Anda di halaman 1dari 8

FORMAT LITERATUR REVIEW

Nama Elok Aqila Febriani / 1811B0023 / IPN 4


mahasiswa /
NIM
Penulis, 1. Afrina Zulaikha, Nining Febriyana, BUNUH DIRI PADA
Judul, Jurnal, ANAK DAN REMAJA / SUICIDE IN CHILDREN AND
Halaman ADOLESCENT, 11
2. Alfin Miftahul Khairi, Galih Fajar Fadillah, Triyono,
COGNITIVE RESTRUCTURING SEBAGAI UPAYA
PREVENTIF BUNUH DIRI SISWA DI SEKOLAH, 10
3. Septiana Dwiputri Maharani, FENOMENA BUNUH DIRI
TINJAUAN FILSAFAT MANUSIA (Studi Kasus Terhadap
Fenomena Bunuh Diri Ibu dan Anak), 13
Teori Jurnal 1
Menurut WHO, batasan usia anak adalah sejak anak di dalam
kandungan sampai usia 19 tahun. Remaja merupakan periode transisi
dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai dengan
percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial.
Bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia dengan
kecenderungan peningkatan pada kelompok anak dan remaja. Tingkat
bunuh diri bervariasi mulai dari ide bunuh diri, ancaman bunuh diri,
percobaan bunuh diri dan tindakan bunuh diri. Faktor risiko bunuh
diri pada anak dan remaja mencakup gangguan psikiatri, stresor
psikososial, faktor kognitif dan faktor biologi. Selain itu bunuh diri
pada anak dan remaja juga dipengaruhi oleh perkembangan kognitif,
pemahaman mengenai kosep kematian, faktor afektif dan peran
kelekatan.
Gangguan psikiatri yang sering menjadi faktor resiko bunuh diri pada
anak dan remaja adalah gangguan suasana perasaan (depresi dan
bipolar), skizofrenia, penyalahgunaan zat, gangguan tingkah laku, dan
gangguan makan(Apter dan Freudstein, 2000; Gould dan Kramer,
2001; Shain dan Care, 2007).
Faktor resiko lain yang juga bisa memunculkan perilaku bunuh diri
yaitu adanya kejadian yang menimbulkan stres, masalah hubungan
anak dan orangtua, perceraian orangtua, riwayat keluarga, dan
penyakit kronis (Shafii et al., 1985; Gould et al., 1996; Pfeffer, 2000;
Gould dan Kramer, 2001; Sofronoff, Dagliesh dan Kosky, 2005; Gray
dan Dihigo, 2015).
Keputusasaan serta kemampuan meyelesaikan masalah yang buruk
juga dihubungkan dengan perilaku bunuh diri.

Jurnal 2
Bunuh diri atau melakukan penganiayaan terhadap diri sendiri hingga
meninggal dan ini fenomena yang sangat memprihatikan, terlebih
pelakunya adalah anak remaja. Salah satunya saat individu yang
mengalami depresi merupakan akibat ketidakberdayaan dalam
menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga individu
memilih bunuh diri sebagai upaya untuk menyelesaikan
permasalahannya.
Rekontruksi kognitif atau Cognitive Restucturing merupakan salah
satu teknik yang bermuara pada pendekatan terapi kognitif. Tujuan
dari teknik CR secara umum adalah untuk merubah pikiran-pikiran
negatif terhadap permasalahan yang dimiliki oleh konseli menjadi
pikiran yang lebih positif, sehingga pikiran tersebut berimplikasi
terhadap sikap dan perilaku yang diambil oleh konseli.

