Anda di halaman 1dari 37

USULAN PENELITIAN

INTENSI BERWIRAUSAHA DAN SELF EFFICACY


MAHASISWA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS
GADJAH MADA DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Diajukan oleh :

Mahardika Agil Bimasono


14/368217/PT/06842

Program Studi Ilmu dan Industri Peternakan

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

USULAN PENELITIAN
MAHASISWA FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
PROGRAM STUDI ILMU DAN INDUSTRI PETERNAKAN

Diajukan oleh:

Nama Mahasiswa : Mahardika Agil Bimasono


Nomor Mahasiswa : 14/368217/PT/06842
Alamat : Gondang 05/01 Kertek Wonosobo Jawa Tengah
Dibawah bimbingan
Pembimbing : R. Ahmad Romadhoni Surya Putra, Ph.D
Pembimbing Pendamping :-

JUDUL:
INTENSI BERWIRAUSAHA DAN SELF EFFICACY MAHASISWA FAKULTAS
PETERNAKAN UNIVERSITAS GADJAH MADA DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Yogyakarta, 2018

Mahardika Agil Bimasono

Telah Diperiksa dan Disetujui:


Pembimbing
Tanggal :

R. Ahmad Romadhoni Surya Putra, Ph.D


NIP. 198107092005011003

Pembimbing Pendamping

Tanggal :

Prof. Dr. Ir. Sudi Nurtini, SU.


NIP. 19531225 198003 2 001

Mengetahui
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan

Prof. Budi Guntoro, S.Pt., M.Sc., Ph.D


NIP. 197008291996011001

ii
INTENSI BERWIRAUSAHA DAN SELF EFFICACY MAHASISWA
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS GADJAH MADA DI ERA
REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Mahardika Agil Bimasono

14/368217/PT/06842

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan intensi


berwirausaha dan self efficacy serta pengaruh keduanya dari mahasiswa
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada di era revolusi industri 4.0.
Seiring dengan perubahan waktu, teknologi yang ada telah berkembang
pesat hingga saat ini. Teknologi baru seperti internet menjadi titik strategis
dalam proses revolusi industri terutama dalam berwirausaha saat ini atau
sering disebut sebagai revolusi bisnis secara elektronik. Penelitian ini
menggunakan sampel 30 mahasiswa Fakultas Peternakan UGM dari 3
angkatan berbeda yaitu 2014, 2016, dan 2018. Penelitian ini menggunakan
analisis deskriptif dan regresi linier dan dilakukan uji normalitas, uji linieritas,
uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas.

Kata Kunci: Intensi berwirausaha, Self efficacy, Revolusi Industri 4.0

iii
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengangguran dan kemiskinan merupakan masalah klasik yang


dihadapi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Tingginya angka
pengangguran merupakan fenomena yang terjadi di Indonesia. Banyaknya
jumlah angkatan tenaga kerja yang ingin memasuki dunia pekerjaan tidak
sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Salah satu faktor yang
mengakibatkan tignginya angka pengangguran di Indonesia adalah
terlampau banyaknya tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal,
sehingga ketika pekerjaan di sektor formal tidak tumbuh dan berkembang,
masyarakat tidak berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor
swasta. Hal inilah yang mengakibatkan tingginya jumlah pengangguran dan
rendahnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia (Andika dan Madjid, 2012)
Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2018 sebanyak 131,01 juta
orang, naik 2,95 juta orang dibanding Agustus 2017. Sejalan dengan itu,
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga meningkat 0,59% poin.
Dalam setahun terakhir, pengangguran berkurang 40 ribu orang sejalan
dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang turun menjadi 5,34%
pada Agustus 2018. Dilihat dari tingkat pendidikan, TPT untuk Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) masih mendominasi di antara tingkat pendidikan
lain yaitu sebesar 11,24% sedangkan untuk tingkat pendidikan universitas
sebesar 5,89% (BPS, 2018).
Sektor pertanian dan agrokompleks menjadi lapangan pekerjaan
dengan presentase jumlah pekerja terbanyak dari angkatan kerja di
Indonesia. Tercatat pada Agustus 2018, jumlah pekerja yang menekuni
sektor pertanian dan agrokompleks sebesar 28,79% atau 35,7 juta jiwa,
disusul oleh sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 18,61% atau
23,07 juta jiwa. Namun jika diamati dari tren karakteristik penduduk bekerja

1
pada bulan Agustus 2017 sampai Agustus 2018, terjadi degradasi tenaga
kerja yang cukup signifikan dari profesi pertanian dan agrokompleks. Pada
Agustus 2017 jumlah tenaga kerja sektor pertanian dan agrokompleks
sebesar 29,68%, jika dibandingkan dengan Agustus 2018 terjadi penurunan
sebesar 0,89% (BPS, 2018).
Pengangguran merupakan masalah sosial yang hingga saat ini belum
tuntas. Ketika negara tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan,
sementara sektor dunia usaha tidak mampu menampung, angka
pengangguran hanya akan menimbulkan problem sosial baru. Pengangguran
bergelar, sebenarnya bisa menjadi modal sekaligus bonus berharga jika
diarahkan pada sektor kewirausahaan (Ponco dan Wibowo, 2017). Laporan
Global Entrepreneurship Monitor (GEM) pada 2017 menjelaskan, akademisi
dan pemangku kebijakan menyepakati jika wirausaha dan bisnis yang baru
didirikan (startup business) memberikan peran penting dalam pengembangan
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, ada peningkatan apresiasi dan
pengakuan atas peran yang dijalankan oleh pelaku usaha kecil dan rintisan
dalam sistem perekonomian.
Kewirausahaan dan wirausaha menjadi semakin penting di seluruh
dunia dengan mempertimbangkan dampak positif dalam pekerjaan,
produktivitas, inovasi, dan pertumbuhan ekonomi. Organisasi untuk
kerjasama dan pengembangan ekonomi (OECD) dalam laporan
Entrepreneurship at Glance 2012 menjelaskan bahwa krisis global
meningkatkan minat dalam berwirausaha sebagai elemen yang esensial
untuk mendorong pemulihan ekonomi dan pertumbuhan lapangan kerja
(OECD, 2012). Sousa et al., (2018) menambahkan bahwa kewirausahaan
dapat membantu daerah dan negara-negara untuk mengatasi masalah sosio-
ekonomi seperti pengangguran, diantaranya pengangguran pemuda,
kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang lambat, meningkatkan daya
saing dan menciptakan kekayaan ekonomi dan keadilan sosial.

2
Menumbuhkan jiwa kewirausahaan para mahasiswa perguruan tinggi
dipercaya merupakan alternatif jalan keluar untuk mengurangi tingkat
pengangguran, karena para sarjana diharapkan dapat menjadi wirausahawan
muda terdidik yang mampu merintis usahanya sendiri. Jumlah wirausahawan
muda di Indonesia yang hanya sekitar 0,18% dari total penduduk masih
tertinggal jauh dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika yang
mencapai 11,5% maupun Singapura yang memiliki 7,2% wirausahawan
muda dari total penduduknya. Padahal secara konsensus, sebuah negara
agar bisa maju, idealnya memiliki wirausahawan sebanyak 5% dari total
penduduknya yang dapat menjadi keunggulan daya saing bangsa. Lebih
lanjut, menyikapi persaingan dunia bisnis masa kini dan masa depan yang
lebih mengandalkan pada knowledge dan intelectual capital, maka agar
dapat menjadi daya saing bangsa, pengembangan wirausahawan muda perlu
diarahkan pada kelompok orang muda terdidik (intelektual). Mahasiswa yang
adalah calon lulusan perguruan tinggi perlu didorong dan ditumbuhkan niat
mereka untuk berwirausaha atau Interpreneurial intention (Suharti dan Sirine,
2011).
Fenomena rendahnya minat dan motivasi pemuda Indonesia untuk
berwirausaha menjadi pemikiran serius berbagai pihak, baik pemerintah,
dunia pendidikan, dunia industri, maupun masyarakat. Wedayanti dan
Giantari (2016) mengungkapkan bahwa data dari Badan Pusat Statistik
menunjukan sebagian dari jumlah pengangguran di Indonesia berasal dari
lulusan perguruan tinggi. Oleh karena itu, program pembelajaran
kewirausahaan merupakan salah satu strategi yang penting untuk mengubah
kecenderungan seseorang sebagai job seeker menjadi job creator di waktu
mendatang. Dengan perubahan lingkungan bisnis global menuju era digital
atau Revolusi Industri 4.0, perusahaan dan prhanisasi nirlaba di Indonesia
perlu beradaptasi dan menyelaraskan strategi dengan modal insani
organisasinya (Watson, 2017).

