Anda di halaman 1dari 2

Kedaulatan dan Pendidikan Tinggi

Mahardika Agil Bimasono


Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada

Bicara tentang pendidikan, kita tak hanya berada pada UU.12-2012 atau UU.155-
1998 dan lain sebagainya. Namun juga Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi (Permenpan-RB) nomor 46 tahun 2013 tentang jabatan fungsional
dosen dan angka kreditnya. Dalam lampiran IV Permenpan tersebut, dijelaskan adanya
ketentuan mengenai pemobobotan terhadap kegiatan tridharma perguruan tinggi dari unsur
pendidikan dan pengajaran; penelitian; pengabdian; dan penunjang tridharma perguruan
tinggi. Untuk kenaikan jabatan fungsional dosen dari asisten ahli menjadi lektor, kemudian
lektor menjadi lektor kepala, dan dari lektor kepala menjadi guru besar, unsur pendidikan dan
pengajaran diberi bobot paling sedikit antara 35% sampai 55%. Unsur Penelitian diberi bobot
paling sedikit 25% sampai 45%. Unsur pengabdian dan unsur penunjang masing-masing
hanya diberi bobot paling banyak 10%.
Dengan pembobotan seperti ini, para akademisi bekerja keras untuk mengajar dan
membimbing mahasiswa, serta melakukan penelitian dan mempublikasikan hasil
penelitiannya yang mungkin akan mendukung akreditasi dan peringkat kampus yang
mendunia. Mereka hanya melakukan pengabdian kepada masyarakat ala kadarnya karena
kegiatan ini hanya dibatasi maksimal 10% dari seluruh kegiatan tridharma perguruan tinggi.
Tidak boleh lebih dan yang penting ada. Padahal, hampir disadari oleh semua kaum
intelektual negeri pula jika selama ini pemerintah jarang berpihak kepada petani/peternak
dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian/peternakan di
Indonesia. Mereka para petani/peternak kecil- dibiarkan dalam kebodohan disisi lain
kebanyakan kaum intelektual kampus kadang terlalu asik dengan penelitian dan penelitian
saja karena dengan seperti itu jabatan fungsional tertinggi sebagai professor dapat diraih
karenanya.
Hal ini menjadi ironis ketika ribuan sarjana peternakan/pertanian enggan menjadi
peternak/petani dan lebih memilih industri besar atau perusahaan lainnya. Disisi lain jutaan
peternak/petani yang tersebar di seluruh Indonesia tidak dapat kuliah di perguruan tinggi
karena keterbatasan. Fenomena ini telah berlangsung puluhan tahun hingga detik ini. Jadi
tidak mengherankan jika kondisi komoditas pangan negeri mayoritas dipelihara oleh
petani/peternak berpendidikan rendah yang semakin terdegradasi kualitasnya dari waktu ke
waktu. Dengan jargon pendidikan yang mengakar kuat dan menjulang tinggi, namun terkesan
memaksa menjulang namun dengan akar yang rapuh. Melatih kita untuk berdaya saing global
namun lupa diri dari mana asal kita dan siapa orang di sekitar kita. Jika Rendra mengatakan
Rakyat adalah sumber ilmu dengan batasan yang tersistematis seperti permenpan diatas-
apakah menjadikan kita semakin dekat dengan mereka?
Orientasi pendidikan yang dari rakyat, untuk rakyat perlu kita refleksikan kembali.
Karena acuan dari rakyat membuka perspektif baru, bahwa acuan dari rakyat ini
memberi jalan kepada tujuan kedua, yaitu untuk rakyat. Pengabaian hal pertama ini bisa
membelokkan pola kegiatan dan akhirnya menghasilkan sesuatu yang sama sekali bukan
untuk rakyat. Jadi, masihkah kita meyakini bahwa proses tridharma perguruan tinggi kita
berorientasi pada rakyat untuk kedaulatan? Saya ragu untuk itu. Jika memang proses yang
kita jalani di kampus saat ini civitas akademika memberikan sekat antara kaum intelektual
dengan masyarakat, disorientasi yang timbul karena pemberian standar yang menjadikan
mahasiswa atau dosen seperti pesanan kaum tertentu, kita dipacu untuk menjulang tinggi
dengan tuntutan tertentu, lantas apa bedanya kampus dengan les-lesan?

Anda mungkin juga menyukai