Anda di halaman 1dari 86

Kata Pengantar

Bismillah, Alhamdulillah puji syukur hanya untuk Alloh Azza Wa Jalla atas
limpahan rahmat dan ridho-Nya. Salam dan sholawat semoga tercurah kepada
panutan Rosululloh Muhammad shollallohu alaihi wa sallam. Modul ini adalah
buah dari sebuah karya kecil atas ijin Alloh dengan tujuan untuk menjadi salah
satu sumber informasi kepada mahasiswa di Fakultas Geografi yang menempuh
mata kuliah migrasi internasional. Perkuliahan Manajemen Sumber Daya Manusia
ditawarkan kepada mahasiswa yang ingin memperdalam beberapa aspek terkait
isu sumber daya manusia seperti konseptualisasi sumber daya manusia, dimensi
sumber daya manusia, indikator pengukur kualitas sumber daya manusia, Human
Development Index (HDI), GDI, HPI, GEM, Kemiskinan, dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia.
Telah sama-sama dipahami bahwa visi Universitas Gadjah Mada adalah
menjadi research university, yaitu universitas yang berkelas dunia dengan didasari
oleh berbagai kegiatan penelitian ilmiah. Demi mewujudkan kualitas lulusan yang
handal, telah terjadi perubahan mendasar tentang paradigma pendidikan dari
teaching center (TCL) menjadi student center learning (SCL). Perubahan paradigma
tersebut tidaklah dapat menuai harapan jika tidak diikuti dengan perubahan
proses pembelajaran, termasuk di dalamnya adalah materi kuliah. Adalah suatu
kemestian adanya perubahan baik dalam hal substansi bahan ajar maupun metode
yang diterapkan. Langkah konkrit yang dikembangkan oleh Universitas Gadjah
Mada adalah pembuatan modul bahan ajar seperti Rencana Program dan Kegiatan
Pembelajaran Semester (RPKPS) dalam setiap mata kuliah. Untuk itulah, modul
kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia yang berisi rangkaian program kegiatan
pembelajaran ini disusun. Secara teknis modul ini memuat satuan acara
perkuliahan berikut metode yang digunakan.
Banyak hal yang belum tercakup di modul kecil ini. Kompleksitas
permasalahan kehidupan manusia memungkinkan berbagai data dan isu sumber
daya manusia berkembang begitu cepat. Penulis mohon maaf jika banyak isu
menarik dan kontemporer belum tercakup di sini. Kritik dan saran demi perbaikan
modul berikutnya sangatlah kami nantikan. Semoga modul ini bermanfaat bagi
pembaca.
Yogyakarta, November 2006
Penyusun

Agus Joko Pitoyo

1
DAFTAR ISI

Halaman
1. RPKPS Manajemen Sumber Daya Manusia ............................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Perencanaan Pembelajaran ....................................................................... 2
1.3 Jadwal Kegiatan Mingguan ..................................................................... 3
1.4 Operasionalisasi Kegiatan Mingguan .....................................................
1.5 Daftar Acuan Pustaka ...............................................................................

2. Paper Pendukung ..............................................................................................


2.1 Sumber Daya Manusia ................................................................................
2.2 Kemiskinan ...................................................................................................
2.3 Pengukuran Kualitas Sumber Daya Manusia .........................................

3. Powerpoint Pendukung Kuliah ....................................................................

2
OPTIMALISASI KULIAH MANAJEMEN SUMBER DAYA
MANUSIA BERBASIS STUDENT CENTER LEARNING

FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2006

3
1.1 LATAR BELAKANG
Seirama dengan visi universitas untuk menjadi research university dan upaya
perwujudan kompetensi universitas, terutama dalam hal pencapaian kualitas
lulusan yang handal, adanya perubahan mendasar tentang paradigma pendidikan
dari teaching center menjadi student center learning adalah suatu kemestian yang tak
dapat ditunda-tunda lagi. Hal ini sudah tentu mengharuskan perbaikan proses
pembelajaran, baik dalam hal substansi bahan ajar maupun metode yang
diterapkan. Langkah konkrit yang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada
adalah pembuatan modul bahan ajar seperti Rencana Program dan Kegiatan
Pembelajaran Semester (RPKPS) dalam setiap mata kuliah. Perlu disampaikan
bahwa (RPKPS) adalah penyempurnaan dari Garis Besar Pokok Pembelajaran
(GBPP) dan/atau Satuan Acara Perkuliahan (SAP) yang sebelumnya telah ada.
Model pembelajaran yang berbasis pada mahasiswa melalui RPKPS
diharapkan mampu menjadi solusi terbaik dalam upaya perbaikan kegiatan belajar
pada mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia yang selama ini tidak
berjalan secara optimal. Telah dipahami oleh terutama Mahasiswa Jurusan
Geografi dan Ilmu Lingkungan bahwa mata kuliah Manajemen Sumber Daya
Manusia adalah mata kuliah lanjutan sebagai penentu kompetensi ilmiah
kemampuan analisis sumber daya manusia.
Angin segar tentang suasana kuliah yang kondusif, kegairahan dalam proses
pembelajaran dan peningkatan kreativitas dan kesungguhan mahasiswa
nampaknya dapat menjadi kenyataan jika pilar-pilar dari Student Center Learning
diaplikasikan melalui metode yang tepat, seperti small group discussion, role-play,
collaborative learning, active learning, dan adult learning.

4
PERENCANAAN PEMBELAJARAN
MIGRASI INTERNASIONAL

1. Nama Matakuliah : Manajemen Sumber Daya Manusia


2. Jumlah SKS : 3 SKS
3. Semester : II (Genap)
4. Tujuan Pembelajaran :
Kuliah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman aplikasi dan
metodologi terhadap determinan pengukuran kualitas sumber daya
manusia berikut isu-isu kontemporer yang melingkupi hidup manusia.

5. Outcome Pembelajaran (Learning Outcome)


Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
konsep dan definisi kualitas sumber daya manusia berdasarkan perspektif
keruangan, temporal dan kompleksitas kewilayahan, seperti dinamika
kehidupan manusia di Indonesia.

Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa mampu mengevaluasi kualitas


sumber daya manusia melalui indikator HDI, GDI, HPI, dan GEM
Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa mampu menganalisis permasalahan
sumber daya manusia dan kemiskinan.

6. Metode Pembelajaran
Kuliah Kelas (Metode Tatap Muka Partisipatif)
Pada pembelajaran yang berbasis student center learning, kuliah tutorial
bukanlan metode yang utama digunakan, kuliah tatap muka lebih bersifat
partisipasi aktif dengan mekanisme two way communication antara dosen dan
mahasiswa.
Metode tatap muka partisipatif diberikan dengan alokasi waktu setiap kali
pertemuan kurang lebih 40 menit/minggu dengan jumlah tatap muka 14-16
kali pertemuan dalam satu semester, dosen lebih difungsikan sebagai
fasilitator.

5
Kunjungan Lapangan
Kunjungan lapangan (field study) adalah metode baru yang diterapkan dalam mata
kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia. Hal ini penting dilakukan agar
mahasiswa memahami betul realita fenomena kemiskinan dan kualitas hidup
manusia, termasuk proses dan implikasinya dalam pembangunan daerah.
Kunjungan lapangan akan dilakukan terkoordinasi di instansi pemerintah seperti
Bappeda dan Departemen Sosial.
Diskusi
Diskusi juga merupakan hal baru yang diintegrasikan dalam setiap kali kuliah,
setidaknya sekitar 40 menit setiap tatap muka (40 menit/minggu), dosen bertindak
sebagai fasilitator.
Belajar Mandiri
Belajar mandiri penting dilakukan sejalan dengan dinamika isu-isu kualitas sumber
daya manusia. Ini berarti bahwa belajar mandiri terutama dari sumber-sumber
relevan seperti buku literatur, surat kabar, internet mutlak diperlukan dalam
rangka peningkatan partisipasi aktif di kelas, pengkayaan materi dan kompetensi
mata kuliah. Akses internet yang terbuka seperti di perpustakaan Fakultas Geografi
dan laboratorium jurusan secara operasional memang sangat mendukung
mahasiswa demi memperoleh informasi terbaru tentang migrasi internasional.

Tugas
Tugas diberikan pada mahasiswa dengan membuat makalah dalam bentuk
kelompok kecil berjumlah 2-4 orang/kelompok, dengan alokasi waktu
pengumpulan 1-2 bulan.

Seminar
Seminar dalam bentuk presentasi makalah dilakukan pada pertengahan hingga
akhir perkuliahan, alokasi waktu untuk masing-masing presentasi dan tanya jawab
adalah 25 menit.
Kuis, Simulasi
Kuis, simulasi, ice-breaking diberikan pada sela-sela kuliah sekitar 10 hingga 15
menit sesuai dengan kebutuhan.

7. Jadwal Kegiatan Mingguan

Minggu Topik Subtansi Metode Pembelajaran


Ke dan Bentuk Kegiatan

6
1 Pendahuluan Menjelaskan pokok-pokok Ice-Breaking
bahasan, metode Perkenalan
pembelajaran dan cara role-play
evaluasi Diskusi interaktif
Overview Sumber Daya
Manusia
2, 3, 4 Konsep dan Kualitas Fisik Sumber Daya Kuliah partisipatif
definisi Manusia Kunjungan kerja,
sumber daya Kualitas non fisik Observasi lapangan
manusia Indikator Tunggal kualitas Diskusi, Simulasi
Indikator sumber daya manusia Tugas Mandiri
Tunggal dan Indikator Komposit Kualitas
Komposit sumber daya manusia

Human Teori Mutu Modal Manusia

Capital dalam Pengembangan

Permasalahan Sumber Daya Manusia

sumber daya Sumber daya manusia

manusia Indonesia: gambaran masa

Indonesia lalu, masa kini, dan

Manusia dan tantangan masa depan

lingkungan Hubungan sumber daya

dalam manusia dengan sumber

perspektif daya lingkungan

ekologi Deterministik, Possibilistik,

manusia dan probabilistik dalam


manajemen sumber daya
manusia dan lingkungan

7
Minggu Topik Subtansi Metode Pembelajaran
Ke dan Bentuk Kegiatan
5, 6, 7 Dinamika Physical Quality of Life Kuliah Partisipatif,
pengukuran Index Tugas Mandiri
Indikator Human Development Index Membuat paper
kualitas Gender Development Index Diskusi terfokus
sumber daya Human Poverty Index Kuis, Simulasi
manusia Gender Empowerment
Indikator Measure
Ekonomi, Human Welfare Index
Pendidikan, Dinamika dan
dan Kesehatan perkembangan pengukuran

Indikator indikator kualitas hidup

Kesetaraan manusia

Gender dan
Partisipasi
Indikator
Kemiskinan
Indikator
Ketahanan
Sosial
8 Mid Semester Materi yang telah diberikan Ujian tulis, presentasi
dan evaluasi

8
Minggu Topik Subtansi Metode Pembelajaran
Ke dan Bentuk Kegiatan
9,10,11,12 Pengendalian Pengendalian parameter Kuis, Simulasi
Sumber Daya dasar demografi: Kuliah partisipatif,
Manusia fertilitas, mortalitas, Diskusi
Pemanfaatan migrasi
Sumber Daya Pengendalian jumlah dan
Manusia kualitas sumber daya
Pengembangan manusia, termasuk
Sumber Daya didalamnya struktur
Manusia ketenagakerjaan
Kemiskinan dan Pemanfaatan sumber
Keterbelakangan daya manusia: dimensi
pemanfatan tenaga kerja
Pengembangan kualitas
sumber daya manusia:
pendidikan, pelatihan,
peningkatan ketrampilan,
peningkatan standar
kesehatan, dan
peningkatan kecerdasan
emosi dan spiritual
Kemiskinan dan
keterbelakangan sebagai
jebakan
ketidakberdayaan
Menuju Millenium
Development Goals
Indonesia tanpa
kemiskinan: antara
harapan dan kenyataan
Bentuk-bentuk
Kemiskinan
13, 14 Seminar dan Makalah tentang Presentasi dan Diskusi
diskusi kelompok pengembangan kualitas
isu-isu kontemporer sumber daya manusia
pengembangan
kualitas sumber
daya manusia
15 Overview Kuliah, Overview Kuliah Partisipatif
Penutup, Penutup Diskusi

9
PAPER PENUNJANG KULIAH

10
KULIAH: MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Disiapkan Oleh: Agus Joko Pitoyo, S.Si, M.A.

Topik :
Pembangunan Sumber Daya Manusia

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS GEOGRAFI
YOGYAKARTA
2007

11
PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA

1.1 Pendahuluan
GBHN 1993 secara tegas mencantumkan bahwa sumber daya manusia (SDM)
merupakan modal dasar dan faktor dominan (Bab II butir D). Pencantuman ini
mengisyaratkan bahwa pemerintah mempunyai komitmen yang tinggi untuk
meletakkan SDM sebagai unsur yang penting dalam pembangunan nasional. Dari
satu sisi, dapat dikatakan bahwa SDM tidak hanya sebagai modal pembangunan,
tetapi juga keberhasilan dalam pengembangan SDM dapat dijadikan sebagai salah
satu indikator keberhasilan pembangunan. Hal itu dilakukan dalam
mengakomodasi kepentingan pembangunan yang tidak hanya mengejar
keberhasilan fisik, tetapi juga non-fisik.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, muncul pertanyaan-pertanyaan


mendasar yang dapat digunakan sebagai landasan berpijak untuk melihat proses
pembangunan. Misalnya, apa konsep sumber daya manusia, pembangunan
manusia, pengembangan sumber daya manusia, dan lain-lainnya. Pertanyaan-
pertanyaan itu penting dalam rangka untuk menyamakan persepsi, sebelum
berbicara banyak mengenai perencanaan pengembangan sumber daya manusia
(PPSDM). Di samping itu, hal lain yang perlu untuk dibahas adalah mengenai
kualitas sumber daya manusia.

1.2 Sumber Daya Manusia Sebagai Paradigma Pembangunan

Selama dua puluh tahun terakhir telah terjadi perubahan mendasar tentang
paradigma pembangunan, khususnya di negara sedang berkembang. Pembangunan
tidak lagi "hanya" berorientasi kepada pembangunan ekonomi (economic oriented)
tetapi pembangunan ekonomi hanya dijadikan sebagai mean atau cara dalam rangka
mencapai tujuan lain yang lebih mendasar yaitu human security (UNDP, 1994). Hal
ini barangkali disebabkan oleh karena pembangunan yang berorientasi ekonomi
justru akan melahirkan persoalan-persoalan yang lebih parah, misalnya kesenjangan
pendapatan yang muaranya adalah kemiskinan. Bahkan dalam banyak kasus,
pertumbuhan ekonomi di negara sedang berkembang juga dibarengi dengan
berkurangnya hak-hak politik dan sosial masyarakat. Di samping itu, pergeseran

12
paradigma pembangunan tersebut tampaknya berasal dari munculnya
kecenderungan sumber daya manusia sebagai paradigma pembangunan.

Pada awalnya, manusia diletakkan sebagai salah satu faktor produksi. Artinya
manusia dipahami dari sisi sebagai tenaga kerja yang sejajar dengan faktor lainnya
yaitu modal dan bahan baku. Dalam pengertian ini maka sumber daya manusia
mempunyai pengertian yang sangat terbatas. Aspek-aspek yang lebih mendalam
dan mendasar yang terkait dengan SDM tidak dipandang penting dalam proses
produksi. Akibatnya adalah bahwa manusia dalam pembangunan ekonomi lebih
dipandang sebagai obyek dari pada subyek. Dalam kerangka tertentu, orientasi
pembangunan, kemudian hanya baranjak dari pengertian manusia sebagai obyek
fisik. Oleh karenanya tidak mengherankan kalau kemudian muncul masalah-
masalah pembangunan, khususnya adanya tren yang tidak sinkron antara
pembangunan ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia.

Sumber daya manusia sebagai paradigma artinya adalah sumber daya manusia
sebagai kerangka orientasi dalam menentukan dan mengarahkan tindakan-tindakan
manusia (Sindhunata, 1994). Lebih lanjut Sindhunata (1994) menyebutkan bahwa
pergeseran paradigma sumber daya manusia dapat dijelaskan melalui tiga hal.
Pertama paradigma daya cipta manusia. Hal ini bisa dilihat dari munculnya
kecenderungan bahwa bukan kekayaan alam tetapi manusia yang seharusnya
menciptakan kemakmuran. Kedua adalah paradigma kerja manusia. Manusia tidak
lagi hanya dipandang sebagai faktor pendukung atau pembantu dalam proses
produksi, melainkan sebagai bagian dari kekayaan material maupun spiritual.
Pergeseran ini mengandung arti bahwa nilai yang penting bukan hanya pada
produktivitasnya saja, tetapi juga kebersamaan manusia. Ketiga adalah paradigma
tanggung jawab. Manusia bertanggung jawab terhadap masa lalu dan masa depan.
Bertanggung jawab terhadap masa lalu artinya bahwa manusia harus berani menilai
keputusan yang dibuatnya. Sementara itu tanggung jawab terhadap masa depan
artinya adalah bertanggung jawab terhadap akibat yang akan timbul dari keputusan
yang dibuatnya.

Dengan pengertian ini maka menangani manusia tidak cukup hanya dari sisi
ekonomi saja tetapi jauh lebih komplek yang melibatkan unsur sosial bahkan politik.

13
Hal itu juga tercermin dari rumusan mengenai pembangunan manusia
sebagaimana disebutkan dalam Human Development Report (UNDP, 1992), yaitu

"suatu proses perluasan spektrum pilihan manusia, meningkatkan kesempatan


mereka untuk memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan, penghasilan dan
pekerjaan".

Dalam definisi tersebut secara jelas terlihat bahwa bukan unsur ekonomi saja
yang termasuk dalam cakupan pembangunan manusia. Bahkan kata "perluasan
spektrum pilihan manusia" mengisyaratkan munculnya orientasi pembangunan
yang lebih luas. Perluasan spektrum pilihan berarti juga demokratisasi. Dengan
demikian unsur politik masuk di dalamnya.

Hal itu secara jelas juga tercantum dalam Human Development Report 1994
(UNDP, 1994) yang menyebutkan bahwa:

"Development must enable all individuals to enlarge their human capabilities to


the fullest and to put those capabilities to the best use in all fields-economics,
social, cultural, and politics"

Salah satu kritik yang muncul terhadap definisi tersebut adalah bahwa
pengertian tersebut di atas cenderung menyiratkan penekanan pada aspek
pemerataan saja dan anti pertumbuhan. Padahal apabila dikaji lebih mendalam
maka hal tersebut tidak benar. Karena pada akhirnya pembangunan manusia
diharapkan mampu meningkatkan kemampuan manusia, termasuk di dalamnya
dalam produktivitas yang akhirnya akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan.

Dalam pengertian yang lebih operasional, sumber daya manusia dapat dilihat
dari beberapa dimensi yang di dalamnya mengandung beberapa konsekuensi.
Pertama, sumber daya manusia dapat dilihat dari aspek kuantitatif yang meliputi
jumlah, persebaran dan struktur, serta aspek kualitatif yang berkaitan dengan mutu
manusia misalnya pendidikan, ketrampilan, sikap, nilai, kesehatan dan gizi. Kedua,
sumber daya manusia juga dapat dilihat dari aspek makro (agregat) maupun mikro
(individu). Dengan demikian dalam membicarakan dua aspek yang pertama, maka
hal tersebut dapat pula dibahas dalam konteks makro maupun mikro.