3
Revolusi industri 4.0 ini ditandai dengan bersatunya beberapa
teknologi sehingga kita melihat suatu area baru yang terdiri dari tiga bidang
ilmu independen, yaitu fisika, digital, dan biologi (Raymond, 2016). Teknologi
baru seperti internet menjadi titik strategis dalam proses revolusi industri 4.0
terutama dalam berwirausaha saat ini atau sering disebut sebagai revolusi
bisnis secara elektronik atau electronic-business (Kusumantini, 2011).
Dengan demikian revolusi industri 4.0 tersebut membawa konsep
penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional
yang pada akhirnya bertujuan meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan
layanan konsumen secara signifikan (Prasetyo dan Sutopo, 2017).
Revolusi Industri 4.0 diprediksi memiliki potensi manfaat yang besar.
Sebagian besar pendapat mengenai potensi manfaat Industri 4.0 adalah
mengenai perbaikan kecepatan-fleksibilitas produksi, peningkatan layanan
kepada pelanggan dan peningkatan pendapatan. Terwujudnya potensi
manfaat tersebut akan memberi dampak positif terhadap perekonomian suatu
negara. Revolisi Industri 4.0 memang menawarkan banyak manfaat, namun
juga memiliki tantangan yang harus dihadapi. Drath dan Horch (2014)
berpendapat bahwa tantangan yang dihadapi oleh suatu negara ketika
menerapkan Industri 4.0 adalah munculnya resistansi terhadap perubahan
demografi dan aspek sosial, ketidakstabilan kondisi politik, keterbatasan
sumber daya, risiko bencana alam dan tuntutan penerapan teknologi yang
ramah lingkungan. Jian Qin et al., (2016) menjelaskan, terdapat kesenjangan
yang cukup lebar dari sisi teknologi antara kondisi dunia industri saat ini
dengan kondisi yang diharapkan dari Industri 4.0. Penelitian yang dilakukan
oleh Balasingham (2016) juga menunjukkan adanya faktor keengganan
perusahaan dalam menerapkan Industri 4.0 karena kuatir terhadap
ketidakpastian manfaatnya.
Perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan kewirausahaan,
pada tahap awal harus mampu menumbuhkan minat berwirausaha pada

4
mahasiswa dan menjadikan wirausaha sebagai pilihan karir yang mereka
pilih setelah lulus, untuk itu diperlukan preferensi tentang keuntungan
menjadi seorang wirausaha dan bagaimana meminimalisir resiko dalam
berwirausaha, dan membangun mindset untuk meninggalkan comfort zone
apabila ingin memperoleh sukses yang berkelanjutan. Agar proses
pembelajaran kewirausahaan dapat menumbuhkan minat wirausaha sebagai
pilihan karir, dibutuhkan intensi dari mahasiswa (Alimudin, 2015). Hannes
Leroy et al., (2008) mengemukakan Teori Perilaku Terencana (Theory of
Planned Behavior) yang menyatakan dibutuhkan tiga pilar sebagai anteseden
dari intensi, yaitu sikap terhadap perilaku, norma subyektif, dan persepsi
mengenai kemampuan mengendalikan segala sesuatu yang mempengaruhi
apabila hendak melakukan perilaku tersebut. Pengembangan kewirausahaan
di perguruan tinggi harus dikembangkan tidak hanya dalam kerangka
pengembangan ilmu tetapi juga harus merupakan project base learning yang
membangun keunggulan-keunggulan di dalam mengekplorasi lingkungan
untuk menciptakan berbagai peluang usaha (Alimudin, 2015).
Modal yang paling utama seorang wirausaha ialah minat, keuletan,
semangat dan pantang menyerah. Minat berwirausaha yang dimiliki oleh
mahasiswa nantinya akan berpengaruh terhadap kesiapan mahasiswa
tersebut yang awalnya mereka memilih menjadi pencari kerja berubah
menjadi pencipta lapangan pekerjaan. karena jika mahasiswa memiliki minat
berwirausha tinggi maka mereka tidak akan kehabisan ide dalam
menghasilkan sesuatu yang bersifat baru. Tantangan lain dariidampak era
informasiiglobal, peran manusia sudah tergeserkan oleh teknologi, ini
merupakan permasalahan juga dari revolusi industri yang secara
fundamental akan mengubah cara kerja, bekerja dan berhubungan satu
dengan yang lain. Ini adalah bentuk transformasi yang sedang terjadi. Namun
sejauh transformasi ini berdampak positif, konsekuensi apa yang timbul harus

5
bisa di seimbangkan dengan munculnya peluang yang ada (Tritularsih &
Sutopo, 2017).
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan kesiapan berwirausaha
adalah self efficacy yang merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya
sendiri atau tingkat keyakinan mengenai seberapa besar kemampuannya
dalam mengerjakan suatu tugas untuk mencapai hasil tertentu (Marini dan
Hamidah, 2014). Persepsi pribadi seperti ini memegang peranan penting
dalam pengembangan intensi seseorang. Self efficacy yaitu kepercayaan
seseorang mengenai kemampuan untuk membentuk suatu perilaku
berwirausaha. Efikasi diriidiukur dengan indikator kepercayaan diri akan
kemampuan mengelola suatu usaha, kepemimpinan sumber daya manusia,
kematangan mental dalam usaha, dan merasa mampu memulai usaha
(Andika dan Madjid, 2012). Hal tersebut senada dengan penelitian yang
dilakukan oleh Indarti dan Rostiani yang dilakukan pada mahasiswa
Indonesia, Jepang dan Norwegia, menemukan bahwa faktor paling dominan
yang mempengaruhi intensi berwirausaha mahasiswa Indonesia adalah self
efficacy (Vemmy, 2012). Self efficacy penting untuk diteliti, hal ini dikarenakan
berdasarkan observasi mahasiswa yang memilikii self efficacy maka mereka
memiliki keyakinan yang tinggi dalam menyelesaikan pekerjaannya di kuliah
maupun di luar perkuliahan. Selain itu, mahasiswa akan memiliki keyakinan
bahwa mereka mampu untuk bersaing dalam dunia usaha atau
berwirausaha. Self efficacy memiliki peran penting dalam mengatasi sebuah
masalah yang dihadapi oleh individu ketika mereka berwirausaha nantinya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri terbukti memengaruhi kesiapan
mahasiswa (Indarti dan Rostiani, 2008).

6
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa masalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui tingkat self efficacy mahasiswa Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada
2. Mengetahui tingkat intensi berwirausaha mahasiswa Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada di era Revolusi Industri 4.0
3. Mengetahui hubungan antara self efficacy terhadap intensi
kewirausahaan mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada di Era Revolusi Industri 4.0

Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai pernanan dalam perkembangan ilmu dan
industri peternakan kedepannya. Manfaat penelitian ini antara lain:
(1) Diharapkan mampu memberikan informasi mengenai tingkat self
efficacy, intensi berwirausaha, kesiapan menghadapi era Revolusi
Industri 4.0 dan hubungannya dari mahasiswa Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada.
(2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
sumbangan pemikiran bagi institusi pendidikan dalam
melaksanakan dan menerapkan program kewirausahaan.

7
TINJAUAN PUSTAKA

Wirausaha dan Kewirausahaan


Kewirausahaan adalah suatu cara berpikir, menelaah, dan bertindak
yang didasarkan pada peluang bisnis, pendekatan holistik, dan
kepemimpinan yang seimbang. Proses kewirausahaan menuntut kemauan
untuk mengambil resiko dengan penuh perhitungan sehingga dapat
mengatasi rintangan untuk mencapai kesuksesan yang diharapkan. Pada
umumnya, wirausahawan menggunakan kecerdikannya untuk memanfaatkan
sumberdaya yang terbatas (Timmons dan Spinelli, 2008). Aprilianty (2012)
Wirausahawan adalah seseorang yang mengembangkan produk baru atau
ide baru dan membangun bisnis dengan konsep baru. Dalam hal ini,
menuntut sejumlah kreativitas dan sebuah kemampuan untuk melihat pola-
pola dan trend-trend yang berlaku untuk menjadi seorang wirausahawan.
Namun, masih banyak yang kurang kreatif dan tidak berani mengambil resiko
untuk membuka dan mengelola usaha. Kreatif dan keberanian mengambil
resiko merupakan kepribadian wirausaha. Beberapa kepribadian wirausaha
lainnya seperti percaya diri, berorientasi pada hasil, kepemimpinan, kerja
keras, dan masih banyak lagi, akan mendukung terbentuknya sumberdaya
manusia yang mampu mengelola usaha.
Wirausahawan yang berhasil, salah satu kuncinya memiliki
kepribadian yang unggul. Kepribadian tersebut kadangkala membedakannya
dari kebanyakan orang. Gambaran ideal seorang wirausahawan adalah
orang yang dalam keadaan bagaimanapun daruratnya, tetap mampu berdiri
atas kemampuan sendiri untuk menolong dirinya keluar dari kesulitan yang
dihadapi, termasuk mengatasi kemiskinan tanpa bantuan siapapun. Bahkan
dalam keadaan yang biasa atau tidak darurat, mampu menjadikan dirinya
maju, kaya, berhasil lahir dan batin (Aprilianty, 2012). Linan dan Leon (2007)
berpendapat jika keputusan individu untuk menjadi seorang pengusaha

