Anda di halaman 1dari 24

Dr. JAJAT S. ARDIWINATA, M.

Pd Written by Administrator Saturday, 18 June 2011 06:34 MODEL AKSELERASI PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN KEAKSARAAN UNTUK MENCAPAI KEMANDIRIAN DAN KEBERLANJUTAN BELAJAR WARGA BELAJAR (Studi di Tiga Kabupaten Propinsi Jawa Barat) Disampaikan dalam: Worshop dan Seminar Internasional Pendidikan Nonformal Dengan tema: Nonformal Education in a Global Society Oleh: JAJAT S. ARDIWINATA SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2010 ABSTRAK Gerakan Pemberantasan Buta Aksara (PBA) baru dipahami sebagai komitmen internasional dan kebijakan di tingkat nasional, pada level bawah (grass roots) masih belum secara optimal dapat diimplementasikan. Hal ini disebabkan belum semua elemen aparat di lapangan memiliki apresiasi yang sama, rendahnya pemahaman, dan dukungan masyarakat. Lama belajar hanya dua sampai tiga hari (6-9 jam) dalam seminggu, padahal kesiapan belajar masyarakat melebihi frekwensi belajar selama ini. Peran tutor, masih terkonsentrasi pada tugas pembelajaran dalam kelompok (learning teaching proses), belum mengakses strategi pembelajaran yang mengoptimalkan potensi lingkungan. Pembelajaran kurang mempertimbangkan perbedaan pengalaman dan kemampuan warga belajar. Pencapaian SKK masih dikonsentrasikan pada calistung, belum diproyeksikan ke arah pencapaian kemandirian dan keberlanjutan belajar. Masalahnya, apakah model akselerasi penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan tingkat dasar, dapat meningkatkan kompetensi keaksaraan sebagai landasan untuk mencapai kemandirian dan keberlanjutan belajar warga belajar? Penelitian ini dikembangkan berlandaskan kepada teori pembelajaran yang berdasarkan pengalaman (experiential learning), self directed learning (SDL), teori pemberdayaan, konsep keaksaraan, dan pembelajaran yang berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan prosedur penelitian dan pengembangan (research and development), menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Model pengujian menggunakan desain ekperimen pre-test dan post-test yang diujicobakan pada kelompok tunggal (One-Group Pretest-Posttest Design), dan tidak menggunakan kelompok kontrol.

Berhasil diungkapkan potensi, permasalahan serta komponen-komponen penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan di Jawa Barat. Implementasi model konseptual, dengan berbagai komponen yang dikembangkan mampu meningkatkan kompetensi keaksaraan warga belajar secara efektif dan efisien, artinya hasil uji efektivitas memberi keyakinan bahwa kelompok eksperimen memiliki nilai kompetensi keaksaraan tingkat dasar yang lebih baik setelah diberlakukan perlakuan model ini. Dapat disimpulkan bahwa model akselerasi penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan tingkat dasar terbukti mampu meningkatkan kompetensi keaksaraan tingkat dasar dan memberi indikasi dapat menjadi landasan untuk mencapai kemandirian dan keberlanjutan belajar, hal ini diharapkan menjadi masukan dan mendukung keberhasilan program akselerasi pemberantasan buta huruf di Jawa Barat maupun di Indonesia. . ABSTRACT Illiteracy eradication movement (PBA) has just been understood both to be a commitment in the international level and a policy in the national level. However, in the grass roots level, this movement has not been fully implemented due to some factors including the difference on the point of views in terms of appreciation from all field personnel elements, and the lack of comprehension and supports from the society. Other than that, the long hours of learning is limited to two to three days (6-9 hours) within a week. This is contracdictory to society learning readiness surpassing the learning frequency given so far. The role of tutors, furthermore, has still focused on group learning tasks (learning teaching process) and has not yet accessed learning strategies that optimize environments potential. Additionally, the learning itself, has not yet considered the difference between the experience and the ability of learning society. SKK achievement, on the other hand, which still concentrates on the three Rs (reading, Writing and Arithmetic) has not yet been projected toward the achievement of learning independence and sustainability. The problem lies on whether the acceleration model in the implementation of basic literacy education program, is able to improve literacy competence as a basis to achieve the independence and sustainability of learning society? This study is conducted with the bases of experiential learning, self directed learning (SDL), empowerment theory, literacy concept, and sustainable learning. It employs research and development procedure, combining qualitative and quantitative methods. The testing models utilize pre-test and post-test experimental design tested to one-group without any control group. This study discloses the potential, problems and components of the implementation of literacy education program in West Java. The result shosw that conceptual model implementation, with varying developed component, is apt to improve the literacy competence of learning society both effectively and efficiently. It implies that the test results effectiveness ensures the experiment group to have a better score on the basic literacy competence after this model has been implemented.

The study leads to a conclusion that the acceleration model on the implementation of basic literacy education program has evidently been able to improve the competence of basic literacy and has been an indication to be a basis to achieve learning independence and sustainability. It is expected that this study is able to contribute and to support the success of accelaration program of illiteracy eradication program both in West Java and Indonesia.

DAFTAR ISI Abstrak ..................................................................................................................... i Abstract ................................................................................................................... ii Daftar Isi ................................................................................................................ iii A. Latar Belakang ................................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah Penelitian............................................................................ 2 C. Metode Penelitian ............................................................................................ 3 D. Hasil Penelitian ................................................................................................ 3 1. Penyelenggaraan Pendidikan Keaksaraan di Jawa Barat............................. 3 2. Deskripsi Model Akselerasi Penyelenggaraan Program Pendidikan Keaksaraan Tingkat Dasar Untuk Mencapai Kemandirian dan Keberlanjutan Warga Belajar.......................... 5 3. Hasil Belajar Warga Belajar Pendidikan Keaksaraan Pola Akselerasi.. ..... 11 4. Faktor Pendorong dan Penghambat Pendampingan Oleh Keluarga Kepada Warga Belajar Pendidikan Keaksaraan Tingkat Dasar ......................................................................... 12 5. Efektivitas Model Akselerasi Penyelenggaraan Program Pendidikan Keaksaraan Tingkat Dasar 13 E. Kesimpulan dan Rekomendasi ....................................................................... 13