14
Pemahaman sumber daya manusia dari segi kuantitatif tidak menjadi
persoalan, karena variabelnya jelas terukur. Tetapi ketika yang dibicarakan adalah
aspek kualitatif maka sering kali sangat sulit untuk diukur, misalnya mengenai
sikap, nilai dan kepercayaan. Oleh karenanya pemahamannya perlu dilakukan
dengan hati-hati.

Dengan melihat pengertian tersebut maka setiap proses pembangunan yang


berorientasi "manusia" perlu memperhatikan aspek-aspek tersebut. Tidak bisa hanya
satu aspek saja yang diperhatikan, karena hanya akan menjadikan proses
pembangunan menjadi timpang.

1.3 Teori Modal Manusia

Dalam teori ini manusia dianggap sebagai suatu modal dalam suatu proses
produksi. Untuk peningkatan produksi, pendidikan dianggap sebagai suatu
investasi yang penting dan dominan dalam peningkatan kapasitas produksi sumber
daya manusia. Konsekuensinya adalah bahwa penduduk yang berpendidikan
merupakan penduduk yang produktif. Akibatnya, pendidikan dipandang sebagai
suatu intervensi yang sangat penting dalam rangka peningkatan sumber daya
manusia.

Pembangunan ekonomi yang cepat di Jepang, Korea dan Eropa Barat biasanya
digunakan sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa sumber daya manusia
merupakan unsur penting dalam pembangunan. Bahkan pembangunan sumber
daya manusia dilakukan mendahului akumulasi modal fisik (Widarti, 1993).

Keberhasilan pembangunan memerlukan dua syarat, yaitu (a) kemajuan


teknologi dalam rangka untuk meningkatkan produksi, dan (b) sumber daya
manusia yang berpendidikan dalam rangka penerapan teknologi.

Kritik utama yang muncul terhadap teori ini adalah bahwa pendidikan
dianggap sebagai unsur utama dalam pembangunan sumber daya manusia. Sebagai
investasi, pendidikan tidak akan lepas dari sistim politik, kondisi sosial dan kultural
di suatu negara. Padahal teori tersebut beranggapan bahwa karakteristik individu
merupakan unsur penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Aspek struktur
sosial, yang biasanya merupakan refleksi dari banyak aspek, tidak diperhatikan.

15
Dalam memandang terjadinya pembagian negara maju dan negara terbelakang, teori
ini mengatakan bahwa hal tersebut lebih berkaitan dengan karakteristik masing-
masing negara.

Argumentasi seperti itu jelas tidak benar. Teori dependensi mengatakan bahwa
munculnya negara maju dan tidak maju, terjadi karena sifat dependensi negara tidak
maju terhadap negara maju. Bahwa kondisi yang kurang menguntungkan di suatu
negara adalah sebagai akibat dari ketidakmampuan negara tersebut melepaskan
sifat dependensinya kepada negara maju. Dengan demikian maka perubahan
terhadap karakteristik sumber daya manusia saja tidak cukup untuk memacu laju
pembangunan ekonomi. Lebih dari itu, harus ada usaha untuk merubah sifat
dependensi menjadi interdependensi.

Hal semacam ini tidak hanya terjadi dalam kasus negara, tetapi juga bisa
ditarik pada skala yang lebih sempit di dalam negara. Sebab justru hubungan antar
daerah lebih terlihat di dalam suatu negara.

1.4 Pembentukan Modal Manusia (PMM) dan Pengembangan Sumber Daya


Manusia (PSDM)

Kedua istilah itu pada prinsipnya sama. Keduanya mengandung pengertian


sebagai suatu proses perubahan kualitas manusia yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu pendidikan formal atau non-formal, latihan di tempat kerja, perbaikan
kesehatan, migrasi, gizi dan sebagainya (Widarti, 1993). Dengan perubahan kualitas,
diharapkan produktivitas sumber daya tenaga kerja juga meningkat. Pengertian
yang terakhir ini yang biasanya disebut dengan pengembangan sumber daya
manusia. Terdapat lima faktor sebagai unsur utama dalam pengembangan sumber
daya manusia, yaitu:

a. pendidikan
b. kesehatan dan gizi
c. lingkungan
d. pekerjaan
e. kebebasan politik dan ekonomi

16
Hal ini sejalan dengan arah baru pembangunan sebagaimana tercantum dalam
Human Development Report (1994), bahwa manusia merupakan alat dan tujuan
pembangunan. Sebagai alat, manusia merupakan modal yang sangat penting dalam
proses pembangunan dan sebagai tujuan pembangunan diarahkan untuk menuju
human security.

Dari pengertian tersebut jelas bahwa terdapat perbedaan yang mendasar


antara teori modal manusia dengan PPM atau PSDM. Pada pengertian yang kedua,
pendidikan hanya merupakan satu aspek dari sejumlah aspek yang perlu
diperhatikan dalam peningkatan kualitas untuk meningkatkan produktivitas.
Pengertian yang kedua ini juga membawa konsekuensi terhadap meluasnya titik
perhatian pembangunan nasional. Dalam pengertian yang lain, mengembangkan
sumber daya manusia kemudian tidak hanya meningkatkan pendidikan dan
ketrampilan saja, tetapi juga bagaimana mewujudkan manusia yang sehat,
berpendidikan dan secara ekonomi dan politik mempunyai kebebasan memilih.

1.5 Indikator Sumber Daya Manusia

Untuk memperoleh suatu indikator sumber daya manusia yang memadai


sangat sulit, karena sebagaimana telah dijelaskan di muka, dimensi sumber daya
manusia sangat luas, yaitu mencakup aspek kualitatif maupun kuantitatif dalam
skala mikro maupun makro. Berikut ini akan dibahas beberapa indikator SDM yang
dapat digunakan untuk menilai kondisi SDM di suatu daerah.

Secara kuantitatif, SDM dapat dilihat dari segi jumlah, misalnya jumlah
penduduk, jumlah tenaga kerja, dan jumlah angkatan kerja. Tetapi perlu diingat
bahwa untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya, variabel ini perlu digabung
dengan variabel lain, misalnya tingkat pendidikan, tingkat melek huruf,
ketrampilan, dan status kesehatan (angka harapan hidup) (Widarti, 1993).

Variabel lain yang bisa dimanfaatkan, khususnya berkaitan dengan aspek


ketenagakerjaan adalah variabel yang diturunkan dari pendekatan LUA (Labor
Utilization Approach) oleh Hauser (1974). Dalam pendekatan ini angkatan kerja dapat
dibagi menjadi angkatan kerja yang dimanfaatkan penuh dan yang tidak penuh.
Angkatan kerja yang tidak dimanfaatkan penuh dapat dibagi menjadi tidak

17
dimanfaatkan sama sekali (penganggur) dan setengah penganggur
(underemployment). Setengah penganggur dapat dibagi lagi menjadi setengah
penganggur menurut jam kerja, upah, dan mismatch. Secara ringkas variabel tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. TPAK (tingkat partisipasi angkatan kerja) adalah perbandingan antara jumlah


angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja.

b. Tingkat bekerja (employment rate) adalah perbandingan antara jumlah yang


bekerja terhadap jumlah angkatan kerja.

c. Tingkat pengangguran terbuka (open unemployment rate) adalah perbandingan


antara jumlah penganggur dengan jumlah angkatan kerja.

d. Tingkat setengah pengangguran adalah perbandingan antara mereka yang


bekerja tidak dimanfaatkan secara penuh (menurut jam kerja, pendapatan,
maupun mismatch) terhadap penduduk yang bekerja.

Indikator-indikator tersebut masih bisa diperluas lagi dengan variabel lain.


Sebagai contoh variabel-variabel yang menggambarkan kualitas manusia dari segi
nir-fisik, misalnya kebahagiaan, kenyamanan, kesejahteraan, ketaatan beragama,
pemenuhan hak asasi, dan lain-lain. Variabel tersebut secara operasional sangat sulit
untuk diukur, sehingga sangat jarang digunakan untuk melihat kondisi SDM.

Meskipun masih jauh dari sempurna, UNDP mencoba membuat indek untuk
melihat kualitas manusia, yang disebut dengan HDI (Human Development Indeks).
Indek ini sebenarnya sebagai respon terhadap munculnya PQLI (Physical Quality of
Life Index) yang dianggap masih kurang. Pada tahun 1990, HDI tersusun atas tiga
variabel, yaitu pendidikan, harapan hidup, dan pendapatan. Indeks ini dianggap
kurang sensitif terhadap variabel tertentu, misalnya jenis kelamin, kelompok etnis,
dan klas sosial. Oleh karena itu sejak tahun 1991, HDI dihitung dengan memasukkan
jenis kelamin dan distribusi pendapatan sebagai variabel pengontrol. Pada tahun
1994 HDI dihitung berdasarkan empat variabel, yaitu angka harapan hidup, angka
melek huruf, rata-rata tahun sekolah, dan pendapatan per kapita. Dengan HDI bisa
dibuat komparasi antara satu daerah atau negara dengan daerah atau negara yang
lain.

18
Perlu dicatat bahwa angka HDI merupakan angka agregat yang mencerminkan
kondisi SDM pada suatu wilayah. Dalam menilai kondisi SDM, hal itu perlu
dilengkapi dengan indikator yang bersifat individual.

Dalam dua dekade terakhir, manusia telah diletakkan sebagai posisi sentral
dalam pembangunan nasional. Akibatnya paradigma sumber daya manusia dalam
pembangunan berubah secara drastis. Hal ini menuntut pemerintah untuk secara jeli
merumuskan orientasi pembangunan, agar apa yang diharapkan dalam
pengembangan sumber daya manusia (PSDM) bisa tercapai.

Secara operasional, akibat yang muncul dari perubahan tersebut adalah


tuntutan terhadap pelaksana pembangunan untuk memahami setiap aspek yang
tercakup dalam pengembangan sumber daya manusia. Hal tersebut mencakup
pengertian mengenai konsep dan definisi dan juga indikator sumber daya manusia.
Hal itu penting karena merupakan landasan yang fundamental dalam PSDM.

Salah satu kesulitan yang muncul misalnya dalam merumuskan indikator


SDM. Sejauh ini indikator yang diajukan masih mengacu pada pembangunan fisik
atau ekonomi. Dengan tuntutan untuk memperhatikan dimensi lain dalam SDM,
maka hal itu dipandang belum cukup. Untuk itu perlu dicari rumusan-rumusan
baru yang kemudian bisa digunakan untuk menilai kondisi SDM di suatu tempat.

1.6 Kualitas Sumber Daya Manusia

Pembahasan tentang pengukuran kualitas SDM dari waktu ke waktu selalu


menarik karena memerlukan suatu pendekatan yang komprehensif dari aspek
kualitas fisik maupun non fisik, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Ini
berarti indikator yang digunakan dalam mengukur kualitas SDM harus mampu
menggabungkan antara kualitas fisik dan nonfisik, baik itu yang bersifat kuantitatif
maupun kualitatif. Alasannya adalah bahwa kualitas penduduk tidak dapat dipisah-
pisahkan, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik, kedua-duanya saling menunjang
dalam membentuk kualitas penduduk secara keseluruhan. Meskipun argumen ini
ada betulnya, namun indikator kualitas total penduduk tersebut masih terlalu
umum, sulit diukur, dan sulit pula untuk diberi intervensi. Sejalan dengan hal ini

19
maka pengukuran kualitas penduduk cenderung dilakukan secara terpisah-pisah
dan cara demikianlah yang banyak digunakan sampai saat ini (Dahlan, 1992).

Perubahan kualitas SDM berhubungan erat dengan keberhasilan


pembangunan. Upaya penentuan indikator kemajuan pembangunan menjadi
penting dalam kerangka untuk mengetahui sasaran pembangunan yaitu penduduk
yang berkualitas. Bank Dunia melalui laporannya World Development Report secara
kontinu sejak tahun 1978 melaporkan bahwa pembangunan mempunyai tujuan
ganda yaitu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Indikator dari
kedua aspek tersebut adalah Produk Nasional Bruto (GNP) sebagai dasar penentuan
urutan negara mulai dari yang paling miskin sampai yang paling kaya. Cara ini
dianggap sebagai indikator yang sangat penting bagi proses modernisasi, apabila
modernisasi disamakan artinya dengan pembangunan. Pengukuran kualitas
penduduk model seperti ini lebih menekankan pada indikator ekonomi yang dalam
beberapa hal mengabaikan perikehidupan penduduk dalam suatu negara, dalam hal
ini untuk hidup lebih lama yang tercermin pada angka harapan hidup (Soetjipto,
1996).

Kelompok Neo-Malthusianis menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi


berhubungan negatif dengan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk
yang rendah akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang identik
dengan kualitas penduduk yang baik. Pendekatan demografis dalam mengukur
kualitas penduduk melibatkan beberapa variabel mortalitas, fertilitas dan urbanisasi
secara sendiri-sendiri dan tidak digabung menjadi satu indeks komposite. Indeks
komposite yang dimaksud adalah merupakan gabungan dari setiap variabel
mortalitas, fertilitas dan urbanisasi yang digunakan dalam pengukuran kualitas
penduduk. Hal yang sama juga dialami oleh pendekatan nondemografi yang secara
terpisah-pisah menggunakan variabel pendidikan, pendapatan, pengeluaran per
kapita, ketenagakerjaan dan kecukupan kalori dan protein dalam mengukur kualitas
penduduk. Demikian pula Kantor Menteri Negara Kependudukan dan BKKBN
menggunakan 13 variabel dalam mengukur kualitas penduduk.

Metode yang digunakan dalam mengukur kualitas penduduk dari ketiga


pendekatan tersebut yakni model demografi dan nondemografi maupun

20
pendekatan yang digunakan oleh Menteri Negara Kependudukan dan BKKBN
masih secara terpisah-pisah antara variabel yang satu dengan yang lain dan tidak
dirangkum dalam suatu indeks komposite. Indeks komposite yang dimaksud adalah
suatu angka/nilai yang merupakan gabungan dari setiap nilai yang ada pada
variabel yang digunakan dalam pengukuran. Berbeda halnya dengan Morris (1979)
dan United Nation Development Programme (1990) telah menyusun suatu indek yang
merupakan gabungan dari beberapa variabel demografi dan nondemografi dalam
mengukur kualitas penduduk seperti halnya Indeks Mutu Hidup (Physical Quality of
Life Index) dan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Tulisan
ringkas ini ingin membahas metode pengukuran kualitas penduduk mulai dari
asumsi dan data yang digunakan, kelemahan dan keunggulan dari setiap indikator
serta aplikasinya di Indonesia.

A. Pengukuran Kualitas Penduduk/SDM


Istilah kualitas manusia di Indonesia sudah dikenal sejak GBHN 1983. Pada
dasarnya kualitas manusia mencakup kualitas manusia sebagai individu maupun
secara keseluruhan, baik aspek jasmani maupun rokhaninya. Kemudian istilah
kualitas penduduk pada umumnya digunakan dalam studi kualitas manusia sebagai
agregat, baik dalam konteks makro maupun mikro tentang aspek jasmani dan
rokhaninya. Kualitas penduduk pada hakekatnya mengungkapkan keadaan
kelompok manusia yang hidup dalam suatu daerah pada saat tertentu. Sejalan
dengan hal ini maka cara pengukurannya dilakukan berdasarkan atas angka rata-
rata per jumlah penduduk dalam waktu tertentu. Dengan demikian yang dimaksud
dengan kualitas penduduk di sini bukanlah kualitas dalam arti eugenic seperti dalam
suatu negara yang membutuhkan tentara untuk mereka yang kuat saja; aborsi
diperbolehkan atas alasan kesehatan dan sosial-ekonomi, ibu-ibu yang
berpendidikan tinggi saja yang diperbolehkan mempunyai banyak anak (Djalal,
1988). Kualitas penduduk yang dimaksud dan diinginkan pemerintah Indonesia
adalah kualitas fisik dan nonfisik yang menjadi prasyarat untuk mencapai
produkstivitas kerja yang tinggi.

Untuk melihat perkembangan kualitas penduduk baik secara regional maupun


nasional dapat menggunakan indikator tunggal maupun indikator komposite yaitu
merupakan gabungan dari beberapa variabel/peubah yang diasumsikan

21
mempengaruhi kualitas penduduk. Dalam menyusun indikator tersebut dapat
dilakukan dengan cara indexing dan scaling. Indikator tunggal maupun indikator
komposite, baik itu komposite obyektif maupun komposite subyektif oleh Morris
(1979) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Sahih untuk mengukur berbagai cara/pola pembangunan.

2. Harus obyektif, tidak bias pada nilai-nilai spesifik.

3. Harus dapat mengukur hasil (output) bukan masukan (input).

4. Mampu menggambarkan distribusi hasil pembangunan

5. Sederhana cara penyusunannya dan mudah dipahami

6. Harus dapat dipakai untuk perbandingan internasional.

Salah satu indikator komposite obyektif yang cukup terkenal adalah Indeks
Mutu Hidup (PQLI) dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) yang akan dibahas
pada bagian akhir dari makalah ini. Indikator komposite subyektif yang disusun
oleh Biro Pusat Statistik berusaha menyajikan perkembangan kesejahteraan rumah
tangga selama periode tertentu (1987-1990 dan 1991-1994). Indeks komposite
subyektif disusun berdasarkan pendapat/persepsi kepala rumah tangga tentang
perkembangan sejumlah masalah pokok selama jangka waktu tertentu (lihat data
Susenas modul kesejahteraan rumah tangga). Indikator komposite subyektif ini
merupakan gabungan dari beberapa indikator tunggal yang diperoleh dari
pendapat/persepsi penduduk sehingga mengandung jawaban yang bersifat
subyektif. Makalah ini lebih menekankan pada indikator tunggal maupun indikator
komposite obyektif baik yang bersifat demografis maupun nondemografis. Bagi
yang tertarik pada indikator komposite subyektif dapat dilihat pada daftar
pertanyaan yang digunakan dalam Susenas modul kesejahteraan rumah tangga,
dilakukan setiap tiga tahun sekali oleh Biro Pusat Statistik.

B. Kualitas Penduduk: Aspek Demografi


Pengukuran kualitas penduduk dari aspek demografi masih dilakukan secara
terpisah-pisah yakni berupa indikator tunggal yang obyektif. Angka kematian yang
tinggi diasumsikan terjadi pada kualitas penduduk yang masih rendah. Demikian
pula dengan angka fertilitas yang tinggi, prevalensi kontrasepsi maupun urbanisasi

22
yang rendah identik dengan kualitas penduduk yang rendah. Dengan demikian
kualitas penduduk yang tinggi akan tercermin pada rendahnya IMR, CMR, MMR
dan angka morbiditas, TFR dan angka perceraian serta tingginya angka harapan
hidup, prevalensi kontrasepsi, usia perkawinan pertama dan angka urbanisasi.
Sampai saat ini (sepengetahuan penulis) belum ditemukan suatu model pendekatan
demografi yang menggabungkan dari beberapa variabel demografi ke dalam suatu
indikator komposite obyektif secara komprehensive. Yang dilakukan pada saat ini
baru sampai pada karakteristik variabel demografi secara sendiri-sendiri yakni:

1. Angka Kematian Bayi (IMR)

2. Angka Kematian Anak (MR)

3. Angka Kematian Maternal (MMR)

4. Angka Harapan Hidup (eo)

5. Angka Morbiditas

6. Angka Fertilitas Total (TFR)

7. Angka Perceraian (DR)

8. Usia Perkawinan Pertama

9. Angka Prevalensi Kontrasepsi

10. Angka Urbanisasi.

Parameter fertilitas keluarga berencana, mortalitas dan morbiditas maupun


urbanisasi dapat diperoleh dari model-model estimasi secara tidak langsung (indirect
technique for demographic estimation) dari data yang dikumpulkan melalui sensus
penduduk, Supas, Susenas score dan modul. Masalah pokok yang dihadapi dari
model estimasi demografi ini adalah pemenuhan sejumlah asumsi dalam perkiraan
dan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam perhitungan. Secara nasional dan
regional (propinsi) jumlah sampel yang dibutuhkan untuk estimasi telah memadai,
namun untuk lingkup Dati II dalam beberapa hal masih terlalu sedikit. Sebagai
akibatnya hasil estimasi parameter demografi seringkali tidak dapat digunakan.
Ketergantungan terhadap model estimasi akan terus berlangsung apabila
pelaksanaan sistem Registrasi Penduduk maupun Sistem Informasi Penduduk dan

23
Keluarga (Siduga) belum dapat berjalan dengan baik dalam arti cakupan wilayah
pendataan dan kualitas data. Kualitas penduduk dilihat dari paramater demografi
tersebut dapat dilihat di lampiran.