8
kadang-kadang diasumsikan tergantung pada ciri-ciri kepribadian, sedangkan
menurut Alma (2010) faktor yang paling mendorong untuk seseorang menjadi
wirausaha adalah adanya personal attributes dan personal environment.
Hasil-hasil penelitian menyebutkan bahwa minat wirausaha dipengaruhi oleh
potensi kepribadian wirausaha dan lingkungan.
Downey dan Erickson (1992) menjelaskan jika Wirausaha di bidang
pertanian sifatnya unik dan memerlukan penanganan yang lebih khusus
karena produk-produk yang dihasilkan berhubungan dengan prinsip dasar
dalam menjalankan bisnis yang dipengaruhi oleh karakteristiknya.
Karakteristik usaha di bidang pertanian antara lain: (1) keanekaragaman jenis
bisnis yang sangat besar pada sektor pertanian yaitu dari produsen dasar,
pengirim, perantara, pedagang borongan, pemroses, pengepak, pembuat
barang, usaha pergudangan, pengangkutan, lembaga keuangan, pengecer,
kongsi, bahan pangan, restoran—daftar ini hampir tidak ada akhirnya; (2)
cara pembentukan usaha pertanian di sekeliling pengusaha tani. Para
pengusaha tani ini menghasilkan bahan pangan dan sandang yang
merupakan bahan baku usaha pertanian; (3) keanekaragaman dalam hal
ukuran usaha pertanian, dari perusahaan raksasa sampai yang dikelola oleh
satu orang atau satu keluarga; (4) falsafah hidup tradisional yang dianut para
pekerja bidang pertanian cenderung membuat usaha pertanian lebih kolot
dibanding bisnis lainnya; (5) kenyataan bahwa badan usaha bidang pertanian
cenderung berorientasi pada keluarga. Suami dan istri sering sangat terlibat
baik pada tahap pengoperasian maupun tahap pengambilan keputusan bisnis
berdasarkan mitra kerja penuh (full-parnership); (6) kenyataan bahwa usaha
pertanian cenderung berorientasi pada masyarakat. Banyak diantaranya
berlokasi di kota kecil dan daerah pedesaan dimana hubungan antar-
perorangan penting dan ikatan bersifat jangka panjang; (7) kenyataan bahwa
usaha pertanian, bahkan yang sudah menjadi industri besar sekalipun sangat
bersifat musiman; (8) usaha pertanian berhubungan pula dengan gejala

9
alam. Kekeringan, banjir, hama, dan penyakit merupakan ancaman yang
tetap terhadap usaha pertanian; (9) dampak program dan kebijakan
pemerintah mengena langsung kepada usaha bidang pertanian.

Pendidikan dan Pengetahuan Kewirausahaan


Manfaat kewiruasahaan akan semakin tumbuh, berkembang, dan
meningkatkan minat masyarakat dengan adanya pendidikan kewirausahaan.
Adanya kesadaran ekonomi dan pembuatan kebijakan mengenai pendidikan
kewirausahaan menjadi elemen yang sangat penting dalam membangun
budaya berwirausaha dari suatu negara (Sousa et al., 2018). Relevansi
pendidikan kewirausahaan untuk menumbuhkan budaya dan aktivitas
wirausaha dapat diartikan secara luas. Kuratko (2005) menganggap bahwa
semakin banyaknya program kewirausahaan dan kursus baik dalam sistem
pendidikan atau pelatihan, serta peningkatan jumlah guru dan pelatih
wirausaha adalah bukti nyata dari pengakuan pentingnya pendidikan
kewirausahaan. Hindle (2007) setuju dengan Kuratko dan membenarkan jika
dari dari aspek fundamental dan perspektif logika, tidak ada alasan selain
mengajarkan kewirausahaan di dalam kelas.
Pendidikan kewirausahaan harus memberikan kemampuan untuk
menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Pendidikan kewirausahaan
harus mampu menjawab munculnya pertanyaan mengapa wirausahawan
mempunyai cara berpikir yang berbeda dari manusia pada umumnya.
Dimana wirausahawan harus mempunyai minat, panggilan jiwa, persepsi dan
emosi yang terkait dengan nilai-nilai, sikap dan perilaku sebagai manusia
unggul (Taromina dan Lao, 2007). Raposo dan Paco (2011) berpendapat jika
pendidikan wirausaha harus lebih berpusat kepada pelatihan sikap soft skills
daripada keterampilan teknis atau hard skills, sebab hal tersebut lebih
relevan dan akan membangun persepsi mahasiswan tentang hambatan

10
bisnis yang mungkin terjadi serta kesiapan mereka dalam menciptakan bisnis
baru.
Zeng dan Honig (2016) memberikan perspektif yang berfokus kepada
latar belakang dan pengalaman mahasiswa. Berdasarkan penelitian teoritis
tersebut, dijelasan bahwa mahasiswa tidak seharusnya diperlakukan sebagai
suatu kelompok yang homogen, sebab setiap mahasiswa memiliki kebutuhan
dan konten pendidikan yang berbeda dan strategi dalam mengajarkan
kewirausahaan harus disesuaikan dengan profil yang berbeda tersebut.
Kategori mahasiswa yang dikelompokkan oleh Zeng dan Honig antara lain:
(1) Mahasiswa tanpa pengalaman kewiruausahaan, (2) Mahasiswa dengan
pengalaman kewirausahaan, dan (3) Mahasiswa yang sedang menjalani
bisnis wirausaha. Berdasarkan kategori tersebut, diperlukan perlakuan yang
berbeda dalam suatu pendidikan kewirausahaan dimana akan berkaitan
dengan efektivitas dan objektivitas pelaksanaan pendidikan kewirausahaan.
Pengetahuan kewirausahaan memiliki peran penting bagi tumbuhnya
minat wirausaha dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori. Menurut Alcade et
al., (2002) cit Nursito dan Nugroho (2013), kategori tersebut antara lain,
Entrepreneurial awareness education, dimana kategori pengetahuan ini
memiliki tujuan untuk meningkatkan jumlah orang yang memiliki pengetahuan
yang memadai tentang kewirausahaan. Pengetahuan ini mengarahkan ke
satu elemen yang menentukan minat, misalnya pengetahuan, keinginan
maupun kemungkinan untuk melakukan kegiatan kewirausahaan. Kategori
kedua adalah education for start-up, kategori pengetahuan kewirausahaan
yang difokuskan pada aspek praktik yang spesifik pada tahap permulaan
usaha, misalnya bagaimana mendapatkan modal usaha, aspek legalitas
wirausaha dan lain-lain. Kategori ketiga adalah education for entrepreneurial
dynamism, tujuan dari Pengetahuan kewirausahaan kategori ini adala tidak
alagi untuk menumbuhkan minat akan tetapimengembangkan perilakku yang
dinamis untuk memajukan kegiatan kewirausahaan yang telah dilalukan.

11
Kategori pengetahuan kewiraushaan yang terakhir adalah continuing
education for entrepreneur. Kategori Pengetahuan kewirausahaan ini
difokuskan untuk meningkatkan kemampuan wirausahan yang telah ada.
Hisrich (2008) menambahkan, pengetahuan kewirausahaan adalah
dasar dari sumber daya kewirausahaan yang terdapat didalam diri individu.
Terdapat beberapa bentuk pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang
wirausahawan menurut Suryana (2008) yaitu: pengetahuan mengenai usaha
yang akan dirintis dan pengetahuan akan lingkungan usaha di sekitarnya
yang akan mempengaruhi kegiatan wirausaha; pengetahuan tentang peran
dan tanggung jawab; pengetahuan tentang kepribadian dan tanggung jawab;
dan pengetahuan yang terkahir adalah pengetahuan tentang manajemen dan
organisasi bisnis.