1. Kesimpulan ................................................................................................ 13 2. Rekomendasi ............................................................................................. 15 Daftar Pustaka ...................................................................................................... 17 Lampiran-Lampiran ............................................................................................... 20

A. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan esensi, identitas, bahkan hak hidup. Trisnamansyah, Kuntoro (2006), menegaskan pendidikan sama dengan hidup. Kegiatan belajar tidak hanya sekedar pemilikan (having) sejumlah pengetahuan, melainkan lebih menekankan aktivitas belajar bagi pengembangan diri (being). yang dirancang oleh dirinya sendiri secara self-education atau self-directing. Dalam kajian historis filosofis Ishak Abdulhak (2002), meyakinkan manusia binatang bisa dididik (animal educandum). manusia mahluk ciptaan Allah SWT paling sempurna dibanding malaikat, jin, binatang, yaitu dimilikinya potensi akal, bisa berfikir dan belajar, melalui proses pendidikan sepanjang hayat (life long education). Secara hakiki, tidak ada alasan manusia tidak bisa dan tidak sempat belajar, binatang saja dapat belajar. Rung Kaewdang (2001), dalam learning from Monkeys, memaknai pembelajaran dari refleksi pengalaman Guru Somporn Thailand, berguru pada simpanse melakukan belajar bebas. Mendapat cinta kasih guru yang melatihnya, penuh kasih sayang, toleransi. keterbukaan, imajinatif, inovasi dan kreativitas. Dari aspek yuridis, telah terformulasi dalam pembukaan UUD 1945 tentang mencerdaskan bangsa. Pendidikan sebagai hak azasi warga negara, UU no. 20 tahun 2003 memberikan jaminan belajar sepanjang hayat. Walaupun konsepsi, jaminan yuridis sangat tegas, namun masih terdapat orang karena berbagai hal tidak dapat memenuhi haknya, terpinggirkan dan buta aksara. Ditegaskan Sudjana, (2002), kebutaaksaraan sebagai penyebab, sekaligus dampak, dari keterlantaran pendidikan, kemiskinan dan kepenyakitan, yaitu fenomena terbuangnya peluang dan potensi belajar antar manusia, Sekecil apabun hal ini harus dan wajib diatasi demi kemanusiaan, 4

persamaan hak dan keadilan melalui pendidikan untuk semua dan oleh semua (education for all and by all). Hasil studi Fisher, menegaskan; melakukan investasi program pemberantasan buta aksara bukan pemborosan, tetapi memberikan tingkat pengembalian (rate of return) yang baik khususnya dalam komponen IPM (Human Development Index). (Arif, 2002). UNESCO, menggariskan pencapaian 50% melek aksara, terutama wanita, tahun 2015 sebagai tekad Deklarasi Dunia di Jomtien, tahun 1990. Arif (2002), menegaskan komitmen ini muncul sejak Deklarasi Perpolis (1975). Ditegaskan lagi dalam Rencana Aksi Dakar (The Dakar Framework for Action on Education for All) di Senegal 2000. Tahun 2006, penduduk dunia yang buta aksara masih 771 juta jiwa (http://www.freelists.org). RJPM 2004-2009 mentargetkan penurunan buta aksara usia 15 tahun ke atas 1,6 juta per tahun, pada 2009 tersisa 7 juta (5 %), 6 tahun lebih cepat target Dakar. Tahun 2015, buta aksara 0 % (http://www.depdiknas.go.id). Hal positif, buta aksara usia 15 tahun ke atas tahun 2009 di Indonesia, telah mendekati harapan dunia yaitu 8.3 juta (5,03%). Misi Dirjen PNFI, mendorong terwujudnya pendidikan keaksaraan bermutu, meningkatkan kompetensi keaksaraan untuk kesejahteraan dan produktivitas. SK Dirjen PNFI No:258/E/MS/2009 menyelaraskan Struktur Pendidikan Keaksaraan Tingkat Dasar (SUKMA I), Tingkat Lanjutan (SUKMA II), dan Tingkat Mandiri (SUKMA III), menjadi Program Pendidikan Keaksaraan Dasar dan Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM). Kebijakan, tahun 2009 tuntas buta aksara, mendudukan Jawa Barat sebagai propinsi yang memiliki komitmen tinggi dalam pemberantasan buta aksara, ini terkait kebijakan strategis pencapaian IPM 80 tahun 2010. Secara teknis, terkait dengan percepatan (akselerasi) PBA, dengan asumsi program ini mendukung pembangunan berkelanjutan (sustainability development). B. Rumusan Masalah Penelitian Rumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimana model akselerasi penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan secara efektif dapat meningkatkan kompetensi keaksaraan tingkat dasar sebagai landasan untuk mencapai kemandirian dan keberlanjutan belajar

warga belajar. Terkait dengan rumusan masalah ini, diajukan pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagaimana kondisi empiris penyelenggaraan pendidikan keaksaraan di Jawa Barat dilihat dari aspek kebijakan dan implementasinya? 2. Bagaimana model konseptual akselerasi penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan, dalam mempercepat penguasaan kompetensi keaksaraan untuk mencapai kemandirian dan keberlanjutan belajar? 3. Bagaimana implementasi model akselerasi penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan, dalam mempercepat penguasaan kompetensi keaksaraan untuk mencapai kemandirian dan keberlanjutan? 4. Bagaimana efektivitas model akselerasi penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan tingkat dasar untuk mencapai kemandirian dan keberlanjutan belajar warga belajar? C. Metode Penelitian Penelitian ini menerapakan pendekatan penelitian dan pengembangan, dengan desain ekperimen pre-post test pada kelompok tunggal (One-Group Pretest-Posttest Design), tanpa menggunakan kelompok kontrol. Pengumpulan dan analisis data menggunakan metode kualitatif, diperkuat dengan pengujian efektifitas model, melalui analisis kuantitatif. Penelitian dilaksanakan di tiga wilayah kabupaten Jawa Barat, yaitu Kabupaten Canjur, Bandung Barat, dan Subang. Subjek penelitian; warga belajar, tutor, pendamping, keluarga warga belajar, tokoh masyarakat, aparat terkait, serta penyelenggara program pendidikan keaksaraan tingkat dasar. D. Hasil Penelitian 1. Penyelenggaraan Pendidikan Keaksaraan di Jawa Barat a. Analisis Situasi Kebijakan Pendidikan di Jawa Barat Permasalahan pendidikan keaksaraan di lima wilayah kerja memiliki keragaman,