Jurnal 3
Berbagai kasus bunuh diri menjadi fakta atas kompleksnya persoalan
yang dihadapi seseorang. Kasus yang menarik perhatian umum adalah
seorang ibu yang terpaksa mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh
diri. Ia tidak seorang diri melakukan tindakan bunuh diri, melainkan
menyertakan juga anak-anaknya.
Darmaningtyas dalam penelitiannya (2002: 442–443) menyebutkan
bahwa bunuh diri merupakan persoalan mendasar sekaligus
merupakan bentuk keputusan eksistensial yang dilakukan seseorang
untuk keluar dari persoalannya. Darmaningtyas menggunakan teori
Albert Camus yang sesungguhnya melihat fenomena bunuh diri
sebagai ungkapan keputusasaan seseorang, dan konsep Durkheim
tentang alasan orang melakukan bunuh diri yang tidak lepas
keterkaitannya dengan masyarakat. Bunuh diri berkaitan dengan tiga
faktor, yaitu: predisposisi psikologis tertentu, faktor keturunan, dan
kecenderungan manusia untuk meniru orang lain. Namun menurut
Darmaningtyas, ketiga faktor tersebut kurang memberikan jalan
terang, karena faktor tersebut tidak tersebar merata dalam setiap
individu dan seluruh golongan, sedangkan ketiga faktor tersebut
tersebar secara sama rata.
Penelitian Darmaningtyas juga dipertajam dengan teori Suicide (bunuh
diri) Emile Durkheim. Ada empat kategori bunuh diri menurut
Durkheim, yaitu: bunuh diri Egoistik, Altruistik, Anomi, dan
Fatalistik. Bunuh diri Egoistic, yaitu bunuh diri karena lemahnya
individu berintegrasi dengan kelompoknya. Bunuh diri altruistik, yaitu
individu melakukan bunuh diri karena merasa tidak memiliki identitas
diri di luar kelompoknya yang disebabkan oleh ikatan kelompok atas
individu pembentuk nilai yang terlalu kuat. Bunuh diri Anomi, yaitu
bunuh diri yang terjadi saat adanya gangguan yang tiba-tiba dan tidak
terduga, misalkan dalam bidang ekonomi yang secara tiba-tiba
mengalami kemajuan atau kemunduran. Kategori yang terakhir
adalah bunuh diri fatalistik, yaitu bunuh diri yang disebabkan oleh
pengaturan perilaku secara berlebihan, keras, dan otoriter
(Darmaningtyas, 2002: 444-445).