Intensi Berwirausaha
Intensi bersasal dari kata to intent dan diartikan sebagai usaha yang
disadari untuk mencapai suatu tujuan atau sasaran yang telah di definisikan
secara jelas. Intensi dapat pula dimaknai sebagai sebuah niat (Zainuddin dan
Hidayat, 2008). Ajzen (1991) melalui Theory of Planned Behaviour (TPB)
dengan tegas menyatakan bahwa intensi merupakan kajian penting yang
patut untuk terus dikaji. Intensi sangat ditentukan oleh tiga determinan
penting yaitu sikap terhadap prilaku, norma subjektif dan kontrol prilaku.
Tjahjono dan Ardi (2010) menemukan beberapa unsur sikap yang terdapat
dalam model Theory of Planned Behavior (TPB) dari Fishbein dan Ajzen
berpengaruh terhadap niat kewirausahaan mahasiswa. Unsur-unsur sikap
yang terdapat dalam TPB mencakup autonomy/authority, economic
challenge, self realization, dan perceived confidence, security & workload,
avoid responsibility, dan social career.
Pengukuran terhadap intensi kewirausahaan pada mahasiswa di
berbagai negara menunjukan hasil yang beragam. Indarti dan Rostiani (2008)

12
menjelaskan bahwa tingkat intenti kewirausahaan mahasiswa Indonesia
sebagai negara berkembang signifikan lebih tinggi dibandingkan mahasiswa
Jepang dan Norwegia sebagai negara maju. Hal tersebut bukan menjadi
suatu yang mengejutkan sebab wirausaha di Jepang menghadapi banyak
kesulitan khususnya pada saat mendirikan usaha baru. Orang Jepang tidak
menganggap negara mereka sebagai negara yang mendukung
kewirausahaan. Peraturan pemerintah yang ketat, dominasi kelompok
korporat besar di majoritas sektor industri, bank yang cukup konservatif, dan
sedikitnya modal bagi pendiri bisnis telah menurunkan semangat mereka
yang ingin menjadi wirausaha. Selain itu, budaya menghindari risiko yang
masih berkembang dan penilaian yang lebih tinggi pada mereka yang bekerja
di perusahaan masih dirasa cukup menghambat munculnya semangat
wirausaha di Jepang.
Intensi dalam kajian Agus Wibowo (2017), merupakan posisi
seseorang dalam dimensi probabilitas subjektif yang melibatkan suatu
hubungan antara dirinya dengan beberapa tindakan. Intensi merupakan
faktor motivasional yang mempengaruhi tingkah laku. Intensi dipandang
sebagai ubahan yang paling dekat dari individu untuk melakukan perilaku,
maka dengan demikian intensi dapat dipandang sebagai hal yang khusus
dari keyakinan yang obyeknya selalu individu dan atribusinya selalu perilaku.
Sanjaya (2007) dengan tegas menyatakan bahwa intensi memainkan
peranan yang khas dalam mengarahkan tindakan, yakni menghubungkan
antara pertimbangan yang mendalam yang diyakini dan diinginkan oleh
seseorang dengan tindakan tertentu. Selanjutnya intensi adalah
kesungguhan niat seseorang untuk melakukan perbuatan atau memunculkan
suatu perilaku tertentu. Maka intensi kewirausahaan dapat diartikan sebagai
niat atau keinginan yang ada pada diri seseorang untuk melakukan suatu
tindakan wirausaha (Tony Wijaya, 2007).

13
Senada dengan Wijaya (2007), Indarti & Kristiansen (2003)
menyatakan bahwa intensi wirausaha seseorang terbentuk melalui tiga tahap
yaitu motivasi (motivation), kepercayaan diri (belief) serta ketrampilan dan
kompetensi (Skill & Competence). Setiap individu mempunyai keinginan
(motivasi) untuk sukses. Individu yang memiliki need for achievement yang
tinggi akan mempunyai usaha yang lebih untuk mewujudkan apa yang
diinginkannya. Kebutuhan akan pencapaian membentuk kepercayaan diri
(belief) dan pengendalian diri yang tinggi (locus of control). Pengendalian diri
yang tinggi terhadap lingkungan memberikan individu keberanian dalam
mengambil keputusan dan risiko yang ada. Selanjutnya, Tony Wijaya (2007)
sampai pada kesimpulan bahwa individu akan mempunyai kepercayaan atas
kemampuannya dan kompetensinya dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Individu yang merasa memiliki self efficacy yang tinggi akan memiliki intensi
yang tinggi untuk kemajuan diri melalui kewirausahaan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, Dewi dan Wibowo (2017)
menjelaskan bahwa intensi berwirausaha merupakan keinginan, niat, atau
tekad yang kuat terhadap dirinya sendiri untuk melakukan tindakan menjadi
wirausaha. Intensi berwirausaha ini dapat diperas menjadi beberapa indikator
yaitu: (1) keyakinan diri untuk menjadi seorang wirausaha; (2) memilih karir
sebagai wirausaha akan lebih baik jika dibandingkan bekerja sebagai
karyawan; (3) mencari segala informasi tentang kewirausahaan dan rela
mengeluarkan dana; (4) mengikuti pelatihan-pelatihan kewirausahaan; (5)
memperluas jaringan sosial untuk menjadi wira-usahawan sukses, dan (6)
mencari segala informas tentang bagaimana memperoleh dana.

Self Efficacy
Self Efficacy atau Efikasi diri dikenalkan oleh Bandura (1986) melalui
Teori Pembelajaran Sosial. Bandura mendefinisikan efikasi diri sebagai
kepercayaan seseorang atas kemampuan dirinya untuk menyelesaikan suatu

14
pekerjaan. Atau dengan kata lain, kondisi motivasi seseorang yang lebih
didasarkan pada apa yang mereka percaya daripada apa yang secara
objektif benar. Persepsi pribadi seperti ini memegang peranan penting dalam
pengembangan intensi seseorang. Efikasi diri mempengaruhi kepercayaan
seseorang pada tercapai atau tidaknya tujuan yang sudah ditetapkan (Indarti,
2008). Alwisol (2011) menjelaskan jika efikasi diri adalah persepsi diri sendiri
mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Efikasi
diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan
melakukan tindakan yang diharapkan. Efikasi diri berbeda dengan cita-cita
karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya dapat
dicapai, sedangkan efikasi diri menggambarkan penilaian kemampuan diri.
Lebih rinci, Bandura (1986) cit Indarti (2008) menjelaskan empat cara
untuk mencapai efikasi diri. Pertama, pengalaman sukses yang terjadi
berulang-ulang. Cara ini dipandang sebagai cara yang sangat efektif untuk
mengembangkan rasa yang kuat pada efikasi diri. Kedua, pembelajaran
melalui pengamatan secara langsung. Dengan cara ini, seseorang akan
memperkirakan keahlian dan perilaku yang relevan untuk dijadikan contoh
dalam mengerjakan sebuah tugas. Penilaian atas keahlian yang dimilikinya
juga dilakukan, untuk mengetahui besar usaha yang harus dikeluarkan dalam
rangka mencapai keahlian yang dibutuhkan. Ketiga, persuasi sosial seperti
diskusi yang persuasif dan balikan kinerja yang spesifik. Dengan metode ini,
memungkinkan untuk menyajikan informasi terkait dengan kemampuan
seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Keempat, penilaian
terhadap status psikologis yang dimiliki. Hal ini berarti bahwa seseorang
sudah seharusnya meningkatkan kemampuan emosional dan fisik serta
mengurangi tingkat stres.
Kajian para ahli terhadap efikasi diri, menghasilkan banyak temuan,
salah satunya, efikasi diri didefinisikan sebagai keyakinan bahwa seseorang
dapat menguasai suatu situasi dan menghasilkan berbagai hasil positif.