namun untuk tiga kabupaten wilayah kajian penelitian ini yaitu Kabupaten Bandung Barat mewakili wilayah kerja 2 Cekungan Bandung, Kabupaten Subang mewakili wilayah kerja 3 Purwakarta, dan Kabupaten Cianjur mewakili wilayah kerja 4 Bogor, ketiga wilayah kajian memiliki permasalahan hampir sama dengan karajteristik isu-isu startegis wilayah kerja pembangunan yang berbeda. Diharapkan representatif sehingga dapat menghasilkan nilai validitas tinggi pengembangan model percepatan penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan tingkat dasar ini. b. Kebijakan Pendidikan Keaksaraan Jawa Barat Kebijakan PBA sebagai gerakan, diperkuat payung hukum Inpres no 5 tahun 2006, bermuara pada kebijakan tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Jawa Barat mengambil bagian mensukseskan kebijakan dalam RJPM 2004-20015. Terbukti yang semula (tahun 2006) memiliki angka buta huruf 1.026.000 orang (peringkat ke 4) tertinggi jumlah buta hurufnya, kini tahun 2009 berjumlah 326.993 orang, dan berada dalam posisi (ke 6) tertinggi angka buta hurufnya tingkat nasional. Kebijakan 2009 tuntas buta aksara, mendudukan Jawa Barat sebagai salah satu propinsi yang memiliki komitmen tinggi dalam pemberantasan buta aksara. Kebijakan strategis ini bagian dari capaian IPM 80 untuk tahun 2010. Dari aspek anggaran, dengan jumlah sasaran masyarakat buta huruf 326.993 orang, kini mengalokasikan dana (APBD I) sebesar Rp 73 milyar, berarti Jawa Barat dapat berkontribusi di atas 50 % dari jumlah anggaran sebesar Rp 131 milyar, berasal dari pusat (dana dekonsentrasi) sebesar Rp 58 milyar (50 %). Alokasi lain dari APBD II, yang sangat tergantung kepada besaran jumlah sasaran dan perolehan dana untuk setiap kabupaten/kota. c. Deskripsi Penyelenggaraan Program Pendidikan Keaksaraan Gambaran penyelenggaraan pendidikan keaksaraan, di Jawa Barat secara umum menjadi acuan dan landasan urgensi dari pengembangan model akaselerasi ini. Pemilihan penyajian kasus ini menekankan kepada pola penyelenggaraan yang sifatnya inovatif, terkait dengan model pembelajaran banyak dikembangkan oleh berbagai pihak, seperti:

model pembelajaran dengan menerapkan bahasa ibu (mother tang) yang dikembangkan di Cibago Subang oleh BPKB atau P2PNFI Jayagiri ataupun bahasa ibu di beberapa wilayah di Indonesia, pendidikan keaksaraan pada suku terasing, metode makro, metode trans bahasa arab, dan lainnya. . Dari aspek penyelenggara, terdiri dari; unsur PKBM, unsur LSM, unsur ormas, unsur pemerintah daerah, serta unsur perguruan tinggi. Hasil analisis di ke tiga wilayah kabupaten, dapat diidentifikasi, permasalahannya, yaitu: Masih terdapat kesenjangan data dasar dengan data hasil verifikasi lapangan, pelaksanaannya dihadapkan kepada berbagai kendala, durasi lama belajar masih sekitar 2 sampai 4 bulan, pembelajaran belum mengoptimalkan lingkungan, program terlepas dari konteks keluarga dan lingkungan, kurikulum difokuskan pada pencapaian SKK calistung, belum diproyek sikan ke arah pencapaian kemandirian dan keberlanjutan belajar, kurang memperhatikan perbedaan warga belajar, pengawasan dan evaluasi belum komprehensi dan terintegrasi, beberapa wilayah tempat tinggal warga belajar relatif berjauhan dan kondisi geografis dan transfortasi agak sulit. 2. Deskripsi Model Akselerasi Penyelenggaraan Program Pendidikan Kekasaraan Tingkat Dasar Untuk Mencapai Kemandirian dan Keberlanjutan Belajar Warga Belajar a. Deskripsi model konseptual 1) Rasional Model Bangun/konstruk model yang memiliki tingkat relevansi dan kebermaknaan tinggi, secara konsepstual model percepatan ini dikembangkan berlandasakan kepada beberapa sandaran pokok, yaitu: landasan yuridis, empiris dan konseptual. a) Landasan Yuridis, Mengacu pada amandemen UUD 1945, pentingnya pendidikan nasional. Pasal 31 ayat (1), setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. UU No. 20 tahun 2003, Pasal 5. Inpres No 5 tahun 2006 tentang GN-PPBA. tanggung jawab menurunkan persentase buta aksara usia 15 tahun ke atas menjadi 5% menjelang 2009, diserahkan pada Menkokesra,

Mendiknas, Mendagri, Menkeu, Menag, Meneg PP dan Kepala BPS, para gubernur, bupati dan walikota. b) Landasan Empirik Tahapan ini juga mengungkap secara mendalam informasi dari berbagai sumber yang diungkap pada tahap pendahuluan. Hasil temuan empirik dijadikan acuan untuk menyusun model konseptual yang didukung oleh studi pustaka. c) Landasan Konseptual Model akselerasi, dikembangkan mengacu pada: kesepakatan Dakkar di Senegal tentang Education for All (EFA). Lifelong Education, Literacy for the Empowerment (LIFE). Andragogi, Experiential learning, Self Directed Learning (SDL), pemberdayaan (empowering), dan manajemen strategis. 2) Tujuan Program Secara umum tujuan pembelajaran keaksaraan adalah untuk mengembangkan pendidikan kecakapan calistung warga belajar secara efektif dan efisien, mencapai kemandirian dan keberlanjutan belajar serta fungsionalisasi dalam kehidupan. 3) Prinsip Penerapan Pembelajaran mempertimbangkan prinsip: warga belajar termotivasi belajar jika sesuai dengan pengalaman, minat dan kebutuhannya; orientasi belajar berhubungan dengan kehidupannya; metode utama menganalisis pengalaman; warga belajar mempunyai kebutuhan mengarahkan diri (SDL); pola pembelajaran harus menghargai perbedaan gaya, waktu, tempat, dan materi belajar. 4) Strategi Pembelajaran Strategi pembelajaran pola akselerasi, memperhatikan: tujuan pembelajaran; materi/bahan belajar; media belajar; lama waktu. Strategi pembelajaran, yakni : 1)