Metode Subjek :
- Jurnal 1
- Jurnal 2
- Jurnal 3

Alat Ukur :
- Jurnal 1
Masih sedikit penelitian mengenai apakah penapisan rutin
resiko bunuh diri pada anak di bawah usia 12 tahun
dibutuhkan. Walaupun US Preventative Services Task Force
(UPSTSF) tidak menganjurkan penapisan rutin pada anak usia
7-11 tahun, tetapi mereka merekomendasikan penapisan untuk
Major Depresive Disorder (MDD) pada usia berapapun. Jika
didapati anak tersebut memiliki 1 atau lebih dari 4 faktor resiko
berikut ini :
1. Psikopatologi orang tua
2. Memiliki pengalaman negatif selama hidupnya
3. Komorbid dengan kondisi medis kronis
4. Komorbid dengan gangguan jiwa
Maka anak-anak dengan faktor resiko seperti ini memiliki
resiko munculnya psikopatologi atau melakukan bunuh diri
walaupun tidak didapati adanya MDD (Heise, York and
Thatcher, 2016).
Alat penapisan resiko bunuh diri telah dikembangkan dan
digunakan pada pasien anak dan remaja.
Berikut ini beberapa diantaranya : Ask Suicide Screening
Question(ASQ), Risk for Suicide Quessionare (RSQ), The Mood
and Feeling Quessionare (MFQ), Treatment Emergen Activation
and Suicidality Assessment Profile (TEASAP), Columbia Suicide
Severity Ratting Scale (C-SSRS), Suicide Behaviour
Quessionaire (SBQ-R), Suicidal Ideation Quessionaire (SIQ)
(Gray dan Dihigo, 2015; Heise, York danThatcher, 2016).
Skala self-administered bunuh diri sangat berguna untuk
menyaring pasien normal dan yang memiliki resiko tinggi
bunuh diri. Tetapi tetap tidak bisa menggantikan dengan
penilaian klinis, dan skala penapisan memiliki kecenderungan
terlalu sensitif dan kurang spesifik. Seorang anak atau remaja
yang memiliki hasil positif dari uji penapisan harus dinilai lagi
secara klinis. Kebanyakan tes belum dinilai secara adekuat
terhadap populasi anak dan remaja(Gray dan Dihigo, 2015).
- Jurnal 2
. Menurut Cristi dan Muhari (2013) melakukan penelitian
tentang penggunaan teknik cognitive restructuring (CR) untuk
meningkatkan efikasi diri siswa kelas X. Desain penelitian yang
digunakan adalah pre-experimen dengan jenis one group pre-
test and post test design, karena disesuaikan dengan tujuan
penelitian yakni untuk mengetahui peningkatan efikasi diri
melalui strategi CR. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan strategi CR dapat meningkatkan efikasi diri siswa
kelas X.
Penelitian yang dilakukan oleh Olivia (2015) membuktikan
bahwa teknik konseling rekontruksi kognitif efektif untuk
mereduksi perilaku agresif siswa. Peneliti menggunakan desain
penelitian quasi eksperimen dengan sampling totally sampling
yakni seluruh siswa kelas XI SMA yang berjumlah 118.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan teknik
rekontruksi kognitif terbukti efektif untuk mengurangi perilaku
agresif siswa.
Setyaningsih (2010) melakukan penelitian dengan format
kelompok menggunakan teknik CR untuk mengatasi malas
belajar pada siswa. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan menemukan, bahwa terdapat perubahan perilaku
malas belajar siswa setelah mengikuti konseling kelompok
dengan teknik cognitive restructuring.

- Jurnal 3
Darmaningtyas mengambil fokus penelitiannya dengan kasus
bunuh diri yang dilakukan oleh masyarakat Gunung Kidul,
Yogyakarta. Ia menepis sebuah mitos yang dipercaya oleh
masyarakat setempat, yaitu bunuh diri sebagai ”Pulung
Gantung”. Masyarakat Gunung Kidul memandang bunuh diri
dilakukan sebagai suratan takdir dengan gejala alam yang
menimpa sebelum jatuh harinya. Pemahaman yang sempit ini
menurut Darmaningtyas berakibat negatif bagi masyarakat,
karena kurangnya daya analisis dan kritis seseorang dalam
melihat persoalan bunuh diri, sehingga dapat menyesatkan
(2002: 446).
Persoalan bunuh diri dapat dilihat kembali secara lebih
komprehensif, tidak semata-mata individu melakukan tindak
bunuh diri lalu dilihat sebagai objek penelitian yang kemudian
hanya terlihat berbagai hal yang negatif saja yang ditemukan
sebagai faktor dalam persoalan seputar bunuh diri. Manusia
juga harus dilihat secara utuh dalam keberadaannya atas jiwa
dan raganya.
Analisis :
- Jurnal 1
Bunuh diri merupakan masalah kesehatan yang menjadi
perhatian utama di banyak negara terutama pada kelompok
anak-anak dan usia paruh baya (Wasserman et al.2005). Pada
tahun 2012, WHO mengungkapkan bunuh diri merupakan
penyebab kematian nomor dua terbanyak pada kelompok usia
15-29 tahun (WHO, 2016).
Di Indonesia belum ada data secara nasional mengenai kejadian
bunuh diri pada anak dan remaja. Namun berdasarkan data
pada tahun 2012, WHO memperkirakan kejadian bunuh diri di
Indonesia adalah 4,3% per 100.000 populasi (WHO, 2012).
Kemudian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kemenkes RI pada tahun 2014 melakukan penelitian
ekstrapolasi dan menunjukkan angka kejadian bunuh diri di
Indonesia adalah 1,77 per 100.000 penduduk (Depkes, 2016).
Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) pada tahun 2014
melaporkan ada 89 kasus bunuh diri pada anak dan remaja.
Sembilan kasus pada rentang usia 5 sampai 10 tahun.
Sementara 12 hingga 15 tahun ada 39 kasus. Sedangkan yang
berusia di atas 15 tahun ada 27 kasus.
National Centre for Health Statistic (NCHS) tahun 2000
mengungkapkan data angka bunuh diri di AS dari segi usia,
pada usia 10-14 tahun adalah 1,6/100.000, sedangkan usia 15-19
tahun 9,5/100.000. Berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki 3
kali lebih sering melakukan bunuh diri dibandingkan anak
perempuan, namun seiring bertambah usia ratio semakin
bertambah menjadi 4,5 : 1 pada usia 15-19 tahun. Percobaan
bunuh diri pada remaja 2 kali lipat lebih sering pada
perempuan dibandingkan laki-laki. Sedangkan ide bunuh diri
sering dijumpai pada pelajar SMA, kira-kira 1 dari 4
perempuan, dan 1 dari 6 laki-laki(AACAP, 2001; Cash dan
Bridge, 2009).
Metode bunuh diri pada remaja yang paling sering digunakan
adalah dengan menggunakan senjata api. Pada percobaan
bunuh diri, metode yang paling sering digunakan adalah
menelan analgetik, selain itu metode lain yang sering digunakan
adalah mengiris permukaan pergelangan tangan atau
leher(AACAP, 2001; Gould dan Kramer, 2001; Shain dan Care,
2007; Cash dan Bridge, 2009).
Pada anak, bunuh diri bersifat impulsif dan metode yang
digunakan adalah menabrakkan diri, lompat dari tempat yang
tinggi dan menjatuhkan diri dari tangga(Hoberman dan
Garfinkel, 1988; Shaffer et al., 1996; Dervic, Brent dan
Oquendo, 2008).