15
Rustika (2012) menjelaskan jika efikasi diri memegang peran yang sangat
penting dalam kehidupan sehari-hari, seseorang akan mampu menggunakan
potensi dirinya secara optimal apabila efikasi diri mendukungnya. King (2012)
memberikan definisi terhadap efikasi diri, dimana efikasi diri adalah keyakinan
bahwa seseorang dapat menguasai suatu situasi dan menghasilkan berbagai
hal positif. Efikasi diri membantu orang-orang dalam berbagai situasi yang
tidak memuaskan dan mendorong mereka untuk meyakini bahwa mereka
dapat berhasil.
Pada teori Pembelajaran Sosial, efikasi diri menjadi konstruksi utama
dalam mengidentifikasi keyakinan pada diri sendiri. Dengan demikian, efikasi
diri terhadap kewirausahaan mengacu pada kepercayaan individu serta
kemampuan mereka untuk berhasil mengembangkan tugas kewirausahaan.
Kemandirian kewirausahaan menjadi salah satu elemen yang paling sering
dianalisis untuk menjelaskan niat berwirausaha (Rosique-Blasco et al., 2017).
Zhang et al., (2014) menjelaskan jika pendidikan kewirausahaan dapat
meningkatkan intensi kewirausahaan. Sementara (Puni et al., 2018)
menambahkan jika, kewirausahaan banyak melibatkan pengambilan resiko
dan mengelola kesulitan, persepsi tersebut dapat membatasi pendidikan
kewirausahaan dan mempengaruhi intensi kewirausahaan. Sehingga untuk
mengatasinya diperlukan sumber daya psikologis yang positif dan motivasi
yang kuat. Modal psikologi tersebut dinamakan Self Efficacy atau efikasi diri
yang secara empiris dapat menjadi mediator hubungan antara pendidikan
kewirausahaan dan intensi kewirausahaan.
Efikasi diri diukur dengan indikator kepercayaan diri akan kemampuan
mengelola suatu usaha, kepemimpinan sumber daya manusia, kematangan
mental dalam usaha, dan merasa mampu memulai usaha (Andika dan
Madjid, 2012). Hal tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh
Indarti dan Rostiani (2008) yang dilakukan pada mahasiswa Indonesia,
Jepang dan Norwegia, menemukan bahwa faktor paling dominan yang

16
memengaruhi intensi berwirausaha mahasiswa Indonesia adalah self efficacy
(Vemmy, 2012). Self efficacy penting untuk diteliti, hal ini dikarenakan
berdasarkan observasi mahasiswa yang memiliki self efficacy maka mereka
memiliki keyakinan yang tinggi dalam menyelesaikan pekerjaannya di kuliah
maupun di luar perkuliahan. Selain itu, mahasiswa akan memiliki keyakinan
bahwa mereka mampu untuk bersaing dalam dunia usaha atau
berwirausaha. Self efficacy memiliki peran penting dalam mengatasi sebuah
masalah yang dihadapi oleh individu ketika mereka berwirausaha nantinya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri terbukti memengaruhi kesiapan
mahasiswa (Indarti & Rostiani, 2008).

Revolusi Industri 4.0


Istilah Industri 4.0 lahir dari ide revolusi industri ke empat. European
Parliamentary Research Service dalam Davies (2015) menyampaikan bahwa
revolusi industri terjadi empat kali. Revolusi industri pertama terjadi di Inggris
pada tahun 1784 di mana penemuan mesin uap dan mekanisasi mulai
menggantikan pekerja-an manusia. Revolusi yang kedua terjadi pada akhir
abad ke-19 di mana mesin-mesin produksi yang ditenagai oleh listrik
digunakan untuk kegiatan produksi secara masal. Penggunaan teknologi
komputer untuk otomasi manufaktur mulai tahun 1970 menjadi tanda revolusi
industri ketiga. Saat ini, perkembangan yang pesat dari teknologi sensor,
interkoneksi, dan analisis data memunculkan gagasan untuk
mengintegrasikan seluruh teknologi tersebut ke dalam berbagai bidang
industri. Gagasan inilah yang diprediksi akan menjadi revolusi industri yang
berikutnya. Angka empat pada istilah Industri 4.0 merujuk pada revolusi yang
ke empat. Industri 4.0 merupakan fenomena yang unik jika dibandingkan
dengan tiga revolusi industri yang mendahuluinya. Industri 4.0 diumumkan
secara apriori karena peristiwa nyatanya belum terjadi dan masih dalam
bentuk gagasan (Drath dan Horch, 2014).

17
Istilah Industri 4.0 sendiri secara resmi lahir di Jerman tepatnya saat
diadakan Hannover Fair pada tahun 2011 (Kagermann et al., 2011). Negara
Jerman memiliki kepentingan yang besar terkait hal ini karena Industri 4.0
menjadi bagian dari kebijakan rencana pembangunannya yang disebut High-
Tech Strategy 2020. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahan-kan
Jerman agar selalu menjadi yang terdepan dalam dunia manufaktur (Heng,
2013). Beberapa negara lain juga turut serta dalam mewujudkan konsep
Industri 4.0 namun menggunakan istilah yang berbeda seperti Smart
Factories, Industrial Internet of Things, Smart Industry, atau Advanced
Manufacturing. Meski memiliki penyebutan istilah yang berbeda, semuanya
memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan daya saing industri tiap
negara dalam menghadapi pasar global yang sangat dinamis. Kondisi
tersebut diakibatkan oleh pesatnya perkembangan pemanfataan teknologi
digital di berbagai bidang (Prasetyo, 2018)
Rüßmann et al., (2015) berpendapat jika kehadiran revolusi industri
4.0 memiliki manfaat untuk perbaikan produktivitas, mendorong pertumbuhan
pendapatan, peningkatan kebutuhan tenaga kerja terampil, dan peningkatan
investasi. Sejalan dengan Rüßmann, Kagermann (2013) berpendapat bahwa
revolusi industri 4.0 mampu memenuhi kebutuhan pelanggan secara individu,
proses rekayasa dan bisnis menjadi dinamis, pengambilan keputusan
menjadi lebih optimal, melahirkan model bisinis baru dan cara baru dalam
mengkreasi nilai tambah. Prasetyo (2018) merangkum jika sebagian besar
pendapat mengenai potensi manfaat Industri 4.0 adalah mengenai perbaikan
kecepatan-fleksibilitas produksi, peningkatan layanan kepada pelanggan dan
peningkatan pendapatan. Terwujudnya potensi manfaat tersebut akan
memberi dampak positif terhadap perekonomian suatu negara.
Industri 4.0 memang menawarkan banyak manfaat, namun juga
memiliki tantangan yang harus dihadapi. Drath dan Horch (2014)
berpendapat bahwa tantangan yang dihadapi oleh suatu negara ketika

18
menerapkan Industri 4.0 adalah munculnya resistansi terhadap perubahan
demografi dan aspek sosial, ketidakstabilan kondisi politik, keterbatasan
sumber daya, risiko bencana alam dan tuntutan penerapan teknologi yang
ramah lingkungan. Jian Qin et al., (2016) menjelaskan, terdapat kesenjangan
yang cukup lebar dari sisi teknologi antara kondisi dunia industri saat ini
dengan kondisi yang diharapkan dari Industri 4.0. Penelitian yang dilakukan
oleh Balasingham (2016) juga menunjukkan adanya faktor keengganan
perusahaan dalam menerapkan Industri 4.0 karena kuatir terhadap
ketidakpastian manfaatnya.
Berdasar beberapa penjelasan tersebut maka sesuai dengan yang
disampaikan oleh Zhou et al., (2015), secara umum ada lima tantangan besar
yang akan dihadapi yaitu aspek pengetahuan, teknologi, ekonomi, social, dan
politik. Guna menjawab tantangan tersebut, diperlukan usaha yang besar,
terencana dan strategis baik dari sisi regulator (pemerintah), kalangan
akademisi maupun praktisi. Kagermann et al., (2013) menyampaikan
diperlukan keterlibatan akademisi dalam bentuk penelitian dan
pengembangan untuk mewujudkan Industri 4.0. Menurut Jian Qin et al.,
(2016) roadmap pengembangan teknologi untuk mewujudkan Industri 4.0
masih belum terarah. Hal ini terjadi karena Industri 4.0 masih berupa
gagasan yang wujud nyata dari keseluruhan aspeknya belum jelas sehingga
dapat memunculkan berbagai kemungkinan arah pengembangan.
The McKinsey Global Institute (2017) memperkirakan bahwa 50% dari
lapangan pekerjaan berpotensi untuk diotomatisasi dengan mengadaptasi
teknologi baru. Meskipun kurang dari 5% pekerjaan dapat sepenuhnya
otomatis, namun 60% dapat memiliki 30% atau lebih dari kegiatan mereka
dapat diotomatisasi secara teknis. Diperkirakan sebesar 57% sektor agrikultur
memiliki potensi untuk di otomatisasi, lebih rendah setelah sektor akomodasi
dan pelayanan makanan, manufaktur, serta transportasi. Sementara Hamdan
(2018) berpendapat bahwa revolusi model bisnis di Era Industri 4.0