Andragogi, 2) participatory rural appraisal, 3) problem possing, 4) Belajar dari pengalaman sendiri (BDPS). 5) Kurikulum Pembelajaran Kurikulum mengacu pada Standar Kompetensi Keaksaraan (SKK). Kompetensi keaksaraan tingkat dasar berjumlah 114 jam pelajaran, meliputi: membaca 34 jam, menulis 46 jam, berhitung 23 jam, berkomunikasi 11 jam. Dielaborasi dalam analisis SKK kedalam pola 21 hari dan disesuaikan dengan kondisi daerah, lingkungan, serta komponen pembelajaran lainnya. 6) Tenaga Pendidik (tutor) dan Pendamping Tugas tutor, pendamping, mengidentifikasi kebutuhan belajar, menciptakan prakondisi lingkungan, merencanakan dan melaksanakan tutorial, menilai hasil belajar, dan memperbaiki keseluruhan proses pembelajaran secara berkelanjutan. Dalam konteks ini tutor maupun pendamping, memiliki peran sebagai: perencana tutorial, motivator dan fasilitator belajar, dan evaluator proses dan hasil belajar. 7) Metode Pembelajaran Fungsi metode dalam pembelajaran mempunyai ruang linkup sebagai : (1) pemberi dorongan; (2) pengungkap tumbuhnya minat belajar; (3) penyampai bahan belajar; (4) pencipta iklim belajar; (5) pentumbuh lahirnya kreativitas; (6) pendorong untuk self evaluation dalam proses dan hasil belajar; (7) pendorong dalam melengkapi keleamahan hasil belajar. Menggunakan metode partisipatif, dengan teknik pembelajaran: curah pendapat; diskusi kelompok; simulasi; permainan; demonstrasi; kerja kelompok dan praktik. Teknik pembelajaran harus luluh dengan metode membaca, yaitu: SAS, Global, Abjad, Suku kata dan Asosiasi. 8) Bahan dan Media Pembelajaran

10

Pada program pendidikan keaksaraan, terdapat 3 jenis pendekatan dalam penyusunan bahan belajar, yaitu: (1) bahan belajar pembelajaran konvesional, dirancang dan disusun berdasarkan asumsi kebutuhan yang dipikirkan penulisnya; (2) bahan belajar pembelajaran tematik, disusun berdasarkan tema tertentu yang dibutuhkan untuk pembelajaran yang disusun oleh tutor dan pendamping bersama warga belajar. Bahan belajar tematik selalu bertumpu pada masalah yang kontekstual dan terintegrasi dengan lingkungan; (3) bahan belajar pembelajaran panduan belajar aksi, diangkat berdasarkan minat dan kebutuhan warga belajar disusun oleh tutor, pendamping bersama warga belajar, berupa manual learning berisi pertanyaan kunci, agar terjadi suatu proses diskusi di kelompok belajar. Karakteristik bahan belajar dari ke tiga pendekatan tersebut dapat dibedakan berdasarkan (a) sifat informasi, (b) struktur penulisan, (c) strategi pembelajaran, (d) jenis kegiatan calistung, (e) pelaksanaan pembelajaran, dan (f) model evaluasi (Direktorat Dikmas, 2006). 9) Evaluasi Pembelajaran Evaluasi pembelajaran bertujuan mengetahui kemajuan selama mengikuti program. Evaluasi pembelajaran mengacu pada tujuan program pendidikan keaksaraan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan baca-tulis-hitung dan kemampuan fungsional warga belajar, maka perlu dilaksanakan evaluasi secara bertahap, berkala, rutin, dan teratur. Mengingat strategi pembelajaran berpusat pada diri warga belajar (participant centered), maka evaluasi pembelajaran untuk mengetahui kemampuan diri warga belajar (self evaluation) melalui penilaian awal, penilaian proses, dan penilaian hasil belajar. b. Validasi model Dalam memperoleh konstruk model yang memiliki tingkat validitas tinggi, proses perumusan model ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu: proses validitas empirik dan validitas ahli/pakar. Validasi empirik, treatmen utuh-terbatas di Desa Mekarmanik. Cimenyan Kab. Bandung. Rekomendasinya, tutor menjadi kunci, harus dikembangkan pola penyiapan tutor; perlu dikembangkan pola pengendalian dan koordinasi yang tepat; optimalisasi peran keluarga dan limgkungan. Validasi ahli, dan praktisi serta diskusi teman sejawat dan pihak yang terlibat dalam program.

11

c. Karakteristik Program Pembelajaran Proram pembelajaran pendidikan keaksaraan tingkat dasar dengan pola akselerasi ini, memiliki karakteristik yang sangat spesifik Kekhususannya terlihat dari beberapa komponen pembelajaran: Setiap 10 orang didampingi satu tutor, satu pendamping. Tutor dan pendamping berasal dari lingkungan sekitar warga belajar, atau bagian keluarga, baik secara nasab keturunan maupun hubungan sosial kemasyarakatan, yaitu; ayah, ibu, anak, bibi, paman, uwa, keponakan bahkan tetangga dalam satu wilayah atau komunitas. Pembelajaran bersama tutor selama 2-3 jam setiap hari, bersama pendamping selama 1-2 jam setiap hari. Dengan pembelajaran 3-4 jam setiap hari (84-112 JP) bersama tutor dan pendamping, diasumsikan dapat memenuhi SKK. d. Perangkat Manajemen Dan Administrasi Program Perangkat manajemen dan administrasi, sebagai Panduan Umum Model meliputi: Disain pra-pelaksanaan, Format Analisis SKK 21 hari, GBPP, RPP, Bahan ajar, Media pembelajaran, Panduan tutor, Panduan Pendamping, Instrumen evaluasi hasil belajar, Format catatan perkembangan kemampuan warga belajar , Format laporan tutor dan pendamping, Administrasi kelompok (7 format). e. Tahapan Penyelenggaraan Program 1) Persiapan/Perencanaan (prakondisi) a) Koordinasi Penyelenggara Konsolidasi internal, peneliti dengan tim pengembang Lab. PLS FIP UPI, Penyusunan desain program, Penyusunan instrumen (perangkat) program. Koordinasi Eksternal, memperoleh legitimasi dari: Pemda Kab. Bandung Barat, Cianjur, dan Subang sampai Kec., Desa dan RT/RW, Disdik/UPTD, penilik PLS, tokma,