C. Kualitas Penduduk: Aspek NonDemografi


Sama halnya dengan pengukuran kualitas penduduk dari aspek demografi,
kualitas penduduk dan aspek nondemografi masih dilihat secara terpisah-pisah.
Beberapa variabel yang sering digunakan dalam pengukuran kualitas penduduk
mencakup aspek pendidikan seperti pendidikan tertinggi yang ditamatkan,
penduduk usia sekolah menurut status sekolah; pendapatan per kapita; pengeluaran
per kapita untuk keperluan bahan makanan dan bukan untuk bahan makanan;
kecukupan kebutuhan kalori dan protein maupun kecukupan gizi; dan
ketenagakerjaan yang mencakup angka partisipasi angkatan kerja, angka
pengangguran dengan berbagai jenis dan penduduk yang bekerja menurut sektor,
jenis dan status pekerjaan. Kualitas penduduk yang baik dapat dilihat dari
pendidikan yang relatif tinggi, kecukupan kebutuhan kalori dan protein,
pendapatan perkapita yang tinggi, proporsi pengeluaran untuk bukan bahan makan
lebih tinggi daripada untuk bahan makan, angka pengangguran yang rendah dan
sebagian besar pekerja yang bekerja pada sektor manufaktur dan jasa, merupakan
pekerja terampil dan bekerja pada sektor formal. Secara rinci pendekatan
nondemografi dalam mengukur kualitas penduduk melibatkan beberapa variabel
seperti berikut:

1. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan

2. Penduduk usia sekolah menurut status sekolah

3. Kecukupan kalori-protein, status gizi

4. Pendapatan per kapita

5. Pengeluaran per kapita/bahan makan dan bukan bahan makan

6. Angka Partisipasi Angkatan Kerja

7. Angka pengangguran terbuka

8. Pekerja manurut sektor, jenis dan status pekerjaan

24
Dari delapan variabel yang digunakan tersebut hanya kecukupan kalori dan
protein serta pendapatan per kapita yang sudah ada standarnya untuk membedakan
antara yang baik dan yang kurang baik. Selain variabel ini belum ada standar yang
baku untuk membedakannya. Sebagai contoh berapa angka pengangguran terbuka
itu dimasukkan untuk kelompok yang kurang baik; demikian pula berapa
persentase untuk pekerja sektor manufaktur dan jasa maupun pekerja terampil
dapat dikelompokkan untuk kualitas penduduk yang baik. Sama halnya dengan
pendekatan demografi yang dapat dikatakan baik untuk kualitas penduduk itu
apabila parameter mortalitasnya rendah dan angka harapan hidup tinggi. Akan
tetapi berapa standar IMR, CMR, MMR dan angka harapan hidup dikatakan untuk
kelompok yang baik? Bagaimana pula kalau dalam suatu daerah didapatkan
pemenuhan kalori dan protein di atas standar yang dibakukan telah memenuhi
persyaratan yang dibakukan, akan tetapi di pihak lain angka pengangguran terbuka
cukup tinggi dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan cukup tinggi pula namun
sebagian besar dari pekerja tersebut merupakan pekerja tidak terampil di sektor
formal. Banyaknya variabel yang digunakan, baik aspek demografi dan
nondemografi ini menyebabkan kurang sensitif dalam mengukur kualitas
penduduk. Hal seperti ini dialami pula oleh Kantor Menteri Negara Kependudukan
dan BKKBN melibatkan 13 variabel dalam mengukur kualitas penduduk.

Kantor Menteri Negara Kependudukan dan BKKBN telah membetuk Tim


Pengembangan Indikator Kualitas Penduduk yang diberi tugas untuk menyusun
Indikator Kualitas Penduduk. Indikator kualitas penduduk disusun berdasarkan
landasan ideologis, hukum, dan landasan tindak lanjut operasional metodologis.
Kualitas penduduk dilihat dari empat aspek yakni sehat, maju, mandiri-sejahtera
dan aman bahagia mencakup 13 variabel sebagai berikut:

Sehat mencakup 4 variabel:


1. Angka harapan hidup saat lahir.
2. Angka kematian maternal
3. Rasio tempat ibadah terhadap jumlah penduduk
4. Rasio anak dan remaja yang bermasalah
Maju, hanya mencakup satu variabel:
5. Angka partisipasi sekolah (SLTP ke atas)

25
Mandiri - Sejahtera mencakup 4 variabel:
6. Angka partisipasi angkatan kerja

7. Proporsi pengeluaran rumah tangga untuk makan

8. Rasio kemandirian

9. Proporsi anak yang terpaksa bekerja

Aman - Bahagia mencakup 4 variabel:


10. Angka perceraian

11. Angka kriminalitas

12. Proporsi anak yang terlantar

13. Proporsi rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan berumur tua.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, pengukuran kualitas penduduk yang


dilakukan oleh Menteri Negara Kependudukan masih dilakukan secara terpisah-
pisah dari ke 13 variabel yang digunakan. Bahkan di dalam mengukur aspek sehat
pun yang terdiri dari 4 variabel masih dilakukan secara sendiri-sendiri, belum
sampai pada penggabungan dari ke empat variabel ke dalam satu indek sehat. Sama
halnya dengan mengukur aspek mandiri-sejahtera, aman sejahtera, masing-masing
masih merupakan variabel yang terpisah-pisah. Selain hal tersebut karena
banyaknya variabel yang digunakan dalam pengukuran maka sumber data yang
digunakan pun sangat beragam seperti sensus penduduk, survai kependudukan dan
survai yang dilakukan oleh departemen tertentu dengan rentang tahun
pengumpulan data yang berbeda-beda.

Indeks Mutu Hidup (PQLI)

Indeks Mutu Hidup (IMH) ini merujuk pada Physical Quality of Life Index
(PQLI) merupakan hasil pemikiran Morris sebagai alat pengukur hasil proses
pemerataan dalam pembangunan. Muncul sebagai jawaban terhadap kelemahan-
kelemahan model pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi yang
diukur melalui produk national bruto (GNP). Indeks Mutu Hidup mempunyai
keunggulan daripada GNP sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan. Nasikun
(1992:69) menyebutkan ada tiga kelemahan pokok menggunakan GNP sebagai

26
ukuran kualitas penduduk yakni: 1. Hanya terdiri dari transaksi ekonomi dan
mengabaikan kegiatan yang terjadi di luar pasar. 2. Agregasi berbagai kegiatan ke
dalam nilai uang mengasumsikan bahwa isyarat harga merupakan petunjuk yang
netral terhadap kesejahteraan penduduk. 3. Tidak memperhatikan aspek distribusi
antarwarga masyarakat maupun kelompok penduduk, kesenjangan antarpenduduk,
perusakan sumber daya alam karena akumulasi teknologi serta sumber daya
manusia.

Lebih lanjut dikatakan bahwa penyusunan GNP yang lebih merupakan


akutansi ekonomi mengandung risiko di mana semua aktivitas penduduk harus
dinyatakan dalam uang. Memang hampir semua kegiatan penduduk harus dapat
dihitung dengan uang namun muncul pertanyaan apa yang mau dihitung dan apa
pula artinya. Misalnya, seorang staf pengajar berangkat ke tempat pekerjaan dengan
mobil pribadi yang sangat mahal harganya (meskipun dengan kredit) harus
dihitung senilai biaya transport dengan kendaraan umum yang digunakan oleh
rekan sejawatnya yang sekiranya justru mampu membeli mobil tersebut. Tidur di
rumah sendiri dianggap sebagai pendapatan senilai biaya menginap di hotel.
Problema pokok adalah apakah relevan bahwa total nilai uang cukup relevan untuk
mengukur kualitas penduduk?

Beberapa kelemahan GNP dalam mengukur kualitas penduduk tidak dimiliki


oleh IMH namun menurut Nasikun (1992: 70) kelirulah apabila IMH tidak
mempunyai kelemahan. Meskipun IMH disusun dan dirumuskan untuk mengatasi
kelemahan GNP, sejak semula disusun untuk tujuan pengukuran kualitas penduduk
yang sangat terbatas. Ada dua hal pokok yang harus dipertimbangkan dalam
penggunaan IMH. Pertama, IMH tidak dimaksudkan untuk mengukur total
kesejahteraan penduduk, apalagi jika di dalamnya mengandung masalah
pengukuran rasa aman, kebebasan, keadilan maupun hak-hak asasi manusia. Kedua,
tidak untuk mengukur proses pencapaian tujuan pembangunan. Dengan demikian
IMH lebih sesuai sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan di dalam kerangka
model pembangunan pemerataan melalui pertumbuhan dan model pembangunan
untuk pemenuhan kebutuhan dasar.

27
Indeks Mutu Hidup disusun berdasarkan tiga variabel, merupakan indeks
komposite kualitas hidup fisik yang diturunkan dari tiga variabel yakni: 1. Angka
harapan hidup pada usia satu tahun (e1). 2. Angka kematian bayi (IMR) dan 3.
Angka melek huruf dewasa (15 tahun +). Ketiga variabel ini diukur mengikuti skala
0 (nol) untuk mewakili penampilan yang terburuk yang pernah dicapai oleh suatu
negara pada tahun 1950-an dan nilai 100 untuk mewakili penampilan yang terbaik
yang diperkirakan akan dicapai oleh suatu negara pada tahun 2000. Indeks
komposite IMH untuk suatu negara ini dihitung sebagai nilai rerata dari ketiga
variabel dengan bobot yang sama. Implikasi-implikasi pemakaian skala
menggunakan asumsi sebagai berikut (Sjahrir, 1986: 42).

a. Indeks angka kematian bayi (IMR) = 22 per seribu dan indeks = 100
untuk IMR = 7 per seribu. Setiap 2,22 angka perubahan dalam angka IMR
hasilnya adalah satu angka perubahan dalam indeks.
b. Indeks angka harapan hidup satu tahun yang berdasarkan indeks = 0 untuk
angka harapan hidup = 30 tahun dan indeks = 100 untuk angka harapan hidup =
77 tahun. Setiap 0,39 tahun perubahan angka harapan hidup adalah satu angka
perubahan pada indeks.

c. Indeks melek huruf mendasarkan penduduk usia 15 tahun ke atas mulai dari
yang semuanya buta huruf sampai yang semuanya melek huruf. Setiap satu
persen angka perubahan dalam melek huruf adalah satu angka perubahan dalam
indeks.

Indeks IMR dan e1 digunakan untuk mengukur kemampuan bertahan secara


fisik sejalan dengan siklus hidup dimulai dari usia bayi. Lingkungan keluarga
diasumsikan memerlukan tahap yang dapat dilewati pada tahun pertama dalam
kehidupannya. Setelah lewat usia satu tahun, mereka dapat menyesuaikan dalam
kehidupan yang lebih luas di luar faktor ibu. Dengan demikian kedua variabel ini
diasumsikan dapat mencerminkan faktor ibu dan faktor di luar ibu yang lebih luas.
Kemudian, melek huruf merupakan potensi seseorang untuk bergerak yang lebih
luas dalam ilmu dan ketrampilan untuk mencari nafkah maupun keperluan sosial-
budaya lainnya. Ketiga variabel ini diasumsikan sebagai pengukur hasil upaya

28
masyarakat/penduduk dan bukan merupakan input dalam proses pembangunan.
Indeks Mutu Hidup dapat dihitung dengan cara berikut:

e1 38 229
IMH = + Melek
+ IMR
( Huruf ) : 3
3,9 2,29

Eo 1 + qo ( 1
e1 = ko )
1 - qo
e1 = angka harapan hidup usia satu tahun
eo = angka harapan hidup usia nol tahun/setelah dilahirkan
qo = IMR = angka kematian bayi
ko = rata-rata periode kelangsungan hidup selama tahun pertama

Pada waktu sasaran dari ketiga variabel ini disusun yakni pada tahun 1976 di
negara sedang berkembang rata-rata IMR sekitar 136 per seribu, angka harapan
hidup usia satu tahun adalah 48 tahun dan melek huruf dewasa 34 persen. Pada
tahun 2000 di mana IMH telah mencapai 100 rata-rata IMR kurang dari 50 per
seribu, angka harapan hidup satu tahun telah mencapai 65 tahun dan melek huruf
75 persen. Perubahan IMH menurut propinsi dapat dilihat pada lampiran. Pada
perkembangan selanjutnya ketiga variabel yang digunakan untuk menyusun IMH
terus mengalami perubahan sejalan dengan semakin meningkatnya derajat
kehidupan penduduk. Sebagai akibatnya, angka-angka minimal dan maksimal dari
angka harapan hidup satu tahun bertambah tinggi, demikian halnya dengan angka
melek huruf, dan di lain pihak semakin menurunnya angka kematian bayi,
menyebabkan angka-angka dasar berubah dari waktu ke waktu. Pada
perkembangan berikutnya tidak hanya terbatas pada angka dasar dari variabel yang
digunakan, tetapi ada upaya untuk menambah jumlah variabel lebih dari tiga.
Untuk Indonesia, Sayogyo (1984) pernah menyusun IMH dengan menambah satu
variabel yakni fertilitas sebagai unsur yang keempat. IMH dengan empat unsur ini
di kemudian hari lebih dikenal dengan IMH Plus. Fertilitas di masukkan sebagai
variabel ke empat ini dimaksudkan untuk menguji sampai sejauh mana rencana
standar keluarga kecil sejahtera yang sudah dicanangkan sejak Pelita I dapat dicapai.

29
Dengan proses penyusunan IMH Plus model Sayogya, fertilitas diasumsikan sebesar
3 per wanita usia subur (TFR=3) sebagai angka dasar yang akan dicapai pada tahun
2000. Angka IMH Plus diharapkan mampu menggambarkan variasi fertilitas
menurut propinsi. Distribusi IMH Plus di Indonesia menurut propinsi dapat dilihat
pada journal Prisma tahun XIII, No. 10, 1984:9-19.

Penyajian IMH dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu model angka
tahun dasar, model angka nasional dan model angka indeks tanpa
ditransformasikan. Pendekatan pertama menggunakan angka IMH pada tahun
dasar, misal tahun 1971 nilai IMH untuk DIY = 41 dianggap sama dengan indeks
100. Demikian pula untuk propinsi yang lain di mana nilai IMH pada tahun 1971
dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari 41 (DIY) juga dianggap sama dengan 100.
Dengan demikian indeks IMH pada tahun dasar = 100. Kemudian, untuk tahun
setelah tahun 1971 yakni 1980, 1985, 1990 dan 1995 angka IMH hasil perhitungan
ditransformasikan dengan nilai indeks 100 tersebut. Pendekatan kedua mendasarkan
angka IMH nasional dalam hal ini Indonesia untuk tahun 1971 misalnya dianggap
sama dengan indeks 100. Kemudian untuk setelah tahun 1971 yakni 1980=100; 1985=
100; 1990=100 dan 1995=100. Nilai IMH regional akan bergerak antara kurang dari
100, tepat 100 dan lebih dari 100. Pendekatan ketiga yakni angka IMH disajikan
seperti hasil perhitungan tanpa harus ditransformasikan ke indeks 100, baik indeks
propinsi maupun indeks Indonesia. Dari ketiga pendekatan penyajian angka IMH
ini sudah barang tentu mempunyai keuntungan dan kerugian, tergantung tujuan
perhitungan IMH itu sendiri.

Indeks Pembangunan Manusia


Indeks Mutu Hidup yang diperkenalkan akhir dasawarsa 70-an dimaksudkan
untuk mengukur kualitas penduduk dalam lingkup sejauh mana hasil
pembangunan telah mampu memenuhi kebutuhan dasar penduduk dari segi
peningkatan kualitas fisik kehidupan yang tercermin dari ketiga variabel. Pada awal
tahun 1990 suatu team dari UNDP mengembangkan tolok ukur baru sebagai upaya
untuk memperbaiki IMH dan diharapkan sebagai model pendekatan pengukuran
kualitas penduduk. Tolok ukur ini disebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
atau lebih dikenal dengan Human Development Index (HDI). Indeks ini berusaha
untuk mengetahui sampai sejauh mana pertumbuhan dan pemerataan hasil

30
pembangunan telah mampu secara nyata memberikan output seperti peningkatan
kebutuhan fisik dasar manusia dan perluasan kemampuan manusia untuk
melakukan pilihan-pilihan yang lebih baik. Pilihan-pilihan hidup lebih baik ini
tercermin pada usia harapan hidup yang semakin bertambah panjang, lebih
berpendidikan dan mampu memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar (basic
needs). Ketiga variabel yang dipilih untuk menyusun IPM adalah usia harapan
hidup, pendidikan dan pendapatan per kapita yang disesuaikan dengan
kemampuan daya beli masyarakat setempat. Ketiga variabel ini digabung menjadi
satu indeks dengan memberikan bobot nilai yang sama.

Dalam perhitungan IPM digunakan formula yang telah dipakai oleh UNDP
pada tahun 1990 melalui tiga tahap. Pertama, menentukan suatu ukuran deprivasi
dari tiga variabel dasar yaitu angka harapan hidup (X1), melek huruf (X2) dan
pendapatan per kapita yang telah disesuaikan (X3). Nilai minimum dan maksimum
ditentukan untuk setiap variabel. Seberapa jauh suatu ukuran propinsi dari nilai
maksimum dapat digunakan untuk mengetahui keterbelakangan suatu daerah.
Untuk mengukur keterbelakangan suatu daerah secara relatif dapat dihitung dengan
cara:

max ( Xj ) Xpj
Ipj
max ( Xj ) min ( Xj )

p = Propinsi 1, 2, 3, 4, dst-nya
j = indikator 1, 2, dan 3
Xpj = nilai indikator j untuk propinsi ke p
mak (Xj) = nilai maksimum indikator j yang pernah dicapai
min (Xj) = nilai minimum indikator j yang pernah dicapai

Kedua, menentukan rata-rata deprivasi dari ketiga ukuran deprivasi dari

1 3
Ip I pj
3 j 1
ketiga variabel yaitu:

31
Ketiga, mengukur besarnya indeks pembangunan manusia dengan cara:
IPM = 1 - Ip

Hasil perhitungan IPM berkisar antara 0 sampai 1, dan oleh UNDP


dikelompokkan menjadi tiga golongan yakni: 1. Indeks Pembangunan Manusia yang
tinggi di mana nilainya 0,8 dan lebih. 2. Indeks Pembangunan Manusia
cukup/sedang nilainya antara 0,500 - 0,89 dan 3. Indeks Pembangunan Manusia
rendah nilainya kurang dari 0,5. Perkembangan nilai IPM Indonesia sejak tahun 1990
- 1995 dapat dilihat pada laporan Human Development Report, publikasi dari United
Nation Development Programme (UNDP) terbit setiap tahun. Dalam perkembangan
selanjutnya IPM dapat dihitung dengan menggunakan lebih dari tiga variabel.
Laporan UNDP 1994 dalam menghitung IPM menggunakan lima variabel yakni
angka harapan hidup, melek huruf dewasa, rata-rata tahun sekolah, pendidikan
tertinggi yang ditamatkan dan pendapatan riil per kapita yang disesuaikan. Tiga
variabel pendidikan dibuat menjadi satu indeks. Dalam laporan tersebut disajikan
pula IPM yang disusun dengan menggunakan delapan variabel yaitu angka harapan
hidup, melek huruf dewasa, rata-rata tahun sekolah, indeks melek huruf, indeks
sekolah/ pendidikan, pendidikan tertinggi yang ditamatkan, pendapatan riil per
kapita dan pendapatan riil per kapita yang disesuaikan, urutan IPM dan urutan
pendapatan.