19
memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat, sebab
pada era ini masyarakat tidak pernah merasa puas dengan hasil yang
dicapainya sehingga berupaya secara terus menerus melakukan inovasi.
Ketiga model monopolistik kapitalisme baru, dimana model bisnis
perusahaan perusahaan pada era ini menganut paham ekonomi berbagi
(sharing economy) sehingga dipersepsikan dapat menjadi solusi kesenjangan
ekonomi.
Tantangan baru dunia kerja di era revolusi industri 4.0 adalah integrasi
pemanfaatan internet dengan lini produksi yang memanfaatkan kecanggihan
teknologi dan informasi. Karakteristik revolusi industri 4.0 ini meliputi
digitalisasi, optimalisasi dan kustomisasi produksi, otomasi dan adapsi,
interaksi antara mesin-manusia, nilai tambah jasa dan bisnis, automatic data
exchange and communication, dan penggunaan teknologi internet.
Tantangan tersebut, harus dapat diantisipasi melalui transformasi pasar kerja
Indonesia dengan mempertimbangkan perubahan iklim bisnis dan industri,
perubahan jabatan structural yang terjadi pada organisasi dan kebutuhan
ketrampilan. Salah satu faktor yang penting adalah keterampilan dan
kompetensi yang harus tetap secara konsisten perlu ditingkatkan sesuai
kebutuhan pasar kerja yang semakin berkembang pesat. Oleh karena itu,
dunia pendidikan dan dunia industri harus dapat mengembangkan industrial
transformation strategy. Salah satunya dengan mempertimbangkan
perkembangan sektor ketenagakerjaan karena transformasi industri akan
berhasil dengan adanya tenaga kerja yang kompeten (Haryono, 2018).

20
LANDASAN TEORI DAN KETERANGAN EMPIRIS

Landasan Teori
Revolusi industri 4.0 membawa konsep penggabungan teknologi
digital dan internet dengan industri konvensional yang bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan layanan konsumen secara
signifikan. Fenomena rendahnya minat dan motivasi pemuda Indonesia untuk
berwirausaha menjadi pemikiran serius berbagai pihak, baik pemerintah,
dunia pendidikan, dunia industri, maupun masyarakat. Dengan perubahan
lingkungan bisnis global menuju era digital atau Revolusi Industri 4.0,
perusahaan dan organisasi nirlaba di Indonesia perlu beradaptasi dan
menyelaraskan strategi dengan modal insani organisasinya Oleh karena itu,
program pembelajaran kewirausahaan merupakan salah satu strategi yang
penting untuk mengubah kecenderungan seseorang sebagai job seeker
menjadi job creator diiwaktu mendatang. Salah satu faktor yang dapat
meningkatkan kesiapan berwirausaha adalah self efficacy yang merupakan
penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri atau tingkat keyakinan
mengenai seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas
untuk mencapai hasil tertentu.
Berdasarkan hal tersebut penelitian ini menganggap bahwa self
efficacy mampu memengaruhi intensi berwirausaha khususnya dalam
bidang peternakan di era revolusi industri 4.0. Maka dari itu, perlunya untuk
peningkatan mengenai intensi berwirausaha yang tertanam di dalam diri
mahasiswa. Hal ini dirasa penting dikarenakan intensi merupakan prediktor
yang tepat untuk menilai perilaku seseorang dalam berwirausaha. Pentingnya
penelitian yang berkaitan dengan minat berwirausaha dan self efficacy yaitu
untuk mengetahui apakah variabel tersebut dapat mengubah kesiapan
mahasiswa dalam berwirausaha di era revolusi industri 4.0, sehingga produk-

21
produk yang dihasilkan mahasiswa khususnya mahasiswa Fakultas
Peternakan sesuai yang diharapkan pada era revolusi industri 4.0.

Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara intensi
berwirausaha dan self efficacy serta pengaruh keduanya dari mahasiswa
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada di era revolusi industri 4.0.

22
METODE PENELITIAN

Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian jenis survei korelasional yang
mempelajari hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Menurut
Singarimbun dan Efendi (2008) menjelaskan penelitian survei adalah
penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan
kuisioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Survei merupakan studi
yang bersifat kuantitatif yang digunakan untuk meneliti gejala suatu kelompok
atau perilaku individu. Dalam penelitian ini penelitian survei dipilih karena
dianggap paling efektif dan efisien untuk mendapatkan data yang tepat dan
akurat tentang informasi intensi berwirausaha dan self efficacy mahasiswa
Fakultas Peternakan UGM di era Revolusi Industri 4.0.

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2018. Penelitian
dilakukan dalam tiga tahap yaitu: 1) tahap pra-penelitian yang meliputi
penyiapan kuesioner dan pemilihan responden; 2) pengambilan data; 3)
tabulasi dan analisis data penelitian serta pembuatan laporan. Penelitian
dilaksanakan di Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Populasi dan Sampel Penelitian


Penelitian ini menggunakan sampel sebagai responden penelitian.
Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa aktif program studi Ilmu dan
Industri Peternakan Universitas Gadjah Mada. Penentuan sampel dalam
penelitian ini menggunakan teknik proportional stratified random sampling.
Perhitungan sampel dihitung menggunakan teknik pengambilan sampel
dengan rumus dari slovin dengan toleransi 0,05 sebagai berikut:

23
𝑁
𝑛=
1 + 𝑁. (𝑒)2
Keterangan:
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
e = batas toleransi kesalahan (0,05)

Jumlah mahasiswa aktif Fakultas Peternakan pada tahun ajaran


2018/2019 sebanyak 1116 mahasiswa. Setelah dihitung menggunakan
rumus slovin didapatkan sampel untuk penelitian ini sebanyak 295
mahasiswa. Pembagian sampel dalam penelitian ini adalah jumlah
mahasiswa pada masing-masing tahun angkatan, dibagi jumlah total populasi
kemudian dikalikan jumlah sampel. Adapun rinciannya sebagai berikut:
Tabel 1. Pembagian sampel tiap angkatan
Tahun Angkatan Jumlah Mahasiswa Pembagian Sampel Jumlah sampel
2014 150 150/1116 x 295
2015
2016
2017
2018
Jumlah 1116 295

24
Variabel Penelitian
Penelitian ini melibatkan dua variabel yang berkaitan dengan
permasalahan yang ada. Kedua variabel tersebut adalah:
1. Variabel bebas, yaitu self efficacy atau efikasi diri (X)
2. Variabel terikat, yaitu intensi berwirausaha (Y)
Adapun hubungan kedua variabel tersebut digambarkan sebagai
berikut:

X Y

Gambar 4. Hubungan antar variabel


Keterangan:
X : Self Efficacy / Efikasi diri
Y : Intensi Berwirausaha
: Pengaruh efikasi diri terhadap intensi berwirausaha

Definisi Operasional Variabel Penelitian


Berikut ini definisi operasional untuk setiap variabel penelitian yang
dilakukan, antara lain:
1. Self Efficacy / Efikasi diri
Self efficacy atau efikasi diri merupakan keyakinan yang dimiliki
oleh seseorang. Seseorang yang memiliki efikasi diri tinggi dalam hal
kewirausahaan akan memiliki keinginan yang kuat untuk
berwirausaha. Pada penelitian ini efikasi diri dalam berwirausaha
diukur dengan indikator kepercayaan diri akan kemampuan mengelola
suatu usaha, kepemimpinan dalam memulai usaha.
2. Intensi Berwirausaha
Intensi berwirausaha diartikan sebagai keinginan atau niat yang
ada pada diri seseorang menampilkan perilaku berwirausaha yang
dapat dilihat dari niatan individu untuk dapat menanggung resiko,

25
memanfaatkan peluang, menjadi seorang yang kreatif dan mandiri
serta mampu mengolah sumber daya yang ada. Intensi berwirausaha
pada era revolusi industri 4.0 diukur berdasarkan pengetahuan dan
kesiapan bisnis peternakan yang memanfaatkan teknologi digital,
perencanaan memulai bisnis, dan implementasi yang akan dilakukan.

Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan untuk memenuhi kebutuhan data dengan
metode sebagai berikut:
1. Observasi
Observasi merupakan pengumpulan data dengan cara mengamati
langsung terhadap objek yang diteliti di lapangan.
2. Wawancara
Wawancara (interview) merupakan teknik pengumpulan data dengan
mengajukan pertanyaan secara langsung kepada responden atau
percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu melalui
tanya jawab.
3. Kuesioner
Kuesioner atau angket merupakan teknik pengumpulan data melalui
daftar pertanyaan yang telah disiapkan yang berisi pertanyaan-
pertanyaan yang akan diajukan secara tertulis kepada seseorang atau
responden dan sekumpulan orang-orang untuk mendapatkan jawaban,
tanggapan dan informasi tersebut dibutuhkan oleh peneliti (Mardalis,
2008).
4. Studi pustaka
Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data yang digunakan
untuk memperoleh data sekunder yang terkait dengan penelitian. Studi
pustaka terkait bisa diperoleh dari buku, jurnal, internet, dan sumber
pustaka lainnya.