12

lembaga masyarakat (PKBM, Yayasan Majlis Talim). b) Rekruitmen Tutor Tutor diangkat dari kalangan masyarakat di lingkungan warga belajar. Tutor dilatih agar memahami program keaksaraan dan diarahkan pada pemahaman konsepsi percepatan program, kemendirian dan keberlanjutan belajar. c) Rekruitmen Pendamping bersama dan atau oleh tutor Pendamping adalah seseorang yang memiliki kemampuan baca-tulis-hitung untuk membantu warga belajar pada saat pembelajaran berlangsung dalam kelompok dengan tutor atau di rumah lingkungan tempat tinggal warga belajar, selama atau setelah pembelajaran di kelompok belajar. d) Penyiapan Orientasi Pelatihan Tutor dan pendamping Tutor dan pendamping dilatih khusus program pendidikan keaksaraan model percepatan oleh tim khusus (kepanitiaan). Pelatihan diselenggarakan selama tujuh hari (long term activity trainning), meliputi : dua hari di ruangan (indoor) dan lima hari di lapangan (outdoor). Pelatihan menerapkan pendekatan partisipatif berbasis andragogi, dengan pola workshop serta kerja lapangan (field base). e) Verifikasi dan penyiapan (pengkondisian) warga belajar Verifikasi dan pengkondisian warga belajar oleh tutor dilaksanakan bekerja sama dengan pemerintah daerah (RT, RW, Kadus, perangkat desa), pengurus lembaga masyarakat, tokoh masyarakat, keluarga calon warga belajar. Pihak informan ini memberikan data dan informasi tentang kondisi penduduknya yang masih buta aksara, dengan berbagai karakteristiknya. f) Fasilitasi dan advokasi unsur pendukung dilingkungan Pada tahapan ini, proses environmental scanning (ES), supaya dapat tergali 13

permasalahan, potensi dan keunggulan lingkungan setempat sehingga menjadi daya pendukung keberlangsungan program. Selain lingkungan fisik dan sosial, secara lebih khusus menekankan penciptaan suasana (prakondisi) lingkungan belajar, terutama melalui advokasi keluarga. Pada tahap ini dipertemukan unsur warga belajar, keluarga, dan perangkat ligkungan terutama dalam kerangka memberikan dukungan moril dan motivasi bagi warga belajar. 2) Pelaksanaan Program a) Fasilitasi oleh tutor dan pendamping selama 21 hari pembelajaran, dengan langkah yang ditempuh oleh tutor dan pendamping, yaitu : (1) Perencanaan Pembelajaraan Tahapan perencanaan pembelajaran oleh tutor bersama pendamping, yaitu: Identifikasi minat belajar, kebutuhan belajar, kemampuan awal, dan tema pembelajaran, perumusan tujuan dan kompetensi keaksaraan, media pembelajaran, rencana kegiatan pembelajaran, melaksanakan kesepakatan belajar (kontrak belajar), penyusunan bahan belajar, pelaksanaan pembelajaran. (2) Evaluasi Pembelajaran Tiga tahap evaluasi oleh tutor, pendamping dan evaluator independent, diantaranya: Penilaian awal (pre test), bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal calistung. Pada saat pelaksanaan penilaian awal, dilakukan pada saat kontrak belajar (learning contract), Penilaian meliputi: (a) penilaian kemajuan individu dan (b) penilaian kemajuan kelompok belajar. Evaluasi akhir pembelajaran dilakukan melalui tes standar pemerintah untuk tingkat dasar. b) Pendampingan Mandiri oleh pendamping selama 1-2 jam perhari Pendampingan di luar proses pembelajaran bersama tutor, pendampingan dapat dilaksanakan di rumah warga belajar atau di tempat yang telah disepakati antara warga

14

belajar dengan pendamping, serta dibantu oleh unsur keluarga. 3) Monitoring dan Evaluasi Program Evaluasi terhadap perkembangan kemampuan warga belajar dilakukan tutor setiap hari dengan cara berdialog, bertanya kepada warga belajar dan memeriksa setiap hasil karya yang dibuat oleh WB. Evaluasi dalam KBM dilakukan setiap hari untuk mengetahui sejauh mana kemampuan calistung WB serta mengetahui hambatan yang dialami WB dalam belajar. Monitoring dilakukan melalui sinergi antara pengelola program yang dilaksanakan oleh mitra tim pengembang, dalam upaya memantau perkembangan program. Selain oleh mitra tim pengembang monitoring juga dilakukan oleh penilik PLS setempat. 4) Tindak Lanjut (penguatan dan pelestarian) Tindak lanjut, dengan pendidikan kecakapan hidup (life skills), menekankan pada pendidikan keterampilan diseseuaikan dengan hasil identifikasi kebutuhan program. Namun secara konsep lebih ditekankan kepada terpeliharanya keutuhan kelompok belajar, sehingga pola KUM, AKRAB, dan kelompok belajar sejenis menjadi alternatif mempertahankan keberlanjutan program. 5) Peran Tutor dan Pendamping a) Peran Tutor; lebih memposisikan sebagai fasilitator, motivator, pembimbing, pembina, dan instruktur atau nara sumber. b) Peran pendamping; memantau kemampuan warga belajar dalam pembelajaran dengan tutor di kelompok maupun di rumah, mennggali potensi warga belajar, membantu mengatasi kesulitan pembelajaran di rumah, berbagi pengalaman dan memotivasi warga belajar, memberi penghargaan kepada warga belajar, bersama tutor dan warga belajar mengevaluasi kelebihan dan kekurangan setiap warga belajar, mengamati warga belajar melakukan latihan calistung, mencatat berbagai temuan dalam pembelajaran.