Indeks komposite yang disusun dari ketiga variabel atau lebih diharapkan
mampu menggambarkan tiga aspek kehidupan manusia yang penting yaitu dapat
hidup lebih lama, dengan pengetahuan yang cukup memadai untuk hidup layak.
Pada awal mulanya IPM yang dimulai dengan ukuran deprivasi untuk angka
harapan hidup tertinggi yang dicapai oleh Jepang. Kemudian target melek huruf
adalah 100 persen, sedangkan target pendapatan adalah logaritma batas kemiskinan
rata-rata dari negara maju yang dinyatakan dalam kemampuan daya beli
masyarakat. Pendapatan riil perkapita yang telah disesuaikan terhadap kemampuan
daya beli harus dapat mencerminkan kenaikan hasil yang semakin berkurang dalam
mentransformasikan pendapatan menjadi kemampuan manusia. Ini berarti
seseorang tidak memerlukan sumber keuangan yang berlebihan untuk dapat
memenuhi kehidupan yang layak. Dengan menggunakan logaritma pendapatan per
kapita yang disesuaikan ini diharapkan dapat mencerminkan keadaan yang lebih

32
baik terhadap kemampuan relatif untuk membeli komoditas dan memiliki sumber
daya yang diperlukan untuk hidup.

Kualitas Penduduk NonFisik


Indikator kualitas penduduk nonfisik sangat berbeda dengan kualitas fisik, dan
sebagian besar lebih banyak merupakan ukuran yang tidak langsung seperti ukuran
gejala untuk memperkirakan keadaan yang sesungguhnya. Ascobat Gani (1984)
menyebutkan bahwa kualitas nonfisik dapat dibedakan menjadi tiga sesuai dengan
kepribadian penduduk yakni unsur kecerdasan, unsur rasa dan unsur budi. Unsur-
unsur kecerdasan adalah kemampuan memahami, menganalisa secara kritis/cermat
serta menghasilkan gagasan-gagasan baru. Dilihat menurut sifatnya, kecerdasan
dapat dibedakan menjadi tiga yakni kecerdasan sosial yakni kemampuan untuk
berhubungan secara harmonis dengan orang lain; kecerdasan konseptual yakni
kemampuan memecahkan masalah yang bersifat abstrak dan kecerdasan mekanik
yaitu kemampuan mendayagunakan benda-benda. Pengukuran kecerdasan dapat
dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung misalnya
dengan melakukan psikotest yang lebih dikenal dengan IQ (intelegent quotient).
Pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan prestasi akademis mulai dari
pelajar dan mahasiswa. Ada pula pengukuran kecerdasan yang bersifat makro
seperti memperhatikan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, perbedaan buta
huruf antara penduduk laki-laki dan perempuan.

Selanjutnya Ascobat Gani (1984) menyebutkan unsur rasa merupakan kualitas


emosi yang merupakan unsur dua arah yakni yang positif seperti bahagia, senang,
rasa aman, puas, sampai yang negatif seperti takut, gelisah, benci, khawatir dan
marah. Oleh karena pengukuran unsur rasa/emosional ini cukup rumit dan
kompleks, maka dilakukan pengukuran secara tidak langsung dengan melihat
kejadian neurosis atau psikosis, meliputi gangguan berupa cemas, histeris dan
sejenisnya. Penelitian Departement Kesehatan tahun 1980 menyebutkn angka
neurosis antara 20-60 per 1000 penduduk dan angka psikosis antara 1-3 per 1000
penduduk. Kemudian unsur budi, merupakan kualitas nonfisik penduduk yang
membatasi tingkah laku seseorang untuk senantiasa mematuhi norma.moral yang
berlaku. Dalam hal ini budi akan mencegah seseorang untuk bersifat destruktif baik
terhadap lingkungan sosial maupun dirinya sendiri. Kualitas budi dapat secara tidak

33
langsung dilihat dari angka kriminalitas sebagai aspek negatif dan perbuatan
kebijakan seperti beribadat misalnya sebagai aspek positif.

Penentuan indikator kualitas penduduk merupakan pekerjaan yang rumit dan


sulit karena kualitas penduduk tidak dapat dipisah-pisahkan, baik itu yang bersifat
fisik maupun nonfisik. Akan bertambah sulit lagi terutama dalam mengukur
kualitas non fisik karena kadangkala terpaksa menggunakan ukuran gejala untuk
memperkirakan keadaan yang sesungguhnya. Sejalan dengan ini maka indikator
kualitas nonfisik merupakan ukuran yang tidak langsung. Berbeda halnya dengan
kualitas fisik yang ukuran operasionalnya dapat mendekati pengertian
konsepsionalnya, akan tetapi pengembangannya menjadi lambat dan banyak
menimbulkan masalah selama sistem informasi kependudukan belum dapat
menggantikan dominasi model estimasi tidak langsung (indirect methods).
Ketergantungan pada data sensus dan survai dituntut oleh jumlah sampel yang
cukup besar, agar analisis kualitas penduduk menurut sub-regional (Dati II) dapat
ditampilkan. Pada sisi lain, semakin besar jumlah sampel semakin besar pula jumlah
biaya yang diperlukan. Dalam kerangka seperti ini pelaksanaan sistem informasi
kependudukan seperti registrasi penduduk, sistem informasi kependudukan dan
keluarga menjadi mutlak segera dibenahi untuk mengumpulkan data secara cepat,
akurat dan murah biayanya.

Pengukuran kualitas penduduk dapat dilihat dari aspek demografi, dan


nondemografi atau gabungan antara kedua aspek tersebut. Sampai saat ini kecuali
IMH dan IPM masih melakukan secara terpisah-pisah dalam mengukur kualitas
penduduk, baik itu aspek demografi maupun nondemografi. Artinya belum
ditemukan suatu indikator komposite obyektif yang merupakan gabungan dari
beberapa variabel, disusun dalam satu indeks kecuali IMH dan IPM dengan
berbagai keterbatasan-keterbatasannya. Memilih variabel yang akan digunakan
untuk mengukur kualitas penduduk bukan pekerjaan yang mudah, apalagi di dalam
menentukan variabel tersebut harus memenuhi beberapa kriteria seperti yang
disebutkan oleh Morris. Bagaimana caranya untuk memilih variabel yang jumlahnya
tidak terlalu banyak, mempunyai daya ungkit yang cukup besar, sudah ada ukuran
standarnya merupakan agenda diskusi yang cukup menarik dalam penyusunan
indikator.

34
Evaluasi

1. Sebutkan 3 indikator kualitas penduduk dan jelaskan?

2. Jelaskan pentingnya kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan?

3. Aspek ketenagakerjaan apa saja yang penting untuk diperhatikan dalam era
globalisasi?
4. Apa yang dimaksud dengan Human Capital Theory ?
5. Ada tiga dimensi dalam Human Development, sebutkan dan jelaskan ?

35
KULIAH: MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Disiapkan Oleh: Agus Joko Pitoyo, S.Si, M.A.

Topik :
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS GEOGRAFI
YOGYAKARTA
2007

36
Mohon dijawab pertanyaan berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan kemiskinan kultural dan

kemiskinan struktural ?

2. Apa yang dimaksud dengan kemiskinan subyektif dan

kemiskinan obyektif ?

3. Mengapa orang menjadi miskin ?

4. Bagaimana ciri-ciri orang miskin ?

5. Bagaimana menanggulangi kemiskinan ?

37
KONSEP KEMISKINAN DAN DAERAH TERTINGGAL

Kemiskinan, penduduk miskin dan wilayah miskin (daerah tertinggal)


merupakan tiga istilah yang hingga saat ini terus menjadi bahan perbincangan
menarik di kalangan para pakar. Bukanlah suatu hal yang mudah untuk
mendefinisikan ketiganya, hal ini disebabkan pengertian kemiskinan dapat ditinjau
dari berbagai aspek dan memuat banyak dimensi baik material maupun non material.
Secara umum kemiskinan berkaitan dengan masalah kesejahteraan dan pemerataan.
Penduduk miskin didefinisikan berdasarkan berbagai macam kriteria. Sedangkan
identifikasi wilayah miskin juga memiliki beberapa karakteristik tertentu, seperti
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, daya dukung wilayah, infrastruktur dan
keterjangkauan (aksesibilitas). Uraian berikut mencoba menelusuri berbagai
penelitian, penilaian dan perbincangan tentang kemiskinan yang pernah dilakukan,
kriteria, dan termasuk pendefinisian tentang daerah dan desa tertinggal.

2.1. Konsep Kemiskinan

Dalam Dasawarsa terakhir ini strategi yang dicanangkan oleh Perserikatan


Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia (1990) dalam bidang pembangunan pedesaan
difokuskan pada tekad untuk memerangi kemiskinan. Diantaranya dari Laporan
tahunan yang menyatakan bahwa pembangunan pedesaan diartikan " .... a strategy
designed to improve the economic and social life of the rural poor". Hal ini mengandung
pengertian bahwa aspek sosial-ekonomi yang menyangkut peningkatan pendapatan
masyarakat desa lebih diutamakan daripada aspek fisik lingkungan binaan pedesaan,
selain itu upaya ini lebih ditekankan pada proses perubahan yang berkesinambungan.
Kemiskinan pedesaan (rural poverty) merupakan salah satu topik yang tidak
dapat dipisahkan dari masalah pembangunan pertanian dan pedesaan, terlebih
dinegara sedang berkembang yang sebagian besar penduduknya tinggal di pedesaan
yang umumnya dalam belenggu kemiskinan dengan pertanian sebagai basis
ekonominya (Prayitno, Hadi, 1987:3).
Michael Todaro (1978) mengungkapkan bahwa jumlah terbesar penduduk
miskin berada di daerah pedesaan dengan kegiatan di sektor pertanian dan kegiatan

38
lain yang berhubungan dengan pertanian. Dengan demikian kemiskinan pedesaan
merupakan sebuah pokok masalah yang tidak dapat dipisahkan dari masalah
pembangunan pertanian dan pedesaan.
Suhardjo (1988) ada dua macam kemiskinan bila dilihat dari penyebabnya
yaitu: kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah yaitu
kemiskinan yang terjadi karena keadaan alamnya yang miskin atau langkanya
sumberdaya alam, sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita
oleh segolongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat tersebut
menyebabkan tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang tersedia.
Kedua jenis kemiskinan ini terdapat di desa tertinggal, yang terjadi secara bersamaan
sehingga sangat sulit membedakan keduanya.
Menurut Robert Chambers yang dikutip Loekman Sutrisno, mengemukakan
bahwa kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah jenis kemiskinan terpadu
(integrated proverty), dengan ciri-ciri: kemiskinan pemilikan barang, fisik yang lemah,
keterisoliran, kerentanan (vulnerability) dan ketidakberdayaan (powerlessness).
Selanjutnya dua penyebab terakhir merupakan dua jenis ketidakberuntungan yang
sering menjadi sebab keluarga miskin menjadi lebih miskin.
Dawam Rahadjo (1994) mengidentifikasikan kemiskinan sebagai suatu kondisi
kekurangan yang dialami seseorang atau suatu keluarga. Kondisi kemiskinan ini
disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda, diantaranya berkaitan dengan:
kesempatan kerja, upah gaji dibawah standar minimum, produktivitas kerja yang
rendah, ketiadaan aset (lahan maupun modal), diskriminasi, tekanan harga dan
penjualan tanah untuk kepentingan non produktif.
Emil salim (1980), terdapat 4 (empat ciri penduduk yang tergolong miskin di
daerah pedesaan. Keempat ciri tersebut antara lain: 1) tidak memiliki faktor produksi
sendiri (lahan, modal dan ketrampilan); 2) tidak memiliki kemungkinan untuk
memperoleh penguasaan terhadap faktor produksi dengan kekuatan sendiri; 3)
tingkat pendidikan rendah; 4) kebanyakan tidak memiliki lahan, kalaupun ada
umumnya sempit, sebagian besar bermatapencaharian sebagai buruh tani atau
pekerja kasar di luar pertanian. Untuk dapat mengurangi penduduk miskin pedesaan
paling tidak dapat dilakukan melalui upaya penciptaan peluang kerja, peningkatan
pendapatan dan peningkatan kualitas penduduk (pendidikan dan ketrampilan).

39
Berbagai penelitian dan pustaka yang berkaitan dengan kemiskinan, umumnya
fokus perdebatan berkisar pada definisi kemiskinan, penentuan batas kemiskinan,
penyebab dan upaya-upaya mengatasi kemiskinan. Beberapa kriteria kemiskinan
yang cukup dikenal antara lain menurut BPS, Depdagri, Sayogyo, Hendra Esmara dan
PBB.
Sebagai contoh kriteria kemiskinan yang dapat membantu dalam penelitian ini;
Departemen Dalam Negeri (1985) dalam penelitiannya untuk menentukan lokasi
Kecamatan miskin menggunakan garis batas kemiskinan atas dasar pendapatan
untuk kebutuhan hidup yang penilaiannya didasarkan pada harga 9 bahan pokok di
pasar setempat, kemudian diklasifikasi ke dalam 4 kelas kemiskinan yaituu: 1) miskin
sekali jika pendapatan per kapita kurang dari 75% kebutuhan hidup minimum; 2)
miskin, jika pendapatan per kapita antara 75-125%; 3) hampir miskin, jika pendapatan
terletak antara 125 hingga 200 persen; 4) tidak miskin jika pendapatan perkapita lebih
dari 200 persen kebutuhan minimum.
PBB merekomendasikan 9 (sembilan) komponen untuk mengukur kemiskinan,
diantaranya: kesehatan, konsumsi pangan, pendidikan, kesempatan kerja,
perumahan, jaminan sosial, rekreasi dan kebebasan sebagai ukuran
kesejahteraan.Singarimbun dan Penny (1976) dalam penelitiannya di dusun Miri
Sriharji Imogiri Bantul pada tahun 1970 dengan menyoroti kemiskinan dalam
hubungannya dengan tersedianya lahan dan kepadatan penduduk. Ternyata rasio
yang tinggi antara manusia dan lahan (man-land ratio), mengakibatkan sebagian
terbesar penduduk menjadi miskin, yakni 2/3 dari jumlah penduduk memperoleh
penghasilan dibawah tingkat kecukupan.
Perdebatan tentang pengertian kemiskinan dan batas kemiskinan tidak
kunjung usai. Sebagai gambaran tabel berikut menyajikan tentang beberapa ukuran
yang pernah dikemukakan oleh para pakar kemiskinan.

Tabel 1. Ukuran kemiskinan dari Berbagai Macam Sumber


DESA
GARIS
KRITERIA KOTA DESA DAN
KEMISKINAN
KOTA
a. Esmara (1970) Konsumsi beras /kapita (Kg) 125
b. Sayogyo (1971) Tingkat pengeluaran Ekwivalen
Beras
Miskin (M) 480 320

40
Miskin Sekali (MS) 360 240
Paling Miskin (PM) 270 180
b. Anne Both Kebutuhan gizi minimum per orang
(1970) per hari
Dan Ginneken
1. Kalori 200
2. Protein (gram) 50
d. Gupta (1973) Kebutuhan gizi minimum per orang 24000
per tahun (Rp.)
e. Hasan (1975) Pendapatan minimum per kapita per 125 95
tahun (US $)
f. BPS (1984) Konsumsi kalori per kapita per hari 2100
Pengeluaran per kapita per bulan 13731 7746
(Rp)
g. Sayogya (1984) Pengeluaran per kapita per bulan 8240 6585
(Rp.)
h. Bank Dunia Pengeluaran per kapita per bulan 6719 4479
(1984) (Rp.)
i. Internasional 1. United Nation (1976), nilai US $ 75
tahun 1970
2. Ahluwalia (Pendapatan per kapita 75
per tahun (US $)

Biro Pusat Statistik (BPS) dalam publikasi terakhir, membuat tolok ukur garis

kemiskinan. Penduduk dikatakan miskin jika berada dibawah garis kemiskinan,

yaitu batas pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan

makanan.BPS menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi

dan pengeluaran untuk 52 macam komoditas pangan dan non pangan (27 jenis

untuk kota dan 26 jenis untuk desa). Dalam SUSENAS Maret 2006, dinyatakan

batas kemiskinan (Rp/bulan) untuk Perkotaan (Rp. 175.324), Perdesaan (Rp.

131.256), dan Kota+desa (Rp. 152.849). Berdasar kriteria tersebut, Jumlah

penduduk miskin pada maret 2006 sebanyak 39,5 juta orang atau 17,75 persen dari

total 222 juta penduduk.

Dalam pendataan terakhir yang dilakukan BPS berkaitan dengan penduduk

miskin penelima dana BLT (Bantuan Langsung Tunai), disebutkan bahwa

penduduk miskin yang berhak mendapat BLT memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang

41
2. lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan

3. jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas

rendah/tembok tidak diplester

4. tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama/sama dengan rumah

tangga lain

5. penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik

6. sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai air

hujan

7. bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak

tanah

8. hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu

9. hanya membeli satu setel pakaian baru dalam setahun

10. hanya sanggu makan sebanyak satu/dua kali sehari

11. tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik

12. sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha,

buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan

lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan

13. pendidikan tertinggi kepala rumah tangga adalah tidak sekolah/tidak tamat

SD/hanya SD

14. tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan nilai minimal

Rp. 500.000 seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal

motor, atau barang modal lainnya.

Bank Dunia (2003) mengatakan, 60% rakyat Indonesia tergolong miskin, 10-

20% diantaranya miskin absolut. Kriteria yang dipakai adalah pendapatan 2 dolar

AS/orang/bulan.Sedangkan MDGs (Millenium Development Goals) tahun 200

menyepakati tentang malnutrisi (gizi kurang/buruk)sebagai indikator kemiskinan,

terutama dengan ukuran operasional tentang proporsi anak balita kurang gizi atau

42
berberat badan rendah.