26
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini menggunakan alat ukur dengan modifikasi dari
skala Likert dengan 4 skala pengukuran, yaitu SS= sangat sesuai, S= sesuai,
TS= tidak sesuai, STS= sangat tidak sesuai. Skala pengukuran untuk
memberikan bobot penilaian terhadap variabel intensi berwirausaha dan self
efficacy menggunakan model bertingkat dengan 4 alternatif jawaban.
Bobot penilaian untuk setiap jawaban pernyataan adalah sebagai berikut:
a. Jawaban Sangat Sesuai diberi nilai 4
b. Jawaban Sesuai diberi nilai 3
c. Jawaban Tidak Sesuai diberi nilai 2
d. Jawaban Sangat Tidak Sesuai diberi nilai 1
Agar penyusunan instrumen menjadi mudah, di bawah ini ditampilkan
dalam kisi kisi instrumen penelitian berikut:
Tabel 2. Kisi-kisi instrumen penelitian
Variabel Indikator No. Butir Jumlah
Pertanyaan
Intensi Berwirausaha Sikap --- Xi
Norma Subyektif --- Xi
Kontrol Perilaku --- Xi
Efikasi Diri Kepercayaan diri untuk -- Xi
kemampuan mengelola
usaha
Kepemimpinan dalam --- Xi
memulai usaha
Total ---

Skala intensi berwirausaha yang digunakan untuk mengukur apakah


subyek memiliki intensi untuk membangun usaha berdasarkan Theory of
Planned Behaviour yang sudah terbukti mampu untuk menggambarkan
intensitas. Skala ini mengacu pada 3 antesenden dari Ajzen (1991), yaitu:
a. Sikap terhadap berwirausaha: Menunjukan tingkatan dimana
seseorang mempunyai evaluasi yang baik atau kurang baik tentang

27
suatu perilaku berwirausaha. Sikap terhadap perilaku berwirausaha
terbentuk dari:
1) Keyakinan terhadap perilaku berwirausaha (behavioral belief),
merupakan komponen yang berisikan aspek pengetahuan tentang
hal-hal yang terkait dengan perilaku berwirausaha.
2) Evaluasi atas akibat atau konsekuensi yang muncul di perilaku
berwirausaha.
b. Keyakinan norma subjektif terhadap berwirausaha: merupakan faktor
sosial yang menunjukan tekanan sosial yang dirasakan seseorang
untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan berwirausaha.
Norma subjektif terbentuk oleh:
1) Keyakinan normatif (normatif belief), berisikan aspek pengetahuan
tentang sesuatu yang merupakan pandangan orang lain sebagai
referen. Contohnya orang tua, guru, teman, dan lain sebagainya.
2) Kemauan menuruti saran orang lain yang dianggap sebagai
referen (motivation to comply)
c. Persepsi kontrol perilaku berwirausaha: menunjukan tingkatan
kemudahan atau kesukaran seseorang untuk melakukan tindakan
yang dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan hambatan yang
dipertimbangkan oleh orang tersebut.
Kontrol keprilakuan yang dirasakan terbentuk dari:
1) Keyakinan kontrol (control belief), berisikan tentang sesuatu yang
memudahkan atau menyulitkan untuk menampilkan atau tidak
menampilkan intensi berwirausaha.
2) Kekuatan kontrol (power of control belief), berisikan persepsi untuk
melakukan atau tidak melakukan perilaku berwirausaha.

28
Pengujian instrumen
Intrumen yang digunakan pada penelitian ini menggunakan kuesioner
yang terlebih dahulu diuji meliputi uji validitas dan reliabilitas. Singarimbun
dan Effendi (2008), menyatakan bahwa sangat disarankan agar jumlah
responden untuk uji coba kuesioner minimal adalah 30 orang sehingga
distributor skor yang diperoleh akan mendekati kurva normal.
Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas yang
tinggi. Sebaliknya instrumen yang kurang valid apabila tidak mampu
mengukur segala sesuatu yang diinginkan. Tinggi rendahnya validitas
instrumen menunjukan keadaan data yang terkumpul tidak menyimpang dari
gambaran tentang validitas yang dimaksud (Arikunto, 2010).
Sugiyono (2010), menyatakan untuk mengetahui validitas kuesioner
dapat menggunakan rumus korelasi product momen Pearson, yaitu :

n(Σxy − (ΣxΣy))
𝑟=
(√nΣx2) − (Σx)2(Σy2 − (Σy)2)

r = Angka korelasi product moment


x = Skor masing – masing variabel
y = Skor total
n = Jumlah responden
Hasil pengukuran dinyatakan valid jika r.xy hitung > r tabel

Analisis Data
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa
angket. Instrumen telah divalidasi dengan uji validitas dan reliabilitas.
Kemudian dilakukan uji coba kepada 30 mahasiswa untuk menghitung
validitas dan reliabilitas butir soal, sebelum disebar untuk penelitian. Setelah

29
memperoleh data penelitian, dilakukan analisis data berupa analisis deskriptif
dan analisis inferensial.
Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan data yang telah
terkumpul, sedangkan analisis inferensial digunakan untuk menguji hipotesis
yang telah diajukan dan membuat generalisasi data sampel. Analisis
inferensial dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linier. Sebelum
melakukan analisis regresi linier, dilakukan uji prasyarat analisis, yaitu (1) uji
normalitas, (2) uji linieritas, (3) uji autokorelasi, dan (4) uji heteroskedastisitas.
1. Uji normalitas, dilakukan untuk mengetahui apakah dalam model
regresi memiliki distribusi normal atau tidak. Uji normalitas dalam
penelitian ini menggunakan rumus Kolmogorov-Smirnov dengan
taraf signifikansi 0,05.
2. Uji linieritas, dilakukan untuk mengetahui apakah variabel dalam
penelitian ini memiliki hubungan yang linier. Uji linieritas inin
menggunakan test of linierity dengan taraf signifikansi 0,05.
3. Uji autokorelasi, dilakukan untuk melihat apakah ada keadaan
dimana terjadinya korelasi dari variabel untuk pengamatan satu
dengan pengamatan yang lain yang disusun menurut runtun waktu.
Uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin
Watson.
4. Uji heteroskedastisitas, dilakukan untuk melihat terjadinya
ketidaksamaan varian dari residual pada model regresi.

30
DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, Icek. 1991. “The Theory of Planned Behavior: Organizational Behavior
and Human Decision Process 50”. Journal of Psychology., 179-211
Alimudin, Arasy. 2015. Strategi Pengembangan Minat Wirausaha Melalui
Proses Pembelajaran. E-Jurnal Manajemen Kinerja. 1(01)
Alwisol. 2011. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Andika, M., & Madjid, I. 2012. Analisis Pengaruh Sikap, Norma Subjektif, dan
Efikasi Diri terhadap Intensi Berwirausaha pada Mahasiswa Fakultas
Ekonomi Universitas Syiah Kuala. Eco-Entrepreneurship, 1 (1), 190–
197. https://doi.org/10.1007/978-1-4419-0143-0.
Aprilianty, Eka. 2012. Pengaruh Kepribadian Wirausaha, Pengetahuan
Kewirausahaan, dan Lingkungan terhadap Minat Berwirausaha Siswa
SMK. Jurnal Pendidikan Vokasi: SMK Muh Pangkalan Bun, Kalimantan
Tengah Vol 2 No 3 pp 311 – 323.
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Badan Pusat Statistik. 2018. Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus
2018. BPS. No. 92/11/Th.XXI, 05 November 2018
Balasingham, K. (2016). Industry 4.0: Securing the Future for German
Manufacturing Companies. Master's Thesis. University of Twente.
Davies, R. 2015. Industry 4.0 Digitalisation for productivity and growth.
http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/BRIE/2015/568337/EPR
S_BRI(2015)568337_EN.pdf Diunduh pada 26 November 2018.
Downey, W.D. & Erickson, S.P. 1992. Manajemen Agribisnis. (Terjemahan
Rochidayat Ganda & Alfonsus Sirait). Jakarta: Penerbit Erlangga. (Buku
Asli Agribusiness Management diterbitkan tahun 1987)
Drath, R., & Horch, A. 2014. Industrie 4.0: Hit or hype?[industry forum]. IEEE
industrial electronics magazine, 8(2), pp. 56-58.
GEM, Global Entrepreneurship Monitor - 2016/2017 (2017). Global report.
GEM.
Hamdan. 2018. Industri 4.0: Pengaruh Revolusi Industri pada Kewirausahaan
demi Kemandirian Ekonomi. Jurnal Nusamba. 3(2). DOI
10.29407/nusamba.v3i2.12142
Hannes, Leroy. 2009. Gender Effects On Entrepreneurial Intentions: A Tpb
Multigroup Analysis At Factor And Indicator Level (online)
http://www.ondernemerschap.be/