15

3. Hasil belajar warga belajar pendidikan keaksaraan pola akselerasi Hasil wawancara dan catatan lapangan, diperoleh keterangan: warga belajar tingkat dasar memliki karakteristik yang beragam, baik kemampuan calistung maupun dalam bersosialisasi dengan lingkungan. Kemampuan awal calistung, sebagian kecil tidak dapat membaca, menulis dan berhitung. Sedangkan warga belajar lainnya sudah mengenal beberapa huruf dan angka, walaupun mengalami kesulitan dalam merangkainya menjadi kata atau kalimat. Sedangkan dalam bersosialisasi, bervariasi, yaitu; sebagian memiliki kemampuan sosialisasi yang baik, sebagian yang lain merasa rendah diri karena tidak mempunyai kemampuan calistung, sehingga terkesan menutup diri dari lingkungannya. Secara perlahan, kondisi tersebut berubah kearah yang lebih baik, peneliti amati dari hari ke hari, tulisan warga belajar semakin dapat dimengerti, kemampuan membaca pun terlihat ada peningkatan karena difasilitasi berlatih di rumah, dan selalu mendapatkan motivasi dari tutor, pendamping dan keluarganya. Secara keseluruhan kemampuan calitung warga belajar meningkat dengan baik. Ini dapat terlihat dari setiap catatan di buku tulis WB, evaluasi selama proses pembelajaran dan hasil evaluasi akhir menggunakan tes kompetensi keaksaraan tingkat dasar. Komunikasi warga belajar pun terbangun karena tutor dan pendamping berupaya menstimulasi dalam bentuk kelompok kecil untuk berdiskusi, dengan demikian secara tidak langsung tutor maupun pendamping membangun rasa sosial. Warga belajar yang pada awalnya merasa rendah diri dapat merasakan motivasi yang sangat kuat dari tutor, pendamping, unsur keluarga dan teman belajarnya sehingga terpacu untuk dapat bersaing dan belajar bersama. Hal ini ditunjang adanya iklim kekeluargaan yang baik. Demikian pula antusias dalam mengikuti pembelajaran cukup tinggi, ini dibuktikan kehadiran dalam setiap kali pembelajaran, kesungguhan dalam mengikuti proses pembelajaran, serta perkembangan tidak lagi malu atau segan memberi masukan diantara warga belajar yang melakukan kesalahan. Selain hasil perkembangan kemampuan diatas, hasil belajar warga belajar diungkapkan berdasarkan pencapaian skor test, serta hasil uji test awal dan test akhir (pre dan post test). Hasil uji tersebut, dijelaskan pada bagian efektivitas model.

16

Berdasarkan hasil analisis kualitatif maupun pengujian hasil belajar, tampak adanya indikasi bahwa warga belajar telah memiliki dasar-dasar kemandirian belajar, indikasi ini diasumsikan akan berkembang manakala pembelajaran bisa berlanjut. Keberlanjutan belajar telah berhasil diidentifikasi berdasarkan berbagai usulan tindaklanjut program yang arahnya lebih kepada pendidikan kecakapan hidup (life skills), dan pelestarian kelompok belajar. 4. Faktor pendorong dan penghambat pendampingan oleh keluarga kepada warga belajar pendidikan keaksaraan tingkat dasar Pelaksanaan pembelajaran melibatkan unsur tutor, pendamping, keluarga, tidak lepas dari hambatan, kelebihan. Beberapa faktor tersebut, diantaranya: 1) Faktor Pendorong/Kelebihan; adanya dukungan keluarga, lingkungan, tutor dan pendamping, pihak keluarga yang masih sekolah bisa meminjamkan bahan bacaan dan belajar bersama dengan warga belajar, kerja sama tutor, pendamping dan unsur keluarga, dalam mengatsi kesulitan belajar, keleluasaan dalam mengeksplorasi pengetahuan dan pengalaman, materi dan kemampuan calistung selaras dengan kehidupan sehari-hari. 2) Kelemahan, yaitu: sikap tertutup dan kemampuan sosialisasi warga belajar rendah, tingkat edukability rendah, kesiapan belajar sistematis dan terprogram masih terbatas, mudah menyerah ketika mengalami kesulitan belajar, keterbatasan kemampuan fisik, keterbatasan kemampuan intelektual, sifat sebagai orang tua yang rasa ingin dihargai, diperlakukan istimewa, dilayani khusus, mudah tersinggung, jarak tempuh dan cuaca serta pola kerja, dukungan lingkungan, keterbatasan kemampuan akademis tutor dan pendamping, rendahnya sinergitas kemitraan antara tutor, pendamping, penilik PLS dengan tim pengembang/pengelola dalam pembahasan substansi program. 5. Efektivitas Model Akselerasi Penyelenggaraan Program Pendidikan Keaksaraan Tingkat Dasar Model akselerasi penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan tingkat dasar, dipandang efektif dapat merubah kompetensi keaksaraan tingkat dasar, dan diindikasikan

17

menjadi landasan untuk mencapai kemandirian dan keberlanjutan belajar warga belajar. E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kesimpulan a. Penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan di Jawa Barat dilaksanakan mendukung kebijakan internasional, nasional terkait dengan GN-PPBA, terutama terkait dengan target penuntasan buta aksara tahun 2009 dalam bentuk dukungan dana APBD propinsi dan kabupaten kota yang cukup signifikan. b. Model konseptual akselerasi penyelenggaraan program pendidikan pendidikan keaksaraan tingkat dasar, dikembangkan untuk meningkatkan penguasaan kompetensi keaksaraan tingkat dasar. Unsur penyelenggaraan program, sebagai kelengkapan model terkait dengan; peran tutor, pendamping dan keluarga serta lingkungan, kurikulum pembelajaran, materi/bahan belajar, strategi dan metode pembelajaran, dan media pembelajaran, serta alat evaluasi hasil belajar. Model konseptual, dikembangkan dengan menempuh tahapan, yaitu: kajian empirik, kebijakan, teoritik, penyusunan model, serta validasi, revisi model konseptual. c. Dari implementasi model, diperoleh temuan: Akselerasi program pendidikan keaksaraan tingkat dasar, dapat diselenggarakan secara efektif menempuh waktu 21 hari, dengan tuntutan dan persyaratan; adanya analisis SKK kedalam pola 21 hari, peningkatan peran tutor yang tidak hanya pada proses pembelajaran di dalam kelompok melainkan berperan mengadvokasi pendamping, keluarga dan lingkungan. Berhasil dikembangkan pola orientasi dan pelatihan tutor, pendamping. Program akselerasi, baik secara parsial maupun simultan, berpengaruh positif signifikan terhadap penguasaan kompetensi dasar warga belajar dalam keaksaraan dengan indikasi dapat mencapai kemandirian dan keberlanjutan belajar warga belajar. Keterlibatan unsur keluarga dalam pembelajaran, masih didominasi keluarga besar seperti; saudara dan atau tetangga. Artinya, peran keluarga inti, seperti ayah, ibu dan