Definisi tentang kemiskinan juga disampaikan oleh BKKBN sejak beberapa

tahun lalu menerapkan ukuran kemiskinan dengan pendekatan yang lebih

operasional yakni dengan membagi keluarga dalam kategori pra sejahtera,

sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III plus, dengan ciri-ciri sebagai

berikut :

43
Tabel 2. Ukuran Kesejahteraan Keluarga Menurut BKKBN
No Tipe Indikator

1. Pra KS Tidak memiliki ciri 1-22 (Merah)


2. KS I 1. Pernah menjalankan Ibadah
2. Seluruh AK makan >= 2 kali
3. Memiliki pakaian berbeda (sekolah/kerja, bepergian)
4. Lantai sebagian besar bukan dari tanah
5. Jika sakit ke sarana kesehatan
Keluarga Sejahtera I, memiliki ciri 1-5 (Kuning)
3. KS II 6. Minimal seminggu sekali, pakai menu Daging/Ikan/Telur
7. Baju baru satu stel (minimal satu tahun)
8. Rasio lantai per jiwa minimal 8m2
9. Bisa baca dan tulis
10. Anak usia 10-12 tahun bersekolah
11. Minimal satu AK mempunyai pekerjaan tetap
12. Satu bulan terakhir AK sehat
13. Ibadah secara teratur
Keluarga Sejahtera II, memiliki ciri 1-13 (Coklat)
4. KS III 14. Jumlah anak maksimal 2 orang dan KB
15. Ada tabungan keluarga
16. Ikut dalam kegiatan masyarakat
17. Rekreasi minimal 3 bulan sekali
18. Mengetahui berita dari Radio/TV/koran
19. Akses terhadap sarana transportasi (angkutan)
20. Peningkatan pengetahuan agama
Keluarga Sejahtera III, memiliki ciri 1-20 (Hijau)
5. KS III+ 21. Memberi sumbangan secara teratur dengan materi
22. Aktif dalam organisasi kemasyarakatan
Keluarga Sejahtera III+, memiliki ciri 1-22 (Biru)
Keterangan : AK (Anggora Keluarga)

Pada tataran kemiskinan wilayah, tinjauan pustaka relatif langka didapatkan,


meskipun demikian hasil studi dari BPS (1993) tentang identifikasi desa miskin dapat
dijadikan sebagai bahan kajian yang menarik. Variabel yang digunakan sebagai
penentu desa miskin terdiri dari 27 untuk desa di wilayah pedesaan, dan 25 variabel
untuk perkotaan, disamping 9 variabel tambahan. Variabel ini dikelompokkan
menjadi empat, yakni potensi desa, prasarana dan sarana sosial-ekonomi desa, fasilitas
perumahan dan lingkungan, serta keadaan sosial demografi penduduk. Oleh karena
itu secara umum desa-desa miskin dicirikan oleh keadaan rendahnya potensi desa,
prasarana-sarana sosial-ekonomi desa, kondisi perumahan dan lingkungan serta
posisi sosial demografis yang tidak menguntungkan. Lebih lanjut wilayah dengan
potensi miskin umumnya menyebabkan penduduk miskin.

2.2. Konsepsi Daerah atau Desa Tertinggal

44
Salah satu isu strategis yang menjadi tantangan pembangunan nasional
adalah tingkat kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi, jumlah penduduk
miskin di Indonesia mencapai 36,2 juta jiwa atau sebesar 16,65% dari jumlah
penduduk Indonesia sebesar 217 juta jiwa [data Susenas, BPS, 2004].
Kenyataan obyektif yang masih tergambar adalah lebih dari 60% penduduk
Indonesia bermukim di kawasan perdesaan dan sekitar 14,6 juta dari 36,2 juta
penduduk miskin di Indonesia. Tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan
diperparah dengan masih banyaknya daerah tertinggal dan desa-desa tertinggal
(sekitar 10.600 desa).
Dewasa ini terdapat 199 daerah yang dikategorikan sebagai daerah
tertinggal, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara
Timur. Sebagian kecil daerah tertinggal terdapat di Pulau Jawa dan Bali. Bagian
terbesarnya tersebar di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Berdasarkan sebaran
wilayahnya, sebanyak 123 kabupaten atau (63%) kawasan tertinggal berada di
Kawasan Timur Indonesia, 58 Kabupaten (28%) berada di Pulau Sumatera, dan 18
Kabupaten (8%) berada di Pulau Jawa dan Bali. Di luar kategori wilayah tertinggal,
terdapat sejumlah kawasan yang dapat kita sebut sebagai kawasan paling
tertinggal. Kawasan ini dihuni oleh Komunitas Adat Terpencil (KAT), yaitu
kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar. Pada umumnya,
kawasan itu belum tersentuh oleh jaringan dan pelayanan sosial, ekonomi dan
politik. Sementara itu, hampir seluruh pulau-pulau kecil terluar dan terdepan di
dalam wilayah kedaulatan negara kita, yang berjumlah 92 pulau, termasuk pula di
dalam kategori kawasan tertinggal.
Desa tertinggal tersebut antara lain dicirikan oleh masih relatif rendahnya
tingkat pelayanan terhadap pemenuhan kebutuhan dan pelayanan infrastruktur
termasuk karakter penduduknya. Disamping itu juga dipengaruhi oleh
keterisolasian dan minimnya potensi daerah yang ada, sehingga menyebabkan
kurang berkembangnya kegiatan ekonomi produktif di perdesaan yang pada
gilirannya mendorong terjadinya peningkatan kemiskinan.
Penduduk perdesaan menghadapi masalah kemiskinan karena
ketertinggalan desanya akan pelayanan infrastruktur perdesaan untuk
pertumbuhan ekonomi lokal disebabkan karena sangat terbatasnya dana

45
pembangunan. Penduduk dari sebagian terbesar desa-desa tertinggal (73%) harus
menempuh 6-10 km dari desanya ke pusat pemasaran (terutama pusat kecamatan)
sedangkan desa-desa sisanya bahkan harus menempuh >10Km dengan kondisi
jalan yang memprihatinkan berupa jalan tanah (di sekitar 27% desa tertinggal).
Penduduk yang terlayani air minum perpipaan baru mencapai 9% selebihnya
masih mangambil langsung dari sumber yang tidak terlindungi; Petani dari sekitar
88% desa tertinggal memiliki luas lahan taninya < 0,5 ha (lahan marjinal) sehingga
dibutuhkan prasarana irigasi desa yang mendukung terjamin berlanjutan produksi
guna mencukupi kebutuhannya.

Pembangunan, khususnya pembangunan di perdesaan merupakan suatu


proses peningkatan kemampuan penduduk desa dalam mengusasai lingkungan
sosial. Menguasai lingkungan sosial tersebut baru dapat terjadi apabila
pembangunan perdesaan merupakan proses kemandirian (Hasbullah, 1994).
Akibat dari kemampuan penguasaan terhadap lingkungan sosial adalah terjadinya
peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat perdesaan. Hal ini mutlak
diperlukan agar masyarakat desa dapat terhindar dari upaya-upaya dari luar yang
akan mempengaruhi atau mengambat perkembangan desa tersebut.
Terkait masalah perkembangan desa, dewasa ini topik tersebut menjadi bahan
diskusi yang selalu aktual. Hal ini didasarkan pada tingginya jumlah wilayah desa
di Indonesia yang dikategorikan sebagai daerah/desa tertinggal. Rusli, (1994)
menjelaskan bahwasanya desa tertinggal merupakan wilayah dengan rata-rata
perkembangan yang cenderung lebih rendah dibanding dengan rata-rata
perkembangan desa di Kabupaten atau propinsi yang sama. Dalam berbagai kasus
eksistensi daerah/desa tertinggal seringkali dikaitkan dengan tingkat kemiskinan
yang ada.
Pada dasarnya kemiskinan dan ketertinggalan merupakan dua konsep yang
berbeda, namun memiliki keterkaitan yang cukup erat. Meskipun demikian perlu
digarisbawahi bahwa daerah/desa miskin pada prinsipnya bukan berarti
tergolong sebagai daerah/desa tertinggal. Penelitian Rusli dkk, 1994 menunjukkan
bahwa dalam desa yang tidak tertinggal juga ditemukan golongan miskin.
Beberapa contoh ditemukan di Propinsi Riau, terdapat daerah-daerah kumuh yang

46
umumnya dihuni oleh lapisan bawah dari masyarakat menurut tokoh masyarakat
di tingkat desa/kelurahan pada desa atau kecamatan yang tergolong maju.

2.2.1. Kementrian Daerah Tertinggal

Sampai saat ini belum terdapat pendefinisian desa tertinggal yang baku.
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal mendefinisikan daerah
tertinggal adalah daerah Kabupaten yang relatif kurang berkembang
dibandingkan daerah lain dalam skala nasional, dan berpenduduk yang relatif
tertinggal. Beberapa faktor yang diienstifikasi ebagai faktor penyebab
ketertinggalan suatu daerah adalah :
1 (1) Geografis. Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau
karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan,
kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor
geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik
transportasi maupun media komunikasi.
2(2) Sumberdaya Alam. Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi
sumberdaya alam, daerah yang memiliki sumberdaya alam yang besar
namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak
dapat dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumberdaya
alam yang berlebihan.
3(3) Sumberdaya Manusia. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal
mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif
rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang.
4(4) Prasarana dan Sarana. Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi,
transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya
yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami
kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.
5(5) Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial. Seringnya suatu daerah
mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat menyebabkan
terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi.
6(6) Kebijakan Pembangunan. Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan
oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada

47
pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas
pembangunan, serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam
perencanaan dan pembangunan.
Dilihat dari sebaran keruangannya, daerah tertinggal secara geografis
digolongkan menjadi beberapa kelompok, antara lain:
1(1) Daerah yang terletak di wilayah pedalaman, tepi hutan, dan pegunungan
yang pada umumnya tidak atau belum memiliki akses ke daerah lain yang
relatif lebih maju;
2(2) Daerah yang terletak di pulau-pulau kecil, gugusan pulau yang berpenduduk
dan memiliki kesulitan akses ke daerah lain yang lebih maju;
3(3) Daerah yang secara administratif sebagian atau seluruhnya terletak di
perbatasan antarnegara baik batas darat maupun laut;
4(4) Daerah yang terletak di wilayah rawan bencana alam baik gempa, longsor,
gunung api, maupun banjir.
5(5) Daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penetapan kriteria daerah tertinggal
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan
6 (enam) kriteria dasar yaitu : perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia,
prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal, aksesibilitas dan
karakteristik daerah, serta berdasarkan kabupaten yang berada di daerah
perbatasan antarnegara dan gugusan pulau-pulau kecil, daerah rawan bencana,
dan daerah rawan konflik.

2.2.2. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Dalam kaitannya dengan program penanggulangan kemiskinan dan


pengembangan daerah tertinggal, satu dasawarsa yang Bappenas (1993) telah
menyusun program Inpres Desa tertinggal (IDT) dan melaksanakan penelitian
partisipatoris berupa kaji tindak kebijakan (policy research) program IDT untuk
mengetahui kesesuaian program dengan kenyataan di lapangan serta proses
pembangunan masyarakat desa tertinggal. Studi ini menghasilkan berbagai
karaktersitik, potensi dan keberhasilan program IDT pada berbagai macam tipologi

48
desa tertinggal. Secara umum didapatkan 23 (duapuluh tiga) tipologi desa di
Indonesia, yaitu desa transmigrasi, desa hutan, desa pantai, desa lahan kering, desa
lahan sawah, desa perkebunan, desa monokultur tanaman tertentu, desa terpencil,
desa daerah aliran sungai, desa adat, desa padat penduduk, desa jarang penduduk,
desa penghasil garam, desa pariwisata, desa peternakan, desa kerajinan (tenun dan
gerabah), desa pegunungan, desa pasang surut, desa perbatasan, desa pertambangan
aspal, desa suku pendatang dan desa tipologi kepulauan.
Selaras dengan definisi tentang daerah tertinggal adalah termasuk wilayah
terisolir, yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain: (1)
terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan
wilayah yang relatif lebih maju; (2) kepadatan penduduk relatif rendah dan
tersebar; (3) kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya
sumber daya alam dan manusia; (4) belum diprioritaskannya pembangunan di
wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan
pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung; dan (5) belum optimalnya
dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayahini.

2.2.3. Departemen Dalam Negeri (DEPDAGRI)


Dalam kaitannya dengan penentuan desa miskin, Direktorat Jendral
Pembangunan Desa (Dirjen Bangdes) mengidentifikasikan daerah/desa/kelurahan
miskin dengan mengukur tingkat pendapatan per kapita per tahun. Pendapatan
bersih desa per kapita per tahun didasarkan pada total pendapatan dari berbagai
sektor dengan memperhitungkan biaya produksi dan penyusutannya. Sektor-
sektor tersebut meliputi: tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan,
kehutanan dan pekarangan, peternakan, perikanan, pertambangan/bahan galian,
industri/kerajinan rakyat, perdagangan, transportasi/angkutan dan jasa.
Di lain pihak Bangdes juga mengidentifikasi daerah/desa tertinggal dengan
melihat tingkat perkembangan desa yang didasarkan pada data potensi desa
(Podes-Bangdes). Podes-Bangdes mengandung 4 aspek pendekatan dan 7 indikator
yang cukup komprehensif, yaitu :
Aspek ideologi dan politik : indikator politik

49
Aspek Ekonomi : indikator tingkat pendapatan desa per kapita, indikator
tingkat ketergantungan, dan peranserta masyarakat
Aspek sosial budaya : indikator kesehatan masyarakat dan pendidikan
Aspek ketenteraman dan ketertiban : indikator kamtibnas
yang selanjutnya ditentukan tingkat perkembangan desa berdasarkan ciri :
desa swadaya, desa swakarsa, dan desa swasembadan. Selain itu juga
diperhitungkan tipe desa berdasarkan pendekatan potensi dominan yang telah
diolah dan dikembangkan serta menjadi sumber penghidupan sebagian besar
masyarakat, misalnya desa nelayan, desa kerajinan atau desa industri.

2.2.4. Ditjen Agraria (Badan Pertanahan Nasional)


Seperti halnya Bangdes, Direktorat Tataguna Tanah, Ditjen Agraria dan
Departemen Dalam Negeri juga melakukan analisis penentuan daerah miskin pada
level kecamatan untuk seluruh wilayah Indonesia. Patokan yang digunakan adalah
kebutuhan minimum yang meliputi sembilan bahan pokok kebutuhan sehari-hari
dan didapatkan 4 klasifikasi, yaitu:
Miskin sekali, yaitu daerah yang pendapatan per kapita penduduknya di
bawah 75 persen dari kebutuhan hidup minimum
Miskin, yaitu daerah yang pendapatan per kapita penduduknya25 persen
kurang atau 25 persen lebih dari pada kebutuhan hidup minimun
Hampir miskin, yaitu daerah yang pendapatan perkapita penduduknya 25
persen lebih dari kebutuhan hidup minimum sampai mencapai kebutuhan
hidup sekunder (200 persen)
Tidak miskin, yaitu daerah yang pendapatan per kapita penduduknya melebihi
kebutuhan hidup sekunder
Disamping itu ditentukan pula 14 variabel yang berpengaruh terhadap
kemiskinan daerah yaitu meliputi: kepadatan penduduk, tingkat pengangguran,
realisasi IPEDA, luas lahan pertanian, tanah rusak, luas panen bahan makanan,
jumlah pemilik tanah, nilai ternak, panjang jalan kendaraan roda empat, rumah
permanen dan semi permanen, jumlah anak per kepala keluarga, tanah pertanian
rakyat, dan jumlah anak per penduduk.

50
2.2.5. Badan Pusat Statistik (BPS)
Biro Pusat Statistik tahun 1993 membuat peta kemiskinan berdasarkan Data
Podes tahun 1990, yang sebenarnya lebih menggambarkan peta tingkat
keterbelakangan atau ketertinggalan wilayah atau desa (Sumardjo, et al, 1995).
Pada tahun 1994 BPS mencoba untuk mengidentifikasikan daerah tertinggal di
Indonesia dengan menyempurnakan metode yang digunakan sebelumnya (tahun
1993), yaitu dengan cara mereduksi varibael wilayah kota dari 25 menjadi 17, dan
dari 27 menjadi 18 (untuk wilayah perdesaan). Variabel-variabel tersebut tidak
hanya mencakup variabel potensi desa dan keadaan perumahan/lingkungan,
tetapi juga variabel mengenai potensi penduduk dan kemudahan (akses) untuk
mencapai fasilitas umum. Variabel tersebut mencakup lapangan usaha mayoritas
penduduk; fasilitas pendidikan, kesehatan, komunikasi; kepadatan penduduk;
sumber air minum/masak; sumber bahan bakar; cara membuang sampah; jenis
jamban persentase rumah tangga pengguna listrik, TV, kendaraan bermotor roda 4
atau kapal motor; persentase rumah tangga pertanian; persentase rumah tangga
yang menyekolahkan anak/famili ke PT; keadaan sosial ekonomi; kemudahan
mencapai puskesmas, pasar permanen dan pertokoan. Sedangkan untuk daerah
pedesaan, selain variabel tersebut juga ditambahkan variabel jalan utama desa,
serta keberadaan rumah tangga pelanggan koran/majalah.

2.2.6. Penelitian Sayogyo, dkk


Di lain pihak Sayogyo, dkk (1992) melalui metode tipologi melakukan studi
pengidentifikasian wilayah miskin dengan membedakan antara daerah tertinggal
dan maju. Tipologi tersebut dibuat dengan menganalogikan bahwa kemiskinan
merupakan fungsi dari ketertinggalan perkembangan sektoral seperti pendidikan,
sarana ekonomi, media massa, kesehatan, industri, pertanian, jasa dan lainnya.
Dengan menggunakan metode yang sama seperti yang digunakan Sayogyo,
para ahli dari IPB mencoba memetakan wilayah-wilayah tertinggal dengan
memanfaatkan data podes dan sensus ekonomi untuk menggambarkan
ketenagakerjaan di berbagai sektor. Berdasarkan kombinasi data tersebut
dihasilkan tipe perkembangan wilayah berdasarkan (1) perkembangan sektor

51
modern, (2) perkembangan sektor tradisional, (3) perkembangan pelayanan umum
dan (4) perkembangan pelayanan pendidikan.

2.2.7. Dinas Sosial


Dalam menentukan daerah tertinggal, Dinas Sosial menggunakan indikator
yang relatif berbeda dengan penekanan pada daerah/desa rawan sosial ekonomi.
Menurut Dinsos terdapat tujuh golongan masyarakat penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS), yaitu : keluarga fakir miskin, wanita rawan sosial
ekonomi, keluarga berumah tak layak huni, anak terlantar, gelandangan dan
pengemis. Sedangkan indikator keluarga fakir miskin menurut rumusan Depsos
(1992) adalah
Perorangan atau kepala keluarga berusia 18 55 tahun
Mempunyai atau tidak mempunyai pekerjaan yang layak dengan
penghasilan rendah (dibawah standar garis kemiskinan BPS yang berlaku
pada tahun yang sama)
Kondisi rumah dan lingkungan tidak layak huni
Tingkat pendidikan dan keterampilan rendah
Mempunyai atau menghadapi hambatan-hambatan psikologis dan sosial

52
2.2.8. Pertimbangan Penetapan Daerah tertinggal
Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan
pendekatan berdasarkan 6 (enam) kriteria dasar yaitu : faktor geografis (letak,
aksisibilitas dan karakteristik desa), kondisi sosial ekonomi, sarana dan prasarana,
sumberdaya ekonomi pedesaan, tingkat kerawanan bencana, dan kemampuan
swadaya desa. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka ditetapkan sejumlah desa
tertinggal, beserta prioritas dan pengembangannya.
1. Faktor geografis (lokasi)
Letak
Indentifikasi letak berkaitan dengan penentuan daerah/desa tertinggal
dirasa perlu, sebab letak suatu daerah/desa mampu mencerminkan
hubungan keterkaitan dengan pusat pertumbuhan, pusat pemerintahan,
pusat pelayanan ekonomi ataupun tingkat interaksinya dengan wilayah lain.
Prinsipnya semakin jauh letak suatu daerah dengan pusat pertumbuhan atau
pusat pelayanan ekonomi, maka semakin rendah tingkat perkembangannya.
Hal ini sesuai dengan teori pusat pertumbuhan, dimana daerah di dekat
pusat pertumbuhan akan lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan daerah
yang letaknya jauh dari pusat pertumbuhan. Konsekuensi yang harus
ditanggung oleh daerah yang letaknya jauh dari pusat pelayanan adalah
tingginya waktu jempuh untuk mencapai pusat pertumbuhan tersebut
Aksesibilitas
Aksesibilitas merupakan kemudahan untuk mencapai pusat-pusat pelayanan
yang ada. Aksesibilitas yang baik akan mempermudah mobilitas barang dan
modal. Dalam proses produksi, faktor aksesibilitas sangat dipertimbangkan
sebab akan mempengaruhi peningkatan biaya produksi dengan adanya
tambahan biaya pengangkutan. Di lain pihak, juga dipertimbangkan faktor
kualitas jalan sebab akan mempengaruhi kualitas produk yang akan
diperoleh ataupun dipasarkan. Sehingga seringkali, daerah dengan
aksesibilitas rendah akan sulit ditembus oleh investasi atau masuknya modal
dari luar. Akibatnya, daerah tersebut akan mengalami ketertinggalan
perkembangan
Karakter desa

53
Untuk mengetahui tingkat ketertinggalan daerah/desa dapat dilihat
berdasarkan karakter wilayahnya. Daerah berciri desa salahsatunya ditandai
dengan dominasi sektor pertanian, sejauh ini daerah pertanian relatif lambat
pertumbuhannya. Pada sisi lain, desa transisi selain memiliki ciri desa juga
memiliki ciri kota karena faktor kedekatannya dengan pusat pertumbuhan.
Dengan demikian, karakter desa dapat digunakan untuk menentukan
apakah desa tersebut tertinggal atau tidak.

