Anda di halaman 1dari 3

Diam Sampai Kapan?

------

Bosan.
4 tahun sudah tulisan teman saya Bagus Panuntun berjudul “Neo-Puputan Margarana dan
(waspada) Borjuasi Lumpen di Wonosobo” mengudara di halaman Facebook miliknya pasca
pilkada 2015 lalu. Ketika selesai membacanya dulu, saya hanya terdiam dengan
kekhawatiran yang tinggi terhadap kota ini:
“Bagaimana kita bisa bergerak maju setidaknya satu dua langkah dari keadaan saat ini
kalau…..” – kalimat skeptis seperti itu terus saja berteriak dalam pikiran. Dan hasilnya, ya
seperti apa yang kita nikmati saat ini.

Sebagai warga, saya mengamati dinamika sosial di Wonosobo ini sebagai sesuatu yang seksi.
Dalam pandangan saya, masih banyak masyarakat yang memiliki daya literasi politik rendah,
namun tidak diimbangi dengan upaya peningkatannya, melalui ruang dua arah yang
menumbuhkan kepedulian dan daya kritis masyarakat. Sehingga berjalanya demokrasi tidak
transaksional, dan mendorong masyarakat mengambil kesimpulan dari dua percabangan:
Ya/Tidak, Suka/Tidak Suka, Tolak/Dukung.

Contohnya, dengan kekuatan arus informasi yang ada, masyarakat kita mengetahui tentang
predikat sebagai kabupaten termiskin di Jawa Tengah atau sebagai kota yang di elu-elukan
ramah HAM. Namun tidak banyak yang mengerti apa indikator dari kemiskinan dan pada
titik apa bisa berkontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan, apakah angka partisipasi
kasar, pendapatan perkapita, UMR, gini rasio dan lain sebagainya, atau HAM yang seperti
apa yang dikampanyekan? Apa prosesnya? Bagaimana memahami batasan-batasannya?
Bagaimana kita benar-benar menerapkan “ramah HAM” dalam bermasyarakat?

Dari hal tersebut, saya merasa (dan semoga anda juga) bahwa ada suatu kultur yang kurang
tepat disajikan kepada masyarakat yaitu dengan menghadirkan predikat-predikat positif lain
yang seolah untuk menutupi -dan tanpa menyelesaikan- predikat negatif yang ada. Meski
baik sebagai penyeimbang, namun ada permasalahan dasar yang tidak terselesaikan
bertahun-tahun disini.

Tentu kita perlu mengapresiasi, seperti yang belum lama ini didapatkan sebagai kota dengan
pengelolaan e-government terbaik, tapi juga jangan sampai tutup mata dalam mengkritisi
dan mengamati dinamika yang ada. Lihat saja kolom komentar masyarakat di beberapa
portal berita Wonosobo terkait penghargaan tersebut, iyakan?
Selain itu, kita juga perlu kritis tentang perencanaan untuk mendapatkan predikat-predikat
lain, baik itu negatif atau positif. Ya, semoga aja tidak kebanyakan acara festival/deklarasi
demi menyambut predikat baru. Kota dengan pembangunan terlama misalnya, ehehe
bercanda.
Contoh lain yang dapat saya ambil adalah, tidak banyak masyarakat kita yang berani
bersuara karena berbenturan dengan berbagai kepentingan. Seolah, menimbulkan suatu
sistem demokrasi dan partisipasi yang tidak berimbang. Saya cukup bersyukur, pada awal
tahun lalu saya menyampaikan curahan hati saya berjudul “Bupati Wonosobo Tidak Salah!”
dan alhamdulilah mendapat banyak respon dukungan publik, dan membuka ruang diskusi
baru. Sayangnya, hal itu tidak terjadi banyak ketika saya curhat tentang “Sisi kelam
Pendidikan di Wonosobo” atau tentang “Dieng: Bencana berbalut pariwisata”. Tapi anda
bisa membacanya nanti.

Bagi saya, hal tersebut bukanlah sesuatu yang patut untuk kita bebankan pada masyarakat.
Sebab, saat ini kita berada pada sistem demokrasi strategis yang secara sederhananya
diartikan sebagai “siapa yang memimpin, maka dia akan menentukan rencana jangka
menengah 5 tahun kedepan”. Sayangnya, kita selalu tidak maksimal dalam mengambil
peran dalam pesta demokrasi 5 tahunan. Padahal, banyak sekali contoh diluar sana yang
bisa kita teladani dalam urusan memajukan daerah, baik itu figur maupun keterlibatan
seluruh elemen daerah.