- Jurnal 2
Bukan hanya di Indonesia saja bunuh diri menjadi trend. Di
Korea Selatan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Sovia
Yoga Ana, mahasiswi D3 Bahasa Korea UGM, yang berjudul
Fenomena bunuh diri di kalangan pelajar Korea Selatan
menunjukkan bahwa peningkatan angka bunuh diri para
pelajar yaitu berkisar antara masalah keluarga, depresi,
bullying. Cara bunuh diri yang sering dilakukan yaitu lompat
dari ketinggian dan gantung diri.
Amerika Serikat sebagai simbol negara maju, bunuh diri di
kalangan para remaja yang terjadi di negara adidaya tersebut
juga memprihatinkan.
Menurut Benjamin Shain, MD. PhD. Dalam jurnal Pediatrics
yang berjudul Suicide and Suicide Attempts in Adolescents
menunjukkan bahwa bunuh diri di kalangan remaja bertambah
secara signifikan selama bertahun-tahun sampai tahun 1990.
Dari tahun 1950 sampai 1990, angka bunuh diri remaja usia 15
sampai 19 tahun mencapai rata-rata 300%. Akan tetapi dalam
rentang tahun sesudahnya antara 1990 sampai 2013, rata-rata
angka bunuh diri para remaja turun 2% menjadi 28%. Tercatat
ada 1748 kasus bunuh diri para remaja di periode tersebut.