2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa


3. Sarana dan Prasarana
Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk
mengukur tingkat pembangunan sumberdaya manusia. Untuk mencetak
kualitas sumberdaya manusia yang unggul, diperlukan ketersediaan sarana
dan prasarana yang memadai pula. Untuk itu daerah yang memiliki fasilitas
pendidikan cukup lengkap dari tingkat terendah (TK) hingga perguruan
tinggi mencerminkan kemajuan pembangunan di bidang pendidikan
Kesehatan
Di bidang kesehatan, ketersediaan sarana prasarana rumah sakit, poliklinik,
puskesmas, apotik, dokter dan bidan menggambarkan kemajuan
pembangunan kesehatan dan kesiapan daerah dalam melayani masyarakat.
Secara tidak langsung ketersedian sarana prasarana kesehatan akan
berpengaruh terhadap angka harapan hidup masyarakat. Di daerah
tertinggal pada umumnya ketersediaan fasilitas kesehatan cukup terbatas,
dalam kesehatan masyarakat cenderung menggunakan metode tradisional.
Ekonomi
Kemajuan daerah/desa ditandai dengan ketersediaan sarana prasarana
ekonomi seperti pasar permanen/permanen dan harian/non harian, pasar
hewan/non hewan, kompleks pertokoan, restoran, koperasi, bank serta hotel.
Sarana prasarana tersebut berfungsi untuk menunjang pergerakan aktivitas
ekonomi lokal dan masyarakat. Bagi masyarakat pedesaan eksistensi pasar

54
harian memiliki arti yang lebih penting daripada masyarakat perkotaan,
sebab berfungsi sebagai tempat pemasaran hasil panen mereka.
Umum
Sarana prasarana umum lainnya yang berkaitan dengan tingkat
perkembangan daerah/desa, tertutama berkenaan dengan keinginan desa
untuk membuka diri terhadap informasi dan dunia luar, menyangkut
ketersediaan wartel/telepon umum/warpostel, kantor pos, koran/surat
kabar, penyewaan video/VCD serta listrik penerang jalan.
4. Sumberdaya Ekonomi Desa
Daerah/desa pada prinsipnya memiliki variasi sumberdaya ekonomi,
seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri pengolahan,
industri kecil dan rumah tangga dan pertambangan. Terkadang desa/daerah
dimungkinkan memiliki potensi sumberdaya ekonomi lebih dari satu.
Luas/persentase sawah
Luas/persentase sawah berkaitan dengan produktivitas pertanian yang
dapat digunakan sebagai salah satu indikasi kemiskinan wilayah. Dalam hal
tingkat produktivitas pertanian dapat digunakan untuk menentukan desa-
desa yang tergolong kurang produktif ataupun yang produktif
Sumberdaya perkebunan, dan peternakan
Sumberdaya perkebunan dan peternakan pada dasarnya memiliki
keunggulan komparatif dan apabila dikelola dengan baik dapat memberikan
keuntungan bagi desa secara optimal
Sumberdaya ekonomi perikanan
Keberadaan industri pengolahan
Keberadaan industri pengolahan mampu menggambarkan perubahan
kemajuan pembangunan daerah/desa yang semula bertumpu pada sektor
pertanian
Keberadaan industri kecil dan rumah tangga
Terlepas dari peran Industri rumah tangga dan industri kecil sebagai
penopang ekonomi nasional, industri rumah tangga juga merupakan
cerminan kemapaman dan kemandirian ekonomi masyarakat desa.
Sumberdaya pertambangan

55
Sumberdaya pertambangan terutama yang menguasai hajat hidup orang
banyak akan dikelola oleh negara, sedangkan daerah/desa pemilik
sumberdaya tersebut akan memperoleh income dari eksplorasi dan ekspoitasi
yang dilakukan (perbandingan persentase penerimaan daerah dan negara
sudah diatur oleh pemerintah dengan memeprtimbangkan jenis barang
tambangnya). Dengan demikian, memiliki sumberdaya pertambangan
merupakan modal yang dapat diandalkan untuk pembangunan
5. Tingkat kerawanan Bencana Alam
Pada dasarnya daerah/desa tertinggal disebabkan karena faktor fisik dan
non fisik. Faktor fisik tersebut mencakup potensi-potensi bencana alam
seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, lahan kritis dan pencemaran
lingkungan. Bekerjanya faktor fisik tersebut berdampak pada ketidakstabilan
sistem dan proses pembangunan. Seringkali pemerintah harus mengeluarkan
biaya ekstra untuk memperbaiki sarana prasarana yang rusak akibat bencana
serta memberikan bantuan kepada korban bencana.
6. Keswadayaan Desa
Perbandingan swadaya masyarakat dengan dana dari pemerintah
Kemajuan daerah/desa dicirikan dengan kemandirian desa dalam
membiayai pembangunan fisik atau sarana dan prasarana desa. Kondisi ini
secara tidak langsung dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan dan
partisipasi masyarakat, dimana masyarakat dapat menyisakan sebagian aset
yang dimilikinya untuk keperluan pembangunan desa.
Aset desa
Apabila golongan miskin dapat diidentifikasikan dengan melihat rendahnya
kepemilikan aset, maka daerah miskin atau tertinggal juga dapat
diidentifikasikan dengan melihat aset yang dimiliki oleh daerah/desa. Aset
desa dapat dikelola dab dimanfaatkan sebagai modal untuk keperluan
pembangunan, tanpa harus menunggu dana dari pemerintah yang relatif
lama dan sulit perolehannya.

Pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya terencana untuk


mengubah suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai

56
permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju
dengan komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal
dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pembangunan daerah
tertinggal ini berbeda dengan penanggulangan kemiskinan dalam hal cakupan
pembangunannya. Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi aspek
ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan (bahkan menyangkut
hubungan antara daerah tertinggal dengan daerah maju). Di samping itu
kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan
perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah memiliki komitmen yang tinggi
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di kawasan-kawasan yang tertinggal itu.
Pemihakan terhadap rakyat di kawasan itu adalah suatu keniscayaan dan kita
lakukan demi keadilan. Untuk meningkatkan kesejahteraan di daerah-daerah
tertinggal, Pemerintah telah dan sedang mengambil langkah-langkah sebagai
berikut: Pertama, meningkatkan sarana dan prasarana pendukung pengembangan
sosial ekonomi, terutama membuka akses ke pusat-pusat pertumbuhan lokal, dan
peningkatan pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan; Kedua, pemutakhiran
data dan informasi mengenai daerah tertinggal; Ketiga, percepatan pembangunan
infrastruktur perdesaan; dan Keempat, percepatan pembangunan kawasan Produksi
Daerah tertinggal secara terintegrasi.

Indikator Kriteria Desa Tertinggal


Berdasarkan kajian awal teori-teori dan studi tentang pengembangan
wilayah perdesaan dan khususnya desa tertinggal, dapat disusun sejumlah
indikator yang dapat digunakan untuk menetapkan desa tertinggal, diantaranya
terdiri dari enam kelompok indikator, yaitu : (1) Faktor Geografis, (2) Kondisi
Sosial Ekonomi Masyarakat, (3) Sarana dan Prasarana Desa, (4) Sumberdaya
Ekonomi Desa, (5) tingkat kerawasan terhadap bencana, dan (6) tingkat
keswadayaan desa. Selengkapnya rincian dari enam indikator tersebut diuraikan
dalam tabel 1 berikut.

57
Tabel 4. Kriteria dan Indikator penentuan Desa tertinggal di Daerah
No. Indikator variabel
1 Faktor Geografi Tingkat kemudahan keterjangkauan (aksesibilitas) desa
(lokasi)
1. Letak Jarak desa terhadap pusat kecamatan, pusat kabupaten,
dan pusat ekonomi terdekat
Waktu tempuh dari desaerhadap pusat kecamatan,
pusat kabupaten, dan pusat ekonomi terdekat
2. Aksesibilitas Kualitas jalan, baik jalan tanah, jalan batu (diperkeras),
jalan aspal
Jalan dapat dilalui kenaraan roda 4
Jalan desa dilewati angkutan kota / pedesaan
Jalan desa dilewati bus umum antar kota
Tipe atau kelas jalan : Jalan lokal, primer, sekunder,
arteri, dan sebagainya
3. karakter desa Desa Rural (berciri desa)
Desa Urban (berciri kota / kelurahan)
2 Kondisi Sosial Semakin tinggi jumlah atau prosentase penduduk
Ekonomi miskin (pra sejahtera) semakin potensi menjadi desa
Masyarakat Desa tertinggal
1. Tingkat Jumlah penduduk pra sejahtera dan sejahtera I (versi
kesejahteraan BKKBN)
2. Tingkat Jumlah penduduk miskin atau penelima BLT (Bantuan
kesmikinan langsung Tunai)
3. Karakteristik Jumlah rumah non / semi pernanen
rumah dan Jenis lantai rumah
lingkungan Jenis dinding rumah
Jenis atap rumah
Pengunaan listrik
Fasilitas buang air besar
Sumber air minum
Bahan bakar yang dipakai
3. Tingkat Proporsi penduduk menurut tingkat pendidikan
pendidikan (khususnya tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD)
4. Struktur mata Penduduk bermata pencaharian non pertanian, selain
pencaharian utama dari petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani,
nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau
pekerjaan lainnya dengan pendapatan rendah
5. Tingkat Kejadian muntaber
kesehatan Kejadian busung lapar (kurang gizi)
3 Sarana dan
prasarana Desa
1. Pendidikan TK (Negeri dan swasta)
SD/MI (Negeri dan swasta)
SMP/MTS(Negeri dan swasta)
SMA/SMK/MAN(Negeri dan swasta)
Kursus ketrampilan
2. Kesehatan Rumah sakit
Poliklinik
Puskesmas
Puskesmas pembantu
Puskesmas keliling
Bidan/Manteri
Praktek dokter
Toko obat/apotik

58
3. Ekonomi Pasar non permanen
Pasar permanen
Pasar harian
Pasar non harian
Pasar hewan
Kompleks (kelompok) pertokoan
Restoran (Warung makan)
Koperasi
Bank pemerintah/swasta
Hotel/Penginapan
4. Umum Penyewaan alat (perkawinan, kursi, tenda,dll)
Persewaan Video/VCD, dll
Wartel/telpon umum/warpostel
Kantor pos
Koran/surat kabar
Listrik penerang jalan
Pos polisi
Pos militer (koramil)
4 Sumberdaya Luas /persentase sawah
ekonomi desa
Sumberdaya perkebunan (keberadaan lahan
perkebunan, perkebunan besar, misalnya karet, sawit,
tebu)
Sumberdaya ekonomi peternakan (jumlah ternak)
Sumberdaya ekonomi perikanan (jumlah produksi ikan,
eksisten budidaya tambak)
Keberadaan industri pengolahan (industri menengah
dan besar/pabrik)
Keberadaan industri kecil dan rumah tangga
Sumberdaya pertambangan (keberadaan dan jumlah)
Keberadaan tempat atau objek wisata
Eksistensi sumberdaya ekonomi perikanan (jumlah
produksi ikan)
5 Tingkat kerawanan Jenis kerawanan bencana (kejadian bencana)
Bencana alam Gempa
Banjir
Tanah longsor
Lahan kritis
Pencemaran lingkungan
6 Keswadayaan desa Besar kecilnya swadaya masyarakat dalam
pembangunan, khususnya jika dibandingkan dengan
dana dari pemerintah
Aset desa

59
Kebijakan Nasional Penanggulangan

Kemiskinan

1. Pemenuhan Hak Dasar


Pemenuhan hak-hak dasar manusia terdiri dari penyediaan
dan perluasan akses pangan; layanan kesehatan; layanan
pendidikan; peningkatan kesempatan kerja dan berusaha;
perluasan akses layanan perumahan; penyediaan air bersih dan
aman, serta sanitasi; perluasan akses tanah; perluasan akses
sumberdaya alam dan lingkungan hidup; peningkatan rasa aman;
dan perluasan akses partisipasi.
1.1 Penyediaan dan Perluasan Akses Pangan
Hak atas pangan merupakan salah satu hak dasar umat
manusia, dan dijamin dlam ketentuan perundang-undangan. UU
No.7 tahun 1996 tentang Perlindungan Pangan menyebutkan
bahwa pangan yang aman dan bermutu merupakan kebutuhan
dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap
rakyat Indonesia. Landasan hukum tersebut didukung dengan
berbagai kebijakan seperti halnya Keputusan Menteri Keuangan
No.368/KMK.01/1999 tentang penetapan tarif impor beras, Inpres
No.9 tahun 2002 tentang kebijakan perberasan, Kepres No.68
tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Lebih lanjut secara
operasional penyelenggaraan dan perluasan akses pangan bagi
penduduk miskin diatur dalam Inpres No. 9 tahun 2002 yang
kemudian direvisi dengan Inpres No. 2 tahun 2005. Dalam Inpres
tersebut disebutkan bahwa pemerintah menjaminkan dalam
penyediaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok
masyarakat miskin dan rawan pangan.
1.2. Perluasan Akses Layanan Kesehatan

60
Arah kebijakan pembangunan kesehatan yang telah
diluncurkan adalah mencapai Indonesia sehat tahun 2010.
Kebijakan tersebut didukung degnan pelaksanaan Instruksi
Presiden tentang Sarana Kesehatan (Inpres Sarkes) untuk
memperluas jangkauan pelayanan kesehatan sejak tahun 1970an.
Kebijakan tersebut berperan besar dalam memperbaiki status
kesehatan masyarakat.
Upaya pemerintah menciptakan pemerataan pelayanan
kesehatan yang telah dilaksanakan antara lain yaitu penyebaran
tenaga kesehatan (PTT); kebijakan pembebasan biaya kesehatan
melalui Kartu Sehat; Program Jaring Pengaman Sosial Bidang
Kesehatan (JPS-BK); PKPS-BBM Bidang Kesehatan Tahun 2003;
dan beberapa kebijakan lainnya yang diatur oleh Undang-undang.
Kebijakan program-program tersebut menghadapi kendala
antara lain masih terkonsentrasinya fasilitas layanan kesehatan di
kota-kota besar sehingga menyulitkan masyarakat miskin untuk
mengaksesnya; subsidi pelayanan kesehatan yang tidak tepat
sasaran; dan masyarakat belum memperoleh jaminan mutu
layanan kesehatan dan kepastian perlindungan.
Langkah strategis yang perlu dilakukan untuk memenuhi hak
dasar atas layanan kesehatan adalah pusat pelayanan terpadu
untuk kesehatan masyarakat termasuk kesehatan reproduksi, dan
pengembangan mekanisme jaminan kesehatan yang memadai
untuk melindungi masyarakat miskin dari goncangan akibat
pengeluaran kesehatan. Upaya ini sesuai dengan Sistem
Kesehatan Nasional 2004, Kepmenkes 131 tahun 2004, dan
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
1.3. Perluasan Akses Layanan Pendidikan
Pembangunan pendidikan sejak tahun 1980 an ditempuh
melalui empat kebijakan pokok, yaitu pemerataan untuk
memperoleh kesempatan pendidikan, peningkatan mutu

61
pendidikan, efisiensi manajemen pendidikan dan peningkatan
relevansi pendidikan mulai dari anak usia dini sampai dengan
orang lanjut usia.
Kebijakan pemerataan pendidikan dimaksudkan untuk
memberikan akses pendidikan yang sama bagi masyarakat.
Kebijakan tersebut dituangkan dalam beberapa program seperti
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), SD Inpres, Program Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, Program Makanan
Tambahan untuk Anak Sekolah (PMTAS). Selain itu peningkatan
akses pendidikan juga dilakukan melalui penyediaan beasiswa
bagi siswa dari keluarga miskin melalui program Jaring Pengaman
Sosial (JPS) Bidang Pendidikan dan Program Kompensasi
Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) dengan tujuan mencegah
peningkatan angka putus sekolah sebagai dampak negatif krisis
ekonomi.
Pada umumnya, kebijakan pemerataan pendidikan
memberikan hasil yang positif terhadap pemerataan pendidikan.
Akan tetapi kebijakan peningkatan mutu pendidikan selama ini
belum menjadi prioritas dibanding pemerataan pendidikan.
Berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan seringkali kurang
berhasil karena terhalang oleh kurangnya jumlah guru yang
bermutu, terbatasnya anggaran, terbatasnya sarana dan
prasarana pendidikan yang tersedia. Selain itu, kenyataan
menunjukkan bahwa perhatian dan dukungan terhadap
pengembangan pendidikan masih belum memadai.
Langkah strategis suatu kebijakan diperlukan dengan suatu
tindakan afirmatif untuk meningkatkan alokasi anggaran
pendidikan secara bertahap sesuai tuntutan konstitusi,
meningkatkan kesejahteraan, mutu, dan profesionalisme guru,
meningkatkan ketersediaan mutu sarana prasarana pendidikan,

62
memperluas peluang bagi anak dari keluarga miskin untuk
memperoleh pelayanan pendidikan yang lebih tinggi.
1.4. Peningkatan Kesempatan Kerja dan Berusaha
Pemenuhan hak atas pekerjaan yang layak bagi masyarakat
miskin ditentukan oleh ketersediaan lapangan kerja yang dapat
mereka akses, kemampuan untuk mempertahankan dan
mengembangkan usaha, dan perlindungan pekerja dari eksploitasi
dan ketidakpastian kerja. Pemenuhan terhadap hak atas pekerjaan
tersebut secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh
kebijakan ekonomi makro, pengembangan sektor riil,
perdagangan, ketenagakerjaan, dan pengembangan koperasi,
usaha mikro dan kecil.
Kebijakan tersebut dituangkan dalam program revitalisasi
industri yang diluncurkan oleh Deperindag (2001-2004), White
Paper yang diluncurkan oleh Menko Perekonomian, dan Propenas
(1999-2004). Selain itu pemerintah juga meluncurkan program
jangka pendek untuk menyerap tenaga kerja melalui proyek
Pembangunan Prasarana Perdesaan (P2D), dan Program
Pengembangan Kecamatan (PPK), serta program-program
penguatan Lembaga Keuangan Mikro dan Usaha Koperasi melalui
program Bantuan Dana Bergulir.
Langkah strategis yang perlu dilakukan untuk menjamin hak
atas pekerjaan adalah meningkatkan akses masyarakat miskin
terhadap kesempatan kerja dan kesempatan untuk
mengembangkan usaha melalui langkah terpadu untuk
menciptakan lapangan pekerjaan; peningatan investasi yang padat
pekerja; pengembangan usaha dan kerja di luar pertanian;
peningkatan akses informasi, teknologi dan pasar;
mengembangkan kelembagaan yang mampu memperjuangkan
akses masyarakat miskin terhadap kesempatan kerja; dan
kebijakan lainnya.