Azwar Anas misalnya, yang bisa menjadikan Banyuwangi yang dulunya hanya sebagai
tempat istirahat orang yang akan menuju Pulau Bali, tapi belum lama mejeng untuk promosi
wisata sampai ke piala dunia 2018. Atau Nurdin Abdullah, Gubernur Sulsel saat ini yang dulu
menjadi Bupati Bantaeng, daerah pesisir selatan pulau Sulawesi dimana beliau seorang
Doktor lulusan Universitas Kyushu Jepang yang mampu menurunkan angka kematian ibu
melahirkan, membangun sektor pertanian dan pembangunan infrastruktur yang massif
berwawasan lingkungan. Sehingga mampu meningkatkan APBD Bantaeng naik menjadi 3
kali lipat, pendapatan asli daerah naik 4 kali lipat, Produk Domestik Regional Bruto Per
Kapita penduduk naik 5 kali lipat, dan jumlah penduduk miskin di sana pun merosot dari 12
persen ke 5 persen sampai tahun 2016.

Tentu banyak sekali contoh diluar sana, figur-figur “segar dan ikonik” seperti Bu Risma di
Surabaya, Ridwan Kamil di Bandung, Emil Dardak dan Gus Ipin di Trenggalek yang menjadi
pemimpin daerah di usia sangat muda.

Namun bagaimana kita melihat Wonosobo? Saya yakin, dengan nasib yang menimpa daerah
kita saat ini perlu daya tawar baru dari keadaan yang ada. Rasanya tidak perlu berbelit-belit
dalam menginventarisir masalah. Sekali lagi saya tekankan bahwa saat ini kita berada pada
suatu sistem demokrasi “siapa yang memimpin, siapa yang menentukan kebijakan”. Dan..
Semasa saya hidup di kota ini, saya tidak pernah melihat adanya figur baru yang terlibat.
Saya hanya takut adanya oligarki daerah yang semakin akut. Dan membosankan.
Kita butuh ruang untuk mengakomodasi kelompok non-elit yang tidak memiliki ruang
ekspresi politik agar dapat berpartisipasi dalam pilkada ini. Karena saat ini banyak
bersliweran di media, bursa calon kepala daerah di Wonosobo. Namun dari list nama yang
ada, tidak ada yang membuat saya penasaran lebih jauh, setidaknya seorang yang
mengejutkan dengan kata lain “boleh juga ini, sepertinya perlu dikasih ruang..”. Karena bagi
saya, Wonosobo ini membutuhkan figur “baru”, yang tak terduga, punya latar belakang
yang jelas dan mumpuni serta punya program yang tidak biasa dari sebelumnya (out of the
box). Malah justru, saya berharap ada sosok yang muncul dari kalangan muda. Tentu banyak
sekali potensi, ada 40% lebih penduduk Wonosobo saat ini berusia 19-39 tahun, sayangnya
mereka tidak memiliki ruang untuk mengekpresikan diri.

Masyarakat pun patut bersiap siaga karena dalam beberapa bulan kedepan, kita akan
sangat sering menerima jargon. Ayo selamatkan Wonosobo lah, ayo bangun wonosobo lah.
Tapi kalau pada prosesnya, -kita sendiri sebagai penentu suara- masih sangat mudah dibeli
dengan uang, maka secara tidak sadar kita sendiri sudah menentukan nasib pembangunan
kota. Tinggal tunggu saja Neo Puputan Margarana Jilid 2. Resah kan kalau begini terus? 

Ayolah, kita juga harus bergerak. Kita butuh Wonosobo yang Baru. Terobosan-terobosan
baru yang mampu medeliver dan tidak sekedar mengirim kebijakan. Kita dapat berperan
dengan jeli dalam mengamati dinamika politik di kota tercinta ini. Jangan sampai kita hanya
dijadikan alat karena sudah seharusnya kita juga ikut terlibat. Ini sudah saatnya, resahmu
juga resahku mas, mbak.., kalau begini terus, pertanyaanya: mau diam sampai kapan?

Mahardika Agil Bimasono


Yang sedang Resah sama Wonosobo

Anda mungkin juga menyukai