- Jurnal 3
Contoh kasus tersebut misalnya:
1. Seorang ibu dan empat anaknya yang melakukan bunuh diri
di Jalan Taman Sakura No. 12 Kota Malang, Jawa Timur
pada hari Minggu, 11 Maret 2007.
2. Seorang ibu membakar diri bersama dua anaknya pada hari
Jum’at, 4 Mei 2007 Di Dusun Ngelo, Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman.
3. Seorang ibu yang menggendong anaknya mencoba bunuh
diri dengan menabrakkan diri ke kereta api pada hari
Sabtu, 24 Maret 2007 di pintu perlintasan dekat penjara
Cipinang.
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa fenomena bunuh Diri
dilakukan oleh seseorang dengan latar belakang yang berbeda-
beda, seperti lemahnya fondasi ekonomi, putus cinta, rasa malu,
dan sebagainya, yang mengarah kepada ketidaksiapan atas
kondisi yang dialaminya dan tidak tercapainya harapan
seseorang. Sedangkan cara bunuh diri dilakukan secara
bermacam-macam, seperti gantung diri, minum racun, terjun
ke sumur/sungai/jurang, membakar diri, menyayat nadi,
menusuk, dan sebagainya. Cara bunuh diri yang dilakukan
seseorang dipengaruhi oleh tingkat ekonomi atau strata sosial
yang dimilikinya.
Hasil - Jurnal 1
Kebanyakan perilaku bunuh diri muncul karena keinginan
untuk melarikan diri dari perasaan yang tidak tertahankan,
seperti dendam, isolasi sosial, atau kebencian. Perasaan
kehilangan memainkan peranan yang penting sebagai faktor
pencetus langsung bunuh diri pada remaja, baik kehilangan
yang akut ataupun kehilangan yang sudah terakumulasi. Istilah
“kehilangan” disini digunakan untuk menunjukkan kehilangan
karena kematian atau perpisahan yang permanen (misalnya,
perceraian orang tua) yang mengakibatkan kerenggangan atau
hilangnya figur yang dicintai (King, 2003).
Angka bunuh diri yang semakin meningkat pada kalangan anak
dan remaja membutuhkan perhatian serius. Pengetahuan dan
pemahaman yang baik terhadap faktor risiko bunuh diri pada
anak dan remaja serta tindakan pencegahan yang komprehensif
dan tepat sasaran diharapkan dapat menurunkan angka bunuh
diri.

- Jurnal 2
Bunuh diri pada anak dan remaja di seluruh dunia semakin
bertambah setiap tahunnya dan dapat di simpulkan penyebab
dari bunuh diri pada anak yakni terdapat permasalahan yang
tidak dapat di atasi, perceraian, depresi/stress, bullying,
masalah antara anak dan orang tua, gangguan psikiatri, stresor
psikososial, faktor kognitif dan faktor biolog, dan masih banyak
lagi.
Rekontruksi kognitif atau Cognitive Restucturing merupakan
salah satu teknik yang bermuara pada pendekatan terapi
kognitif. Tujuan dari teknik CR secara umum adalah untuk
merubah pikiran-pikiran negatif terhadap permasalahan yang
dimiliki oleh konseli menjadi pikiran yang lebih positif, sehingga
pikiran tersebut berimplikasi terhadap sikap dan perilaku yang
diambil oleh konseli.

- Jurnal 3
Kejadian bunuh diri pada ibu yang membawa serta anaknya
menjadikan tingkat presentase kejadian bunuh diri pada anak
meningkat. Dan penyebab dari bunuh diri ibu yang membawa
anaknya biasanya di karenakan masalah ekonomi keluarga,
masalah yang ada di keluarga, masalah dengan masyarakat,
depresi/stress, rasa malu, dan sebagainya. Namun bunuh diri
yang dilakukan seorang ibu dan anaknya adalah gambaran
kompleksnya persoalan hidup dalam sebuah masyarakat yang
tidak mampu diselesaikan seorang diri. Seorang ibu memiliki
otonomi dan bertanggung jawab atas eksistensi buah hatinya,
sehingga ketika ia memutuskan untuk mengakhiri
hidupnya/penderitaannya, ia berhak atas eksistensi anak-
anaknya. Maka fenomena ibu bunuh diri dengan anaknya
bipahami sebagai bentuk ”mengasihi anak” dalam pandangan si
pelaku.

Anda mungkin juga menyukai