63
2. Pengendalian Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk
Kebijakan kependudukan diarahkan untuk mengendalikan
laju pertumbuhan, memeratakan persebaran dan meningkatkan
mutu hidup penduduk. Kebijakan yang dilaksanakan untuk
mengendalikan laju pertumbuhan penduduk adalah program
keluarga berencana dan keluarga sejahtera. Sedangkan kebijakan
yang dilaksanakan untuk memeratakan persebaran penduduk
adalah transmigrasi. Keberhasilan program KB yang berhasil
menekan angka fertilitas secara signifikan tidak diimbangi dengan
program transmigrasi. Di era otonomi daerah, kebijakan
transmigrasi bukan lagi sebagai pilihan yang tepat, tetapi upaya
pemerataan persebaran penduduk masih perlu dilakukan antara
lain dengan memacu wilayah yang jarang penduduknya sehingga
menarik penduduk di wilayah yang lebih padat untuk bermigrasi.
Langkah strategis ke depan perlu adanya peningkatan
komitmen pemerintah daerah terhadap program KB, revitalisasi
program KB dengan mengutamakan hak-hak reproduksi
perempuan, pengembangan layanan informasi dan konseling
tentang kesehatan reproduksi remaja yang dilakukan secara
partisipatif dengan melibatkan seluruh pelaku, peningkatan
subsidi kontrasepsi untuk Wanita Usia Subur dan kelompok
miskin.
1.3. Peningkatan Keadilan dan Kesetaran Gender
Landasan hukum yang menjamin keadilan dan kesetaraan
gender dirumuskan dalam UUD 1945 pada Bab XA tentang Hak
Asasi Manusia, Pasal 28C ayat 1. Landasan hukum lain yang
memastikan terciptanya kesetaraan dan keadilan gender adalah
UU No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan;
Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan

64
gender dalam kebijakan, program dan kelembagaan; dan UU No.
23 tahun 2004 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Kendala yang dihadapi dalam peningkatan keadilan dan
kesetaraan gender disebabkan oleh beberapa hal yaitu lemahnya
KUHP terhadap perlindungan perempuan korban kekerasan
seperti pelecehan seksual, perkosaan, pornografi dan pornoaksi;
sementar itu UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang biasa gender
masih berlaku terkait dengan pasal 3 dimana memperbolehkan
poligami dengan syarat ada ijin dari istri. Poligami sebagai wujud
konkrit dari hegemoni laki-laki dalam rumah tangga, dan ijin isteri
tidak meniadakan watak hegemonis dari sitem perkawinan seperti
itu. Persyaratan ijin seringkali diabaikan, atau diberikan oleh isteri
dalam situasi tertekan.
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7/1990 yang hanya
mengakui tunjangan untuk istri dan anak yagn mengakibatkan
perbedaan upah pekerja laki-laki dan perempuan. Psal 34 UU yang
sama mengatakan bahwa laki-laki wajib memberikan nafkah
kepada istri dan istri wajib mengurus rumah tangga. Pasal ini
sangat bias gender karena baik laki-laki maupun perempuan
sangat terbebani oleh peran gender mereka. UU No. 39 Tahun
1999 mengatur tentang pelarangan perdagangan perempuan.
Kenyataan menunjukkan bahwa perdagangan permepuan dari
waktu ke waktu kian meningkat. Oleh Karena itu, negara perlu
mengambil peran yang lebih besar guna melindungi perempuan
dari akibat buruk.
Kebijakan yang perlu ditempuh adalah revisi undang-undang
terbaru tentang ketenagakerjaan agar lebih berorientasi
penegakan hukum bagi perlindungan buruh migrant, dan
pencegahan terjadinya perdagangan perempuan. UU tersebut juga
harus dilaksanakan secara konsisten untuk memberantas

65
perdagangan perempuan dan melindungi perempuan dan anak
dari kekerasan, penipuan, dan memperhatikan implikasi
kesehatan dan sosial dari migrasi lintas batas.
1.4. Pengembangan Wilayah
Kebijakan pembangunan wilayah diorientasikan ke
pembangunan wilayah perdesaan dan perkotaan. Dalam upaya
penanggulangan kemiskinan, kebijakan pembangunan perdesaan
yang telah dilaksanakan antara lain Program IDT (Inpres Desa
Tertinggal) yang kemudian diperluas dengan program seperti
Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) dan
Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Berbagai kebijakan
tersebut belum cukup untuk memecahkan masalah kemiskinan,
disebabkan lemahnya koordinasi antarsektor, selain itu juga
rancangan program bersifat universal yang diterapkan di berbagai
daerah dengan karakter yang berbeda. Masalah lain adalah
rendahnya kualitas SDM, lemahnya kelembagaan dan organisasi
masyrakat serta terbatasnya alernatif lapangan kerja.
Sementara itu, program yang telah dilaksanakan dalam
upaya penanggulangan kemiskinan di perkotaan antara lain
adalah program perbaikan kampung atau Kampung Improvement
Program (KIP) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2K). Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan
program-program tersebut adalah terbatasnya lokasi dan cakupan
program terhadap seluruh lapisan masyarakat miskin, kurangnya
partisipasi masyrakat, dan terbatasnya akses masyarakat miskin
terhadap sarana dan prasarana yang telah disediakan.
Strategi yang dilakukan untuk mempercepat pembangunan
perdesaan antara lain melalui pengembangan agroindustri
perdesaan, peningkatan nilai tambah produk melalui penanganan
pasca panen, penguatan kelembagaan petani untuk
meningkatakan posisi tawar dan mengurangi biaya transaksi,

66
peningkatan akses meliputi: pengembangan kredit mikro petani
dan akses sumberdaya produktif.
Sedangkan strategi yang dilakukan untuk mengatasi
kemiskinan perkotaan antara lain penjaminan ruang berusaha
bagi masyarakat miskin dalam sektor formal dan informal,
penyediaan permukiman yagn layak dan sehat, penjaminan
pelayanan publik dalam administrasi kependudukan, pendidikan,
kesehatan, dan air bersih, pengembangan forum lintas penduduk
dan penguatan peran masyarakat miskin dalam pengambilan
keputusan pembangunan kelurahan.

67
Tabel 1. Contoh Agenda Program Penanggulangan Kemiskinan Daerah

NO
KEGIATAN SASARAN
.

1. Pemberdayaan Masyarakat
Perbaikan perumahan dan Rumah penduduk yang tidak
pemukiman wilayah pedesaan layak huni
Pengadaan rumah sewa yang Masyarakat yang
sehat untuk masyarakat berpenghasilan tidak tetap
berpenghasilan rendah Lahan / ruang yang belum
Sosialisasi tata ruang dan tata mempunyai sertifikat
guna tanah pada masyarakat Prasarana jalan ke sentra-
Peningkatan sarana prasarana sentra produksi
penunjang ekonomi masyarakat Daerah-daerah terpencil
Perluasan jangkauan pelayanan Semua desa kantong
kesehatan kemiskinan
2. Perluasan Kesempatan Kerja
Pengadaan alat tangkap untuk Masyarakat miskin pada
nelayan wilayah pesisir pantai
Kelompok yang memiliki
Pengadaan mesin Vacuum produksi yang dapat diberi
Praying untuk kelompok wanita nilai tambah
tani Kelompok wanita produktif
Pengangguran dan pencari
Bantuan alat kerajinan rumah kerja
tangga Pengangguran
Peningkatan latihan kerja bagi Pencari kerja
pencari kerja. Daerah terpencil
Pelatihan keterampilan untuk
kelompok penduduk miskin yang Semua kecamatan
produktif Semua kecamatan
Penyuluhan pola hidup sehat
Pemanfaatan lahan tidur
potensial
3. Pelibatan Masyarakat
Program P2W-KSS Wanita dan remaja
Rehabilitasi jaringan irigasi Pengangguran
(paket padat karya)
Penghijauan dan rehabilitasi Mencegah bencana alam
lahan kritis
4.
Perlindungan Sosial Sungai-sungai yang rawan
Penanggulangan bencana alam bencana banjir
banjir (normalisasi sungai) Sungai-sungai yang rawan
Perbaikan struktur alur sungai bencana banjir
Pemeliharaan jaringan irigasi Peningkatan produksi
pertanian
Pembangunan daerah irigasi Peningkatan produksi
Pembuatan cek dam pertanian
Perkuatan tebing sungai Pengamanan sungai
Perbaikan lingkungan Pengamanan sungai

68
perumahan Lingkungan dan perumahan
Pembangunan jaringan air Gakin
bersih Wilayah yg belum terjangkau
pelayanan PDAM
5. Pembangunan infrastruktur
penunjang
produktifitas : Kepusat pemukiman dan
Pembangunan jalan akses produksi
Pemeliharaan jalan akses Kepusat pemukiman dan
Peningkatan jalan akses produksi
Pembangunan jembatan Kepusat pemukiman dan
Pembangunan pasar produksi
tradisional Kepusat pemukiman dan
Pembangunan jaringan irigasi produksi
pembangunan saluran Sentra-sentra produksi
pembuangan/riol Areal pertanian rakyat miskin
Pemukiman
6. Pembangunan fasilitas
kesehatan :
Pembangunan Pustu Pemukiman baru KK miskin
Peningkatan Pustu Pemukiman KK miskin dalam
skala besar
Pengadaan Puskesmas keliling Pelayanan KK miskin
pengadaan obat-obatan Pelayanan KK miskin
Pembangunan MCK Pemukiman KK miskin
Penyuluhan kesehatan Keluarga miskin daerah
Peningkatan dan penempatan terpencilan dan perkotaan
tenaga medis di wilayah Meningkatkan pelayaan
terpencil kesehatan
7. Peningkatan pendidikan dan
keterampilan:
Pembangunan USB (SD, SMP) Sentra pemukiman KK miskin
Pendirian sekolah Sentra pemukiman KK miskin
kecil/terpencil (SD, SMP)
Pengangkatan guru daerah Sekolah-sekolah pemukiman di
terpencil (TK, SD, SMP) KK miskin
Pemberian beasiswa Siswa berprestasi KK miskin
Pembebasan biaya pendidikan Siswa dari KK miskin
Pemberian bantuan alat belajar Sekolah-sekolah dipemukiman
mengajar kk Miskin
Perbaikan sarana dan prasaran Sekolah-sekolah dipemukiman
pendidikan kk Miskin
Pelatihan keterampilan bagi Angkatan kerja dari kk miskin
pemuda produktif

69
CONTOH PAPER HASIL PENELITIAN

PENYUSUNAN INDIKATOR HASIL PEMBANGUNAN


DI KAWASAN DAV DAN NON DAV, PROYEK BP INDONESIA,
KABUPATEN TELUK BINTUNI, PAPUA

A. Pendahuluan
Indikator pembangunan adalah sesuatu yang dapat memberikan gambaran
atau petunjuk tentang kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya baik yang telah,
sedang maupun yang akan dilakukan. Indikator pembangunan merupakan
ringkasan atau rangkuman dari serangkaian data statistik sosial, ekonomi, politik,
budaya dan aspek lokalitas spesifik suatu wilayah. Dalam penyusunannya,
indikator dibuat dengan cara indexing dan scaling. Menurut Morris (1979),
penyusunan indikator harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Sahih untuk mengukur berbagai cara/pola pembangunan.
2. Harus obyektif, tidak bias pada nilai-nilai spesifik.
3. Harus dapat mengukur hasil (output) bukan masukan (input).
4. Mampu menggambarkan distribusi hasil pembangunan
5. Sederhana cara penyusunannya dan mudah dipahami
6. Harus dapat dipakai untuk perbandingan internasional.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan berbagai turunannya saat ini
sedang popular di Indonesia sebagai alat ukur keberhasilan pembangunan. IPM
adalah indikator perbaikan dari Physical Quality of Life Index (PQLI) atau Indeks
Mutu Hidup (IMH) yang diperkenalkan akhir dasawarsa 1970-an. PQLI
dimaksudkan untuk mengukur kualitas penduduk dalam lingkup sejauh mana hasil
pembangunan telah mampu memenuhi kebutuhan dasar penduduk dari segi
peningkatan kualitas fisik kehidupan. Pada awal tahun 1990 UNDP
mengembangkan tolok ukur baru sebagai upaya untuk memperbaiki IMH yang
dikenal dengan Human Development Index (HDI). Indeks ini berusaha untuk
mengetahui sampai sejauh mana pertumbuhan dan pemerataan hasil pembangunan
telah mampu secara nyata memberikan output seperti peningkatan kebutuhan fisik

70
dasar manusia dan perluasan kemampuan manusia untuk melakukan pilihan-
pilihan yang lebih baik. Pilihan-pilihan hidup lebih baik ini tercermin pada usia
harapan hidup yang semakin bertambah panjang, lebih berpendidikan dan mampu
memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar (basic needs). Ketiga variabel yang
dipilih untuk menyusun IPM adalah usia harapan hidup, pendidikan, dan
pendapatan per kapita yang disesuaikan dengan kemampuan daya beli masyarakat
setempat. Ketiga variabel ini digabung menjadi satu indeks dengan memberikan
bobot nilai yang sama.
Seirama dengan penilaian hasil-hasil pembangunan di Kawasan Teluk Bintuni,
tulisan ini bermaksud menyajikan indeks kesejahteraan, yaitu suatu indeks dengan
komponen seperti yang ada pada IPM. Perlu disadari bahwa nilai/indeks yang ada
terbentur pada deprivasi maksimum dan minimum karena data tersebut tidak ada
pada tingkat lokal di Kawasan Teluk Bintuni. Angka-angka penyusun indeks saat
ini tersedia pada tingkat nasional dan internasional yang tentu saja kurang relevan
untuk tingkat lokal. Untuk itu, dalam penyusunan indeks kesejahteraan dilakukan
dengan berbagai penyesuaian. Secara operasional penyusunan indeks
kesejahteraan lingkup kampung dapat dilakukan karena telah tersedia data hasil
sensus tahun 2007. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah ketelitian memilih
variabel lokalitas untuk kampung yang diharapkan menggambarkan keberhasilan
pembangunan penduduk setempat.

B. Tinjauan Teoritis Indikator Pembangunan Manusia


Secara umum kata pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan
kehidupan masyarakat dan warganya. Istilah kemajuan seringkali diartikan
sebagai kemajuan material, utamanya bidang ekonomi. Pada kenyataannya,
kemajuan non ekonomi tidak kalah penting dibandingkan dengan bidang
ekonomi. Kemajuan suatu masyarakat semestinya diukur minimal dalam dua
aspek yaitu bidang ekonomi dan non ekonomi. Beberapa indikator pembangunan
manusia yang pernah digunakan di Indonesia antara lain sebagai berikut:

71
B.1 Indikator Komposit Obyektif
1. Kekayaan Rata-rata
Suatu masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan apabila
pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Hal ini dilihat melalui produktivitas
masyarakat/produktivitas negara untuk setiap tahun. Indikator utama yang
digunakan adalah Produk Nasional Bruto (PNB) dan Produk Domestik
Bruto (PDB). Kesejahteraan selanjutnya ditentukan dengan PNB atau PDB
per kapita.

2. Pemerataan
Fakta menunjukkan diberbagai negara/daerah dengan PDB per kapita
tinggi tetapi hanya sebagian kecil penduduknya yang memiliki kekayaan
berlimpah, sementara sebagian besar penduduk justru hidup dalam
kemiskinan. Terlihat sepintas tingginya PNB/PDB per kapita akan dapat
menutupi adanya kemiskinan dan kelaparan. Tentu saja hal ini sangat
dilematis. Untuk itu, penting dimasukkan aspek pemerataan dalam ukuran
pembangunan. Beberapa cara mengukur pemerataan antara lain: persen dari
PNB/PDB yang diperoleh 40 persen penduduk termiskin, berapa persen
oleh 40 persen penduduk golongan menengah dan berapa persen oleh 20
persen penduduk terkaya. Ketimpangan yang ada dianggap mencolok
apabila 40 persen penduduk termiskin menerima kurang dari 12 persen.
Ketimpangan sedang , kalau 40 persen penduduk termiskin menerima
antara 12-17 persen dan ketimpangan kecil/rendah bilamana golongan ini
menerima lebih dari 17 persen. Cara lain yang banyak digunakan dalam
mengukur pemerataan adalah indeks Gini. Indeks ini berkisar antara nilai 0
(nol) berarti tidak ada ketimpangan sampai 1 (satu) berarti ketimpangan
maksimal. Semakin kecil nilai indeks semakin kecil ketimpangan pembagian
pendapatan. Secara umum dikatakan apabila Indeks Gini lebih besar atau
sama dengan 0,5 dianggap sebagai kesenjangan pemerataan yang tinggi.
Kesenjangan sedang dicerminkan dengan indeks Gini antara 0,35-0,49 dan
ketimpangan pemerataan yang kecil bila Indeks Gini kurang dari 0,35.