18

anak masih belum muncul secara dominan dan meyakinkan. Faktor yang menentukan terselengggaranya percepatan program, yaitu: aspek internal karakteristik warga belajar. Aspek lingkungan belajar, karakteristik keluarga, peran penyelenggara, tutor dan pendamping, keterlibatan tokoh masyarakat serta unsur aparat terkait dengan program, khususnya penilik PLS atau dinas pendidikan. Aspek manajemen, penerapan fungsi manajemen strategis, terkait dengan fungsi perencanaan, pengorganisasian atau koordinasi, pengawasan, pembinaan, evaluasi dan tindak lanjut atau pengembangan. Dapat ditegaskan, akselerasi penyelenggaraan pendidikan keaksaraan secara efektif dapat meningkatkan kemampuan keaksaraan tingkat dasar sebagai landasan untuk mencapai kemandirian dan keberlanjutan belajar, manaka terpenuhi persyaratan berikut: 1) tahap perencanaan; diperlukan penyiapan prakondisi lingkungan belajar, dan komponen pembelajaran lainnya, 2) tahap pelaksanaan; dilaksanakan setiap hari, mempertimbangkan perbedaan kemampuan kekasaraan, menerapkan pembelajaran yang mengeksplorasi pengalaman, adanya pendampingan dan keterlibatan keluarga, 3) tahap evaluasi dan pengawasan, dilakukan secara berkesinambungan, berbasis proses dan independent, 4) tahap tindaklanjut, dipersiapkan dan diorientasikan pada kecakapan hidup (life skills), (KUM, Akrab, serta kelompok belajar sejenis). d. Akselerasi penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan tingkat dasar, terbukti efektif signifikan dalam meningkatkan penguasaan kompetensi keaksaraan tingkat dasar, diasumsikan dapat menjadi landasan mencapai kemandirian dan keberlanjutan belajar warga belajar. 2. Rekomendasi Beberapa hal yang dipandang penting untuk dicermati dan menjadi rekomendasi berdasarkan temuan penelitian ini, adalah sebagai berikut: a. Rekomendasi bagi Rekonstruksi Pendidikan Keaksaraan

19

Model akselerasi ini, cukup efektif dapat meningkatkan penguasaan kompetensi keaksaraan tingkat dasar warga belajar. Sehubungan itu, perlu diupayakan penyebarluasan penerapan model ini pada program pendidikan keaksaraan untuk kelompok belajar lebih luas. Implementasi hasil model akselerasi: model ini hanya berlaku untuk program pendidikan keaksaraan tingkat dasar; penerapan model perlu didahului oleh analisis permasalahan dan potensi lingkungan masyarakat, membangun komitmen keterlibatan keluarga; perlu penyesuaian beberapa komponen model dengan kekhasan karakteristik warga belajar; dan perlu dukungan sarana dan prasarana belajar yang bersumber dari lingkungan. b. Rekomendasi bagi Pemerintah (Pengambil Kebijakan) Memberi dukungan implementatif, dalam bentuk kebijakan yang dapat memberi ruang, bahkan mendesak semua pihak dapat mengambil bagian dalam pelaksanaan program pendidikan keaksaraan. Secara teknis, peran serta pemerintah adalah memberikan ramburambu standar kompetensi yang harus dikuasai warga belajar, sementara tujuan pembelajaran, bahan ajar, media, dan strategi pembelajaran dikemas secara kreatif oleh tutor, pendamping dan penyelenggara program. c. Rekomendasi bagi Praktisi Pendidikan Keaksaraan Penerapan model akselerasi penyelenggaraan program pendidikan pendidikan keaksaraan tingkat dasar yang ditemukan dalam penelitian ini, pada praktiknya memerlukan komitmen manajerial dari pengelola program. Bagaimanapun baiknya model, kalau tanpa disertai pengelolaan yang tepat, hasilnya sulit diharapkan. Pengelola dan tutor perlu terlibat secara utuh mulai dari: (1) perencanaan, (2) pengorganisasian, (3) kepemimpinan, dan (4) pengawasan dan evaluasi, dimana hal ini dilakukan secara berkesinambungan, dan diarahkan pada perbaikan mutu. d. Rekomendasi untuk Penelitian Lebih Lanjut

20

Produk penelitian ini berupa desain model akselerasi penyelenggaraan program pendidikan keaksaraan fungsional tingkat dasar. Produk ini masih bersifat umum, baik dari konstek substansi, metododologi maupun perangkat model. Sekaitan dengan hal tersebut, dapat dieksplorasi lebih jauh aspek-aspek pengembangan untuk dikaji lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA Abdulhak, I. (1990). Program Kerja Paket A Hubungannya dengan Motivasi Meningkatkan Pendapatan dan Motivasi Mengikuti Pendidikan Lanjutan. Disertasi Sekolah Pascasarjana IKIP Jakarta. Tidak diterbitkan. Abdulhak, I, (1996). Strategi dan Motivasi Pembelajaran Pendidikan Orang Dewasa. Bandung: Rosdakarya.

