. b/d
dibangunkan. Bayi letargi tidak adekuatnya
O: BBL : 2950gr. intake cairan
BB saat ini : 2800gr. Defisit volume
Reflek hisap kuat cairan b/d tidak
Bayi minum ASI dan Susu adekuatnya intake
formula kurang lebih 8-12 x per cairan
hari kira2 30cc.

2 S: - Ikterus Ansietas b/d


O: Ibu tampak cemas bila harus kurang
anak harus terapi. Pemeriksaan pengetahuan.
lanjut

Terapi sinar bila


bilirubin melewati
batas normal

Ibu cemas bila


anak harus terapi
Prioritas Diagnosa Keperawatan
1. Risiko defisit volume cairan. b/d tidak adekuatnya intake cairan.
2. Ansietas b/d kurang pengetahuan.
BAB 4
PEMBAHASAN

Pada kasus bayi Ny “W” dengan Ikterus Neonatorum didapatkan pembahasan


sebagai berikut:
Dari riwayat nutrisi ditemukan bahwa bayi kurang intake, bayi minum hanya
8-12 x 30cc ASI dan PASI (susu formula). Ini dikarenakan ibu kurang pengetahuan
dan hal ini sesuai dengan teori ikterus yang menyebutkan bahwa bayi/anak biasanya
malas untuk menyusu/makan.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan bahwa bayi mengalami penurunan berat
badan sebesar 150 gram. Teori menyebutkan bahwa 7-10 hari pertama kehidupan
normal bila terjadi penurunan 10%-15% BB lahir.
Dari observasi dan pemeriksaan fisik (keadaan umum dan tanda-tanda vital)
ditemukan bayi dengan tanda-tanda vital normal. Refleks hisap dan menelan bayi
baik. Pada psiko-sosio-spiritual ditemukan bahwa bayi akrab dengan ibu (bayi tenang
dan nyaman saat ibu dekat bayi dan saat bayi menyusu pada ibu). Ibu mengatakan
anaknya banyak tidur. Bila minum harus dibangunkan tapi minum kuat. Ibu tampak
cemas bila harus anak harus terapi. Hal ini sesuai dengan toeri yang menyebutkan
bahwa kondisi anak yang kurang diketahui orang tua membuat orang tua cemas
dengan keadaan anak.
Peran bidan dalam memberikan asuhan pada bayi ini adalah dengan
pemberian KIE yang jelas serta memberikan motivasi pada ibu dan keluarga bahwa
segala upaya yang dilakukan adalah upaya yang terbaik bagi bayi. Yang tidak kalah
pentingnya bagi bidan yang bekerja di lini kesehatan dasar adalah dengan melakukan
deteksi dini yang benar, memberikan KIE yang benar kepada ibu tentang tanda gejala
penyakit Ikterus, serta sistem rujukan yang baik, yaitu rujukan berencana walaupun
pada kasus ini didapati keluarga menolak dilakukan pemeriksaan dan terapi.
Dengan demikian diharapkan sistem networking yang baik antara tenaga
kesehatan baik di lini dasar sampai atas, dari tempat BPS atau puskesmas hingga
rumah sakit menjadikan angka mortalitas dan morbiditas bayi akibat penyakit Ikterus
Neonatorum dan komplikasinya dapat berkurang, sehingga derajat kesehatan
masyarakat Indonesia meningkat.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

1.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian asuhan keperawatan pada bayi
dengan Ikterus Neonatorum adalah sebagai berikut:
1) Dari hasil pengkajian subyektif dan obyektif, mahasiswa mampu membuat
diagnosa sesuai teori.
2) Rencana disusun sesuai kebutuhan serta berdasarkan pada ilmu pengetahuan
(teori) tetapi terkadang disesuaikan dengan kondisi klien saat itu.
3) Tindakan yang dilakukan sesuai rencana, dan dilaksanakan secara plan of action
diikuti dengan evaluasi terhadap asuhan yang diberikan.

1.2 Saran
1.2.1 Bagi pelayanan kebidanan
Dapat meningkatkan fasilitas dan kualitas pelayanan kesehatan sehingga dapat
memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pada umumnya, serta memberikan
asuhan sayang bayi pada khususnya.
1.2.2 Bagi institusi Pendidikan
Dapat menambah sumber pustaka sebagai referensi bagi mahasiswa dalam
pembuatan asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson volume
I edisi 15. Jakarta : EGC.

Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman untuk Perencanaan Dan


Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Kosim, M. Soleh. 2012. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta : IDAI.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC

Saifudin, Abdulbari. 2000. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Matenal dan
Neonatal. Jakarta : YBP-SP

Wong, D.L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, volume 2. Jakarta: EGC, hal.
1007-1009.

Anda mungkin juga menyukai