72
3. Kualitas Hidup (PQLI)
Indeks Mutu Hidup (IMH) atau Physical Quality of Life Index (PQLI)
diperkenalkan oleh Morris (1977) untuk mengukur pemenuhan kebutuhan
pokok (Basic Need) melalui tiga (3) indikator yakni: (1) rata-rata harapan
hidup setelah usia satu tahun (2) angka kematian bayi (Infant Mortality Rate),
dan (3) persentase melek huruf dewasa dengan implikasi sebagai berikut:
(a) Angka kematian bayi berdasarkan jarak 229 (untuk indeks 0 (nol)
sampai dengan 7 (untuk indeks 100) kematian per seribu kelahiran
hidup. Setiap 2,22 angka perubahan dalam IMR, hasilnya adalah satu
angka perubahan dalam indeks.
(b) Indeks Usia Harapan Hidup sejak usia setahun didasarkan pada jarak
30 (untuk indels 0 (nol) sampai 77 (untuk indeks 100). Setiap 0,39
tahun perubahan dalam usia harapan hidup hasilnya adalah satu
angka perubahan dalam indeks.
(c) Indeks melek huruf mengasumsikan penduduk dewasa (15+)
setiap satu persen angka perubahan dalam melek huruf hasilnya
adalah satu angka perubahan dalam indeks.
e 39 229 IMR
PQLI 1 % Literasi / 3
0,39 2,22

e0 1 q0 (1 K 0 )
e10
1 q0

q = IMR
K = rata-rata periode kelangsungan hidup (0-2 tahun) selama tahun
pertama
eo = Usia harapan hidup saat kelahiran
e1 = Usia harapan hidup pada umur satu tahun

4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)


Indeks Pembangunan Manusia Bertujuan mengukur pencapaian
keseluruhan hasil pembangunan dari suatu Negara dalam tiga dimensi dasar
pembangunan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development
Index (HDI) diperkenalkan oleh UNDP pada awal 1990 dalam upaya untuk

73
mengukur keberhasilan pembangunan sumber daya manusia karena parameter
sebelumnya dianggap sudah kurang memadahi lagi sehingga diperlukan indeks
yang baru. Meskipun demikian IPM ini juga telah mendapatkan banyak kritik
(terutama dalam pemilihan variabel, deprivasi nilai maksimal dan minimal serta
penyesuaian kemampuan daya beli masyarakat (purchasing power parity/PPP).
Variabel yang digunakan dalam penyusunan IPM adalah:
(a). Hidup lebih lama dan sehat diukur melalui usia harapan hidup saat dilahirkan,
semakin tinggi usia harapan hidup diasumsikan semakin baik kehidupan
masyarakat, dan tidak sakit-sakitan.
(b). Berpengetahuan, diukur melalui persentase melek huruf dewasa (15 +) dan
rata-rata tahun sekolah (Mean Years of Schooling).
(c). Pendapatan yang layak agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar (Basic
needs).
IPM= 1/3 (Indeks X1, Indeks X2 dan Indeks X3)
Dimana : X1, X2 dan X3 adalah usia harapan hidup, tingkat pendidikan
dan tingkat kehidupan yang layak.
Indeks pendidikan = (2/3)Melek Huruf + (1/3)MYS.
Nilai IPM dihitung berdasarkan nilai Maksimum dan Minimum yang ditentukan sebelumnya seperti sebagai
berikut

Variabel IPM Nilai Max Nilai Min Sumber


(a) Usia harapan hidup 85 25 UNDP
(b) Melek Huruf 100 0 UNDP
Rata-rata sekolah 15 0 UNDP
(c) Daya beli (Rp) 737.720 300.000 (1996) UNDP
360.000 (1999)

5. Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)


Ditujukan untuk mengukur sebaran suatu kemajuan dan ketertinggalan yang
masih ada. Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI)
merupakan gabungan dari beberapa variable kemiskinan yang dianggap
menunjukkan keterbelakangan/deprivasi manusia. Indikator penduduk/manusia
miskin diukur melalui tiga hal yakni:

74
(a) Peluang penduduk untuk tidak dapat bertahan hidup sampai usia 40 tahun
(P1). Penduduk miskin diasumsikan usia harapan hidupnya pendek.
(b) Peluang tidak dapat membaca dan menulis diukur melalui persentase buta
huruf dewasa (P2)
(c) Keterbatasan/ketidakmampuan terhadap layanan dasar (P3) diukur
dengan:
P31 : persentase penduduk/rumah tangga tidak mampu mengakses
terhadap air bersih
P32 : persentase penduduk/rumah tangga tidak memiliki akses ke sarana
kesehatan modern
P33 : persentase penduduk Balita dengan status gizi buruk/malnutrisi

1/ 3
1
IKM ( P13 P23 P33
3
1
P3 ( P31 P32 P33 )
3

6. Indeks Pembangunan Jender (IPJ)


Ditujukan untuk mengukur ketimpangan yang terjadi antara laki-laki dan
perempuan dalam pembangunan. Indeks Pembangunan yang terkait dengan
jender (IPJ) atau Gender Related Development Index (GDI) lebih ditujukan untuk
menggambarkan ada tidaknya ketimpangan jender. Semakin besar ketimpangan
jender dalam pembangunan manusia, semakin rendah IPJ. Variabel yang
digunakan dalam pengukuran ketimpangan antara laki-laki dengan perempuan
adalah:
(a) Proporsi penduduk (laki-laki dan perempuan)
(b) Usia harapan hidup (laki-laki dan perempuan)
(c) Persentase melek huruf (laki-laki perempuan)
(d) Rata-rata lama sekolah (laki-laki Perempuan)
(e) Penduduk Aktif secara ekonomi (laki-laki perempuan)
(f) Upah non pertanian (laki-laki perempuan)

75
IPJ merupakan gabungan dari berbagai indeks yang dihitung dari ke enam
variabel tersebut. Dari variabel tersebut kemudian dihitung indeks usia harapan
hidup, indeks melek huruf, indeks lama sekolah, indeks pendidikan, indeks
distribusi pendapatan non pertanian, rasio upah dan sumbangan pendapatan.
Rumus untuk menghitung IPJ adalah sebagai berikut.

IPJ
1
3

X ede (1) X ede ( 2 ) I inc dis
7. Indeks Pemberdayaan Jender (IDJ)
Gender Empowerment Measure (GEM) bertujuan untuk menggambarkan
peran perempuan dalam pengambilan keputusan ekonomi dan politik. Bidang
yang ingin dilihat adalah partisipasi perempuan di bidang pengambilan
keputusan politik yang diukur dengan keanggotaan DPR dan DPRD (legislatif). Di
bidang ekonomi diukur seberapa banyak perempuan yang bekerja sebagai
pegawai senior, manajer, supervisor, professional dan teknisi. Indeks
pemberdayaan perempuan dapat dihitung dengan cara:

IDJ
1
3

I par I dm I inc dist

Perlu disadari bahwa ketujuh indikator komposit objektif tersebut banyak


digunakan pada skala internasional. Banyak pula digunakan pada tingkatan
regional (provinsi) maupun lokal (kabupaten/kota). Permasalahan yang dihadapi
pada National Human Development Report (NHDR) 2001 dan 2004 adalah deprivasi
nilai maksimal dan minimal dari setiap variabel yang digunakan dalam
penyusunan indeks. Sejalan dengan hal tersebut, maka PQLI, HDI, GDI, GEM
belum dapat disusun untuk tingkat kecamatan dan desa. Semestinya HPI dapat
digunakan untuk mengukur kualitas sumber daya manusia berperspektif
kemiskinan. Indikator komposit subjektif dapat mengisi kekosongan indikator
pembangunan manusia pada tingkat pemerintahan di bawah kabupaten, yakni
kecamatan dan desa, dan dimungkinkan untuk dusun apabila data/variabel
subjektivitas telah tersedia.

B.2 Indikator Komposit Subjektif

76
Indikator subyektif adalah indikator keberhasilan pembangunan yang
diperoleh dari hasil wawancara dan/atau diskusi pada rumah tangga sasaran.
Disebut subyektif karena ada kemungkinan unsur subyektivitas jawaban
responden. Indikator ini dapat berupa indikator tunggal, yaitu menggunakan satu
aspek/variabel saja atau menggunakan indikator komposit beberapa variabel.
Dalam praktiknya, indikator tunggal jarang digunakan dengan alasan kesulitan
memilih satu dari beberapa variabel yang menggambarkan hasil pembangunan
sumber daya manusia. Itulah makanya, indikator tunggal subjektif jarang
digunakan.

Indikator komposit subjektif merupakan gabungan dari beberapa indikator


tunggal subjektif yang variabelnya dikumpulkan dengan wawancara, diskusi,
rembug desa, diskusi topik khusus maupun bentuk lainnya dengan melibatkan
sebagian dan/atau seluruh masyarakat. Indeks disusun berdasarkan jawaban
responden terhadap pertanyaan dan/atau pernyataan yang telah diseleski untuk
menyusun indeks. Jawaban dari pertanyaan dan/atau pernyataan dapat berupa
jawaban ya/tidak, setuju/tidak sejutu, ada/tidak ada, pernah/tidak pernah, dan
variasi lainnya. Jawaban ya diberi nilai 1, sedangkan tidak nilai 0 tergantung
pertanyaan yang diajukan pada sasaran penelitian. Tipe pertanyaan tertutup yang
digunakan harus sejenis dan mempunyai aspek yang saling mendukung atau
menjelaskan dan tidak saling bertentangan, antara varibel satu dengan lainnya.
Dalam indikator komposit subjektif variasi jawaban dikotomi ya/tidak,
setuju/tidak setuju relatif jarang digunakan. Ini disebabkan oleh tidak banyaknya
gradasi/tingkatan jawaban sehingga dirasakan kehilangan informasi. Misalnya
jawaban setuju dan tidak setuju dapat digradasikan ke dalam sangat setuju, setuju,
agak setuju, sama saja, tidak setuju, agak tidak setuju, sangat tidak setuju atau
variasi lainnya. Badan Pusat Statistik melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional 1982
dan 1986 pernah mengumpulkan data tentang pendapat/persepsi masyarakat
tentang perkembangan kesejahteraan masyarakat saat pendataan dilakukan
dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya dengan menggunakan 20
pertanyaan. (a) Pertanyaan 1, 2, 3, 4, dan 5 digunakan untuk menyusun indeks
kesejahteraan dasar. (b) Pertanyaan 6, 7, 8, dan 9 digunakan untuk mengukur

77
indkes kesehatan masyarakat. (c) Pertanyaan 10, 11, dan 12 untuk mengukur
indeks pendidikan. (d) Pertanyaan 13, 14, dan 15 untuk mengukur rasa aman dan
persatuan. (e) Pertanyaan 16, 17, dan 18 digunakan untuk mengukur indeks
transaportasi dan komunikasi. (f) Pertanyaan 19 dan 20 digunakan untuk
mengukur kesempatan kerja dan kesehatan jasmani.
Sejak 1996 secara berkesinambungan, BPS melalui Survei Sosial Ekonomi
Nasional Modul dilakukan setiap tiga tahun mengumpulkan data kesejahteraan
masyarakat dengan beberapa penyempurnaan terhadap susunan variabel yang
digunakan sebelumnya. Dengan menggunakan 23 pertanyaan, skala jawaban dari
sangat setuju sampai sangat tidak setuju, disediakan untuk pengguna data untuk
mengukur indeks/indikator perkembangan kesejahteraan secara umum. Secara
rinci bagi yang tertarik dapat membaca publikasi BPS tentang Statistik
Kesejahteraan Rakyat dan Indikator Kesejahteraan Rakyat yang terbit setiap tahun.
Kelemahan yang cukup mendasar dari data tersebut adalah utilitas pada analisis
wilayah provinsi, sedangkan analisis kabupaten/kota, apalagi kecamatan tidak
dapat dilakukan karena sangat kecil jumlah sampel yang ada.

78
C. Penyusunan Indeks Kesejahteraan Obyektif di DAVs dan Non DAVs
Penyusunan Indeks Kesejahteraan Obyektif dilakukan berdasarkan konsep IPM
dengan data dasar hasil sensus 2007 (lihat Tabel 1). Dimensi yang digunakan untuk
menghitung indeks kesejahteraan adalah sebagai berikut.
1. Dimensi ekonomi, terdiri dari variabel pendapatan perkapita
2. Dimensi pendidikan, terdiri dari dua variabel yaitu
a. Tingkat melek huruf (baca dan tulis)
b. Rata-rata tahun sukses (Mean Years of Schooling)
3. Dimensi kesehatan, terdiri dari dua variabel yaitu
a. Tingkat morbiditas
b. Angka kematian balita
Langkah langkah penyusunan indeks adalah sebagai berikut
1. Menentukan variabel penyusun indeks sesuai dengan standar IPM
2. Kesenjangan distribusi pendapatan dilakukan dengan cara membuat
logaritma untuk pendapatan perkapita
3. Asumsi deprivasi maksimum dan minimum berdasarkan angka di Provinsi Papua (Data tersaji di
National Human Development Report 2004 dipublikasikan kerjasama BPS, BAPPENAS, dan UNDP,
2004). Berdasarkan hal itu maka diperoleh angka angka dasar sebagai berikut.
Indeks Maksimum Minimum
Mean Years of Schooling
(tahun) 10.4000 2.2
Litteracy (%) 98 30
Pendapatan perkapita
(log) 5.9550 5.422
Kesehatan 0.4816 0.021
4. Menyusun Indeks Ekonomi, Indeks Kesehatan dan Indeks Kesehatan (lihat
Tabel 2)
5. Menyusun Indeks Kesejahteraan
6. Hasil Indeks Kesejahteraan Obyektif ,
a. Total Indeks Kesejahteraan DAVs = 53,36
b. Total Indeks Kesejahteraan Non DAVs = 43,55
c. Rata-rata indeks untuk seluruh kampung adalah = 48,69

79
Tabel 1. Data Dasar Penyusunan Indeks Kesejahteraan

Kemampuan Baca
Partisipasi Partisipasi
Tulis
Pendapatan Perempuan Pendapatan Rata-Rata Tingkat
Partisipasi Tingkat
No Nama Kampung Per Kapita dalam Perempuan Tahun Mortalitas
Sekolah Morbiditas
Baca Tulis (Rp) Kegiatan dalam Rumah Sukses Balita
Profesional Tangga
1 Weriagar 0.70 0.70 0.90 353,100 0.18 0.07 0.13 6 0.09
2 Mogotira 0.70 0.70 0.80 399,500 0.28 0.02 0.12 6 0.02
3 Tomu 0.60 0.60 0.70 362,800 0.21 0.00 0.16 5 0.09
4 Ekam 0.70 0.60 0.70 358,500 0.18 0.00 0.08 6 0.04
5 Taroi 0.70 0.70 0.80 812,700 0.48 0.00 0.12 6 0.06
6 Onar 0.80 0.80 0.90 545,400 0.21 0.00 0.09 6 0.13
7 Tanah Merah 0.80 0.90 0.90 612,600 0.14 0.08 0.11 7 0.11
8 Saengga 0.90 0.90 0.90 840,500 0.18 0.28 0.09 7 0.04
9 Tofoi 0.90 0.90 0.90 467,100 0.22 0.26 0.23 7 0.54
10 Toweri 0.70 0.80 0.80 900,900 0.30 0.00 0.07 6 0.11
11 Tomage 0.80 0.80 0.90 457,200 0.12 0.00 0.04 5 0.08
12 Idoor 0.80 0.80 0.90 369,500 0.25 0.32 0.18 7 0.13
13 Atibo 0.50 0.60 0.70 330,300 0.17 0.27 0.18 6 0.04
14 Mogoi 0.70 0.70 0.80 537,300 0.18 0.00 0.26 7 0.06
15 Wagura 0.70 0.80 0.80 388,400 0.17 0.20 0.06 5 0.11
16 Rejosari 0.70 0.70 0.70 497,100 0.18 0.30 0.18 8 0.03
17 Barma 0.80 0.80 0.80 680,400 0.21 0.25 0.11 7 0.09
(tidak ada
18 Jahabra 0.30 0.20 0.40 283,300 0.05 kasus) 0.06 5 0.07
19 Meristem 0.50 0.50 0.60 659,400 0.17 0.00 0.13 4 0.00
20 Riendo 0.40 0.40 0.50 441,700 0.28 0.00 0.08 4 0.11
21 Irarutu 3 0.90 0.90 0.90 803,100 0.17 0.28 0.16 8 0.04

80
81
Tabel 2. Penghitungan Indeks Kesejahteraan Obyektif
Indeks Indeks Indeks Indeks
No Kampung Ekonomi Pendidikan Kesehatan Kesejahteraan
1 Weriagar 23.6206 53.68723 33.6863 36.99803
2 Mogotira 33.6804 55.02869 55.2678 47.99230
3 Tomu 25.8288 41.85079 41.9941 36.55789
4 Ekam 24.8573 53.24008 33.8443 37.31387
5 Taroi 91.5441 53.15878 99.3697 81.35753
6 Onar 59.0460 63.93831 40.0320 54.33875
7 Tanah Merah 68.5135 68.57245 25.6038 54.22993
8 Saengga 94.2848 78.37637 33.8104 68.82383
9 Tofoi 46.4184 78.57963 42.9252 55.97439
10 Toweri 99.9393 53.72788 60.4919 71.38635
11 Tomage 44.6728 60.03587 21.3845 42.03106
12 Idoor 27.3198 67.67814 50.0921 48.36334
13 Atibo 18.1817 35.21760 32.8732 28.75749
14 Mogoi 57.8268 58.68723 34.4890 50.33433
15 Wagura 31.3845 50.51650 31.8210 37.90733
16 Rejosari 51.4904 61.85796 34.5090 49.28579
17 Barma 77.0665 67.43424 39.9479 61.48287
18 Jahabra 5.6748 11.05691 6.8675 7.86639
19 Meristem 74.5120 26.43711 32.7562 44.56843
20 Riendo 41.8626 18.70636 56.1487 38.90587
21 Irarutu 3 90.5759 81.58776 31.9032 68.02230

82
D. Penyusunan Indeks Kesejahteraan Subyektif di DAVs
dan Non DAVs

Penyusunan Indeks Kesejahteraan Subyektif baik di DAVs


maupun Non DAVs dilakukan berdasarkan hasil perhitungan dari
23 variabel. Langkah perhitungannya adalah sebagai berikut.
1. Membuat tabel distribusi jawaban responden terkait
persepsi saat ini dibandingkan dengan 3 tahun yang lalu.
2. Menjumlahkan distribusi jawaban menurut 23 variabel
yang ditanyakan
3. Mengalikan jumlah distribusi jawaban tersebut dengan
nilai tiap-tiap jawaban. Dalam hal ini nilai jawaban
bervariasi sebagai berikut.
a. Jawaban lebih buruk bernilai 1
b. Jawaban sama buruk bernilai 2
c. Jawaban sama baik bernilai 3
d. Jawaban lebih baik bernilai 4
4. Menghitung indeks kesejahteraan subyektif dengan cara
membagi jumlah total jawaban yang telah dikalikan dengan
nilai dengan jumlah total jawaban.
5. Pembacaan indeks adalah sebagai berikut.
a. Nilai indeks mendekati angka 1 berarti kesejahteraan
saat ini lebih buruk dibandingkan dengan tiga tahun
yang lalu
b. Nilai indeks lebih dari 1 atau mendekati angka 2
berarti kesejahteraan saat ini sama buruk
dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu

83
c. Nilai indeks lebih dari 2 dan mendekati angka 3
berarti kesejahteraan saat ini sama baik
dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu
d. Nilai indeks lebih dari 3 atau mendekati angka 4
berarti kesejahteraan saat ini lebih baik dibandingkan
dengan tiga tahun yang lalu
6. Kesejahteraan subyektif secara total adalah sebagai
berikut.
a. Total Indeks Kesejahteraan Subyektif DAVs = 3,193
b. Total Indeks Kesejahteraan Subyektif Non DAVs = 3,154
c. Total Indeks Kesejahteraan Subyektif untuk semua desa = 3,173

84
D. Closing Remarks
1. Secara keseluruhan terkait dengan kesejahteraan
penduduk di DAVs semakin baik dari waktu ke waktu. Hal
ini dapat dilihat dari Indeks Kesejahteraan Manusia baik
yang bersifat obyektif maupun subyektif
2. Berdasarkan perhitungan Indeks Kesejahteraan Obyektif
terlihat bahwa standar kehidupan penduduk di DAVs
cenderung lebih baik daripada penduduk di Non-DAVS. Hal
ini juga berlaku untuk standar kehidupan secara subyektif.
Total nilai untuk Indeks Kesejahteraan Subyektif di DAVs
sedikit lebih tinggi daripada di Non-DAVs.
3. Sekitar 55 persen desa-desa di DAVs mempunyai tingkat
indeks kesejahteraan lebih tinggi dari angka rata-rata,
untuk indicator yang sama hanya 40 persen di Non DAVs
4. Standar hidup masyarakat di beberapa desa seperti Taroi,
Otoweri, Saengga, Irarutu 3, Barma, and Saengga adalah
tinggi.
5. Berikut ini adalah daftar nama desa yang mempunyai
standar hidup rendah yaitu Atibo, Jahabra, Weriagar, Tomu,
dan Ekam
6. Sebagian besar penduduk menyatakan bahwa kondisi
kehidupan saat ini lebih baik dibandingkan dengan 3 tahun
yang lalu

85
POWERPOINT PENUNJANG
KULIAH

86

Anda mungkin juga menyukai