Abdulhak, I. (2002). Filosofi Pendidikan Nonformal. Bandung: disampaikan pada Seminar CNSP.
Badan Pusat Statistik dan Depdiknas. (2004). Studi Efektivitas Program Keaksaraan Fungsional. Kerjasama Ditjen PLSP dengan BPS. Jakarta: Depdiknas. Bhola. (1984). Literacy in Theory and Practice. Cambridge University Press. Coombs, P. and Ahmed, M. (1974). Attacking Rural Poverty. Baltimore: The John Hopkins University Press. How non-formal education can help, Baltimore: John Hopkins University Press. Creswell, J.W. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Sage Publications. Faisal. S. (2006). Paradigma Baru Pendidikan Keaksaraan Tawaran Bagi Pengembangan Program Keaksaraan di Indonesia. Prasaran pada Seminar dan Lokakarya Nasional Pendidikan Keaksaraan di Solo. Gibbons M. (2002). The Self Directed Learning Handbook: Challenging Adoleccent Student to Exel. Columbia Harefa A. (2008). Menjadi Manusia Pembelajar: Pemberdayaan Diri. Transformasi Organisasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara Hatton. M. J. (1997). Lifelong Learning. Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) Publication

21

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006. Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan wajib Belajar Pendidikan dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Iskandar J. (2001). Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Sekolah Tinggi Ilmu Administrassi, Lembaga Administrasi Negara Jarvis P.,(1985), Adult and Continuing Education; Theory and Practice. New York: Nichols Publishing Company Kaewdang R. (2001). Belajar Dari Monyet: Suatu Cara Reformasi Pembelajaran Yang Mangkus di Akademi Pelatihan Monyet Surat Thani Thailand. Jakarta: Grasindo Kamil, M. (2002). Model Pembelajaran Magang bagi Peningkatan Kemandirian Warga Belajar. Disertasi Doktor pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Kamil, M. (2007). Kompetensi Tenaga Pendidik Pendidikan Non Formal dalam Membangun Kemandirian Warga Belajar. Jurnal Ilmiah: Visi, PTKPNF, Vol.2,No.22007. Jakarta: Depdiknas Dirjen PMPTK Direktorat PTK-PNF bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Kindervatter, S. (1979), Non-Formal Education as an Empowering Process with Case Studies from Indonesia and Thailand. Amherst Massachusetts: Centre for International Education, University of Massachusetts. Knowles, M. (1980). The Adult Learner: A neglected Species. London: Gulf Publishing Company Knowles, M. (1989) Self-Directed Learning A Guide For Learners And Teachers. Company/Chicago Association Press Follett Publishing Co. Kusnadi et al. (2005), Pendidikan Keaksraan Filosofi, Strategi, Implementasi, Jakarta : Ditjen PLS. Kuntoro, S. (2007). Pendidikan Keaksaraan untuk Mencerdaskan Kehidupan Masyarakat. Jurnal Ilmiah: Visi, Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal, Vol.2,No.1-2007. Jakarta: Depdiknas Dirjen PMPTK Direktorat PTK-PNF bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Kuntoro Sodik, A. (2008). Pengembangan Paradigma Baru Keilmuan dan Kelembagaan Pendidikan Nonformal, Bandung: Naskah akademik pada Seminar Nasional dan Temu Kolegial Jurusan PLS se-Indonesia Laird D. (1981). Approaches to Trainning And Development.New York: Addison Wesley Publishing Company Muhsin, M. (2006). Pembelajaran Keaksaraan Fungsional dan Kecakapan Hidup Warga Belajar. Jurnal Ilmiah VISI Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan NonFormal (PTK-PNF). Vol. 2, No. 1, 37 - 45. Mujiman H. (2007). Manajemen Pelatihan Berbasis Belajar Mandiri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Musthafa B. (2008). Dari Literasi Dini Ke Literasi Teknologi. Jakarta: Cahaya Insan

22

Sejahtera Napitupulu W.F. (2007). Pendidikan Kekasaraan di Indonesia ke Depan. Jurnal Ilmiah, Vol.2,No.2. Jakarta: Direktorat PTK-PNF Dithen PMPTK Depdiknas Rassol, N. (1999). Literacy for Sustainable Development in the Age of Information. Sydney: Multilingual Matters LTD Sanusi, A. (1990). Krisis dan Reformasi Politik dan Ekonomi Dewasa ini : Peluang untuk PLS Alternatif, Bandung : PPS IKIP. Smith R.M. (1997), Learning How to Learn: Applied Theory for Adult. Chicago, Lilinois : Follett Publishing Company. Sudjana, D. (2000). Manajemen Pendidikan Luar Sekolah, Bandung, Fallah Production. Sudjana, D. (2000). Metoda dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, Bandung, Fallah Production. Sudjana, D. (2000). Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan Sejarah Perkembangan Falsafah Teori Pendudkung Azas, Bandung : Falah Production. Sudjana, D. (2002). Penduduk Buta Aksara Sebagai Maslah Global. Jakarta: Ditdikmas PLSP Sugiono, (2007). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Trisnamansyah, S. (1984). Pengaruh Motif Berafiliasi, Keterbukaan Berkomunikasi, Persepsi dan Status Sosial Ekonomi Terhadap Perilaku Modern Petani. Disertasi Doktor pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan Trisnamansyah,S. (2008). Pengembangan Paradigma Baru Keilmuan dan Kelembagaan Pendidikan Nonformal, Bandung: Naskah akademik pada Seminar Nasional dan Temu Kolegial Jurusan PLS se-Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Universitas Pendidikan Indonesia. (2008). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI. Wahyudin U. (2008). Mutu Layanan Pendidikan Keaksaraan Fungsional Berbasis Budaya Lokal untuk Peningkatan Kompetensi Dasar Warga Belajar: Studi Pengembangan Model Pendidikan Keaksaraan Fungsional pada Kelompok Belajar Keaksaraan Fungsional di PKBM Kabupaten Subang). Disertasi Doktor pada PPS UPI: tidak diterbitkan Yunus I., (2000). Penyusunan Bahan Belajar Pendidikan Keaksaraan. Jakarta: Direktorat Pendidikan Masyarakat, Ditjen PLSP Depdiknas. Zainudin A. (2002). Pemberdayaan Masyarakat Melalui Gerakan Percepatan Pemberantasan Buta Aksara, antara kenyataan dan harapan. Jakarta: Dirjen PLSP.

23

24

Anda mungkin juga menyukai