31
Haryono, S. 2018. Re-Orientasi Pengembangan SDM Era Digital pada
Revolusi Industri 4.0. The National Conference on Management and
Business (NCMAB) 2018 . Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universoitas
Muhammadiyah Surakarta.
Heng, S. 2014. Industry 4.0: Upgrading of Germany's Industrial Capabilities
on the Horizon. https://ssrn.com/abstract=2656608, Diakses pada 26
November 2018
Hindle, K. 2007. Teaching entrepreneurship at university: from the wrong
building to the right philosophy. Handbook of research in
entrepreneurship education. Vol. 1. Handbook of research in
entrepreneurship education. pp. 104–126.
Hisrich, R.D., Peters, M.P., and Shepherd, D.A. 2008. Kewirausahaan Edisi
7. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : Salemba Empat.
Indarti, N., & Rostiani, R. 2008. Intensi Kewirausahaan Mahasiswa: Studi
Perbandingan Antara Indonesia, Jepang dan Norwegia Intensi. Jurnal
Ekonomika dan Bisnis Indonesia, 23(4), pp.1–27.
https://doi.org/10.22146/jieb.6316.
Kagermann, H., Lukas, W.D., & Wahlster, W. 2011. Industrie 4.0: Mit dem
Internet der Dinge auf dem Weg zur 4. industriellen Revolution.
http://www.vdi-nachrichten.com/Technik-Gesellschaft/Industrie-40- Mit-
Internet-Dinge-Weg-4-industriellen-Revolution, Diakses pada 26
November 2018.
King, Laura A. 2012. Psikologi Umum. (Alih Bahasa: Brian Marwendys).
Jakarta: Salemba Humanika.
Kuratko, D.F. 2005. The emergence of entrepreneurship education:
Development, trends, and challenges. Entrepreneurship Theory and
Practice, 29(5), 577–597.
Mardalis. 2008. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta:
Bumi Aksara.
Marini, C. K., & Hamidah, S. 2014. Pengaruh Self-Efficacy, Lingkungan
Keluarga dan Lingkungan Sekolah terhadap Minat Berwirausaha Siswa
SMK Jasa Boga. Jurnal Pendidikan Vokasi, 4(2), 195–207.
Nursito, S., Nugroho, Arif J.S. 2013. Analisis Pengaruh Interaksi
Pengetahuan Kewirausahaan dan Efikasi Diri terhadap Intensi
Kewirausahaan. Jurnal Kiat Bisnis. Fakultas Ekonomi Universitas Widya
Dharma Klaten. 05(03), 201-211.
OECD. 2012. Entrepreneurship at a glance 2012. Paris: OECD Publishing.

32
Ponco, D.K. Rr., Wibowo, Agus. 2017. Hubungan Kreativitas, Efikasi diri dan
Intensi Berwirausaha pada Mahasiswa. Fakultas Ekonomi Universitas
Negeri Jakarta. Jurnal Pendidikan Ekonomi dan Bisnis 5(02)
Prasetyo, Hadi., Sutopo, W. 2017. Perkembangan Keilmuan Teknik Industri
Menuju Era. Seminar Dan Konferensi Nasional IDEC 2017, 488–496.
Prasetyo, Hadi., Sutopo, W. 2018. Industri 4.0: telaah Klasifikasi Aspek dan
Arah Perkembangan Riset. Jurnal Teknik Industri. 13(1). 17-26
Puni, Albert., Anlesinya, Alex., Korsorku, Patience D A. 2018. Entrepreneurial
Education, self-efficacy and intentions in Sub-Saharan Africa. Journal
Management. University of Professional Studies, Accra, Ghana. DOI
10.1108/AJEMS-09-2017-0211
Qin, J., Liu, Y., & Grosvenor, R. 2016. A Categorical Framework of
Manufacturing for Industry 4.0 and Beyond. Procedia CIRP, Vol. 52, pp.
173-178.
Raymond, T. 2016. Industri 4.0: Revolusi Industri Abad Ini dan Pengaruhnya
pada Bidang Kesehatan dan Bioteknologi. Research Gate.
Rosique-blasco, M., Guijarro, Antonia., Perez de Lema, Domingo. 2017. The
Effects of Personal Abilities and Self-Efficacy on Entrepreneurial
Intentions. International Entrepreneur Management Journal.
CrossMark. DOI 10.1007/s11365-017-0469-0.
Rüßmann, M., Lorenz, M., Gerbert, P., Waldner, M., Justus, J., Engel, P. &
Harnisch, M. 2015. Industry 4.0: The future of productivity and growth in
manufacturing industries. Boston Consulting Group, p.14.
Rustika, Made I. 2012. Efikasi Diri: Tinjauan Teori Albert Bandura. Fakultas
Psikologi UGM. Buletin Psikologi. 20(2), pp 18 – 25
Sirine, Hani., Suharti L. 2011. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Niat
Kewirausahaan (Entrepreneurial Intention): Studi terhadap Mahasiswa
Universitas Kristen Setya Wacana, Salatiga. Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan. UKSW. 13(02) pp 124-134
Sousa, Jose M., Carmo M., Goncalves, Ana C., Cruz, Rui., Martins, Jorge M.
2018. Creating Knowledge and Entrepreneurial capacity for HE
Students with digital Education methodologies: Differences in the
perceptions of stdudent and entrepreneurs. Universidade Europeia,
Portugal. Journal of Business Research. ScienceDirect. 02(005)
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

33
Suryana 2008. Kewirausahaan : “Pedoman Praktis : Kiat dan Proses Menuju
Sukses”, Jakarta: salemba empat.
Taromina, R.J dan S. K-M Lao. 2007. Measuring Chinese Entrepreneurial
Motivation-Personality adn Environmental Influences International.
International Journal of Entrepreneurship Behavior and Research, 13(4).
200-211.
The McKinsey Global Institute. 2017. Global Economic Prospects, January
2017: Weak Investment in Uncertain Times, World Bank Group
Timmons, Jeffry A. & Spinelli, S., Jr. 2008. New Venture Creation.
Kewirausahaan untuk Abad 21. Yogyakarta: Andi. (Buku asli New
Venture Creation: Entrepreneurship for the 21st Century 6th ed.)
Tjahjono, H. K., Ardi, H. 2008. Kajian Niat Mahasiswa Manajemen Universitas
Muham-madiyah Yogyakarta untuk Menjadi Wira-usaha. Utilitas Jurnal
Manajemen dan Bisnis, 16(1): 46-63.
Tritularsih, Y., & Sutopo, W. 2017. Peran Keilmuan Teknik Industri Dalam
Perkembangan Rantai Pasokan Menuju Era Industri 4 . 0. Seminar dan
Konferensi Nasional IDEC, 507–517.
Vemmy, C. 2012. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Intensi Berwirausaha
Siswa SMK. Jurnal Pendidikan Vokasi, 2 (1), 117–126.
https://doi.org/10.1007/978-1-4419-0443-3.
Watson, W. T. 2017. Menyelaraskan Strategi dan Modal Insani Organisasi di
Era Revolusi Industri 4.0.
Wedayanti, N. P. A. A., & Giantari, I. G. A. K. 2016. Peran Pendidikan
Kewirausahaan Dalam Memediasi Pengaruh Norma Subyektif terhadap
Niat Berwirausaha. E-Jurnal Manajemen Unud, 5(1), 533–560.
Zainuddin, Z., Hidayat, R. 2008. Hubungan Intensi Pro-Sosial Pustakawan
dengan Kepuasan Pengguna pada Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah (Baperasda) Provinsi Sumatera Utrara. Jurnal Perpustakaan
dan Indormasi 2(4).
Zhang, Y., Duysters, G. and Cloodt, M. 2014, “The role of entrepreneurship
education as a predictor of university students entrepreneurial intention”,
International Entrepreneurship and Management Journal, 10(3), pp.
623-641.
Zhou, K., Taigang L., & Lifeng, Z. 2015. Industry 4.0: Towards future
industrial opportunities and challenges. In Fuzzy Systems and
Knowledge Discovery (FSKD), IEEE 12th International Conference, pp.
2147-2152.

34

Anda mungkin juga menyukai